Kesadaran Kritis Remaja Terhadap Sinetron (Studi Literasi Media tentang Kesadaran KritisRemaja terhadap Sinetron di SMK Yayasan Pendidikan Keluarga (YPK) Medan

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.

Paradigma Kajian
Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan

lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan
bagaimana seseorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya.
(Vardiansyah, 2008: 27)
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic
belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of
method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.” Pengertian
tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara
memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda
tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis.
(kompasiana.com)
Paradigma penelitian menurut Cresswel dibagi menjadi 4 yaitu, post
positivisme, advokasi, konstruktivisme, dan pragmatisme. Peneliti memilih post
positivisme sebagai paradima kajian. Paradigma post positivisme adalah sudut

pandang yang memiliki ciri-ciri bahwa elemen setiap penelitian dapat di reduksi,
bersifat logis dan mengandalkan koleksi data empiris. Selain itu, karakter dan
penelitian postpositivisme di fokuskan pada penyebab dan efek dari penyebab
tersebut. Postpositivisme juga berasumsi di masyarakat di sebabkan oleh perilaku
namun

lebih

bersifat

deterministik,

artinya

perilaku

masyarakat

yang


mengkonstruksi bagaimana individu harus berperilaku(Saefuddin, 2007: 2-3).
Post Positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap
memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post
positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada
dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas memang ada
dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat

Universitas Sumatera Utara

dilihat

secara

benar

oleh

peneliti.


Secara

epistomologis:

modified

dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa
dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara
metodologis adalah modified eksperimental/ manipulatif.
Post Positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme
dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Post Positivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada
positivisme. Satu sisi post positivisme sependapat dengan positivisme bahwa
realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain
postpostivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari
realita apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara

langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat
interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, data dan lain-lain (academia.edu).
Penelitian ini menggunakan paradigma postpositivisme untuk melihat
remaja sebagai subjek memahami, mengevaluasi, dan memilih pada saat
menonton sinetron yang berlandaskan kesadaran kritis sebagai sebuah objek yang
mengkonstruksi bagaimana individu harus berperilaku.

2.2.

Kerangka Teori
Kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubugan

suatu teori dengan faktor – faktor yang penting yang telah diketahui dalam suatu
masalah tertentu.
2.2.1.

Literasi Media
Literasi media sering diterjemahkan dengan melek media, apabila


dianalogikan dengan melek huruf maka literasi media diartikan tidak buta
media. Hal ini dapat ditangkap maksudnya yaitu serba tahu tentang media baik

Universitas Sumatera Utara

apa yang tampak di luar (produk) dari media maupun dapur yang mengolah
produk tersebut. Perkembangan media yang sangat cepat terutama media massa
harus diimbangi dengan gerakan literasi media yang komprehensif. Agar
sebagian besar dari masyarakat dapat memanfaatkan media massa untuk
kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Dengan literasi media diharapkan
masyarakat dapat membedakan konten media yang bermanfaat dan yang
menimbulkan mudharat bagi kehidupannya.
Literasi media berasal dari bahasa Inggris yaitu Media Literacy, terdiri
dari dua suku kata Media berarti media tempat pertukaran pesan dari Literacy
berarti melek, kemudian dikenal dalam istilah Literasi Media. Dalam hal ini
literasi media merujuk kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan
pesan media massa dalam konteks komunikasi massa. (Tamburaka, 2013: 7)
Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebgai
konsumen


media

(termasuk

remaja)

menjadi

sadar

(melek)

dalam

mengonsumsi televisi tidak secara berlebihan dan memahami manfaat apa yang
disampaikan dari isi media massa tersebut.
Pondasi pengetahuan media literasi menurut Potter adalah
seperangkat struktur pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang isi media,
media industri, pengaruh media, informasi dunia nyata dan diri sendiri.
Namun dari kelima hal tersebut, Potter amat menyoroti tiga aspek

pengetahuan yang amat mendasar dalam media literasi, yaitu: pengetahuan
tentang isi media, media industri dan pengaruh media (Mazdalifah, 2011: 117118).
Pengetahuan tentang isi media berkaitan dengan pengetahuan orang
tentang banyak informasi yang dimiliki tentang acara TV. Pengetahuan
tersebut meliputi acara apa saja yang ada di televisi seperti: acara hiburan,
berita, dan iklan. Informasi ini membantu orang untuk mengakses pesan media
dan untuk alasan ini, jenis informasi sangat berguna. Pengetahuan tentang
industri media berkaitan dengn pengetahuan kepemilikian televisi, bagaimana
mereka menjalankan bisnis televisi, bagaimana mereka berinteraksi, dan
bagaimana mereka memasarkan pesan-pesan melalui televisi. Pada umumnya
orang-orang sangat sedikit mengembangkan pengetahuan ini. Semakin banyak
orang-orang mengelaborasi tentang industri media maka mereka akan semakin

Universitas Sumatera Utara

mengerti tentang bagaimana isi media diproduksi. Pengetahuan tentang
pengaruh media berkaitan dengan pengetahuan yang luas tentang pengaruh
yang dimiliki oleh media, dalam hal ini khususnya tentang media televisi.
Pengaruh tersebut meliputi pengaruh pada pengetahuan seseorang, sikap,
emosi, psikologi, dan perilaku.

Literasi media hadir sebagai benteng bagi khalayak agar kritis terhadap
isi media, sekaligus menentukan informasi yang dibutuhkan dari media.
Literasi media diperlukan di tengah kejenuhan informasi, tingginya terpaan
media, dan berbagai permasalahan dalam informasi tersebut yang mengepung
kehidupan kita sehari-hari. Literasi media memberikan panduan tentang
bagaimana mengambil kontrol atas informasi yang disediakan oleh media.
Semakin melek media seseorang, maka semakin mampu orang tersebut melihat
batas antara dunia nyata dengan dunia yang dikonstruksi oleh media.
Salah satu pelopor literasi media adalah James Potter yang
mendefinisikan literasi media sebagai seperangkat perspektif yang secara aktif
digunakan ketika kita membuka diri dengan media dalam rangka melakukan
interpretasi makna pesan. Literasi media berhubungan dengan bagaimana
khalayak dapat mengambil kontrol media. Literasi media merupakan skill
untuk menilai makna dalam setiap pesan, mengorganisasikan makna itu
sehingga berguna, dan kemudian membangun pesan untuk disampaikan kepada
orang lain.
Potter menekankan bahwa literasi media dibangun berdasarkan pada
personal locus, struktur pengetahuan, dan skill. Personal locus merupakan
tujuan dan kendali kita akan informasi. Ketika kita menyadari ajann informasi
yang kita butuhkan, maka kesadaran kita akan menuntun untuk melakukan

proses pemilihan informasi secara lebih cepat, pun sebaliknya. Struktur
pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang terorganissi dalam
pikiran kita. Dalam literasi media kita membutuhkan struktur informasi yang
kuat akan efek media, isi media, industri media, dunia nyata, dan diri kita
sendiri. Sementara skill adalah alat yang kita gunakan untuk menigkatkan
kemampuan literasi media kita. (Astari, 2016: 11).
Semua orang mempunyai kesempatan untuk menempati kontinum
tersebut, dan posisinya dalam kontinum tertentu didasarkan pada kekuatannya
dalam keseluruhan perspektif media. Kekuatan perspektif seseorang dalam

Universitas Sumatera Utara

melihat media ditentukan oleh jumlah dan kualitas struktur pengetahuan yang
dimiliki orang tersebut, dan kualitas struktur pengetahuan akan didasarkan
pada tingkatan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki. Hal ini berarti
bahwa dalam literasi media terdapat suatu hubungan yang erat antara apa yang
disebut sebagai struktur pengetahuan dan skill.
Lebih lanjut James W. Potter menjelaskan tentang literasi media yaitu a
set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to
interpret the meaning of the messages we encounter. (Seperangkat perspektif

dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan
pesan-pesan yang diterima dan cara mengantisipasinya)(Astari, 2016: 11).
Baran dan Dennis dalam memandang literasi media sebagai suatu
rangkaian gerakan melek media, yaitu gerakan melek media dirancang untuk
meningkatkan kontrol individu terhadap media yang mereka gunakan untuk
mengirim dan menerima pesan. Melek media dilihat sebagai keterampilan yang
dapat dikembangkan dan berada dalam sebuah rangkaian kita tidak melek
media dalam semua situasi, setiap waktu dan terhadap semua
media(Tamburaka 2013, 8).
Gerakan melek media disajikan untuk menunjukkan bahwa upaya untuk
memberikan pemahaman, penelitian, dan evaluasi terhadap konten media tidak
lagi terbatas pada tataran pendidikan. Hal ini seiring dengan perkembangan
teknologi komunikasi massa yang merambah ke sendi-sendi kehidupan secaraa
individual.
Potter juga menjelaskan bahwa literasi media tidak hanya sebatas
pemahaman

seseorang

dalam


menerima

gambaran-gambaran

yang

disampaikan oleh sebuah pesan, namun lebih kepada bagaimana literasi media
sebagai sebuah kontrol. Adapun menurut Potter terdapat beberapa konsep dasar
dalam literasi. Pertama, literasi media merupakan sebuah kontinum, bukan
kategori. Artinya setiap orang memiliki pemahaman tentang media, meskipun
berbeda tingkatan. Dimana, kekuatan dalam memahami media ditentukan dari
kualitas struktur pengetahuannya.
Kedua, literasi media bersifat multi-dimensional. Artinya, struktur
pengetahuan seseorang berasal dari empat dimensi, yaitu kognitif kaitainnya

Universitas Sumatera Utara

dengan fakta yang terdapat dalam sebuah informasi. Dimensi Emosional yakni
kaitannya dengan perasaan. Dimensi estetika kaitannya dengan apresiasi
terhadap pesan dan dimensi moral berkaitan dengan nilai.
Ketiga, tujuan dari literasi media merupakan memberikan kontrol akan
pemaknaan sebuah pesan. Dalam hal ini, berhubungan dengan tingkat literasi
media seseorang. Dimana, semakin tinggi tingkatan literasi media seseorang,
maka makna yang diperoleh dari sebuah pesan akan semakin banyak. Namun
sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat literasi media yang rendah akan
kesulitan

dalam

mengenali

ketidakteraturan,

memahami

kontroversi,

mengapresiasi ironi dan satire atau membangun pandangan yang luas.
Baran dan Davis menyatakan ada beberapa poin penting dari gerakan
melek media, yaitu:
1. Khalayak adalah aktif, tetapi mereka belum tentu sadara akan apa yang
mereka lakukan dengan media.
2. Kebutuhan, kesempatan, dan pilihan khalayak didorong secara tidak
alamiah oleh akses terhadap media dan konten media.
3. Konten media dapat secara implisit dan eksplisit memberikan tuntunan
terhadap tindakan.
4. Orang-orang harus secara realistis mengukur bagaimana interaksi mereka
dengan teks media dapat menentukan tujuan bahwa interaksi tersebut
mendukung mereka di dalam lingkungan mereka.
5. Orang-orang

memiliki

tingkatan

berbeda

dalam

pengolahan

kognitif.(Tamburaka, 2013: 4)
Khalayak dipandang aktif mencari sumber informasi dan hiburan
melalui konten media massa. Selama bertahun-tahun keberadaan media massa
menjadi sumber pemenuhan akan informasi, integrasi sosial dan hiburan bagi
khalayak. Kehadiran media massa dengan beragam konten media ternyata
mampu memenuhi salah satu atau sekaligus dari kebutuhan itu.
Perpaduan antara kecakapan dengan pengetahuan, The National
Leadership Conference on Media Literacy dalam Potter mengatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

seseorang yang melek media dapat mengartikan, mengevaluasi, menganalisis,
dan memproduksi pesan-pesan baik media cetak maupun media penyiaran.
Orang-orang juga butuh untuk mengetahui lima hal, yaitu:
1. Pesan-pesan yang dikonstruksikan.
2. Pesan-pesan media diproduksi dalam konteks ekonomi, sosial politik,
historis, dan estetis.
3. Interpretasi terhadap proses penciptaan terhadap makna yang ada dalam
penerimaan pesan yang berisi interaksi antara pembaca, teks, dan budaya.
4. Media

memiliki

mempresentasikan

bahasa

yang

beragam

unik,

bentuk,

sebuahh
genre,

dan

karakteristik
sistem

yang

lambang

komunikasi.
5. Representasi media memainkan peranan dalam pemahaman orang tentang
realitas sosial.(Raharjo, 2012: 13).
Semua media adalah konstruksi. Apa yang ditayangkan televisi
bukanlah representasi dunia. Media massa memproduksi pesan dengan
perencanaan yang seksama dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang
menguntungkan baginya. Media mempunyai implikasi komersial yang
menyajikan media dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan komersial,
bagaimana media meramu isi, teknik produksi, dan dan distribusi isinya.
Sebagian besar produk dari media adalah untuk kepentingan bisnis yang
didasarkan untuk meraih keuntungan ekonomi. Media massa juga merupakan
wadah untuk politikus untuk mempromosikan partai-partai nya dan kegiatan
politik lainnya. Pesan media massa juga mengandung makna sejarah dan nilai
keindahan dari media massa tersebut.
Menurut Hobbs, ia melihat pada apa yang terjadi dengan pesan yang
disampaikan media massa, dan dalam pandangannya, pesan-pesan yang
disajikan media massa seperti berikut(Iriantara, 2009: 22).
1. Pesan-pesan yang dikonstruksi.
2. Pesan-pesan media merepresentasikan dunia.
3. Pesan-pesan media memiliki tujuan dan konteks ekonomi dan politik.

Universitas Sumatera Utara

4. Individu membuat makna terhadap pesan media melalui penafsiran.
Perihal

tersebut

menggambarkan

mengenai

bagaimana

media

merangkai pemberitaan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat sehingga
literasi media berfungsi sebagai penyaring akan hal-hal yang dianggap
merugikan.
Ada beberapa faktor penghambat seperti yang dipaparkan oleh
Buckingham dan Domailer, bahwa di 52 negara menunjukkan bahwa
penghambat pengembangan literasi media ini adalah:
1. Konservatisme sistem pendidikan.
2. Terus berlanjutnya resistensi terhadap budaya pop yang bernilai penting
untuk dipelajari.
3. Potensi ancaman dalam bentuk-bentuk pemikiran kritis yag melekat
(inherent) pada pendidikan media. (Iriantara, 2009: 34)
Literasi

media,

kemudian

dibutuhkan

untuk

memberi

bekal

pengetahuan dan ketrampilan yang bisa digunakan saat berhadapan dengan
media yakni kemampuan untuk memilah, mengakses, mempergunakan
informasi, serta mampu memproduksi media sebagai alat untuk menyampaikan
gagasan.

Dengan demikian remaja diharapkan tidak

membentengi

dirinya

terhadap

menggunakan

media

untuk

pengaruh

tujuan

yang

buruk

media

positif,

hanya

mampu

namun

sekaligus

juga

mampu

menggunakan media sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan ekspresi
diri.
Seseorang yang memiliki ketrampilan dan kemampuan dalam bermedia
menurut Potter setidaknya memiliki pengetahuan mengenai 5 hal berikut, yakni
isi media, industri media, dampak media, kenyataan, sehari-hari, dan diri
sendiri. Dengan memiliki pengetahuan dalam 5 bidang ini, seseorang bisa
memilah informasi, mampu bekerja dengan informasi tersebut dan membangun
pemahaman sesuai yang diinginkan.

Universitas Sumatera Utara

Program-program berkaitan dengan literasi media telah dilakukan
dengan mengambil titik fokus yang berbeda-beda. Beberapa program menitik
beratkan pada analisa media dengan cara memberikan ketrampilan mengenai
pemahaman dan upaya interpretasi dalam suatu pesan media. Program literasi
media ada pula yang berdasarkan pada keterampilan produksi media, biasanya
menitik beratkan pada penguatan komunitas. Jenis program yang lainnya
menggunakan literasi media sebagai cara untuk memahami infrastruktur
ekonomi media massa, sebagai kunci dalam konstruksi sosial pengetahuan
umum.
2.2.2.

Elemen-Elemen Literasi Media
Silverblatt mengidentifikasi beberapa elemen yang menjadi dasar dalam

literasi media (Raharjo, 2012: 15), yaitu:
1) Kecakapan berpikir kritis memungkinkan anggota khalayak untuk
mengembangkan penilaian yang independen terhadap isi media.
2) Pemahaman terhadap proses komunikasi massa.
3) Kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat.
4) Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan media.
5) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai suatu teks yang menyediakan
wawasan bagi budaya dan kehidupan kita.
6) Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi media.
7) Pengembangan keterampilan produksi yang efektif dan bertanggung jawab.
8) Pemahaman akan kewajiban etis dan moral para praktisi media.
Berdasarkan definisi dan elemen utama literasi media tersebut kita
dapat mengklasifikasikan beragam tipe literasi media. Pertama, berdasarkan
media yang dituju, literasi media terdiri dari: literasi, literasi media (dalam arti
sempit), dan literasi media baru. Kedua, berdasarkan tingkat kecakapan yang
berusaha dimunculkan literasi media dapat dibedakan ke dalam tingkat awal,
menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media biasanya berupa
pengenalan media, terutama efek positif dan negatif yang potensial diberikan
oleh media.

Universitas Sumatera Utara

Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan
dalam memahami pesan. Kemudian literasi media melahirkan output
kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur
pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada
level aksi, misalnya memberi masukan dan kritik pada organisasi dan
menggalang aksi untuk mengritik media. Literasi media berdasarkan lokasi
kegiatan dilakukannya paling tidak muncul di tiga tempat, yaitu: di
rumah/tempat tinggal, sekolah, dan di kelompok-kelompok masyarakat.
Pemahaman

dalam

memunculkan

kecakapan

individu

dalam

menggunakan media adalah tujuan yang utama dalam kegiatan literasi media.
Tujuan ini lebih penting bila dibandingkan dengan tujuan mengenalkan media
atau pun menumbuhkan pemahaman kritis pada media.
Baran mengemukakan bahwa kemampun dan keahlian kita sangat
penting dalam proses komunikasi massa. Kemampuan ini tidak selalu mudah
untuk dikuasai tetapi ini sangat penting dipelajari dan dapat dilakukan.
Kemampuan ini adalah literasi media, kemampuan yang secara efektif dan
efisien memahami dan menggunakan berbagai bentuk komunikasi yang
bermedia (Iriantara, 2013: 13-14).
Proses untuk mengidentifikasikan konten media meliputi kognitif,
emosi, estetika dan moral. Dari proses kognitif, khalayak berpikir kritis tentang
konten media massa. Dari segi emosi atau perasaan, khalayak coba untuk peka
apa yang dialami dan dirasakannya terhadap konten media dengan apa yang
dirasakan orang lain pula. Dari segi estetika, khalayak juga mampu melihat
konten media sebagai kretivitas seni dari pembua konten media untuk menarik
perhatian khalayak. Dari segi moral, khalayak dapat melihat konten media
sebagai sebuah makna yang dibuat oleh pembuat pesan, yaitu ada nilai-nilai
moral baik atau buruk yang diberikan.
Literasi media atau melek media harus mengembangkan kemampuan
untuk mengembangkan kemampuan khalayak lebih baik secara intelektual
yaitu pendidikan literasi media dalam memahami pesan media yang khas.
Mengembangkan kemampuan emosi, yaitu merasakan apa yang dirasakan diri
sendiri dan orang lain dari suatu pesan media. Mengembangkan kematangan
moral dalam kaitannya dengan konsekuensi moralitas bagi setiap orang
(Tamburaka, 2013: 13-15).

Universitas Sumatera Utara

Mengetahui posisi media sebagai penyedia konten media dan khalayak
sebagai konsumen media, sedangkan hubungan keduanya dibangun oleh
keberadaan konten media sehingga saling membutuhkan satu sama lainnya.
Media membutuhkan kita untuk menyalurkan konten media dan kita
membutuhkan beragam konten media dari media massa itt sendiri. Media
massa dan khalayak merupakan suatu hubungan simbiosis mutualisme yang
saling membutuhkan satu sama lainnya.
Komunikasi massa dalam prosesnya melibatkan banyak orang yang
bersifat kompleks dan rumit. Menurut McQuail dalam proses komunikasi
massa terlihat berproses dalam bentuk:
1. Melakukan distribusi dan penerimaan informasi dalam skala besar. Jadi
proses komunikasi massa melakukan distribusi informasi kemasyarakatan
dalam skala yang besar, sekali siaran atau pemberitaan jumlahdan
lingkupnya sangat luas dan besar.
2. Proses komunikasi massa cenderung dilakukan melalui model satu arah
yaitu dari komunikator kepada komunikan atau media kepada khalayak.
Interaksi yang terjadi sifatnya terbatas.
3. Proses komunikasi massa berlangsung secara asimetris antara komunikator
dengan

komunikan.

Ini

menyebabkan komunikasi antara

mereka

berlangsung datar dan bersifat sementara. Kalau terjadi sensasi emosional
sifatnya sementara dan tidak permanen.
4. Proses komunikasi massa juga berlangsung impersonal atau non pribadi
dan anonim.
5. Proses komunikasi massa juga berlangsung didasarkan pada hubungan
kebutuhan-kebutuhan di masyarakat. Misalnya program akan ditentukan
oleh apa yang dibutuhkan pemirsa. Dengan demikian media massa juga
ditentukan oleh rating yaitu ukuran di mana suatu program di jam yang
sama di tonton oleh sejumlah khalayak massa. (kompasiana.com)
Dampak media (media effects) adalah perubahan kesadaran, sikap, emosi, atau
tingkah laku yang merupakan hasil dari interaksi dengan media. Istilah tersebut
sering digunakan untuk menjelaskan perubahan individu atau masyarakat yang

Universitas Sumatera Utara

disebabkan oleh terpaan media. Perkembangan pemikiran dan teori tentang
dampak media mempunyai sejarah alamiah karena dipengaruhi oleh setting
waktu, tempat, faktor lingkungan, perubahan teknologi, peristiwa-peristiwa
sejarah,

kegiatan

kelompok-kelompok

penekan,

para

propagandis,

kecenderungan opini publik, serta beragam penemuan-penemuan dan
kecenderungan yang berkembang dalam kajian ilmu-ilmu sosial.
Strategi dalam analisis dan diskusi pesan-pesan media. Untuk
mengonsumsi pesan media secara peka, seseorang membutuhkan pondasi,
sebagai pemikiran dan refleksi awal. Jika makna ditafsirkan, maka harus
memiliki alat yang memadai untuk mencapainya. Berdiskusi mengenai konten
dari media yang dikonsumsi untuk disaring mana yang baik atau tidak, agar
dapat diaplikasikan didalam kehidupan.
Isu-isu yang berkembang dalam kaitan ini diantaranya dalam riset
dampak media, isu mengenai dampak media terhadap perilaku agresif atau
dampak media yang berkenaan dengan kekerasan dan perilaku agresif telah
menjadi objek banyak sekali penelitian, keyakinan yang sangat kuat mengenai
adanya korelasi antara kekerasan dalam layar kaca dengan kekerasan aktual
yang terjadi dalam masyarakat telah menjadi objek ribuan studi, tetapi tidak
terdapat kesepakatan mengenai derajat pengaruh kekerasan dalam layar kaca
terhadap kekerasan aktual dalam masyarakat.
Isi media tidak selalu harus dicemooh dan diburukkan ketika ada
kesalahan ataupun ketika khalayak menyadari bahwa isi dari media tersebut
tidak pantas untuk ditayangkan. Literasi media tidak bermakna apabila berada
dalam kehidupan yang tidak kompromistik atau menjadi selalu tidak percaya
terhadap efek yang merusak dan degradasi budaya. Belajar untuk menikmati,
memahami dan mengapresiasi isi dari media termasuk kemampuan untuk
menggunakan beragam titik akses guna mendekati isi media dari berbagai arah.
Penjelasan berikutnya yakni literasi tradisional beranggapan bahwa
orang yang dapat membaca juga dapat menulis. Literasi media juga
beranggapan yang sama. Defenisi mengenai literasi media tidak hanya terkait

Universitas Sumatera Utara

dengan pemaahaman mengenai isi media yang efektif dan efisien, tapi juga
penggunaan yang efektif dan efisien pula. Individu-individu yang melek media
seharusnya dapat mengembangkan kecakapan yang produktif sehingga
memungkinkan untuk menciptakan pesan-pesan media yang bermanfaat.
Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan
mengenai media dan segala hal yang bersangkutn mengenai media itu sendiri,
untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana media dan isi yang
seharusnya maka langkah pertama yaitu dengan memahami kewajibankewajiban praktisi media baik secara etis dan moral.
Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan
mengenai media dan segala hal yang bersangkutan mengenai media itu sendiri,
untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana media dan isi yang
seharusnya maka langkah pertama yaitu dengan memahami kewajibankewajiban praktisi media baik secara etis dan moral.
2.2.3.

Karakteristik Literasi Media
Potter mencatat sembilan karakteristik dari literasi media, atau deskripsi

tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk berpikir dan bertindak agar
dinilai melek media (Rahardjo, 2012: 18).
1. Kecakapan dan informasi merupakan hal yang penting.
2. Literasi media adalah seperangkat perspektif di mana kita mengekspos diri
terhadap media dan mengartikan makna dari pesan-pesan yang ditemukan.
3. Literasi media harus dikembangkan. No one is born media literate.
4. Literasi media bersifat multi dimensi.
5. Literasi media tidak dibatasi pada satu medium.
6. Orang yang melek media dapat memahami bahwa maksud dari literasi
media yaitu kemampuan mengendalikan pesan-pesan yang menerpanya dan
menciptakan makna.
7. Literasi media harus dikaitkan dengan nilai-nilai.
8. Orang yang melek media meningkat terpaan mindful-nya.

Universitas Sumatera Utara

9. Orang yang melek media mampu memahami bahwa literasi media adalah
sebuah kontinum, bukan kategori.
Informasi yang dimiliki, namun tidak mempunyai kecakapan, maka
akan sulit untuk memahami informasi dengan baik. Informasi akan tersimpan
dalam memori namun tidak diintegrasikan ke dalam struktur-struktur
pengetahuan. Kecakapan dalam hal inilah yang dimaksud kemampuan untuk
menganalisis mengevaluasi, membuat sintesis, dan ekspresi persuasif. Sisi
yang lain menjelaskan, jika memiliki kecakapan-kecakapan namun tidak
merepresentasikan diri ke dalam pesan-pesan media atau pengalaman dunia
nyata, maka struktur-struktur pengetahuan kita menjadi sangat terbatas dan
tidak seimbang. Industri media, isi media, efek media, dan informasi tentang
media merupakan kawasan utama dari pengetahuan.
Perspektif dibangun dari struktur-struktur pengetahuan. Struktur
pengetahuan akan membentuk landasan untuk bisa melihat fenomena media
yang multi aspek: organisasi, isi, dan efeknya terhadap individu dan institusi.
Semakin banyak struktur pengetahuan yang dimiliki, maka akan semakin
banyak fenomena media akan dapat dilihat. Semakin berkembang struktur
pengetahuan, maka akan semakin banyak konteks yang dimiliki untuk
membantu memahami apa yang dilihat, dan hal tersebut dapat memperluas
perspektif dalam melihat media.
Literasi media merupakan sesuatu yang harus dikembangkan dan tidak
dapat muncul secara langsung dan hal tersebut mempersyaratkan usaha dari
setiap individu. Pengembangan adalah proses jangka panjang yang tidak
pernah berhenti, yakni tidak seorangpun akan mencapai tahapan literasi yang
lengkap. Kecakapan akan dapat selalu dikembangkan dalam tingkatan yang
lebih tinggi. Jika kecakapan tidak diperbaiki secara berkelanjutan, maka
kecakapan yang dimiliki akan menurun (atrophy). Selain itu, struktur-struktur
pengetahuan tidak akan pernah berakhir, karena media dan dunia nyata secara
konstan mengalami perubahan.

Universitas Sumatera Utara

Berikutnya yaitu informasi dalam struktur-struktur pengetahuan tidak
dapat dibatasi pada elemen-elemen kognitif saja, tapi juga berisi elemenelemen emosional, moral dn estetika. Struktur-struktur pengetahuan yang kuat
akan berisi informasi dari empat ranah tersebut. Jika salah satu tipe informasi
hilang, maka struktur pengetahuan menjadi kurang tereleborasi.
Informasi dalam struktur pengetahuan tidak terbatas pada unsur kognitif
saja tetapi juga harus mengandung unsur-unsur emosional, estetika, dan moral.
Empat jenis elemen bekerja sama dimana kombinasi dari masing-masing ketiga
jenis elemen lainnya membantu mememberikan konteks untuk jenis yang
Struktur pengetahuan yang kuat berisi informasi dari keempat elemen tersebut.
Jika ada salah satu jenis informasi yang hilang, maka struktur pengetahuan itu
akan menjadi kurang rinci dari yang seharusnya. Sebagai contoh, orang-orang
yang memiliki struktur pengetahuan tanpa informasi emosional, akan tetap
dapat melakukan analisis dan mengutip banyak fakta tentang sejarah genre film
ketika mereka menonton film bahkan memahami sudut pandang produsernya.
Namun jika tidak dapat merasakan reaksi emosionalnya, mereka hanya
melakukan sesuatu yang bersifat akademis saja serta kering.
Gagasan lama mengenai literasi media hanya dibatasi pada kegiatan
membaca dan lambang-lambang komunikasi yang diakui saja. Literasi media
adalah hal yang luas, yakni mengkonstruksikan makna dari pengalaman dan
konteks ekonomi, budaya, politik dan lain sebagainya. Menjadi melek media
merupakan kemampuan melakukan kontrol terhadap terpaan media dan
mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang disampaikan oleh media. Ketika
orang-orang melakukannya, maka mereka mengendalikan dengan menentukan
apa yang penting dalam hidup mereka dan menata harapan untuk memperoleh
pengalaman dari hal-hal yang penting. Jika seseorang tidak melakukannya,
maka pesan-pesan media akan melimpah ke dalam kondisi yang kurang
menguntungkan.
Ide dasarnya adalah bahwa pemahaman awal tentang literasi hanya
terbatas pada membaca saja dan lebih jauh pada mengenali simbol. Hal inilah
yang menjadi dasar dari literasi untuk media Namun literasi media adalah

Universitas Sumatera Utara

sesuatu yang jauh lebih luas, yaitu membangun makna dari pengalaman dan
konteks yang ada (ekonomi, politik, budaya, dll). Setiap media memiliki
karakteristik yang berbeda, misalnya dalam menggunakan simbol-simbol, cara
memandang khalayak, motivasi mereka dalam melakukan bisnis, dan estetika
yang mereka gunakan. Semakin seseorang mengetahui perbedaan-perbedaan
ini, mereka akan semakin dapat menghargai persamaan dan semakin mereka
dapat memahami bahwa pesan memiliki sifat yang sensitif terhadap medium
yang digunakan.
Tujuan seserorang agar menjadi lebih memiliki kemampuan literasi
media adalah untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar dari eksposur
seseorang terhadap media, dan untuk membangun sendiri makna atas pesanpesan media. Mereka melakukan hal tersebut ketika berada dalam kendali
untuk menentukan apa yang penting dalam hidup dan menetapkan harapan bagi
pengalaman tersebut. Jika mereka tidak melakukan hal ini untuk diri mereka
sendiri, maka banjir pesan media akan menggantikan kendali mereka. Media
tidak hanya akan mengatur agenda kita dan memberitahu orang-orang
mengenai apa yang harus dipikirkan, namun media juga akan menetapkan
standar untuk hal-hal penting dalam hidup. Misalnya, standar sukses seseorang,
kebahagiaan, sifat-sifat seseorang, dan keindahan. Media akan menetapkan
sebuah standar yang mustahil tentang bagaimana kita harus menjalani hidup
kita, penampilan tubuh seseorang, kecepatan mencapai sukses dalam karir,
nilai dari barang-barang material, dan intensitas hubungan.
Masterman berpendapat bahwa pendidikan literasi media tidak berusaha
untuk memaksakan nilai-nilai budaya tertentu. Dia melanjutkan, ini tidak
berusaha untuk memaksakan ide-ide tentang apa yang merupakan baik atau
buruk dalam televisi, surat kabar, atau film. Pendapat itu mengandung nilai
tertentu, walau para pendidik literasi media tidak dapat mendefinisikan mana
pesan buruk dan baik, mereka menyiratkan bahwa mengakses media tanpa
berpikir adalah sesuatu yang tidak baik, dan bahwa menafsirkan pesan secara
aktif adalah sesuatu yang masalahnya bukan pada apakah literasi media sarat

Universitas Sumatera Utara

nilai atau tidak. Isunya difokuskan pada identifikasi apa nilai-nilai tersebut dan
siapa yang mengontrolnya(indonesia-medialiteracy.net).
Seseorang yang memiliki perspektif yang luas pada fenomena media,
memiliki potensi tinggi untuk bertindak dengan cara seperti orang yang
memiliki literasi media yang tinggi. Kumpulan struktur pengetahuan tidak
dengan sendirinya menunjukkan tingkat literasi media. Orang tersebut harus
secara aktif dan penuh kesadaran menggunakan informasi dalam struktur
pengetahuannya selama dia terpapar pesan media. Dengan demikian, orangorang yang lebih tinggi tingkat literasi medianya menghabiskan lebih sedikit
waktu untuk memproses pesan secara Mereka lebih sadar terhadp paparan
media dan secara sadar membuat keputusan tentang penyaringan psan, dan
membangun pemaknaan. Ini bukan berarti bahwa orang-orang yang memiliki
tingkat literasi media yang tinggi tidak menghabiskan banyak waktu dalam
pengolahan otomatis. Mereka tetap melakukannya. Namun demikian, pada saat
mereka berada dalam kondisi otomatis, mereka sedang diatur oleh media.
Literasi media bukan bersifat kategorikal dimana seseorang memiliki
atau tidak memiliki literasi media. Sebaliknya, literasi media lebih tepat
dipandang sebagai sebuah kontinum seperti informasi yang ditunjukkan dalam
termometer, dimana ada derajat yang tinggi dan derajat yang rendah. Kita
semua menempati dalam beberapa posisi pada literasi media yang bersifat
Tidak ada gunanya mengatakan bahwa seseorang tidak memiliki literasi media
sama sekali, dan tidak ada titik di ujung yang tinggi dimana kita dapat
mengatakan bahwa seseorang memiliki tingkat literasi media yang sempurna.
Selalu ada ruang untuk meningkatkan literasi media. Orang-orang diposisikan
sepanjang kontinum yang didasarkan pada kekuatan perspektif mereka secara
keseluruhan terhadap media. Kekuatan perspektif seseorang, didasarkan pada
jumlah dan kualitas struktur pengetahuan yang mereka miliki. Dan kualitas
struktur pengetahuan didasarkan pada tingkat keterampilan dan pengalaman
mereka. Karena orang-orang bervariasi secara substansial pada keterampilan
dan pengalaman, mereka akan bervariasi pula pada jumlah dan kualitas struktur

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan mereka. Oleh karena itu, akan ada variasi yang besar dalam
literasi media di masyarakat.
Orang-orang yang beroperasi pada tingkat literasi media yang rendah
memiliki perspektif yang lemah dan terbatas tentang media. Mereka memiliki
struktur pengetahuan yang lebih kecil, lebih dangkal, dan kurang terorganisir,
yang memberikan perspektif yang tidak memadai untuk digunakan dalam
menafsirkan makna pesan media. Orang-orang ini biasanya enggan atau tidak
mau menggunakan keterampilan mereka yang tetap terbelakang dan karena itu
lebih sulit untuk kemungkinannya untuk berhasil.
2.2.4.

Kesadaran Kritis dalam Literasi Media
Menurut Paulo Freire, ada tiga bentuk kesadaran yang dimiliki manusia,

yang pertama kesadaran kritis yaitu kesadaran yang paling tinggi dalam
arkeologi kesadaran manusia menurut Paulo Freire adalah kesdaran kritis.
Manusia dalam kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek
serta mampu memahami realitas keberadaannya secara menyuluruh, mampu
memahami pemahaman yang kurang baik dalam teks dan realitas. Dan yang
perlu diingat pada perkataan Freire adalah kesadaran kritis tidak bisa diimpose
atau didepositokan, tapi harus dilahirkan lewat usaha yang kreatif dari dalam
diri sendiri. Masyarakat dengan tingkat kesadaran kritis masih sedikit ditemui
saat ini mungkin karena masyarakat sudah terbiasa dininabobokan. Sehingga
susah untuk berpikir kritis. Akibatnya susah untuk mencapai keadilan. Karena
jumlah mereka yang berpikir kritis ini msih sedikit kalah dengan suara mereka
yang memiliki kekuasaan.
“Pemikiran teoritik tentang literasi media merupakan produk dari
sejarah intelektual barat. Pemikiran tersebut terkandung lebih kurang dua
pernyataan penting mengenai literasi media, yang pertama yaitu literasi
media, yang pertama yaitu literasi media mendorong munculnya pemikiran
kritis khalayak terhadap program-program yang disajikan media. Kedua
adalah literasi media memungkinkan terciptamya kemampuan untuk
berkomunikasi secara kompeten dalam semu bentuk media, dan lebih bersikap
proaktif dari pada reaktif dalam memberi makna terhadap program-program
yang disajikan oleh media (Rahardjo, 2012: 22).”

Universitas Sumatera Utara

Kemunculan literasi media menjadi pendorong khalayak untuk harus
bersikap kritis terhadap media beserta kontennya, terlebih lagi dengan
kehadiran berbagai media sosial yang menuntut khalayak untuk lebih aktif lagi
dalam bermedia, tetapi juga lebih menuntut untuk tetap menjaga diri mereka
dengan memiliki kesadaran kritisnya masing-masing sehingga media tetap
marak namun tidak kebablasan dalam menyampaikan informasi.
Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis akan dapat berpikir
kritis, tidak membeo saja, tetapi dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan
kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis untuk dapat
menjawab tantangan masa depan pada era globalisasi yang serba tidak pasti
dan berubah sangat cepat.
“Berpikir kritis seperti dikatakan Steven D. Schafersman dalam
mencakup seluruh proses mendapatkan, membandingkan, menganalisis
mengevaluasi, internalisasi dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai. Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab berpikir kritis
harus memiliki keyakinan dalam nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya
sebelum didapatkan alasan yang logis dari padanya (Murwani 2006:62).”
Berpikir kritis berarti berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal
tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang dunia. Berpikir kritis adalah
berpikir yang beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan terampil berpikir
yang fokus dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Seseorang
yang berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan dengan tepat, memperoleh
informasi yang relevan, efektif dan kreatif dalam memilah-milah informasi,
alasan logis dari informasi, sampai pada kesimpulan yang dapat dipercaya dan
meyakinkan tentang dunia yang memungkinkan untuk hidup dan beraktifitas
dengan sukses di dalamnya. Adalah tidak mungkin untuk mendapatkan
aktualisasi diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan berpikir kritis itu tidak
akan terjadi tanpa didahului oleh kesadaran kritis.
Silverblatt menyebutkan beberapa butir tujuan dari literasi media, yang
pertama adalah kesadaran kritis, memberi manfaat bagi khalayak untuk
mendapatkan informasi secara benar, terkait cakupan media dengan
membandingkan antara media yang satu dengan yang lain. Kedua yaitu lebih
sadar akan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari, dan
menginterpretasikan pesan tersebut. Kemudian membangun sensitivitas

Universitas Sumatera Utara

terhadap program-program sebagai cara mempelajari kebudayaan. Terakhir
yaitu mengetahui pola hubungan antara pemilik media dan pemerintah (Baran,
2003: 51).
Kesadaran kritis dalam konteks literasi media menjadi sebuah hal yang
fundamental jika melihat dari dua gagasan yang dikemukakan oleh silverblatt,
yang menjadi tujuan dan dampak dari literasi media bagi khalayak, sehingga
tersebut. Tameng untuk menghadapi media telah terbentuk sedemikian rupa
ketika kesadaran dan kekritisan sudah dimiliki oleh seseorang, ia tidak hanya
dapat melindungi diri sendiri tetapi juga dapat menjadi seorang pelindung bagi
khalayak.
Dampak literasi media pada individu yang dipaparkan oleh Silverblatt,
yaitu kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis, dan aksi sosial. Penjelasan
Silverblatt tersebut pada dasarnya sama dengan konsep kompetensi media
yang dikemukakan oleh Gapski dan Gehrke yang menekan pada daya kritis,
refleksi, dan indepedensi. Kesadaran kritis, pilihan kritis, pada dasarnya
merupakan hal yang bersangkutan satu dengan yang lain, yaitu kemampuan
untuk melihat, menganalisa, menilai, dan menginterpretasikan pesan yang ada
kemudian segala informasi yang diterima disaring dan dipilih berdasarkan
tingkat kebutuhan dan seberapa tinggi nili faktualitas dan aktualitas, serta
bagaimana informasi tersebut dapat berdampak bagi kehidupan (Iriantara,
2009: 35).
Kegiatan literasi selain meningkatkan keterampilan sebagaimana
dijelaskan sebelumnya juga bisa digunakan untukk menumbuhkan kesadaran
kegiatan ini dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap proses, konteks,
struktur, dan nilai produksi. Selain itu, peningkatan kesadaran bisa dilakukan
melalui denaturalisasi media dengan cara menciptakan pemahaman baru bahwa
pesan-pesan media adalah konstruksi dan tidak terjadi secara alamiah. Media
merepresentasikan realita, bukan merefleksikan realita.
Darmawan menjelaskan bahwa literasi media merupakan gerakan
membangun kesadaran dan kemampuan publik untuk mengendalikan
penggunaan

media

dalam

memenuhi

kebutuhannya.

Kesadaran

dan

kemampuan yang dimaksud bukan hanya kemampuan memilih media, namun
juga dengan isi dari media tersebut (Sasangka dan Darmanto, 2010: 21), dan
dengan memiliki media literasi yang kritis, masyarakat memiliki kemampuan
untuk melakukan perubahan, setidaknya dimulai dari individu ketika mereka

Universitas Sumatera Utara

berhadapan dengan media biasa sampai kepada mereka harus menghadapi
persaingan media yang semakin ketat sehingga dimulai dari industri media
raksasa hingga ke media-media baru yang memiliki kekuatan yang
diperhitungkan dengan tampilan dan gaya barunya dalam menyajikan
informasi. Khalayak harus mengetahui bagaimana memposisikan diri agar
melek dengan semua pesan-pesan media yang ada dengan daya persaingan
mereka yang semakin sengit. Cara berpikir juga menjadi salah satu faktor
apakah khalayak sudah cukup kritis atau tidak. Hal tersebut dapat dilihat dari
bagaimana prilaku seseorang setelah mengetahui sebuah informasi yang
didapatnya dari media apakah ia akan langsung membenarkan apa yang
diterimanya atau kembali mencari referensi dari sumber yang berbeda.
Menurut Potter, terdapat keterampilan (skill) yang dibutuhkan untuk
meraih kesadaran kritis bermedia melalui literasi media. Ketujuh keterampilan
atau kecakapan tersebut adalah analisis, evaluasi, pengelompokkan, induksi,
deduksi, sintesis, dan abstracting( Tim Peneliti PKMBP, 2013-17).
Kemampuan analisis menuntut kita untuk mengurai pesan yang kita
terima ke dalam elemen-elemen yang berarti. Evaluasi adalah membuat
penilaian atas makna elemen-elemen tersebut. Pengelompokan (grouping)
adalah menentukan elemen-elemen yang memiliki kemiripan elemen-elemen
yang berbeda untuk dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda.
Induksi adalah mengambil kesimpulan atas pengelompokkan di atas
kemudianmelakukan generalisasi atas pola-pola elemen tersebut ke dalam
pesan yang lebih besar. Deduksi menggunakan prinsip-prinsip umum untuk
menjelaskan sesuatu yang spesifik. Sintesis adalah mengumpulkan elemenelemen tersebut menjadi satu struktur baru. Abstracting adalah menciptakan
deskripsi yang singkat, jelas, dan akurat untuuk menggambarkan esensi pesan
secara lebih singkat dari pesan aslinya
National Association for media Literacy Education (NAMLE)
menyebutkan bahwa literasi media merupakan kemampuan untuk mengakses,
menganalisis,

mengevaluasi,

dan

mengomunikasikan

informasi

dalam

berbagai bentuk. Kemampuan ini dibutuhkan untuk memberdayakan seseorang

Universitas Sumatera Utara

untuk menjadi pemikir kritis dan menjadi produsen yang kreatif untuk
memperluas pesan. Sementara itu, Art Silverblatt menekankan pengertian
literasi media pada beberapa elemen, diantaranya:
1. Kesadaran akan pengaruh media terhadap individu dan sosial
2. Pemahaman akan proses komunikasi mssa
3. Pengembangan strategi untuk menganalisisdan mendiskusikan pesan media
4. Kesadaran bahwa isi media adalah teks yang menggambarkan kebudayaan
dan diri kita sendiri pada saat ini
5. Mengembangkan kesenangan, pemahaman, dan penghargaan terhadap isi
media.
Kelima elemen Silverblatt ini kemudian dilengkapi oleh Baran dengan
pemahaman akan etika dan kewajiban moral dari praktisi media, serta
pengembangan kemampuan produksi yang tepat dan efektif (Tim Peneliti
PKMBP, 2013: 18-19).
Berbagai defenisi diatas sebenarnya merujuk pada hal yang sama, yaitu
literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis bagi khalayak ketika
berhadapan dengan media. Kesadaran kritis menjadi kata kunci bagi gerakan
literasi media. Literasi medi sendiri bertujuan untuk, terutama memberikan
kesadaran kritis terhadap khalayak sehingga lebih berdaya di hadapan media.
Silverblatt menyebutkan empat tujuan literasi media yaitu kesadaran kritis,
diskusi, dan aksi sosial.
Kesadaran kritis pada masyarakat membutuhkan dukungan untuk
mengembangkan pemahaman mengenai kesadaran dalam melek media dan
lebih membimbing dalam memnggunakannya, yang disebut sebagai kelompok
strategis.

Kelompok

ini

disebut

strategis

karena

ada

kemungkinan

menyebarluaskan kembali pengetahuan dan ketrampilan melek media yang
dimilikinya kepada warga masyarakat yang lain. Kelompok-kelompok strategis
ini dapat menjadi agen penyebarluasan kemampuan melek media di
lingkungannya. Salah satu yang termasuk ke dalam kelompok strategis tersebut
adalah guru. Profesi sebagai pendidik kemungkinan untuk berinteraksi dengan

Universitas Sumatera Utara

siswa dan ada kalanya menjadi sosok panutan untuk siswa-siswinya. Para guru
dapat menyelipkan informasi-informasi dan seputar mengenai melek media ini
ditengah pelajaran yang disampaikan. Secara sosial, guru mempunyai posisi
sosial yang istimewa di tengah lingkungannya, sehingga kerap menjadi panutan
bagi warga sekeliling lingkungannya. Sisi strategis lainnya yang membuat
sosok guru istimewa adalah perannya dalam mempersiapkan generasi muda,
yang artinya guru merupakan pembentuk generasi melek media di tengah
semakin pesatnya media berkembang nanti (Iriantara, 2009: 65).
Kelompok strategis lainnya adalah ibu rumah tangga yang bekerja pada
sektor formal maupun informal dan ada beberapa alasan yang menjadi latar
belakang mengapa ibu rumah tangga merupakan kelompok strategis, yaitu:
1. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja maupun bekerja menjalankan peran
penting dalam mendidik putra putrinya, dalam posisi seperti itu, maka ibu
rumah tangga mampu menyebarluaskan permasalahannya atas literasi media
pada anggota keluarga dan sesama warga masyarakat.
2. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja pada umumnya memiliki waktu luang
yang lebih banyak, sehingga sering mengisi waktunya dengan menonton
televisi, mendengarkan siaran radio atau membaca koran/ majalah, oleh
sebab itu ibu rumah tangga masuk ke dalam salah satu kelompok khalayak
sasaran penting bagi media massa baik media cetak maupun media
elektronik. Khalayak yang menjadi sasaran media yang penting berarti
menjadi sasaran iklan-iklan komersial yang mendorong sikap konsumtif,
sehingga diperlukan kemampuan untuk secara kritis mengonsumsi pesanpesan media.
3. Ibu rumah tangga merupakan pelaksana pendidikan keluarga yang
dilakukan oleh berbagai organisasi seperti ibu PKK (Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga), dan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), maka
pendidikan literasi media dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan
keluarga yang bertujuan untuk menyebarluaskan dan memperkaya
pengalaman anggota-anggota keluarga untuk berpartipasi dengan terampil
dalam kehidupan keluarga sebagai satuan kelompok.

Universitas Sumatera Utara

4. Media massa sendiri sering menempatkan ibu rumah tangga sebagai
khalayak sasaran utama, sehingga pengelola media menyediakan program
khusus yang ditujukan untuk ibu rumah tangga.
Peran ibu rumah tangga juga sebagai sasaran utama terkait posisi
strategis mereka dalam menyebarkan kesadaran media kepada keluarga,
terutama anak-anak, yang dalam hal ini ketika seseorang mendidik seorang ibu
rumah tangga, maka sama dengan mendidik dua generasi sekaligus, sehingga
peran ibu dalam sebuah keluarga sangat penting untuk mengayomi dan
membimbing keluarga dan anak-anaknya dalam menggunakan media (Tim
Peneliti PKMBP, 2013: 77).
Kesadaran kritis dalam literasi media disebut sebagai suatu hubungan
yang mutlak dan saling terikat satu dengan yang lainnya karena apabila
memiliki kesadaran kritis sudah dipastikan orang tersebut melek media, begitu
pula sebaliknya jika benar-benar memahami dan mengaplikasikan literasi
media dalam kehidupan, maka akan terbentuk kesadaran kritis di dalam diri
sehingga dapat menyaring berbagai informasi yang diterima untuk masingmasing individu.
Kesadaran kritis memberikan manfaaat bagi khalayak untuk mendapat
informasi secara benar terkait coverage media dengan membandingkan antara
media yang satu dengan yang lain secara lebih kritis, lebih sadar akan pengaruh
media dalam kehidupan sehari-hari, menginterpretasikan pesan media,
membangun sensitivitas terhadap program-program sebagai cara mempelajari
kebudayaan, mengetahui pola hubungan antara pemilik media dan pemerintah
yang memengaruhi isi media, serta mempertimbangkan media dalam
keputusan-keputusan individu. Kesadran kritis khalayak atas realitas media ini
yang menjadi tujuan utama literasi media. Ini karena media bukanlah entitas
yang netral. Ia selalu membawa nilai, baik ekonomi, politik, maupun budaya.
Keseluruhannya memberikan dampak bagi individu bagaimana ia menjalani
kehidupan kehidupan sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara

2.2.5. Media Massa dan Literasi Media Massa
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengartikan bahwa media
sebagai: (1) al

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25