Uji Aktivitas Hipoglikemik Nano partikel Daun Temuru dan Ekstrak Etanol Daun Temuru (Murraya koenigii (L) Spreng) Terhadap Tikus Putih yang Diinduksi Aloksan Serta Aktivitas Antioksidannya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman
Uraian tanaman meliputi habitat dan daerah tumbuh, sistematika tumbuhan,
sinonim, nama daerah, morfologi tanaman, kandungan senyawa kimia, serta
penggunaan tanaman.
2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh
Temuru umumnya lebih dikenal sebagai daun kari (curry-leaf tree)
termasuk dalam famili Rutaceae (Satyavati dkk., 1999). Tanaman ini banyak
tumbuh di beberapa negara Asia Selatan, serta paling banyak ditemui hampir
diseluruh wilayah India (Rahman, 2011). Di Indonesia daun temuru banyak
terdapat di beberapa daerah di Sumatera seperti Aceh dan Medan. Daun ini
banyak digunakan sebagai bahan rempah-rempah terutama sebagai bumbu pada
berbagai jenis masakan dan juga digunakan untuk perawatan berbagai jenis
penyakit pada sistem pengobatan tradisional (Shalini dan Puspha, 2013).
2.1.2 Sinonim
Nama lain Murraya koenigii (L.) Spreng adalah Chalcas koenigii
(Mulherin, 1996). Bergera koenigii (L.) (Anonim, 2014).
2.1.3 Nama daerah
Nama Indonesia adalah Garupillai (Anonim, 1995). Di Indonesia Murraya
koenigii (L.) Spreng dikenal sebagai Salam Koja, Daun Kari, Temuru. Salam koja

(Jakarta), daun kari dan Temurui (Aceh), Tikusan (Jawa), Ki Becetah (Sunda),
Sicerek (Minang Kabau) (Anonim, 2014).

105

2.1.4 Sistematika tumbuhan
Sistematika dari tumbuhan temuru adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Subkingdom

: Tracheobionta

Super Divisi

: Spermatophyta

Divisi


: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Sub Kelas

: Rosidae

Ordo

: Sapindales

Famili

: Rutaceae

Genus


: Murraya

Spesies

: Murraya koenigii (L.) Spreng (Anonim, 2014).

2.1.5 Morfologi tanaman
Pohon kari/salam koja/temuru memiliki nama latin Murraya koenigii,
merupakan jenis perdu atau pohon kecil (Anonim, 1995) dengan tinggi
maksimal mencapai + 4 – 6 meter (Gill dan Sharma, 2014) atau 0,8 – 4 meter
(Anonim, 1995) dan diameter batang maksimal + 40 cm (Gill dan Sharma,
2014). Daunnya berbentuk menyirip seperti daun belimbing, hanya saja
berukuran lebih kecil dan berwarna hijau tua mengkilap. Bunganya putih kecil,
berkelompok dan memiliki aroma yang harum. Kulit batang berwarna hitam dan
berbulu halus, buah berbentuk bulat dan berwarna hitam dengan lebar buah 8-12
mm (Anonim, 1995). Daun temuru dapat dilihat pada Gambar 2.2.

106


Gambar 2.1 Daun temuru (Sumber: Anonim, 2014)
2.1.6 Kandungan kimia
Ekstrak air dan ekstrak etanol menunjukkan daun temuru memiliki
kandungan karbohidrat, asam amino dan protein, fenol, sterol dan steroid,
saponin, kuinon, alkaloid, flavanoid, tanin, dan minyak atsiri (Shalini dan Puspha,
2013; Katoch, dkk., 2012). Daun temuru mengandung polifenol (Sivakumar dan
Meera, 2013). Ekstrak daun temuru dalam etanol menunjukkan adanya senyawa
fitokimia alkaloid, saponin, tanin, dan fenol (Abubakar, dkk., 2014).
Kandungan alkaloid yang ditemukan pada daun temuru diantaranya
mahanimbicine dan mahanimbine (Nagappan, dkk, 2011), selain pada daun, pada
akar juga terdapat mahanimbina, girinimbina dan dua karbazol alkaloid baru
isomahanimbina dan koenimbidina. Murrayanin, murrayafolin-A dan triterpen
terdapat pada batang dan akar Murraya koenigii (Bakar, dkk., 2007).
2.1.7 Penggunaan tanaman
Murraya koenigii bukanlah tumbuhan asli Indonesia, tetapi tumbuhan ini
berasal dari India yang dikenal sebagai daun kari (Lanjhiyana, dkk., 2011). Di

107

Indonesia, daun kari lebih dikenal dengan nama daun salam koja dan daun temuru

(Anonim, 2014). Di India, daun kari dikenal sebagai rempah, kosmetik, dan
sebagai obat tradisonal. Daunnya memiliki khasiat untuk menyuburkan rambut
(Gill dan Sharma, 2014) dan memiliki efek anti-diabetic, antioxidant,
antimicrobial, anti-inflammatory, dan manfaat lainnya (Singh, dkk., 2012;
Shrivastav dkk., 2013 ). Selain itu daun ini juga memiliki kandungan zat besi yang
tinggi (Amin, dkk., 2013).
Beberapa penelitian telah menunjukkan daun temuru (Murraya koenigii
(L.) Spreng) mempunyai banyak manfaat untuk pengobatan, diantaranya sebagai
antibakteri (Vats, dkk., 2011; Kumar, 2013), immunostimulatory (Shah dan
Juvekar,

2010),

hepatoprotektif

(Sathaye,

dkk.,

2012),


antiinflamasi

(Muthumani, dkk., 2009), antikanker (Muthumani, dkk., 2009), antioksidan (Gill
dan Sharma, 2014; Sivakumar, dkk., 2013; Shalini dan Puspha, 2013; Smerq dan
Mukta, 2011; Tembhurne dan Sakarkar, 2010), menurunkan LDL kolesterol
(Themburne dan Sakarkar, 2010) dan antihiperglikemia (Tembhurne dan
Sakarkar, 2012; Lhanjiyana, dkk., 2011; Chatterji, dkk., 2010; Tembhurne dan
Sakarkar., 2009).

2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak
dapat larut dengan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 2010). Hasil dari ekstraksi
disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat
dengan penyari simplisia menurut cara yang sesuai, tanpa pengaruh cahaya
matahari langsung (Depkes RI, 2000), apabila tidak menggunakan bahan

108

tumbuhan segar, maka bahan tumbuhan harus dikeringkan terlebih dahulu

sebelum dilakukan ekstraksi dan dihaluskan dengan derajat halus yang sesuai
(Harborne, 1987).
Kandungan zat aktif dalam simplisia mempengaruhi pemilihan cairan
penyari dan metode ekstraksi. Pemilihan cairan penyari dan metode ekstraksi
yang tepat akan mempengaruhi kualitas ekstrak (Depkes RI, 1986).
Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada pemilihan cairan penyari
diantaranya, yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia,
bereaksi netral, tidak mudah menguap, dan tidak mudah terbakar, tidak
mempengaruhi zat berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan (Depkes RI,
1986). Untuk proses penyarian cairan penyari yang dapat digunakan adalah air,
etanol, etanol-air (Depkes RI, 2000). Kapang dan kuman sulit tumbuh pada
konsentrasi etanol di atas 20% dan tidak beracun, netral, absorbsinya baik.
Campuran cairan penyari etanol dan air bertujuan untuk meningkatkan penyarian
(Depkes RI, 1986).
2.2.1 Metode ekstraksi
Pemilihan metode ekstraksi disesuaikan dengan kandungan zat aktif dalam
bahan yang akan disari. Metode ekstraksi secara umum dibagi menjadi dua cara,
yaitu cara dingin dan cara panas (Depkes RI, 2000).
a. Cara dingin
Cara dingin diantaranya adalah maserasi dan perkolasi.

i. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan

109

(Depkes RI, 2000). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat
lunak seperti daun dan bunga (Harborne, 1987), tetapi banyak juga yang
menggunakan metode ini untuk menyari simplisia yang keras seperti akar dan
korteks karena cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan
mudah diperoleh.
Penyarian dengan cara maserasi memerlukan pengadukan agar konsentrasi
larutan di luar serbuk simplisia homogen. Pengadukan berfungsi untuk menjaga
derajat perbedaan kosentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel
dengan larutan di luar sel (Ditjen POM, 2010).
ii. perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak),

terus menerus sampai diperoleh ekstrak (Depkes RI, 2000).
b. Cara panas
i. refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur
titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000). Keuntungan dari
metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang
mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah
membutuhkan volume total pelarut yang besar.

110

ii. digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu umumnya pada
temperatur 40 - 50ºC (Depkes RI, 2000).
iii. infusa
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 90⁰C selama 15 menit. Pembuatan infus merupakan
cara yang paling sederhana. Simplisia yang digunakan adalah dari bahan lunak

seperti daun dan bunga. Infus dapat diminum panas atau dingin. Simplisia yang
mengandung minyak atsiri harus menggunakan penutup pada pembuatan infus.
Perbedaan infusa dan dekok adalah pada waktu perebusan. Pembuatan dekok
lebih lama daripada infus yaitu lebih dari atau sama dengan 30 menit, biasanya
untuk menyari simplisia yang keras seperti batang (Ditjen POM, 2010).
iv. sokletasi
Sokletasi adalah penyarian simplisia dengan menggunakan alat sokletasi
menggunakan pelarut organik yang selalu baru. Pelarut yang digunakan relatif
konstan karena menggunakan pendingin balik (Depkes RI, 2000). Sokletasi
digunakan untuk mengekstraksi tumbuhan kering seperti biji kering, akar, daun
(Harborne, 1987).

2.3 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

111

atau kedua-duanya yang melibatkan hormon endokrin pankreas, antara lain insulin
dan glukagon (Nugroho, 2006). Hiperglikemia kronik terkait dengan kerusakan

jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012). Insufisiensi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel βLangerhans, kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). Kondisi hiperglikemia kronik akan
berkembang menjadi Diabetes mellitus (Nugroho, 2006).
2.3.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi Diabetes mellitus mengalami perkembangan dan perubahan
dari waktu ke waktu dan saat ini klasifikasi Diabetes mellitus lebih didasarkan
pada etiologi penyakitnya (Depkes RI, 2005). DM umumnya diklasifikasikan
menjadi 4 (empat) tipe yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan Pradiabetes (Loranza, 2012).
a. Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 disebut juga insulin dependent Diabetes mellitus
(IDDM) (Ridwan, 2012) atau juvenil onset diabetes (Cosgrove, 2004).
Berdasarkan penyebabnya DM tipe 1 dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
tipe imun (1A) yang menyebabkan kerusakan sel β pankreas dan tipe nonimun
(1B) disebut dengan DM idiopatik. Pada DM tipe 1B tidak terjadi proses imun
sama sekali dan defisiensi insulin yang terjadi tidak diketahui penyebabnya
(Kurniawan dan Surja, 2013; ADA, 2012; Anonim, 2009).
Diabetes mellitus tipe 1 ini merupakan diabetes yang jarang dan terjadi
hanya pada 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan

112

produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β
pulau langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun (ADA, 2012; Depkes RI,
2005). Secara patologi terlihat adanya peradangan pankreas (insulitis) yang
ditandai dengan adanya infiltrasi makrofag dan limfosit T teraktivasi di sekitar
dan di dalam sel islet, kadang dijumpai virus yang merusak sitoplasma sel
(Yuriska, 2009). Virus tersebut diantaranya virus Cocksakie, Rubella, Herpes, dan
lain sebagainya (Depkes RI, 2005). Kerusakan ini menyebabkan terbentuknya
ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies) yang mengganggu produksi insulin
(Yuriska, 2009).
ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan dalam darah
hampir 90% penderita DM Tipe 1. Nilai normal ICCA dalam darah adalah 0,54%. ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1 (ADA,
2012; Depkes RI, 2005).
b. Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 disebut dengan non insulin dependent Diabetes
mellitus (NIDDM) (Anonim, 2015), umumnya lebih bersifat genetik (Gustaviani,
2007: Depkes RI, 2005) dan pengaruh lingkungan seperti obesitas, diet tinggi
lemak dan rendah serat, serta kurang berat badan (Depkes RI, 2005). DM tipe 2
merupakan tipe diabetes yang penderitanya mencapai 90-95% dari keseluruhan
populasi penderita diabetes (ADA, 2012), umumnya berusia di atas 45 tahun
(Depkes RI, 2005).
Diabetes mellitus tipe 2 terjadi karena resistensi insulin (Rahman, 2011)
yaitu sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal
(Depkes RI, 2005). Resistensi insulin terjadi antara lain akibat obesitas (ADA,

113

2012), pola hidup kurang gerak, dan penuaan. Disamping resistensi insulin pada
DM tipe 2 dapat juga terjadi gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa
hepatik yang berlebihan (Depkes RI, 2005). Keadaan lain yang berperan dalam
DM tipe 2 adalah terjadinya disfungsi sel β-pankreas. Defisiensi fungsi insulin
pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut (ADA, 2012), oleh
sebab itu umumnya terapi tidak memerlukan insulin eksogen (ADA, 2012;
Depkes RI, 2005).
Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin, apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan
penyakit selanjutnya penderita DM tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β
pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(Depkes RI, 2005).
c. Diabetes mellitus gestasional
Diabetes mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes mellitus)
adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa
kehamilan (ADA, 2012) dan biasanya berlangsung hanya sementara (Depkes RI,
2005). Penderita GDM kebanyakan memiliki homeostatis glukosa yang normal
selama trimester pertama kehamilan dan mengalami defisiensi insulin relatif pada
bulan keempat dan kelima. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali normal
setelah melahirkan (Yuriska, 2009).

114

Penyebab Diabetes mellitus

gestasional berkaitan dengan peningkatan

kebutuhan energi dan kadar esterogen yang menstimulasi pelepasan insulin yang
berlebihan serta hormon pertumbuhan yang terus-menerus tinggi selama
kehamilan yang mengakibatkan penurunan responsivitas seluler (Yuriska, 2009).
Diabetes mellitus gestasional dapat menyebabkan terjadi malformasi kongenital,
peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas
perinatal. Wanita yang pernah menderita GDM memiliki risiko menderita
Diabetes mellitus lebih besar di masa depan sehingga diperlukan kontrol
metabolisme yang ketat untuk mengurangi risiko-risiko tersebut (Depkes RI,
2005).
d. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi kadar gula darah seseorang berada diantara
kadar normal dan diabetes. Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk
diabetes, serangan jantung dan stroke. Kondisi pra-diabetes yang tidak terkontrol
dengan baik dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10
tahun (Depkes RI, 2005).
2.3.2 Manifestasi klinik diabetes mellitus
Gejala khas pada penderita DM antara lain poliuria (sering buang air
kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar)
dengan atau tanpa keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas (ADA, 2012).
Gejala umum pada DM Tipe I adalah poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritis
(gatal-gatal pada kulit). Penderita DM Tipe 2 umumnya hampir tidak ada gejala

115

dan umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya
penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia,
obesitas, dan komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).
2.3.3 Diagnostik diabetes mellitus
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila ada keluhan khas berupa poliuria,
polidipsia, polifagia (Tembhurne dan Sakarkar, 2010) dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan tersebut disertai hasil
pemeriksaan Nilai A1C ≥6.5% (ADA, 2014). Kadar glukosa darah sewaktu lebih
besar 11,1 mmol/L (≥200 mg/dl) dan atau hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa 7,0 mmol/L (≥126 mg/dL) (ADA, 2014; Depkes RI, 2005). Dikatakan
puasa jika tidak ada asupan kalori selama ≥8 jam (ADA, 2014).
Diagnosis untuk kelompok tanpa keluhan khas, pemeriksaan kadar
glukosa darah dilakukan paling tidak dua kali pengukuran kadar gula darah
sewaktu pada hari yang berbeda menghasilkan kadar abnormal tinggi (>200
mg/dL), kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari
hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan
>200 mg/dL (Depkes R.I, 2005).
2.3.4 Komplikasi diabetes mellitus
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita DM adalah hipoglikemia,
hiperglikemia, komplikasi makrovaskular, dan komplikasi mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskuler dapat berupa penyakit jantung koroner (coronary
heart disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh
darah perifer (peripheral vascular disease = PVD) (Amin, 2013; Depkes RI,
2005).

116

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita DM tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lemah dan rapuh dan
terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang
mendorong

timbulnya

komplikasi-komplikasi

mikrovaskuler,

antara

lain

retinopati, nefropati, dan neuropati (Thembhurne dan Sakarkar, 2010; Depkes RI,
2005).
Hiperglikemia merangsang pelepasan radikal bebas terutama ROS
(reactive oxygen species) sehingga memicu terjadinya stres oksidatif. Akibat dari
oksidasi yang meningkat pada diabetes menyebabkan berkurangnya kemampuan
sel beta untuk mensekresi insulin dan meningkatnya produksi asam lemak dalam
darah (lipotoxycity). Hiperglikemia pada DM tipe 2 hampir selalu disertai dengan
hiperlipidemia (Manaf, 2009). Antioksidan dapat mengatasi stres oksidatif dan
mencegahan komplikasi klinis Diabetes mellitus (Dialetta, 2006).
2.3.5 Pengobatan diabetes mellitus
2.3.5.1 Terapi insulin
Insulin merupakan

terapi bagi penderita DM tipe 1, karena sel-sel β

Langerhans kelenjar pankreas penderita DM tipe 1 rusak, sehingga tidak lagi
dapat memproduksi insulin. Oleh karena itu sebagai penggantinya penderita DM
tipe 1 diberikan insulin eksogen (Depkes RI, 2005).
Insulin membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Selain itu,
insulin berperan dalam pengelolaan diabetes ketoasidosis dan memiliki peran
penting dalam pengobatan hiperglikemik, koma nonketosis. Pada semua kasus,

117

tujuannya tidak hanya untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga semua aspek
metabolisme (Yuriska, 2009).
2.3.5.2 Obat hipoglikemik oral (OHO)
Obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi tiga golongan (Depkes RI,
2005) yaitu:
a. meningkatkan sekresi insulin, yaitu golongan sulfonilurea dan glinida
(meglitinida dan turunan fenilalanin).
b. meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin yaitu golongan biguanida dan
tiazolidindion.
c. inhibitor katabolisme karbohidrat, yaitu inhibitor α-glukosidase.
2.3.5.2.1 Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah salah satu golongan obat DM yang telah lama
digunakan. Derivat sulfonilurea bekerja dengan cara merangsang sel β pulau
Langerhans untuk meningkatkan sekresi insulin (ADA, 2015; Anonim, 2009).
Obat golongan ini tidak bermanfaat bagi penderita DM tipe 1, karena sel β pulau
langerhans penderita DM tipe 1 sudah rusak, sehingga tidak dapat memproduksi
insulin. Golongan ini dapat menurunkan A1C sampai dengan sebesar

1-2%

(Depkes RI, 2005). Obat golongan ini juga bekerja dengan cara menutup kanal
KATP pada sel β-pankreas (ADA, 2015).
Generasi pertama sulfonilurea adalah klorpropamid, tolbutamid, dan
tolazamid (Anonim, 2009). Generasi kedua dari golongan ini adalah
glibenklamida, glipizida, gliklazida, glimepirida (ADA, 2015). Efek samping
golongan sulfonilurea dapat berupa gangguan saluran cerna. Dosis yang tidak

118

tepat dan diet ketat dapat menyebabkan hipoglikemia, berat badan meningkat
(ADA, 2015).
2.3.5.2.2 Glinide (meglitinida dan turunan fenilalanin)
Obat-obat

hipoglikemik

oral

golongan

glinida

merupakan

obat

hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan
sulfonylurea yaitu meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas dan menutup kanal K (ADA, 2015; Anonim, 2009), tetapi efek samping
hipoglikemik dari obat golongan ini lebih jarang terjadi daripada golongan
sulfonilurea, diduga karena masa paruhnya yang lebih pendek daripada
sulfonilurea (Anonim, 2009).
Senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilalanin
ini umumnya dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral
lainnya. Golongan ini dapat merunkan A1C sampai dengan sebesar 1,5%
(Depkes RI, 2005).
2.3.5.2.3 Biguanida
Metformin adalah satu-satunya obat golongan biguanida yang tersedia
(Depkes RI, 2005). Metformin merupakan terapi pilihan pertama untuk penderita
DM tanpa komplikasi (ADA, 2015). Obat golongan ini mengaktifkan AMP kinase
dan bekerja langsung pada hati, menurunkan produksi glukosa hati (menurunkan
“hepatic glucose output”) (ADA, 2015) dan hampir tidak pernah menyebabkan
hipoglikemia (Depkes RI, 2005). Golongan ini mengganggu saluran pencernaan
seperti diare, defisiensi vitamin B12, hipoksia, dan dehidrasi (ADA, 2015). Obat
golongan biguanida mempunyai kelebihan dibanding obat golongan sulfonilurea
yaitu tidak menyebabkan kenaikan berat badan (Anonim, 2009).

119

2.3.5.2.4 Tiazolidindion (TZD)
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh
terhadap insulin (ADA, 2015) dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome
proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin (Depkes RI, 2005). Senyawa-senyawa TZD juga
menurunkan kecepatan glikoneogenesis (Depkes RI, 2005).
Obat golongan ini menyebabkan penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek
samping yang paling sering adalah penambahan berat badan dan retensi cairan
sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif
(ADA, 2015).
2.3.5.2.5 Inhibitor DPP-4
Inhibitor DPP-4 merupakan obat baru dalam terapi DM tipe 2. Obat
golongan ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas DPP-4 dan meningkatkan
aktivitas incretins postprandial. Dengan demikian sekresi insulin meningkat dan
sekresi glukagon menurun. Incretins merupakan peptida yang disekresi usus halus
akibat adanya makanan. Terdapat 2 jenis incretins yaitu GLP-1 (Glucagon Like
Peptide -1) dan GIP (Glucose Dependent Insulinotropic Peptide). Namun peran
GIP dalam metabolisme glukosa lebih sedikit (ADA, 2015).
2.3.5.2.6 Penghambat enzim α-glukosidase
Enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase)
(Depkes RI, 2005) merupakan enzim karbohidrolase yang bekerja mengkatalisis
pelepasan α-glukosa (Loranza, 2012). Enzim ini berperan pada konversi
karbohidrat menjadi glukosa, menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus
halus (Yuliastuti, 2011). Glukosa yang dilepas akan diabsorbsi pada lumen usus

120

dan masuk ke sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia post prandial
(Loranza, 2012).
Obat golongan penghambat enzim α-glukosidase bekerja dengan cara
menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus
(ADA, 2015). Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat memperlambat laju
karbohidrat yang diabsorpsi dari saluran pencernaan (ADA, 2015; Yuriska, 2009),
menunda penguraian oligosakarida dan disakarida menjadi monosakarida
(Loranza, 2012), sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post
prandial pada penderita DM (Depkes RI, 2005).
Obat penghambat enzim α-glukosidase dapat diberikan sebagai obat
tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya dengan
dosis awal 50 mg dan dapat dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari
secara peroral, efektif bagi penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar
glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Obat ini hanya mempengaruhi kadar
glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah
setelah itu (Depkes RI, 2005). Pemberian obat ini bersama makanan berserat
seperti mengandung polisakarida akan meningkatkan efektivitasnya (Anonim,
2009). Obat golongan ini mempunyai efek samping flatulen dan diare (ADA,
2015).
Obat yang termasuk golongan penghambat enzim α-glukosidase
diantaranya adalah akarbose, miglitol, dan voglibose. Diantara ke tiga obat
tersebut, akarbose yang telah beredar di Indonesia (Loranza, 2012).
Akarbose merupakan oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi
mikroorganisme Actinoplanes utahensis. Rumus empirik akarbose adalah

121

C25H43NO18 (Rahman, 2011) dan struktur kimianya dapat dilihat pada Gambar
2.2:

Gambar 2.2 Struktur Kimia Akarbose (Sumber: Informasi Obat Indonesia 2009)

Akarbose merupakan serbuk berwarna putih dengan berat molekul 645,6
bersifat larut dalam air dan memiliki pKa 5,1. Senyawa oligosakarida kompleks
ini merupakan inhibitor kompetitif potensial dari enzim α-glukosidase (Febrinda,
dkk., 2012), sehingga harus diberikan segera pada saat makan makanan utama
untuk mencapai efek maksimal (Anonim, 2009; Depkes RI, 2005).
2.3.6 Diabetes mellitus pada hewan uji
Keadaan diabetes pada hewan dapat diinduksi menggunakan tiga cara
yaitu virus, pankreatektomi yaitu dengan cara mengambil organ pankreas secara
menyeluruh atau sebagian, dan memberikan senyawa kimia menggunakan
diabetagon seperti aloksan (Nugroho, 2006).
Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat
pirimidin sederhana. Aloksan diperkenalkan sebagai hidrasi aloksan pada larutan
encer. Nama aloksan diperoleh dari penggabungan kata allantoin dan oksalurea
(asam oksalurik). Nama lain dari aloksan adalah 2,4,5,6 - tetraoxypirimidin;
2,4,5,6-primidinetetron;

1,3-Diazinan-2,4,5,6-tetron

122

(IUPAC)

dan

asam

Mesoxalylurea 5-oxobarbiturat. Rumus kimia aloksan adalah C4H2N2O4.
Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan adalah
senyawa kimia tidak stabil dan senyawa hidrofilik. Waktu paruh aloksan pada pH
7,4 dan suhu 37⁰C adalah 1,5 menit (Yuriska, 2009). Sebagai diabetogenik,
aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis
intravena yang digunakan biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan
subkutan adalah 2-3 kalinya (Nugroho, 2006).
Aloksan terbukti merusak sel-sel beta pankreas dan menyebabkan
hiperglikemia (Vinuthan, dkk., 2003). Aloksan di dalam tubuh langsung diambil
oleh sel β Langerhans sehingga aloksan dapat mencapai pankreas dengan cepat
dan menghasilkan kondisi diabetik eksperimental yang cepat pada binatang
percobaan (Nugroho 2006; Yuriska 2009).
Faktor utama yang menyebabkan kerusakan sel β Langerhans adalah
pembentukan oksigen reaktif yang diawali dengan proses reduksi aloksan.
Aloksan direduksi dalam sel β Langerhans menjadi asam dialurat. Selanjutnya
asam dialurat mengalami reoksidasi menjadi aloksan. Reaksi antara aloksan
dengan asam dialurat diperantarai oleh radikal aloksan intermediet dan
pembentukan compound 305 (Nugroho, 2006).
Radikal

superoksida

membebaskan

Ion

ferri

dari

ferinitin

dan

mereduksinya menjadi ion ferro. Selain itu, ion ferri juga dapat direduksi oleh
radikal aloksan. Salah satu target dari oksigen reaktif adalah DNA pulau
Langerhans pankreas. Adanya ion ferro dan hidrogen peroksida membentuk
radikal hidroksi yang sangat reaktif. Aloksan juga menyebabkan gangguan pada
homeostatis kalsium intraseluler, sehingga konsentrasi insulin meningkat sangat

123

cepat, dan secara signifikan mengakibatkan gangguan pada sensitivitas insulin
perifer dalam waktu singkat. Aloksan diduga juga berperan menghambat
glukokinase dalam proses metabolisme energi (Nugroho, 2006).

2.4 Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang mempunyai elektron tidak
berpasangan (Putranti, 2013), merupakan suatu kelompok bahan kimia dengan
reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron bebas. Elektron tidak
berpasangan ini sangat reaktif dan akan merebut elektron dari molekul lain yang
ada di sekitarnya untuk menstabilkan diri. Radikal bebas sangat reaktif dan mudah
bereaksi dengan berbagai molekul lain, seperti protein, lemak, karbohidrat, dan
DNA. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan
proses penuaan (Fessenden dan Fessenden, 1986).
2.4.1 Sumber radikal bebas
Secara umum sumber radikal bebas dibagi menjadi sumber eksogen dan
endogen, yaitu:
a. Sumber eksogen
Sumber radikal bebas eksogen dapat berupa pencemaran udara, penipisan
lapisan ozon, radiasi, bahan kimia, toksin, asap rokok, mikroorganisme yang
patologik, sinar UV, sebagian obat seperti anastesi dan pestisida
b. Sumber endogen
Sumber radikal bebas endogen berasal dari proses metabolik normal dalam
tubuh manusia, antara lain dapat terbentuk melalui autoksidasi, oksidasi

124

enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transfor elektron di mitokondria dan
oksidasi ion-ion logam transisi (Rohmatussolihat, 2009).

2.5 Antioksidan
Antioksidan merupakan substansi penting untuk menangkal radikal bebas.
secara umum antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,
memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Secara khusus antioksidan
adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal
bebas (Moini, dkk, 2002). Senyawa dikatakan memiliki sifat antioksidatif bila
senyawa tersebut mampu mendonasikan satu atau lebih elektron kepada senyawa
peroksidan, kemudian mengubah senyawa oksidan menjadi senyawa yang stabil
(Soematmaji, 1998).
Tubuh manusia mempunyai sistem antioksidan yang diproduksi secara
kontinyu untuk menangkal atau meredam radikal bebas, seperti enzim superoksida
dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase. Bila jumlah senyawa radikal
bebas melebihi jumlah antioksidan alami dalam tubuh maka radikal bebas akan
menyerang komponen lipid, protein dan DNA. Sehingga tubuh kita membutuhkan
asupan antioksidan yang mampu melindungi tubuh dari serangan radikal bebas
tersebut (Putranti, 2013).
Senyawa fitokimia yang mengandung antioksidan dapat menekan stres
oksidatif dan menurunkan kadar glukosa darah (Otari, 2013). Flavanoid dan
fenolik memiliki aktivitas antioksidan (Gill dan Sharma, 2014). Stres oksidatif
dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti hipertensi, aterosklerosis, kanker,
dan Diabetes mellitus (Sudha, dkk., 2013).

125

2.5.1 Klasifikasi antioksidan
2.5.1.1 Berdasarkan asal terbentuknya
Berdasarkan asal terbentuknya, senyawa antioksidan dibagi menjadi dua,
yaitu;
1. antioksidan sintetik yaitu senyawa-senyawa fenol yang mampu memutus rantai
reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Misalnya: Butil Hidroksi
Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat (PG), tert-butil
hidroksi quinon (TBHQ) dan tokoferol
2. antioksidan alami berasal dari tumbuhan berupa senyawa fenolik atau
polifenolik dan golongan flavonoid (Gill dan Sharma, 2014; Kuncahyo dan
Sunardi, 2007).
2.5.1.2 Berdasarkan fungsinya
Berdasarkan fungsinya, senyawa antioksidan dibagi menjadi lima, yaitu:
1. primary antioxidants, yaitu senyawa-senyawa fenol yang mampu memutus
rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak, memberikan atom hidrogen
yang berasal dari gugus hidroksi senyawa fenol sehingga terbentuk senyawa yang
stabil. Contohnya; BHA, BHT, PG, TBHQ, dan tokoferol
2. oxygen scavengers, yaitu senyawa-senyawa yang berperan sebagai pengikat
oksigen yang berada dalam sistem sehingga jumlah oksigen akan berkurang.
Contohnya; vitamin C (asam askorbat), askorbilpalminat, asam eritorbat, dan
sulfit
3. secondary antioxidants, yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai kemampuan
untuk berdekomposisi hidroperoksida menjadi produk akhir yang stabil.
Contohnya, asam tiodipropionat dan dilauriltiopropionat

126

4. antioxidative enzime, yaitu enzim yang berperan mencegah terbantuknya
radikal bebas. Contohnya glukose oksidase, superoksidase dismutase (SOD),
glutation peroksidase, dan kalalase
5. chelators sequestrant, yaitu senyawa-senyawa yang mampu mengikat logam
seperti besi dan tembaga yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi lemak.
Contohnya; asam sitrat, asam amino, ethylenediaminetetra acetid acid (EDTA),
dan fosfolipid (Maulida dan Zulkarnaen, 2010).
Stres oksidatif adalah keadaan ketidakseimbangan antara peroksidan dan
antioksidan (Febrinda dkk., 2012). Beberapa penelitian membuktikan bahwa stres
oksidatif berperan dalam perkembangan DM (Ridwan, dkk., 2012; Tembhurne
dan Sakarkar, 2010). Keaadaan stres oksidatif dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain adalah kurangnya antioksidan atau kelebihan produksi radikal
bebas (Hairruddin dan Helianti, 2009).
Radikal bebas diproduksi secara fisiologis oleh sel sebagai konsekuensi
logis pada reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Namun, jika radikal bebas
berlebihan dan antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit, maka kelebihan radikal
bebas ini tidak dapat dinetralkan dan akan berakibat pada kerusakan sel itu sendiri
(Hairruddin dan Helianti, 2009). Kondisi stres oksidatif yang berakibat pada
kerusakan sel dapat menyebabkan terjadinya percepatan proses penuaan dan dapat
menimbulkan penyakit jantung, kanker, dan diabetes mellitus (Tembhurne dan
Sakarkar, 2010).
Antioksidan yang kuat dapat menginduksi LDL dan melindungi membran
lipid dari peroksidasi (Julyasih, dkk., 2009). Pemberian antioksidan dapat

127

menekan stres oksidatif sehingga menurunkan resiko DM tipe 2 dan mencegah
komplikasinya (Ridwan, dkk., 2012).
2.5.2 Metode uji aktivitas antioksidan
Metode pengujian aktivitas antioksidan dikelompokkan menjadi 3 golongan,
yaitu:
a. golongan pertama adalah Hydrogen Atom Transfer Methods (HAT), misalnya
Oxygen Radical Absorbance Capacity Method (ORAC) dan Lipid Peroxidation
Inhibition Capacity Assay (LPIC)
b. golongan kedua adalah Electron Transfer Methods (ET), misalnya Ferric
Reducing Antioxidant Power (FRAP) dan 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil
(DPPH) Free Radical Scravenging assay
c. golongan ketiga adalah metode lain seperti Total Oxidant Scavenging Capacity
(TOSC) dan Chemiluminescence (Putranti, 2013).
Salah satu metode yang paling umum digunakan untuk menguji aktivitas
antioksidan

adalah

dengan

menggunakan

radikal

bebas

1,1-diphenyl-2-

picrylhydrazil (DPPH). Pengukuran antioksidan dengan metode DPPH merupakan
metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat dan tidak membutuhkan
banyak reagen seperti halnya metode lain.
2.5.3 Metode DPPH
Aktivitas antioksidan diukur berdasarkan kemampuan untuk menangkap
radikal DPPH. Keberadaan antioksidan akan menetralisasi radikal DPPH dengan
menyumbangkan elektron kepada DPPH, menghasilkan perubahan warna dari
ungu menjadi kuning. Penghilangan warna akan sebanding dengan jumlah

128

elektron yang diambil oleh DPPH sehingga dapat diukur secara spektrofotometri
(Garcia, dkk., 2012).
Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji
dengan suatu radikal stabil. DPPH memberikan serapan kuat pada panjang
gelombang 517 nm dengan warna violet gelap. Penangkap radikal bebas
menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan
penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil
(Kuncahyo dan Sunardi, 2007).

2.6 Kolesterol
Kolesterol merupakan prekursor hormon steroid dan asam empedu yang
merupakan unsur pokok yang penting dalam membran sel. Hormon tiroid dan
estrogen menyebabkan kadar kolesterol plasma menurun dan meningkatkan
jumlah reseptor LDL di hati. Selain itu estrogen juga meningkatkan kadar HDL
plasma (Ganong, 2005).
2.6.1 Biosintesis kolesterol
Kolesterol disintesis di dalam hati, korteks adrenal, usus, kulit, dan aorta.
Sintesis berlangsung di sitosol dan mikrosom sel jaringan tersebut. Enzim yang
penting dalam sintesis kolesterol adalah HMG koA reduktase. Tahap-tahap
biosintesis kolesterol terdiri dari (1) Pembentukan mevalonat dari asetil koA, (2)
Pembentukan squalene dari mevalonat, dan (3) Perubahan dari squalene menjadi
lanosterol yang selanjutnya berubah menjadi kolesterol (Nurcahyaningtyas, 2012).
Urutan reaksi yang terjadi selama biosintesis kolesterol adalah sebagai berikut:

129

1. pembentukan asetil koA. Molekul asam asetat diaktifkan menjadi asetil koA
dengan menggunakan energi yang berasal dari ATP dan dikatalisis oleh enzim
asetil koA sintetase
2. dua molekul asetil koA berkondensasi membentuk asetoasetil koA. Enzim yang
bekerja di sini adalah tiolase
3. asetoasetil koA berkondensasi dengan molekul asetil koA membentuk HMG
koA. Enzim yang mengkatalisis adalah HMG koA sintetase. Proses ini
memerlukan air dan menghasilkan produk sampingan berupa koA-SH
4. HMG koA direduksi oleh reduktase dengan bantuan NADPH dan H. Hasilnya
akan terbentuk mevalonat
5. mevalonat mengalami 3 deretan reaksi yang menyangkut fosforilasi oleh 3 ATP
dan menghilangkan 1 atom karbon mevalonat. Terbentuk unit isoprenoid. Produk
sampingan berupa karbon dioksida dan air
6. dua unit isoprenoid berkondensasi membentuk geranil pirofosfat dengan 10
atom C
7. satu molekul isoprenoid berkondensasi lebih lanjut dengan geranil pirofosfat
untuk membentuk farnesil pirofosfat
8. dua molekul farnesil pirofosfat bergabung membentuk squalene dengan 30
atom C
9. penutupan cincin untuk membentuk lanosterol
10. lanosterol diubah menjadi 14-desmetil lanosterol (kehilangan gugus metil) →
zimosterol → desmosterol → kolesterol (Widya, 2011).

130

2.6.2 Transfor lipid dalam plasma
Lipoprotein adalah kompleks makromolekuler yang mentransportasi lipid
yang hidrofobik (trigliserida, kolesterol, dan vitamin larut dalam lemak) melalui
cairan tubuh (plasma, cairan interstisial, dan limfe) ke dan jaringan. Lipid darah
diangkut dengan dua cara yaitu jalur endogen dan jalur eksogen (Suyatna, 2007):
a. jalur eksogen
Trigliserida yang dikonsumsi dihidrolisis oleh lipase dalam lumen usus
dan diemulsikan dengan asam empedu. Kolesterol, asam lemak, vitamin larut
lemak diserap dalam usus kecil bagian peroksimal. Kemudian kolesterol
membentuk kilomikron. Kilomikron ini disekresikan ke dalam limfe intestinal dan
dialirkan melalui dukstus thoracic langsung ke sirkulasi sistemik yang akan
diproses oleh jaringan perifer sebelum mencapai hati.
Partikel kilomikron menyusut akibat inti hidrofobik terhidrolisis dan lipid
hidrofobik (kolesterol dan fosfolipid) dan apolipoprotein pada permukaan partikel
ditransfer ke HDL, menciptakan sisa-sisa kilomikron. Sisa kilomikron dengan
cepat dihilangkan dari peredaran sistemik oleh hati melalui proses. Proses ini
membutuhkan apo E sebagai ligan untuk reseptor di hati.
b. jalur endogen
Jalur endogen metabolisme hepatik mengacu pada sekresi apoB yang
mengandung lipoprotein dari hati dan metabolisme dari trigliserida dalam jaringan
perifer. Partikel VLDL menyerupai kilomikron dalam komposisi protein, tetapi
mengandung apoB-100 daripada apoB-48 dan memiliki rasio yang lebih tinggi
dari kolesterol trigliserida (1 mg kolesterol untuk setiap mg 5 dari trigliserida).

131

Trigliserida hati dengan komponen utama lainnya dari partikel VLDL baru
(apoB-100, ester kolesterol, fosfolipid, dan vitamin E) membutuhkan kerja dari
enzim mikrosomal trigliserida transfe (MTP). Setelah sekresi ke plasma, VLDL
memperoleh apoE dan apolipoproteins dari seri C oleh transfer dari HDL. Seperti
kilomikron, trigliserida dari VLDL yang dihidroisis oleh lipoprotein lipase (LPL),
terutama di otot, jantung, dan jaringan adiposa. Setelah sisa-sisa VLDL
memisahkan dari LPL, lalu disebut sebagai IDL.
Hati menghilangkan sekitar 40-60% dari IDL oleh reseptor LDL yang
dimediasi endositosis melalui ikatan dengan APOE. Sisa IDL direnovasi dengan
hepatik lipase (HL) untuk membentuk LDL. Selama proses ini, sebagian besar
trigliserida dalam partikel dihidrolisis, dan semua kecuali apolipoproteins apoB100 dipindahkan ke lipoprotein lain. Sekitar 705 LDL yang beredar dibersihkan
oleh reseptor LDL yang dimediasi endositosis dalam hati.
Semua sel berinti mensintesis kolesterol, tetapi hanya hepatosit dan
enterosit yang efektif mengeluarkan kolesterol dari tubuh, baik empedu maupun
lumen usus. Dalam hati, kolesterol disekresi ke empedu, baik secara langsung atau
setelah konversi ke asam empedu. Kolesterol dalam sel perifer diangkut dari
membran plasma pada sel perifer ke hati dan usus oleh proses yang disebut
kolesterol transport terbalik yang difasilitasi oleh HDL.
2.6.3 Klasifikasi kadar lipid dalam plasma
Klasifikasi kadar kolesterol total, LDL, HDL, dan Trigliserida dapat dilihat
pada Tabel 2.1.

132

Tabel 2.1 Klasifikasi kadar kolesterol total, LDL, HDL, dan Trigliserida
Kolesterol total (mg/dL)

Keterangan

< 200

Diinginkan

200-239

Cukup tinggi

≥ 240

Tinggi

Kolesterol LDL
< 100

Optimal

100-129

Jauh atau di atas optimal

130-159

Cukup tinggi

160-189

Tinggi

≥ 189

Sangat tinggi

Kolesterol HDL
< 40

Rendah

≥ 60

Tinggi

Trigliserida
< 50

Normal

50-199

Cukup tinggi

200-499

Tinggi

≥ 500

Sangat tinggi

Sumber: Adam, 2007
2.6.4 Hiperlipidemia
Hiperlipidemia atau disebut juga hyperlipoproteinemia didefinisikan
sebagai tingginya kadar lemak (kolesterol, trigliserida atau kedua-duanya) dalam
darah. Lemak adalah zat kaya energi yang berfungsi sebagai sumber energi utama
untuk proses metabolisme tubuh.
Kolesterol dan trigliserida adalah lemak utama dalam darah. Lemak dalam
darah berikatan dengan protein tertentu sehingga dapat mengikuti aliran darah.
Lemak yang berikatan dengan protein disebut lipoprotein. Lipoprotein yang utama

133

adalah Kilomikron, VLDL (very low density lipoproteins), LDL (low density
lipoproteins), dan HDL (high density lipoproteins) (Dog dan Riley, 2003).
Sedangkan dislipidemia adalah terjadinya kelainan metabolisme lipid, baik
peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid
yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, Lipoprotein,
kenaikan kadar trigliserida serta penurunan kadar HDL.
2.6.5 Terapi hiperlipidemia
a. penghambat HMG CoA reduktase (statin)
Statin merupakan obat pilihan pertama untuk hiperkolesterolemia. Obat ini
efektif dalam menurunkan kolesterol total dan LDL (Hasan, 2013). Obat golongan
ini dapat menurunkan LDL sampai 55% dan trigliserida sampai 30% (DHHS,
2001).
Statin bekerja dengan cara menghambat sintesis kolesterol dalam hati
dengan menghambat enzim HMG KoA reduktase yaitu enzim yang mengontrol
sintesis kolesterol. Akibat penurunan sintesis kolesterol ini, maka SREBP (Sterol
Regulatory element binding protein) yang terikat pada membran dipecah oleh
protease dan dipindahkan ke nukleus. Faktor transkripsi kemudian akan berikatan
dengan gen reseptor LDL, meningkatkan transkripsi, dan akhirnya meningkatkan
sintesis reseptor LDL. Peningkatan jumlah reseptor LDL pada membran sel
hepatosit akan menurunkan kadar kolesterol darah (Suyatna, 2008).
Golongan statin merupakan obat dislipidemia yang paling sering
diresepkan karena mempunyai efikasi dan keamanan yang paling baik dibanding
obat dislipidemia golongan lain. Atorvastatin dan rosuvastatin merupakan obat
golongan statin yang paling kuat dalam menurunkan kadar LDL darah, sedangkan

134

pitavastatin adalah generasi baru dari golongan statin dan memiliki aksi yang
kuat, memiliki efek pleitropik dan mencegah aterosklerosis, lebih murah dan lebih
aman dibandingkan obat-obat yang termasuk golongan statin (Anonim, 2012).
b. resin
Obat golongan ini merupakan resin penukar ion yang bersifat basa, yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap asam empedu. Obat golongan ini akan
mengikat asam empedu membentuk senyawa yang tidak larut dan tidak dapat
direabsorbsi kemudian diekskresi melalui feses. Dengan demikian ekskresi asam
empedu dapat ditingkatkan hampir 10 kalinya. Kekurangan asam empedu
menyebabkan kolesterol mensintesis kembali asam empedu (yang terdapat dalam
LDL), dengan demikian kadar LDL plasma menjadi turun (Adam, 2006).
c. asam fibrat
Termasuk golongan ini adalah fibrat, klofibrat, bezafibrat dan gemfibrozil
yang menurunkan kadar trigliserida darah. Obat golongan ini merupakan obat lini
pertama untuk pasien dengan kadar trigliserida tinggi (Hasan, 2013) dan
merupakan lini ke dua pada pasien baru dengan gangguan lipid. Obat ini bekerja
dengan cara memacu aktivitas lipase lipoprotein, sehingga menghidrolisis
trigliserida pada kilomikron dan VLDL darah (Slamet, dkk., 2011).
d. asam nikotinat (niacin)
Niacin adalah vitamin yang berperan penting dalam metabolisme
karbohidrat. Dalam dosis tinggi menurunkan kadar plasma LDL dan VLDL,
menghambat metabolisme lemak, dan menstimulasi lipoprotein lipase, akibatnya
terjadi peningkatan penguraian trigliserida (TG). Efek menurunkan lipid tercapai

135

setelah 3-5 hari pengobatan dan biasanya dikombinasi dengan golongan statin
untuk meningkatkan kerjanya dalam menurunkan LDL (Dog dan Riley, 2003).

e. Probukol
Prabukol selain menurunkan kadar LDL juga menurunkan kadar HDL,
mempunyai sifat antioksidan yang penting dalam menghambat aterosklerosis.
Obat bekerja dengan cara menghambat oksidasi kolesterol, sehingga terjadi
penguraian LDL-kolesterol yang teroksidasi oleh makrofag. Makrofag yang
dimuati oleh kolesterol, menjadi sel busa yang menempel pada vaskular dan
merupakan dasar pembentukan plak pada aterosklerosis. Dengan demikian,
pencegahan oksidasi kolesterol akan menghambat perkembangan aterosklerosis
(Nurcahyaningtyas, 2012).
f. Bile acid sequestrants
Obat golongan ini bekerja dengan cara

mengikat asam empedu dan

kolesterol di usus dan diekskresi melalui feses, memacu sintesis asam empedu
dari kolesterol hepar. Obat ini tidak di absorbsi, maka menimbulkan efek samping
obat yang berkaitan dengan gastrointestinal seperti mual, muntah, dan konstipasi,
flatulen yang akan hilang setelah obat diberikan kontinyu (Suyatna, 2007).
Obat golongan statin merupakan obat lini pertama untuk terapi
hiperlipidemia dengan kadar LDL yang tinggi, golongan fibrat merupakan obat
lini pertama untuk hiperlipidemia dengan kadar trigliserida yang tinggi, bile acid
sequestrants adalah lini kedua untuk kadar LDL yang tinggi, asam nikotinat
(niacin) adalah golongan obat lini kedua untuk semua dislipidemia. Ezetimibe dan

136

colecevelam adalah obat lini kedua untuk mengurangi absorpsi kolesterol dari
gastrointestinal (Hasan, 2013). Obat-obat yang mempengaruhi metabolisme
lipoprotein, efek samping dan kontraindikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Obat-obat yang mempengaruhi metabolisme lipoprotein, efek samping
dan kontraindikasinya
Golongan
Obat

Contoh obat dan
dosis

1

2

HMG
CoA
reduktase
inhibitor
(statin)

Lovastatin (2080mg)
Pravastatin (2040mg)
Simvastatin (2080mg)
Fluvastatin (2080mg)
Atorvastatin
(10-80mg)
Cerivastatin
(0,4-0,8mg)

Efek pada
lipid/lipoprotei
n
3
LDL turun 1855%
HDL naik 515%
TG turun 730%

Bile acid Kolestiramin (4- LDL turun 1530%
sequestren 16g)
Kolestipol (5- HDL naik 320g)
5%
Kolesevelam
(2,6-3,8g)

Asam
nikotinat

Immediate
release
(crystalline)
nicotinic acid
(1.5-3 gm),

LDL turun 525%
HDL naik 1535%
TG turun 20137

Efek
samping

kontraindikasi

4

5

Myopati,
Absolut:
meningkatk penyakit hati
an
enzim kronik
hati
Relatif:
penggunaan
obat bersama
obat
ciclosporin,
antibiotik
makrolida,
obat-obat
antifungi, dan
inhibitor
cytocrom P450 (fibrat dan
niacin
harus
hati-hati)
Gangguan
Absolut:
gastrointesti dysbetanal,
lipoproteinemi
konstipasi,
a,
menurunkan TG>400mg/dL
absorpsi
obat lain
Relatif:
TG>200mg/dL
absolut:
Flushing,
hiperglycem penyakit hati
ia,
kronik
dan
hiperuricem gout
yang
ia
(gout), parah

50%
hepatotoksi
extended
k,
relatif:
release nicotinic
diabetes,
acid
hiperuricemia,
(Niaspan®) (1-2
g),
peptic
ulcer
disease
sustained
release
nicotinic
acid
(1-2 g)
Asam
Gemfibrozil
LDL turun 5- Dyspepsia,
Absolut:
(600mg, 2 kali 20%
fibrat
myopati,
penyakit ginjal
sehari)
dan hati yang
HDL naik 10- batu
Fenofibrat
parah
empedu
20%
(200mg)
TG turun 20Klofibrat
50%
(1000mg, 2 kali
sehari)
Sumber: Department of Health and Human Services (DHHS). (2001). ATP III
Guidelines At-A-Glance Quick Desk Reference.
2.6.6 Metode pengukuran lipid plasma
Kolesterol total dapat diukur dengan metode kolorimetri modifikasi Abell
yang dikembangkan oleh Lipid Standardisation Laboratory of the Centers for
Disease Control and Prevention. Tahapan dalam metode ini adalah (1) Hidrolisis
alkali kolesterol ester dan pelarut ekstraksi yang digunakan bebas kolesterol; (2)
Evaporasi pelarut ekstrak; (3) Kolesterol yang terekstraksi direaksikan dengan
asam sulfurat dan asetat anhidrat di dalam asam asetat (reaksi LiebermanBurchard) sampai terbentuk warna biru-hijau dan diukur dengan spektrofotometer
UV-VIS pada panjang gelombang 620 nm (Nurcahyaningtyas, 2012).
Metode lain untuk mengukur kolesterol total adalah metode kolorimetri
enzimatik yang semua reaktannya dikombinasikan di dalam reagen tunggal.
Rangkaian reaksi tersebut adalah (1) Kompleks lipoprotein diganggu dengan
menghidrolisis kolesterol ester oleh aksi detergen, lipase, dan kolesterol esterase;
(2) oksidasi kolesterol bebas menjadi 4-kolestenon oleh kolesterol oksidase dan

138

hidogen peroksida sebagai produksi stoikiometri; (3) Kopling 4-aminofenazon
dan fenol (atau analog komponen ini dioksidasi oleh hidrogen peroksida yang
dikatalisis oleh peroksidase menjadi bentuk kuinominim yang dapat diukur secara
fotometri dengan panjang gelombang 500 nm (Nurcahyaningtyas, 2012).

2.7 Nano material dan nano teknologi
Nano material merupakan material yang berukuran nano. Nano adalah
simbol untuk menyatakan satu milyar. Nano meter adalah satu per satu milyar dari
meter. Penggunaan nano material dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang,
seperti: bidang kesehatan, bioteknologi, peralatan elektronik, kimia, pertanian dan
industri obat dan makanan. Teknologi nano material adalah memanipulasi
material sampai ukuran yang sangat kecil sehingga material menjadi lebih efektif
dan efisien dalam penggunaannya. Produk yang dihasilkan dalam skala nano
meter dikenal dengan istilah nanomaterial (Fernandez, 2011).
Nano teknologi adalah teknologi yang mampu menyiapkan bahan aktif
obat dalam partikel dengan ukuran nano seperjut

Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

10 148 117

Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia sp.) pada Tikus Putih yang Diinduksi Parasetamol

9 73 100

Aktivitas hepatoprotektor ekstrak metanol daun kari (Murraya koenigii .L.) pada tikus putih Sprague dawley

1 7 84

UJI AKTIVITAS ANTIDIABETES EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Eugenia polyantha) TERHADAP TIKUS Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Daun Salam (Eugenia polyantha) terhadap tikus galur wistar yang diinduksi aloksan.

0 1 12

Uji Aktivitas Hipoglikemik Nano partikel Daun Temuru dan Ekstrak Etanol Daun Temuru (Murraya koenigii (L) Spreng) Terhadap Tikus Putih yang Diinduksi Aloksan Serta Aktivitas Antioksidannya

0 2 19

Uji Aktivitas Hipoglikemik Nano partikel Daun Temuru dan Ekstrak Etanol Daun Temuru (Murraya koenigii (L) Spreng) Terhadap Tikus Putih yang Diinduksi Aloksan Serta Aktivitas Antioksidannya

0 1 2

Uji Aktivitas Hipoglikemik Nano partikel Daun Temuru dan Ekstrak Etanol Daun Temuru (Murraya koenigii (L) Spreng) Terhadap Tikus Putih yang Diinduksi Aloksan Serta Aktivitas Antioksidannya

1 2 13

Uji Aktivitas Hipoglikemik Nano partikel Daun Temuru dan Ekstrak Etanol Daun Temuru (Murraya koenigii (L) Spreng) Terhadap Tikus Putih yang Diinduksi Aloksan Serta Aktivitas Antioksidannya

0 3 10

Uji Aktivitas Hipoglikemik Nano partikel Daun Temuru dan Ekstrak Etanol Daun Temuru (Murraya koenigii (L) Spreng) Terhadap Tikus Putih yang Diinduksi Aloksan Serta Aktivitas Antioksidannya

0 1 46

Efek Ekstrak Daun Kare Murraya koenigii

1 1 11