Hubungan Antara Red Blood Cell Count (Rbc) Dan Retinopati Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 DIABETES MELLITUS
Diabetes merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia akibat defek pada sekresi

insulin, aksi insulin, atau keduanya.

Hiperglikemia pada diabetes dihubungkan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
dan gagal organ, khususnya pada mata, ginjal, jantung dan pembuluh darah.11
2.1.1 Klasifikasi DM :
1. Tipe 1 : Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.
Autoimun
Idiopatik
2. Tipe 2 : Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resisten insulin.
3. Tipe lain

: Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit


eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab
imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
4. Diabetes melitus gestasional

2.1.2 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik, yaitu :
1. Keluhan klasik berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
2. Keluhan lain berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara :

1. Jika keluhan klasik ditemukan,maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 200 mg/dL dengan adanya keluhan klasik
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl.1
2.1.3 Penyulit Diabetes Melitus :
Penyulit Akut

1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
2. Status Hiperglikemia Osmolar (SHH)
3. Hipoglikemia
Penyulit Menahun
1. Makroangiopati

♦ Pembuluh darah jantung
♦ Pembuluh darah tepi

♦ Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati






2.1.4

Retinopati Diabetik

Nefropati Diabetik
Neuropati1

Patogenesis terjadinya komplikasi mikrovaskular
Empat

jalur

utama

diperkirakan

berperan

menyebabkan

kerusakan

mikrovaskular yang dipicu oleh hiperglikemia dan khas untuk pengidap diabetes:


a. Peningkatan aliran jalur poliol
Jalur poliol telah diteliti secara ekstensif di sel saraf pengidap diabetes dan juga
terdapat di sel endotel. Banyak sel memiliki aldosa reduktase, suatu enzim yang
mengubah aldoheksosa, misalnya glukosa, menjadi alcohol-alkoholnya (jalur poliol).
Hiperglikemia menyebabkan substrat untuk enzim ini bertambah. Kelebihan sorbitol
yang diproduksi dari reaksi ini tidak dapat keluar dari sel dan dapat menyebabkan stress
osmotic. Akumulasi sorbitol telah dibuktikan terjadi di sel saraf dan sel endotel serta di

lensa mata. Reduksi glukosa menjadi sorbitol menghabiskan NADPH dan oksidasi
selanjutnya sorbitol menjadi fruktosa meningkatkan rasio NADH/NAD+ di sitosol, efek
yang juga dihipotesiskan berperan dalam pathogenesis kerusakan mikrovaskular-dan
saraf- pada diabetes.
b. Pembentukan AGE (advanced glycosylation end-products)
Jika terdapat dalam konsentrasi tinggi, glukosa dapat bereaksi secara non
enzimatis dengan gugus-gugus amino protein untuk membentuk zat antara yang tak
stabil, suatu basa Schiff, yang kemudian mengalami tata ulang internal untuk
membentuk protein terglikasi stabil yang juga dikenal sebagai early glycosylation
product (produk Amadori). Reaksi semacam ini menyebabkan terbentuknya glycated
HbA, yang juga dikenal sebagai HbA1c. Produk-produk glikosilasi dini ini dapat
mengalami rangkaian reaksi kimia dan tata ulang lebih lanjut yang menyebabkan

terbentuknya berbagai AGE, dimana AGE dapat berikatan dengan komponen matriks
membrane basal. Pembuluh darah besar dan kecil pada pengidap diabetes
memperlihatkan akumulasi kontinu protein-protein AGE. Selain itu, pengikatan AGE
pada reseptor spesifik di makrofag menyebabkan pelepasan berbagai sitokin yang
selanjutnya dapat mempengaruhi proliferasi dan fungsi sel vascular.
c. Pengaktifan protein kinase c (PKC)
Hiperglikemia di dalam sel endotel yang terjadi karena transporter glukosa tidak
berkurang di sel-sel ini sementara terjadi hiperglikemia, menyebabkan peningkatan
diacylglycerol (DAG) yang selanjutnya mengaktifkan beberapa isoform protein kinase c
(PKC) yang terdapat di sel-sel ini. Pengaktifan PKC yang tidak sesuai ini mempengaruhi
aliran darah dan mengubah permeabilitas endotel, sebagian efeknya terhadap jalur
nitrogen oksida.
d. Peningkatan jalur heksosamin.
Peningkatan pengalihan glukosa melalui jalur heksosamin, yang berperan
menyebabkan resistensi insulin, juga diduga berperan dalam penyakit mikrovaskular
karena jalur ini menghasilkan substrat yang jika berikatan secara kovalen dengan faktor
transkripsi, merangsang ekspresi protein-protein, seperti transforming growth factor
dan inhibitor activator plasminogen yang menambah kerusakan mikrovaskular.16

Gambar 2.1. Patogenesis retinopati diabetic 17

Kejadian pada vaskular merupakan hal yang serius dan sering pada Diabetes
Mellitus tipe 2. Mediator kerusakan vaskular diabetes salah satunya adalah kontrol gula
yang buruk, abnormalitas protein, hipertensi, dan stress oksidatif, inflamasi, dan
advanced glycation end products (AGEs), yang merupakan modifikasi protein yang
dibentuk oleh glikasi non enzimatik. Disfungsi vaskular patologis berhubungan dengan
DM tipe 2 termasuk retinopati diabetik seperti semua kondisi DM adalah penyakit
progresif yang disebabkan oleh paparan hiperglikemia kronik, dan dikenal dengan
karakteristik penyakit vaskular, nefropati diabetik dan neuropati diabetik ( sistem saraf
perifer). Ada juga yang menyebutkan hiperglikemia dapat menginduksi angiopati
diabetik melalui regenerasi sistem oksidasi, atau melalui akumulasi AGEs, menuju ke
Nitrous oxide system (NOS). Retinopati ditandai dengan peningkatan permeabilitas
vaskular, penutupan vaskular dimediasi oleh formasi pembuluh darah baru
(neovaskularisasi), pada retina dan permukaan posterior dari vitreus. Umumnya,
neovaskularisasi terjadi sebagai akibat dari oklusi kapiler yang rapuh dan perdarahan
yang sering dari pre retina dan vitreus pada kasus pelepasan vitreus.17
2.2 Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular optikal dari diabetes
dengan karakteristiknya adanya mikroaneurisma, perdarahan, eksudasi, perubahan

vena, neovaskularisasi, dan penipisan retina. Ini dapat mempengaruhi retina perifer,

macula atau keduanya.18 Retinopati diabetik dan edema macular diabetik merupakan
penyebab kebutaan pada populasi usia kerja di negara berkembang.19 Hampir 90% dari
pasien diabetes menderita retinopati setelah 20 tahun. DM tipe 2 dapat menyebabkan
perubahan hampir di setiap jaringan okular. Ini meliputi keratoconjunctivitis sicca,
xantelasma, infeksi jamur orbita, perubahan refraksi sementara, katarak, glukoma,
neuropati pada saraf optik, kelumpuhan okulomotor, namun 90% dari penurunan fungsi
visual disebabkan oleh RD.20
Kekerapan perkembangan RD ini berhubungan dengan durasi penyakit. DM tipe
2 bisa dengan onset perlahan dan muncul tanpa disadari. Akibatnya, pasien mungkin
sudah menderita RD saat didiagnosis DM. sedangkan pada DM tipe 1 terdiagnosa lebih
awal dan biasanya RD tidak muncul sampai beberapa tahun setelah terdiagnosis. Resiko
menderita RD meningkat setelah puberitas. 20 tahun setelah terdiagnosis DM dan
hampir seluruh DM tipe 1 menunjukkan gejala retinopati.21
2.2.1 Klasifikasi retinopati diabetik:
Retinopati diabetik diklasifikasikan beberapa tipe ; mild non proliferative
retinopathy, dimana retina membengkak seperti balon dan dikenali sebagai stadium
awal dari retinopati diabetik dimana pembuluh darah yang menutrisi retina tertutup,
severe non proliferative retinopathy, dimana penyebaran retinopati dan pembuluh
darah tertutup di beberapa area di retina, dan proliferative retinopathy, dimana retina
mengirimkan sinyal untuk memicu pertumbuhan pembuluh darah baru.22


Tabel 2.1. Derajat Retinopati Diabetik

Dikutip dari kepustakaan nomor 23

2.2.2 Gejala
Biasanya pasien tidak mengalami gejala sehingga sering terlambat untuk
pengobatannya. Stadium lanjut RD bervariasi tergantung dari penyebabnya. Perdarahan
sampai ke vitreus dapat menyebabkan kehilangan penglihatan tiba-tiba. Edema makula
dan iskemia merupakan mekanisme lainnya penurunan penglihatan.21

2.2.3 Pertimbangan diagnosis
Banyak tehnik yang digunakan untuk mendeteksi retinopati diabetik termasuk
oftalmoskop direk dan indirek, angiografi fluoresensi, strereoskopik digital, dan fotografi
fundus color film–based, dan mydriatic atau nonmydriatic digital color atau
monochromatic single-field photography. Derajat dari stereoscopic color fundus
photographs pada tujuh lapangan standard seperti disebutkan pada kelompok Early
Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) merupakan modalitas standard untuk
deteksi retinopati diabetik. Walaupun modalitas ini akurat dan dengan hasil yang baik,ini
memerlukan fotografer dan pembaca fotograf terlatih dan peralatan fotografi, proses

pembuatan dan penyimpanan yang rumit. Oftalmoskop merupakan tehnik yang paling
sering dipakai untuk mengamati retinopati diabetik. Pada beberapa kondisi khusus

oftalmoskopi direk non oftalmologis memiliki sensitivitas 50 % untuk deteksi retinopati
proliferatif.

24

Diabetik retinopati dan berbagai stadiumnya didiagnosa dengan

pemeriksaan stereoskopik fundus dengan pupil terdilatasi. Optalmoskopi dan evaluasi
stereoskopi fundus merupakan baku emas. Angiografi fluoresen biasanya dipergunakan
bila ada indikasi terapi laser.20
2.2.4 Diagnosis diferensial
Meliputi gangguan vaskular retina lainnya, terutama perubahan hipertonik
fundus (dapat disingkirkan bila didapati penyakit yang melatar belakanginya).20
2.2.5 Terapi
Pembedahan fotokoagulasi laser merupakan tehnik standar untuk tatalaksana
retinopati diabetik. Umumnya disarankan untuk pasien dengan resiko tinggi proliferative
diabetic retinopathy atau neovaskularisasi di sudut ruang anterior. Vitrektomi juga

merupakan bagian penting strategi tatalaksana pada retinopati diabetik lanjut.
Vitrektomi telah menunjukkan peningkatan penglihatan terkait dengan kualitas hidup.
Injeksi retrobulbar atau peribulbar dapat dilakukan dengan fotokoagulasi laser.
Komplikasi serius akibat injeksi ini bisa ada akan tetapi jarang terjadi.
untuk retinopati diabetik dapat dilihat pada table 2.23
Tabel 2.2. Pilihan Terapi Retinopati Diabetik

Dikutip dari kepustakaan nomor 23

25

Manajemen

2.2.6 Pencegahan
Kegagalan dalam pemeriksaan skrining oftalmologis rutin pada pasien DM
merupakan kelalaian yang mengakibatkan resiko kebutaan. Oleh karena itu, DM tipe 2
sebaiknya menjalani pemeriksaan optalmologis sejak diagnosis ditegakkan, dan DM tipe
1 sebaiknya menjalani pemeriksaan setelah 5 tahun diagnosis ditegakkan. Setelah itu,
pasien diabetes sebaiknya menjalani pemeriksaan optalmologis sekali setahun, atau
lebih sering bila RD sudah muncul.20

Tabel 2.3. Rekomendasi Jadwal Pemeriksaan dan Follow up retinopati diabetik

Dikutip dari kepustakaan nomor 23

Pencegahan utama dan proses penyaringan untuk retinopati diabetik bervariasi
menurut umur dan onset penyakit. Beberapa bentuk penyaringan retina dengan
fotografi fundus standar atau digital dengan atau tanpa dilatasi telah diselidiki sebagai
sarana untuk mendeteksi retinopati. Validasi teknologi digital imaging yang cukup dapat
menjadi alat penyaringan yang efektif dan sensitif untuk identifikasi pasien dengan
retinopati diabetik untuk evaluasi dan manajemen lebih lanjut.24
2.3. Eritrosit
2.3.1 Sitologi Eritrosit
Ukuran eritrosit matur manusia berdiameter sekitar 7-8 μm untuk dan tampak
sebagai bagian tanpa inti, sel asidofilik. Sebagian besar sitoplasmanya (90-95% berat
kering) terdiri dari pigmen pembawa besi hemoglobin. Nilai normal hemoglobin
tergantung pada umur dan jenis kelamin, dimana laki-laki memiliki nilai normal yang

lebih tinggi daripada wanita, dan orang dewasa memiliki nilai yang lebih tinggi daripada
anak-anak ( kecuali bayi baru lahir, dengan nilai tertinggi dibandingkan semuanya).
Hematokrit adalah nilai total volume eritrosit relatif dari volume total whole blood pada
sampel.hasilnya merupakan proporsi, sering dibuat dalam persen. Nilai normal adalah
37-47% untuk wanita, dan 42-52% untuk laki-laki.
Sebuah sel darah merah normal berbentuk lempeng bikonkaf untuk mencapai
daerah permukaan maksimum ke rasio volume sitoplasmik. Permukaan eritrosit sekitar
2

2

128 μm . Jadi, rata-rata seseorang memiliki 3840 m area membran RBC untuk
pertukaran pernapasan. Sel selnya tertutup dalam cairan khusus, membrane sel
bilayered yang fleksibel dan cukup elastis untuk sel-sel dapat berpindah melalui kapilerkapiler. Sel-sel ini sering dianggap bentuk cangkir di kapiler. Membran protein perifer
spektrin dan aktin membantu fungsi sitoskeletal
Eritrosit matur memiliki waktu hidup sekitar 120 hari di sirkulasi. Ketika menua,
area permukaan relative berkurang ke volume sitoplasmik sehingga dalam bentuk sferis
yang lebih kaku dan akhirnya terperangkap di pembuluh limpa.25
2.3.2 Fungsi Eritrosit
Fungsi terpenting sel darah merah adalah transpor O2 dan CO2 antara paruparu dan jaringan Peran fisiologis utama dari hemoglobin adalah perpindahan oksigen
dan CO2. Eritrosit juga terdiri dari enzim yang berperan pada jalur glikolisis dan hexosa
monofosfat. Dalam kondisi normal, sel darah merah tidak pernah meninggalkan sistem
sirkulasi. Darah dengan oksigen terdapat di setiap tipe pembuluh darah. Jumlah oksigen
tertinggi di arteri dan kapiler paru-paru, menurun di kapiler jaringan.
2.3.3 RBC ( Red Blood Cell) count
RBC, disebut juga sel darah merah adalah RBC per unit volume dari whole blood.
6

3

Yang dihitung dengan alat. Laki-laki = 4.7-6.1 x 10 sel/mm ; perempuan = 4.2-5.4 x 10
3

sel/mm .25

6

2.3.4 Agregasi Eritrosit
Agregasi sel darah merah terjadi saat sel bikonkaf saling melekat dan
membentuk rouleaux pada tekanan yang cukup rendah. Hubungan sel-sel tipe ini
tergantung pada komposisi makromolekul dari media yang ada. Kedua bentuk molekul
dan lisis dari makromolekul mempengaruhi derajat agregasi. Agregasi RBC juga
tergantung pada tekanan geser lokal sehingga agregasi bersifat reversible dan dapat
rusak dengan mudah menjadi bagian bagian kecil atau sel individual dibawah tekanan
shear yang meningkat.
2.3.5 Efek agregasi eritrosit pada aliran darah mikrosirkulasi
Pada beberapa studi menunjukkan bahwa agregasi eritrosit intensif
meningkatkan resistensi aliran mikrovaskular. Agregasi eritrosit pada arterial dan
mikrosirkulasi kapiler akan mempengaruhi viskositas darah di pembuluh darah yang
lebih besar dan meningkatkan kebutuhan energi disagregasi pada mikrosirkulasi.
Agregasi eritrosit juga menurunkan densitas fungsional kapiler, menyebabkan
penurunan aliran darah mikrosirkulasi. Disini khususnya didapatkan pada tekanan arteri
yang menurun signifikan. peningkatan agregasi juga mengisi kapiler dengan eritrosit
yang tidak beredar menyebabkan disfungsi kapiler.
2.3.6 Efek agregasi eritrosit pada resitensi aliran vena
Sisi vena pada sistem sirkulasi mengalirkan darah deoksigenasi kembali ke
jantung dan paru untuk membuang sisa metabolisme dan karbondioksida. Aliran darah
pada sirkulasi vena dikarakteristikkan dengan aliran yang rendah (perubahan velositas
aliran darah paralel ke dinding vaskular) dibandingkan sisi arterial. Karena alasan ini
adanya agregasi eritrosit berperan signifikan ke resistensi vaskular vena pada otot yang
beristirahat dan memegang peranan penting ke sistem hemostasis vaskular. Sudah
pernah ditunjukkan bahwa agregasi eritrosit mempengaruhi profil kecepatan pada aliran
darah vena, khususnya dibawah aliran darah berkurang. Kehilangan energi
menyebabkan agregasi eritrosit berperan pada resistensi aliran darah.
2.3.7 Efek agregasi eritrosit pada perfusi seluruh organ
Sebuah penelitian dilakukan pada jantung tikus dan kemudian diperfusi dengan
konsentrasi dextran yang berbeda (sebuah senyawa yang sering digunakan oleh peneliti

untuk mensimulasi agregasi eritrosit). Hasilnya menunjukkan bahwa level agregasi yang
rendah dapat mengurangi resistensi aliran darah pada organ, dimana agregasi yang
sangat meningkat juga sangat meningkatkan perfusi darah ke organ.
2.3.8 Efek agregasi eritrosit pada hematokrit jaringan
Pada level jaringan, jaringan juga dipengaruhi saat tidak cukup tersedia darah.
Jaringan diisi oleh jaringan kapiler dan aliran darah terhambat oleh agregasi eritrosit,
kondisi jaringan juga akan terpengaruh. Pemeriksaan menunjukkan bahwa perubahan
pada agregasi eritrosit di induksi oleh infus fibrinogen mempengaruhi jaringan
hematokrit pada miokard jantung.26
2.4 Hubungan antara Retinopati Diabetik dengan RBC
DM tipe 2 adalah suatu penyakit dengan metabolisme karbohidrat yang tidak
normal, muncul oleh karena defisiensi dan malfungsi reseptor insulin, dimana insulin
menjadi hormon kunci pada hemostasis gula darah, peningkatan glukosa yang konsisten
pada plasma darah mempengaruhi terutama eritrosit dan sel endotel vaskular, termasuk
dinding kapiler. Hiperglikemia merupakan gambaran krusial pada diabetes. Glikasi
abnormal yang dapat mempengaruhi hemoglobin dan membrane protein pada eritrosit,
menunjukkan adanya hubungan dengan penurunan cairan membrane. Sebaliknya, nilai
tinggi dari hemoglobin glikosilasi (HbA1c) dijumpai berhubungan dengan penurunan
deformabilitas eritrosit.9
Gangguan deformabilitas eritrosit merupakan sebuah gangguan hemoreologik
yang diinduksi oleh diabetes dan gagal ginjal. Pengaruhnya pada mikrosirkulasi telah
diimplikasikan pada komplikasi vaskular diabetes. Akhir-akhir ini sejumlah studi telah
menyajikan bukti bahwa gangguan deformabilitas sel darah merah berhubungan dengan
akumulasi AGEs.

Gambar 2.2. Efek Diabetes Mellitus tipe 2 pada eritrosit 27
Glikasi nonenzimatik dari beberapa protein, khususnya membrane glikoprotein eritrosit
dan hemoglobin didapatkan pada pasien dengan diabetes, dan modifikasi biokimiawi
eritrosit adalah salah satu faktor yang penting untuk perubahan eritrosit

pada

diabetes.28
Deformabilitas eritrosit menjadi penting pada mikrosirkulasi. Guyton dan Hall
melaporkan bahwa ukuran minimum pembuluh darah adalah 4-9µm, sementara studi
lain melaporkan diameternya 4-6µm , 4-8µm, dan 5-7µm. Hal ini berarti bahwa ukuran

sel darah merah adalah sekitar 8 µm, sehingga deformabilitas eritrosit memiliki
pengaruh penting pada mikrosirkulasi. Adalah penting perfusi untuk eritrosit agar dapat
melewati kapiler untuk mensuplai oksigen ke jaringan sekitarnya. Ditambah lagi telah
ditunjukkan bahwa gangguan perfusi di tingkat jaringan merupakan komplikasi siabetes
mellitus terutama akibat kurangnya deformabilitas eritrosit.9
Eritrosit pasien dengan DM tipe 2 dihubungkan dengan agregasi dan agregasi
lebih mudah dari pada mereka yang sehat. Agregasi eritrosit merupakan faktor utama
eritrosit yang berperan pada aliran darah. Agregasi eritrosit merupakan parameter
hemoreologikal yang penting karena secara langsung mempengaruhi whole blood
volume (WBV).26 Agregasi eritrosit merupakan fenomena reversible yang berperan untuk
meningkatnya viskositas darah pada aliran datah yang rendah. Agregasi merupakan
penyebab utama peningkatan viskositas darah pada aliran darah yang rendah,
sementara pada aliran darah yang lebih tinggi viskositas darah ditentukan oleh

deformasi eritrosit. Deformasi dan orientasi dari eritrosit menyebabkan perubahan
viskositas whole blood pada pasien dan subjek kontrol. Viskositas whole blood sangat
dipengaruhi oleh agregasi eritrosit dimana peningkatan tekanan aliran darah, jumlah
dan ukuran agregat menurun. Pada aliran darah yang rendah viskositas tergantung juga
pada plasma fibrinogen. Pada pasien dengan diabetes peningkatan fibrinogen, faktor
prediktif untuk perkembangan retinopati dan nefropati juga diobservasi.29
Penelitian oleh Wang dkk (2013) mendapatkan bahwa RBC yang rendah yang
dihitung dengan kuartil merupakan predictor independen resiko terjadinya komplikasi
mikrovaskular pada pasien dengan Diabetes tipe 2.3 Penelitian oleh Yasemin Budak dkk
(2004) mendapatkan pasien diabetes tipe 2 dengan muatan listrik anionic eritrosit
rendah berhubungan dengan retinopati diabetic.6 Penelitian oleh Jindal S dkk (2011)
mendapatkan adanya hubungan antara indeks platelet (PDW dan MPV) dengan
komplikasi mikrovaskular pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2.

14

Sedangkan penelitian

oleh Irace C dkk (2010) mendapatkan hubungan antara penurunan viskositas darah
dengan kejadian retinopati diabetik dimana penurunan hemoglobin menyebabkan
kerusakan organ, viskositas darah yang rendah melalui pengurangan tegangan dapat
menghambat fungsi anti aterogenik dari sel endotel.5
Pada DM tipe 2, terdapat cukup data yang menunjukkan bahwa peningkatan
viskositas darah adalah faktor patogenik untuk mikroangiopati diabetes, perubahan
mikrosirkulasi dan menyebabkan kekurangan nutrisi jaringan. Karena itu peningkatan
viskositas darah bermanifestasi pada semua perubahan mikroskopis yang merugikan
terjadi pada beragam struktur di sirkulasi darah pada diabetes. Peningkatan viskositas
darah dapat menjadi penting sebagai etiologi RD. RD digambarkan sebagai dilatasi vena,
mikroaneurisma, perdarahan, dan proliferasi pembuluh darah. Etiologi mikroangiopati
diabetik bisa karena kerusakan pada mikrosirkulasi yang menyebabkan reduksi lama
suplai oksigen dan nutrisi pada pembuluh darah kapiler. Lebih khusus lagi,
perkembangan diabetic angiopati telah dihubungkan dengan hematokrit abnormal,
viskositas plasma, dan agregasi eritrosit.dan perburukan deformabilitas eritrosit.9