MODEL PEMINDAHAN LATIHAN PROGRAM PENGLIB

MODEL PEMINDAHAN LATIHAN PROGRAM PENGLIBATAN KOMUNITI
AKUAKULTUR MELALUI PEMANFAATAN KULIT KEPITING SEBAGAI KITOSAN
Dara Aisyah¹, Ibrahim Mamat¹, M. Sontang², Ambar Teguh Sulistiyani3
1
Pusat Pembangunan Sosioekonomi, Universiti Malaysia Terengganu (UMT),
2
Fak.Pengajian Kontemporari Islam-Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA),
Kuala Terengganu-Terenggau Darul Iman-Malaysia
3
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik -Universitas Gadjah Mada (UGM)
d.aisyah@umt.edu.my
Abstrak
Model latihan untuk program pemanfaatan kulit kepiting menjadi edible coating chitosan bukan
saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan kepiting, akan tetapi juga dapat mengatasi
masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta
estetika lingkungan yang kurang bagus. Kajian tinjauan ini untuk memberikan pemindahan
pengetahuan melalui latihan untuk memanfaatkan sisa kulit kepiting menjadi kitosan sebagai
Edible Coating telah dilakukan melalui proses pengeringan, penghancuran, demineralisasi,
deproteinasi, deasetilasi, netralisasi dan pengeringan. Dari hasil kajian ini nantinya dapat
menunjukkan kitosan dari kulit kepiting menjadi edible coating untuk mencegah pertumbuhan
bakteri dan menambah daya awet produk perikanan. Penyalahgunaan formalin yang meresahkan

komuniti, menjadikan para penyelidik menemukan beberapa bahan pengawet alternatif, salah
satunya kitosan.Sayangnya kitosan belum dikenal oleh komuniti, sehingga diperlukan
penyampaian informasi untuk mengenalkannya. Penyampaian informasi dilakukan untuk
mengenalkan kelebihan kitosan sebagai pengawet yang mudah dibuat dan baik untuk kesehatan.
Selain itu, komuniti pesisir diharapkan mahir memanfaatkan kulit kepiting menjadi
kitosan.Kaedah atau metode pendekatan yang digunakan iaitu pemerhatian, persiapan, dan
pelaksanaan penyampaian informasinya. Pelaksanaan program dilakukan dengan kaedah
ceramah, tanya jawab, dan demonstrasi. Hasil penyampaian informasi kepada komuniti pesisir
mampu mengolah kulit kepiting sebagai pengawet.Penilaian program dilakukan dengan kegiatan
pendampingan dan program seterusnya dilakukan dengan mengadakan kerjasama dengan pihakpihak terkait.
Kata kunci:

Model Latihan, Penglibatan Komuniti, Program, Edible Coating, Formalin,
Kitosan, Kulit Kepiting, Penyampaian Informasi, Komuniti Pesisir

Abstract
Implementation of training model for utilizing crab shell into edible coating chitosan not only
adds value to the crab processing business, but also helps to overcome environmental pollution
such as air pollution. The purpose of the study is to provide training to utilize crab shell waste as
edible coating chitosan through the process of drying, crushing, demineralization, deproteini

zation, deacetylation, and neutralization. Results show that it can prevent bacterial growth and
increase the preserved fishery products. The misuse of formalin has led the researchers to find

several preservation alternatives such as chitosan which is unknown to community. Thus the
usage and benefits of chitosan as preservative is relayed to the community in the hope that they
skillfully utilize the shell crab into chitosan. The approaches used are through lectures,
discussion and demonstration. It is hoped that the implementation training program to coastal
communities will help them utilize chitosan as preservative. Outreach program evaluation is
further carried out with the cooperation of relevant authorities.
Keyword: Training model, community involvement, edible coating chitosan, formalin, shell crab,
coastal community.
PENGENALAN
Penemuan kitosan (chitosan) sebagai pengawet alternatif pengganti formalin belum dikenal oleh
komuniti akuakultur sehingga diperlukan suatu upaya untuk mengenalkannya. Melalui program
ini komuniti akuakultur akan mengenal pasti adanya kitosan sebagai pengganti formalin.
Sehingga selain untuk mengembangkan potensi perikanan dan kelautan, pemanfaatan kitosan
sebagai alternatif pengganti formalin pada produk perikanan juga dapat sebagai salah satu
penyelesaian masalah kasus penyalahgunaan formalin. Kasus penyalahgunaan formalin oleh
komuniti merupakan faktor terpenting dilaksanakannya program penyampaian informasi
mengenai pemanfaatan kulit kepiting sebagai bahan pengganti formalin berupa kitosan.

Komuniti yang menjadi kumpulan sasaran dari program ini adalah nelayan akuakultur di
kawasan Mengabang Bakong Kuala Terengganu-Malaysia. Sebahagian besar komuniti
akuakultur kepiting bekerja sebagai peternak dan pedagang kepiting. Potensi besar yang dimiliki
komuniti akuakultur sebenarnya boleh dikembangkan secara maksimum sehingga mampu
mendukung kesejahteraan ekonomi penduduk. Meningkatnya jumlah sisa buangan (sampah)
kulit kepiting masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya penyelesaiannya.
Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pemprosesan kepiting, akan
tetapi juga dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama
masalah bau yang dikeluarkan serta estetika yang kurang bagus. Sebahagian besar sisa buangan
kulit kepiting yang dihasilkan oleh usaha pengolahan kepiting berasal dari kepala, kulit dan
ekornya.
Kulit kepiting mengandung protein (25 % - 40 %), kitin(chitin) (15 % - 20 %) dan kalsium kar
bonat (45% - 50 %) (Marganof, 2003).Pada tahun 1830, istilah kitin manakala kitosan, derivatif
kitin ditemukan, pada tahun 1859 dan beberapa kajian lanjutan dijalankan untuk mengkaji fung
sinya (Meyers et al., 1995). Senyawa polisakarida ini boleh didapati dalam dengan kulat, exos ke
letons serangga dan invertebrata laut. Hasil sampinang ini belum banyak digunakan sehingga
hanya menjadi sisa buangan yang mengganggu lingkungan saja, terutama pengaruh pada bau
yang tidak sedap dan pencemaran air dalam kandungan BOD (Biochemical oxygen demand),
COD(chemical oxygen demand) dan TSS (Total Suspended Solids) terdapat dalam perairan di
sekitar pabrik yang cukup tinggi). Melalui pendekatan teknologi yang tepat, potensi sisa buangan

ini dapat diolah lebih lanjut menjadi senyawa polisakarida di dalamnya termasuk chitin
[(C8H13NO5)n]. Kitin ini dapat diolah lebih lanjut menjadi kitosan [(C6H11NO4)n] dan

glukosamin (C6H13NO5). Ketiga produk ini mempunyai sifat mudah terurai dan tidak
mempunyai sifat beracun sehingga sangat ramah terhadap lingkungan (Huang et al., 2005).
Kitin dan kitosan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Pengeluaran komer
sial kitin dan kitosan berlaku dari cangkang sisa kulit kepiting.Struktur kimia kitin mirip dengan
selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C 2. Jika pada selulosa gugus yang
terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida.
(Muzzarelli, 1985). Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun
dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia
yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan. Kitosan merupakan senyawa dengan
rumus kimia poli(2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis
kitin menggunakan alkali kuat. Saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan
serta turunannya di industri makanan, pemprosesan makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi,
kesehatan, dan lingkungan. (Balley, et al, 1977).
Sifat-sifat kitosan bergantung kepada berbagai parameter intrinsik seperti peratusan derajat
deasetilasi (DDA/Degree of De-Acetylation) (Domand,1988;Rinaudo & Domard 1988).
Parameter kualitas kitosan berbeda dari harapan pengguna. Pada saat sekarang ini satu set stan
dar parameter kualitas untuk kitin dan kitosan berku rang (Hirano, 1988; Cho et al,1998) (Doma

nd,1988; Rinau do and Domard, 1988). (Hirano, 1988; Cho et al., 1998) and No et al. (2000).
Hasil kajian mendapati bahwa kitosan mampu menggantikan formalin, bahkan kualitas
produksi yang dihasilkan lebih baik bila dibandingkan dengan yang menggunakan formalin.
Kitosan merupakan zat anti bakteri, berkesan dalam mencegah pertumbuhan bakteri, hal ini
disebabkan karena kitosan memiliki polikation alami yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri dan kapang. Masalah utama yang dihadapi dalam menghasilkan kitin dan kitosan di
Malaysia adalah kuantitas dan kualititas produksinya masih rendah. Jumlah persediaannya masih
belum pasti dan belum boleh diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak komuniti yang
belum mengetahui fungsi dari kitin dan kitosan pada produk perikanan. Banyak pihak menilai
sumbangan sektor akuakultur Malaysia terhadap pembangunan ekonomi rakyat maupun negara
masih sangat kecil. Sepertiga dari sumbangan yang diperoleh dari sektor perikanan adalah dari
eksport kepiting. Sumber penerimaan yang diperoleh dari sektor perikanan 34 % berasal dari
eksport kepiting sebesar 125.596 ton pada tahun 2010. Banyaknya produksi kepiting ini akan
menghasilkan sisa buangan / sampah kepiting yang banyak mengingat hasil buangan kepiting
tersebut berupa kepala, kulit, ekor dan kaki adalah sekitar 35 %-50 % dari berat awal. Sampah
buangan kepiting yang dihasilkan dari proses bersalin kepiting, akan dikalengkan, setelah
dilakukan pengupasan kepiting berkisar antara 30 % - 75 % dari berat kepiting tersebut.
Kitosan saat ini telah dimanfaatkan dalam beberapa bidang, misalnya perobatan,
kesehatan, tekstil, industri farmasi, pengolahan buangan sampah pabrik, dan kosmetik. Kulit
kepiting sebagai bahan pembuatan kitosan boleh didapati di Malaysia. Pemanfaatan kulit

kepiting sangat diperlukan, karena hasil penangkapan kepiting selama ini dikirim sampai ke luar
daerah bahkan sampai ke luar negeri yang bila disimpan terlalu lama akan menimbulkan bau
busuk. Oleh karena itu, kepiting tersebut perlu diawetkan. Pada masa ini pengawetan hanya
terbatas pada ikan asin sahaja dengan garam sebagai bahan pengawet. Beberapa pihak misalnya
nelayan, pengusaha tahu, dan pengusaha ikan masin masih menggunakan formalin sahaja
sebagai zat pengawet. Padahal formalin bukan pengawet makanan yang baik untuk kesehatan

dan merupakan salah satu zat karsinogenik. Kerana itu, diperlukan bahan/zat pengawet yang
aman, efektif dan efisien.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu cara
mengenalkan kitosan kepada para komuniti akuakultur, cara bagaimana memotivasikan para
komuniti agar menghindari penggunaan formalin yang sangat berbahaya, cara mengolah kulit
kepiting secara kimia dan fizik menjadi kitosan, dengan menggunakan kitosan agar dapat digu
nakan untuk mengawetkan ikan. Tujuan dilaksanakan program ini adalah untuk mengetahui cara
mengenalkan kitosan kepada para komuniti agar dapat memanfaatkan hasil pembuangan sampah
kepiting tersebut berupa kulit kepiting agar lebih berguna dengan kaedah pembuatan sederhana
dan tanpa alat yang mahal dan canggih menjadi kitosan, mengenal pasti cara memotivasi para
komuniti agar menghindari penggunaan formalin dan bersedia menggunakan kulit kepiting
sebagai alternatif pengganti formalin berupa kitosan, dan agar kumpulan sasar mengetahui cara
mengolah kulit kepiting menjadi kitosan serta komuniti juga dapat menggunakan kitosan untuk

mengawetkan ikan.
Program ini diharapkan untuk komuniti pesisir sebagai kumpulan sasar yang memiliki
suatu kemahiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi iaitu kemampuan
memanfaatkan hasil pembuangan sampah kulit kepiting menjadi kitosan yang bermanfaat
sebagai pengawet pada beberapa produk perikanan. Program ini juga berguna mengurangi
kebimbangan komuniti karena bahaya penggunaan formalin oleh para pengusaha kecil. Manfaat
yang diperoleh setelah dilaksanakannya program ini yaitu komuniti mengetahui manfaat kulit
kepiting yang diolah menjadi kitosan sebagai bahan pengawet yang lebih bermanfaat bagi
kesihatan tubuh dan mampu membuat kitosan dengan teknik sederhana.Bila usaha ini
berkembang bahkan boleh menjadi tambahan sebagai komoditi utama pesisir. Seperti yang
terjadi di negara lain misalnya Jepang dan Amerika.
STUDI PUSTAKA
MODEL PEMINDAHAN PENGETAHUAN DAN PEMANFAATAN SISA BUANGAN(SAMPAH)
KULIT KEPITING

Sisa akuakultur berupa sisa kulit kepiting adalah termasuk sisa organik pesisir yang menjadi
bahan buangan atau sebarang bahan yang tidak diperlukan sama sekali yang bersumber dari
sektor perdagangan atau perniagaan perikanan laut. Dari hasil peternakan di kawasan ternak
akuakultur ataupun di sektor perindustrian lainnya. yang dilakukan oleh manusia. Dalam artikata
lain, sisa kulit kepiting membawa maksud sebarang bahan yang tidak diperlukan atau tidak

dikehendaki oleh lingkungan. Di Malaysia, pengurusan sisa organik, seperti sisa kulit kepiting
adalah salah satu perhatian yang diperhatikan untuk mencapai keseimbangan lingkungan. Antara
kajian tentang pengolahan sisa dan masalah-masalah yang dihadapi serta perancangan untuk
pelaksanaan pengurusan yang sistematik yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti Barat ialah
kajian oleh Reschovsky & Stone (1994) di New York, Anderson (1998) di Denmark, Bauld &
Hickman (1998) di Nova Scotia, Isaacs, (1998) di Canada, dan Ishizuka, Hijasima dan Macer
(1995) di Taiwan.
Seterusnya kajian yang berkaitan dengan pendekatan pengelolaan sisa terpadu berdasarkan
pendekatan waste hierarchy yang meliputi pengoptimuman sisa di peringkat sumber, recycle,

pengkomposan, pengkambusan (landfill), dan insinerator juga telah dilakukan oleh peneliti Barat
seperti Brunner & Ernst (1986), Habitat II (1999), Cooper (1995), Cooper (1996) dan Arner
(1999).
Pengelolaan sisa tersebut adalah salah satu upaya untuk diperhatikan untuk mencapai
keseimbangan lingkungan. Kajian yang berkaitan dengan pengelolaan dan masalah sisa di
peringkat local(setempat) banyak dilakukan di kalangan pelajar dan peneliti universitas. Kajian
yang berkaitan dengan masalah dan pengelolaan yang dilakukan oleh Azahariah di Alor Setar,
Mohd.Zanuddin (1987) di Kota Bharu, Ee (1988) dan Shaniza (1998) di Kajang, Bavanee (2000)
di Kajang, dan Sharul Piazal (2000) di Klang. Kajian yang berkaitan dengan faktor ekonomi,
sosial dan audit juga pernah dilakukan oleh Mohd.Nasir (1991)(1992), Mohd. Nasir, Rakmi,

Mohd.Kamil & Wan Nor Azmin (1995), Mohd.Nasir & Rakmi (1996), Mohd.Nasir, Nurlaily,
Rakmi, Saifulah (1995), Mohd.Nasir, Zulina & Rakmi (1998). Jika kita kaitkan antara
pengelolaan sisa tersebut maka kajian sisa organik pun telah banyak dikaji. Sisa industri
makanan merupakan suatu sumber lingkungan yang telah terkontaminasi. Kajian yang telah
dilaksanakan berkaitan dengan pengembangan teknik sisa pembuangan menjadi produk-produk
yang bermanfaat dilakukan oleh Perea et al., 1993; Kristinsson & Rasco, 2000; Larsen et al.,
2000; Guerard et al., 2001; Coello et al., 2002; Laufenberg et al., 2003.
Berdasarkan berbagai kajian tersebut, maka perlu dilakukan kerlibatan antara universitas
dan komuniti khususnya yang berkaitan dengan kajian ini yaitu pelaksanaan program
pemindahan pengetahuan mengenai pemanfaatan sisa organik berupa kulit kepiting menjadi
produk-produk yang bermanfaat. Program pemindahan pengetahuan berupa latihan didefinisikan
sebagai suatu pembelajaran terancang yang direkabentuk untuk menyampaikan latihan bagi
meningkatkan efisiensi dan keefektifan.
Setiap individu di masyarakat(komuniti) sehingga mampu merubah pemahaman, pengetahuan
dan sikap mereka dengan pemindahan pengetahuan dengan adanya pelatihan merujuk kepada
penggunaan pengetahuan, kemahiran dan tingkahlaku yang dipengaruhi oleh suasana, dukungan
peserta dan rekan peneliti, serta dukungan teknologi (Scobby 2001; Cascio 2003 & Noe 2002).
Rumusan yang boleh dibuat mengenai pemindahan pengetahuan melalui latihan berdasarkan
definisi-definisi yang diutarakan oleh para pakar di atas yaitu pengaplikasian pengetahuan,
kemahiran dan perlakuan baru yang diperolehi komuniti dari latihan pemanfaatan sisa kulit

kepiting menjadi produk yang bermanfaat untuk keperluan komuniti agar mampu menciptakan
lingkungan yang kondusif dan abadi / lestari serta mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi
komuniti nantinya.
PETERNAKAN KEPITING NIPAH
Kepiting nipah atau nama saintifiknya Scylla Serrata antara spesis raja sepit yang mempunyai
permintaan tinggi di pasaran pada masa kini. Harganya yang mencapai RM 28 hingga RM 40
sekilogram membolehkan pengusaha ternakan itu mendapat pendapatan lumayan berbanding
ternakan akuakultur lain.
Harga pasarannya telah melonjak dari sekitar RM 15/kg pada akhir tahun 80'an kepada
sekitar RM 25/kg sampai sekarang ini (2012). Sebelum ekonomi meleset (1997), harga telah
meningkat sekitar RM 40 bagi setiap kg kepiting hidup. Permintaan untuk kepiting nipah

memang senantiasa tinggi. Ini dijangkakan boleh meningkatkan taraf kehidupan dan
penambahan pendapatan penduduk Malaysia, seterusnya meningkatkan daya beli masyarakat di
samping peruntukan yang lebih untuk program rekreasi (memancing di kolam).
Peningkatan harga dan permintaan kitosan ini seterusnya merangsang banyak peternak
ikan menukar kepada ternakan kepiting nipah. Banyak kolam terbiarkan dan setelah diaktifkan
kembali dan banyak sawah yang ditinggalkan mulai digali kembali untuk kolam kepiting nipah
tersebut. Terdapat juga program pembangunan pertanian di wilayah yang telah menjadikan
kepiting nipah sebagai spesies tumpuan untuk dimajukan, malah ada daerah yang telah memilih

spesies ini sebagai produk utama pengeluaran di daerah masing-masing. Sebuah ladang
akuakultur yang terbesar di pantai timur Malaysia juga ada yang telah menceburi bidang
penternakan kepiting nipah ini untuk pasaran lokal dan ekspor. Kepiting nipah juga telah menjadi
sebahagian menu biasa di restoran makanan laut di Malaysia dan beberapa negara Asia.
Kandungan kitosan dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat pada kulit kepiting
semuanya dapat dimakan. Bukan hanya dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnya
dapat digantikan dengan ringgit. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber
kitin, kitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obatobatan, kosmetik, bahan makanan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran penting
sebagai antivirus dan antibakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan
mengobati luka bakar. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang
murah, selamat dan sehat. Meskipun perkembangan industri kepiting nipah sangat pesat di
Malaysia sekarang ini, ia sebenarnya masih kecil jika di banding dengan jumlah pengeluaran
dunia. Malaysia masih tertinggal jauh berbanding Vietnam, Taiwan dan Thailand yang menjadi
pengeluar utama kepiting nipah dunia. Sumbangan industri kepiting nipah kepada akuakultur
Malaysia juga adalah rendah. Misalnya dalam tahun 1995 industri ini hanya menyumbang sekitar
0.06 % sahaja dari nilai pengeluaran akuakultur.
Malaysia sememangnya berpotensi untuk maju dalam industri ini. Kepakaran dalam
teknologi pembenihan dan ternakan juga telah lama terdapat di sini. Malah sebenarnya kajian
terawal di dunia ke atas spesies kepiting nipah ini telah bermula di sini sejak akhir tahun 50'an
lagi (Ling, S.W., 1969). Malaysia juga mempunyai iklim tropika yang sesuai untuk kepiting
nipah. Kita mempunyai banyak sumber air tawar yang belum tercemar (di Pahang, N. Sembilan,
Perak, Kelantan, Terengganu, Sabah dan Sarawak) yang sangat ideal bagi ternakan kepiting
nipah ini. Aset yang bernilai ini perlu dimajukan untuk kesejahteraan rakyat Malaysia di samping
dapat menghasilkan sendiri lebih bahan makanan untuk mengurangkan impor bahan-bahan
makanan yang bernilai berjuta ringgit tersebut. Memang menjadi hasrat utama Jabatan Perikanan
Malaysia untuk menghasilkan lebih banyak bahan makanan untuk penduduk lokal seperti yang
terkandung dalam rancangan Dasar Pertanian Negara III (DPN 3).
Selain untuk pasaran segar lokal (hidup, mati), kepiting nipah juga mampu untuk
dieksport. Potensi industri hilir seperti pembungkusan dan pemprosesan memang ada. Sehingga
kini ekspor kepiting nipah Malaysia hanya kepada Singapura dalam bentuk segar (mati, hidup)
dan sedikit saja ke Jepang. Masalah utama industri hilir kepiting nipah tidak berkembang di
Malaysia karena kurangnya kepercayaan oleh pengusaha-pengusaha besar akan potensi industri
ini. Memanglah industri kitosan dan yang berkaitan dengannya ini mempunyai risiko yang tinggi

tetapi sekiranya industri tersebut dilakukan dengan teratur dan penuh kepakaran maka masalah
kerugian dapat dikurangkan dari sejak awal lagi.
Penceburan diri dalam bidang pemprosesan kepiting nipah ini memang memerlukan
permodalan yang sangat besar yang tidak mampu ditanggung oleh peternak tradisional biasa atau
pengusaha kecil. Pihak swasta besar bolehla membangunkan pabrik pemprosesan di samping
operasi pembenihan dan ternakan manakala pihak peternak kecilan dan sederhana dapat
membantu dalam penghasilan benih dan kepiting dewasa secara berterusan untuk diproses oleh
pabrik tersebut. Pemerintah melalui institusi kewangan (bank) telah menyediakan skim bantuan
keuangan, malahan melalui MIDA (Malaysian Investment Development Authority) juga galakan
dan insentif telah di wujudkan bagi maksud menggalakkan perkembangan industri berasaskan
ekspor.
METODE PELAKSANAAN PROGRAM
Metode pendekatan untuk melaksanakan program ini adalah dengan melakukan pemerhatian
komuniti sebagai kumpulan sasar selama tiga minggu. Kegiatan yang dilakukan selama
pemerhatian adalah mencari maklumat/informasi mengenai keadaan dan kegiatan seharian
komuniti melalui wawancara langsung dengan mereka dan Kepala Kampung yang sekaligus
diminta bekerjasama untuk membantu kelancaran program penerangan kepada komuniti.
Persiapan pelaksanaan program meliputi kajian pustaka, pengadaan sampel kitosan, menentukan
strategi yang tepat untuk menjelaskan pembuatan kitosan. Persiapan pelaksanaan program
dilakukan selama enam minggu. Agar mudah di fahami komuniti maka peneliti menunjukkan
sampel kitosan kepada komuniti sasar. Peneliti juga berencana bersedia untuk menayangkan
video cara pembuatan kitosan agar komuniti memperoleh gambaran singkat pembuatan kitosan
setelah video tersebut ditayangkan pada saat penerangan dilaksanakan.
Kaedah yang dilakukan dalam pelaksanaan penerangan kitosan dan cara pembuatannya,
iaitu kaedah ceramah, soal jawab, dan demonstrasi. Selain itu juga memotivasikan komuniti
untuk menggunakan kitosan dengan cara memberitahukan kelebihan kitosan sebagai zat
pengawet yang baik untuk kesihatan, menekankan cara pembuatan yang tidak memerlukan alat
canggih, serta penggunaan kitosan yang mudah. Pelaksanaan penerangan dilakukan selama dua
minggu, kagiatan monitoring/pemantauan dan penyeliaan selama satu minggu, penilaian dan
laporan akhir selama lima minggu. Kegiatan pemantauan dan penyeliaan merupakan bentuk
penilaian pelaksanaan program terpadu. Seterusnya dipersiapkan alat dan bahan yang digunakan
pada saat pengadaan sampel, pelaksanaan penerangan, dan tugas penyeliaan.
HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan program ini di antaranya pemerhatian/observasi, persiapan
sosialisasi, dan pelaksanaan sosialisasi. Persiapan penerangan meliputi studi pustaka, pembuatan
sampel, dan penayangan video serta cara pembuatan kitosan.
Pemerhatian

Pemerhatian akan dilakukan tiga kali. Pada pemerhatian pertama yaitu dengan melakukan
wawancara secara langsung dengan kepala kampung dan komuniti pesisir di kawasan program.
Hasil yang diperoleh dari wawancara tersebut adalah komuniti pesisir yang berada di kawasan
program (Mengabang Bakong Kuala Terengganu) sepanjang hari berada di sekitar pantai karena
sebagian besar komuniti pesisir bekerja sebagai nelayan dan pedagang ikan. Oleh karena itu,
pelaksanaan penerangan dilakukan malam hari setelah masyarakat setempat bekerja seharian di
pantai.
Hasil tangkapan tergolong sangat besar dan banyak dari hasil tangkapan bahkan ada yang
dikirim ke luar negeri. Dengan demikian, komuniti di kawasan ini berpotensi untuk menjadi
komuniti sasaran pada program penerangan. Pertemuan dengan ketua kampung menghasilkan
kesepakatan yakni kepala kampung bersedia membantu kelancaran program selama penerangan
berlangsung.
Pemerhatian kedua dilakukan untuk memastikan pelaksanaan kerjasama dengan kepala
kampung melalui rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Pemerhatian ketiga dilakukan untuk
memastikan bentuk kegiatan dan beberapa hal yang diperlukan dalam program acara tersebut.
Hasil yang diperoleh dari pemerhatian ketiga adalah tanggapan baik dari ketpala kampung yang
diwujudkan dengan kesediaan kepala kampung untuk menyediakan berbagai kemudahan yang
diperlukan ketika nanti pelaksanaan penerangan akan berlangsung yaitu seperti kursi, lampu,
dan sound system. Adanya komuniti sasaran yang dianggap lebih tepat atau sesuai dengan tujuan
program ini adalah yang memiliki potensi yang lebih besar yang sebagian besar komuniti bekerja
sebagai nelayan dan pedagang ikan sedangkan mata pencaharian sebagai petani tambak hanya
dijadikan sebagai pekerjaan sampingan.
Selain dilakukan pemerhatian, dilakukan juga kajian pustaka. Menurut Hardjito (2006),
kitosan memiliki gugus aktif yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kitosan
adalah tidak bertoksik, terbiodegradasi dan larut bila dicairkan dalam kandungan berasid.
Kitosan menyerap air yang sangat besar jika dibandingkan dengan selulosa dan kitin (Knorr et
al.,1982). Aplikasi kitosan di berbagai bidang sangat ditentukan oleh karakterisasi
mutu keduanya yang meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan
berat molekul. Untuk itu maka penelitian ini sangat penting dilakukan sehingga
pemanfaatan buangan sampah kulit kepiting juga diharapkan berhasil baik
secara positif dan mempunyai keupayaan untuk mengikat muatan negatif seperti lemak,
lipid dan asam empedu. Selain itu,kitosan dapat digunakan sebagai pengawet pada produk
perikanan. Ada beberapa cara pengolahan kulit kepiting menjadi kitosan yang diperoleh dari
artikel internet, beberapa buku, dan maklumat universiti. Dari berbagai sumber tersebut
diperoleh cara pembuatan kitosan yang bervariasi dengan prinsip pembuatan yang sama yaitu
melalui tahap demineralisasi, deproteinisasi dan deasetilasi. Ketiga tahap dalam pembuatan
kitosan ini dilakukan dengan pemanasan dalam suhu dan waktu yang bervariasi.
Selanjutnya dipilih cara yang paling praktis dan ekonomis serta mudah dilakukan oleh
komuniti iaitu proses demineralisasi, deproteinisasi, dan deasetilasi. Pada proses demineralisasi,
kulit kepiting yang ditumbuk dipanaskan dalam larutan HCl 1 M selama 1 jam pada suhu 90 oC.
Setelah tahap demineralisasi dilakukan tahap deproteinisasi yang sebelumnya kulit kepiting
dicuci dengan air aquades hingga pH menjadi netral. Pada tahap deproteinisasi, kulit kepiting
yang sudah dicuci dipanaskan dalam larutan NaOH 3,5 % pada suhu 90 oC selama 1 jam. Tahap

terakhir yaitu deasetilasi yang dilakukan dengan cara memanaskan kulit kepiting yang sudah
dicuci dengan aquades dalam larutan NaOH 50 % pada suhu 120 oC selama 1-2 jam.
Kitosan yang diperoleh selanjutnya dikeringkan dan disimpan dalam tempat hampa udara. Untuk
penggunaan kitosan pada pengawetan ikan adalah merendam ikan dalam larutan kitosan 1,5 %
selama 10 minit. Larutan kitosan ini dapat digunakan berkali-kali sampai habis. Inilah yang
membedakan antara kitosan dengan formalin.
Pembuatan sampel
Pembuatan sampel merupakan tindak balas dari kajian teori yang bertujuan membuat
strategi yang tepat untuk menjelaskan cara pembuatan kitosan sehingga diharapkan komuniti
boleh memahaminya dengan mudah. Pembuatan sampel dilakukan pada perjumpaan selanjutnya
yaitu di Laboratorium Jurusan Sains Fizik (JSF) - Fakulti Sains dan Teknologi (FST)-Universiti
Malaysia Terengganu(UMT). Selain membuat sampel
kitosan, juga akan dilakukan
perbandingan antara ikan tanpa perlakuan dengan ikan yang diawetkan dengan kitosan yang
telah dibuat. Hasil yang diperoleh ikan yang telah direndam terlihat lebih segar dibandingkan
dengan ikan tanpa perlakuan. Ikan tanpa perlakuan lebih cepat membusuk dan terlihat beberapa
lalat yang menghinggapi dari pada ikan yang telah diawetkan dengan kitosan. Berdasarkan
kajian pustaka dan aktivitas atau kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa kitosan dapat menjadi
alternatif pengganti formalin dengan daya simpan sekitar 3 hari untuk ikan basah. Sampel yang
dibuat akan dibagikan kepada komuniti pada saat penerangan nanti.
Pembuatan video cara pembuatan kitosan
Pada pelaksanaan pemberian maklumat mengenai kitosan akan ditayangkan video tentang
cara pembuatan kitosan agar komuniti mempunyai gambaran mengenai pembuatan kitosan
sehingga lebih mudah dalam menjelaskan cara pembuatan kitosan. Oleh karena itu, sebelum
penerangan dilakukan perlu dibuat video cara pembuatan kitosan yang dilakukan pada
perjumpaan di laboratorium tersebut. Dalam proses pembuatan video ini cara-cara membuat
kitosan dari kulit kepiting dilakukan secara terperinci dan bertahap. Hasil yang diperoleh adalah
sebuah video cara pembuatan kitosan yang disimpan dalam bentuk CD.
Pelaksanaan program penerangan kitosan
Pelaksanaan program penerangan kitosan dilakukan dua kali selama dua minggu dengan
dua tahap yakni tahap pertama penerangan kitosan dan cara pembuatan kitosan dari kulit
kepiting, tahap yang kedua adalah cara penggunaan kitosan sebagai pengawet ikan. Pelaksanaan
pertama dilakukan program penerangan kitosan. Pada penerangan kitosan ini dilaksanakan
secara dua tahap, tetapi lebih ditekankan kepada tahap penerangan kitosan dan teknik pembuatan
kitosan dari kulit kepiting kepada komuniti pesisir di lokasi program berada.
Komuniti pesisir kawasan program belum mengetahui sama sekali tentang kitosan,
sehingga perlu dilakukan pengenalan kitosan terlebih dahulu. Agenda program diawali dengan
informasi dan pengenalan kitosan dan perbedaan dan pengaruh pemberian dan efek yang
ditimbulkannay yaitu oleh kitosan dan formalin tersebut. Program selanjutnya yaitu dengan

pemutaran video cara pembuatan kitosan dari kulit kepiting yang sebelumnya telah dibuat di
Laboratorium tersebut. Seluruh kumpulan sasar dan pihak-pihak yang terlibat yang hadir
memperhatikan dengan sungguh-sungguh video yang akan dijalankan.
Setelah penglihatan video tersebut agenda selanjutnya ialah penjelasan cara pembuatan
kitosan disampaikan oleh peneliti sebagai pemateri program. Dengan adanya penyampaian
kepada peserta maka diharapkan mendapat respon positif dari kumpulan sasar dengan pertanyaan
yang mereka ajukan. Adapun pelaksanaan program cara pembuatan kitosan dilakukan dengan
kaedah demonstrasi dan meminta beberapa orang dari komuniti sebagai perwakilan untuk
melihat lebih dekat cara pembuatan kitosan tersebut. Program acara di akhiri dengan pembagian
kitosan kepada peserta. Kitosan tersebut dibagikan agar komuniti dapat mencoba menggunakan
kitosan pada pengawetan ikan nantinya. Hasil yang diperoleh dari penerangan pertama ini
diharapkan nantinya komuniti dapat menyambut baik dan bersemangat pada program ini.
Pelaksanaan kedua dilakukan adalah bagaimana cara penggunaan kitosan tersebut. Pada
pelaksanaan ini lebih mengutamakan pada tahap cara penggunaan kitosan pada ikan. Peserta
yang mengikuti program pada perjumpaan ini adalah diharapkan agar lebih mengetahui tentang
cara penggunaan kitosan dengan berbagai rawatan(perlakuan), khususnya takaran atau
perbandingan yang tepat antara kitosan dan air. Sebelum acara selesai, ada tanggapan tentang
aktivitas ini dari perwakilan dari Persatuan Nelayan yang merupakan wadah organisasi para
nelayan dan pedagang ikan yang berada di kawasan program.
Selepas program acara selesai akan dilakukan tindak balas atau rsespons dari seluruh
aktivitas yang dilakukan melalui kerjasama dengan perwakilan Perhimpunan Nelayan yang
disaksikan oleh pihak CSD (Community Social economics Development), Jabatan Kepala
Kampug dan pihak LKIM (Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia) dan Jabatan Perikanan.
Pembahasan tersebut nanti akan menghasilkan kesepakatan bahwa akan melakukan uji
pengawetan ikan dengan kitosan yang akan diberikan oleh pengelola program ini. Jika
penggunaan kitosan pada pengawetan ikan dianggap lebih berkesan dan ekonomis maka mereka
akan melakukan respons yang positif yaitu segera bekerjasama dengan Kerajaan
Negeri(pemerintah setempat), LKIM dan Jabatan Perikanan tempatan untuk membuat kitosan
sendiri dalam jumlah besar. Selain itu, komuniti meminta agar pihak pengelola untuk membantu
dalam penyediaan kitosan dan membantu memberitahukan kepada pemerintah setempat bahwa
nelayan dan pedagang ikan di kawasan Mengabang Bakong Kuala Terengganu sangat
memerlukan penyelesaian dari pemerintah akibat masalah formalin sehingga mereka bisa
meminta adanya respons yang positif adanya aktivitas ini.
Program Penyeliaan
Berdasarkan aktivitas penerangan tentang pembuatan dan pemanfaatan kitosan ini maka
dilakukan aktivitas selanjutnya ialah memberikan penyeliaan yang bertujuan untuk membantu
komuniti pesisir dalam membuat dan menggunakan kitosan. Aktivitas penyeliaan nanti akan
dilakukan dua minggu setelah program acara penerangan ini dilakukan yaitu di kawasan
Mengabang Bakong Kuala Terengganu. Aktivitas ini bertujuan untuk membantu komuniti pesisir
dalam pembuatan dan penggunaan kitosan agar mereka tidak mengalami kesusahan.

Aktivitas penyeliaan perlu dilakukan karena komuniti sangat memerlukan latihan secara
langsung. Pada aktivitas penyeliaan ini pihak Pusat Pembangunan Sosioekonomi (Centre for
Socioeconomic Development) UMT berfungsi sebagai fasilitator dengan membantu warga yang
mengalami kesusahan dalam melakukan latihan selanjutnya. Selain itu, peneliti akan bekerja
sama dengan ECER(East Coast Economic Region) dan Lembaga Kajian Ikan Malaysia(LKIM)
serta Jabatan Perikanan untuk memantau aktivitas kumpulan sasar dalam pembuatan dan
penggunaan kitosan tersebut. Berdasarkan atur cara yang dibuat tersebut diharapkan warga
tertarik dengan program penerangan kitosan karena mereka sangat memerlukan adanya
pengganti formalin yang dapat meningkatkan tingkat kehidupan ekonomi mereka. Harapan
seterusnya adalah ada pihak yang bersedia membekalkan kitosan yang sudah jadi dalam bentuk
larutan sehingga nelayan dan pedagang ikan boleh langsung menggunakannya. Hal ini karena
komuniti pesisir untuk saat ini merasa kesusahan untuk membuat kitosan dari kulit kepiting
karena bahan yang digunakan berupa bahan kimia tidak semua orang umum bisa mengetahui dan
mengerti serta faham.Apalagi disebabkan oleh waktu yang mereka miliki tidak hanya diperlukan
untuk membuat kitosan saja namun telah habis digunakan untuk aktivitas pergi ke laut dan
berjualan ikan untuk menghidupi kehidupan mereka untuk keperluan sehari-hari.
PEMBAHASAN
Program ini sangat bermanfaat untuk mengurangi keresahan komuniti akibat kasus
penyalahgunaan formalin yang dilakukan oleh para pengusaha kecil. Manfaat yang dapat
diperolehi dari progam ini adalah supaya kumpulan sasaran mengetahui manfaat kitosan sebagai
bahan pengawet yang lebih aman dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan memiliki kemahiran
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu memanfaatkan sampah kulit
kepiting menjadi kitosan sebagai bahan pengawet pada beberapa produk perikanan dengan
teknik sederhana. Jika usaha ini dihasilkan dan dikembangkan sebagai bahan pengawet ikan
dapat menjadi penghasilan sebagai komoditi utama daerah atau tingkat nasional di bidang
perikanan, serta mengurangi pengangguran di semenanjung Malaysia.
Pemanfaatan kulit kepiting menjadi kitosan yang merupakan bahan pengawet ikan juga
dapat memperbaiki kesejahteraan komuniti pesisir pantai timur semenanjung Malaysia. Pada
pengawetan ikan, daya simpan ikan untuk ikan kering adalah tiga bulan sedangkan untuk ikan
basah daya simpannya selama tiga hari dengan kadar penyejuk yang relatif sedikit dibandingkan
tanpa menggunakan kitosan. Atas dasar itulah kualitas produk hasil perikanan di Malaysia
menjadi semakin baik. Selain itu, ikan yang diawetkan dengan kitosan tampak lebih segar dari
pada ikan tanpa kitosan. Ikan yang tidak diawetkan dengan kitosan dihinggapi lalat sehingga
terbebas dari penularan berbagai macam penyakit yang dibawa lalat.
Ikan yang sudah diawetkan dengan kitosan kesehatannya lebih terjamin karena kitosan
tidak mengandung zat karsinogenik (penyebab kanker) sehingga makanan lebih aman untuk
dikonsumsi. Selain itu, kitosan lebih berkesan menahan pertumbuhan jamur/bakteri, dan dapat
menyerap kolesterol dan lemak sehingga mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan stroke.
Dari aktivitas yang dilaksanakan dalam program ini maka dapat dinyatakan bahwa program ini
akan terwujud. Hal ini ditunjukkan dari hasil pelaksanaan program di antaranya:

1. Menyampaikan maklumat kepada komuniti guna mengetahui adanya kitosan sebagai
alternatif pengganti formalin.
2. Pemberian motivasi kepada kumpulan sasar untuk menghindari formalin dan bersedia
menggunakan kitosan. Hal ini dilakukan kepada komuniti melalui pelaksanaan penerangan
kitosan. Selain itu, sebagai tindak lanjut dari program ini pihak UMT akan menyediakan
kitosan dalam bentuk larutan. Sehingga dilakukan aktivitas pendampingan dan kerjasama
dengan pihak-pihak yang terkait. Sampai saat ini masih difikirkan alternatif untuk
menyediakan kitosan dalam bentuk larutan.
3. Dari hasil pendampingan, komuniti dapat mengolah kulit kepiting menjadi kitosan dengan
proses demineralisasi, deproteinisasi, dan deasetilasi.
4. Komuniti juga dapat menggunakan kitosan pada pengawetan ikan.
Dampak program ini untuk masa mendatang berdasarkan hasil yang kami peroleh dari
pemerhatian dan pelaksanaan program ini adalah memberi peluang usaha terhadap komuniti
pesisir yang ingin menghasilkan kitosan dalam bentuk larutan dengan jumlah besar. Pada masa
mendatang, pengangguran di pantai timur semenanjung Malaysia berkurangan. Jika kitosan
berhasil dikembangkan sebagai pengawet ikan akan mengurangi keresahan terhadap penggunaan
formalin sebagai pengawet khususnya pada ikan serta memenuhi keinginan para nelayan dan
pedagang ikan di berbagai kawasan untuk mengganti formalin dengan pengawet lain yang lebih
aman, ekonomis dan sehat.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penglibatan komuniti melalui
pemanfaatan kulit kepiting perlu dilaksanakan melalui pengenalan kitosan kepada komuniti
akuakultur yang dilakukan dengan menggunakan kaedah ceramah, wawancara dan demonstrasi.
Memotivasi para komuniti agar mencegah penggunaan formalin dengan memberikan maklumat
mengenai manfaat atau kelebihan kitosan sebagai pengawet pada produk ikan yang juga baik
untuk kesehatan. Kitosan dapat dibuat dari kulit kepiting dengan proses pencucian,
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pada proses demineralisasi, kulit kepiting yang
ditumbuk dipanaskan dalam larutan HCl 1 M selama 1 jam pada suhu 90 oC. Setelah tahap
demineralisasi, dilakukan tahap deproteinasi yang sebelumya kulit kepiting dicuci dengan
aquades hingga menjadi netral. Pada tahap proteinasi, kulit kepiting yang sudah dicuci
dipanaskan dalam larutan NaOH 3,5 % pada suhu 90 oC selama 1 jam. Tahap terakhir yaitu
deasetilasi yang dilakukan dengan cara memanaskan kulit kepiting yang sudah dicuci dengan
aquades dalam larutan NaOH 50 % pada suhu 120 oC selama 1 jam. Sedangkan untuk
menggunakan kitosan untuk mengawetkan ikan adalah merendam ikan dalam larutan kitosan
1,5 % selama 10 menit. Larutan kitosan ini dapat digunakan berkali-kali sampai habis.

RUJUKAN
1

Balley, J.E., Ollis, D.F.1977.Biochemical Engineering Fundamental, Mc. Graw Hill Koga

2
3
4

5
6
7
8
9
10
11
12

13

14

kusha, Ltd., Tokyo.
Cho YI, No HK, Meyers SP.1998.Physico–chemical characteristics and functional proper
ties of various commercial chitin and chitosan products. J. Agricul. Food Chem. 46 (9):
3839 -3843.
Hardjito, L.2006.Kitosan Lebih Awet dan Aman (online),(http://www.mail-archive. com /
majelis muda@yahoogroups.com/msg00980 html.
Hirano S.1988. Production and application of chitin and chitosan in Japan. In: G. Skjak B,
Anthonsen T, Sandford P (eds.), Chitin and Chitosan, Proceeding of the fourth international
conference on chitin and chitosan, Trondham, Norway, August 22 – 24, Elsevier Science
Publishers Ltd., London, UK. 37- 43.
Huang, C.J., Wang, T.K., Chung, S.C., Chen, C.Y.2005. Identification of an Antifungal
Chitinase from a Potential Biocontrol Agent, Bacillus cereus 28-9. Biochemistry Molecu
lar Biology. 38 (1). 82-88
Knorr, D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. Journal of Food Science.
47 : 593-595.
Marganof. 2003.Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium
dan Tembaga) di Perairan.Surabaya
Meyers, S.P., No, H.K. 1995. Utilization of crawfish pigment and other fishery process
ing by-products. Ch. 20. In Lim, C.E., Sessa, D.J., Nutrition and Utilization Technology in
aquaculture, Ed. 269-277. Aocs Press, Champaign, II. 415-422
Muzzarelli, R.A.A., 1985.Chitin in the Polysaccharides. vol. 3, pp. 147, Aspinall (ed)
Academic press Inc., Orlando, San Diego
No. HK, Cho. YI, Kim HR, Meyers SP. 2000. Effective deacetylation of chitin under
conditions of 15 psi/121 degrees C. J Agric Food Chem; 48(6): 2625–7.
Peter Michael Oduor-Odote. Marcin H. Struszczyk. Martin G. Peter. 2005.Western Indian
Ocean J. Mar. Sci. Vol. 4, No. 1, pp. 99–107.
Peter, Marcin, Martin.2005. Characterisation of Chitosan from Blowfly Larvae and Some
of chitosan. In:Skjak – Break G, Anthonsen T, Sandford P (1988). (eds.), Chitin and Chito
san, Proceeding of the fourth international conference o chitinand chitosan, Trondham, Nor
way, August 22-24, Elsevier Science Publishers Ltd., London, UK.pp. 71- 86.
Rinaudo M, Domard A. 1988.Solution properties of chitosan. In: Skjak - Break G, Anthon
sen T, Sandford P, (eds.), Chitin and Chitosan, Proceeding of the fourth international confe
rence of chitin and chitosan, Trondham, Norway, August 22 - 24,. Elsevier Science Publis
hers Ltd., London, UK 1988; 71-86
Saraswathy, G., S. Pal, C. Rose, T.P. Sastry.2001. A novel bioinorganic bone implant
containing deglued bone, chitosan, and gelatin. Bulletin Materials Science 24: 415-420.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

AN ANALYSIS OF LANGUAGE CONTENT IN THE SYLLABUS FOR ESP COURSE USING ESP APPROACH THE SECRETARY AND MANAGEMENT PROGRAM BUSINESS TRAINING CENTER (BTC) JEMBER IN ACADEMIC YEAR OF 2000 2001

3 95 76

EFEKTIVITAS PENGAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI MEDIA LAGU BAGI SISWA PROGRAM EARLY LEARNERS DI EF ENGLISH FIRST NUSANTARA JEMBER

10 152 10

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22

PROGRAM BK SAKETI 2 07 08

19 122 18

SOAL LATIHAN UTS IPA KELAS 1 SEMESTER 1 GANJIL 2016 KUMPULANSOALULANGAN

5 199 1

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62