EFEKTIVITAS PROGRAM PENDAMPINGAN KELOMPOK KERJA GURU POLA LESSON STUDY TERHADAP PENINGKATAN KOMPETENSI PEDAGOGIS GURU PENJASORKES.

(1)

ABSTRAK...

ABSTRACT……….

KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI...

LAMPIRAN-LAMPIRAN……….

DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN... A. Latar Belakang ………...

B. Rumusan Masalah ………..

C. Tujuan Penelitian ………

D. Asumsi Penelitian ..………...

E. Hipotesis Penelitian ………

F. Metode Penelitian ………..

G. Lokasi, Populasi, dan Sampel ……… 1. Lokasi Penelitian ……….. 2. Populasi dan Sampel ………. BAB II KAJIAN PUSTAKA ...

A. Pendampingan KKG ………..

B. Lesson Study... 1. Sikap sebelum Memulai Lesson Study ………... 2. Pembuatan Perangkat Pembelajaran ………... 3. Dasar Pemikiran Penyusunan Perangkat Pembelajaran …. 4. Perangkat Pembelajaran yang disusun ………...

C. Kompetensi ………...

D. Kompetensi Guru …………...

E. Kompetensi Pedagogis ……….

BAB III METODE PENELITIAN... A. Desain Penelitian ..…... B. Populasi dan Sampel ...

C. Lokasi Penelitian………...

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... E. Instrumen Penelitian ... F. Langkah-langkah Penelitian ... G. Alur Penelitian ………... H. Prosedur dan Teknik Pengolahan Data ………

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... A. Hasil Pengolahan Data ...

1. Kompetensi Pedagogis…….………. 2. Kompetensi Pedagogis untuk Setiap indikator………. B. Pembahasan...

i ii iii iv vi viii x xi 1 1 20 21 21 25 25 26 26 26 28 28 36 48 49 51 54 58 58 60 68 69 71 73 73 76 78 80 81 97 97 98 113 158


(2)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... A. Kesimpulan... B. Rekomendasi... DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN-LAMPIRAN………..

171 171 173 175 179


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Penelitian

Keberhasilan suatu bangsa dalam penyelengaraan roda pemerintahan di berbagai bidang menuntut adanya sumber daya manusia yang bermutu. Mutu sumber daya manusia erat kaitannya dengan mutu pendidikan. Pembangunan di bidang pendidikan sampai saat ini masih menjadi prioritas utama dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.Pendidikan menjadi barometer kemajuan suatu bangsa, oleh karenanya kebijakan pemerintah dalam pendidikan mengacu kepada upaya strategi pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) dalam Education For All (EFA), memaparkan data bahwa indeks pembangunan pendidikan untuk semua, Indonesia menempati posisi ke-69 dari 127 negara (www.kompas.com/ edisi 2 maret 2011)

Mutu sumber daya manusia Indonesia yang rendah menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah termasuk didalamnya pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (penjasorkes). Pelaksanaan penjasorkes di semua jenjang pendidikan masih banyak kelemahan, terutama di jenjang Sekolah Dasar (SD). Selama ini proses pembelajaran penjasorkes di SD masih banyak yang dilaksanakan bukan oleh guru yang berlatar belakang penjasorkes melainkan oleh guru yang berlatar belakang Pendidikan Agama (Kompas, 21 Desember 2005).


(4)

Sehingga pelaksanaan proses pembelajarannya masih mengakar pada kuatnya paradigma keolahragaan di sekolah. Guru-guru penjasorkesdi SD tersebut kurang memahami perbedaan filosofis antara pendidikan jasmani dan pendidikan olahraga. Padahal, muatan filosofis dari keduanya sungguh jauh berbeda sehingga arah tujuannya pun berbeda pula. Oleh karena itu fungsi penjasorkes yang diselenggarakan di sekolah khususnya SD, mempunyai jangkauan yang sangat luas dan hampir tidak terbatas. Selain merupakan sarana dalam usaha mencapai tujuan Pendidikan Nasional, juga berupaya mewujudkan manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa, sesuai dengan rumusan yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)

Guru yang profesional diharapkan secara kreatif mampu menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif, melakukan modifikasi-modifikasi agar proses belajar sesuai dengan taraf DAP yaitu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik ((Developmentally Apropriate Practice). Dengan demikian diharapkan peserta didik merasa senang belajar dan aktif bergerak dengan tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan baik secara kognitif, afektif, dan psikomotor.

Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan yang diselenggarakan di sekolah diharapkan dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk melakukan berbagai aktivitas olahraga baik intra maupun ekstra kurikuler sehingga akan muncul siswa-siswa yang memiliki bakat atau potensi dalam cabang olahraga tertentu, juga dapat mengungkapkan kesan pribadi, ungkapan yang kreatif, inovatif, terampil dan dapat meningkatkan kesegaran


(5)

jasmani dan kebiasaan hidup aktif dan sehat, serta memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas terhadap gerak manusia.

Berdasarkan pandangan di atas maka pengertian Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan dipertegas oleh Rusli Lutan (1997:113) sebagai suatu:

Proses pendidikan via aktivitas jasmani, permainan dan/ atau olah raga yang dipilih dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan yang ingin dicapai bersifat menyeluruh, mencakup aspek fisikal, intelektual, emosional, sosial dan moral.

Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan diartikan sebagai upaya guru dan siswa agar dapat mengaktualisasikan seluruh potensi aktivitasnya sebagai manusia berupa sikap, tindakan dan karya yang diberi bentuk, isi dan arah menuju kebulatan pribadi sesuai cita-cita kemanusiaan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Harapan tersebut tentu saja ujungnya adalah terwujudnya guru yang profesional yang mampu menjalankan profesinya sesuai dengan berbagai tuntutan tempat melaksanakan tugasnya.

Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan memberikan arah kepada lembaga-lembaga di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional untuk melaksanakan program-program operasional di tingkat implementasi.Menurut


(6)

data pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Banten, sampai dengan tahun 2009, kekurangan guru Penjasorkes sejumlah 60.648 orang guru di seluruh Indonesia terutama pada jenjang pendidikan dasar khususnya pada tingkat SD, demikian juga halnya dengan Provinsi Banten masih terdapat kekurangan guru Penjasorkes SD sejumlah 3,093 orang.

Kebutuhan guru pendidikan jasmani yang profesional sangat tinggi, dalam rangka menanggapi tantangan zaman modern.Seiring dengan itu banyak dinyatakan beberapa praktisi bahwa guru pendidikan jasmani secara umum belum menunjukkan profesionalnya. Hal itu dapat diberikan beberapa contoh yaitu: guru mengajar hanya duduk di pinggir lapangan, sedangkan siswa suruh latihan sendiri tanpa ada motivasi, penghargaan, dan perhatian yang serius. Contoh yang lain guru mengajar hanya secara tradisional yaitu tanpa menggunakan media dan metode yang sesuai dengan yang seharusnya.

Pada saat yang sama, pengadaan dan rekrutmen guru Penjasorkes yang baru, hanya dapat dilakukan secara bertahap dan dalam jumlah terbatas. Sehingga pelaksanaan Penjasorkes di lapangan ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, disebabkan oleh kekurangan guru Penjasorkes di sekolah dasar, sehingga dalam proses pembelajarannya Penjasorkes di sekolah dilaksanakan oleh guru kelas atau guru agama SD yang secara akademis tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40, ayat 2 yang berbunyi menuntut guru untuk mampu menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif,


(7)

dinamis, dan dialogis. Tetapi hasil Program Pelayanan Peningkatan Mutu Pendidikan (PPPMP) LPMP Provinsi Banten tahun 2009 disimpulkan bahwa proses pembelajaran guru-guru sekolah dasar di Provinsi Banten lebih banyak berceramah di hadapan siswanya, sementara siswanya hanya mendengarkan, termasuk didalamnya guru Penjasorkes yang melakukan proses pembelajaran tidak sesuai dengan kaidah dan tujuan Penjasorkes itu sendiri, misalnya semua siswa dituntut untuk berprestasi di cabang olahraga tertentu, proses pembelajaran yang seadanya tanpa ada kontrol dan bimbingan terhadap kualitas dan manfaat keterampilan gerak yang dilakukan oleh peserta didik (sumber : Laporan Hasil Pengukuran Kinerja Sekolah/ Seksi Kajian Mutu Pendidikan, 2007: …). Akibatnya mutu yang diharapkan dari proses pembelajaran Penjasorkes tidak akan tercapai. Selain rendahnya kompetensi yang dimiliki guru penjasorkes, juga sangat sedikit kegiatan yang melibatkan guru penjasorkes dalam hal peningkatan kompetensi. Setiap kegiatan Pendidikan dan Latihan (diklat), baik yang diselenggarakan ditingkat kecamatan, kabupaten, bahkan sampai Nasional, dalam satu tahun sedikit sekali bahkan tidak ada diklat khusus peningkatan kompetensi guru Penjasorkes. Bisa dilihat dan dibuktikan dilapangan bahwa partisipasi guru penjasorkes dalam forum Kelompok Kerja Guru/ Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/ MGMP) sangat rendah, kalaupun ada hanya sebatas berkumpul dan selanjutnya diteruskan dengan agenda pertandingan olahraga dan makan

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Nasional Pendidikan, mengenai pendidik diatur adanya guru kelas dan guru mata pelajaran.Salah satu kelompok guru mata pelajaran yang keberadaannya sudah diperlukan sejak SD


(8)

adalah guru mata pelajaran penjasorkes.Upaya serius pemerintah tersebut perlu difahami dan direspon dengan baik oleh semua pihak yang terkait termasuk oleh guru penjasorkes sebagai salah satu kelompok dalam profesi guru.Menyadari peran yang sangat strategis dalam pembentukan kualitas manusia seutuhnya, maka guru penjasorkes harus berusaha untuk meningkatkan profesionalitasnya sehingga memperoleh kepercayaan dan memiliki citra yang baik dimata masyarakat. Dengan citra yang baik, guru penjasorkes akan memperoleh penghargaan yang baik pula. Rasional seperti itulah yang berdampak pada perlunya guru penjasorkes secara sadar dan serius membangun citra yang baik.

Guru memegang peranan yang sangat penting dalam membuat peserta didik mengerti, faham, dan terampil mengenai mata pelajaran yang diajarkan. Sekolah sebagai institusi pendidikan membutuhkan guru yang memiliki kompetensi yang berkenaan dengan tugas poko dan fungsinya.Syah (1999:229) menyatakan, bahwa, “guru yang berkualitas adalah guru yang berkompetensi, yang berkemampuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak’.

Pengertian tentang kompetensi guru dijelaskan di Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 sebagai “… seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”.Undang-undang guru dan dosen no 14 tahun 2005 tersebut mengisyaratkan bahwa guru harus memiliki kompetensi tetapi kenyataannya masih banyak guru yang berkompetensi rendah.Rendahnya kompetensi ini bisa berasal dari factor internal maupun


(9)

eksternal guru.Sutermeister (Sugiyono, 2007:27) menggambarkan faktor-faktor tersebut diantaranya: “latihan dan pengalaman kerja, pendidikan, sikap kepribadian, organisasi, para pemimpin, kondisi social, kebutuhan individu, kondisi fisik tempat kerja, kemampuan, motivasi kerja, dan sebagainya”. Sebagai guru dan sebagai pribadi serta sebagai bagian dari masyarakat, tindak-tanduk guru menjadi perhatian masyarakat, untuk itu guru harus memiliki kompetensi yang paripurna. Berdasrkan kompetensi yang harus dimiliki guru Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, dinyatakan bahwa:

Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Guru tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung.

Berdasarkan peraturan pemerintah yang dimaksud, seorang guru dituntut memiliki empat kompetensi yaitu, kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional. Sebagai seorang guru yang mempunyai tugas mendidik dan mengajar kompetensi pedagogik merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki, karena tanpa menguasai pedagogis bagaimana ia bisa melakukan proses pembelajaran dengan benar. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik.


(10)

Kompetensi pedagogik secara sederhana adalah “ilmu yang mempelajari proses belajar mengajar”(Suherman,1998:1). Lebih lanjut PP no 74 Tahun 2008 pasal 3 ayat (2) halaman 6 tentang guru, menyebutkan bahwa :

Kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi:

1. Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan 2. Pemahaman terhadap peserta didik

3. Pengembangan kurikulum/ silabus 4. Perancangan pembelajaran

5. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis 6. Pemanfaatan teknologi pembelajaran

7. Evaluasi hasil belajar

Kompetensi pedagogis guru yang dianggap rendah saat ini disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal dari luar. Faktor-faktor tersebut menurutDjamal(2005:33-35)antaralain:(1) Penghasilan yang diperoleh guru belum mampu memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga secara mencukupi. Oleh karena itu, upaya untuk menambah pengetahuan dan informasi menjadi terhenti karena dana untuk membeli buku, berlangganan koran, internet tidak tersedia. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dapur harus melakukan kerja sampingan lainnya.(2) Kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upayameningkatkankompetensipedagogiknya.(3) Meledaknya jumlah lulusan sekolah guru dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan akibat dari mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK).(4) Jumlah murid dalam satu kelas cukup banyak dan beban guru yang cukup besardalamsatu minggu.(5) Kompetensi pedagogis guru yang belum


(11)

terbangun seyogianya setiap guru perlu memperlihatkan sikap kompeten sebagai seorangpendidikbukanhanyasebagaipengajar.(6)Rendahnyaminatguruterhadapdun iatulis-menulis.

Guru sebagai ujung tombak pendidikan yang langsung berada di garis depan berhadapan dengan siswa dituntut memiliki kompetensi yang memadai. Keberhasilan dari sebuah proses pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas atau mutu sumber daya manusia.Berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dilakukan melalui berbagai pelatihan, seperti pelatihan model pembelajaran, pengembangan silabus, pembuatan materi standar nasional, dan pelatihan-pelatihan lainnya.

Mengenai pentingnya pentingnya peningkatan kompetensi kinerja guru, Soetjipto dan Kosasi (2004:55) mengemukakan sebagai berikut :

Sebagai professional, guru harus selalu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara terus menerus.Sasaran penyikapan itu meliputi penyikapan terhadap perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat, peserta didik, tempat kerja, pemimpin, dan pekerjaan.Sebagai jabatan yang harus dapat menjawab tantangan perkembangan masyarakat, jabatan guru harus selalu dikembangkan dan dimutakhirkan.Dalam bersikap guru harus selalu mengadakan pembaruan sesuai dengan tuntutan tugasnya.

Guru sebagai suatu profesi yang sudah diatur dalam Undang-undang perlu ditingkatkan kompetensinya. Profesi guru harus selalu dibina dan dikembangkan melalui organisasi profesi.Selain adanya lembaga pendidikan guru yang menghasilkan tenaga kependidikan, perlu juga dikembangkan suatu organisasi yang lebih spesifik yang dapat membantu guru untuk meningkatkan kemampuan


(12)

dan kompetensinya, dan organisasi yang dimaksud adalah Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk guru jenjang Sekolah Dasar atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk guru jenjang Sekolah Menengah Pertama/ Atas.

Kelompok Kerja Guru (KKG) merupakan suatu forum atau wadah professional guru yang berada pada suatu wilayah sanggar/gugus sekolah.Ruang lingkupnya meliputi guru dari satu sekolah dan beberapa sekolah lainnya baik itu sekolah Negeri maupun swasta, baik yang berstatus PNS maupun non PNS.Prinsip kerjanya adalah cerminan kegiatan “dari, oleh dan untuk guru” dari semua sekolah. Atasa dasar ini, maka KKG merupakan organisasi non struktural yang bersifat mandiri, berasaskan kekeluargaan, dan tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga lain.

Kegiatan yang diselenggarakan oleh KKG adalah wadah untuk memotivasi guru guna meningkatkan kemampuan dan keterampilannya dalam merencanakan, melaksanakan, membuat evaluasi programpembelajaran, dan pengelolaan pembelajaran yang terkait dengan bagaimana memahami karakteristik peserta didik di sekolah masing-masing dalam rangka meningkatkan keyakinan diri sebagai guru professional, meningkatkan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan; untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing, kondisi sekolah, dan lingkungannya; membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan


(13)

kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan kurikulum, metodologi, dan system pengujian sesuai dengan mata pelajaran bersangkutan; saling berbagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, symposium, seminar, diklat atau workshop dan lain-lain sehingga proses pada reorientasi pembelajaran lebih efektif.

Lebih lanjut dalam buku Depdikbud, (1998:23) diuraikan beberapa fungsi yang diemban KKG/MGMP sehubungan dengan tujuan dan peran di atas, yaitu :

1. Menyusun program jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek serta mengatur jadwal dan tempat kegiatan secara rutin; 2. Memotivasi para guru untuk mengikuti kegiatan KKG secara rutin,

baik tingkat sekolah, wilayah, maupun kota;

3. Meningkatkan mutu kompetensi profesionalisme guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian/evaluasi pembelajaran di kelas, sehingga mampu mengupayakan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di sekolah;

4. Mengembangkan program layanan supervisi akademis klinis yang berkaitan dengan pembelajaran efektif;

5. Mengembangkan silabus dan melakukan Analisis Materi Pelajaran (AMP), Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), Satuan Pelajaran (Satpel), dan Rencana Pembelajaran (Renpel); 6. Mengupayakan lokakarya, symposium dan sejenisnya atas dasar

inovasi menejemen kelas, menejemen pembelajaran efektif (seperti : PAKEM-Pendekatan Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan,

joyful and quantum learning, hasil classroom action research, hasil studi komparasi atau berbagai studi informasi dari berbagai narasumber, dan lain-lain;

7. Merumuskan model pembelajaran yang variatif dan alat-alat peraga praktik pembelajaran program life skill, baik Broad Based Education (BBE) maupun High Based Education (HBE);

8. Berpartisipasi aktif dalam kegiatan KKG Provinsi dan Nasional serta berkolaborasi dengan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan sejenisnya secara kooperatif;

9. Melaporkan hasil kegiatan KKG secara rutin setiap semester kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.


(14)

Dari paparan tersebut, memberdayakan KKG adalah sebuah keharusan termasuk didalamnya guru penjasorkes, mengingat ada berbagai penyebab yang dapat menghambat dalam mewujudkan kemampuan dan kinerja guru penjasorkes. Mengenai penyebab mengapa guru penjasorkes kurang atau tidak mau meningkatkan kompetensinya, Ali (1988:27) mengemukakan sebagai berikut :

1. Kurangnya daya inovasi guru,

2. Lemahnya motivasi untuk meningkatkan kemampuan, 3. Ketidak peduliannya terhadap perkembangan,

4. Kurangnya sarana dan prasarana pendukung.

Berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan kompetesi guru dalam pembelajaran telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun swasta.Kegiatan tersebut ada yang dikemas dalam bentuk seminar, workshop, forum ilmiah, lomba kreativitas guru, lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran dan berbagai macam diklat, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di sekitar guru itu sendiri.

Dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan professional guru, terutama dalam hal pengembangan kurikulum dan pembelajaran, pemerintah mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal dengan Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah (KKG) dan menggunakan prinsip whole school development yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan sehingga pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah (E.Mulyasa, 2005:24).


(15)

Upaya pembentukan guru profesional dapat dilakukan melalui program in-service education yaitu dengan cara mengembangkan pengetahuannya melalui pendidikan tertentu yang memberikan efek terhadap performasi guru. Upaya lain, yang dapat dilakukan dengan melalui in service training berupa pelatihan, penataran, diskusi, seminar. Selain kegiatan tersebut dapat dilakukan kegiatan berupa pertemuan berkala dan rutin di antara para guru sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru dalam menemukan alternatif pemecahan masalah sesuai dengan pengalamannya masing-masing. Kegiatan yang terakhir tersebut dapat dilakukan di KKG yang dibentuk ditingkat gugus atau kecamatan.

Pemerintah melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) selalu melakukan usaha peningkatan mutu guru melalui pendidikan dan pelatihan dan tidak sedikit dana (berupa block grant) yang dialokasikan untuk pelatihan guru. Sayangnya usaha dari pemerintah ini hanya sedikit memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan mutu guru (Nita, 2007:118, dan Tisnuliyah,2006: 48). Dengan demikian perlu kiranya dikaji lebih dalam dan dilakukan penelitian lebih lanjut model pelatihan untuk KKG seperti apa yang lebih efektif dan efisien dalam rangka peningkatan kompetensi guru SD terutama guru penjasorkes.

Dengan memperhatikan data pada Tabel 1 berikut, diketahui bahwa prosentase terbesar jumlah guru di Provinsi Banten, yaitu sebesar 57 % adalah guru Sekolah Dasar (SD). Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan terutama melalui penyelenggaraan diklat yang bermutu dan tepat sasaran, perlu kiranya dikaji tentang model-model diklat atau training tersebut yang dapat meningkatkan kompetensi guru secara efektif dan efisien bagi guru


(16)

terutama guru SD. Sehingga keinginan masyarakat dan pemerintah adanya peningkatan kompetensi guru yang berimbas pada peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan dapat terwujud.

Tabel 1.1

Rekapitulasi Data Guru Per-Jenjang se-Provinsi Banten Tahun 2009

NO Jenjang Jumlah Guru Prosentase

1 TK 3.332 7 %

2 SD 7.368 57 %

3 SMP 10.598 22 %

4 SMA 3.957 8 %

5 SMK 3.003 6 %

6 SLB 59 0 %

Jumlah 48.317 100 % Sumber: Seksi Data dan Informasi LPMP Provinsi Banten Tahun 2009 Hasil monitoring dan evaluasi program pemberian bantun block grant

kepada KKG di Provinsi Banten tahun 2009, ada dua hal yang menyebabkan diklat (pendidikan dan pelatihan) guru belum berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Pertama, pelatihan tidak berbasis pada permasalahan nyata di dalam kelas atau lapangan, materi diklat yang sama disampaikan kepada semua guru tanpa mengenal karakteristik dari mana guru tersebut berasal. Dengan kata lain, bahwa pelaksanaan diklat itu belum disesuaikan dengan kebutuhan (training need


(17)

analyzes). Padahal kondisi sekolah di suatu daerah belum tentu sama dengan sekolah di daerah lain. Kadang-kadang pelatih atau instruktur menggunakan sumber dari literatur asing tanpa melakukan ujicoba terlebih dahulu untuk kondisi di Indonesia. Kedua, hasil diklat hanya menjadi pengetahuan saja, tidak diterapkan pada pembelajaran di kelas atau kalaupun diterapkan hanya sekali, dua kali dan selanjutnya kembali seperti dulu lagi. Selanjutnya tidak ada kegiatan monitoring pasca pelatihan, apalagi kalau kepala sekolah tidak pernah menanyakan hasil diklat. Selain itu, kepala sekolah tidak memfasilitasi forum sharing pengalaman diantara guru-guru. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut juga menunjukkan bahwa sosialisasi dan diseminasi program-program atau materi-materi yang diberikan dalam pelatihan masih sangat kurang. Peter Saylor menyebutkan bahwa sebaik apapun konsep atau kebijakan dalam berbagai bidang yang diluncurkan, tidak akan berhasil dengan baik apabila kebijakan atau konsep dimaksud tidak dapat dipahami secara benar oleh masyarakat terutama oleh pihak-pihak yang mempunyai tugas pokok dan fungsi terkait langsung dengan kebijakan dimaksud.

Salah satu upaya diseminasi melalui pendekatan gugus ini dilakukan melalui Program Pendampingan Kelompok Kerja Guru (KKG).Program Pendampingan KKG sebagai salah satu bentuk kegiatan pemberian bantuan teknis kepada para tenaga pendidik dalam implementasi kurikulum. Kegiatannya dilakukan melalui kegiatan pelatihan berbentuk Lesson Study maupun workshop penyusunan dokumen kurikulum, implementasi dalam proses pembelajaran,


(18)

hingga pengembangan perangkat penilaian. Pola kegiatan dapat dikembangkan sesuai kebutuhan para guru di lapangan.

Lesson Study yang muncul sebagai salah satu alternatif guna mengatasi masalah kompetensi guru , salah satunya adalah praktik pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif. Seperti dimaklumi, bahwa sudah sejak lama praktik pembelajaran di Indonesia pada umumnya cenderung dilakukan secara konvensional yaitu melalui teknik komunikasi oral. Praktik pembelajaran konvesional semacam ini lebih cenderung menekankan pada bagaimana guru mengajar (teacher-centered) dari pada bagaimana siswa belajar ( student-centered), dan secara keseluruhan hasilnya dapat kita maklumi yang ternyata tidak banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. Untuk merubah kebiasaan praktik pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang berpusat kepada siswa memang tidak mudah, terutama di kalangan guru yang tergolong pada kelompok penolak perubahan/inovasi.Dalam hal ini, Lesson Study tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternative guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran di Indonesia menuju ke arah yang jauh lebih efektif.

Lesson Study mampu menjawab permasalahan tersebut.Lesson Study

adalah model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.Lesson Study merupakan suatu penelitian tentang proses pembelajaran di kelas nyata yang dilakukan sekelompok


(19)

guru dalam rangka meningkatkan keprofesionalan guru. Adapun inti dari kegiatan

Lesson Study adalah open class untuk diamati oleh guru yang lain atau stakeholder pendidikan lainnya. Hal ini dilakukan bukan untuk memamerkan pembelajaran yang sempurna akan tetapi lebih dimaksudkan untuk mencermati dan kemudian menganalisis kegiatan belajar siswa, yang pada akhirnya dapat memberikan pengalaman berharga bagi semua pihak khususnya tenaga pendidik. Adapun tahapan kegiatan Lesson Study meliputi kegiatan perencanaan (plan),

implementasi atau pelaksanaan (do), dan refleksi pembelajaran (see).

Lesson Study banyak mendapat perhatian oleh kalangan guru dan praktisi pendidikan karena memiliki nilai strategis dalam mengembangkan profesionalisme guru. Menurut Cerbin & Kopp (dalam Sudrajat, 2008), Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu:

1. Memperoleh pengalaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar

dan guru mengajar;

2. Memperoleh hasil-hasil tertentu yang dimanfaatkan oleh para guru lainnya,

di luar peserta Lesson Study;

3. Meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inquiri kolaboratif;

4. Membangun sebuah pengetahuan pedogogis, dimana seorang guru dapat


(20)

Berdasarkan hasil observasi beberapa sekolah di Jepang, Lewis (dalam Sudrajat, 2008) menyimpulkan tentang ciri-ciri pokok dari Lesson Study sebagai berikut: (1) Tujuan bersama untuk jangka panjang, yaitu dalam Lesson Study perlu ada kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin dicapai dalam jangka panjang dengan cakupan yang lebih luas; (2) Materi pelajaran yang penting, yaitu kajian dari kegiatan Lesson Study adalah terfokus pada mata pelajaran yang dianggap penting atau titik lemah atau yang dianggap sulit dalam pembelajaran siswa; (3) Studi tentang siswa secara cermat, yaitu Lesson Study

berfokus pada pengembangan dan pembelajaran siswa. Dengan demikian, perhatian yang paling utama adalah tertuju pada kegiatan siswa: bagiamana interaksi siswa, kapan siswa mulai lelah, kapan mulai bergairah lagi, bagaimana siswa berinteraksi dengan siswa lain, dengan materi pelajaran, dll.; (4) Observasi pembelajaran secara langsung, yaitu kegiatan observasi merupakan jantungnya

Lesson Study. Guru mengamati model secara langsung dalam pembelajaran untuk memperoleh data yang akurat, lebih utuh dan lebih mendetail. Penggunaan videotape hanya sebagai pelengkap bukan sebagai pengganti.

Sebagaimana disebutkan di atas, dalam perkembangannya, Lesson Study

dilaksanakan dalam berbagai bentuk dan cara. Dalam referensi ditemukan tahapan-tahapan Lesson Study yang berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Menurut Deming (dalam Wikipedia, 2007), Lesson Study dilaksanakan dalam 4 tahapan yaitu Plan - Do - Check - Act (PDCA). Kegiatan diawali dengan PLAN, yaitu penetapan tujuan dan cara penyampaian untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dilanjutkan DO, yaitu pengimplementasian rencana di kelas, CHECK,


(21)

yaitu menilai kegiatan pembelajaran dan membandingkan antara tujuan yang ditetapkan dengan pelasakanaan, dan ACT, yaitu menganalisis perbedaan-perbedaan antara pelaksanaan dan tujuan untuk menentukan sumber-sumber permasalahan. Dalam perkembangannya, Deming mengganti kata CHECK menjadi STUDY, sehingga tahapannya PDSA.

Beberapa tahun terakhir, tepatnya diawali tahun 2007 Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Banten melaksanakan program pendampingan KKG dikembangkan melalui Lesson Study.Para guru membahas permasalahan kurikulum dan pembelajaran dan dipecahkan bersama melalui kegiatan Lesson Study.Namun, karena belum adanya evaluasi pelaksanaan program pendampingan KKG dengan pola lesson study, serta untuk mengetahui pentingnya KKG dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru penjasorkes, penulis merasa tertarik untuk meneliti sejauh mana program pendampingan KKG pola lesson study tersebut dapat mengembangkan kompetensi pedagogik yang terkait dengan indikator kemampuan merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengelola pembelajaran dan membandingkannya dengan yang melaksanakan program pendampingan KKG tanpa lesson study.


(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang dimaksud di latar belakang, seorang guru dituntut memiliki empat kompetensi yaitu, kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional. Kompetensi pedagogik merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki, karena tanpa menguasai pedagogik bagaimana ia bisa melakukan proses pembelajaran dengan benar. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu KKG penjasorkes sebagai organisasi profesi melalui programnya, berupaya untuk meningkatkan kompetensi guru penjasorkes.Banyak faktor yang mempengaruhi kompetensi guru, diantaranya tingkat pendidikan yang dimiliki, pengalaman mengajar, kesempatan untuk meningkatkan kompetensi melalui pendidikan dan latihan atau penataran yang sejenis. Dari latar belakang masalah yang telah diungkapkan, maka permasalahan dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut :

1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh pre–post test pendampingan KKG dengan pola lesson study terhadap peningkatan kompetensi pedagogis guru penjasorkes ?

2. Apakahterdapat perbedaan pengaruh pre–post test pendampingan KKG tanpa pola lesson study terhadap peningkatan kompetensi pedagogis guru penjasorkes ?


(23)

3. Apakah terdapat perbedaaan pengaruh pre-post test antara pendampingan KKG dengan pola lesson study dan tanpa lesson study terhadap peningkatan kompetensi pedagogis guru pejasorkes ?

C. Tujuan Penelitian

Rumusan masalah kemudian diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahuipengaruh pendampingan KKG dengan pola Lesson Studyterhadap kompetensi pedagogis guru penjasorkes

2. Untuk mengetahui pengaruh pendampingan KKG tanpa pola Lesson Study terhadap kompetensi pedagogis guru penjasorkes

3. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan pengaruh pendampingan KKG Pola Lesson Study dan tanpa Lesson Study terhadap kompetensi pedagogis guru penjasorkes

D. Asumsi Penelitian

Asumsi merupakan ide atau teori dari pemikiran penulis ataupun orang lain. Menurut Ridwan (2008:30) mengemukakan bahwa :

Fungsi asumsi dalam sebuah tesis merupakan titik pangkal penelitian dalam rangka penulisan tesis.Asumsi dapat berupa teori, evidensi-evidensi

dan dapat pula pemikiran peneliti sendiri.Apapun materinya asumsi tersebut harus sudah merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan atau dibuktikan lagi kebenarannya.

Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan, tergambar demikian pentingnya kegiatan KKG yang sesuai dengan kebutuhan guru yang secara efektif dapat meningkatkan kemampuan atau kompetensinya dalam menunjang tugasnya


(24)

sebagai seorang pendidik. Untuk menunjang kinerjanya sebagai pendidik, maka diperlukan beberapa kompetensi sesuai yang diamanatkan dan dijelaskan di Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, bahwa kompetensi adalah sebagai “… seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”.

Kompetensi dapat pula dipahami sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Arti lain dari kompetensi adalah spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai denag standar kinerja yang dibutuhkan di lapangan. Dengan demikian kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan maupun sikap professional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.

Lebih lanjut dalam buku DepdikNas ((2004:4) mengatakan bahwa :

“Standar kompetensi guru adalah suatu pernyataan tentang kriteria yang dipersyaratkan, ditetapkan dan disepakati bersama dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap bagi seorang tenaga kependidikan sehingga layak disebut kompeten”.

Standar kompetensi yang harus dikuasai guru adalah sebagai jaminan dikuasainya tingkat kompetensi minimal oleh guru sehingga yang bersangkutan dapat melakukan tugasnya secara professional, dapat dibina secara efektif dan


(25)

efisien serta dapat melayani pihak yang berkepentingan terhadap proses pembelajaran, dengan sebaik-baiknya sesuai dengan bidang tugasnya.

Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005 pasal 7 yang mengamanatkan pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagaman, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Selain itu menurut pasal 20, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Sementara begitu pentingnya peningkatan kompetensi bagi guru, ada beberapa cara meningkatkan kompetensi guru yaitu melalui pendidikan prajabatan (pre-service-education) dan pendidikan dalam jabatan (in-service-training). Pentingnya pendidikan dalam jabatan bagi guru sehingga mereka bisa mengajarkan hal-hal baru bagi peserta didiknya, dan sekolah mampu menghadapi setiap perubahan dengan penuh percaya diri.Dalam meningkatkan kompetensinya guru dapat memanfaatkan organisasi yang relevan sebagai wadah penyelenggaraan pendidikan dan latihan yang dibentuk untuk kepentingan dan mewujudkan tujuan yang ditetapkan bersama-sama. Seperti yang dikemukakan oleh Thoha (2001:102), bahwa ”organisasi juga dipandang sebagai sebuah wadah tak berwujud yang di dalamnya terdiri dari sekelompok orang yang dengan sadar dan terikat dengan norma tertentu, bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama”.


(26)

Organisasi guru penjasorkes yang memungkinkan untuk meningkatkan kompetensi sebagai guru seperti yang diamanatkan Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah Kelompok Kerja Guru (KKG).

Dalam buku Depdikbud (1998:3) disebutkan, bahwa :

Tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan mengembangkan karir, kemampuan, kewenangan professional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara optimal.

Agar program KKG penjasorkes dapat berjalan sesuai dengan harapan, perencanaan yang dibuat harus disusun sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Perencanaan program harus disesuaikan dengan kebutuhan guru penjasorkes di lapangan.Kemudian semua program KKG seyogyanya harus mengacu kepada kompetensi yang harus dimiliki guru penjasorkes.

Dampak yang diharapkan dari pelaksanan program KKG dapat terwujud apabila proses pelaksanaan program dirancang sesuai dengan tujuan. Pelaksanaan program yang dianggap berhasil adalah apabila program tersebut dapat meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru penjasorkes.Peningkatan kompetensi tersebut dapat tercermin dari perubahan pengetahuan kearah yang lebih baik, sikap dan perilaku yang lebih baik, serta kinerja yang ditunjukkan dengan prestasi yang lebih baik pula. Oleh karena itu program yang dibuat oleh KKG penjasorkes harus mendukung proses pencapaian tujuan KKG melalui guru penjasorkes yang dilibatkan dalam melaksanakan semua program yang telah dibuat dan di sepakati bersama.


(27)

E. Hipotesis

Berdasarkan kajian teoritik mengenai keterkaitan pendampingan KKG pola Lesson Study dengan kompetensi pedagogis, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Terdapat perbedaan hasil pre-post test kompetensi pedagogis guru penjasorkes yang melakukan pendampingan KKG dengan pola Lesson Study.

2. Terdapat perbedaan hasil pre-post test kompetensi pedagogis guru penjaorkes yang melakukan pendampingan KKG tanpa pola lesson study

3. Terdapat perbedaan hasil pre-post testkompetensi pedagogis antara guru yang mengikuti pendampingan KKG pola Lesson Study dengan guru yang mengikuti pendampingan KKG tanpa Lesson Study

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. McMillan dan Schumacher (2001;50) menjelaskan bahwa penelitian eksperimen merupakan “research in wich independent variable is manipulated to investigate cause and effect relationship between the independent and dependent variable”.Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari “sesuatu” yang dikenakan pada subjek selidik (Arikunto, 2005:207).Untuk melaksanakan eksperimen secara murni maka variabel yang mungkin berpengaruh dan mempengaruhi variabel bebas harus dapat dikontrol dengan ketat.Pengontrolan yang ketat hanya mungkin dilakukan dalam eksperimen di laboratorium. Mengingat penellitian ini bukan dalam kondisi


(28)

laboratorium tapi dalam kegiatan sehari-hari sehingga tidak mungkin untuk mengontrol semua variabel yang dapat mempengaruhi variabel bebas dan terikat secara ketat, maka bentuk penelitian ini adalah eksperimen semu (Quasi Eksperimen). McMillan dan Schumacher (2001 :402) menegaskan bahwa penelitian Quasi Eksperimen adalah ”a type of experiment wich research participants are not randomly assigned to the experimental and control group”. Individu tidak secara acak mempunyai peluang yang sama baik dalam kelompok eksperimen maupun dalam kelompok kontrolnya.

G. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah KKG yang berada di wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten

2. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah melibatkan semua anggota KKG penjasorkes di Kabupaten Lebak terutama di wilayah Kecamatan Cipanas dan Kecamatan Sajira, kedua KKG ini merupakan dua dari beberapa KKG yang mendapatkan bantuan Block Grant dari LPMP Provinsi Banten. Kelompok Kerja Guru Cipanas sebagai kelompok eksperimen dan Kelompok Kerja Guru Sajira sebagai kelompok kontrol. Kedua KKG tersebut terpilih karena memiliki anggota dengan latar belakang dan prestasi yang serupa, yaitu hampir semua guru penjasorkesnya adalah yang berlatar belakang guru kelas/agama.Selain itu hasil monitoring yang dilakukan oleh LPMP Banten, kedua KKG tersebut termasuk KKG yang


(29)

melakukan kegiatan dengan partisipasi anggota yang tinggi dan rutin dalam melaksanakan kegiatannya.

Menurut Prof. DR. H. Rusli Lutan : (2001:53) menyatakan bahwa :

“populasi itu adalah sekelompok subjek yang diperlukan oleh peneliti, yaitu kelompok dimana peneliti ingin menggeneralisasikan temuan penelitiannya.”

Karakteristik populasi yang masing-masing terdiri dari 20 guru sangat memungkinkan dilakukan sampling dengan teknik sampling jenuh.Menurut Sugiyono (2008 : 85) ”Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua populasi digunakan sebagai sampel.

Menurut Prof. DR. H. Rusli Lutan : (2001:51) menyatakan bahwa :

“sampel adalah kelompok yang digunakan dalam penelitian dimana data atau informasi itu diperoleh.”

Adapun pemilihan KKG penjasorkes Cipanas sebagai subjek penelitian didasari oleh beberapa pertimbangan. Seperti yang sudah disebutkan diatas, hampir semua guru penjasorkes di Cipanas berlatar belakang bukan dari pendidikan penjasorkes, melainkan dari guru kelas/ agama (LPMP, 2007:8). Dengan demikian guru tersebut perlu dibekali dengan berbagai kompetensi dan pengalaman yang berkaitan dengan pembelajaran penjasorkes.Kedua: guru penjasorkes di Cipanas tersebut selalu berusaha melakukan pertemuan rutin untuk meningkatkan kompetensinya.


(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian berdasarkan jenis data yang digunakan, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Pendekatan penelitian kuantitatif menampilkan hasil statistik yang disajikan dengan angka (McMillan and Schumacher, 2001 : 22). Pendekatan penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sample tertentu, teknik pengambilan sample pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat statistic dengan tujuan untuk menguji hipoptesis (Sugiyono,2007:14). Dalam hal ini hipotesis yang akan diuji adalah peningkatan kompetensi pedagogis guru penjasorkes sebagai dampak dari keikutsertaanya dalam program pendampingan KKG dengan pola lesson study di gugus Cipanas Kabupaten Lebak.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. McMillan dan Schumacher (2001 ; 50) menjelaskan bahwa penelitian eksperimen merupakan “research in wich independent variable is manipulated to investigate cause and effect relationship between the independent and dependent variable”.

Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari “sesuatu” yang dikenakan pada subjek selidik (Arikunto, 2005 : 207).


(31)

Untuk melaksanakan eksperimen secara murni maka variabel yang mungkin berpengaruh dan mempengaruhi variabel bebas harus dapat dikontrol dengan ketat.Pengontrolan yang ketat hanya mungkin dilakukan dalam eksperimen di laboratorium. Mengingat penellitian ini bukan dalam kondisi laboratorium tapi dalam kegiatan sehari-hari sehingga tidak mungkin untuk mengontrol semua variabel yang dapat mempengaruhi variabel bebas dan terikat secara ketat, maka bentuk penelitian ini adalah eksperimen semu (Quasi Eksperimen). McMillan dan Schumacher (2001 :402) menegaskan bahwa penelitian Quasi Eksperimen adalah ”a type of experiment wich research participants are not randomly assigned to the experimental and control group”.

Individu tidak secara acak mempunyai peluang yang sama baik dalam kelompok eksperimen maupun dalam kelompok kontrolnya.

A. Desain Penelitian

Jenis desain dalam penelitian ini berbentuk desain Nonequivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design. Menurut Creswell (1994 : 132),

Nonequivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design adalah :

“In this design, a popular approach to quasi experiments, the experimental group A and the control group B are selected without random assignment. Both group take a pretest and posttest, and only the experimental group received the treatment”.

Berdasarkan pendapat Cresswell, Noneqivalent (Pretest dan Posttest) Control Group Design merupakan pendekatan yang paling populer dalam quasi eksperimen, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dipilih bukan dengan


(32)

cara random. Kedua kelompok diberi pre test dan post test dan hanya kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan pendampingan dengan pola lesson study, sedangkan kelompok control tanpa lesson study dalam pendampingannya tetapi melakukan workshop biasa yaitu peserta menerima materi dari narasumber dan dilanjutkan dengan kerja kelompok.

Pendapat Crosswell diperkuat oleh Mc Millan.McMillan and Schumacher (2001 : 456) mengemukakan bahwa :

“The most commonly used quasi-experimental design in educational research is the nonequivalent control groups design. In this design, research participants are not randomly assigned to experimental and control groups, and both groups take a pretest and posttest. Except for random assignment, the steps involved in this design are the same as for the pretest-posttest experimental control group design”.

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa desain quasi eksperimen yang paling banyak digunakan dalam penelitian pendidikan adalah noneqivalent control group design. Dalam desain ini, partisipan penelitian baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random. Diluar dari pemilihan partisipan atau responden, langkah-langkah dalam desain ini sama dengan pretest-posttest experimental control group design.


(33)

Desain quasi eksperimen dapat digambarkan sebagai berikut : Tabel 2.1

Desain Quasi Eksperimen

KELOMPOK PRE-TEST PERLAKUAN POST-TEST

Eksperimen O1 X O2

Kontrol O1 X O2

Diadopsi dari : McMillan & Schumacher (2001), Fraenkel & Walen (1993)

Keterangan :

O1 = Tes awal pada kelomppok eksperimen dan kelompok kontrol O2= Tes akhir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

X = Perlakuan dengan menggunakan Pendampingan KKG dengan pola

Lesson Study dan tanpa Lesson Study

Mengacu pada desain diatas, penelitian ini melibatkan dua kelompok, yakni kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok tersebut sama-sama diberikan pretest maupun posttest, tetapi diberi perlakuan berbeda. kelompok eksperimen diberi perlakuan dengan pendampingan KKG pola Lesson Study dan kelompok kontrol diberi perlakuan dengan pendampingan KKG tanpa Pola Lesson Study

B.Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti. Lebih lanjut Sugiyono (2008:61) mengemukakan, bahwa “populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari


(34)

dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Populasi. Menurut Lutan : (2001:53) menyatakan bahwa :

“populasi itu adalah sekelompok subjek yang diperlukan oleh peneliti, yaitu kelompok dimana peneliti ingin menggeneralisasikan temuan penelitiannya.”

Dalam penelitian ini populasinya adalah guru penjasorkes SD di Kabupaten Lebak yang berjumlah 323 orang.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti dan diambil datanya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Arikunto (1998:117), bahwa, “sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian ini adalah semua guru penjasorkes yang mengikuti program pendampingan KKG dengan pola lesson study di Kabupaten Lebak dan pembandingnya yaitu guru penjasorkes yang mengikuti pendampingan KKG tanpa lesson study yang diambil dengan purposive sampling. Riduwan (2008:61) menjelaskan, bahwa “purposive sampling, yaitu cara pengambilan sampel yang tidak memberikan kesempatan (peluang) pada setiap anggota populasi untuk dijadikan anggota sampel”. Menurut Lutan (2001:51) menyatakan bahwa :

“sampel adalah kelompok yang digunakan dalam penelitian dimana data atau informasi itu diperoleh.”


(35)

Sampel yang dipergunakan pada penelitian ini berjumlah 40 orang guru penjasorkes yang terdiri dari 20 orang guru penjasorkes yang mengikuti program pendampingan KKG dengan pola lesson study dan 20 orang guru penjasorkes lainnya yang mengikuti program pendampingan KKG tanpa lesson study di Kabupaten Lebak. Dengan pertimbangan tertentu diupayakan kedua kelompok sampel memiliki karakteristik yang relatif homogen dari segi usia, status kepegawaian, lama mengajar, pendidikan, komposisi jumlah laki-laki dan perempuan.

C.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat, wilayah atau lokasi peneliti melakukan penelitian. Tempat penelitian ini adalah sejumlah KKG yang berada di wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten

D.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah gejala yang bervariasi dan menjadi obyek penelitian (Arikunto, 2006:106). Variabel dalam penelitian ini adalah melibatkan 2 (dua) variabel yaitu variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent). Pendampingan KKG dengan Pola Lesson Study (X1), Pendampingan KKG tanpa pola lesson study (X2)merupakan variabel bebas sedangkan variabel terikatnya adalah Kompetensi pedagogis guru penjasorkes (Y)


(36)

Untuk memudahkan operasionalisasi variabel dalam penelitian ini, maka hubungan antar variabel digambarkan, seperti berikut ini :

Gambar 2.1

Hubungan Antar Variabel Keterangan :

X1 = Pendampingan KKG dengan pola Lesson Study X1 = Pendampingan KKG tanpa pola Lesson Study Y= Kompetensi pedagogis guru penjasorkes

2. Definisi Operasional

Definisi operasional pada penelitian ini adalah :

a. Kelompok Kerja Guru (KKG) merupakan wadah kegiatan profesional bagi guru SD/MI dan SDLB di tingkat gugus atau kecamatan yang terdiri dari sejumlah guru darisejumlah sekolah. Sesuai PermennegPan No 16 tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan Angka Kreditnya guru diwajibkan melaksanakan kegiatan Pengembangan Keprofesian berkelanjutan (PKB) untuk dapat naik pangkat ke jenjang berikutnya. Wadah yang paling dekat dengan guru dan dari guru untuk guru untuk pelaksanaan PKB adalah KKG.

b. Kegiatan pendampingan KKG merupakan kegiatan saling membelajarkan, karena fokus pendampingan adalah membantu meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola KBM. Kemampuan mengelola KBM tersebut merupakan bagian dari kompetensi yang harus dimiliki guru ketika mengajar di kelas.

Y

X1


(37)

Guru sebagai pengajar berperan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Oleh sebab itu guru dituntut untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan keterampilan mengajar. Guru sebagai pembimbing diharapkan dapat memberikan bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Peranan ini termasuk ke dalam aspek pendidik sebab tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan juga mendidik untuk mengalihkan nilai-nilai kehidupan.Hal tersebut menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah sikap yang mengubah tingkah laku peserta menjadi lebih baik. Guru sebagai administrator kelas berperan dalam pengelolaan proses belajar mengajar di kelas.

c. Lesson Study adalah sebuah Model Pendidikan dan Pelatihan (in service-training) yang lebih berfokus pada upaya pemberdayaan guru sesuai kapasitas serta permasalahan yang dihadapi masing-masing. Model tersebut adalah

Lesson Study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Dengan demikian, Lesson Study bukan metoda atau strategi pembelajaran tetapi kegiatan Lesson Study dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru. Lesson Study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu Plan

(merencanakan), Do (melaksanakan), dan See (merefleksi) yang berkelanjutan. Dengan kata lain Lesson Study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang tak pernah berakhir (continous improvement).


(38)

d.Kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukkan atau memutuskan sesuatu hal”.Kompetensi tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam melaksanakan atau menyelesaikan pekerjaan. Kompetensi Guru menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat (1), bahwa kompetensi guru meliputi Kompetensi Pedagogis, kompetensi Kepribadian, kompetensi Sosial, dan kompetensi Profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

e. Kompetensi Pedagogis menurut Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan Kompetensi Pedagogis adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”.Tepatnya pada penjelasan Pasal 28 ayat (3), dikemukakan bahwa Kompetensi Pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

E. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa tes uji kompetensi pedagogis guru yang mengukur aspek Kemampuan Mengelola Pembelajaran Peserta Didik. Kemudian dari aspek tersebut, penulis mencoba sejauh mana kemampuan guru dalam merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran. Arikunto (1996:91) menjelaskan, bahwa, “instrumen tes adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam


(39)

mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya akan lebih baik, dalam arti cepat, lengkap, sistematis sehingga akan lebih mudah untuk diolah”.

Tabel 3.1

Kisi-kisi Instrumen Pengukuran Kompetensi Pedagogis

Variabel Aspek Sub Aspek Indikator

Nomor Soal Kompetensi Pedagogis Kemampuan Mengelola Pembelajaran Peserta Didik Merencanakan Pembelajaran

- Menyusun RPP sendiri - Memahami

kompetensi dasar

- Pertimbangan dalam

membuat RPP Melaksanakan

Pembelajaran

- Menguasai pendekatan dan strategi

pembelajaran - Menguasai

prinsip dan proses belajar mengajar yang efektif

Mengevaluasi Pembelajaran

- Membimbing anak bila menghadapi persoalan dalam

pembelajaran - Menilai

kemajuan belajar peserta didik secara total


(40)

F. Langkah-langkah Penelitian 1. Tahap Persiapan

a. Menyiapkan Ijin Penelitian

Perijinan untuk melakukan penelitian diawali dengan ijin penelitian kepada Sekolah Pasca Sarjana (SPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Cipanas dan Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak.

b. Membuat kisi-kisi instrumen dan uji coba instrumen penelitian

Kisi-kisi uji coba instrumen dibuat berdasarkan komponen kompetensi guru yang akan diteliti yaitu kompetensi pedagogis. Instrumen penelitian dibuat sebanyak 30 item pertanyaan

2. Tahap Pelaksanaan Uji Coba a. Menyebarkan Angket Uji Coba

Penyebaran instrumen uji coba kepada responden ini berjumlah 20 orang guru penjasorkes yang tergabung dalam KKG di Kecamatan Rangkasbitung dan Kecamatan Cibadak.

b. Analisis instrumen uji coba

setelah instrumen diisi oleh responden dalam uji coba, selanjutnya instrumen tersebut dianalisis untuk diketahui tingkat validitas dan reliabilitasnya.

c. Pemantapan Instrumen

berdasarkan hasil análisis terhadap instrumen tersebut, ítem-item yang valid ditetapkan menjadi instrumen yang akan dipergunakan sebagai pengumpul data pada penelitian.


(41)

3. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Menyebarkan instrumen kepada sampel

Penyebaran instrumen kepada guru penjasorkes yang mengikuti pendampingan KKG dengan pola lesson study dan yang mengikuti pendampingan KKG tanpa lesson study sebanyak 40 orang

b. Mengumpulkan instrumen penelitian

Setelah instrumen terkumpul dari semua sampel, maka selanjutnya dilakukan análisis data.

4. Tahap Akhir Penelitian a. Menganalisis Data

Dari hasil instrumen yang terkumpul yang telah diisi oleh kedua kelompok sampel, selanjutnya dilakukan análisis dengan menggunakan SPSS 12.0 untuk mengetahui gambaran masing-masing kompetensi dari kedua sampel tersebut. Setelah diketahui gambaran dari masing-masing kompetensi kedua kelompok sampel, selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui adanya perbedaan kompetensi pedagogis antara guru penjasorkes yang mengikuti program pendampingan KKG dengan pola lesson study dan yang mengikuti program pendampingan KKG tanpa lesson study di Kabupaten Lebak.

Analisis selanjutnya adalah uji normalitas data dan uji homogenitas. Uji normalitas untuk mengetahui normal tidaknya data yang diteliti, sedangkan uji homogenitas untuk mengetahui homogen dan tidaknya data penelitian.


(42)

b. Pengujian Hipotesis dan Menarik Kesimpulan

Uji hipótesis penelitian tentang perbedaan guru-guru penjasorkes SD di Kabupaten Lebak yang mengikuti program pendampingan KKG dengan pola

lesson study dan yang mengikuti program pendampingan KKG tanpa lesson study dalam hal kompetensi pedagogis, dilakukan dengan uji-t jika data masing-masing kelompok berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen. G.Alur Penelitian

Alur penelitian adalah gambaran serangkaian penelitian dalam pengumpulan data penelitian mulai dari penentuan populasi, kemudian sampel yang diambil dari masing-masing sampel yang akan di uji, yaitu kompetensi pedagogis, untuk kemudian dianalisis, hasil análisis inilah yang menjadi kesimpulan dari penelitian. gambar 3 (alur penelitian)

Penentuan Subjek Penelitian

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Pre-Test

Treatment Pendampingan

KKG dengan lesson study

Pendampingan KKG tanpa lesson study

Post-Test

Analisis Data


(43)

H. Prosedur dan Teknik Pengolahan Data 1. Prosedur penelitian

Penelitian ini mengkaji sejauh mana efektivitas pendampingan KKG pola Lesson Study terhadap peningkatan kompetensi pedagogis guru penjasorkes Sesuai dengan desain eksperimen yang digunakan, kelompok eksperimen mendapat perlakuan pendampingan KKG dengan pola lesson study, sedangkan kelompok kontrol mendapat perlakuan pendampingan KKG tanpa pola lesson study.

Berikut ini perbandingan kedua model tersebut. Tabel 3.2

Perbandingan Perlakuan antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen

Kelompok eksperimen Kelompok Kontrol

1 Pre-Test Pre-test

2 Pendampingan KKG

menggunakan pola lesson study

Pendampingan KKG tanpa pola lesson study 3 Peserta pendampingan KKG

melakukan tahapan lesson study dimulai dari : Plan(Secara kolaboratif merencanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa berbasis permasalahan di kelas) – Do (Seorang guru melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru-guru sejawat mengobservasi aktivitas belajar siswa) – See (Dengan prinsip kolegalitas, secara kolaboratif merefleksi aktifitas pembelajaran dan saling belajar)

Peserta pendampingan

KKG mengikuti

workshop dimulai dari : mendengarkan dan menyimak paparan materi yang disampaikan oleh narasumber kemudian peserta dibagi kedalam beberapa kelompok untuk bekerja didalam kelompoknya tersebut (bagaimana merancang rpp dan silabus, dan inovasi dalam pelaksanaan KKG


(44)

4 Peserta Pendampingan melakukan pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.

Peserta pendampingan melakukan Workshop hanya membuat rpp dan silabus penjasorkes yang akan digunakan untuk KBM di sekolah masing-masing

5 Post-test Post-test

.

2. Teknik Pengolahan Data

Setelah penelitian di lapangan dilaksanakan, diperoleh sekelompok data berupa data nilai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, yang terdiri dari nilai pre test dan post test uji kompetensi pedagogis guru penjasorkes

Analisis data hasil tes uji kompetensi pedagogis dilakukan secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji perbedaan rata-rata dengan langkah-langkah sebagai berikut

a. menghitung rata-rata skor hasil pre test dan post test penguasaan konsep dan kompetensi pedagogis

b. menguji normalitas data skor pre test dan post test dengan uji Chi Kuadrat atau Kolmogorov-Semirnov. Uji ini digunakan untuk melihat apakah data tes pengusaan konsep dan kompetensi pedagogis guru penjasorkes dari hasi pre test maupun post test berdistribusi normal.


(45)

c. Menguji homogenitas varians untuk melihat homogenitas atau kesamaan beberapa bagian sampel, yaitu seragam atau tidaknya variansi sampel-sampel yang diambil dari populasi yang sama. d. Uji hipotesis dengan uji perbedaan dua rata-rata. Jika sebaran data

normal dan homogen, uji signifikansi dengan statistik uji t. Jika sebaran data normal tidak homogen uji signifikansi dengan uji t*. Apabila data tidak berdistribusi normal, maka pengujian menggunakan uji non para metrik untuk dua sampel yang saling bebas pengganti uji t yaitu uji Mann Whitney.

e. Untuk melihat peningkatan kompetensi pedagogis guru penjasorkes antara sebelum dan sesudah pendampingan, dihitung dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi (indeks gain) yaitu membandingkan skor pre test dan post test . rumus yang digunakan adalah :

pre maks

pre post

S S

S S g

− −

= (Meltzer,2002)

Keterangan :

Spre : Skor Pre test SPost : Skor Post Test SMaks : Skor Maksimum Kategori Indeks Gain (g) : g> 0,7 Tinggi 0,3< g ≤ 0,7 Sedang g ≤ 0,3 Rendah


(46)

Untuk mengetahui benar tidaknya kompetensi pedagogis guru penjasorkes kelompok eksperimen lebih menyebar dibanding kelompok kontrol perlu diuji secara statistik. Pengujian sama atau tidaknya dua nilai rata-rata ternormalisasi dilakukan dengan uji t dengan syarat datanya berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan kedua variansi homogen.

2.1Analisis Validitas Tes

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data.Untuk memperoleh data yang akurat, sebelum instrumen digunakan, maka perlu mendapat pertimbangan, penilaian kelayakan instrumen tersebut guna mendapatkan alat ukur yang valid dan reliabel. Sebab instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliable

(McMillan dan Schumacher, 2001 :273). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variable yang diteliti secara tepat. Fraenkel dan Wallen (1993 : 558) menjelaskan : “The Degree to wich correct inferences can be made based on result from an instrument it self, but also on the instrumentation process and the characteristics of the group studied”. Maksudnya ketepatan instrumen harus dapat mengukur apa yang semestinya diukur, sebab derajat ketepatan identik dengan nilai validitas, dan nilai validitas menunjukkan kesahihan instrumen dengan materi yang akan dinyatakan baik per butir soal maupun soal secara keseluruhan. Ada dua jenis validitas untuk instrumen penelitian, yaitu


(47)

validitas isi yang diuji berdasarkan analisis logis dan validitas konstruk yang diuji berdasarkan analisis empiris.

Menurut Fraenkel dan Wallen (1993 : 556), mengemukakan reliabilitas instrumen merupakan “The degree to wich scores obtained with an instrument are consistent measures of whatever the instrument measures”.Jadi penekanannya terhadap konsistensi. Jika hasil tes itu diadministrasikan walaupun instrumen itu diujikan dua kali atau lebih maka hasilnya akan senilai (ekuivalen) pada masing-masing pengetesan, memperoleh nilai relatif konstan atau tetap. Artinya kapanpun instrumen tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama.

Uji validitas tes dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua macam validitas, yaitu validitas teori (logic) dan validitas empirik (kriterium). Validitas teoritik diperoleh berdasarkan konsultasi dengan dosen pembimbing, sedangkan untuk mengetahui validitas empirik yang terdiri dari valiaditas butir soal dan validitas soal tes secara keseluruhan atau validitas perangkat tes. Ukuran validitas soal adalah seberapa jauh soal tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Sebuah butir soal dikatakan valid atau signifikan bila skor tiap butir soal mempunyai dukungan yang besar terhadap skor totalnya. Sementara itu validitas butir soal tentunya mempengaruhi validitas tes secara keseluruhan. Validitas ini berkenaan dengan skor total dari seluruh butir soal yang dikorelasikan dengan kriterium yang dianggap valid. Validitas soal tes keseluruhan dikorelasikan dengan nilai rerata dari semua butir soal.


(48)

Validitas butir soal dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan program SPSS 17.0. Dalam penelitian ini ujicoba dilakukan satu kali (single test), maka validasi instrument test dilakukan dengan menggunakan uji validitas One Shot Method, sering disebut juga dengan pengujian internal consistency. One shot method menghitung korelasi antara skor item dengan skor perolehan untuk tiap butir tes. Untuk mengetahui derajat validitas secara lebih spesifik menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson :

(Arikunto, 2007 : 72 -78) Keterangan :

XY

r = koefisien korelasi antara variable X dan Y N = banyaknya peserta tes

X = skor item tes Y = skor total

Interpretasi dari besarnya koefisien korelasi diatas digunakan kriteria sebagai berikut :

XY

r ≤ 0,00 : tidak valid

0,00 <rXY≤0,20 : derajat validitas sangat rendah 0,20 <rXY≤ 0,40 : derajat validitasnya rendah

(

)

( )

{

2

2

}

{

2

( )

2

}

∑ ∑

− − − = Y Y N X X N Y X XY N rXY


(49)

0,40 <rXY≤ 0,70 : derajat validitasnya sedang (cukup) 0,70 <rXY≤ 0,90 : derajat validitasnya tinggi (baik)

0,90 <rXY≤ 1,00 : derajat validitasnya sangat tinggi (sangat baik)

Selanjutnya uji validitas tiap item instrumen dilakukan dengan membandingkan rXY (

r

hitung) dengan nilai kritis

r

tabel (nilai tabel). Tiap item tes dikatakan valid apabila pada taraf signifikasi

α

= 0,05 didapat

r

hitung

r

tabel Berikut ini hasil uji validitas butir instrumen dengan menggunakan SPSS 17.0 pada

α

= 0,05 dengan derajat bebas (df) = jumlah kasus -2. Jumlah kasus atau butir soal pada uji coba kali ini adalah 30 soal. Maka

r

tabel pada uji satu arah adalah r(0,05;28) = 0,240

Tabel 3.3

Rekapitulasi Validitas Item Instrumen Butir

soal

Corrected Item-total Correlation

r

hitung

r

tabel

Validitas

1 0,446 0,2407 Valid

2 0,376 0,2407 Valid

3 0,293 0,2407 Valid

4 0,348 0,2407 Valid

5 0,226 0,2407 Non Valid

6 0,414 0,2407 Valid

7 -0,251 0,2407 Non Valid

8 0,327 0,2407 Valid

9 0,365 0,2407 Valid

10 0,052 0,2407 Non Valid

11 -0,019 0,2407 Non Valid

12 0,637 0,2407 Valid


(50)

14 0,314 0,2407 Valid

15 0,418 0,2407 Valid

16 0,263 0,2407 Valid

17 -0,090 0,2407 Non Valid

18 0,304 0,2407 Valid

19 0,348 0,2407 Valid

20 0,414 0,2407 Valid

21 0,465 0,2407 Valid

22 0,638 0,2407 Valid

23 -0,095 0,2407 Non Valid

24 0,678 0,2407 Valid

25 0,503 0,2407 Valid

26 0,074 0,2407 Non Valid

27 0,414 0,2407 Valid

28 0,385 0,2407 Valid

29 0,637 0,2407 Valid

30 0,663 0,2407 Valid

Tabel 3.4 menunjukkan terdapat tujuh soal yang tidak valid, yaitu soal nomor 5,7,10,11,17,23 dan 26. Soal-soal tersebut kemudian tidak dipergunakan untuk menguji kemampuan guru merancang, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, baik pada saat pre test maupun post test. Soal yang tersisa sebanyak 23 soal diuji kembali untuk mengetahui tingkat reliabilitas soal secara keseluruhan.

2.2 Analisis Reliabilitas tes

Penentuan keandalan butir tes berkenaan dengan pengaruh error yang tidak sitematik dalam suatu pengukuran. Keandalan suatu tes dinyatakan sebagai derajat atau tingkat suatu tes dan skornya dipengaruhi factor yang non- sistematik.Makin sedikit faktor yang non-sistematik, makin tinggi keandalannya.


(51)

Untuk mengukur keandalan butir tes uraian, digunakan rumus Cronbach-Alpha :       ∑ −       −

= 22

11 1 1 t i S S k k

r

Suherman (2003 : 154)

Varians item dihitung dengan rumus ;

( )

N N

x

x

s

i i i 2 2 2 ∑ − ∑ = Keterangan :

r

11 = koefisien realibitas tes

k = banyaknya butir soal

S

i2

= jumlah varians skor tiap butir soal

S

t 2

= varians skor total

Untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan tolok ukur yang ditetapkan J.P Guilford (Suherman, 2003 :139) adalah sebagai berikut :

r

11< 0,20 : sangat rendah

0,20 ≤

r


(52)

0,40 ≤

r

11< 0,70 : Sedang 0,70 ≤

r

11< 0,90 : Tinggi 0,90 ≤

r

11< 1,00 : Sangat Tinggi

Untuk mempermudah peneliti melakukan analisa terhadap data, hasil ujicoba soal, untuk mengetahui reliabilitas soal peneliti menggunakan SPSS 17,0, dengan menggunakan One Way Method. Hasil uji validitas menunjukkan terdapat tujuh soal yang tidak valid dari 30 soal yang diujikan, oleh karena itu uji reliabilitas hanya diarahkan pada 23 soal valid. Berdasarkan data dari 23 soal tersebut diketahui reliabitias soal dengan melihat nilai secara keseluruhan dengan melihat nilai Cronbach Alphasebagai berikut :

Tabel 3.4 Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items


(53)

Berdasarkan tolok ukur menurut JP Guilford, dengan nilai reliabilitas 0,862 dapat diinterpretasikan bahwa relibilitas soal tinggi.

2.3 Analisis Daya Pembeda

Daya Pembeda butir soal adalah kemampuan butir soal untuk membedakan antara guru yang berkompetensi pedagogis baik dan yang berkompetensi pedagogis rendah.

Daya pembeda tes dihitung dengan rumus :

A B A

I S S

DP= −

Keterangan :

DP : Daya Pembeda

SA : Jumlah Skor Kelompok Atas SB : Jumlah Skor Kelompok Bawah

IA : Jumlah Skor Ideal salah satu kelompok yang diolah

Klasifikasi daya pembeda (DP) soal menurut Suherman (1990) adalah sebagai berikut :

DP ≤ 0,00 : Sangat Jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 : Jelek


(54)

0,40 < DP ≤ 0,70 : Baik 0,70 < DP ≤ 1,00 : Sangat baik

Berikut ini tabel rekapitulasi daya pembeda tiap butir soal Tabel 3.5

Rekapitulasi Daya Pembeda Butir Soal NOMOR

SOAL NILAI INTERPRETASI

1 0,3 CUKUP

2 0,3 CUKUP

3 0,3 CUKUP

4 0,4 CUKUP

6 0,4 CUKUP

8 0,4 CUKUP

9 0,3 CUKUP

12 0,4 CUKUP 13 0,4 CUKUP 14 0,3 CUKUP 15 0,3 CUKUP 16 0,2 JELEK 18 0,3 CUKUP 19 0,4 CUKUP 20 0,6 BAIK 21 0,3 CUKUP 22 0,6 BAIK 24 0,5 BAIK 25 0,5 BAIK 27 0,4 CUKUP 28 0,3 CUKUP 29 0,3 CUKUP 30 0,4 CUKUP

Hasil analisis daya pembeda terhadap 23 soal pilihan ganda diketahui bahwa terdapat satu soal yang memiliki daya pembeda jelek, yaitu soal nomor 12. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa soal tersebut tidak dapat membedakan


(55)

antara guru yang berkompetnsi pedagogis baik dan guru yang berkompetensi pedagogis rendah. Untuk selanjutnya soal nomor 12 tidak dapat dipakai.

2.4 Kesukaran Butir Tes

Tingkat kesukaran butir tes digunakan untuk mengklasifikasikan instrumen tes kedalam tiga golongan, apakah instrumen itu tergolong mudah, sedang atau sukar. Untk menentukan tingkat kesukaran tes dihitung dengan rumus:

N S

TK = A

Keterangan :

TK = tingkat kesukaran

SA = banyak guru yang menjawab benar N = banyak guru

Dengan kategori kesukaran menurut Suherman (2003:170) yang digunakan adalah:

TK = 0,0 : soal terlalu sukar 0,0 < TK ≤ 0,7 : soal sedang 0,7 < TK ≤ 1,0 : soal mudah


(56)

Berdasarkan hasil analisis tingkat kesukaran terdadap 22 soal pilihan ganda yang sebelumnya berjumlah 23 soal, dikarenakan salah satu soal memiliki daya pembeda yang jelek, berikut ini tabel rekapitulasi tingkat kesukaran butir soal :

Tabel 3.6

Rekapitulasi Tingkat Kesukaran Soal

No Soal Nilai Interpretasi

1 0.85 MUDAH

2 0.35 SEDANG

3 0.35 SEDANG

4 0.5 SEDANG

6 0.3 SUKAR

8 0.4 SEDANG

9 0.45 SEDANG

12 0.2 SUKAR

13 0.4 SEDANG

14 0.7 SEDANG

15 0.35 SEDANG

18 0.25 SUKAR

19 0.5 SEDANG

20 0.3 SUKAR

21 0.25 SUKAR

22 0.3 SUKAR

24 0.25 SUKAR

25 0.35 SEDANG

27 0.3 SUKAR

28 0.15 SUKAR

29 0.15 SUKAR

30 0.2 SUKAR

2.5 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes

Kesimpulan dari semua perhitungan analisis hasil uji coba tes uji kompetensi pedagogis guru penjasorkes diperoleh 22 soal dari 30 soal yang valid reliabel dengan daya pembeda dan tingkat kesukaran yang disajikan secara lengkap pada tabel 3.6 di bawah ini


(1)

174

mengembangkan “The Eyes to See Students” (kodomo wo miru me), dalam arti dengan dihadirkannya para pengamat (obeserver), pengamatan tentang perilaku belajar siswa bisa semakin detail dan jelas.

c. Manfaat lain yang bisa diambil dari Lesson Study, diantaranya: (1) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (2) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan (3) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, manfaat yang ketiga ini dapat dijadikan sebagai salah satu Karya Tulis Ilmiah Guru, baik untuk kepentingan kenaikan pangkat maupun sertifikasi guru.

2. Peneliti selanjutnya

Mengingat masih banyak aspek yang belum sepenuhnya dapat diakomodasi dalam penelitian ini, untuk itu disarankan perlu penelitian lebih lanjut agar aspek-aspek dalam pengembangan kompetensi pedagogis dapat terus ditingkatkan sehingga akan membedakan guru dengan profesi lainnya serta akan menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didiknya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid, (2008) Perencanaan Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Ace Suryadi dan Wina Mulyana, (1993) Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Jakarta : Cardimas Metropole Adang Suherman, (2009) Revitalisasi Pengajaran Dalam Pendidikan Jasmani. Bandung : Bintang Warli Artika

Ali, M (1988) Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Arief Furchan (1982) Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Usaha Nasional : Surabaya

Arikunto,S. (1998). Prosedur Penelitian ”Suatu Pendekatan Praktek”. Jakarta : Rineka Cipta

Arikunto, S (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara Atmodiwirio (2002). Manajemen Pelatihan. Jakarta : Ardaizya Jaya

Baharuddin harahap. (1983). Supervisi Pendidikan yang Dilaksanakan oleh Guru, Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah. Jakarta. Damai Jaya

Bill Cerbin & Bryan Kopp. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study Project. online: http ://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm

Castetter, W.B. (1991). The Personal Function in Education Administration. New York : Mac Millian Publishing Co. Inc.

Catherine Lewis, at all. (2004). A Deeper Look At Lesson Study. Education

Departement, Mills College. Oakland, CA

Catherine Lewis (2004) Does Lesson Study Have a Future in the United States?. Online: http://www.sowi-online.de/journal/2004-1/lesson_lewis.htm


(3)

…………... (1994) Petunjuk Teknis Penyelenggaraan KKG dan MGMP. Jakarta: Dikdasmen

………(1998) Pedoman Penyelenggaraan KKG dan MGMP. Jakarta : Dikdasmen

FSDP. (2008). Laporan Diklat Pembekalan Guru Kelas/ Agama. Rangkasbitung : LPMP Provinsi Banten.

Hendayana, Sumar, dkk., 2006. Lesson Study: Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press. J.J. Hasibuan. (1986). Proses Belajar Mengajar. Bandung. Remaja Karya

KMP. (2007). Pedoman Bantuan Dana Block Grant bagi KKG/MGMP. Rangkasbitung :LPMP Provinsi Banten..

Lesson Study Research Group online : http://www.tc.edu/lessonstudy/whatislessonstudy.html

Lutan, Rusli (1997). Strategi Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Jakarta. Depdikbud Ditjen Dikdasmen Again Proyek PMG Penjaskes SD Setara D-II. Universitas Terbuka

Lutan, Rusli. (2002) Supervisi Pendidikan Jasmani : Konsep dan Praktik. Jakarta : Dirjen Dikdasmen

Mahfudin, Azis (2009) Profesionalisme Jabatan Guru di Era Globalisasi. Bandung : Rizqi Press

McMillan, James H and Schumacher.S (2001). Research in Education A Conceptual Introduction. New York : Longman.

Meltzer, D. (2002) The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Phisics : A Possible “Hidden Variable in Diagnostic Pre Test Scores”. Departemen of Phisicsand Astronomy Iowa : State University : Ames Iowa

Mulyasa (2008). Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosda Karya


(4)

Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

Poerwadarminta, JS (1996), Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Pratisto, A. (2004). Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan

Percobaan dengan SPSS 12. Jakarta : PT Elexmedia Komputindo Pusat Kurikulum. (2008). Pendekatan Belajar Aktif. Jakarta : Depdiknas

Pupuh F (2007). Strategi Belajar Mengajar. Bandung. PT Refika Aditama Riduwan. (2004). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta. Bandung.

Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi Struktur Desain dan Aplikasi. Alih Bahasa: Udaya Yusuf Edisi 3, Jakarta : Arean

Rohani A (2004) Pengelolaan Pengajaran. Rhineka Cipta

Slamet Mulyana. 2007. Lesson Study (Makalah). Kuningan: LPMP-Jawa Barat Soemirat, Soleh (2000). Komunikasi Organisasi. Jakarta : UT

Soetjipto dan Kosasi (2004). Profesi Keguruan . Jakarta : PT Rineka Cipta

Sudjana, N (2004). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung. Sinar Baru Aglesindo

Sudrajat, Ahmad, 2008. Lesson Studyuntuk Meningkatkan Proses dan Hasil Pembelajaran” online http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/22/

diakses tanggal 10 Oktober 2010

Syah, Muhibbin. (1999). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Untuk Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. bandung; Alfabeta

Sulaeman, M.S. (2004). Pelaksanaan KKG dalam Upaya Meningkatkan Profesional Guru Sekolah Dasar. Bandung. Bandung: Tesis PPS UPI


(5)

Sumar Hendayana, Dkk (2006). Lesson Study Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung :UPI Press Sumar Hendayana, Dkk (2007). Lesson Study. UPI Press

Sustermeister, Robert A (1976). People and Productivity (third ed). New York : Mc Graw Hill Book Company

T. Raka Joni (1984). Pedoman Umum Alat Penilaian Kemampuan Guru, Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas Jakarta.

UNJ. (2007). Pendidikan dan Latihan Profesi Guru 2008. Dirjen PMPTK. Depdiknas Jakarta.

Usman, Moh. Uzer (1990) Menjadi Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosda karya

Wiriatmadja R (2005). Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung. Rosda karya. Wirawan. (2002). Profesi dan Standar Evaluasi. Jakarta : Yayasan Bangun Indonesia. Wikipedia.2007. Lesson Study. Online: http://en.wikipedia.org/wiki/Lesson_study


(6)