T B.IND 1402468 Chapter1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Pembelajaran

bahasa

Indonesia

diarahkan

untuk

meningkatkan

keterampilan siswa dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia salah satu yang harus dikuasai siswa
adalah keterampilan berbicara, melalui aktivitas ini seseorang mampu
berkomunikasi dengan manusia lain. Berbicara tidak hanya menyampaikan pesan
melainkan proses mengolah pesan itu sendiri bisa berupa ide, gagasan, atau

pemikiran yang dikemukakan seseorang. Keterampilan berbicara tidak hanya
berperan dalam pembelajaran bahasa tetapi berperan penting juga dalam
pembelajaran lain.
Siswa

yang

mempunyai

keterampilan

berbicara

akan

mudah

berkomunikasi dengan orang lain, berbeda dengan siswa yang tidak mempunyai
keterampilan berbicara akan sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Banyak
faktor yang menyebabkan siswa sulit untuk berinteraksi dengan orang lain atau

berbicara di depan umum. Faktor tersebut diantaranya, tidak terbiasa berbicara di
depan umum, sering mengalami kecemasan ketika berhadapan dengan orang
banyak, kurang percaya diri terhadap kemampuannya, takut tidak bisa menjawab
pertanyaan temannya dan lain-lain.
Thornbury (2005, hlm. 25) mengemukakan bahwa “terdapat sejumlah
faktor yang menentukan mudah atau sulitnya berbicara yaitu faktor kognitif,
faktor afektif, dan faktor performa”. Brown (2001, hlm. 269) pun berpendapat
bahwa “salah satu kendala utama pembelajar yang harus diatasi dalam belajar
berbicara adalah kecemasan yang menyebabkan pembelajar melontarkan hal-hal
yang salah atau tidak bisa dimengerti”. Senada dengan pendapat tersebut Apollo
(2007, hlm. 17-32) menjelaskan bahwa “perasaan cemas sebenarnya merupakan
pengalaman yang samar-samar disertai dengan adanya perasaan tidak berdaya”.
Philips (dalam Ririn dkk., 2013, hlm. 274) menyebutkan bahwa
“kecemasan berbicara di depan umum dengan istilah reticence, yaitu
ketidakmampuan individu untuk mengembangkan percakapan yang bukan
1
Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu


2

disebabkan

oleh

kurangnya

pengetahuan

akan

tetapi

karena

adanya

ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna, yang ditandai dengan

adanya reaksi secara psikologis dan fisiologis”.
Kecemasan adalah suatu kondisi adanya tekanan fisik dan psikis akibat
adanya tuntutan dalam diri dan lingkungan (Rathus dan Nevid, 2005, hlm. 163).
Seseorang dapat mengalami kecemasan ketika mengalami tekanan dalam dirinya
akibat tuntutan-tuntutan yang berasal dari dalam diri dan lingkungannya.
Kecemasan tidak selalu berdampak negatif pada diri individu, tetapi kecemasan
dapat berdampak positif. Kecemasan dapat bermanfaat bila memotivasi kita untuk
belajar dengan baik, akan tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila
tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman (Rathus dan Nevid, 2005,
hlm. 163). Perbedaan dampak kecemasan pada diri individu disebabkan oleh
adanya perbedaan karakteristik masing-masing individu. Perbedaan karakteristik
tersebut akan menentukan respon individu terhadap stimulus yang menjadi
sumber kecemasan, sehingga respon setiap individu akan berbeda-beda meskipun
stimulus yang menjadi sumber kecemasannya sama.
Rogers (2004, hlm. 20) menyatakan bahwa “kecemasan dapat
menyebabkan gangguan pada komponen fisik, proses mental dan komponen
emosional”. Individu yang mengalami kecemasan cenderung mengalami
gangguan pada komponen fisik yang biasanya dirasakan jauh sebelum memulai
pembicaraan, seperti detak jantung yang semakin cepat, kaki gemetar, gangguan
tidur dan berkeringat. Komponen proses mental seperti kekacauan fikiran yang

menyebabkan adanya kesulitan dalam konsentrasi dan kesulitan dalam mengingat.
Gangguan emosi yang sering dialami oleh individu adalah ketidakstabilan emosi
seperti mendadak munculnya perasaan tidak berdaya, munculnya rasa panik dan
malu setelah pembicaraan berakhir.
Selain

adanya

rasa

cemas,

kesalahan

dalam

berbicara

seperti


pengulangan, gagap dan kesalahan melafalkan kata sering muncul ketika
berbicara di depan umum. Nababan (1991, hlm. 61) mengemukakan bahwa
“kesalahan dalam berbicara berupa keraguan, jeda, pembetulan, permulaan yang
salah, pengulangan, kegagapan, dan keseleo (stutering), dan lidah keseleo (slip of

Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3

the tongue), kesalahan melafalkan kata-kata yang tidak sering didengar
disebabkan kesaratan beban (over loading)”.
Hal tersebut didorong oleh perasaan was-was karena menghadapi ujian
atau pertemuan dengan orang yang ditakuti, terpengaruh oleh perasaan afektif,
atau karena penutur kurang menguasai materi sehingga konsentrasinya terputus
dan pikiran serta ucapan tidak tersambung dengan baik. Rakhmat (dalam
Wahyuni, 2014) menjelaskan bahwa “ketakutan untuk melakukan komunikasi
dikenal sebagai communication apprehension”. Seseorang yang aprehensif dalam

berkomunikasi, akan menarik diri dari pergaulan, berusaha untuk menghindari
komunikasi dengan orang lain, dan hanya akan berbicara apabila sudah sangat
mendesak.
Penelitian Clark dan Clark (dalam Musfiroh, 2002, hlm. 59) menunjukkan
bahwa “kesalahan dalam berbicara disebabkan oleh faktor psikologis berupa
ketergesaan, keterbatasan pelafalan, tekanan, keterbatasan pengetahuan tentang
topik”. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam berbicara disebabkan oleh
faktor kognitif dan faktor efektif pembicara.
Di jenjang pendidikan sekolah dasar masih banyak guru yang
memperlakukan sama antara pembelajaran berbicara dengan membaca nyaring
namun tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada jenjang pendidikan sekolah
pertama dan menengah, siswa lebih banyak dilatih menulis dan membaca
sehingga kemampuan berbicara sangat rendah, pembelajaran berbicara yang
berlangsung monoton dan kurang merangsang gairah siswa untuk belajar.
Berbicara dengan teman dekat dan orang tua sudah menjadi kebiasaan
sehari-hari namun apabila seseorang dihadapkan untuk berbicara di depan banyak
orang akan mengalami beberapa kesulitan atau kendala terutama bagi orang yang
tidak terbiasa melakukannya. Maka kemampuan berbicara harus dilatih secara
terus-menerus. Arsjad (1993, hlm. 1) mengemukakan “kemampuan berbicara
secara formal memerlukan latihan dan pengarahan atau bimbingan yang intensif.”

Salah satu jenis pembelajaran berbicara yaitu keterampilan bercerita.
Bercerita sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan masyarakat sejak zaman
dahulu hingga sekarang. Meskipun sudah mulai berkurang, kegiatan bercerita
sampai saat ini masih digunakan oleh orang tua dan guru sebagai media untuk
Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4

menanamkan nilai-nilai edukatif dan moral. Seperti yang dikemukakan oleh Majid
(2008, hlm 7) bahwa “cerita berada pada posisi pertama dalam mendidik etika
kepada anak. Mereka cenderung menyukai dan menikmatinya, baik dari segi ide,
imajinasi, maupun peristiwa-peristiwanya”. Trostle dan Hicks (dalam Isbell. dkk.,
2004, hlm. 158) melakukan penelitian tentang anak-anak yang mendengar cerita
yang diceritakan mempunyai pemahaman dan kosa kata yang lebih baik daripada
anak-anak yang mendengar cerita dengan cara dibacakan.
Dalam pelaksanaanya di sekolah, keterampilan bercerita masih memiliki
beberapa kendala. Seperti yang dikemukakan oleh Rahmanto (1988, hlm. 113)

bahwa “beberapa guru menganggap aktivitas penceritaan kembali suatu cerita
sering hanya hafalan dan terlalu mekanis”. Berdasarkan penelitian Lestari dkk.
(2014, hlm. 2) menyebutkan bahwa “siswa masih kesulitan merangkai kata-kata
ketika menceritakan kembali cerita anak yang dibaca dengan bahasa sendiri dan
kurang percaya diri bercerita di depan teman-temannya”.
Riswan (2015, hlm. 195) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
“beberapa permasalahan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya
tingkat keterampilan bercerita siswa yaitu faktor internal dan faktor eksternal”.
Faktor internal meliputi pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, media
atau sumber pembelajaran. Faktor eksternal yang menyebabkan rendahnya tingkat
keterampilan bercerita yaitu pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan
bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga.
Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah
masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi.
Setelah melakukan observasi awal dengan beberapa guru bahasa Indonesia
dan siswa kelas VII SMPN 1 Cikoneng. Terdapat beberapa permasalahan yang
ditemukan dalam keterampilan bercerita yaitu, siswa mendapat kesulitan dalam
mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya, ketika bercerita siswa masih

terpengaruh dengan bahasa daerahnya, ada beberapa siswa yang masih gugup
ketika berdiri di depan teman-temannya, takut salah dan ditertawakan oleh

Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

5

temannya, bahkan lupa apa ingin dikatakan ketika berhadapan dengan banyak
orang.
Siswa merasa sulit untuk menghidupkan dan memahami cerita dengan
sekali membaca. Rahmanto (1988, hlm. 113) menjelaskan bahwa “menghidupkan
cerita dapat dilaksanakan dengan mengungkapkan perasaan yang dialami tokoh,
menceritakan hubungan tokoh satu dengan tokoh lain, atau mengungkapkan jiwa
serta suasana yang ceria seperti keingintahuan, kekaguman, kecemasan dan lainlain”.
Dengan demikian siswa tidak hanya menghapal isi cerita, tetapi
mengungkapkan kembali apa yang mereka serap. Isbell dkk. (2004, hlm. 158-159)
mengemukakan bahwa “bercerita tidak perlu menghapal kata-kata tetapi

diceritakan secara spontan, aktif, dan adanya interaksi dengan pendengar”.
Sejalan dengan pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa ketika siswa bercerita
menggunakan kata-kata, istilah, mupun dialog yang tidak ada dalam teks, guru
tidak

perlu

menyalahkannya

yang

lebih

penting

adalah

siswa

dapat

mengungkapkan kembali isi cerita dengan baik dan memperhatikan komponen
yang ada dalam bercerita.
Berdasarkan permasalahan di atas, sudah selayaknya keterampilan
bercerita harus ditingkatkan dan perlu adanya kesadaran dari berbagai elemen
pendidikan yang terlibat. Keterampilan bercerita harus dilakukan dengan orientasi
yang benar untuk membina kreativitas siswa sejak memperoleh ide sampai dengan
performa berbicaranya, sehingga siswa mempunyai keterampilan bercerita yang
baik. Oleh karena itu, guru harus memanfaatkan kreativitas yang dimiliki siswa
dan memotivasinya supaya siap dalam bercerita.
Dalam proses pembelajaran, siswa harus dilibatkan secara aktif berupa
kegiatan yang melibatkan banyak pancaindra dan olah tubuh sehingga dapat
menambah pengalaman siswa. Inilah pentingnya pemahaman guru tentang peran
model atau strategi pembelajaran dan penggunaan media dalam proses belajar.
Penggunaan model atau strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi belajar
siswa dan materi yang diajarkan, akan membantu guru untuk membuat siswa
menjadi aktif.

Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

6

Peneliti menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe bercerita
berpasangan berbasis kecerdasan kinestetik untuk meningkatkan keterampilan
bercerita. Lie (2008, hlm. 71) mengemukakan bahwa “dalam kegiatan bercerita
berpasangan, siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan
berimajinasi”. Teknik bercerita berpasangan ini melibatkan skemata atau latar
belakang pengalaman siswa dan membantu mengaktifkan skemata tersebut agar
bahan pelajaran lebih bermakna. Teknik ini juga dapat merangsang kemampuan
berpikir dan berimajinasi siswa, hasil dari buah pemikiran mereka akan dihargai
sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar.

Model pembelajaran ini mengutamakan kerjasama dan melibatkan
aktivitas siswa secara kinestetik atau olah tubuh dalam menerapkan keterampilan
bercerita. Tujuan model pembelajaran ini adalah untuk menumbuhkan sikap
percaya diri dan berani pada diri siswa dalam mengembangkan kemampuan
bercerita yang dimilikinya sehingga hasil belajarnya menjadi lebih baik.
Pembelajaran kooperatif lebih mengutamakan diskusi dan komunikasi
dengan tujuan agar siswa saling berbagi pengalaman, belajar berpikir kritis, saling
menyampaikan pendapat, dan membantu ketika yang teman yang lain mendapat
kesulitan dalam belajar. Isjoni (2014, hlm. 6) mengemukakan bahwa “tujuan
utama penerapan model kooperatif adalah agar siswa dapat belajar secara
berkelompok dengan saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan
pendapat mereka secara berkelompok”.
Selain penggunaan model pembelajaran, guru harus kreatif dalam
menggunakan media pembelajaran. Dilihat dari kemampuan dan kondisi guru
yang terbatas maka penggunaan media tidak hanya membuat proses belajar lebih
efisien tetapi dapat membantu siswa menyerap materi lebih utuh. Peneliti
memanfaatkan media video sebagai penunjang sumber belajar. Pemanfaatan
media sebagai sumber belajar dapat mengasah aspek kognitif siswa secara lebih
optimal sehingga tidak akan cepat lupa. Kosasih (2014, hlm. 52) mengemukakan
bahwa “proses pembelajaran dengan berbasis pelibatan banyak indra memiliki
kemampuan untuk membangun pengalaman dan makna belajar yang lebih kuat,

Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

7

pengalaman itu diikuti dengan berfungsinya struktur kognitif siswa secara lebih
optimal sehingga akan berkesan lama dalam ingatan”.
B. Identifikasi Masalah Penelitian
Berdasarkan

latar

belakang

masalah

di

atas,

peneliti

dapat

mengidentifikasikan masalah yang terjadi dalam pembelajaran berbicara
khususnya bercerita diantaranya sebagai berikut.
1.

Kemampuan bercerita siswa masih rendah.
Kemampuan bercerita tidak diperoleh secara langsung diperlukan latihan

yang terus menerus. Berdasarkan hasil observasi, kemampuan bercerita siswa
masih rendah. Beberapa hal yang membuat kemampuan berceita siswa rendah
yaitu pada umumya siswa belum mampu bercerita dengan urutan yang baik,
seiswa masih menghapal cerita sehingga ketika tampil untuk bercerita siswa
terkadang lupa apa yang ingin diceritakan, mempunyai rasa kurang percaya diri
untuk tampil di depan banyak orang, dan gugup ketika berdiri di depan banyak
orang.
2.

Kurangnya perhatian guru terhadap pembelajaran bercerita.
Pembelajaran bercerita di sekolah masih terlihat monoton sehingga tidak

membangkitkan semangat belajar siswa. Guru tidak memberikan contoh kegiatan
bercerita, sehingga siswa kurang paham bagaimana cara bercerita dengan menarik
dan tidak membosankan.
3.

Pemilihan strategi, model, teknik, dan media pembelajaran sangat penting.
Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik apabila pemilihan

strategi, model, metode, teknik, dan media pembelajaran sudah direncanakan
secara terstruktur. Pemilihan strategi, model, metode, teknik, dan media
pembelajaran harus dilakukan oleh guru untuk membuat proses belajar mengajar
lebih bermakna dan dapat menumbuhkan minat belajar siswa.
C. Rumusan Masalah Penelitian
Permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1.

Bagaimanakah profil pembelajaran bercerita dengan model terlangsung pada
siswa kelas VII di SMPN 1 Cikoneng?

Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

8

2.

Bagaimanakah proses pelaksanaan pembelajaran model kooperatif tipe
bercerita berpasangan berbasis kecerdasan kinestetik pada siswa kelas VII di
SMPN 1 Cikoneng?

3.

Apakah model kooperatif tipe bercerita berpasangan berbasis kecerdasan
kinestetik efektif dalam meningkatkan pembelajaran bercerita pada siswa
kelas VII di SMPN 1 Cikoneng?

D. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
1.

mendeskripsikan profil pembelajaran bercerita dengan model terlangsung
pada siswa kelas VII di SMPN 1 Cikoneng;

2.

mengetahui proses pembelajaran model kooperatif tipe bercerita berpasangan
berbasis kecerdasan kinestetik pada siswa kelas VII di SMPN 1 Cikoneng;

4.

mengetahui keefektifan model kooperatif tipe bercerita berpasangan berbasis
kecerdasan kinestetik dalam meningkatkan pembelajaran bercerita pada siswa
kelas VII di SMPN 1 Cikoneng.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara
teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kekayaan
pengetahuan khususnya dalam bidang model, metode, dan teknik pembelajaran
yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya dalam upaya untuk
meningkatkan keterampilan bercerita.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru, siswa,
dan bidang keilmuan.
1.

Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai model alternatif dalam
memahami dan mengajarkan model, metode, dan teknik pembelajaran
bercerita kepada siswa. Dengan adanya berbagai temuan penelitian, guru
dapat memanfaatkannya dalam membangun pengajaran bahasa Indonesia di
sekolah.

Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

9

2.

Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman baik
untuk mengelola kognitif, afektif, psikomotor maupun interaksi sosial dalam
menguasai keterampilan bercerita.

3.

Bagi bidang keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi pembuatan
rencana pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia, sebagai instrumen untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, dan menjadi masukan dalam hal
penyediaan sumber belajar yang lebih variatif.

F. Paradigma Penelitian
Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan
wawancara dengan guru bahasa Indonesia mengenai pembelajaran bercerita,
observasi dan kajian literatur. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa kemampuan
siswa dalam pembelajaran bercerita masih perlu ditingkatkan. Terdapat beberapa
permasalahan yang ditemukan dalam keterampilan bercerita yaitu, siswa
mendapat kesulitan dalam mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya,
masih terpengaruh dengan bahasa daerahnya, masih gugup ketika berdiri di depan
teman-temannya, takut salah dan ditertawakan oleh temannya, bahkan lupa apa
ingin dikatakan ketika berhadapan dengan banyak orang, dan siswa merasa sulit
untuk menghidupkan serta memahami cerita dengan sekali membaca.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis mengkaji kurikulum yang
dipakai di SMPN 1 Cikoneng yaitu KTSP. Dalam KTSP, pembelajaran bercerita
termasuk ke dalam pembelajaran berbicara, standar kompetensinya adalah
mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui kegiatan bercerita dan kompetensi
dasarnya adalah bercerita dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur,
dan mimik yang tepat.
Langkah selanjutnya yang penulis lakukan

yaitu mengkaji

dan

menganalisis teori-teori yang berkaitan dengan pembelajaran bercerita, yaitu teori
bercerita, model kooperatif tipe bercerita berpasangan, dan teori kecerdasan
kinestetik. Setelah mengkaji dan menganalisis teori-teori, langkah selanjutnya
adalah merancang model pembelajaran dan dirumuskanlah sebuah model yaitu
model kooperatif tipe bercerita berpasangan berbasis kecerdasan kinestetik. Selain
perancangan model, digunakan pula media pembelajaran yaitu video bercerita.

Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

10

Video bercerita digunakan agar pembelajaran di kelas lebih bervariasi, menarik
dan tidak membosankan serta membantu siswa untuk berlatih bercerita. Dalam
model ini dilakukan prates, perlakuan ke-1, ke-2, ke-3, dan pascates.

Teori Bercerita

Teori Model Kooperatif,
Bercerita Berpasangan

Teori Kecerdasan
Kinestetik

Analisis Konsep Model Kooperatif tipe
Bercerita Berpasangan
berbasis Kecerdasan Kinestetik

Model Kooperatif
tipe Bercerita Berpasangan
berbasis Kecerdasan Kinestetik

Perlakuan

Prates

Perlakuan
ke- 1

Perlakuan
ke- 2

Perlakuan
ke- 3

Pascates

Analisis Berbantuan
Komputasi

Hasil

Bagan 1.1. Paradigma Penelitian

Mela Amelia, 2016
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERCERITA BERPASANGAN BERBASIS KECERDASAN
KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN BERCERITA
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu