RUKUN RUKUN ISLAM DAN KAITANNYA DENGAN

RUKUN - RUKUN ISLAM DAN KAITANNYA
DENGAN PENDIDIKAN KEPRIBADIAN
(AKHLAK)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf

Penyusun:
Novianti Nur Fauziah

(1147040051)

Riza Andriani

(1147040066)

Robby’atul Adawiyah Hanifah

(1147040067)

Tia Bestiana Nur Azizah

(1147040077)


Jurusan/ Kelas :
Kimia V B

Tanggal

: 7 November 2016

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN AKADEMIK 2016/2017

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu
Tasawuf tentang “Rukun – Rukun Islam dan Kaitannya dengan Pendidikan Kepribadian
(Akhlak)”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Ilmu Tasawuf tentang “Rukun – Rukun
Islam dan Kaitannya dengan Pendidikan Kepribadian (Akhlak)” inidapat memberikan
manfaat terhadap pembaca.

Bandung, 7 November 2016

Penyusun

1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................


i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

1

1.1
1.2
1.

Latar Belakang .....................................................................................................
Rumusan Masalah ...............................................................................................
Tujuan Penulisan .................................................................................................

1
1

2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................

3

2.1

Pengertian Akhlak ...............................................................................................

3

2.2

Prinsip Akhlak dalam Syahadat ...........................................................................

4

2.3


Prinsip Akhlak dalam Sholat ...............................................................................

6

2.4

Prinsip Akhlak dalam Puasa ................................................................................

9

2.5

Prinsip Akhlak dalam Zakat ................................................................................ 10

2.6

Prinsip Akhlak dalam Haji ................................................................................... 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 13
3.1


Kesimpulan .......................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 14

2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai seorang muslim tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan rukun Islam.
Rukun artinya: tiang atau bagian yang pokok. Sesuatu tidak akan menjadi atau berdiri tegak,
bila bagian-bagian yang pokok atau rukunnya tidak cukup. Rukun Islam terdiri dari syahadat,
sholat, puasa di bulan ramadhan, zakat dan haji bagi yang mampu. Kelima rukun Islam
tersebut ternyata memiliki kaitan yang sangat erat dengan akhlak, bahkan rukun Islam adalah
pedoman bagaimana seorang muslim seharusnya berakhlak.
Begitu pentingnya akhlak dalam Islam seakan tidak ada ajaran agama kecuali akhlak.
Oleh karena itu akhlak menjadi landasan hidup dan pijakan dalam berbicara, bersikap dan
berprilaku, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Q.S. Al-Qalam,

68: 4)
Tujuan akhir dan utama dari diutusnya Rasulullah SAW kepada kita, sebagaimana
beliau katakan sendiri adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan akhlak. Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR.Malik)
Begitu pentingnya akhlak dalam Islam sehingga akhlak menjadi landasan hidup dan
pijakan dalam berbicara, bersikap dan berprilaku. Rukun Islam tersebut sangat erat kaitannya
dengan akhlak. Setiap rukun harus berdampak positif pada perubahan perilaku dan gaya
hidup seorang muslim.

1.2. Rumusan Masalah
-

Apakah pengertian dari akhlak ?

-

Bagaimanakah prinsip antara dalam syahadat ?

-


Bagaimanakah prinsip antara dalam shalat ?

-

Bagaimanakah prinsip antara dalam puasa?

1

-

Bagaimanakah prinsip antara dalam zakat ?

-

Bagaimanakah prinsip antara dalam Ibadah Haji ?

1.3. Tujuan Penulisan
- Menjelaskan pengertian dari akhlak ?
-


Menjelaskan prinsip antara dalam syahadat ?

-

Menjelaskan prinsip antara dalam shalat ?

-

Menjelaskan prinsip antara dalam puasa?

-

Menjelaskan prinsip antara dalam zakat ?

-

Menjelaskan prinsip antara dalam Ibadah Haji ?

2


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Akhlak
Akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Arab ‫ اخل ق‬bentuk jamak dari
kata ‫ خلق‬yang secara etimologis berarti budi pekerti, watak, perangai, tingkah laku atau
tabi’at.
Menurut Imam Ghozali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat
menimbulkan perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, akhlak adalah nilai-nilai dan sifatsifat yang tertanam dalam jiwa, dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai
perbuatan baik dan buruk, untuk kemudian memilih melakukan ataupun meninggalkannya.
Menurut Ahmad Amin, akhlak adalah membiasakan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak
itu apabila dibiasakan terhadap sesuatu akan dapat membentuk akhlak. Menurut Ibnu
Maskawaih, akhlak ialah perilaku jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan
kegiatan-kegiatan tanpa melalui pertimbangan (sebelumnya).
Islam mempunyai dua sumber pokok yaitu Al-Quran dan As-Sunnah yang menjadi
pegangan dalam menentukan segala urusan dunia dan akhirat. Kedua sumber inilah juga yang
menjadi sumber akhlak Islamiyyah. Prinsip-prinsip dan kaedah ilmu akhlak Islam semuanya
didasarkan kepada wahyu yang bersifat mutlak dan tepat neraca timbangannya.
Apabila melihat pembahasan bidang akhlak Islamiyyah sebagai satu ilmu berdasarkan
kepada dua sumber yang mutlak ini, dapatlah dirumuskan definisinya sebagai satu ilmu yang

membahaskan tatanilai, hukum-hukum dan prinsip-prinsip tertentu untuk mengenal pasti
sifat-sifat keutamaan agar dihayati dan diamalkan serta mengenal pasti sifat-sifat tercela
untuk dijauhi guna mencapai keridhaan Allah.
Akhlak juga dapat dirumuskan sebagai satu sifat atau sikap kepribadian yang
melahirkan tingkah laku perbuatan manusia dalam usaha membentuk kehidupan yang
sempurna berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Allah. Dengan kata lain,
akhlak ialah suatu sistem yang menilai perbuatan dzahir dan batin manusia baik secara
individu, kumpulan dan masyarakat dalam interaksi hidup antara manusia dengan Allah,
manusia sesama manusia, manusia dengan hewan, malaikat, jin dan juga dengan alam sekitar.

3

2.2. Prinsip Akhlak dalam Syahadat
Syahadat terbagi menjadi dua yaitu syahadat Allah (tauhid) dan syahadat rasul.
Syahadat tauhid yaitu beri’tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah
dan menerima ibadah kecuali Allah SWT, menta’ati hal tersebut dan mengamalkannya.
Sedangkan syahadat rosul yaitu mengakui secara lahir batin bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta
mengamalkan konsekuensinya, seperti menta’ati perintah-Nya, membenarkan ucapannya dan
menjauhi larangannya.
Mengucapkan syahadat bukan hanya sekedar formalitas untuk menjadi muslim, akan
tetapi lebih dalam lagi adalah sebagai bukti keyakinan yang kuat dan kejujuran yang
sempurna serta keikhlasan yang dalam untuk menerima islam sebagai sistem hidup. Bila
seorang muslim jujur dalam menerima syahadat ini, tidak akan terjadi penolakan-penolakan
terhadap hukum-hukum yang Allah sudah tetapkan.
Dalam bersyahadat kita juga diharuskan memenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat
syahadat tauhid diantaranya:
1.

Ilmu, yang menafikan jahl (kebodohan). Artinya memahami makna dan maksudnya.
Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan
ketidaktahuannya dengan hal tersebut. Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha
illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia
mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan
tidak berguna.

2.

Yaqin (yakin), yang menafikan syak (keraguan). Orang yang mengikrarkannya harus
meyakini kandungan syahadat itu. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka
persaksian itu. Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik, dan siapa yang hatinya tidak
meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.

3.

Qabul (menerima), yang menafikan radd (penolakan). Menerima kandungan dan
konsekuensi dari syahadat, menyembah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada
selainNya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan mentaati, maka ia
termasuk orang-orang yang menyombongkan diri. Allah berfirman:

4

“Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha
illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan
diri. dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahansembahan kami karena seorang penyair gila?” [Ash-Shaffat: 35-36]
4.

Inqiyad (patuh), yang menafikan tark (meninggalkan). Maksudnya, tunduk dan patuh
dengan kandungan makna syahadat.

5.

Ikhlas, yang menafikan syirik.

6.

Shidq (jujur), yang menafikan kadzib (dusta). Yaitu mengucapkan kalimat ini dan
hatinya juga membenarkannya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya
mendustakan maka ia adalah munafik dan pendusta.

7.

Mahabbah (kecintaan), yang menafikan baghdha’ (kebencian). Maksudnya mencintai
kalimat

ini

serta

isinya,

juga

mencintai

orang-orang

yang

mengamalkan

konsekuensinya. Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih.
Sedangkan ahli syirik mencintai Allah dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat
bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illallah.
1.

Sedangkan syarat-syarat syahadat rosul yaitu sebagai berikut:
Mengakui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati.

2.

Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan.

3.

Mengikutinya dengan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta
meninggalkan kebatilan yang telah dicegahnya.

4.

Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang ghaib, baik yang sudah
lewat maupun yang akan datang.

5.

Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua serta
seluruh umat manusia.

6.

Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan
sunnahnya.
Inilah bukti bahwa kemurnian syahadat bagi seorang muslim akan terealisasi dari

akhlaknya dan baginya pahala surga yg telah dijanjikan.

2.3. Prinsip Akhlak dalam Sholat
5

Shalat sebagai salah satu bagian penting ibadah dalam Islam sebagaimana bangunan
ibadah yang lain juga memiliki banyak keistimewaan. Ia tidak hanya memiliki hikmah
spesifik dalam setiap gerakan dan rukunnya, namun secara umum shalat juga memiliki
pengaruh drastis terhadap perkembangan kepribadian seorang muslim. Tentu saja hal itu tidak
serta merta dan langsung kita dapatkan dengan instan dalam pelaksanaan shalat. Manfaatnya
tanpa terasa dan secara gradual akan masuk dalam diri muslim yang taat melaksanakannya.
Shalat merupakan media komunikasi antara sang Khlalik dan seorang hamba. Media
komunikasi ini sekaligus sebagai media untuk senantiasa mengungkapkan rasa syukur atas
segala nikmat. Selain itu, shalat bisa menjadi media untuk mengungkapkan apapun yang
dirasakan seorang hamba. Dalam psikologi dikenal istilah katarsis, secara sederhana berarti
mencurahkan segala apa yang terpendam dalam diri, positif maupun negatif. Maka, shalat
bisa menjadi media katarsis yang akan membuat seseorang menjadi tentram hatinya.
Ibadah Shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah bangunan
megah indah yang memiliki sejuta ruang yang menampung semua inspirasi dan aspirasi serta
ekspresi positif seseorang untuk berperilaku baik, karena perbuatan dan perkataan yang
terkandung dalam shalat banyak mengandung hikmah, yang diantaranya menuntut kepada
mushalli untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar
dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadatibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-ankabut: 45).
Rasulullah SAW bersabda:
“Kami hanyalah menerima shalat dari orang yang menjalankannya dengan tawadhu’
semata-mata untuk mengagungkanKu, tidak memperlama atas hambaKu, tidak selalu
melakukan maksiat kepadaKu di malam hari, memotong siang hari dalam mendzikiri Aku,
mengasihi orang miskin, Ibnu Sabil dan janda-janda dan menyayangi orang yang kena
musibah.” (HR.Bukhari)
Ayat di atas begitu eksplisit menjelaskan adanya keterkaitan antara shalat dan perilaku
yang ditunjukkan oleh seorang muslim. Pengaruh shalat memang tidak dapat dijadikan tolak
ukur untuk menggeneralisasi dan menghukumi kepribadian semua orang. Tetapi, paling tidak
dalam ayat ini Allah menjelaskan sikap seorang manusia dari sudut pandang karakter dan
watak/tabiat

yang

dibawanya.

Shalat

itu
6

membersihkan

jiwa,

menyucikannya,

mengkondisikan seorang hamba untuk munajat kepada Allah Swt di dunia dan taqarrub
dengan-Nya di akhirat.
Sayangnya shalat sering dipandang hanya dalam bentuk formal ritual, mulai dari
takbir, ruku’, sujud, dan salam. Sebuah kombinasi gerakan fisik yang terkait dengan tatanan
fikih, tanpa ada temuan yang mendalam atau keinginan untuk memahami hakikat yang
terkandung di dalam simbol-simbol shalat. Berikut ini adalah nilai-nilai akhlak yang
terkandung dalam proses menjalankan ibadah shalat.
1. Latihan Kedisiplinan
Waktu pelaksanaan shalat sudah ditentukan sehingga kita tidak boleh seenaknya
mengganti, memajukan ataupun mengundurkan waktu pelaksanaannya, yang akan
mengakibatkan batalnya shalat kita. Hal ini melatih kita untuk berdisiplin dan sekaligus
menghargai waktu. Dengan senantiasa menjaga keteraturan ibadah dengan sunguh-sungguh,
manusia akan terlatih untuk berdisiplin terhadap waktu. Dari segi banyaknya aturan dalam
shalat seperti syarat sahnya, tata cara pelaksanaannya maupun hal-hal yang dilarang ketika
shalat, batasan-batasan ini juga melatih kedisiplinan manusia untuk taat pada peraturan, tidak
seenaknya ataupun menuruti keinginan pribadi semata.
2. Latihan Kebersihan
Sebelum shalat, seseorang disyaratkan untuk mensyucikan dirinya terlebih dahulu,
yaitu dengan berwudlu atau bertayammum. Hal ini mengandung pengertian bahwa shalat
hanya boleh dikerjakan oleh orang yang suci dari segala bentuk najis dan kotoran sehingga
kita diharapkan selalu berlaku bersih dan suci. Di sini, kebersihan yang dituntut bukanlah
secara fisik semata, akan tetapi meliputi aspek nonfisik sehingga diharapkan orang yang
terbiasa melakukan shalat akan bersih secara lahir maupun batin.
3. Latihan Konsentrasi
Shalat melibatkan aktivitas lisan, badan, dan pikiran secara bersamaan dalam rangka
menghadap ilahi. Ketika lisan mengucapkan Allahu Akbar, secara serentak tangan diangkat
ke atas sebagai lambang memuliakan dan membesarkan, dan bersamaan dengan itu pula di
dalam pikiran diniatkan akan shalat. Pada saat itu, semua hubungan diputuskan dengan dunia
luar sendiri. Semua hal dipandang tidak ada kecuali hanya dirinya dan Allah, yang sedang
disembah. Pemusatan seperti ini, yang dikerjakan secara rutin sehari lima sekali, melatih
kemampuan konsentrasi pada manusia. Konsentrasi, dalam bahasa Arab disebut dengan
khusyu’, dituntut untuk dapat dilakukan oleh pelaku shalat. Kekhusyukan ini sering
disamakan dengan proses meditasi. Meditasi yang sering dilakukan oleh manusia dipercaya
dapat meningkatkan kemampuan konsentrasi dan mengurangi kecemasan.
7

4. Latihan Sugesti Kebaikan
Bacaan-bacaan di dalam shalat adalah kata-kata baik yang banyak mengandung
pujian sekaligus doa kepada Allah. Memuji Allah artinya mengakui kelemahan kita sebagai
manusia, sehingga melatih kita untuk senantiasa menjadi orang yang rendah hati, dan tidak
sombong. Berdoa, selain bermakna nilai kerendahan hati, sekaligus juga dapat menumbuhkan
sikap optimis dalam kehidupan. Ditinjau dari teori hypnosis yang menjadi landasan dari salah
satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata (bacaan shalat) merupakan suatu proses
auto sugesti, yang membuat si pelaku selalu berusaha mewujudkan apa yang telah
diucapkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
5. Latihan Kebersamaan
Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk melakukannya secara berjamaah
(bersama orang lain). Dari sisi pahala, berdasarkan hadits nabi SAW jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan shalat sendiri-sendiri. Dari sisi psikologis, shalat berjamaah bisa
memberikan aspek terapi yang sangat hebat manfaatnya, baik bersifat preventif maupun
kuratif. Dengan shalat berjamaah, seseorang dapat menghindarkan diri dari gangguan
kejiwaan seperti gejala keterasingan diri. Dengan shalat berjamaah, seseorang merasa adanya
kebersamaan dalam hal nasib, kedudukan, rasa derita dan senang. Tidak ada lagi perbedaan
antar individu berdasarkan pangkat, kedudukan, jabatan, dan lain-lain di dalam pelaksanaan
shalat berjamaah.
Bacaan sholat yang berkaitan dengan akhlak, diantaranya:
1.

Bacaan takbirotul ihrom terdapat ajaran pendidikan yang mengandung moralitas kepada
sang kholik maupun sesama ciptaan-Nya, yakni dalam bacaan tersebut memaknai kepada
manusia ketika mendapat pujian dari orang lain janganlah terlalu membanggakan diri
karena pujian itu hanya milik Allah, hal yang sama dalam bacan ini mengandung edukasi
dan doktrin pada manusia agar selalu berendah hati, jangan takabbur dan sebagainya,
manusia tak pantas untuk sombong karena manusia tak punya apa-apa. Tak perlu
mengagungkan segala yang kita punya karena itu semua hanya milik Allah. Hanya Allah
yang maha segalanya penguasa alam semesta dan pencipta alam semesta beserta isinya.

2.

Dalam do’a yang di baca ketika duduk diantara dua sujud dapat kita ambil adalah
bagaimana etika seorang seorang hamba di hadapan penciptanya. Dan juga disini
mengajarkan pada kita bahwa kita memohon perlindungan dan meminta hanya kepada
Allah SWT.

3.

Yang terkandung dalam bacaan tasyahud adalah “ma asoobaka min hasanatin faminalloh
wamaa asoobaka min sayyiatin faminnafsik” yakni segala perbuatan baik itu adalah dari
8

Allah dan perbuatan buruk itu adalah perbuatan diri kita sendiri, ketika kita melakukan
perbuatan baik kita jangan diungkapkan kepada orang lain dan jangan terlalu
membanggakan diri, karena belum tentu perbuatan itu diterima, sebab semua itu hanya
pemberian dari Allah, dan lebih spesipikasinya bahwa bacan tersebut mengandung
edukasi agar kita menjadi orang yang selalu berbuat baik karena itu tandanya kita dekat
dengan Allah SWT.

2.4. Prinsip Akhlak dalam Puasa
Ibadah puasa ini tidak dipandang hanya sebatas larangan makan dan minum dalam
rentang waktu tertentu, tapi merupakan tahapan larangan bagi jiwa manusia mengendalikan
syahwatnya yang cenderung negatif. Rasulullah SAW bersabda:
“Bukanlah puasa itu hanya sekedar tidak makan dan minum. Akan tetapi puasa itu adalah
meninggalkan ucapan yang sia-sia dan kata-kata yang jorok. Jika seseorang mencacimu
atau berbuat jahil kepadamu katakan saja,”Aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah).
Kita bisa melihat bersama, bahwa Allah menempa kita dengan ibadah puasa ini agar
menjadi sosok yang memiliki empati dan kepedulian kepada sesama. Kita bisa merasakan
kepedihan yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang kekurangan dan kesusahan. Haus,
lapar, dan berkurangnya tenaga untuk beraktifitas sehari-hari. Oleh sebab itu puasa adalah
sarana untuk membina kesabaran kita. Sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat,
dan sabar dalam menanggung hal-hal yang tidak menyenangkan berupa musibah dan
kesempitan.
Di samping itu, dengan ibadah puasa, kita dilatih untuk mempertajam keikhlasan.
Karena seorang yang berpuasa hanya mengharap pahala dan balasan dari sisi Allah, bukan
dari manusia. Seorang yang puasa tidak mengharapkan pujian dan sanjungan mereka atas
ibadah yang dilakukannya. Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya.
Sehingga, dikatakan oleh para ulama bahwa puasa itu tidak bisa/sulit untuk disusupi oleh
riya’, sebagaimana diterangkan Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam salah satu ceramahnya.
Bahkan disebutkan juga oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan, bahwa orang-orang musyrik
masa lalu tidak pernah dikisahkan bahwa mereka berpuasa untuk berhala dan sesembahan
mereka selain Allah. Hal ini menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah dan amal yang begitu
istimewa di hadapan Allah. Oleh sebab itu Allah pun menyebutkan bahwa puasa itu untukNya dan Allah pula yang akan membalasnya dengan balasan yang hanya Allah yang tahu
9

berapakah kelipatan dan besar pahalanya. Karena puasa adalah kesabaran, dan kesabaran itu
akan disempurnakan balasannya oleh Allah tanpa hitungan.

2.5. Prinsip Akhlak dalam Zakat
Mengeluarkan zakat dapat menghilangkan penyakit pelit dan mengembangkan
semangat solidaritas. Zakat merupakan bentuk penanaman perasaan kasih dan sayang. Fungsi
zakat adalah penguat hubungan antar orang-orang yang saling mengenal, serta penyatuan
lintas strata masyarakat.
Tujuan zakat tercantum dalam Al-Qur’an Al Kariim :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu mereka membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha Mendengar dalgi Maha Mengetahui. (QS. AtTaubah: 103).
a.

Berikut ini nilai – nilai akhlak yang terkandung dalam melaksanakan zakat:
Menolong, membantu, membina, dan membangun kaum duafa, dan lemah papa, untuk
memenuhi kebutuhan pokok hidup mereka. Dengan kondisi tersebut, mereka akan
mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap Allah swt.

b.

Memberantas penyakit iri hati, rasa benci, dan dengki dari diri manusia yang biasa
timbul di kala ia melihat orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah.
Sedang ia sendiri tidak punya apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang
kaya) kepadanya.

c.

Dapat menyucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, memurnikan jiwa (menumbuhkan
akhlak mulia, menjadi murah hati, memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi) dan mengikis
sifat-sifat kikir dan serakah yang menjadi tabiat manusia. Sehingga dapat merasakan
ketenangan batin karena terbebas dari tuntutan Allah dan tuntutan kewajiban
kemasyarakatan.

d.

Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri di atas prinsipprinsip: umat yang satu, persamaan derajat, hak, dan kewajiban, persaudaraan Islam, dan
solidaritas sosial..

10

e.

Dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera sehingga hubungan seorang
dengan lainnya menjadi rukun, damai, harmonis dan dapat menciptakan situasi yang
tenteram, aman lahir dan batin.

2.6. Prinsip Akhlak dalam Haji
Ini adalah klimaks dari pelaksanaan rukun Islam lainnya. Bagaimana totalitas kita
berserah diri untuk ibadah kepada Allah SWT. Haji adalah jihad harta – jihad fisik. Seorang
muslim yang sedang menjalankan ibadah haji, pada hakikatnya sedang menjalani
penggemblengan akhlak, sehingga bila ia benar-benar menjalani ibadah ini dengan baik,
niscaya akan ada perubahan pada kepribadian dan perilakunya. Semenjak pertama kali
seseorang memasuki ibadah haji, yaitu dengan berihram, maka ia tidak dibenarkan untuk
berkata-kata jelek, atau melakukan kezaliman terhadap orang lain. Bukan hanya perbuatan
kezaliman, bahkan hal yang akan mendatangkan kata-kata jelek, dan perbuatan zalim
dilarang pula. Hal ini untuk membiasakan kita agar bisa menjauhi perbuatan-perbuatan
tersebut. Allah berfirman:

‫سووقل ولل ل‬
‫ج أل و‬
‫ج فلل ل لرفل ل‬
‫ح ج‬
‫ن ال ل‬
‫ح ج‬
‫ال ل‬
‫ث ولل ل فس س‬
‫ت فل ل‬
‫ما س‬
‫معول سوو ل‬
‫شهسرر ل‬
‫ن فللر ل‬
‫ض فهي وهه ج‬
‫م و‬
‫دا ل‬
‫ج‬
‫ح ج‬
‫ل هفي ال ل‬
‫ج ل‬
‫ه‬
“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan didalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal.” (QS. AlBaqarah:197).
Bila kita renungkan dan kita pelajari apa yang terjadi di sekitar kita, dari kejahatan
dan perbuatan yang tidak terpuji, niscaya kita akan berkesimpulan, bahwa yang menyebabkan
mereka melakukan perbuatan tersebut adalah dua hal yaitu hawa nafsu yang tidak
dikendalikan dan kebodohan.
Pada ibadah haji, terdapat banyak hal yang kalau kita pikirkan dengan baik, ternyata
merupakan ajaran yang mengajak dan membina umat agar bisa terlindung dari dua penyebab
kemaksiatan tersebut.
11

Semenjak seseorang memulai ihramnya, yaitu dengan berniat menjalankan ibadah
haji, dan telah mengenakan pakaian ihram, maka ia diharamkan melakukan beberapa hal,
yang sebelumnya diperbolehkan. Ia tidak boleh berjima’ atau melakukan hal yang
membangkitkan syahwat, memakai wewangian, mengenakan pakaian yang berjahit,
memotong kuku, rambut dll. Para ulama menyebutkan alasan dilarangnya memotong rambut,
kuku, menggunakan wewangian, adalah untuk meninggalkan perbuatan taraffuh (berfoyafoya), sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab fikih. Ini semua adalah merupakan latihan,
yang dijalani oleh jamaah haji, untuk mendidik jiwa dan nafsunya, sehingga ia bisa
mengendalikan hawa nafsunya, dan mengarahkannya kepada yang dihalalkan dalam syariat.
Ketikka wukuf di Arafah semua jamaah haji memanjatkan doa dan hajatnya langsung
kepada Allah tanpa ada perantara atau penerjemah, demikian pulalah halnya yang akan terjadi
kelak pada hari kiamat. Kita akan menghadap kepada Allah dan mempertanggung jawabkan
seluruh amalan kita selama di dunia, tanpa ada penerjemah atau perantara. Penghayatan yang
demikian ini, akan menimbulkan rasa tawadhu’, dan mengikis habis kesombongan dari hati
manusia.
Salah satu amalan dalam ibadah haji yang penuh dengan hikmah adalah amalan
melempar jumrah, dikarenakan ini adalah salah satu simbol permusuhan antara manusia dan
syaitan. Saat menunaikan ibadah haji (di saat berihram), kita dilarang berburu, mengganggu
atau menghalau binatang liar yang kita jumpai, ini adalah salah satu wujud nyata dari
kerahmatan yang Allah turunkan kepada alam semesta, termasuk binatang buruan, Dan
termasuk akhlak yang diajarkan kepada kita, agar tidak membunuh, atau mengganggu
binatang, kecuali kalau ada alasan yang dibenarkan.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.

Menurut Imam Ghozali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat
menimbulkan perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.

2.

Mengucapkan syahadat bukan hanya sekedar formalitas untuk menjadi muslim, akan
tetapi lebih dalam lagi adalah sebagai bukti keyakinan yang kuat dan kejujuran yang
12

sempurna serta keikhlasan yang dalam untuk menerima Islam sebagai sistem hidup. Bila
seorang muslim jujur dalam menerima syahadat ini, tidak akan terjadi penolakanpenolakan terhadap hukum-hukum yang Allah sudah tetapkan.
3.

Nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam proses menjalankan ibadah shalat yaitu latihan
kedisiplinan, kebersihan, konsentrasi, sugesti kebaikan dan kebersamaan.

4.

Ibadah puasa tidak hanya dipandang sebatas larangan makan dan minum dalam rentang
waktu tertentu, tapi merupakan tahapan larangan bagi jiwa manusia mengendalikan
syahwatnya yang cenderung negatif.

5.

Mengeluarkan zakat dapat menghilangkan penyakit pelit dan mengembangkan semangat
solidaritas.

6.

Seorang muslim yang sedang menjalankan ibadah haji, pada hakikatnya sedang
menjalani penggemblengan akhlak, sehingga bila ia benar-benar menjalani ibadah ini
dengan baik, niscaya akan ada perubahan pada kepribadian dan perilakunya.

13

DAFTAR PUSTAKA
Ash Shidieky, Hasbi. 1951. “Buku Pedoman Sholat”. Jakarta: Penerbit Bulan bintang.
Rosjid, H.Sulaian. 1992. “Fikih Islam”. Bandung: Penerbit Simar Baru

14