Katarak dan Diabetes Melitus

KATARAK DAN DIABETES MELITUS

NURCHALIZA HAZARIA SIREGAR
NIP.19700908 200003 2 001

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

i
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI
ANATOMI LENSA................................................................................................1
HISTOLOGI LENSA...............................................................................................1
BIOKIMIA LENSA.................................................................................................2
KATARAK.............................................................................................................5
DIABETES MELITUS..........................................................................................15
PATOGENESIS TERJADINYA KATARAK PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS......................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

ii
Universitas Sumatera Utara

ANATOMI LENSA
Lensa merupakan suatu struktur transparan berbentuk bikonveks yang
memiliki dua permukaan, yaitu permukaan anterior dan posterior. Permukaan
lensa pada bagian posterior lebih cembung daripada permukaan anterior, dimana
radius kurvatura posterior 6 mm dan radius kurvatura anterior 10 mm (Lang,
2000).
Pada saat baru lahir, jarak ekuator lensa sekitar 6,4 mm dan jarak
anteroposterior 3,5 mm dan beratnya sekitar 90 mg. Pada lensa dewasa, jarak
ekuator sekitar 9 mm dan jarak anteroposterior 5 mm dan beratnya sekitar 255 mg
(American Academy of Ophthalmology, 2008).
Lensa terletak di antara permukaan posterior iris dan badan vitreus pada
lengkungan berbentuk cawan badan vitreus yang disebut fossa hyaloid. Lensa
bersama dengan iris membentuk diafragma optikal yang memisahkan bilik
anterior dan posterior mata. Lensa ditahan pada posisinya oleh serat zonula yang
berada di antara lensa dan badan siliar (Lang, 2000).

Lensa bersifat avaskular dan tidak mempunyai persarafan sehingga nutrisi
lensa hanya didapat dari aqueous humor. Metabolisme lensa terutama bersifat
anaerob akibat rendahnya kadar oksigen terlarut di dalam aqueous (Vaughan &
Asbury, 2000).

HISTOLOGI LENSA
Secara histologi, lensa tersusun atas kapsul lensa, epitel subkapsular, dan
serat lensa. Kapsul lensa merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan
terutama terdiri atas kolagen tipe IV dan glikoprotein. Di bawah kapsul lensa
terdapat epitel yang terdiri atas selapis sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada
permukaan anterior lensa. Epitel subkapsular yang berbentuk kuboid akan
berubah menjadi kolumnar di bagian ekuator (Junqueira & Carneiro, 2007).
Epitel lensa tersebut akan membentuk serat lensa terus menerus sehingga
mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa sehingga
membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa yang paling

1
Universitas Sumatera Utara

dahulu dibentuk atau serat lensa yang tertua di dalam kapsul lensa. Di dalam lensa

dapat dibedakan nukleus embrional, fetal, dan dewasa. Di bagian luar nukleus ini
terdapat serat lensa yang lebih muda dan disebut sebagai korteks lensa. Korteks
yang terletak di sebelah depan nukleus lensa disebut sebagai korteks anterior,
sedangkan yang terletak di belakang disebut korteks posterior. Nukleus lensa
mempunyai konsistensi lebih keras dibanding korteks lensa yang lebih muda
(Ilyas, 2011).
Di bagian perifer kapsul lensa terdapat sekelompok serat yang tersusun
radial, yakni zonula, yang satu sisinya tertanam pada kapsul lensa dan sisi lainnya
pada badan siliar. Serat zonula serupa dengan mikrofibril serat elastin. Sistem ini
penting untuk proses yang dikenal sebagai akomodasi, yang dapat memfokuskan
objek dekat dan jauh dengan mengubah kecembungan lensa. Bila mata sedang
istirahat atau memandang objek yang jauh, lensa tetap diregangkan oleh zonula
pada bidang yang tegak lurus terhadap sumbu optik. Bila melihat dekat, muskulus
siliaris akan berkontraksi dan koroid beserta badan siliar akan tertarik ke depan.
Ketegangan yang dihasilkan zonula akan berkurang dan lensa menebal sehingga
fokus objek dapat dipertahankan (Junqueira & Carneiro, 2007).

BIOKIMIA LENSA
Komposisi Lensa
Lensa manusia secara normal terdiri atas air sebanyak 66% dan protein

sebanyak 33%. Kandungan protein pada lensa dua kali lebih banyak dibandingkan
jaringan lainnya. Protein lensa dibagi menjadi dua berdasarkan kelarutannya
dalam air, yaitu protein larut dalam air dan protein tidak larut dalam air. Fraksi
protein larut dalam air sebesar 80% dari seluruh protein lensa dan utamanya
terdiri atas protein yang disebut dengan kristalin. Kristalin merupakan protein
intraselular yang terdapat pada epithelium dan membran plasma dari sel serat
lensa. Kristalin tebagi menjadi tiga grup, yaitu alpha, beta, dan gamma.
Kristalin alpha merepresentasikan 32% dari protein lensa. Kristalin alpha
merupakan protein terbesar dengan besar molekul berkisar 600-4000 kiloDaltons
(kD), bergantung pada kecenderungan subunitnya untuk beragregasi. Kristalin

2
Universitas Sumatera Utara

alpha bukan merupakan suatu protein tersendiri, melainkan gabungan dari 4
subunit mayor dan 9 subunit minor. Setiap polipeptida subunit memiliki berat
molekul 20 kD dan rantai ikatannya merupakan ikatan hidrogen dan interaksi
hidrofobik. Kristalin alpha turut berperan dalam transformasi sel epitel menjadi
serat lensa. Laju sintesis kristalin alpha tujuh kali lebih cepat di sel epitel daripada
di serat kortikal, mengindikasikan penurunan laju sintesis setelah transformasi.

Kristalin beta dan gamma memiliki rangkaian asam amino homolog dan
struktur yang sama sehingga dapat dipertimbangkan sebagai satu famili protein
dan sering disebut sebagai kristalin betagamma. Kristalin beta berkontribusi
sebesar 55% dari protein larut air pada protein lensa. Kristalin gamma merupakan
kristalin yang terkecil, dengan berat molekul sekitar 20 kD.
Protein lensa yang tidak larut dalam air dapat dibagi menjadi dua, yaitu
protein yang larut dalam urea dan yang tidak larut dalam urea. Fraksi yang larut
dalam urea mengandung protein sitoskeletal yang berfungsi sebagai rangka
struktural sel lensa dan fraksi yang tidak larut urea mengandung membran plasma
serat lensa yang menyerupai membran plasma eritrosit dalam berbagai hal.
Hampir 50% protein membran disusun oleh suatu protein yang dikenal
dengan Major Intrinsic Protein (MIP). MIP pertama sekali muncul di lensa ketika
serat lensa mulai memanjang dan dapat dijumpai di membran di sepanjang lensa.
MIP tidak dijumpai di sel epitel, namun sepertinya berhubungan dengan
diferensiasi sel epitel menjadi serat lensa.
Suatu hipotesis menyatakan bahwa seiring dengan bertambahnya usia,
protein lensa menjadi tidak larut dalam air dan beragregasi membentuk partikel
yang sangat besar yang mengaburkan cahaya, akibatnya lensa menjadi tidak
tembus cahaya. Selain itu, pertambahan usia, khususnya pada katarak brunesen
juga mengakibatkan meningkatnya protein nukleus yang tidak larut dalam urea.

Metabolisme Lensa
Pada lensa, produksi energi sangat bergantung pada metabolisme
glukosa. Glukosa memasuki lensa dari aqueous humor melalui dua cara, yaitu
difusi sederhana dan difusi terfasilitasi. Kebanyakan glukosa yang memasuki
lensa difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat (G6P) oleh enzim heksokinase.

3
Universitas Sumatera Utara

Heksokinase akan tersaturasi oleh kadar glukosa normal pada lensa sehingga
apabila kadar glukosa normal telah dicapai, maka reaksi ini akan terhenti.
Glukosa-6-fosfat yang terbentuk ini akan digunakan di dua jalur metabolik,
yaitu glikolisis anaerob dan jalur pentose fosfat atau yang dikenal dengan
hexose monophosphate (HMP) shunt.
Di antara kedua jalur ini, yang paling banyak menghasilkan energi
adalah glikolisis anaerob dikarenakan lensa tidak dilalui pembuluh darah
sehingga kadar oksigen lensa sangat rendah. Glikolisis anaerob kurang efektif
apabila dibandingkan dengan glikolisis aerob karena hanya dihasilkan dua
molekul ATP per molekul glukosa, sedangkan pada glikolisis aerob bisa
dihasilkan sebanyak 36 molekul ATP.

Kadar oksigen pada lensa sangat sedikit sehingga hanya sekitar 3% dari
glukosa lensa yang melalui siklus Krebs untuk menghasilkan ATP, namun
siklus ini mampu menghasilkan 25% dari seluruh ATP yang dibentuk di lensa.
Jalur lain yang memetabolisme glukosa-6-fosfat adalah jalur pentose
fosfat. Kira-kira 5% dari seluruh glukosa lensa dimetabolisme oleh jalur ini dan
dapat distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa. Aktivitas jalur pentose fosfat
di lensa lebih tinggi dibandingkan di jaringan lain untuk menghasilkan banyak
NADPH yang berfungsi untuk mereduksi glutation.
Enzim yang berperan penting pada metabolisme glukosa di lensa adalah
enzim aldosa reduktase. Aldosa reduktase digunakan pada jalur lain dalam
metabolisme glukosa di lensa, yakni jalur sorbitol, dimana enzim ini akan
mengubah glukosa menjadi sorbitol. Ketika kadar glukosa meningkat, seperti
pada keadaan hiperglikemik, jalur sorbitol akan lebih aktif daripada jalur
glikolisis sehingga sorbitol akan terakumulasi. Kemudian sorbitol akan
dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim poliol dehidrogenase. Enzim ini
memiliki afinitas yang rendah, yang berarti sorbitol akan terakumulasi sebelum
dapat dimetabolisme, sehingga menyebabkan retensi sorbitol di lensa.
Selanjutnya sorbitol dan fruktosa menyebabkan tekanan osmotik lensa
meningkat dan akan menarik air sehingga lensa akan menggembung,


4
Universitas Sumatera Utara

sitoskeletal mengalami kerusakan, dan lensa menjadi keruh (American
Academy of Ophthalmology, 2008).

KATARAK
Definisi Katarak
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract, dan Latin
Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular, dimana
penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah
setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, ataupun akibat keduaduanya (Ilyas, 2011).

Epidemiologi Katarak
Katarak merupakan suatu keadaan yang terutama dipengaruhi oleh
pertambahan usia. Kemungkinan lebih dari 90% dari semua jenis katarak
termasuk dalam tipe senile (katarak senil). Semua jenis katarak, kecuali yang
disebabkan oleh trauma, mempunyai frekuensi yang sama baik pada laki-laki
maupun pada perempuan (Schlote et al, 2006).

Menurut WHO, katarak merupakan penyebab kebutaan terbesar di
seluruh dunia. Katarak menyebabkan kebutaan pada lebih dari 17 juta
penduduk dunia dan diperkirakan akan mencapai 40 juta pada tahun 2020
(American Academy of Ophthalmology, 2008).
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, prevalensi katarak di Indonesia
sebanyak 1,8% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Sulawesi Utara (3,7%)
diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Prevalensi katarak terendah
ditemukan di DKI Jakarta (0,9%) diikuti Sulawesi Barat (1,1%).

5
Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi Katarak
Klasifikasi berdasarkan usia :
a. Katarak kongenital, adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau
segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari satu tahun. Untuk
mengetahui penyebab katarak kongenital, diperlukan pemeriksaan
riwayat pre-natal infeksi ibu, seperti rubella pada kehamilan trimester
pertama dan pemakaian obat selama kehamilan. Katarak kongenital
sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita

penyakit rubella, galaktosemia, homosisteinuri, diabetes melitus,
hipoparatiroidism,

toksoplasmosis,

inklusi

sitomegalik,

dan

histoplasmosis. Pada pupil mata bayi yang menderita katarak kongenital
akan terlihat bercak putih atau suatu lukokoria. Kekeruhan pada katarak
kongenital dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dan gambaran
morfologik.
b. Katarak juvenil, adalah katarak yang terdapat pada orang muda, yang
mulai terbentuknya pada usia kurang dari sembilan tahun dan lebih dari
tiga bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan kelanjutan dari katarak
kongenital.
c. Katarak senilis, adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia

lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun. Katarak senil secara klinik dikenal
dalam 4 stadium, yaitu insipien, imatur, matur, dan hipermatur.

6
Universitas Sumatera Utara

Tabel Perbedaan stadium katarak senilis
Insipien

Imatur

Matur

Hipermatur

Kekeruhan

Ringan

Sebagian

Seluruh

Masif

Cairan

Normal

Bertambah

Normal

Berkurang

(air masuk)

lensa

(air + masa
lensa keluar)

Iris

Normal

Terdorong

Normal

Tremulans

Bilik mata

Normal

Dangkal

Normal

Dalam

Normal

Sempit

Normal

Terbuka

Negatif

Positif

Negatif

Pseudopos

-

Glaukoma

-

Uveitis

depan
Sudut bilik
mata
Shadow
test
Penyulit

+

Glaukoma
(Sumber : Lang, 2000)

3 jenis utama katarak terkait usia berdasarkan morfologi :
a. Katarak nuklear
Sklerosis dan kekuningan pada nukleus lensa dianggap sebagai suatu
proses yang normal pada orang dewasa yang telah melewati usia
pertengahan. Pada katarak nuklear, proses tersebut terjadi secara
berlebihan sehingga mengakibatkan kekeruhan pada bagian sentral
lensa. Katarak jenis ini cenderung berkembang lambat. Meskipun
biasanya bilateral, namun bisa asimetris. Umumnya lebih berpengaruh
pada penglihatan jarak jauh daripada penglihatan jarak dekat. Pada
tahap

awal,

pengerasan

progresif

dari

nukleus

lensa

sering

menyebabkan peningkatan indeks refraktif lensa dan kemudian terjadi

7
Universitas Sumatera Utara

myopic shift. Perubahan kekuningan dan kecoklatan yang progresif pada
lensa menyebabkan diskriminasi warna yang buruk, khususnya terhadap
spektrum warna biru. Pada kasus yang berat, nukleus lensa menjadi
opaque dan berwarna cokelat atau disebut dengan katarak brunesen.
b. Katarak kortikal
Perubahan komposisi ion pada korteks lensa dan hidrasi pada serat lensa
menjadi penyebab terjadinya opasifikasi korteks lensa. Sama seperti
katarak nukleus, katarak kortikal biasanya bilateral, namun sering
asimetris. Gejala yang paling sering pada katarak jenis ini adalah silau
dan dapat dijumpai monocular diplopia. Tanda awal katarak kortikal
adalah dengan pemeriksaan slit lamp tampak seperti vakuola dan
belahan air pada korteks anterior atau posterior.
c. Katarak posterior subkapsular
Sering ditemukan pada pasien yang lebih muda dibandingkan dengan
katarak nuklear dan kortikal. Sesuai dengan namanya, katarak jenis ini
terletak di lapisan kortikal posterior lensa. Indikasi awal terbentuknya
katarak posterior subkapsular adalah perubahan warna berkilau yang
terlihat di lapisan kortikal posterior dengan menggunakan slit lamp.
Pada tahap lanjutan, opasitas granular dan seperti plak muncul di
korteks subkapsular posterior. Pasien dengan katarak jenis ini sering
mengeluhkan silau dan penglihatan yang buruk pada kondisi cahaya
yang terang (American Academy of Ophthalmology, 2008).

8
Universitas Sumatera Utara

Etiologi dan Faktor Risiko Katarak
1. Usia
Patogenesis katarak terkait usia merupakan suatu proses multifaktorial
yang belum sepenuhnya dimengerti. Seiring pertambahan usia, lensa akan
bertambah berat dan tebal serta akan mengalami penurunan kekuatan
akomodasinya. Sebagaimana serat lensa yang terus tumbuh dengan arah
pertumbuhan yang konsentris, nukleus atau serat lensa yang berada di pusat
lensa akan mengalami penekanan dan pengerasan (nuclear sclerosis).
Pertambahan usia juga mengakibatkan kristalin mengalami perubahan kimia
dan beragregasi menjadi protein dengan berat molekul tinggi yang
mengakibatkan transparansi lensa berkurang sehingga lensa tidak lagi
meneruskan cahaya tetapi malah mengaburkan cahaya dan lensa menjadi tidak
tembus cahaya. Perubahan kimia tersebut juga mengakibatkan nukleus lensa
mengalami pigmentasi yang progresif sehingga lensa berwarna kekuningan
hingga kecoklatan. Hal lain yang terjadi pada lensa terkait usia adalah
penurunan konsentrasi glutation dan kalium serta peningkatan konsentrasi
sodium dan kalsium.

2. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat menginduksi katarak di antaranya adalah
kortikosteroid, phenothiazine, miotics, amiodarone, dan statin. Di antara obatobat tersebut, yang paling sering menyebabkan katarak adalah kortikosteroid.
Penggunaan jangka panjang kortikosteroid diduga dapat mengakibatkan katarak
jenis subkapsular posterior. Insidensinya berhubungan dengan dosis dan durasi
pengobatan, namun risiko untuk terjadinya katarak jenis ini pada tiap individu
bervariasi.

3. Trauma
Trauma dapat menyebabkan kerusakan langsung pada protein lensa
sehingga timbul katarak.

9
Universitas Sumatera Utara

4. Radiasi ultraviolet
Radiasi ultraviolet dapat meningkatkan jumlah radikal bebas pada lensa
karena tingginya penetrasi jumlah cahaya UV menuju lensa. UV memiliki
energi foton yang besar sehingga dapat meningkatkan molekul oksigen dari
bentuk triplet menjadi oksigen tungal yang merupakan salah satu spesies
oksigen reaktif.

5. Radikal bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih
electron yang tidak berpasangan (Murray, Granner & Rodwell, 2006). Radikal
bebas dapat merusak protein, lipid, karbohidrat, dan asam nukleat sel lensa.
Radikal bebas dapat dihasilkan oleh hasil metabolisme sel itu sendiri, yaitu
elektron monovalen dari oksigen yang tereduksi saat reduksi oksigen menjadi
air pada jalur sitokrom, dan dari agen eksternal seperti energi radiasi. Contohcontoh radikal oksigen adalah anion superoksida (O2ˉ), radikal bebas hidroksil
(OH+), radikal peroksil (ROO +), radikal lipid peroksil (LOOH), oksigen tunggal
(O2), dan hidrogen peroksida (H2O 2). Agen oksidatif tersebut dapat
memindahkan atom hidrogen dari asam lemak tak jenuh membran plasma
membentuk asam lemak radikal dan menyerang oksigen serta membentuk
radikal lipid peroksida. Reaksi ini lebih lanjut akan membentuk lipid peroksida
lalu membentuk malondialdehida (MDA). MDA ini dapat menyebabkan ikatan
silang antara lemak dan protein. Polimerisasi dan ikatan silang protein
menyebabkan agregasi kristalin dan inaktivasi enzim-enzim yang berperan
dalam mekanisme antioksidan seperti katalase dan glutation reduktase. Hal-hal
inilah yang dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa.

6. Merokok
Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan hubungan antara merokok
dan penyakit katarak. Cadmium dapat berkompetisi dengan kuprum dan
mengganggu homeostatis kuprum. Kuprum penting untuk aktivitas fisiologis
superoksida

dismutase

di

lensa.

Sehingga

dengan

adanya

cadmium

10
Universitas Sumatera Utara

menyebabkan fungsi superoksida dismutase sebagai antioksidan terganggu. Hal
ini menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan
katarak.

7. Dehidrasi
Perubahan keseimbangan elektrolit dapat menyebabkan kerusakan pada
lensa. Hal ini disebabkan karena perubahan komposisi elektrolit pada lensa
dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa.

8. Infeksi
Uveitis kronik sering menybabkan katarak. Pada uveitis sering dijumpai
sinekia posterior yang menyebabkan pengerasan pada kapsul anterior lensa.

9. Penyakit sistemik seperti diabetes
Diabetes dapat menyebabkan perubahan metabolisme lensa. Tingginya
kadar gula darah menyebabkan tingginya kadar sorbitol lensa. Sorbitol ini
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik lensa sehingga lensa menjadi
sangat terhidrasi dan timbul katarak.

Gejala dan Tanda Katarak
Gejala dan tanda pada katarak di antaranya adalah :
1. Penglihatan menjadi buram secara berangsur-angsur, terutama
seperti berkabut/tertutup asap/awan
2. Silau, ketika berada di tempat yang terang atau saat mengendarai
kendaraan di malam hari
3. Distorsi garis
4. Diplopia monokuler
5. Penurunan sensitivitas kontras
6. Persepsi warna terganggu
7. Gejala-gejala yang muncul tanpa disertai adanya rasa nyeri ataupun
mata menjadi merah.

11
Universitas Sumatera Utara

Diagnosis dan Pemeriksaan Katarak
Langkah awal yang dilakukan untuk mendiagnosis katarak adalah
anamnesis. Biasanya pasien akan mengeluhkan penglihatan kabur yang terjadi
secara progresif disertai dengan gejala lain pada katarak. Setelah anamnesis,
pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak adalah pemeriksaan sinar
celah (slit lamp), funduskopi pada kedua mata bila mungkin, tonometer selain
daripada pemeriksaan prabedah yang diperlukan lainnya seperti adanya infeksi
pada kelopak mata dan konjungtiva. Pada katarak sebaiknya dilakukan
pemeriksaan tajam penglihatan sebelum dilakukan pembedahan untuk melihat
apakah kekeruhan sebanding dengan turunnya tajam penglihatan. Tajam
penglihatan setelah pembedahan juga diperlukan untuk melihat apakah
pembedahan memberikan hasil yang memuaskan (Ilyas, 2011).
Pemeriksaan

tajam

penglihatan

biasanya

dilakukan

dengan

menggunakan suatu diagram yang terdiri dari huruf-huruf dengan berbagai
ukuran yang diletakkan dengan jarak 20 kaki dari orang yang diuji. Bila dapat
melihat dengan baik huruf-huruf dengan ukuran yang memang seharusnya
dapat dilihat pada jarak 20 kaki, orang tersebut dikatakan memiliki penglihatan
20/20─yang merupakan penglihatan normal. Bila hanya dapat melihat hurufhuruf yang seharusnya mampu dilihat pada jarak 200 kaki, dikatakan orang itu
mempunyai penglihatan sebesar 20/200. Dengan kata lain, metode klinis yang
dipakai untuk menyatakan besarnya tajam penglihatan adalah menggunakan
angka pecahan matematis yang menyatakan rasio antara kedua jarak, yang juga
merupakan rasio tajam penglihatan seseorang dibandingkan dengan tajam
penglihatan pada orang normal (Guyton & Hall, 2006).

Penatalaksanaan
Teknik Operasi
Tidak ada obat-obatan yang secara efektif dapat menyembuhkan
katarak. Pada keadaan awal dengan kekeruhan lensa mata yang masih tipis,
penderita mungkin dapat dibantu dengan menggunakan kacamata. Pada

12
Universitas Sumatera Utara

keadaan yang lebih lanjut, katarak semakin tebal sehingga kacamata tidak dapat
menolong lagi.
Atas dasar gejala yang dirasakan dan dari pemeriksaan, dokter mata
bersama dengan penderita akan memutuskan kapan tindakan bedah katarak
akan dilakukan. Operasi katarak bertujuan mengeluarkan lensa mata yang
keruh, kemudian mengganti dengan lensa buatan yang dimasukkan ke dalam
mata. Pada beberapa keadaan, pemasangan dengan lensa buatan mungkin tidak
dapat dilakukan, sehingga pilihan lainnya adalah dengan memberikan lensa
kontak, kacamata afakik, atau pemasangan lensa buatan pada prosedur operasi
selanjutnya.
Operasi katarak dapat dilakukan dalam bius lokal atau bius total. Bius
total mungkin digunakan untuk mengatasi hal-hal yang dapat menyulitkan
operasi, misalnya pasien Sindrom Down atau pasien muda yang tidak
kooperatif. Operasi katarak dilakukan oleh dokter spesialis mata dengan teknik
bedah mikro, yaitu operasi dengan menggunakan mikroskop. Dengan teknik
modern, instrumen bedah mikro, bahan benang jahit atraumatis, dan operator
bedah yang terlatih memungkinkan operasi katarak dapat dilakukan tanpa
komplikasi yang berat pada 95-98 persen penderita.
Operasi katarak berlangsung sekitar 30 menit. Jenis operasi katarak
dapat dibagi menjadi Ekstraksi Katarak Intra Kapsular (EKIK) dan Ekstraksi
Katarak Ekstra Kapsular (EKEK). Pada EKIK, lensa dikeluarkan seluruhnya
beserta kantung lensa, dan prosedur operasi ini sudah mulai ditinggalkan
kecuali pada beberapa kondisi mata tertentu. Operasi EKEK dilakukan dengan
membuat luka sayatan sebesar 10-12 mm, kantung lensa bagian depan dibuka
untuk mengeluarkan lensa, sisa kantung dipertahankan untuk penanaman lensa
buatan, dan luka sayatan kemudian dijahit.
Saat ini teknik yang sering digunakan adalah fakoemulsifikasi, yang
merupakan pengembangan dari teknik EKEK, yaitu operasi katarak dengan
menggunakan mesin yang dapat menghasilkan gelombang ultrasound untuk
menghancurkan lensa. Dengan teknik ini, luka sayatan menjadi hanya sebesar
1-3 mm. Keuntungan menggunakan teknik fakoemulsifikasi adalah tidak

13
Universitas Sumatera Utara

memerlukan penjahitan, penyembuhan luka lebih cepat, serta berkurangnya
reaksi peradangan pascaoperasi.
Di negara berkembang dimana terdapat keterbatasan alat dan biaya,
dikembangkan teknik bedah katarak insisi kecil, yang juga merupakan operasi
katarak tanpa menggunakan mesin, dengan luka sayatan kecil sebesar 6-8 mm
dan tidak memerlukan penjahitan. Teknik ini juga merupakan pengembangan
dari teknik EKEK.
Pada sebagian besar kasus operasi katarak dapat dilakukan secara rawat
jalan, dan penderita dapat pulang setelah operasi. Operasi katarak dilakukan
pada satu mata dalam satu waktu. Mata sebelahnya dapat dioperasi jika operasi
pada mata pertama telah stabil kurang lebih satu minggu.

Tindakan sesudah operasi
Obat-obatan yang diresepkan oleh dokter perlu dipakai sesuai anjuran.
Beberapa larangan setelah operasi selama satu minggu pertama biasanya adalah
mata jangan terkena air dan jangan digosok-gosok. Penderita harus kontrol satu
hari setelah operasi, kemudian satu minggu setelah operasi (Knoch, 2012).

Komplikasi operasi
Pada 2-5 persen penderita terjadi komplikasi dari operasi katarak, yang
dapat dibagi menjadi komplikasi saat operasi katarak, pascaoperasi dini, dan
pascaoperasi lanjut. Komplikasi yang terjadi saat operasi seperti perdarahan,
robekan

kapsul

posterior,

dan keluarnya

cairan vitreus.

Komplikasi

pascaoperasi dini berupa kebocoran luka operasi, glaukoma, dan infeksi.
Komplikasi

pascaoperasi

lanjut

berupa

kekeruhan

kapsul

posterior,

pembengkakan kornea, lepasnya lapisan saraf (retina). Sebagian besar dari
komplikasi tersebut bila segera ditangani dengan baik maka akan memberikan
hasil yang baik pula. Risiko untuk terjadinya masalah berat atau kebutaan
karena komplikasi operasi sangat rendah (Knoch, 2012).

14
Universitas Sumatera Utara

DIABETES MELITUS
Definisi dan Klasifikasi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah (Purnamasari, 2009).
Klasifikasi diabetes mellitus di antaranya adalah diabetes melitus tipe 1
(insulin-dependent diabetes mellitus) atau disebut juga diabetes juvenil,
diabetes melitus tipe 2 (non-insulin-dependent diabetes mellitus), diabetes
gestasional, dan diabetes tipe lain (American Diabetes Association, 2013).
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh gangguan autoimun yang
merusak sel beta pankreas pada individu dengan predisposisi genetik (Holt &
Hanley, 2012). Diabetes tipe 2 disebabkan oleh gangguan toleransi glukosa
sebagai akibat dari resistensi insulin, kelelahan kerja dari sel beta pankreas, dan
juga defisiensi insulin (Stumvoll, Goldstein & van Haeften, 2005).
Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing
manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh
dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering
haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun
(Riskesdas, 2013).

Epidemiologi Diabetes Melitus
Secara epidemiologik, diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya diabetes adalah tujuh tahun sebelum diagnosis
ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang
tidak terdeteksi ini (Purnamasari, 2009).
Prevalensi global dari diabetes melitus meningkat cepat sebagai akibat
dari pertambahan usia, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup. Pada tahun 2010,
sekitar 285 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes melitus dan 90% di

15
Universitas Sumatera Utara

antaranya tergolong dalam diabetes melitus tipe 2. Jumlah penderita diabetes di
seluruh dunia diperkirakan akan meningkat menjadi 439 juta pada tahun 2030,
yang merupakan 7,7% dari total populasi orang dewasa di dunia dengan usia
antara 20-79 tahun (Shaw, Sicree & Zimmet, 2009).
Diabetes melitus cenderung lebih banyak terjadi di negara berkembang
dibandingkan negara maju. Asia muncul sebagai ‘pusat diabetes’ di dunia,
sebagai akibat pembangunan ekonomi yang cepat, urbanisasi, dan transisi gizi
dalam waktu yang relatif singkat. Diantara 10 negara yang diprediksi
mempunyai potensi besar penduduknya untuk mengidap diabetes melitus,
Indonesia masuk bersama 4 negara lain dari Asia, yaitu India, Cina, Pakistan,
dan Bangladesh (Chen, Magliano & Zimmet, 2012).

Katarak sebagai Komplikasi Diabetes Melitus
Dari berbagai penelitian epidemiologis sudah jelas terbukti bahwa
insidensi diabetes melitus meningkat menyeluruh di semua tempat di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Peningkatan insidensi diabetes mellitus tersebut
tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi
kronik diabetes melitus (Waspadji, 2009).
Diantara sekian banyak komplikasi diabetes melitus, katarak merupakan
salah satu komplikasi awal yang sering terjadi dan diperkirakan katarak terjadi
dua hingga lima kali lebih sering pada orang-orang dengan penyakit diabetes
melitus. Diabetes melitus dinyatakan berhubungan dengan terjadinya katarak
jenis kortikal dan subkapsular posterior. Menurut Leske et al (2002) dan Hennis
et al (2004), faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kekeruhan
pada kortikal lensa di antaranya adalah usia tua, wanita, status sosial-ekonomi
yang rendah, dan diabetes mellitus, sedangkan untuk subkapsular posterior,
faktor-faktor yang berperan di antaranya adalah usia tua, wanita, indeks masa
tubuh yang rendah, dan diabetes melitus (Olafsdottir, Andersson & Stefansson,
2012).

16
Universitas Sumatera Utara

Patogenesis Terjadinya Katarak pada Penderita Diabetes Melitus
Fruktosa dan sorbitol di dalam lensa mata berkaitan dengan katarak
diabetes. Baik fruktosa maupun sorbitol ditemukan di dalam lensa mata
manusia; kedua senyawa tersebut konsentrasinya meningkat pada penyakit
diabetes dan mungkin terlibat di dalam proses patogenesis terjadinya katarak
diabetik. Lintasan sorbitol (poliol) bertanggung jawab atas pembentukan
fruktosa dari glukosa dan aktivitasnya akan meningkat bersamaan dengan
kenaikan kadar glukosa di jaringan tubuh yang tidak peka terhadap insulin,
yaitu lensa mata, saraf perifer serta glomerulus ginjal. Glukosa mengalami
reduksi oleh NADPH menjadi sorbitol yang dikatalisis oleh enzim aldosa
reduktase, dan kemudian diikuti oleh oksidasi sorbitol menjadi fruktosa dengan
adanya NAD+ serta enzim sorbitol dehidrogenase (poliol dehidrogenase).
Sorbitol tidak mudah berdifusi lewat membran sel dan karena itu akan
berakumulasi sehingga mengakibatkan kerusakan osmotik. Akibatnya, air akan
ditarik ke dalam lensa sehingga lensa akan menggembung, sitoskeletal
mengalami kerusakan, dan lensa menjadi keruh (Murray, Granner & Rodwell,
2006).

17
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. Anatomy in Lens and Cataract. Section
11.
Chapter 1. Basic and Clinical Science
Course ; 2007-2008.
American Academy of Ophthalmology, Biochemistry in Lens and Cataract,
Section 11. Chapter 2. Basic and Clinical Science Course ; 2007-2008.
American Academy of Ophthalmology, Pathology in Lens and Cataract, Section
11. Chapter 5. Basic and Clinical Science Course ; 2007-2008.
American Academy of Opthalmology, Epidemiology of Cataracts in Adult in Lens
and Cataract. Section 11. Chapter 6. Basic and Clinical Science Course ;
2007-2008. p 71.
American Diabetes Association, 2013. Diagnosis and Classification of Diabetes.
Diabetes Care, Vol. 36.
Chen, L., Magliano, D.J., and Zimmet P.Z., 2012. The Worldwide Epidemiology
of Type 2 Diabetes Mellitus─Present and Future Perspectives. Nature
Reviews Endocrinology, Vol.8.
Christanty, L., 2008. Perbedaan Visual Outcome Pascaoperasi Katarak disertai
Penanaman Intraokular Lensa antara penderita Katarak Senilis tanpa DM
dengan DM non-Retinopati. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Available from: http://eprints.undip.ac.id/24460/1/Laura.pdf
[Acessed 21 November 2013].
Dahlan, M.S., 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.
de Silva, S.R., Riaz, Y., and Evans, J.R., 2013. Phacoemulsification with
Posterior Chamber Intraocular Lens versus Extracapsular Cataract
Extraction (ECCE) with Posterior Chamber Intraocular Lens for Age-Related
Cataract. The Cochrane Library. DOI: 10.1002/14651858.
Eva, P., R. and Whitcher, J., P., 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Fong, C.S., et al, 2012. Visual Outcomes 12 Months After Phacoemulsification
Cataract Surgery in Patients With Diabetes. Acta Ophthalmologica, 90: 173178.

18
Universitas Sumatera Utara

Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Sifat Optik
Mata. Edisi sebelas. Jakarta: EGC, 649-650.
Hashim, Z. and Zarina, S., 2012. Osmotic Stress Induced Oxidative Damage:
Possible Mechanism of Cataract Formation in Diabetes. Journal of Diabetes
and Its Complications, 26: 275–279.
Holt, R.I.G. and Hanley, N.A., 2012. Essential Endocrinology and Diabetes. Edisi
ke 6. UK: Wiley-Blackwell.
Ilyas S, 2011. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
James, B., Chew, C., and Bron, A., 2003. Lecture Notes on Ophthalmology. UK:
Wiley.
Javadi, M.A. and Ghanavati, S.Z., 2008. Cataracts in Diabetic Patients: A Review
Article. J Ophthalmic Vision Research, 3 (1): 52-65.
Jiang, T., Jiang, J., and Zhao, S.Y., 2011. Cataract Surgery in Aged Patients:
Phacoemulsification or Small Incision Extracapsular Cataract Surgery. Int J
Ophthalmol, 4(5) : 513-518.
Junqueira, C.L., 2007. Histologi Dasar Teks Dan Atlas. Jakarta: EGC, Penerbit
Buku Kedokteran.
Kim, B., Kim, S.Y., and Chung, S.K., 2012. Changes in Apoptosis Factors in
Lens Epithelial Cells of Cataract Patients With Diabetes Mellitus. J Cataract
Refract Surgery, 38: 1376–1381.
Knoch, A.M.H., 2012. Kliping Berita Kesehatan : Katarak dan Penanganannya.
Available
from:
http://kliping.depkes.go.id/file/7524_Katarak%20dan%20Penanganannya.PD
F [Accessed 2 June 2014] [Last Updated 2012].
Kumar, S., Ram, J., Sukhija, J., and Severia, S., 2010. Phacoemulsification in
Posterior Polar Cataract: Does Size of Lens Opacity Affect Surgical
Outcome? Clinical and Experimental Ophthalmology, 38: 857–861.
Lang, G.K., 2000. A Pocket Textbook Atlas. Germany : Georg Thieme Verlag.
Lundqvist, B. and Mönestam, E., 2012. Longitudinal Changes in Subjective and
Objective Visual Function in Diabetics 5 Years After Cataract Surgery. Acta
Ophthalmologica, 90(3) : 215-220.
Malhotra, R., 2008. Eye Essentials: Cataract. China : Butterworth Heinemann
Elsevier.

19
Universitas Sumatera Utara

Murray, R.K., Granner, D.K., dan Rodwell, V.W., 2006. Biokimia Harper. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 215.
Olafsdottir, E., Andersson, D.K.G., and Stefansson, E., 2012. The Prevalence of
Cataract in A Population With and Without Type 2 Diabetes Mellitus. Acta
Ophthalmologica, 90: 334-340.
Olver, J. and Cassidy, L., 2005. Ophthalmology at a Glance. UK: Blackwell
Science Ltd.
Ostri, C., Andersen, H.L., Sander, B., and La Cour, M., 2011.
Phacoemulsification Cataract Surgery in A Large Cohort of Diabetes
Patients: Visual Acuity Outcomes and Prognostic Factors. J Cataract Refract
Surgery, 37: 2006–2012.
Purnamasari, D., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Diabetes Melitus.
Jakarta: EGC, 1880-1885.
Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Sastroasmoro, S. dan Ismael, S., 2013. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis
Edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto.
Schlote, T., Rohrbach, J., Grueb, M., and Mielke, J., 2006. Pocket Atlas of
Ophthalmology. Germany : Georg Thieme Verlag.
Shah, S.P., 2011. Preoperative Visual Acuity Among Cataract Surgery Patients
and Countries State of Development: A Global Study. Bulletin of the World
Health Organization, 89: 749-756.
Shaw, Z.E., Sicree, R.A., and Zimmet, P.Z., 2009. Global estimates of the
prevalence of diabetes for 2010 and 2030. Diabetes Research and Clinical
Practice, 87(1) : 4-14.
Smirthwaite, G., Lundstrom, M., Albrecht, S., and Swahnberg, K., 2014.
Indication Criteria for Cataract Extraction and Gender Differences in
Waiting Time. Acta Ophthalmologica, 92: 432-438.
Stumvoll, M., Goldstein, B.J., and van Haeften, T.W., 2005. Type 2 Diabetes :
Principles of Pathogenesis and Therapy. Lancet, 365(9467):1333-46.
Vaughan, D.G., Asbury, T., dan Eva, P.R., 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14.
Jakarta: Widya Medika.
Waspadji, S., 2009. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam : Sudoyo, A.W., ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: Interna Publishing, 19221929.

20
Universitas Sumatera Utara

WHO, 2010. Action Plan For The Prevention of Avoidable Blindness and Visual
Impairment,
2009-2013.
Available
from:
http://apps.who.int.scihub.org/iris/bitstream/10665/103646/1/9789241500173_eng.pdf [Accessed
24 April 2014] [Last Updated 2014].
WHO, 2014. Cataract. Available from: http://www.who.int/topics/cataract/en/
[Accessed 1 June 2014] [Last Updated 2014].
Zang, J.S., et al, 2011. Five-Year Incidence of Age-Related Cataract and Cataract
Surgery in the Adult Population of Greater Beijing. Ophthalmology, 118(4) :
711-718.

21
Universitas Sumatera Utara