Hubungan Antara Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Retinopati Diabetik Dikaji Dari HbA1c Sebagai Parameter Kontrol Gula Darah
HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TIPE 2
DENGAN RETINOPATI DIABETIK DIKAJI
DARI HbA1c SEBAGAI PARAMETER
KONTROL GULA DARAH
TESIS
IRMA YANTI RANGKUTI
NIM: 087014009
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TIPE 2
DENGAN RETINOPATI DIABETIK DIKAJI
DARI HbA1c SEBAGAI PARAMETER
KONTROL GULA DARAH
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi
Universitas Sumatera Utara
IRMA YANTI RANGKUTI
NIM: 087014009
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
2011
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS
Nama Mahasiswa : Irma Yanti Rangkuti No. Induk mahasiswa : 087014009
Program Studi : Magister Farmasi
Judul Tesis : Hubungan Antara Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Retinopati Diabetik Dikaji Dari HbA1c Sebagai Parameter
Kontrol Gula Darah
Medan, April 2011
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. dr. Bebi Parwis, Sp.M.
NIP 195301011983031004 NIP 195907081987091002
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. Karsono, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
(4)
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Nama Mahasiswa : Irma Yanti Rangkuti No. Induk mahasiswa : 087014009
Program Studi : Magister Farmasi
Judul Tesis : Hubungan Antara Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Retinopati Diabetik Dikaji Dari HbA1c Sebagai Parameter
Kontrol Gula Darah
Telah di uji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji pada hari senin tanggal dua puluh delapan bulan maret tahun dua ribu sebelas
Tim Penguji Tesis
Ketua Tim Penguji Anggota Tim Penguji
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. dr. Bebi Parwis, Sp.M. NIP 195301011983031004 NIP 195907081987091002
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002
Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195103261978022001
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Hubungan Antara Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Retinopati Diabetik Dikaji Dari HbA1c Sebagai Parameter Kontrol Gula Darah sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW.
Selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terimakasih yang tiada terhingga kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril
Pasaribu, DTM&H., M.Sc., (CTM)., Sp.A (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister.
2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr.
Sumadio Hadisahputra, Apt., dan juga selaku Penguji yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi.
3. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., yang telah memberi dorongan dan semangat dalam penyelesaian pendidikan Program Magister Farmasi.
(6)
4. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberi saran, bimbingan dan dorongan dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan, penelitian dan penyelesaian tesis ini.
5. Bapak dr. Bebi Parwis, Sp.M., selaku Pembimbing II yang secara aktif
berperan serta mengarahkan penulis dalam melaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
6. Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., selaku penguji.
7. Pihak manajemen Sumatera Eye Centre, dokter spesialis mata, staf dan
karyawan yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan bagi penulis dalam melaksanakan penelitian.
8. Pihak manajemen laboratorium Prodia Medan beserta staf yang telah
membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penulisan tesis ini. Kiranya Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi imu pengetahuan.
Medan, April 2011 Penulis
(7)
HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TIPE 2
DENGAN RETINOPATI DIABETIK DIKAJI DARI HbA1c
SEBAGAI PARAMETER KONTROL GULA DARAH
Abstrak
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular. Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi DM pada mata, terkadang tanpa gejala, namun dapat menyebabkan kebutaan, dan diperkirakan 25 kali lebih banyak diderita pada pasien DM dibandingkan pasien yang tidak menderita DM. Pemantauan status metabolik pasien DM merupakan hal yang penting. Metode yang digunakan untuk menentukan pengendalian glukosa darah pada semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c).
Ada pun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kontrol gula darah dengan retinopati diabetik pada DM tipe 2 dengan HbA1c sebagai parameter kontrol gula darah, hubungan lama menderita DM dengan retinopati diabetik, dan hubungan umur dengan retinopati diabetik.
Penelitian ini melibatkan 30 orang penderita DM tipe 2, dengan melakukan beberapa pengukuran dan pemeriksaan secara klinis dan biokimia di antaranya pengukuran tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang, tekanan darah dengan sfigmomanometer Hg dan steteskop, kadar gula darah dengan spektrofotometer, kadar HbA1c dengan teknik HPLC, tajam penglihatan dengan Snellen Chart, tekanan intra-okuler (TIO) dengan computerized tonometer, dan pemeriksaan fundus mata dengan oftalmoskopi dan foto fundus.
Pada penelitian ini penderita perempuan lebih banyak dibanding laki-laki (4:1). Lima belas orang (50%) penderita DM terkontrol dan 15 orang (50%) penderita DM tidak terkontrol. Penderita DM termuda berumur 42 tahun, dan tertua umur 78 tahun. DM terbanyak dialami pada umur antara 49–56 tahun dengan jumlah 6 orang (40%) pada DM tidak terkontrol, dan 5 orang (33,33%) pada kelompok DM terkontrol. DM paling banyak telah dialami pasien selama 7–12 tahun yaitu sebanyak 9 orang (60%) pada golongan DM terkontrol, dan 8 orang (53,33%) pada golongan DM tidak terkontrol. Dua puluh tiga orang (76,7%) tidak mengalami retinopati diabetik, dan 7 orang (23,3%) mengalami retinopati diabetik. 2 orang (6,67%) DM terkontrol mengalami retinopati diabetik, dan 5 orang (16,66%) pada DM tidak terkontrol mengalami retinopati diabetik. Dua puluh tiga orang tidak mengalami retinopati diabetik setelah menderita DM rerata selama 11,22 tahun, dan 7 orang mengalami retinopati diabetik setelah menderita DM rerata selama 16,57 tahun. Dua puluh tiga orang tidak mengalami retinopati diabetik pada rerata umur 56,43 tahun, dan 7 orang mengalami retinopati diabetik pada rerata umur 58,29 tahun.
Berdasarkan uji statistik antara kontrol DM dengan retinopati diabetik didapatkan p = 0,195, ini berarti pengontrolan gula darah tidak menyebabkan terjadinya retinopati diabetik (p > 0,05). Antara lama menderita DM dengan
(8)
retinopati diabetik didapatkan p = 0,05, ini berarti semakin lama menderita DM semakin tinggi risiko menderita retinopati diabetik (p < 0,05). Antara umur dengan retinopati diabetik didapatkan p = 0,683, ini berarti tidak terdapat hubungan antara umur dengan retinopati diabetik (p > 0,05).
(9)
THE RELATIONSHIP BETWEEN TYPE 2 DIABETES
MELLITUS WITH DIABETIC RETINOPATHY ASSESSED BY
HbA1c AS A PARAMETER OF BLOOD SUGAR CONTROL
AbstractDiabetes mellitus (DM) is a metabolic disease characterized by the onset of hyperglycemia due to impaired insulin secretion, and/or improving cellular insulin resistance to insulin. Chronic hyperglycemia and other metabolic disorders DM will cause damage to tissues and organs, such as in the eyes, kidneys, nerves, and vascular system. Diabetic retinopathy is one of complication DM in the eye, sometimes without symptoms, but can cause the blindness and estimated 25 times more patients suffered in DM compared to patients who do not suffer from DM. Monitoring the metabolic status of diabetic patients is important. The method used to determine blood glucose control in all types of DM are glikat measuring hemoglobin (HbA1c).
There is also the purpose of this study was to determine the relationship of blood sugar control with diabetic retinopathy in type 2 diabetes with HbA1c as a parameter of blood sugar control, the long-suffering relationship of DM with diabetic retinopathy, and the relationship of age with diabetic retinopathy.
This study involved 30 people with type 2 diabetes, by making several measurements and clinical examination and biochemical measurements such as height, weight and waist circumference, blood pressure with a sphygmomanometer Hg and steteskop, blood sugar levels with a spectrophotometer, levels of HbA1c by HPLC technique , sharp vision with a Snellen chart, intra-ocular pressure (IOP) with computerized tonometer, and fundus eye examination with ophthalmoscopy and fundus photos.
Patients with more women than men (4:1). Fifteen people (50%) patients with uncontrolled diabetes mellitus and 15 people (50%) patients with uncontrolled DM. Youngest diabetic patient aged 42 years, and the oldest 78 years of age. DM is most experienced at the age between 49-56 years with a number of 6 people (40%) in uncontrolled diabetes mellitus, followed by 5 people (33.33%) in the DM controlled group. DM's most lots have been experienced by patients during 7-12 years as many as 9 people (60%) in group controlled DM, and 8 persons (53.33%) in group DM not controlled. Twenty-three people (76.7%) had no diabetic retinopathy, and 7 persons (23.3%) had diabetic retinopathy. 2 people (6.67%) had uncontrolled diabetes mellitus diabetic retinopathy, and 5 people (16.66%) on uncontrolled diabetes have diabetic retinopathy. Twenty-three people do not experience diabetic retinopathy after suffering from diabetes for a mean 11.22 years, and 7 people experience after suffering from diabetes mellitus diabetic retinopathy during the 16.57-year average. Twenty-three people do not have diabetic retinopathy at an average age of 56.43 years, and 7 people have diabetic retinopathy at an average age of 58.29 years. Based on statistical analysis between control and diabetes mellitus with diabetic retinopathy obtained p = 0.195, this means controlling blood sugar does not cause the occurrence of diabetic retinopathy (p > 0.05). Between long-suffering DM with diabetic retinopathy obtained p = 0.05, this means that the longer suffer the higher risk of developing diabetes mellitus diabetic retinopathy (p < 0.05).
(10)
Between ages with diabetic retinopathy obtained p = 0.683, this means there is no relationship between age and diabetic retinopathy (p > 0.05).
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
DAFTAR SINGKATAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4
1.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 4
1.4 Perumusan Masalah ... 5
1.5 Hipotesis... 5
1.6 Tujuan Penelitian ... 6
1.7 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7
2.1 Diabetes Melitus... 7
(12)
2.1.2 Epidemiologi ... 9
2.1.3 Patofisiologi ... 10
2.1.4 Gambaran Klinis ... 11
2.1.5 Diagnosis ... 13
2.1.6 Komplikasi ... 13
2.1.7 Penilaian Pengontrolan Glukosa ... 14
2.2 Anatomi Retina ... 15
2.2.1 Sirkulasi Retina ... 19
2.2.1.1 Sistem Arteri ... 19
2.2.1.2 Kapiler ... 19
2.2.1.3 Sistem Vena ... 20
2.3 Retinopati Diabetik ... 20
2.3.1 Patofisiologi ... 21
2.3.2 Klasifikasi Retinopati Diabetik ... 29
2.3.3 Gambaran Klinis ... 32
2.3.4 Pengobatan ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 39
3.1 Desain Penelitian ... 39
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 40
3.3 Sampel Penelitian ... 40
3.4 Alat dan Bahan ... 42
3.4.1 Alat ... 42
3.4.2 Bahan ... 42
(13)
3.4.2.2 Pemeriksaan Kadar Gula Darah ... 43
3.4.2.3 Pemeriksaaan Fundus ... 44
3.5 Subjek Penelitian... 44
3.6 Metode Pemeriksaan ... 44
3.6.1 Pengukuran Berat Badan... 44
3.6.2 Pengukuran Tinggi Badan... 45
3.6.3 Pengukuran Lingkar Pinggang ... 46
3.6.4 Pengukuran Tekanan Darah ... 47
3.6.5 Pengukuran Tajam Penglihatan ... 49
3.6.6 Pemeriksaan Tekanan Intra Okuler... 50
3.6.7 Pemeriksaan Fundus Mata ... 51
3.6.8 Foto Fundus ... 51
3.7 Analisis Data ... 52
3.8 Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 52
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53
4.1 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Jenis Kelamin... 53
4.2 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Kontrol Gula Darah Dengan Parameter HbA1c... 53
4.3 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Umur ... 55
4.4 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Lama Menderita Penyakit ... 56
4.5 Gambaran Hubungan Diabetes Melitus Dengan Retinopati Diabetik... 56
4.6 Gambaran Hubungan Pengontrolan Diabetes Melitus Dengan Retinopati Diabetik ... 57
(14)
4.7 Gambaran Hubungan Lama Menderita Diabetes Melitus Dengan
Retinopati Diabetik... 59
4.8 Gambaran Hubungan Umur Dengan Retinopati Diabetik... 61
4.9 Hasil Pemeriksaan Foto Fundus Penderita DM Tipe 2 ... 62
4.9.1 Foto Fundus Ny. N ... 62
4.9.2 Foto Fundus Tn. A ... 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 65
5.1 Kesimpulan ... 65
5.2 Saran... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 68
(15)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Kadar glikat hemoglobin pada penderita diabetes melitus ... 15
Tabel 3.1 Standard deviasi normal (Zcrit) berdasarkan signifikansi yang
dipilih dan Cls ... 41 Tabel 3.2 Standard deviasi normal (Zpwr) berdasarkan kekuatan statistik
yang dipilih ... 41
Tabel 4.1 Distribusi jenis kelamin penderita diabetes melitus ... 53
Tabel 4.2 Nilai HbA1c penderita diabetes melitus ... 54 Tabel 4.3 Distribusi penderita diabetes melitus berdasarkan kontrol gula
darah ... 55
Tabel 4.4 Distribusi penderita diabetes melitus berdasarkan umur ... 55
Tabel 4.5 Distribusi penderita diabetes melitus berdasarkan lama menderita penyakit ... 56 Tabel 4.6 Distribusi penderita diabetes melitus yangg mengalami retinopati
diabetik ... 57
Tabel 4.7 Distribusi kontrol diabetes melitus dengan retinopati diabetik... 57
Tabel 4.8 Analisis hubungan kontrol diabetes melitus dengan retinopati
diabetik dengan Uji Chi-square ... 58 Tabel 4.9 Distribusi lama menderita diabetes melitus dengan retinopati
diabetik ... 60 Tabel 4.10 Analisis hubungan lama menderita diabetes melitus dengan
retinopati diabetik dengan Uji T ... 60
Tabel 4.11 Distribusi umur penderita dengan retinopati diabetik ... 62
Tabel 4.12 Analisis hubungan umur dengan retinopati diabetik
dengan Uji T... 62
(16)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian ... 4
Gambar 2.1 Anatomi retina ... 16
Gambar 2.2 Funduskopi okuli normal ... 17
Gambar 2.3 Lapisan retina ... 18
Gambar 2.4 Gangguan sistem fibrinolitik pada diabetes melitus ... 23
Gambar 2.5 Retinopati diabetik non-proliferatif ... 30
Gambar 2.6 Retinopati diabetik pre-proliferatif ... 31
Gambar 2.7 Retinopati diabetik proliferatif ... 32
Gambar 2.8 Mikroaneurisma pembuluh darah retina ... 33
Gambar 2.9 Dilatasi pembuluh darah balik ... 34
Gambar 2.10 Perdarahan pada retinopati diabetik non-proliferatif ... 35
Gambar 2.11 Edema makula dan hard exudat di fovea ... 36
Gambar 2.12 Funduskopi edema makula ... 37
Gambar 4.1 Foto fundus Ny. N ... 63
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Izin penelitian dari komisi etik penelitian kesehatan dari
fakultas kedokteran USU ... 72
Lampiran 2 Kuesioner penelitian ... 73
Lampiran 3 Tabel berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang penderita DM tipe 2 ... 78
Lampiran 4 Tabel tekanan darah penderita DM tipe 2... 79
Lampiran 5 Tabel tekanan intra okuler penderita DM tipe 2 ... 80
Lampiran 6 Tabel visus dan kelainan mata pada penderita DM tipe 2 ... 81
Lampiran 7 Tabel riwayat keluarga, olahraga, dan obat yang digunakan pada penderita DM tipe 2 ... 82
Lampiran 8 Tabel nilai HbA1c dan kadar gula darah penderita DM tipe 2 ... 83
Lampiran 9 Hasil analisis data hubungan kontrol gula darah dengan retinopati diabetik menggunakan SPSS ... 85
Lampiran 10 Hasil analisis data hubungan lama menderita DM dengan retinopati diabetik menggunakan SPSS... 86
Lampiran 11 Hasil analisis data hubungan umur dengan retinopati diabetik menggunakan SPSS ... 87
Lampiran 12 Foto oftalmoskop ... 88
Lampiran 13 Foto pemeriksaan fundus pasien menggunakan oftalmoskop ... 89
Lampiran 14 Foto alat serta pemeriksaan tekanan intra okuler pasien menggunakan computerized tonometer (CT 80) produksi Jepang ... 90
Lampiran 15 Foto alat fotograph fundus color merk visucam NM/FA produksi Jerman ... 91
(18)
DAFTAR SINGKATAN
ADA : American Diabetes Association
AGEs : Advanced Glycation End Products
DAG : Diasil Gliserol
DD : Diameter Discus
DM : Diabetes Melitus
EDTA : Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid
eNOS : Endothelial Nitric Oxide Synthase
KGD : Kadar Gula darah
HPLC : High Performance Liquid Chromatography
IRMA : Intra Retinal Microvascular Abnormalities
LDL : Low Density Lypoprotein
NPDR : Non Proliferative Diabetic Retinopathy
PDR : Proliferative Diabetic Retinopathy
PKC : Protein Kinase C
UKPDS : United Kingdom Prospective Diabetes Study
VEGF : Vasoproliferative Endothelial Growth Factor
VLDL : Very Low Density Lypoprotein
(19)
HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TIPE 2
DENGAN RETINOPATI DIABETIK DIKAJI DARI HbA1c
SEBAGAI PARAMETER KONTROL GULA DARAH
Abstrak
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular. Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi DM pada mata, terkadang tanpa gejala, namun dapat menyebabkan kebutaan, dan diperkirakan 25 kali lebih banyak diderita pada pasien DM dibandingkan pasien yang tidak menderita DM. Pemantauan status metabolik pasien DM merupakan hal yang penting. Metode yang digunakan untuk menentukan pengendalian glukosa darah pada semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c).
Ada pun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kontrol gula darah dengan retinopati diabetik pada DM tipe 2 dengan HbA1c sebagai parameter kontrol gula darah, hubungan lama menderita DM dengan retinopati diabetik, dan hubungan umur dengan retinopati diabetik.
Penelitian ini melibatkan 30 orang penderita DM tipe 2, dengan melakukan beberapa pengukuran dan pemeriksaan secara klinis dan biokimia di antaranya pengukuran tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang, tekanan darah dengan sfigmomanometer Hg dan steteskop, kadar gula darah dengan spektrofotometer, kadar HbA1c dengan teknik HPLC, tajam penglihatan dengan Snellen Chart, tekanan intra-okuler (TIO) dengan computerized tonometer, dan pemeriksaan fundus mata dengan oftalmoskopi dan foto fundus.
Pada penelitian ini penderita perempuan lebih banyak dibanding laki-laki (4:1). Lima belas orang (50%) penderita DM terkontrol dan 15 orang (50%) penderita DM tidak terkontrol. Penderita DM termuda berumur 42 tahun, dan tertua umur 78 tahun. DM terbanyak dialami pada umur antara 49–56 tahun dengan jumlah 6 orang (40%) pada DM tidak terkontrol, dan 5 orang (33,33%) pada kelompok DM terkontrol. DM paling banyak telah dialami pasien selama 7–12 tahun yaitu sebanyak 9 orang (60%) pada golongan DM terkontrol, dan 8 orang (53,33%) pada golongan DM tidak terkontrol. Dua puluh tiga orang (76,7%) tidak mengalami retinopati diabetik, dan 7 orang (23,3%) mengalami retinopati diabetik. 2 orang (6,67%) DM terkontrol mengalami retinopati diabetik, dan 5 orang (16,66%) pada DM tidak terkontrol mengalami retinopati diabetik. Dua puluh tiga orang tidak mengalami retinopati diabetik setelah menderita DM rerata selama 11,22 tahun, dan 7 orang mengalami retinopati diabetik setelah menderita DM rerata selama 16,57 tahun. Dua puluh tiga orang tidak mengalami retinopati diabetik pada rerata umur 56,43 tahun, dan 7 orang mengalami retinopati diabetik pada rerata umur 58,29 tahun.
Berdasarkan uji statistik antara kontrol DM dengan retinopati diabetik didapatkan p = 0,195, ini berarti pengontrolan gula darah tidak menyebabkan terjadinya retinopati diabetik (p > 0,05). Antara lama menderita DM dengan
(20)
retinopati diabetik didapatkan p = 0,05, ini berarti semakin lama menderita DM semakin tinggi risiko menderita retinopati diabetik (p < 0,05). Antara umur dengan retinopati diabetik didapatkan p = 0,683, ini berarti tidak terdapat hubungan antara umur dengan retinopati diabetik (p > 0,05).
(21)
THE RELATIONSHIP BETWEEN TYPE 2 DIABETES
MELLITUS WITH DIABETIC RETINOPATHY ASSESSED BY
HbA1c AS A PARAMETER OF BLOOD SUGAR CONTROL
AbstractDiabetes mellitus (DM) is a metabolic disease characterized by the onset of hyperglycemia due to impaired insulin secretion, and/or improving cellular insulin resistance to insulin. Chronic hyperglycemia and other metabolic disorders DM will cause damage to tissues and organs, such as in the eyes, kidneys, nerves, and vascular system. Diabetic retinopathy is one of complication DM in the eye, sometimes without symptoms, but can cause the blindness and estimated 25 times more patients suffered in DM compared to patients who do not suffer from DM. Monitoring the metabolic status of diabetic patients is important. The method used to determine blood glucose control in all types of DM are glikat measuring hemoglobin (HbA1c).
There is also the purpose of this study was to determine the relationship of blood sugar control with diabetic retinopathy in type 2 diabetes with HbA1c as a parameter of blood sugar control, the long-suffering relationship of DM with diabetic retinopathy, and the relationship of age with diabetic retinopathy.
This study involved 30 people with type 2 diabetes, by making several measurements and clinical examination and biochemical measurements such as height, weight and waist circumference, blood pressure with a sphygmomanometer Hg and steteskop, blood sugar levels with a spectrophotometer, levels of HbA1c by HPLC technique , sharp vision with a Snellen chart, intra-ocular pressure (IOP) with computerized tonometer, and fundus eye examination with ophthalmoscopy and fundus photos.
Patients with more women than men (4:1). Fifteen people (50%) patients with uncontrolled diabetes mellitus and 15 people (50%) patients with uncontrolled DM. Youngest diabetic patient aged 42 years, and the oldest 78 years of age. DM is most experienced at the age between 49-56 years with a number of 6 people (40%) in uncontrolled diabetes mellitus, followed by 5 people (33.33%) in the DM controlled group. DM's most lots have been experienced by patients during 7-12 years as many as 9 people (60%) in group controlled DM, and 8 persons (53.33%) in group DM not controlled. Twenty-three people (76.7%) had no diabetic retinopathy, and 7 persons (23.3%) had diabetic retinopathy. 2 people (6.67%) had uncontrolled diabetes mellitus diabetic retinopathy, and 5 people (16.66%) on uncontrolled diabetes have diabetic retinopathy. Twenty-three people do not experience diabetic retinopathy after suffering from diabetes for a mean 11.22 years, and 7 people experience after suffering from diabetes mellitus diabetic retinopathy during the 16.57-year average. Twenty-three people do not have diabetic retinopathy at an average age of 56.43 years, and 7 people have diabetic retinopathy at an average age of 58.29 years. Based on statistical analysis between control and diabetes mellitus with diabetic retinopathy obtained p = 0.195, this means controlling blood sugar does not cause the occurrence of diabetic retinopathy (p > 0.05). Between long-suffering DM with diabetic retinopathy obtained p = 0.05, this means that the longer suffer the higher risk of developing diabetes mellitus diabetic retinopathy (p < 0.05).
(22)
Between ages with diabetic retinopathy obtained p = 0.683, this means there is no relationship between age and diabetic retinopathy (p > 0.05).
(23)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti di mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular (Cavallerano, 2009).
DM tipe 2 merupakan jenis DM yang paling banyak diderita di seluruh dunia. Prevalensi penyakit ini terus meningkat. Pada tahun 2000 jumlah penderita sekitar 150 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penderita bertambah menjadi dua kali lipat (Inzucchi et.al., 2005).
DM jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, dan syaraf. Pemantauan status metabolik pasien DM merupakan hal yang penting. Pengendalian DM yang baik berarti menjaga kadar glukosa darah dalam kisaran normal. Dengan pengendalian DM yang baik, diharapkan pasien terhindar dari komplikasi DM (Waspadji, 1996).
Metode yang digunakan untuk menentukan pengendalian glukosa darah pada semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang (Price dan Wilson, 2002).
(24)
Pada orang normal sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami glikosilasi. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses non‐ enzimatik dan bersifat reversibel. Pada pasien DM glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rerata glukosa darah selama 2‐3 bulan sebelumnya. Bila kadar glukosa darah berada pada kisaran normal antara 70‐140 mg% selama 2‐3 bulan terakhir, maka hasil tes HbA1c akan menunjukkan nilai normal 3,5‐5,5%. Pemeriksaan HbA1c sebagai pemeriksaan tunggal sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang (Waspadji, 1996).
Komplikasi oftalmik pada DM meliputi abnormalitas kornea, glaukoma, neovaskularisasi iris, katarak, neuropati, dan retinopati diabetik. Namun retinopati diabetik merupakan komplikasi yang paling umum terjadi dan potensial menyebabkan kebutaan (Bhavsar, 2009).
Retinopati diabetik merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh radang dan ditemukan pada penderita DM (Ilyas, 2008). Retinopati diabetik merupakan suatu mikroangiopati progressif yang ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil. Perubahan patologis paling awal adalah penebalan membran basal endotel kapiler retina dan berkurangnya jumlah perisit, selanjutnya berkembang membentuk mikroaneurisma, perdarahan, dilatasi pembuluh darah, hard exudate, soft
exudate, pembentukan pembuluh darah baru, edema retina, dan pembentukan
(25)
Retinopati diabetik adalah penyebab kebutaan akibat kerusakan retina, dan diperkirakan 25 kali lebih banyak diderita pada pasien DM dibandingkan pasien yang tidak menderita DM (Taylor dan Williams, 1994; Vaughan et.al., 2000; Waspadji, 1996). Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan di negara Barat. Di Inggris retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan (Ilyas, 2008).
Di Amerika Serikat kira‐kira 16 juta orang penderita DM, sekitar 50% penderita tidak tanggap dengan komplikasi DM terhadap mata mereka. Hanya sekitar 50% penderita DM yang menerima perawatan mata, sehingga tidak mengherankan jika retinopati diabetik penyebab kebutaan pada pasien berumur 25‐74 tahun. Di Amerika Serikat retinopati diabetik menyebabkan lebih 8000 kasus kebutaan baru setiap tahunnya (Aiello et.al., 1998; Bhavsar, 2009).
Beberapa faktor risiko penyebab retinopati diabetik adalah lamanya menderita DM, kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, hipertensi, nefropati diabetik, kehamilan, dan faktor lain seperti merokok, obesitas, dan kadar kolesterol tinggi (Cignarelli et.al., 1992; Inzucchi et.al., 2005; Ling et.al., 2006; Stratton et.al., 2001).
Berdasarkan penelitian di 26 sentra di Amerika Serikat dan 3 sentra di Kanada selama 10 tahun pada pasien DM bergantung insulin tampak bahwa kontrol kadar gula darah yang baik dengan pengobatan intensif dapat mencegah dan menghambat timbulnya mau pun progresifitas retinopati (Waspadji, 1996).
Kebanyakan pasien dengan retinopati diabetik tidak selalu memberikan gejala atau keluhan penglihatan (seperti kabur) tetapi sangat bergantung pada
(26)
letak dan derajat retinopatinya. Tanpa penatalaksanaan, retinopati diabetik akan semakin parah dan akan mengawali hilangnya penglihatan (kebutaan) (Waspadji, 1996). Identifikasi dan penanganan retinopati proliferatif atau edema makular dengan pembedahan dan teknik medis lain akan mengurangi kebutaan hingga 90% (Fonseca et.al., 1996; Inzucchi et.al., 2005).
1.2 Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan pemaparan latar belakang penelitian, retinopati merupakan salah satu komplikasi DM pada mata yang paling umum terjadi dan potensial menyebabkan kebutaan. Penelitian ini dilakukan pada pasien DM tipe 2 dengan melakukan beberapa pemeriksaan, yaitu pemeriksaan tekanan darah, tekanan intra-okuler, visus, kadar gula darah, dan pemeriksaan fundus mata penderita. Secara skematis kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Variable Bebas Variable Terikat Parameter
HbA1c (%)
Kelainan fundus
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
1.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria inklusi:
i. Pasien DM tipe 2.
ii. Menderita DM > 5 tahun. iii. Laki‐ laki dan perempuan.
DM terkontrol/DM tidak
(27)
iv. Usia > 40 tahun. b. Kriteria eksklusi:
i. Menderita DM < 5 tahun. Usia < 40 tahun. ii. Hipertensi berat.
iii. Katarak matur. iv. Riwayat glaukoma.
v. Menggunakan obat yang mempengaruhi terjadinya retinopati diabetik: Kortikosteroid.
1.4Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah:
a. apakah ada hubungan kontrol gula darah penderita DM tipe 2 dengan HbA1c sebagai parameter kontrol gula darah dengan retinopati diabetik? b. apakah ada hubungan lama menderita DM tipe 2 dengan retinopati
diabetik?
c. apakah ada hubungan antara umur dengan retinopati diabetik pada DM tipe 2?
1.5Hipotesis
Ada pun hipotesis penelitian ini adalah:
a. ada hubungan antara kontrol gula darah penderita DM tipe 2 dengan HbA1c sebagai parameter kontrol gula darah dengan retinopati diabetik.
(28)
b. semakin lama menderita DM semakin tinggi menderita retinopati diabetik.
c. semakin meningkat umur penderita semakin tinggi menderita retinopati diabetik.
1.6Tujuan Penelitian
Ada pun tujuan penelitian ini adalah untuk:
a. mengetahui hubungan kontrol gula darah penderita DM tipe 2 dengan HbA1c sebagai parameter kontrol gula darah dengan retinopati diabetik. b. mengetahui hubungan lama menderita DM dengan retinopati diabetik. c. mengetahui hubungan umur dengan retinopati diabetik.
1.7 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah:
a. bagi pendidikan dan kesehatan, sebagai sumber informasi tentang hubungan DM serta kontrol gula darah terhadap retinopati diabetik. b. bagi masyarakat, sebagai masukan dan sumber informasi serta
menambah pengetahuan tentang hubungan DM serta kontrol gula darah terhadap retinopati diabetik.
c. bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
(29)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular (Cavallerano, 2009).
2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi DM menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008
dan Departement of Health and Human Service USA (2007) terbagi dalam 3
bagian yaitu Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, dan Diabetes Gestational. Namun, menurut American Diabetes Association (2009), klasifikasi DM terbagi 4 bagian dengan tambahan Pra‐Diabetes.
a. Diabetes tipe 1
DM tipe 1 merupakan bentuk DM parah yang sangat lazim terjadi pada anak remaja tetapi kadang‐kandang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang non‐obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma meningkat dan sel‐sel ß pankreas gagal merespons semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki
(30)
katabolisme, menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah (Karam, 2002).
Gejala penderita DM tipe 1 termasuk peningkatan ekskresi urin (poliuria), rasa haus (polidipsia), lapar, berat badan turun, pandangan terganggu, lelah, dan gejala ini dapat terjadi sewaktu‐waktu (tiba‐tiba) (WHO, 2008).
b. Diabetes tipe 2
DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan, terutama terjadi pada orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab gangguan kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM tipe ini dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya penurunan kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respons sel ß pankreas terhadap glukosa (Karam, 2002).
Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar. Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang‐kadang komplikasi dapat terjadi. Tipe DM ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak‐anak yang obesitas.
c. Diabetes Gestational
DM ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan (WHO, 2008). Wanita hamil yang belum pernah mengalami DM sebelumnya namun memiliki kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita DM gestational. DM gestational biasanya terdeteksi pertama kali pada usia kehamilan trimester II atau III (setelah usia kehamilan 3 atau 6 bulan) dan
(31)
umumnya hilang dengan sendirinya setelah melahirkan. Diabetes gestational terjadi pada 3‐5% wanita hamil (Anonim, 2009).
Mekanisme DM gestational belum diketahui secara pasti. Namun, besar kemungkinan terjadi akibat hambatan kerja insulin oleh hormon plasenta sehingga terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin ini membuat tubuh bekerja keras untuk menghasilkan insulin sebanyak 3 kali dari normal.
DM gestational terjadi ketika tubuh tidak dapat membuat dan menggunakan seluruh insulin yang digunakan selama kehamilan. Tanpa insulin, glukosa tidak dihantarkan ke jaringan untuk dirubah menjadi energi, sehingga glukosa meningkat dalam darah yang disebut dengan hiperglikemia (Anonim, 2009).
d. Pra‐Diabetes
Pra‐diabetes merupakan DM yang terjadi sebelum berkembang menjadi DM tipe 2. Penyakit ini ditandai dengan naiknya KGD melebihi normal tetapi belum cukup tinggi untuk dikatakan DM. Di Amerika Serikat ±57 juta orang menderita pra‐diabetes. Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa beberapa kerusakan jangka panjang khususnya pada jantung dan sistem sirkulasi, kemungkinan sudah terjadi pada pra‐diabetes, untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan diet nutrisi dan latihan fisik (Anonim, 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Tingkat prevalensi DM tipe 2 cukup tinggi, diperkirakan sekitar 16 juta kasus DM di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus
(32)
baru. DM merupakan penyebab kematian di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita DM paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan mereka yang tidak menderita DM. Tujuh puluh lima persen penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah komplikasi utama. Selain itu kematian fetus intrauterine pada ibu penderita DM yang tidak terkontrol juga meningkat. Dampak ekonomi pada DM jelas terlihat akibat biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekwensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskuler (Price dan Wilson, 2002).
2.1.3 Patofisiologi
Pada DM tipe 2 terjadi 2 defek fisiologi yaitu abnormalitas sekresi insulin, dan resistensi kerjanya pada jaringan sasaran. Pada DM tipe 2 terjadi 3 fase urutan klinis. Pertama, glukosa plasma tetap normal meski pun terjadi resistensi insulin karena insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meski pun terjadi peningkatan konsentrasi insulin, tetap terjadi intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, sehingga menyebabkan hiperglikemia puasa dan DM yang nyata (Foster, 2000).
Hipotesis menjelaskan adanya keterlibatan sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak melalui VLDL menyebabkan
(33)
penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Keterlambatan penurunan pelepasan insulin dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau Langerhans atau akibat defek genetik. Sebagian besar pasien DM tipe 2 mengalami obesitas, dan hal itu sendiri yang menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita DM tipe 2 yang relatif tidak obesitas dapat mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin. Hal ini membuktikan bahwa obesitas bukan penyebab resistensi satu‐satunya DM tipe 2 (Foster, 2000).
Pada DM tipe 2, massa sel β utuh, sedangkan populasi sel α meningkat, sehingga menyebabkan peningkatan rasio sel α dan β. Hal ini menyebabkan kelebihan relatif glukagon dibanding insulin (Foster, 2000).
Sudah lama diketahui bahwa endapan amiloid ditemukan dalam pankreas pasien DM tipe 2, namun peranan amilin terkait dengan DM belum dapat dibuktikan. Amilin merupakan suatu peptida asam amino 37. Pada keadaan normal, amilin terbungkus bersama‐sama insulin dalam granula sekretori dan dikeluarkan bersama‐sama sebagai respons terhadap pengeluaran insulin. Penumpukan amilin dalam pulau Langerhans kemungkinan merupakan akibat kelebihan produksi sekunder karena resistensi insulin. Kemungkinan lain, penumpukan amilin dalam pulau Langerhans menyebabkan kegagalan lambatnya produksi insulin pada pasien yang sudah lama menderita DM tipe 2 (Foster, 2000).
(34)
2.1.4 Gambaran Klinis
DM tipe 1 biasanya mulai terjadi sebelum umur 40 tahun. Di Amerika Serikat insidensi puncak terjadi sekitar umur 14 tahun. Gejala awal yaitu tiba‐tiba haus, sering buang air kecil, peningkatan nafsu makan, dan penurunan berat badan selama beberapa hari. Pada sebagian kasus, DM tipe 1 ditunjukkan dengan timbulnya ketoasidosis pada DM yang baru atau setelah pembedahan. Pada DM tipe 1 kadar insulin plasma rendah atau tidak terukur, kadar glukagon meningkat tetapi dapat ditekan oleh insulin. Begitu timbul gejala, diperlukan insulin. Terkadang, kejadian awal ketoasidosis diikuti oleh interval bebas gejala (periode honeymoon) yang tidak memerlukan terapi (Foster, 2000).
DM tipe 2 biasanya mulai terjadi pada pertengahan umur atau lebih. Pasien biasanya gemuk, gejala terjadi perlahan‐lahan, dan diagnosis sering dilakukan jika individu tanpa gejala mengalami peningkatan glukosa plasma pada pemeriksaan laboratorium rutin. Berbeda dengan DM tipe 1, pada DM tipe 2 kadar insulin plasma normal hingga tinggi dalam istilah absolut, meski pun lebih rendah dari yang diperkirakan untuk kadar glukosa plasma (terjadi defisiensi insulin relatif). Kadar glukagon tinggi dan resisten, dimana respons glukagon yang berlebihan akibat makanan yang masuk tidak dapat ditekan akibat fungsi sel alfa tetap abnormal. Komplikasi akut yang terjadi pada pasien DM tipe 2 adalah sindroma koma hiperosmolar non‐ketotik, dan tidak terjadi ketoasidosis. Ketoasidosis tidak terjadi akibat hati resisten terhadap glukagon sehingga kadar malonil‐CoA tetap tinggi, sehingga menghambat oksidasi asam lemak jalur
(35)
ketogenik. Jika penurunan berat badan terjadi, dapat diatasi dengan diet saja. Sebagian besar pasien yang gagal dengan terapi diet memberi respons terhadap sulfonilurea, tetapi perbaikan hiperglikemia pada kebanyakan penderita tidak cukup hanya dengan obat ini saja, karena itu sejumlah besar pasien DM tipe 2 memerlukan insulin (Foster, 2000).
2.1.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis DM yang telah direvisi menurut ADA (American
diabetes association) adalah :
a. Nilai A1c > 6,5%, diagnosis DM harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan A1c ulangan, kecuali gejala klinis dan nilai kadar gula darah > 200 mg/dl. b. Ditemukan gejala hiperglikemia dan kadar gula darah sewaktu >
200 mg/dl. Gejala klasik hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, atau
c. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dl. Puasa berarti pasien tidak menerima asupan kalori 8 jam terakhir sebelum pemeriksaan, atau
d. Kadar gula darah 2 jam setelah makan > 200 mg/dl setelah tes toleransi glukosa menggunakan glukosa 75 gram (Cavallerano, 2009).
2.1.6 Komplikasi
DM jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, dan saraf. Dengan penanganan yang baik, berupa kerjasama yang
(36)
erat antara pasien dan petugas kesehatan, diharapkan komplikasi kronik DM dapat dicegah, setidaknya dihambat perkembangannya (Waspadji, 1996)
Komplikasi DM terbagi dua yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang. Komplikasi metabolik akut disebabkan perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik (DKA). Komplikasi akut yang lain adalah hiperglikemia hiperosmolar koma non‐ketotik (HHNK), dan hipoglikemia (Price dan Wilson, 2002).
Komplikasi vaskular jangka panjang DM melibatkan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dan pembuluh darah sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriol retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf perifer (neuropati diabetik), dan otot serta kulit. Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis (Price dan Wilson, 2002).
2.1.7 Penilaian Pengontrolan Glukosa
Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang (Price dan Wilson, 2002).
Pada orang normal sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami glikosilasi. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses non‐
(37)
enzimatik dan bersifat reversibel. Pada pasien DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rerata glukosa darah selama 2‐3 bulan sebelumnya. Bila kadar glukosa darah berada pada kisaran normal antara 70‐140 mg% selama 2‐3 bulan terakhir, maka hasil tes HbA1c akan menunjukkan nilai normal. Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai HbA1c yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4‐ 8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran yang digunakan, namun berkisar antara 3,5%‐5,5% (Tabel 1.1). Pemeriksaan HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang (Waspadji, 1996).
Tabel 1.1 Kadar glikat hemoglobin pada penderita diabetes melitus
(Price dan Wilson. 2002)
Normal/Kontrol glukosa HbA1c (%) Nilai normal 3,5‐5,5 Kontrol glukosa baik 3,5‐6 Kontrol glukosa sedang 7,0‐8,0
Kontrol glukosa buruk >8
2.2 Anatomi Retina
Retina merupakan lembaran jaringan neural terdiri atas sebaran serabut saraf optik, letaknya antara badan kaca dan koroid (Gambar 2.1) (http//webvision.med.utah.edu/sretina.html). Bagian anterior retina melekat erat pada epitel pigmen. Di bagian belakang, saraf optik merekatkan retina ke dinding
(38)
bola mata. Di lain tempat retina mudah dipisahkan dari epitel pigmen. Pada orang dewasa, ora serata (bagian ujung depan retina yang bergerigi) di bagian temporal bola mata letaknya kira‐kira 6,5 mm di belakang garis Schwalbe, sedangkan di bagian nasalnya kira‐kira 5,7 mm di belakang garis tersebut. Di ora
serata tebal retina 0,1 mm, sedangkan di polus posterior 0,23 mm. Yang paling
tipis adalah di fovea sentralis yaitu bagian tengah makula. Retina normal bening dan sebagian cahaya dipantulkan di batas vitreo‐retina. Fovea sentralis terletak kira‐kira 3,5 mm di sebelah lateral papil optik khusus untuk membedakan penglihatan yang halus. Semua reseptor di fovea adalah sel kerucut. Hampir di seluruh retina akson sel‐sel reseptor melintas langsung ke bagian dalam lapisan pleksiform luar berhubungan dengan dendrit sel‐sel horizontal dan sel‐sel bipolar yang menuju ke luar dari lapisan nuklear dalam. Tetapi di makula akson sel‐sel reseptor arahnya miring dinamakan serabut Henle. Dalam keadaan normal, rongga ekstraseluler di retina kosong, rongga yang paling besar ada di makula. Penyakit yang menyebabkan penimbunan bahan ekstraseluler akan mengakibatkan penebalan yang cukup besar di daerah ini. Akson sel bipolar berhubungan dengan sel amakrin dan sel ganglion di lapisan pleksiform dalam yang teranyam rapat. Akson panjang sel ganglion berjalan melalui serabut saraf ke saraf optik (Kadarisman, 1996). Kira‐kira 3 mm ke arah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih kemerah‐merahan dinamakan papil saraf optik, di bagian tengahnya melekuk dinamakan ekskavasi faali. Arteri retina sentral bersama vena masuk ke dalam bola mata di tengah papil saraf optik.
(39)
Arteri retina merupakan pembuluh darah terminal (Gambar 2.2) (www.retinopaty diabetic/fundus normal. html).
Gambar 2.1 Anatomi retina
Gambar 2.2 Fundus okuli normal
(40)
a. lapisan fotoreseptor merupakan lapisan terluar retina terdiri atas sel batang dan sel kerucut dan merupakan lapisan penangkap sinar.
b. membran limitan eksterna (outer limited membrane) merupakan membran ilusi.
c. lapisan nukleus luar (outer nucleic layer) terutama terdiri atas nuklei sel‐sel visual atau sel kerucut dan batang. Ketiga lapisan diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.
d. lapisan pleksiform luar (outer plexiform layer) merupakan lapisan aselular dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
e. lapisan nukleus dalam (inner nucleic layer) merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan sel Muller. Lapisan ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
f. lapisan pleksiform dalam (inner plexiform layer) merupakan lapisan aselular, tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion. g. lapisan sel ganglion (ganglion cell layer) merupakan lapisan sel saraf
bercabang.
h. lapisan serabut saraf merupakan lapisan akson sel ganglion menuju ke arah saraf optik, dan di dalam lapisan ini dapat terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
i. membran limitan interna (inner limited membrane) merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca (Gambar 2.3) (www.webvision.med.utah.edu/sretina.html).
(41)
Gambar 2.3 Lapisan retina
2.2.1 Sirkulasi Retina
2.2.1.1Sistem Arteri
a. Arteri retina sentralis.
Arteri retina sentralis merupakan end artery yang memasuki nervus optikus kira‐kira 1 cm di belakang bola mata. Lapisan arteri retina sentralis sama dengan arteri lain yang terdiri atas lapisan intima, terletak paling dalam terdiri atas 1 lapisan endotel yang terletak pada daerah kolagen, lamina elastik interna memisahkan lapisan intima dari lapisan media. Lapisan media terutama mengandung otot polos dan lapisan adventitia terletak paling luar arteri dan terdiri atas jaringan penyokong longgar (loose connective tissue).
(42)
Arteriol retina muncul dari arteri retina sentralis, terdiri dari otot polos (Kanski, 2007).
2.2.1.2 Kapiler
Kapiler retina membekalkan darah ke lapisan dalam kedua dan ketiga retina. Bagian luar lapisan ketiga disuplai oleh kapiler korio. Jalinan kapiler bagian dalam terletak di dalam lapisan sel ganglion dan jalinan kapiler bagian luar terletak di dalam lapisan nuklear bagian dalam. Daerah bebas kapiler terletak mengelilingi arteriol dan pada fovea. Dinding kapiler retina terdiri atas sel endotel dan perisit. Sel endotel membentuk lapisan tunggal pada basement
membrane dan dihubungkan dengan tight junction yang membentuk suatu inner
blood‐retinal barrier. Perisit terletak di luar sel endotel dan memiliki proses
pseudopodia multipel untuk mengembangkan kapiler. Perisit memiliki bagian kontraktil sehingga berperan di dalam autoregulasi sirkulasi mikrovaskular (Kanski, 2007).
2.2.1.3 Sistem Vena.
Venula retina dan vena mengalirkan darah dari kapiler. Sistem vena terdiri atas :
a. venula kecil merupakan pembuluh darah yang lebih besar dari kapiler dengan struktur yang sama dengan kapiler.
b. venula besar terdiri dari otot polos dan kemudian bersatu untuk membentuk vena.
(43)
c. vena terdiri dari sejumlah kecil otot polos dan jaringan elastik pada dindingnya dan relatif dapat mengembang (Kanski, 2007).
2.3 Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik merupakan kelainan pada retina penderita DM yang bukan karena radang (Ilyas, 2008). Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progressif yang ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil. Perubahan patologis paling awal adalah penebalan membran basal endotel kapiler dan berkurangnya jumlah perisit, yang kemudian berkembang membentuk mikroaneurisma, perdarahan, dilatasi pembuluh darah,
hard exudate, soft exudate, pembentukan pembuluh darah baru, edema retina,
terbentuk parut akhirnya menyebabkan kebutaan (Ilyas, 2008; Vaughan et.al., 2000).
Retinopati diabetik masih merupakan penyebab utama kebutaan di Negara‐negara Barat. Di Amerika Serikat terjadi kebutaan 5.000 orang per tahun akibat retinopati diabetik, sedangkan di Inggris retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan (Ilyas, 2008). Frekwensinya bertambah sejalan dengan lamanya penyakit DM. Beberapa penyelidikan menunjukkan adanya hubungan erat antara kadar gula darah yang tidak terkendali dengan meningkatnya insiden serta tingkat keparahan retinopati. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan sebab‐akibat atau apakah hal ini merupakan bentuk progressif semakin parahnya penyakit (Vaughan et.al., 2000).
(44)
2.3.1 Patofisiologi
Mekanisme yang tepat untuk menerangkan DM penyebab retinopati belum jelas. Hiperglikemia mempunyai 4 jalur biokimia menuju terjadinya komplikasi mikroangiopati dan komplikasi menahun lainnya, yaitu melalui :
a. Efek langsung : melalui endotel, membran basalis, kolagen, otot polos, semuanya mengalami disfungsi. Beberapa kelainan membran basalis yang dapat mengganggu faalnya antara lain :
i. meningkatnya deposit kolagen di membran basalis. ii. meningkatnya kadar glikoprotein di membran basalis.
iii. menurunnya kadar sistin di membran basalis, sehingga memudahkan kebocoran.
Penebalan membran basalis dengan kualitas rendah akibat banyaknya endapan glikoprotein akan memudahkan kebocoran. Tergantung pada status regulasi DM, membran basalis pasien DM mempunyai kecenderungan menebal, endotel tidak utuh lagi, sehingga faal kapiler terganggu, menimbulkan kebocoran, serta keluarnya protein dan sel‐sel darah diakibatkan antara lain :
i. tekanan onkotik jaringan menurun (edema setempat) akibat keluarnya albumin.
ii. pertahanan jaringan setempat menurun akibat keluarnya sel‐sel darah seperti leukosit.
(45)
iii. perfusi jaringan menurun sehingga terjadi hipoksia akibat eksudasi dan akhirnya edema makula serta dengan adanya kerapuhan (kebocoran) kapiler menyebabkan perdarahan.
Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran karena deposit lemak, proliferasi otot polos di bawah membran basalis akibat rangsangan insulin, growth hormone, dan growth factor yang dikeluarkan trombosit yang rusak.
b. Efek reologi : baik melalui kelainan seluler maupun darah dan plasma. Trombosit penderita DM mempunyai sifat‐sifat antara lain :
i. mudah mengalami adhesi (kerjasama dengan faktor VIII dan faktor von Willebrand endotel dan glikoprotein I dari trombosit) dan mudah pula terjadi agregasi (dibantu oleh glikoprotein II, III, dan tromboksan). Agregasi trombosit, fibrinogen, dan trombin mempermudah terbentuknya mikrotrombus.
ii. umur trombosit DM lebih pendek dan keluarnya bahan yang mempermudah koagulasi dan keluar pula growth factor untuk merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh darah (Tjokroprawiro, 1996).
Faktor VIII dan faktor von Willebrand pada DM meningkat. Faktor koagulasi ini yang berperan penting dalam proses adhesi dan agregasi trombosit sehingga terbentuk mikrotrombus. Antitrombin III penting untuk menghambat faktor Xa sehingga pembentukan trombin terhambat. Oleh karena pada DM kadar fibrinogen juga meningkat, maka trombin
(46)
meningkat dan pembentukan plasmin menurun, jadi pada DM kadar faktor VIII meningkat, sekresi aktifator oleh endotel menurun, sehingga pembentukan fibrin dan agregasi trombosit meningkat dan terjadi pertambahan mikrotrombus yang cepat (Gambar 2.4) (Tjokroprawiro, 1996).
Faktor Xa AT III
Protrombin Trombin
AT III
Fibrinogen Fibrin
Plasminogen Plasmin Mikrotrombus
Aktifator plasminogen endotel
Trombosit Agregasi
Faktor VIII
Gambar 2.4 Gangguan sistim fibrinolitik pada Diabetes melitus
Keterangan : merangsang
menghambat
c. Jalur poliol : dengan adanya akumulasi sorbitol dalam sel, mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik dan menurunkan kadar mioinositol dan aktivitas Na/K‐ATPase. Pada normoglikemia, sebagian besar glukosa seluler mengalami fosforilasi menjadi glukosa‐6‐fosfat oleh enzim heksokinase. Bagian kecil dari glukosa yang tidak mengalami fosforilasi
(47)
memasuki jalur poliol, yakni jalur alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini glukosa dalam sel diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase (AR) (Sufriyana, 2010). Endotel yang utuh akan resisten terhadap penempelan trombosit dan mencegah terjadinya adhesi dan agregasi trombosit. Adanya lesi endotel akan mempermudah timbulnya proses tersebut dan juga kebocoran. Endotel mempunyai enzim aldose reduktase yang mengubah glukosa menjadi polialkohol sorbitol melalui reduksi gugus aldehid glukosa, kemudian sorbitol diubah menjadi fruktosa. Kedua senyawa ini menyerap air sehingga endotel membengkak dan akhirnya merusak endotel dengan proses biokimia sehingga terjadi gangguan faal endotel antara lain kebocoran dan agregasi trombosit. Gangguan faal endotel ini akan mempermudah timbulnya komplikasi DM melalui proses :
i. sintesis faktor von Willebrand oleh endotel meningkat, dan faktor inilah yang berperan utama dalam proses adhesi dan agregasi trombosit.
ii. konversi asam arakidonat ke PGI2 (prostasiklin) menurun,
sedangkan bahan ini sangat penting untuk menghambat agregasi trombosit selain sebagai vasodilator.
iii. sintesis aktivator plasminogen menurun, sehingga menurunkan plasmin, rendahnya plasmin akan mempermudah terbentuknya fibrin dan mikrotrombus (Tjokroprawiro, 1996).
(48)
d. Proses glikosilasi non‐enzimatik : mengubah proses fisika‐kimia sifat‐sifat sel dan membentuk advanced glycosilation end‐products (AGEs) yang berperan dalam komplikasi menahun pada DM. AGEs ini mengendap pada jaringan, pada protein‐protein tubuh yang turn‐overnya lambat seperti : kolagen, mielin, kristalin, elastin, lipoprotein (LDL), albumin, dan IgG (Tjokroprawiro, 1996). AGEs merupakan produk glikasi non‐enzimatik dan oksidasi protein dan lipid yang bersifat ireversibel. Protein yang dirusak oleh AGEs akan mengubah struktur dan fungsi jaringan, sehingga terjadi penurunan elastisitas dinding pembuluh darah. Protein yang telah dimodifikasi AGEs dapat menghambat pertumbuhan sel normal. AGEs juga mengganggu fungsi enzim pengatur pengeluaran zat yang memvasodilatasi dan adhesi sel di dalam pembuluh darah. Kadar AGEs di jaringan berhubungan dengan laju perkembangan aterosklerosis disertai akumulasi protein plasma, lipoprotein, dan lipid pada dinding pembuluh darah. Lesi aterosklerotik dapat ruptur dan menimbulkan trombus yang menyumbat kapiler fokal di mata (Sufriyana, 2010). Akumulasi AGEs di berbagai jaringan merupakan sumber utama radikal bebas yang berperan dalam peningkatan stres oksidatif, serta terkait dengan patogenesis komplikasi DM mirip pada penuaan. Pada DM, akumulasi AGEs secara umum mempercepat terjadinya aterosklerosis, nefropati, neuropati, retinopati, serta katarak (Setiawan dan Suhartono, 2005). AGEs terjadi dari beberapa tahapan reaksi kimia akibat hiperglikemia. Pada keadaan hiperglikemia, produksi berbagai gula pereduksi antara lain glukosa,
(49)
glukosa‐6‐fosfat, dan fruktosa meningkat melalui glikolisis dan jalur poliol. AGEs atau prekursornya juga dapat berasal dari luar tubuh, misalnya tembakau dan makanan (modern western diet). Kandungan AGEs pada makanan tergantung pada kandungan lemak, protein, dan karbohidrat. Juga tergantung dari cara mengolah makanan, lama memasak, dan temperatur memasak makanan yang mengawali terjadinya pembentukan derivat a‐β dicarbonyl yang bersifat tidak stabil hasil reaksi glikosidasi dan lipoksidasi (Peppa dan Vlassara, 2005). Glukosa sebagai gula pereduksi bersifat toksik, karena kemampuan kimiawi gugus karbonil aldehidnya. Aldehid merupakan senyawa yang mampu berikatan secara kovalen sehingga terjadi modifikasi protein secara enzimatik dan non‐enzimatik. Selain protein, target kerusakan lain adalah lipid amino seperti fosfatidiletanolamin, dan DNA (Peppa dan Vlassara, 2005; Setiawan dan Suhartono, 2005). Reaksi pengikatan aldehid pada protein dinamakan reaksi glikasi. Reaksi ini memiliki kemaknaan patologis yang besar. Berbagai contoh reaksi glikasi protein antara lain hemoglobin glikosilat (HbA1c), albumin, dan kristal lensa mata. Reaksi secara non‐enzimatik glukosa darah dengan protein di dalam tubuh akan berlanjut sebagai reaksi browning dan oksidasi. Reaksi tersebut selanjutnya dapat menyebabkan akumulasi modifikasi kimia protein jaringan. Perubahan kimia ini dikenal sebagai reaksi Maillard (Setiawan dan Suhartono, 2005). Reaksi Maillard juga berkaitan dengan komplikasi kronik DM. Reaksi ini secara umum terdiri atas empat tahap, yaitu:
(50)
i. kondensasi non‐enzimatik gula pereduksi, aldehid atau ketosa, dengan gugus amino bebas dari protein atau asam nukleat membentuk glikosilamin. Reaksi ini dikenal sebagai fase 1 serta secara alamiah bersifat reversibel dan terjadi dalam beberapa jam (kurang dari 24 jam).
ii. pada fase 2 akan terjadi penataan ulang glikosilamin menjadi produk Amadori suatu senyawa ketoamin. Komponen khas pada Amadori adalah HbA1c yang merupakan marker jangka panjang glikemia pada DM (Sufriyana, 2010). Reaksi ini terjadi akibat kadar glukosa yang masih tinggi dalam waktu lebih dari 24 jam. Produk Amadori tersebut bersifat toksik bagi jaringan namun masih reversibel. Kadar produk Amadori pada sejumlah protein meningkat sebanding dengan derajat hiperglikemia pada DM. iii. penataan ulang dan dehidrasi berganda produk Amadori menjadi
amino atau senyawa karbonil reaktivitas tinggi seperti 3‐deoxyglucosane.
iv. reaksi antara senyawa karbonil dengan gugus amino lain dilanjutkan proses penataan ulang membentuk beragam
advance glycosylation end products (AGE‐products/AGEs) sebagai
petunjuk cross linking dan browning pada protein.
(51)
mengakibatkan sintesis sitokin dan faktor pertumbuhan serta peningkatan stres oksidatif (Setiawan dan Suhartono, 2005). Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan adalah elusidasi struktur AGEs, sehingga metode pemeriksaan AGEs belum konsisten. Metode pemeriksaan yang sudah pernah dilakukan adalah dengan HPLC,
chromatography, fluoresens dan Elisa (Peppa dan Vlassara, 2005). Pasien
dengan DM yang lama mempunyai kadar AGEs dua kali orang normal. Fluoresens meningkat pada pasien dengan retinopati dan nefropati berat (Piliang, 2001).
e. Faktor vasoproliferatif
Faktor vasoproliferatif dilepaskan oleh retina dan epitel pigmen retina yang menginduksi terjadinya neovaskularisasi. Secara in vitro VEGF menghambat pertumbuhan sel endotel telah dibuktikan terjadi pada retinopati diabetik. Dari penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa VEGF memiliki hubungan langsung dengan abnormalitas pembuluh darah retina yang terjadi pada DM. Pada binatang ditemukan adanya hubungan antara VEGF dengan perkembangan dan regresi neovaskularisasi (Kanski, 2007). Konsentrasi VEGF lebih tinggi di dalam vitreous mata dengan PDR dibandingkan pada mata dengan NPDR. Pemberian inhibitor VEGF menyebabkan terjadinya neovaskularisasi yang dirangsang hipoksia pada binatang percobaan. Pelepasan VEGF untuk membentuk neovaskularisasi adalah respon terhadap iskemia yang terjadi pada retina (Kanski, 2007).
(52)
2.3.2 Klasifikasi Retinopati Diabetik
Berdasarkan prognosis dan pengobatannya, retinopati diabetik dibagi
menjadi dua bentuk yaitu non‐proliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetik non‐proliferatif diklasifikasikan lagi menjadi retinopati diabetik dasar
(background diabetic retinopathy) atau retinopati pre‐proliferatif.
a. Retinopati diabetik non‐proliferatif. Pada retinopati diabetik dasar terjadi peningkatan permeabilitas dan inkompetensi dinding pembuluh darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat (mikroaneurisma), dan vena retina melebar dan berkelok‐kelok. Di seluruh retina pada bagian‐bagian yang berlainan terlihat berbagai bentuk perdarahan, seperti bentuk nyala api (flame hemorrhages) karena letaknya di dalam lapisan serabut saraf yang horisontal, bentuk titik (dot
haemorrhages), dan bentuk bercak (blot haemorrhages) terdapat di
retina yang lebih dalam tempat sel dan akson mengarah vertikal. Kapiler yang bocor mengakibatkan sembab retina terutama di makula, sehingga retina menebal dan terlihat berawan (Gambar 2.5) (http://www.vrmny.com). Walaupun cairan serosa diserap, masih akan tetap ada presipitat lipid kekuning‐kuningan dalam bentuk eksudat keras (hard exudate). Jika pada fovea sembab atau iskemi atau terdapat eksudat keras, maka tajam penglihatan sentral akan menurun. Pada tahap ini umumnya tidak progresif. Dengan bertambah progresifnya sumbatan mikrovaskular, gejala iskemia akan semakin bertambah berat. Keadaan ini disebut retinopati diabetik pre‐
(53)
proliferatif. Perubahan yang sangat khas adalah terlihatnya sejumlah bercak mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau disebut eksudat lunak (soft exudates), yang merupakan mikro infark lapisan serabut syaraf (Gambar 2.6) (www.cekjournal.org). Gejala lain adalah kelainan vena seperti ikalan (loops), segmentasi vena (boxcar phenomenon) dan kelainan mikrovaskular intraretina yaitu pelebaran alur kapiler yang tidak teratur dan terjadi hubungan pendek antar pembuluh darah
(shunt) intra retina. Pada retinopati pre‐proliferatif, risiko timbulnya
neovaskularisasi meningkat, dan pada penderita ini harus dipantau ketat walaupun belum ada gejala.
Edema makula
Perdarahan
Hard exudate
Dilatasi vena
(54)
Keadaan‐keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetik adalah :
i. Pada DM tipe 1 dan kehamilan dapat merangsang timbulnya perdarahan dan proliferasi.
ii. Arteriosklerosis dan proses menua pembuluh‐pembuluh darah memperburuk prognosis.
iii. Hiperlipoproteinemia diduga mempercepat perjalanan dan progresifitas kelainan dengan cara mempengaruhi arteriosklerosis dan kelainan hemobiologik.
iv. Hipertensi arteri memperburuk prognosis terutama pada penderita usia tua.
v. Hipoglikemia atau trauma dapat menimbulkan perdarahan retina yang mendadak (Ilyas, 2008).
Perdarahan Hard exudate
Edema makula
Dilatasi vena
(55)
Gambar 2.6 Retinopati diabetik pre‐proliferatif
b. Retinopati diabetik proliferatif. Bentuk retinopati diabetik paling parah adalah PDR yang sangat berisiko menyebabkan kebutaan. Karakteristik PDR adalah pembentukan pembuluh darah baru pada atau di dalam satu diameter diskus (1 DD) diskus optikus, di luar diskus dan 1 DD dari batas diskus (Gambar 2.7) (), proliferasi fibrosis pada atau di dalam 1 DD diskus optikus atau tempat lain di retina,
pre‐retinal hemorrhage, dan atau perdarahan vitreous (Cavallerano,
2009).
Neovaskularisasi
Gambar 2.7 Retinopati diabetik proliferatif
(56)
2.3.3 Gambaran Klinis
Pada retinopati diabetik non‐proliferatif dapat terjadi perdarahan pada semua lapisan retina. Ada pun gejala subjektif retinopati diabetik non‐proliferatif adalah penglihatan kabur, kesulitan membaca, penglihatan tiba‐tiba kabur pada satu mata, melihat lingkaran‐lingkaran cahaya, melihat bintik gelap dan cahaya kelap‐kelip. Sedangkan gejala objektif dari retinopati diabetik non‐proliferatif adalah :
a. Mikroaneurisma.
Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena, dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak di dekat pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang pembuluh darah ini demikian kecilnya sehingga tidak terlihat (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007). Mikroaneurisma merupakan kelainan DM pada
mata (Gambar 2.8) (
Mikroaneurisma
(57)
b. Dilatasi pembuluh darah balik
Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumen ireguler dan berkelok‐kelok. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi, dan kadang‐kadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007)
(Gambar 2.9) (
Dilatasi vena
Gambar 2.9 Dilatasi pembuluh darah balik
c. Perdarahan (haemorrhages)
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma di polus posterior. Bentuk perdarahan dapat memberikan prognosis penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan perdarahan yang kecil.
(58)
Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau pecahnya kapiler (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007) (Gambar
2.10) (
Perdarahan
Gambar 2.10 Perdarahan pada retinopati diabetik non‐proliferatif
d. Hard exudate
Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya
khusus yaitu ireguler dan berwarna kekuning‐kuningan. Pada permulaan eksudat berupa pungtata, kemudian membesar dan bergabung (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007) (Gambar 2.11) (.
(59)
Edema makula
Hard exudate
Gambar 2.11 Edema makula dan hard exudat di fovea
e. Edema retina
Edema retina ditandai dengan hilangnya gambaran retina terutama di daerah makula. Edema dapat bersifat fokal atau difus dan secara klinis tampak sebagai retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intra retina. Dapat berbentuk zona‐zona eksudat kuning kaya lemak, berbentuk bundar di sekitar kumpulan mikroaneurisma dan eksudat intra retina (Gambar 2.12) (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007).
(60)
Edema makula signifikan secara klinis (Clinically significant macular oedema
(CSME)) jika terdapat satu atau lebih dari keadaan dibawah ini :
i. edema retina 500 μm (1/3 diameter diskus) pada fovea sentralis.
ii. hard exudate jaraknya 500 μm dari fovea sentralis, yang
berhubungan dengan retina yang menebal.
iii. edema retina yang berukuran 1 disk (1500 μm) atau lebih, dengan jarak dari fovea sentralis 1 disk.
Edema makula
Gambar 2.12 Funduskopi edema makula
(61)
Pada retinopati diabetik yang harus diperhatikan ialah apakah gula darah dan hipertensi terkontrol secara optimal. Edema makula dapat sembuh dengan sendirinya, tetapi jika tajam penglihatan sangat menurun, dan jika sumber kebocoran dapat ditentukan melui angiogram, maka penggunaan fotokoagulasi laser dapat dipertimbangkan (Kadarisman, 1996).
Retinopati diabetik proliferatif merupakan indikasi untuk fotokoagulasi laser argon panretina. Perdarahan pre‐retina atau perdarahan badan kaca dan
neovaskularisasi pada papil optik mempunyai risiko tertinggi. Fotokoagulasi
panretina mengurangi kemungkinan terjadinya perdarahan badan kaca masif dan
ablasi retina dengan terjadinya regresi, bahkan pada beberapa kasus
neovaskularisasi menghilang. Caranya ialah dengan membidikkan beberapa ribu
tembakan laser di seluruh retina secara tersebar dan teratur kecuali daerah sentral yang dibatasi oleh papil optik dan arkade vaskular temporal mayor. Mekanisme foto koagulasi tersebut adalah menyebabkan berkurangnya rangsangan angiogenik oleh retina yang iskemia. Bila perdarahan badan kaca yang menyebabkan menurunnya tajam penglihatan ini, dalam 6 bulan tidak menjernih secara spontan, dapat dilakukan vitrektomi. Pembedahan ini harus segera dikerjakan jika secara klinis atau berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi diduga ada ablasi retina yang progresif. Pada ablasi retina, traksi yang mengenai atau mengancam makula, bisa dilakukan vitrektomi untuk membebaskan traksi
dan scleral buckling untuk membantu mempertautkan retina kembali
(62)
Neovaskularisasi retina sendiri tidak mengganggu penglihatan. Jika tidak ada kelainan patologis di makula, mungkin tidak ada keluhan. Karena banyak penyulit yang berat yang dapat diatasi dengan pengobatan laser dalam waktu singkat, maka deteksi dini dan pengamatan teratur adalah sangat penting (Kadarisman, 1996).
(63)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik seksional silang (cross sectional). Dalam penelitian seksional silang, variabel bebas dan terikat yang terjadi pada objek penelitian diukur secara simultan (dalam waktu yang bersamaan) (Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini yang termasuk variabel bebas adalah DM terkontrol dan tidak terkontrol, sedangkan variabel terikat adalah retinopati diabetik.
3.1 Desain Penelitian
Pengambilan sampel secara non random purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri didasari ciri atau sifat‐sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2005).
Alur pelaksanaan penelitian yang dilakukan meliputi: a. pengumpulan penderita DM tipe 2.
b. membagikan kuesioner untuk diisi penderita DM tipe 2.
c. mengukur tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang penderita DM tipe 2.
d. mengukur tekanan darah penderita DM tipe 2. e. memeriksa kadar gula darah penderita DM tipe 2. f. memeriksa kadar HbA1c penderita DM tipe 2.
(64)
h. melakukan pemeriksaan tekanan intra‐okuler (TIO) penderita DM tipe 2. i. melakukan pemeriksaan fundus mata.
Kadar HbA1c pasien diperiksa untuk membagi subyek penelitian menjadi 2 kelompok yaitu kelompok DM terkontrol dan DM tidak terkontrol.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Prodia Medan dan Sumatera Eye Centre. Waktu penelitian dilakukan selama lebih kurang 3 (tiga) bulan.
3.3 Sampel Penelitian
Jumlah sampel penelitian ini mengikuti rumus pengambilan sampel beda dua rerata yaitu :
N = 4 σ2(Zcrit + Zpwr)2
D2
N = total jumlah sampel
σ = simpangan deviasi masing kelompok (diasumsikan sama untuk dua kelmpok) Zcrit = nilainya berdasarkan ketetapan (Tabel 3.1) untuk kriteria signifikansi yang
diharapkan.
Zpwr = nilainya berdasarkan ketetapan (Tabel 3.2) untuk kekuatan statistik yang
diharapkan.
D = perbedaan minimum yang diharapkan antara dua rerata.
(1)
Lampiran
11
.
Hasil
analisis
data
hubungan
umur
dengan
retinopati
diabetik
menggunakan
SPSS
Group
Statistics
retinopati diabetik N Mean Std. Deviation
Std. Error Mean
Negatif 23 56.43 9.912 2.067
Umur
Positif 7 58.29 11.954 4.518
Independent
Samples
Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean Differen ce Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper Lower Upper Lower Upper Lower Upper Lower
umur Equal
variances assumed
.204 .655 -.413 28 .683 -1.851 4.482 -11.033 7.331
Equal
variances not assumed
-.373 8.670 .718 -1.851 4.969 -13.156 9.454
(2)
(3)
Lampiran
13.
Foto
pemeriksaan
fundus
pasien
menggunakan
oftalmoskop
(4)
Lampiran
14
.
Foto
alat
serta
pemeriksaan
tekanan
intra
okuler
pasien
menggunakan
computerized
tonometer
(CT
80)
produksi
Jepang
(5)
Lampiran
15
.
Foto
alat
fotograph
fundus
color
merk
visucam
NM/FA
produksi
Jerman
(6)