Konsep Dasar Ilmu Politik docx

Konsep Dasar Ilmu Politik
Terdapat banyak sekali konsep-konsep yang dapat kita gunakan dalam kajian tentang politik,
antara lain: negara, kekuasaan, kedaulatan, kelas sosial, partai, kemerdekaan, dan
sebagainya. Namun demikian dalam pembahasan ini kita hanya membahas konsep-konsep
pokok yang sering digunakan untuk menelaah politik.
1. Negara
Negara, menurut Mirriam Budiarjo (1992:9) merupakan suatu organisasi dalasm suatu
wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yangs ah dan ditaati oleh rakyatnya. Sebagai
sebuah organisasi masyarakat, negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan
menyelenggarakan hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala
yang timbul dalam masyarakat.
Dalam sisi lain, negara dapat disebut sebagai sebuah integrasi kekuatan politik yang ada
dalam masyarakat. Pada posisi itulah, maka peran negara adalah menjadi agency bagi proses
pelaksanaan kepentingan politik, atau aspirasi masyarakat. Negara menjadi sebuah kekuatan
politik yang sah untuk memobilisasi kepentingan menjadi sebuah kenyataan. Dalam rangkan
seperti inilah, Budiarjo (1992:39) mengatakan bahwa negara mempunyai dua tugas :
a. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang sosial, yakni yang
bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan.
b. Mengorganisasri dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah
tercapainya tujuan-tujuan dari masyrakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana
kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada

tujuan nasional.
Sampai pada konteks ini, sejalan dengan pemikiran Aristoteles bahwa negara itu adalah
persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Sementara
Jean Bodin mengatakan bahwa negara adalah persekutuan dari keluarga-keluarag dengan
segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.
Setelah terbentuknya sebuah negara, maka tindakan balikannya adalah negara memiliki
kewenangan tertentu untuk mengarahkan tujuan pencapaian tujuan bersama tersebut.
Bahkan negara memiliki kemampuan untuk memaksa masyarakat. Sejalan dengan masalah
ini, H. J. Lasky, menyatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan
karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara syah lebih agung
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut. Sedangakan
pendapat Robert Morrison Mac Iver (1955:22) dalam bukunya The Modern State
menyatakan:
“The state is an association which, acting thougt law as promulgated by a government
endowed to this end with coersive power, maintains with a community territorially demacated
the external conditions of orders”.
Konsepsi negara ini, dalam perkembangan selanjutnya dipahami sebagai sebuah relasi antar
kepentingan. Dalam hubungannya antara negara dan masyarakat, setidaknya ada tiga
pandangan yang berbeda dalam memandang negara.


a. Negara di pandang secara ‘legalistiik’, yaitu yang terdiri dari lembaga-lembaga
pemerintahan yang terdiri dari eksekutif, legislative, yudikatif dan alat-alat negara. Kelompok
yang menjadi alat negara itu, adalah tentara, kepolisian dan birokrasi. Sementara masyarakat
adalah kelompok non-pemerintahan, yang berada di luar kekuasaan.
b. Negara yang ditinjau dari sudut pandang Marxiani. Dari sudut pandang ini, negara
diposisikan sebagai alat borjuasi untuk menguasai entra-sentra produksi. Negara adalah
pemegang kedaulatan kapitalisme. Kendatipun tidak dijelaskan posisi dan pengertian
masyarakat, namun sudah sangat jelas bahwa dalam perspektif Marxian ini negara menjadi
alat penghisap, eksploitasi kepada kelas bawah. Dalam konteks relasi kekuasaan ekonomi
seperti inilah, posisi masyarakat menjadi sangat lemah.
c. Negara dipandang sebagai hegemoni. Pandangan ini dikemukakan oleh Anthoni Gramsci.
Dalam pandangan ini, negara bukan hanya dialamatkan pada lembaga pemerintahan, tetapi
kepada pemegang kekuasaan secara lebih luas. Kelompok pemegang modal, kekuatan atau
penguasa sumber-sumber hegemonic, dikategorikan sebagai negara. sedangkan rakyat
adalah kelompok yang tidak memiliki akses terhadap sumber hegemonic itu sendiri.
Sebuah negara, dalam kajian ilmu politik atau ilmu negara, memiliki unsure pokok sebagai
sebuah negara. Unsur-unsur pokok tersebut, ada empat hal yaitu :
a. Wilayah, artinya sebuah sebuah negara sah bila memiliki suatu lokasi geografik yang jelas
batas dan luasnya.
b. Penduduk, yaitu sejumlah orang-orang yang bertempat tinggal pada wilayah negara

tersebut.
c. Pemerintahan, yaitu organisasi yang berwenang merencanakan, merumuskan,
mendokumentasikan, melaksanakan dan mengevaluasi keputusan-keputusan yang mengikat
bagi seluruh penduduk di wilayah negara yang bersangkutan.
c. Kedaulatan, yaitu kekuasaan tertinggi untuk membuat dan melaksanakan Undang-Undang
Dasar, termasuk didalamnya kekuasaan untuk memaksa semua warga negara yang berada di
negaranya untuk mentaati peraturan/undang-undang yang berlaku.
Selain keempat hal tersebut di atas, kelayakannnya sebuah negara dipengaruhi pula oleh
adanya pengakuan dari negara lain. Syarat kelima ini, menjadi penting bagi sebuah negara
(baru), khususnya bila dikaitkan ke dalam dua hal, yaitu (a) fungsi untuk komunikasi dan
interaksi nasional, dan (b) kepentingan politis ke luar. Sebuah negara yang diakui oleh
negara lain, akan memiliki kekuatan politik yang kuat, baik ke internal maupun ke eksternal
negara itu sendiri.
Merujuk pada pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa negara
memiliki sifat yang khusus dibandingkan dengan organisasi yang lainnya. Miriam Budiardjo
(1992:40) dalam hal ini menjelaskan ada 3 sifat negara, Yaitu
a. Sifat memaksa. Negara mempunyai kekuasaan untuk menggunakan berbagai paksaan
atau kekerasan secara legal.
b. Sifat monopoli. Negara adalah satu-satunya organisasi kekuasaan yang memiliki monopoli
dalam mengatur kehidupan kenegaraan, termasuk menetapkan tujuan bersama dari

masyarakat.
c. Sifat mencakup semua (all encompassing, all embracing). Dalam kehidupan kenegaraan
semua peraturan dan kebijakan negara berlaku untuk semua warga negaranya.
Khusus untuk konteks Indonesia, maka negara diposisikan sebagai alat untuk mewujudkan,

menjalankan kebajikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat yang menyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan
kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta memelihara perdamaian
dunia.
2. Kekuasaan
Kekuasaan (Budiardjo, 1992:35) adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia
untuk mempengaruhi tingkat lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah lakunya itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang
mempunyai kekuasaan itu sendiri. Sumber-sumber kekuasaan itu sendiri, sangat
beranekaragam. Bertrand Russel (1988) diantaranya menyebutkan bahwa kekuasaan itu
bersumber dari sumber ilahiah (Tuhan), ekonomi, pemikiran, dan nilai budaya. bahkan,
untuk jaman modern ini, teknologi dan kekuatan militer pun menjadi salah satu sumber
kekuasaan yang bisa membantu manusia untuk menguasai orang atau kelompok lain.
Dengan variasi sumber kekuasaan ini, melahirkan adanya sejumlah teori tentang kekuasaan
dalam ilmu politik.

Bailusy (2001:6.1) menyebutkan ada empat teori besar mengenai teori kekuasaan, yaitu teori
kekuasaan Tuhan, teori kekuasaan hukum, teori kekuasaan negara dan teori kekuasaan
rakyat. Apapun teorinya, namun dengan teori kekuasaan tersebut, seorang penguasa
memiliki kemampuan untuk (a) memaksa kepada warga negara, (b) memonopoli sumbersumber kebutuhan publik, dan (c) menetapkan sebuah peraturan atau kebijakan publik yang
mengatur seluruh aspek kehidupan negara tanpa kecuali.
Kekuasaan yang bersumber pada Tuhan, memposisikan sumber-sumber normatif keagamaan
sebagai acuan utama. Manusia atau penguasa, posisinya hanya pelaku atas semua perintah
yang di suratkan (disiratkan) oleh sumber otoritatif keagamaan. Misalnya saja, Islam
menyandarkan aturan hidup berbangsa dan bernegaranya pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam lingkungan agama Kristen, Agustinus dikenal sebagai pemikiran teokrasi yang
menggagas teori kekuasaan Tuhan dalam konteks politik.
Kekuasaan berdasarkan hukum, artinya bahwa setiap penguasa,a parat pelaksaan
kekuasaan, masyarakat wajin tunduk dan taat pada hukum negara. dalam teori ini,
diharapkan setiap warga negara memiliki kesadaran hukum atau kemelekkan hukum yang
tinggi, sehingga negara dapat berjalan dengan baik. Ada tiga prinsip dasar dalam negara
hukum, yaitu (a) pengakuan supremacy of law/hukum yang tertinggi, (b) equality of before
law/persamaan di depan hukum, dan (c) protection of human right/perlindungan terhadap
hak asasi manusia.
Teori kekuasaan ketiga yaitu kekuasaan negara. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
bahwa negara memiliki kemampuan memaksa, memonopoli dan menguasai semua hal.

Kewenangan yang sangat luas ini, sudah merupakan indikasi utama bahwa negara memiliki
kekuasaan.
Kritik pemikiran terhadap kekuasaan negara, memunculkan adanya teori kekuasaan rakyat.
Artinya, kekuasaan negara yang ada dan dimilikinya saat itu, pada dasarnya bukan sebuah
identitas natural dari negara itu sendiri. kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki negara
pada saat itu adalah kekuasaan yang bermula dari kontrak sosial individu atau masyarakat.
Dengan kata lain, pemiliki kekuasaan itu sendiri adalah rakyat, bukan negara.

Teori-teori kekuasaan tersebut, secara akademik dapat ditemukakan sejumlah kelemahan dan
keunggulannya masing-masing. Namun demikian, dalam konteks wacana modul ini, hanya
ingin ditegaskan bahwa kajian mengenai politik, maka konsep kekuasaan itu memiliki variasi
makna, variasi rujukan dan juga variasi implikasi. Oleh karena itu, membutuhkan adanya
kajian yang intensif dan menyeluruh, sehingga setiap pengkaji memahami lebih mendalam
mengenai konsep kekuasaan ini dengan baik.
3. Kebijakan dan Pengambilan Keputusan
Ilmu politik bukanlah ilmu pasti. Berpolitik adalah bertindak sesuai dengan kondisi dan
situasi tertentu dalam mengarahkan tindakan pada sebuah tujuan. Tanpa harus
menghalalkan segala cara sebagaimana Machieveli, berpolitik itu sendiri tetap memiliki
makna adalah memilih alternatif keputusan yang dapat mencapi sebuah tujuan. Dalam
konteks inilah, sejalan dengan pemikiran Mirriam Budiardjo (1992:11) yang mengatakan

bahwa keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa aklterntif, dan
politik –Joys Micthel- adalah collective decision making or the making of public policies for
entire society. Pendapat ini sejalan dengan Karl W. Deutsch dalam bukunya Politics and
Government, How people decide their Fate menyatakan: “Politics is the making of decisions
by publics means”.
Dengan demikian, maka yang konsep kebijakan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang
dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang dalam menentukan tujuan, serta sarana dan
metode yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Yang dimaksud dengan sarana
adalah fasilitas serta alat yang dapat digunakan, sedangkan metode adalah cara-cara yang
digunakan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Kajian ilmu politik yang menjadikan kebijakan sebagai bidang kajiannya berasumsi bahwa
setiap orang, masyarakat ataupun negara mempunyai tujuan bersama dan untuk
melaksanakan tujuan tersebut dibutuhkan suatu aturan yang mengikat. Aturan tersebut
dibuat dalam bentuk kebijakan-kebijakan.
Beberapa contoh yang termasuk dalam kebijakan negara, antara lain memelihara ketertiban
umum, memajukan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal, mengorganisir berbagai
aktivitas dan menyelenggarakan kesejahtraan rakyat.
Untuk lebih memahaminya di bawah ini disajikanbeberapa pernyataan para ahli ilmu politik
yang menjadikan kebijakan sebagai kajian ilmu politik, seperti dikutip A. Hoogerwerf
(1985:46) dalam bukunya Politikologi antara lain:

• Kehidupan politik menurut pendirian yang lazim, meliputi semua aktifitas yang
berpengaruh terhadap kebijakan yang diterima baik bagi suatu masyarakat dan terhadap
cara pelaksanaan kebijakn tersebut. (David Easton)
• Politik adalah aspek dari semua perbuatan yang berkenaan dengan usaha kolektif bagi
tujuan-tujuan kolektif. (Talcott Parson 1966:71-72)
• Yang diartikan dengan proses politik adalah sustu proses pembentukan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan atau pembentukan kekuasaan dalam suatu sistem politik baik yang
terorganisir maupun tidak. (G. Kuypers 1973:164)
Pengambilan keputusan adalah suatu proses menentukan pilihan berdasarkan alternatifalternatif yang disusun. Kajian ilmu politik yang menempatkan pengambilan keputusan
sebagai obyek studinya berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan pusat dari

proses politik, hal ini terutama didasarkan suatu kenyataan bahwa suatu kebijakan adalah
sebagai pengejawantahan kekuasan merupakan hasil dari pengambilan keputusan.
Adapun proses pengambilan keputusan itu sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan.
Tahap pertama, mengetahui atau mempelajari persoalan-persoalan yang perlu diambil
keputusannya. Tahap kedua, merumuskan persoalan/masalah dengan jelas. Tahap ketiga,
membuat daftar tujuan yang mungkin dicapai berdasarkan urutan kebutuhan-kebutuhan
yang lebih penting. Tahap keempat adalah mengetahui semua sarana yang mungkin
dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang disusun serta merencanakan biaya yang
dibutuhkan untuk tiap alternatif yang diharapkan akan dapat mencapai tujuan. Sedangkan

tahap terakhir adalah membuat seleksi tentang tujuan mana yang akan dicapai dengan biaya
seminimal mungkin dan hasil yang semaksimal mungkin.
Richard C. Snyder (1985:19) dalam bukunya Approach to the Study of Politics
mengungkapkan konsepsi/pengertian tentang pengambilan keputusan: Decision-making
diperoleh dari alternatif-alteranatip urutan tindakan yang diseleksi dari sejumlah masalah
yang terbatas yang ditetapkan secara sosial”. Hal inidapat dilihat dari tahapan-tahapan
dalam proses pengambilan keputusan seperti diuraikan di atas.
4. Konflik dan Kerjasama
Dalam sebuah negara atau masyarakat terdapat lebih dari satu orang, atau lebih dari satu
kelompok. Variasi kelompok ini, berpotensi dan adalah alamiah, memiliki sejumlah
kepentingan, sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Relasi antar kepentingan
kelompok itulah yang kemudian akan melahirkan dua kemungkinan, yaitu kerjasama atau
konflik.
Pemaknaan terhadap dua kedua konsep ini, kerap kurang berimbang. Kerjasama dianggap
sebagai sebuah hal yang positif, sementara konsep konflik diposisikan sebagai konsep negatif.
Padahal, dalam konteks politik dan ilmu sosial, pemaknaan tersebut sangat tidak empirik.
Sebab, kerjasama pun dapat bermakna negatif (ingat KKN), dan konflik pun dapat
melahirkan hal yang positif (contoh kasus saling kritik dan mengingatkan). Dengan
demikian, konsep konflik dan kerjasama, merupakan konsep politik yang sangat universal
dan menjadi pisau analisis politik yang strategis dalam memetakan perilaku politik

masyarakat.
Suatu konflik politik terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang berusaha mencegah
orang atau sekelompok orang lain mencapai tujuan atau tujuan-tujuan politiknya. Misalnya,
suatu organisasi partai bertujuan untuk mendapat suara terbanyak dalam pemilu, namun
organisasi politik yang lain pun memiliki keinginan untuk itu. Adanya perbedaan tujuan
tersebut dapat menimbulkan konflik politik. Dan konflik tersebut berupa saling menghalangi
atau mencegah yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan kerjasama politik adalah usaha bersama dua orang atau
lebih untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu berkenaan dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah dan perwujudannya. Kerjasama sering terjadi apabila tujuan-tujuan akhir dari
pelaku politik adalah sama atau pun berbeda-beda tetapi memiliki tujuan antara yang sama.
Misalnya, suatu organisasi politik (orpol) memiliki tujuan yang berbeda (seperti contoh di
atas). Namun demikian adakalanya satu orpol memiliki tujuan yang antara sama, seperti
meningkatkan partisipasi warga negara dalam politik. Hal ini dapat memungkinkan adanya
suatu kerjasama, seperti mengadakan penyuluhan, seminar, dan sebagainya.

Khusus yang terkait dengan analisis gejala konflik dan kerjasama ini, terdapat sejumlah
pendapat para ahli yang langsung mengkaitkannya dengan identitas atau hakikat politik itu
sendiri. Seperti dikutip A. Hoogerwerf, (1985:46) dalam bukunya Politikologi antara lain:
• Carl Schmitt (1932:26): “Perbedaan politik yang menjadi ciri-ciri, yang menjadi sumber

dari tindakan-tindakan dan tema-tema politik, adalah perbedaan antarakawan dan lawan”.
• Gerhard Lehmbruch (1967:17): “Politik adalah perbuatan kemasyarakatan (yaitu
perbuatan yang diarahkan kepada kelakuan orang lain) yang bertujuan untuk mengatur
secara mengingkat konflik-konflik kemasyarakatan mengenai nilai-nilai (termasuk barang
jasmaniah).
• Vernon Van Dyke (1966:2): “Politik terdiri dari pertarungan antara aktor-aktor yang
mempunyai keinginan-keinginan yang saling bertentangan mengenai pokok-pokok
pertentangan masyarakat.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam
membincangkan masalah politik, masalah konflik dan kerjasama akan menjadi identitas
perilaku politik dan gejala sosial yang kerap berdampingan dan menyertainya. Keberadaan
sebuah hukum pun, pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk mengelola konflik dan
kerjasama yang tumbuh di masyarakat.
5. Penyaluran (Distribution) dan Penempatan (Allocation)
Ada dua asumsi dasar yang menghantarkan pentingnya konsep distribusi dan alokasi sebagai
bagian dari konsep ilmu politik. Pertama, terkait dengan kewajiban pemerintah. Misalnya
salam ekonomi, pemerintah memiliki kewajiban untuk distribusi bahan bakar, distribusi hasil
pertanian, alokasi dana pembangunan dan sebagainya. Dalam bidang poltik, ada distribusi
kekuasaan antara rakyat, dan pejabat publik. Dalam birokrasi dan administrasi ada
kewajiban untuk menjelaskan distribusi kekuasaan antar lembaga politik yang ada dalam
struktur pemerintahan.
Pada sisi kedua, yaitu terkait dengan hakikat politik dan negara itu sendiri. sebagai sebuah
organisasi sosial yang terdiri dari berbagai kepentingan, maka masalah distribusi kekuasaaan
dan alokasi menjadi hal yang sangat penting. Bukan hanya dalam sisi ekonomi, tetapi juga
dari sisi kekuasaan politik itu sendiri.
Mirriam Budiardjo (1992:13) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan distibusi dan
alokasi dalam ilmu politik adalah penyaluran dan penjatahan dari nilai-nilai dalam
masyarakat. Seperti, distribusi dan alokasi dana pembangunan terhadap sektor-sektor
pembangunan atau daerah-daerah, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai
adalah sesuatu yang dianggap berharga, dianggap baik/buruk. Nilai ini dapat bersifat abstrak
(misalnya kejujuran, kebebasan) juga dapat bersifat kongkrit/kebendaan (misalnya gaji,
bantuan dana, dan sebagainya). Sejalan dengan kajian ini, dapat kita kutip pendapat Easton
dalam masalah sistem politik. Dalam pemikiran Easton, sistem politik adalah keseluruhan
dari interaksi yang mengakibatkan pembagian oleh yang berkuasa dari nilai-nilai untuk dan
atas nama suatu masyarakat. (David Easton, 1958)
Ketimpangan dalam melakukan distribusi dan alokasi ini, akan menyebabkan konflik
kepentingan terjadi di masyarakat. implikasi lebih lanjutnya adalah adanya ancaman

disintegrasi sosial dan disintegrasi politik dalam negara. Jika hal ini dikaitkan dengan
masalah politik yang lebih luas, maka bisa dikatakan bahwa konflik kepentingan itu sendiri,
pada hakikatnya adalah konflik tentang distribusi dan alokasi (baik materi maupun nilai)
antar kelompok dalam negara itu sendiri. Tidak mengherkan bila dikatakan bahwa politik itu
sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa memperoleh apa, bilamana, dan dengan
cara apa? ( Harold D Lasswell, 1958).
Sarjana ilmu politik yang menekankan penyaluran dan penempatan sebagai kajian politik
menganggap bahwa politik adalah penyaluran dan pengalokasian nilai-nilai secara mengikat.
Masalah-masalah penyaluran dan pengalokasian berhubungan dengan kekuasaan dan
kebijakan pemerintah.