Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Narapidana Politik Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah timbulnya pemikiran atau cita negara hukum sebenarnya sudah
sangat tua, jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan. Cita
negara hukum itu pertama kalinya dikemukakan oleh Plato dan kemudian
pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles.1 Ditinjau dari perspektif historis
perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan, gagasan mengenai
Negara Hukum sudah berkembang semenjak 1800 S.M. 2 Akar terjauh mengenai
perkembangan awal pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani kuno.
Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang
dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan
kedaulatan hukum.3
Pemikiran

negara

hukum

dimunculkan


Plato

melalui

karya

monumentalnya yakni Politicos. Plato dalarn buku ini sudah menganggap adanya
hukum untuk mengatur warga negara. Pemikiran ini dilanjutkan tatkala Plato
mencapai usia lanjut dengan memberikan perhatian yang tinggi pada hukum. Pada
dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat

diselenggarakan;

pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang
terbentuk tidak melalui jalan hukum. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintah

1

Nurul Huda, Ilmu Negara , Jakarta, Rajawali Pers, 2010, hal. 90.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1995, hal. 17.

3
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia, Jakarta, Ichtiar Bar van Hoeve, 1994, hal. 11.
2

Universitas Sumatera Utara

yang baik ialah yang diatur oleh hukum. 4
Ajaran Plato kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama Aristoteles
yang lahir diMacedonia. Karya ilmiahnya yang relevan dengan masalah negara
ialah Politica. Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 S.M) adalah
negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk
warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa
susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dan bagi
Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya,
melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang
hukum dan keseimbangan saja 5
Pemikiran


ini

terus

berkembang,

maka

banyak

pendapat

yang

mengemukakan diseputar pemikiran negara hukum. Konsep negara hukum yang
dikenal yaitu rechtstaats dan the rule of law. Paham rechtstaats pada dasarnya
bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai
populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa
didominasi oleh absolutisme raja. 6 Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahliahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan
Friedrich Julius Stahl. Di sisi lain paham the rule of law mulai dikenal setelah

Albert Venn Dicey (A.V. Dicey) pada tahun 1885 menerbitkan bukunya
Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law
4

Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban yang Adil,
Jakarta, Grasindo, 2004, hal. 36-37.
5
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta, Grasindo, 1988, hal. 153.
6
Padomo Wahjono, Pembangunan Hukum Indonesia, Jakarta, Ind-Hill Co, 1998, hal. 30.

Universitas Sumatera Utara

bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Konsepsi
negara hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde
der Rechtslehre, paham negara hukum dalam arti sempit, menempatkan fungsi
recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan
kekuasaan negara diartikan secara pasif, bertugas sebagai pemelihara ketertiban
dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan

nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats (negara jaga malam) bertugas
menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat, urusan kesejahteraan didasarkan
pada persaingan bebas (free fight), laisez faire, laisez ealler, siapa yang kuat dia
yang menang. Pemikiran Immanuel Kant mernberi inspirasi dan mengilhami F.J.
Stahl dengan lebih memantapkan prinsip liberalisme bersamaan dengan lahirnya
kontrak sosial dariJean Jacques Rousseau, yang memberi fungsi negara menjadi
dua bagian yaitu pembuat Undang-Undang (the making of law) dan pelaksana
Undang-Undang (the executing of law). 7
Konsep atau sistem Anglo Saxon mempunyai tiga makna atau unsur: 8
1. Adanya supremasi hukum (The absolut supremacy or predominance of
regular law), supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenangwenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari
pemerintah.
2. Persamaan di muka hukum (Equality before the law), persamaan
dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada
7

Nimatul Huda, Ilmu Negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, hal. 90.
A.V. Diecey, Introduction to Study of The Law of Constitution, Ninth Edition, Martin
Street, London : Macmillan Co, Limited ST, 1952, hal. 202-203.

8

Universitas Sumatera Utara

ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti
bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun
warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama;
tidak ada peradilan administrasi negara.
3. Konstitusi yang bersandarkan pada hak-hak perseorangan (The law of the
constitution... the consequence of the right of individuals, ... ), konstitusi
adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi
bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu
yang yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsipprinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian
diperluas hingga membatasi posisi crown dan pejabat-pejabatnya.
Konsepsi negara hukum Immanuel Kant berkembang menjadi negara
hukum formal, hal ini dapat dipetik dari pendapat F.J. Stahl tentang negara
hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu: (1) pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia. (2) negara didasarkan pada teori trias politica.
(3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur)
dan (4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus

perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Perbedaan pokok antara rechtstaats dengan rule of law ditemukan pada
unsur peradilan administrasi. Di dalam unsur rule of law tidak ditemukan adanya
unsur peradilan administrasi, sebab di negara-negara Anglo Saxon penekanan
terhadap prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) lebih
ditonjolkan, sehingga dipandang tidak perlu menyediakan sebuah peradilan

Universitas Sumatera Utara

khusus untuk pejabat administrasi negara. Prinsip equality before the law
menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi
negara, harus juga tercermin dalam lapangan peradilan. Pejabat administrasi atau
pemerintah atau rakyat harus sama-sama tunduk kepada hukum dan bersamaan
kedudukannya dihadapan hukum.9
Berbeda dengan negara Eropa Kontinental yang memasukkan unsur
peradilan administrasi sebagai salah satu unsur rechtsstaats. Dimasukkannya
unsur peradilan administrasi ke dalam unsur rechtsstaats, maksudnya untuk
memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap tindakan
pemerintah yang melanggar hak asasi dalam lapangan administrasi negara.
Kecuali itu kehadiran peradilan administrasi akan memberikan perlindungan

hukum yang sama kepada administrasi negara yang bertindak benar dan sesuai
dengan hukum. Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang
sama kepada warga dan pejabat administrasi negara. 10
Konsepsi Negara Hukum atau "Rechtsstaat" sebelum perubahan hanya
tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada
tahun 2002, konsepsi Negara Hukum dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat
(3) yang menyatakan, "Negara Indonesia adalah Negara Hukum." Dalam konsep
Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam
dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. 11

9

“Teori Negara Hukum” http://www.kesimpulan.com/2009/05/teori-negara-hukum.html,
diunduh tanggal 10 Januari 2014.
10
Ibid.
11
Jimly
Asshiddiqie,
Gagasan

Negara
Hukum
Indonesia,
Makalah
http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diunduh tanggal 11
Januari 2014.

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia penangkapan para aktivis politik dan pemimpin oposisi di
zaman Soeharto terdokumentsi dengan baik. Soeharto dengan militernya
menjalankan negara polisi yang jaringannya benar-benar menjangkau ke seluruh
pulau dan desa di nusantara. Para jurnalis sering ditangkap dan majalah-majalah
sering dibredel. Mengeluarkan pernyataan yang dianggap menghina presiden
dilarang dan larangan yang berdasar hukum tentang kebebasan berpendapat
dilaksanankan dengan tegas. 12
Pada masa pemerintah Orde Baru, banyak orang atau kelompok yang
dijobloskan ke dalam penjara dengan tuduhan telah melakukan kejahatan politik
yang menurut versi sepihak dari pemerintah telah melakukan perbuatan yang
dianggap membahayakan keamanan negara atau penjahat negara. Tuduhan

demikian sering diributkan tanpa disertai dengan bukti-bukti yang cukup, seringsering menimbulkan kontroversi dan lebih lagi penolakan keras dari pihak yang
telah mendapat tuduhan tersebut.Sedangkan menurut Mr. Haga (Bijzondere van
Cassatie), penjahat politik ialah seseorang yang bertabrakan dengan tata tertib
hukum karena berupaya mewujudkan keyakinannya mengenai kehidupan bersama
antar sesama manusia yang sepatutnya, demon card yang tidak dapat diterimaoleh
tertib hukum. 13
Para penjahat politik oleh pemerintah yang berkuasa selalu diianggap
sebagai musuh negara karena dianggap telah melakukan kejahatan/tindak pidana
dalam kategori berat, yaitu kejahatan atau tindak pidana politik. Ada pandangan
bahwa tindak pidana politik harus dinilai berlainan dengan tindak-tindak pidana
12

Lihat misalnya, Human Rights Watch, Academic Freedom in Indonesia: Dismantling
Soeharto Era Barriers, New York, Human Rights Watch, 1998.
13
Ibid, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

biasa, sebab motif dari tindak pidana politik dianggap luhur dan pada umumnya

dilakukan oleh orang yang menghendaki perubahan-perubahan dalam bidang
kenegaraan dan pemerintahan yang menuju perbaikan-perbaikan dari sistem,
struktur atau bentuk yang ada yang dianggapnya buruk. oleh karena melalui jalan
konstitusional atau legal sulit atau sama sekali dianggapnya tidak akan mungkin
dapat menghasilkan apa yang dicita-citakan, maka para pelaku tindak pidana politik
lalu terpaksa menempuh cara-cara lain yang tidak konstitusional.
Di Indonesia banyak pelaku kejahatan politik yang melarikan diri keluar
negeri dan meminta perlindungan atau suaka politik kenegara lain, dan negara
tempat pelaku meminta perlindungan biasanya memenuhi permintaan tersebut yang
didasarkan pada beberapa alasan baik itu yang menyangkut kebiasaan dalam
hubungan internasional maupun didasarkan atas negara yang bersangkutan. Banyak
orang atau kelompok yang dituduh telah melakukan tindak pidana politik yang
membahayakan pimpinan/pejabat negara atau keamanan negara, melahirkan diri
dan meminta perlindungan ke luar negeri, seperti GPK Aceh, Fretelin, dan lainlain.
Para pelaku tindak pidana politik sering lebih memilih untuk melarikan diri
dan meminta perlindungan keluar negeri biasanya dikarenakan perlakukan yang
sangat buruk dari pemerintah beserta aparatnya terhadap para pelaku tindak pidana
politik. Tidak jarang perlakuan yang sangat kejam bahkan sampai pada kamatian
dialami oleh para tahanan politik atau narapidana politik. Kepada mereka hampir
tidak ada kesempatan untuk mendapatkan perlindungan hukum atau hak-hak
menusia peraturan perundang-undangan yang ada. Setiap permohonan grasi yang

Universitas Sumatera Utara

dijukan oleh pelaku kepada Presiden selalu di tolak. Hak untuk mendapatkan abolisi
atau amnesti tidak pernah mereka dapatkan.
Para penjahat politik yang melakukan perbuatannya didasarkan atas
maksud-maksud yang patut dihormati, seringkali mendapatkan perlakuan tidak
manusiawi berupa penyiksaan yang dilakukan diluar batas kemanusiaan. fenomena
perlakukan yang kejam terhadap para pelaku tindak pidana politik ini terjadi pada
hampir semua dinegara didunia, seperti yang dikatakan oleh James W. Nickel,
bahwa penyiksaan sering dikenakan kepada para pembangkang politik, di hampir
semua negara. 14
Pasal 14 UUD 1945 menentukan bahwa Presiden memberi grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi.Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan
tersebut, Presiden BJ.Habibie telah memberikan grasi, amnesti, aboisi, dan
rehabilitasi kepada tahanan politik dan narapidana politik yang menjadi korban
penguasaan Orde Baru. Dalam masa pemerintahan BJ.Habibie tapol dan napol yang
mendapitkan amnesti sebanyak 146 orang, abolisi sebanyak 75 orang dan grasi
sebanyak 292 orang. Pemberian amnesti, obligasi, dan grasi itu dilakukan dengan
Keputusan Presiden (Keppres), diantaranya:
a. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1998, tanggal 25 Mei 1998 tentang
pemberian amnesti kepada Muchtar Pakpahan dari Sri Bintang Pamungkas.
b. Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1998, tanggal 28 Mei 1998 yang
berisi pemberian amnesti kepada Nuku Sulaeman dan Atidi Syahputra;
pemberian abolisi kepada Karlina laksono, Gadis Arvia Efendi dan Wilasih
14

James W. Niekel, Hak Asasi Manusia refleksi filosofi deklarasi universal hak asasi
manusia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 172.

Universitas Sumatera Utara

Nophiana.
c. Keputusan Presiden Nomor 105 Tahun 1998 tanggal 23 Juli 1998 tentang
pernberian amnesti kepada 6 tokoh Partai Rakyat Demokratik (PRD)
seperti Mohamad Sholeh, Coen Husein Pontoh dan lain-lain, serta
pemberian abolisi kepada 44 tapol dan napol diantaranya Aberson Marle
Sihaloho.
d. Keputusan Presiden Nomor 125 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 yang
menetapkan pemberian amnesti dan rehabilitasi kepada terpidana Abdul
Qadir Djaelani.
e. Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998
tetang pemberian amnesti dan rehabilitasi kepada terpidana Ir.H.M.Sanusi.
f. Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998
mengenai pemberian amnesti dan rehabilitasi kepada terpidana Haji Andi
Mappetahang Fatwa.
g. Keputusan Nomor 13/G tahun 1999 tanggal 17 Maret 1999 mengenai
pemberian grasi kepada dua orang pelaku tindak pidana yaitu Hasbi
Abdullah dan Husein Ali Al Habsyl
h. Keputusan presiden Nomor 15/G Tahun 1999 tanggal 17 Maret 1999
mengenai

pemberian

grasi

kepada

sepuluh

orang

pelaku

makar/pemberontakan G 30S/PKI, diantaranya Kolonel Abdul Latief.
i. Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1999 tanggal 2 Juli 1999 tentang
pemberian amnesti kepada aktifivis buruh Dita Indah Sari
j. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1999 tanggal 7 September 1999

Universitas Sumatera Utara

yang memberikan amnesti kepada Jose Alexandre Gusmao alias Kay Rala
Xanana Gusmao alias Xanana
k. Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 1999 tanggal 10 desember 1999
yang memberikan amnesti kepada tokoh-tokoh Partai Rakyat Demokratik
(PRD), yaitu Budiman Sujatmiko, Suroso, Ignatius Damanius Pranowo,
Yacobus Eko Kurniawan dan Bartholomeus Garda Sembiring.
l. Pemberian grasi, amnesti dan abolisi kepada para tahanan dan narapidana
politik di atas merupakan kebijakan yang patut mendapatkan apresiasi,
terlepas dari berbagai kritikan yang muncul yang menganggap bahwa
kebijakan demikian tak lebih dari upaya pemerintah untuk mendapatkan
simpati masyarakat, sebab pemberian grasi, amnesti dan abolisi ini terkesan
diskriminatif karena tidak semua tahanan politik dan narapidana politik
mendapatkannya.Terlepas dari berbagai kritikan tersebut, memang sudah
selayaknya menjadi kewajiban pemerintah yang melaksanakan amanat
reformasi untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakan pemerintah masa
lalu yang merupakan suatu kesalahan untuk menempatkan pada proporsi
yang sebenarnya. Para tahanan politik dan narapidana politik, untuk
sebagian, yang telah dijebloskan kedalam penjara untuk suatu kesalahan
yang tidak dilakukannya, harus dikembalikan kepada keadaan semula.
Kebijakan demikian sebenarnya lebih bersifat politis, sehingga memerlukan
langkah-langkah politik dari pemerintah, yang dalam hal ini pemerintah telah
mengambil langkah berupa pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi
kepada para tahanan politik dan narapidana politik, walaupun dalam hal

ini

Universitas Sumatera Utara

dilakukan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang ada yaitu Pasal 14 UUD 1945.
Tindakan Pemerintah ini sebenarnya dapat dilakukan dengan, menggunakan
pijakan hukum pidana yang ada, yaitu KUHP khususnya pada para yang mengatur
mengenai penerapan asas retroaktif. Hanya yang menjadi masalah, asas retroaktif
menurut hanya berlaku terhadap perkara pidana yang sedang dalam proses
peradilan, dan tidak dapat diterapakan kepada perkara yang sudah diputus dan
mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga apabila asas ini yang digunakan, maka
terhadap para pelaku tindak pidana politik yang sudah mendapat putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diterapkan. Sehingga
kebijakan pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi merupakan langkah
yang sangat tepat.
Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang hidup, berkembang, dan
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah
dan larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Hukum dibuat dengan
tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu orang-orang dan untuk
menciptakan ketertiban, rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum harus diperundangkan oleh negara dan pengaturannya harus jelas dan
tegas sehingga dalam pelaksanaannya dapat tercapai kepastian hukum.
Negara sebagai organisasi sosial yang terkuat dan tertinggi, maka hanya
negara saja yang memegang hak penegakan hukum pidana baik dalam hak untuk
menuntut pidana terhadap barang siapa yang telah diduga melanggar aturan
pidana yang telah dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang maupun hak

Universitas Sumatera Utara

untuk menjalankan pidana terhadap barangsiapa yang oleh negara telah
dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya itu. 15 Penegakan hukum
pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan serta
meningkatkan keterbertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang
berkeadilan dasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sehingga rakyat
merasa diayomi dan dilindungi hak-haknya.
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan dalam Pasal 28 D bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Perwujudan dari Pasal 28
UUD 1945 ini memungkinkan setiap orang tidak terkecuali para pelaku pidana
untuk bisa mendapatkan perlakuan yang baik, adil, dan kepastian hukum dalam
proses hukum yang mereka jalani. Mulai dari para tersangka memiliki hak-hak
asasinya tersendiri hingga sampai berubah status menjadi terdakwa dan terpidana
tetap memiliki hak-hak sesuai peraturan yang berlaku.
Setiap orang yang terlibat dalam suatu kasus hukum memiliki hak-haknya
dalam menjalani proses pencarian kebenaran materil. Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur hak-hak seseorang baik
kedudukan statusnya sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa/terpidana.Hak
untuk segera diperiksa, hak untuk melakukan pembelaan, hak untuk mendapatkan
bantuan hukum adalah beberapa hak yang disebutkan dalam KUHAP.
Proses dimuka pengadilan berguna untuk memperoleh suatu putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan
15

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002,

hal. 151.

Universitas Sumatera Utara

oleh hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan
itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat
memihak. Agar kekeliruan dan kekhilafan itu dapat diperbaiki, maka demi
tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim dimungkinkan untuk
diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan
itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum. Jadi, upaya hukum merupakan
upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu
keputusan.
Setiap terdakwa diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum, baik yang
berupa upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP
maupun upaya hukum diluar KUHAP. Upaya hukum adalah hak yang diberikan
hakim kepada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju dengan
suatu putusan pengadilan. 16 Upaya hukum biasa yaitu berupa pengajuan banding
ke Pengadilan Tinggi dan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, adalah upaya
yang ditempuh terdakwa ketika putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap, terpidana masih mempunyai
kesempatan mengajukupaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa
merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa. Upaya ini diajukan terhadap
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, dimana
upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari
kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum

16

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh
Advokat, Jakarta, Djambatan, 2002 hal. 76.

Universitas Sumatera Utara

biasa dan upaya hukum luar biasa diatur tegas dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Tidak hanya itu, upaya yang dapat dilakukan terdakwa ada juga yang
diatur di luar KUHAP antara lain grasi, amnesti, dan abolisi. Dasar hukumgrasi,
amnesti, dan abolisi termuat dalam konstitusi Undang-UndangDasar 1945 yaitu
pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi: (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (2) Presiden memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Grasi, amnesti,dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden sebagai
kepala negara dalam bidang yudikatif. Grasi, amnesti dan abolisi juga dapat
dimasukkan sebagai dasar penghapus penuntutan maupun dasar penghapus
pemidanaan.
Grasi sangat dibutuhkan dalam pemerintahan suatu Negara karena dapat
meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis
yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana
mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people.
Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses
penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat
dipercaya bisa saja terjadi. Grasi dapat dikatakan merupakan salah satu lembaga
yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut.

Universitas Sumatera Utara

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,
perumusan masalah pada penulisan skripsi ini yaitu :
1. Bagaimanakah pengertian tindak pidana politik dalam hukum pidana di
Indonesia?
2. Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai pemberian grasi terhadap
terpidana dalam hukum positif di Indonesia

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain, yaitu:
a) Untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya pengaturan hukum
dalam memberikan grasi terhadap narapidana politik di Indonesia.
b) Untuk menjelaskan perkara apa saja yang dapat digolongkan sebagai
kejahatan politik di Indonesia.
c) Untuk menjelaskan

kedudukan atau posisi grasi didalam hukum

pidana Indonesia
2. Manfaat Penulisan
Disamping tujuan sebagaimana telah diuaikan diatas, penulisan skripsi ini
juga diharapkan dapat memberikan manfaat yang optmal. Apakah itu
sebagai sumbangan pemikiran teoretis maupun manfaat secara praktis
berkenaan dengan masalah penegakan hukum dan keadilan dalam
kaitannya dengan pemberiaan grasi bagi narapidana politik.

Universitas Sumatera Utara

a) Manfaat teoretis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat baik bagi
penulis, mahasiswa, maupun masyarakat luas dalam hal memahami
mengapa dilakukan pemberian grasi terhadap narapidana politik di
Indonesia ditinjau dari perspektif hukum pidana
b) Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan
menjadi suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat
menerapkan hukum dalam hal ini pemberian grasi terhadap narapidana
politik di Indonesia agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum.

D. Keaslian Penulisan
Bahwa skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI
PEMBERIAN

GRASI

TERHADAP

NARAPIDANA

POLITIK

DI

INDONESIA” telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dan sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh
siapapun di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Data yang digunakan
guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh
dari berbagai media, baik itu media cetak ataupun pengumpulan informasi melalui
internet. Maka apabila dikemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan

Universitas Sumatera Utara

yang sama sebelum tulisan ini dibuat maka penulis siap untuk mempertanggung
jawabkannya secara moral dan ilmiah.

E. Tinjaun Kepustakaan
1. Pengertian Grasi
Ditinjau dari sudut bahasa, istilah “grasi” berasal dari bahasa Latin, yaitu
gratia yang berarti pengampunan. Grasi dikenal dalam seluruh sistem hukum di
seluruh dunia.
J.C.T Simorangkir memberikan pendapat bahwa grasi adalah wewenang
dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah
dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah
sifat atau bentuk hukuman itu. 17
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi
memberikan defenisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden.
Sedangkan Satochid Kertanegara memberikan pendapat bahwa grasi atau
pengampunan adalah merupakan juga hal yang dapat menggugurkan hak untuk
melaksanakan hukuman. 18 Sama halnya dengan pendapat Utrecht yang
menyatakan bahwa grasi termasuk ke dalam alasan gugurnya melaksanakan

17

J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hal.58.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Dua, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa,
Tanpa Tahun, hal. 304.
18

Universitas Sumatera Utara

hukuman

di

luar

Kitab

Undang-Undang

Hukum

Pidana,

grasi

yaitu

menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman. 19
2. Pengertian Narapidana
Menurut Kamus Hukum, Narapidana adalah orang yang tengah menjalani
masa hukuman atau pidana dalam lembaga pemasyarakatan. Narapidana sedikit
beda dengan Narapidana Politik, tetapi tidak boleh ada pembedaan/diskriminasi
yang didasarkan pada ras,warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian
politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status
lainnya

3. Narapidana Politik
Narapidana Politik menurut Hazewinkel-Suringa adalah penjahat karena
keyakinan mereka yang karena keyakinan melanggar tata hukum yang berlaku
karena negara atau keyakinan hukum yang dianut dianggap lebih tinggi dari negara
yang bersangkutan. Mereka bergerak dengan tanpa pamrih atau demi kepentingan
umum. Mereka ingin mengubah masyarakat kalau perlu pimpinan masyarakat
diganti. 20 Sedangkan menurut Mr. Haga (Bijzondere van Cassatie), penjahat politik
ialah seseorang yang bertabrakan dengan tata tertib hukum karena berupaya
mewujudkan keyakinannya mengenai kehidupan bersama antar sesama manusia
yang sepatutnya, demon card yang tidak dapat diterima oleh tertib hukum. Para
penjahat politik oleh pemerintah yang berkuasa selalu diianggap sebagai musuh

19

Utrecht, Ringkasan Sari Hukum Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya, Pustaka Tinta
Mas, 1987, hal. 206.
20
Andi Hamzah, Hukum Pidana Politik, Jakarta, Pradanya Paramita, 1992, hal. 34.

Universitas Sumatera Utara

negara karena dianggap telah melakukan kejahatan/tindak pidana dalam kategori
berat, yaitu kejahatan atau tindak pidana politik.

F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat
dalam perumusan masalah tersebut diatas adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang
menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari
berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan skripsi ini.
2. Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder.
Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain
meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah,
jurnal, maupun asip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan
diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dala penelitian ini meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau
kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan
hukum primer yang paling utama digunakan dalam penelitian ini
adalah :

Universitas Sumatera Utara

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Undang-Undang Dasar 1945
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Grasi
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
6. Undang-Undang

Nomor

11/PNPS/1963

Tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian
dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan
memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum
lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
3. Metode Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan
mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisantulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang
berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.
Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk
mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik
analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu
dengan

mengumpulkan

data,

mengkualifikasikan,

kemudian

menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya
menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan
pendekatan yuridis dan sosiologis.

G. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini dapat diuraikan secara sistematis maka penulis membaginya
dalam empat bab yang setiap babnya memiliki sub bab. Sistematika yang akan
dipergunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
BAB I

: PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan latar belakang pemilihan
masalah dalam penulisan ini. Bagian ini dibagi menjadi
tujuh sub bab yang menguraikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, metode
penulisan, tinjauan kepustakaan, sistematika penulisan.

BAB II

: TINDAK PIDANA POLITIK DALAM HUKUM
PIDANA DI INDONESIA

Universitas Sumatera Utara

Pada bab ini akan diuraikan tentang pengertian tindak
pidana politik, perumusan tindak pidana politik sebelum
dan sesudah reformasi, akibat pergeseran kebijakan hukum
terhadap tindak pidana politik
BAB III

: PENGATURAN GRASI DALAM HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
Pada bab ini akan diuraikan tentang pengertian grasi, alasan
dasar pemberian grasi, bentuk-bentuk grasi, bagaimana
proses pengajuan grasi, dan contoh grasi terhadap
narapidana politik

BAB IV

: PENUTUP
Bab ini akan mengakhiri susunan skripsi ini. Sebagai bab
terkahir penulis akan memberikan kesimpulan dari apa yang
ditulis dan disertai dengan saran-saran yang dirasa perlu
sebagai masukan.

Universitas Sumatera Utara