modifikasi perilaku dengan self-control strategies untuk menurunkan tingkat Kecanduan Online Role Playing Game

BAB II
LANDASAN TEORI

A. KECANDUAN ONLINE ROLE-PLAYING GAME
1. Definisi Online Role-Playing Game
Istilah lain dari online role playing game adalah Massively Multiplayer
Online Role Playing Game (MMORPG). Young & Abreu (2011) mendefinisikan
online role playing game adalah sebuah permainan internet dimana para pemain

memainkan peran tokoh-tokoh khayalan, beberapa ribu pemain dari seluruh dunia
dapat bermain pada waktu yang bersamaan. Seorang pemain dapat mengontrol
karakternya

sendiri,

dan

mereka

harus


melaksanakan

berbagai

tugas,

menunjukkan kemampuan, serta berinteraksi dengan karakter pemain lainnya.
Para pemain memilih aksi tokoh-tokoh mereka berdasarkan karakteristik tokoh
tersebut dan keberhasilan aksi mereka tergantung dari sistem peraturan permainan
yang telah ditentukan.
Seorang pemain dapat menampilkan berbagai aktivitas, dimana karakter
mereka dapat membangun interaksi dengan pemain lainnya dengan cara positif
(berbincang-bincang) dan cara negatif (agresi). Permainan Online Role Playing
Game mempunyai daya tarik karena permainan ini mengajak para pemain untuk

menggunakan imajinasi mereka dan biasanya lebih mengarah ke kolaborasi sosial
dari pada kompetisi dengan pemain lainnya. Hal ini membuat Online Role Playing
Game berbeda dari bentuk game komputer terdahulu, dan juga

13


menjadi

pertimbangan individu dalam memilih permainan ini, karena permainan ini dapat
membentuk lingkungan baru (Young dan Abreu, 2011).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Online Role Playing
Game adalah sebuah permainan internet dimana para pemain memainkan peran

tokoh-tokoh khayalan, dimana beberapa ribu pemain dari seluruh dunia dapat
bermain pada waktu yang bersamaan. Seorang pemain dapat mengontrol
karakternya sendiri, dimana mereka harus melaksanakan berbagai tugas,
menunjukkan kemampuan dan berinteraksi dengan karakter pemain lainnya.

2. Definisi Kecanduan Online Role-Playing Game
Kecanduan didefenisikan sebagai suatu keinginan yang intens dan
berlebihan (kompulsif) akan sesuatu atau perilaku tertentu disertai dengan
ketidakmampuan

untuk


mengontrol

diri

(Griffiths,

2004).

Kecanduan

didefinisikan sebagai suatu perilaku tidak sehat dan merugikan diri sendiri yang
berlangsung terus menerus yang sulit diakhiri individu yang bersangkutan (Yee,
2002). Mark (2004) juga menyatakan bahwa kecanduan merupakan perilaku
ketergantungan baik secara fisik maupun psikologis dalam sutau aktivitas.
Menurut Yee (2002), ada dua jenis kecanduan yaitu kecanduan fisik (kecanduan
terhadap alkohol atau kokain) dan kecanduan non fisik (kecanduan terhadap game
online).

14


Griffiths (2005) juga menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan
aspek perilaku yang kompulsif, adanya ketergantungan, dan kurangnya kontrol.
Ferris (1997) mengungkapkan bahwa kecanduan internet merupakan suatu
gangguan psikofisiologis yang meliputi tolerance (penggunaan dalam jumlah
yang sama akan menimbulkan respon minimal, jumlah harus ditambah agar dapat
membangkitkan kesenangan dalam jumlah yang sama), whithdrawal symptom
(khususnya menimbulkan termor, kecemasan, dan perubahan mood), gangguan
afeksi (depresi, sulit menyesuaikan diri), dan terganggungnya kehidupan sosial
(menurun atau hilang sama sekali, baik dari segi kualitas maupun kuantitas).
Kecanduan internet diartikan Young & Abreu (2011) sebagai sebuah
sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak
dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat
online. Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan merasa cemas, depresi,

atau hampa saat tidak online di internet.
Subrahmanyam & Smahel (2010) mengungkapkan bentuk-bentuk aplikasi
internet yang banyak mengandung aspek penggunaan internet yang berlebihan
bagi pengguna remaja, yaitu online gaming, online relationship communication,
virtual sexual behavior (cybersexual), dan online gambling. Dalam penelitian ini


hanya akan dibahas salah satu bentuk kecanduan internet yaitu online gaming.
Online gaming merupakan pusat dimana orang-orang muda berkumpul.

15

Salah satu jenis game online yang berpotensi besar mengarahkan pada
kecanduan adalah Online Role Playing Game atau Massively Multplayer Online
Role Palying Game (Griffiths, 2005). Permaianan Massively Multplayer Online
Role Palying Game ini sangat kompleks dimana para pemain dapat membentuk

karakternya sendiri, berkomunikasi dan bekerja sama dengan pemain lainnya,
serta jenis permainan yang tidak pernah akan berakhir. Hal ini membuat pemain
menjadi ketergantungan dan merasa ingin terus melanjutkan permainannya.
Remaja yang mengalami kecanduan bermain game pada umumnya menghabiskan
waktunya untuk bermain rata-rata 23 jam per minggu atau 4 jam sehari.
Online Role Playing Game merupakan salah satu bentuk Internet
addiction yang peningkatannya sangat tinggi, khususnya pada anak-anak dan

remaja. Padwa dan Cunningham (2009) mendefinisikan kecanduan Online Role
Playing Game adalah situasi dimana orang-orang mengunakan internet secara


berlebihan, untuk mengekspresikan diri mereka dalam cara-cara yang tidak
mungkin mereka lakukan dalam kehidupan nyata dan kepuasan yang mereka
dapatkan dari bentuk interaksi di dalam dunia virtual game. Griffiths (2005)
menyatakan bahwa kecanduan teknologi merupakan bagian dari perilaku
kecanduan yang mana meliputi interaksi yang berlebih antara manusia dan mesin.
Bentuk kecanduan teknologi ini dapat bersifat pasif (seperti televisi) atau aktif
(seperti permainan game) yang mana selalu membentuk dan berkontribusi dalam
membentuk seseorang kecanduan.

16

Young & Abreu (2011) menyatakan kecanduan Online Role Playing Game
adalah jenis permainan yang menimbulkan bentuk kecanduan, karena permainan
ini tidak pernah akan berakhir, hal ini disebabkan karena setiap sesinya memiliki
tugas dan tujuan yang tidak pernah berakhir, faktor game yang menyediakan
peran yang kompleks dan mempengaruhi banyak faktor kehidupan nyata (aktivitas
sehari-hari, dll), yang pada akhirnya para pemain secara terus menerus tetap aktif
bermain game, mereka selalu menghabiskan jumlah waktu yang lama dan energi
(dan terkadang uang), selain itu mereka juga tidak mampu berhenti bermain, dan

menganggu kehidupan sosialnya (kurang teman dalam kehidupan nyata), dimana
waktu para pemain terlibat dalam dunia nyata semakin berkurang.
Selain itu, permainan ini mempunyai arena-arena bermain yang bersifat
persistent (tetap ada meskipun pemain-pemainnya tidak selalu ikut bermain dan
real time (waktu berlalu terus), dimana hal ini menunjukkan ke arah kecanduan

(Clark & Scott, 2009). Pemain yang tidak bermain dalam waktu yang cukup lama,
mereka akan datang untuk bermain lagi, yang pada akhirnya mereka akan
kehilangan kontrol dalam bermain.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Kecanduan
Online Role Playing Game merupakan salah satu bentuk kecanduan internet yang

peningkatannya sangat tinggi, kecanduan online game membuat orang-orang
mengunakan internet secara berlebihan, untuk mengekspresikan diri mereka
dalam cara-cara yang tidak mungkin mereka lakukan dalam kehidupan nyata dan
kepuasan yang mereka dapatkan dari bentuk interaksi di dalam dunia virtual
game, dan kesenangan dalam bermain karena memberi rasa kepuasan sendiri,

17


sehingga ada perasaan untuk mengulang lagi kegiatan yang menyenangkan ketika
bermain online game. Kecanduan permainan ini dapat digolongkan dalam
beberapa kategori yakni : (1) kegagalan yang berulang-ulang dalam mengontrol
suatu perilaku (ketidakmampuan untuk mengontrol), (2) berlanjutnya suatu
perilaku yang berulang-ulang dan menimbulkan dampak yang negatif.

3. Tingkat Kecanduan Internet
Young (1996) membagi kecanduan internet dalam 3 tingkatan, yaitu :
a. Mild. Pada tingkatan ini individu termasuk dalam pengguna online rata-rata.
Individu menggunakan internet dalam waktu yang lama (lebih dari 4
jam/hari), tetapi individu memiliki kontrol dalam penggunaannya.
b. Moderate. Pada tingkat ini individu mulai sering mengalami beberapa
permasalahan dari penggunaan internet. Internet merupakan hal yang penting,
namun tidak selalu menjadi yang utama dalam kehidupan.
c. Severe. Pada tingkatan ini individu mengalami permasalahan yang signifikan
dalam kehidupan mereka. Internet merupakan hal yang paling utama
dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan yang lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 3
tingkatan intternet addiction, yaitu mild, moderate, dan severe.


18

4. Dimensi Kecanduan Online Role-Playing Game
Pengguna internet dapat dinyatakan kecanduan, bila pengguna memenuhi
semua dimensi yang ada. Dimensi yang biasanya digunakan berasal dari
perkembangan pertanyaan dari identifikasi internet addiction , dimana hal ini juga
valid untuk bentuk kecanduan Online Role Playing Game (Young & Abreu,
2011). Griffiths (2005) telah mencantumkan enam dimensi untuk menentukan
apakah individu sudah digolongkan sebagai pecandu internet. Dimensi tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Salience (sesuatu yang penting). Hal ini terjadi ketika penggunaan internet
menjadi aktivitas yang paling penting dalam kehidupan individu,
mendominasi pikiran individu (pre-okupasi atau gangguan kognitif),
perasaan (merasa sangat butuh), dan tingkah laku (kemunduran dalam
perilaku sosial).
2. Mood modification (perubahan suasana hati). Keterlibatan yang tinggi saat
menggunakan internet. Dimana terdapat perasaan senang dan tenang
(seperti menghilangkan stress) saat perilaku kecanduan itu muncul.
3. Tolerance (toleransi). Merupakan proses dimana terjadinya peningkatan
jumlah penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari

mood. Demi mencapai kepuasan, jumlah penggunaan internet meningkat
secara mencolok. Kepuasaan yang diperoleh dalam menggunakan internet
secara terus menerus dalam jumlah waktu yang sama akan menurun secara
mencolok, dan untuk memperoleh pengaruh yang sama kuatnya seperti
sebelumnya, maka individu secara berangsur-angsur harus meningkatkan

19

jumlah pemakaian agar tidak terjadi toleransi, contohnya pemain tidak
akan mendapatkan perasaan kegembiraan yang sama seperti jumlah waktu
pertama bermain sebelum mencapai waktu yang lama.
4. Withdrawal symptoms (penarikkan diri). Merupakan perasaan tidak
menyenangkan yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau
tidak dilanjutkan dan hal ini berpengaruh pada fisik seseorang, perasaan
dan efek antara perasaan dan fisik (seperti, pusing, insomnia) atau
psikologisnya (misalnya, mudah marah atau moodiness).
5. Conflict (konflik). Hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara
pengguna internet dengan lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal),
konflik dalam tugas lainnya (pekerjaan, tugas, kehidupan sosial, hobi) atau
konflik yang terjadi dalam dirinya sendiri (konflik intrafisik atau merasa

kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak menghabiskan
waktu bermain internet.
6. Relapse (kambuh kembali). Hal ini terjadi ketika individu kembali
bermain internet, saat individu tersebut belum sembuh dari perilaku
kecanduannya.
Jadi ada enam dimensi kecanduan Online Role Playing Game yang dapat
menyatakan pemain game mengalami kecanduan, bila pengguna memenuhi semua
dimensi yang ada yaitu sesuatu yang penting, perubahan suasana hati, toleransi,
penarikkan diri, konflik dam kambuh kembali.

20

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecanduan Online Role-Playing
Game

Faktor-faktor yang mempengaruhi Online Role Playing Game (Young &
Abreu, 2011) diantaranya :
1. Faktor kecanduan di tinjau dari Game
a. Permainan jenis online role playing game terdiri dari beberapa bentuk
kompentisi, komunikasi sosial secara online dan sistem tugas, reward, dan
feedback, sehingga membuat para game aktif memainkan game tersebut.

b. Game merupakan tempat dimana para pemain mungkin bisa mengurangi
rasa bosannya terhadap kehidupan nyata.
c. Permainan online role playing game merupakan bagian dari dimensi
sosial, yang mana menghilangkan streotype rasa kesepian, kecemasan
sosial bagi pemain yang kecanduan. Remaja memiliki kecenderungan yang
tinggi untuk lebih menyukai virtual group, yang mana hal ini juga
berhubungan dengan tingginya kecenderungan mengalami kecanduan.
2. Faktor kecanduan di tinjau dari sisi pemain
Kecanduan Online Role Playing Game atau Massively Multiplayer Online
Role Playing Game tidak hanya menekankan pada propertis game itu sendiri dan

virtual yang nyata, tetapi lebih kepada para pemain. Faktor-faktor psikologi
tersebut antara lain :
a. Rendahnya self esteem dan self efficacy

Fakor rendahnya self-esteem secara krusial membentuk kecanduan, hal ini
ditunjukkan dari beberapa penelitian yang menunjukkan pengaruhnya

21

secara langsung. Perbedaan persepsi pemain terhadap dirinya, ideal self,
dan karakter game. Hasilnya menunjukkan bahwa penerimaan diri yang
salah dari pada karakter game, dan penerimaan karakter game yang salah
pada ideal self mereka. Perbedaan ini menunjukkan peningkatan pada
tingkat depresi dan tingkat self esteem pada umumnya. Pemain dengan
self-esteem yang tinggi, maka rendah ketidaksesuaian antara pandangan

terhadap dirinya sendiri dan karakter game, sebaliknya tingginya
ketidaksesuaian menunjukkan rendahnya self-esteem pada pemain. Ideal
self juga menunjukkan hal yang sama. Maksudnya pemain yang lebih

depresi dan pemain yang self esteem-nya rendah akan memandang
karakter game adalah yang ideal dan mungkin akan mengalami
kecenderungan melakukan keputusan atau menyelesaikan masalah sesuai
yang diterima di dalam game dan mengalami kecenderungan untuk
bertahan di dalam game (Smahel dalam Young & Abreu, 2011).
b. Lingkungan virtual di dalam online game menunjukkan rendahnya selfcontrol

pemain,

yang

menunjukkan

kesadaran

pemain

dalam

mengekspresikan dirinya (Griffiths, 1998). Pemain role-playing game
sering bermimpi mengenai game, karakter mereka dan berbagai situasi.
Fantasi di dalam game dan kejadian-kejadian yang ada pada game menjadi
salah satu pertimbangan bagi pemain, yang mana hal ini membawa pemain
untuk melihat permainan itu kembali. Pemain menyatakan dirinya
termotivasi bermain karena bermain game itu menyenangkan, memberi
kesempatan untuk bereksperimen, dan lain-lain, tetapi sebenarnya tanpa

22

sadar mereka termotivasi, karena bermain game memberikan kesempatan
mengekspresikan diri dan mengimbangi hal-hal lain yang kurang dalam
hidup mereka di dunia nyata.
Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan bahwa seseorang akan
mengalami kecanduan tidak hanya dari bentuk permainan yang membentuk
pemain merasa aman dan nyaman, tetapi juga dipengaruhi oleh pemain itu sendiri.

B. Remaja dan Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)
1. Pengertian Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan yang ditandai dengan perubahanperubahan pada diri individu, baik secara psikologis, fisiologis, seksual dan
kogntif serta adanya berbagai tuntutan dari masyarakat dan perubahan sosial yang
menyertai mereka untuk menjadi dewasa yang mandiri. Masa remaja dimulai pada
transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang disertai banyak perubahan
baik fisik, kognitif maupun sosial (Papalia, Old, & Feldman, 2008).
Menurut Monks (2001), batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai
21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu remaja
awal (12-15 tahun), remaja madya (15-18 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun).
Pada tahap remaja awal (12-15 tahun), remaja masih merasa bingung dan mulai
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan
dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Menurut
Hurlock (2004), individu yang memasuki masa remaja awal banyak mengalami
perubahan-perubahan, baik itu secara fisik maupun psikologis. Remaja awal

23

secara psikologis banyak mengalami perubahan dalam hal nilai-nilai, sikap, dan
perilaku serta cenderung dianggap belum matang dibanding dengan remaja akhir.
Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja
awal adalah seorang individu yang berusia 12-15 tahun yang mengalami
perubahan fisik maupun psikologis dan cenderung dianggap belum matang.

2. Pengertian siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah individu yang sedang
menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut Sulaeman
(1995), siswa SMP secara kronologis berusia antara 12-15 tahun. Batasan usia
remaja menurut Monks (2001) adalah antara 12-21 tahun, dengan perincian 12-15
tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja
pertengahan, 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir.
Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batasbatas usia remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak
dapat menjelaskan secara pasti mengenai batasan usia remaja karena masa remaja
adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat
dibagi dalam dua periode yaitu: pertama, periode masa puber usia 12-18 tahun,
dalam tahap ini anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi, anak mulai
bersikap kritis. mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya,
memperhatikan penampilan, plin-plan, suka berkelompok dengan teman sebaya
dan senasib. Kedua, periode remaja adolesen usia 19-21 tahun, dalam tahap ini
perhatian anak tertutup pada hal-hal realistis, mulai menyadari akan realitas,

24

sikapnya mulai jelas tentang hidup, dan mulai nampak bakat dan minatnya (Putri
& Hadi, 2005). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa siswa SMP berada pada
tahap perkembangan remaja awal yang berusia 12-15 tahun.

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Mubin dan
Cahyadi, 2006), adalah sebagai berikut:
a. Menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya, baik
sesama jenis maupun lain jenis kelamin.
b. Menerima keadaan fisiknya, dan menerima peranannya sebagai pria atau
wanita.
c. Menginginkan dapat berperilaku yang diterima oleh sosial.
d. Mengakui tata nilai dan sistem etika yang membimbing segala tindakan
dan pandangan.

C. Modifikasi Perilaku
Modifikasi perilaku adalah aplikasi yang sistematis dari teknik dan prinsipprinsip belajar untuk memperbaiki perilaku manusia dengan mengurangi yang
tidak diinginkan dan meningkatkan perilaku yang diinginkan (Martin & Pear,
2003). Karakteristik terpenting dalam modifikasi perilaku adalah penggunaan data
untuk menentukan apakah perilaku individu telah mengalami peningkatan atau
tidak melalui program modifikasi perilaku. Data-data yang diperlukan diperoleh
melalui prosedur pengukuran perilaku. Perilaku yang hendak ditingkatkan atau

25

dikurangi melalui program modifikasi perilaku disebut target perilaku (Martin &
Pear, 2003).
Martin dan Pear (2003) mengungkapkan bahwa keberhasilan program
modifikasi perilaku secara khusus melibatkan empat tahapan selama target
perilaku diidentifikasi, didefenisikan dan dicatat, yaitu :
1. Tahap screening, yaitu tahap pengambilan data yang bertujuan memperjelas
permasalahan yang ada dan menentukan siapa yang berwenang untuk
menangani.
2. Tahap baseline, yaitu tahap pengukuran sebelum memulai program. Pada
tahap ini, dilakukan pengukuran terhadap target perilaku untuk menentukan
prioritas dari program yang akan dijalankan dan menganalisis lingkungan
individu saat ini untuk mengidentifikasi hal-hal yang dapat dikendalikan dari
perilaku yang ada untuk dapat diubah. Pengambilan baseline dapat dilakukan
selama beberapa hari sampai mendapatkan hasil yang konsisten.
3. Tahap pelaksanaan, yang membutuhkan observasi secara berulang dan
pemantauan terhadap perilaku yang dituju selama pelaksanaan program.
4. Tahap tindak lanjut, yaitu tahap untuk menentukan perubahan yang telah
dicapai selama pelaksanaan program yang dapat bertahan setelah progam
dianggap selesai.
Metode modifikasi perilaku yang akan digunakan oleh peneliti adalah self
control strategies untuk menurunkan tingkat kecanduan online role playing game .

26

D. Self-Control Strategies
1. Pengertian Self-Control Strategies
Martin & Pear (2003) menyatakan self-control strategis adalah salah satu
teknik dari modifikasi perilaku yang berdasarkan teori Skinner. Teori yang
melakukan identifikasi terhadap antecedent stimulus, a behavior, dan juga
consequence. Pola ini bertujuan untuk membantu terapis dalam menganalisa

masalah perilaku yang tidak dapat dikontrol oleh individu dan juga membantu
terapis dan klien untuk menemukan teknik yang tepat dalam mengontrol masalah
perilaku tersebut.
Pengertian ini sejalan dengan Miltermberger (2004) yang menghubungkan
adanya keterkaitan yang sama antara stimulus control dengan self-control
strategies. Prinsip dasar dalam stimulus control ini didasarkan pada perilaku yang

tampak berada pada kekuatan stimulus control sehingga menjelaskan bahwa
peningkatan perilaku dipengaruhi oleh stimulus control yanag diikuti oleh
hadirnya antecedent stimulus.
Kazdin (2001) mengatakan bahwa secara umum defenisi dari self control
lebih kepada perilaku yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai hasil dari
self-selected. Kebanyakan orang menggunakan pertahanan kontrol untuk perilaku

mereka setiap hari, seperti menseleksi cara berperilaku, menghindari abstinence
yang berlebihan, dan taat pada berbagai macam latihan sebagai harapan perubahan
kesehatan yang lebih baik. Pada pengontrolan perilaku, kebanyakan orang
menggunakan berbagai teknik untuk mengontrol perilaku lainnya, dan setelah itu
merubah kondisi antecedent dan consequence.

27

Didalam modifikasi perilaku teknik self control adalah intervensi yang
mana individu sebagai bagian aktif didalam administrasi atau pelaksanaan
intervensi perubahan perilaku. Self control selalu mengatur perilaku yang
memiliki masalah dalam konsekuensi, konsekuensi yang positif akan diperkuat
dan konsekuensi yang negatif akan diperlambat. Didalam konteks intervensi
perilaku, prosedur self control mengutamakan perilaku yang memiliki
konsekuensi positif untuk terus dipertahankan dan memperlambat konsekuensi
yang tidak diinginkan (Kazdin, 2001).
Harlock (1999) menyatakan kontrol diri berkaitan dengan bagaimana
individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya. Kazdin
(2001) menambahkan bahwa kontrol diri diperlukan guna membantu individu
dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan membantu mengatasi berbagai
hal merugikan yang dimungkinkan berasal dari luar.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa self control strategies
adalah strategi yang diawali dengan mengidentifikasi antecedent stimulus, a
behavior, dan juga consequence. Hal ini bertujuan untuk membantu individu

mengontrol perilaku mereka setiap hari seperti menseleksi cara berperilaku,
menghindari abstinence yang berlebihan dan taat pada berbagai macam latihan
sebagai harapan perubahan kesehatan yang lebih baik.

28

2. Prosedur dalam Self-Control Strategies
Martin & Pear (2003) menggunakan modifikasi perilaku sebagai salah satu
intervensi dalam penanganan masalah self-control. Penangan tersebut dengan
melakukan pemberian reinforcement yang bertujuan untuk mengurangi perilaku
mengkonsumsi zat berbahaya. Beberapa prosedur yang harus dilakukan adalah :
a. Specify the problem and set goals
Pada tahap ini, seorang terapis harus mengetahui perilaku apa yang harus
dirubah, dan kemudian memikirkan bagaimana caranya strategi yang akan kita
rancang mampu dan berhasil dalam melakukan perubahan dalam penanganan
masalah perilaku klien. Untuk itu terapis harus mengetahui masalah yang spesifik
dari keluhan klien dan merancang suatu strategi yang tepat untuk mencapai
keberhasilan.
b. Make a commitment to change
Perri & Richards (1997) mengatakan bahwa komitmen yang terdapat pada
klien untuk berkeinginan merubah ”perilaku yang tidak menguntungkan” tersebut
adalah suatu tolak ukur untuk melihat apakah klien siap melakukan strategi yang
akan dilaksanakan. Hal ini menjelaskan komitmen sangat penting terhadap
keberhasilan modifikasi perilaku.
c. Take data and Analyze causes
Tahapan selanjutnya adalah menganalisa data yang ada dan menempatkan
hasil analisa tersebut sebagai masalah perilaku klien. Selanjutnya terapis mencari
tahu kenapa, dimana, dan berapa sering perilaku tersebut terjadi, sehingga terapis

29

dapat mengetahui sejumlah teknik yang akan dilakukan untuk meningkatkan
kekuatan dalam mengintervensi perilaku bermasalah.
d. Design and implement a program
Pada tahap ini dengan mengidentifikasi dan menjelaskan gambaran
perilaku bermasalah dalam pola antecedent stimulus, a behavior, dan consequence
maka terapis dapat melakukan teknik self-control terhadap perilaku pola yang ada.
1. Manage the Antecedents, setelah dilakukan identifikasi pada perilaku ini
maka terapis dapat melakukan kontrol terhadap perilaku yang ada seperti
dengan

strategi

instruction,

modeling,

guidance,

our

immediate

surrounding, other people, the time of day, dan motivating operation.

2. Manage the Behavior, setelah dilakukan identifikasi pada perilaku ini,
kemudian terapis meminta klien untuk berjanji dan berkomitmen bahwa ia
akan lebih fokus melakukan perubahan pada perilakunya seperti
perubahan yang ia lakukan dari perilaku antecedent dan consequency.
Apabila klien mampu melakukan beberapa cara (complex skill), maka hal
ini akan membantu klien melakukan strategi dan variasi yang tepat dalam
perubahan perilaku yang ia lakukan.
3. Manage the Consequence, setelah dilakukan identifikasi pada perilaku ini
maka terapis membantu klien untuk melakukan strategi dalam
memanipulasi keadaan. Manipulasi yang dilakukan bertujuan sebagai
penguat dalam perilaku yang tidak menyenangkan pada situasi yang ada.

30

e. Prevent Relapse and Make Your Gains Last
Pada tahap ini, dalam rangka mencegah terjadinya relapse pada klien
maka terapis membantu klien untuk merancang progres-progres yang tepat dalam
program self-control selanjutnya. Program yang akan dirancang harus disesuiakan
dengan situasi, perilaku dan konsekuen yang ada.
Prosedur di atas sejalan dengan prosedur yang dilakukan oleh Spiegler dan
Guevremont (2003). Penelitian ini mengarahkan pada seberapa besar efektivitas
metode behavioral assessment dalam pelaksanaanya. Beberapa tahapan dalam
pelaksanaan behavioral assessment adalah interview, direct self-report inventory,
self-recording,

rating

scale/checklist,

naturalistic

observation,

stimulus

observation, role-playing, psysiological measurement. Sementara itu untuk

mendapatkan informasi mengenai masalah klien, peneliti melaksanakan beberapa
prosedur dalam penelitian ini diantaranya.
a. Malakukan klasifikasi terhadap masalah
b. Merancang sebuah program
c. Menyeleksi dan menemukan target bahvior yang tepat
d. Mengidentifikasi dan mempertahankan kondisi dari target behavior
e. Mendisain rancangan treatment
f. Memonitor perancangan klien
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahapan dalam
self-control strategies terdiri dari lima tahapan, diantaranya mengiedentifikasi

masalah, merancang program pencapaian treatment, menemukan target perilaku
yang akan ditreatment, membuat sebuah komitmen perubahan, mendisain

31

rancangan treatment, memonitor rancangan treatment, dan membuat treatment
baru untuk melakukan pencegahan apabila klien kembali relapse.

2. Tujuan Self-Control Strategies
Strategi mengontrol diri dapat digunakan dalam mengatasi berbagai
masalah misalnya kecanduan (seperti narkoba dan alkohol), pekerjaan (seperti
kebiasaan belajar, produktifitas kerja) dan psikologis (seperti kecemasan, depresi
dan kemarahan yang berlebihan).
Tujuan self-control startegies adalah mengurangi penurunan perilaku
dalam diri individu. Penurunan perilaku terjadi ketika seorang individu tidak
terlibat dalam perilaku positif yang diinginkannya. Hal ini akan berdampak pada
individu di masa depan. Sebagai contoh, seorang pelajar yang jarang mengikuti
pelajaran kemungkinan mereka tidak akan lulus (Martin & Pear, 2003).

D. Modifikasi Perilaku Dengan Self-Control Strategies Untuk Menurunkan
Tingkat Kecanduan Online Role Playing Game
Kecanduan online game adalah ketidakmampuan seseorang untuk
mengontrol tindakannya dalam memainkan online game yang mempengaruhi
prsetasi belajar khususnya pada siswa (dalam Theresia, 2012). Pola perilaku
akademis dapat dilihat dari bagaimana mereka melibatkan kegiatan akademis dan
indeks prestasi kumulatif yang mereka miliki. Biasanya seseorang yang telah
kecanduan tidak menyadari bahwa dirinya adalah seseorang pecandu online game.
Kecanduan internet sebagaimana kecanduan obat-obatan, alkohol, dan judi akan

32

mengakibatkan kegagalan akademis (Young, 1996). Kegagalan akademis akan
mempengaruhi prestasi akdemis siswa. Siswa yang berprestasi akan menggunakan
internet dengan sehat dan wajar sehingga tidak melalaikan kegiatan-kegiatannya.
Penelitian dari Suverantam (2011) menunjukkan ada pengaruh kecanduan
online game dengan prestasi akademik siswa. Semakin tinggi kecanduan individu

bermain online game maka semakin rendah prestasi yang didapatkannya. Begitu
pula sebaliknya, semakin rendah kecanduan dalam bermain online game maka
semakin tinggi prestasi akademiknya.
Seorang pakar psikolog Amerika David Greenfield (dalam Theresia,
2012), menemukan sekitar 6% dari penguna internet khususnya pelajar dan
mahasiswa mengalami kecanduan. Para pelajar tersebut memiliki gejala yang
hampir sama dengan kecanduan obat bius yakni lupa waktu dalam berinternet.
Kebanyakan para pelajar yang kecanduan internet ini dikarenakan mereka
menemukan kepuasan di internet, yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata.
Kebanyakan mereka terperangkap pada aktivitas negatif seperti online game.
Kecanduan online game mengakibatkan persoalan dalam prestasi akademis
pelajar dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa akan mengalami penurunan
motivasi dalam belajar sehingga mereka akan melalaikan tugas-tugas belajar
maupun kuliahnya. Pelajar dan mahasiswa juga akan bolos sekolah dan kuliah
karena waktunya tersita untuk bermain online game.

33

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Jacobs & Watkins (2008) juga
menemukan adanya pengaruh bermain game terhadap prestasi akdemik. Prestasi
akademik sangat penting bagi keberhasilan pelajar dan mahasiswa. Pelajar dan
mahasiswa yang kecanduan online game perlu diidentifikasi agar tidak berlanjut
dan memberikan dampak yang negatif untuk selanjutnya.
Berdasarkan penelitian Chao dan Ting (dalam Young dan Abreu, 2011)
beberapa faktor yang membuat individu atau pemain game kecanduan Online
Role Playing Game, selain dari intensitas bermain game tersebut, juga ada

hubungannya dengan sifat dari karakteristik permainan Online Role Playing
Game, antara lain bentuk sosial komunikasi online-nya, dan sistem tugas yang
persistent (tetap ada meskipun pemain-pemainnya tidak selalu ikut bermain),
reward, serta feedback (faktor role-playing). Pada saat bermain, pemain secara

penuh hanya berfokus pada permainan dan mengabaikan hal lainnya. Selama
bermain, individu dapat mengabaikan sensasi-sensasi yang muncul seperti, rasa
sakit, lelah, lapar, dan haus (pemain dapat terus bermain secara sadar sampai 8
jam).
Individu yang kecanduan online role playing game akan mendapatkan
permasalahan di dalam kehidupannya sehari-hari. Pemain game tetap bermain
walaupun mengetahui adanya masalah-masalah fisik, sosial, pekerjaan (sekolah),
atau psikologis yang kerap timbul dan kemungkinan besar disebabkan atau
diperburuk oleh permainan game tersebut. Dimana masalah tersebut berupa
permasalahan akademik, yang ditandai dengan menurunnya prestasi akademis
akibat sering menghabiskan waktu di internet, hubungan dengan teman, keluarga

34

menjadi renggang karena waktu bersama mereka menjadi jauh berkurang (Young
& Abreu, 2011).
Yee (2002) juga berpendapat bahwa akibat buruk kecanduan online game
ini dapat dilihat lebih jelas jika kebiasaan bermain mereka ini dikaitkan dengan
masalah dalam kehidupan nyata sehari-hari seperti masalah akademis, masalah
kesehatan, masalah keuangan dan masalah relasi. Masalah akademis ditunjukkan
dalam penelitian Griffiths (1995), bahwa remaja usia 12 sampai 24 tahun lebih
cenderung mengorbankan pendidikan maupun pekerjaan mereka untuk bermain
online game. Pengaruh negatif pada fungsi fisik dan mental yang diakibatkan

penggunaan game berlebihan antara lain menurunnya kondisi indra penglihatan
dan berat badan yang menurun serta menghasilkan kebingungan antara kenyataan
dan ilusi, juga relasi yang kurang dewasa dengan sebayanya (Chen & Chang,
2008).
Berkaitan dengan faktor internal, Vedder (2009), seorang ahli computer
gaming addiction menyatakan bahwa dalam banyak aspek, video games pada

zaman sekarang jauh lebih membuat kecanduan. Permainan didesain untuk
membuat pemainnya tetap menatap layar lebih lama lagi (stickiness factor).
Pembuat game berlomba-lomba menciptakan suatu game yang penggunaannya
ketagihan sehingga menjamin keloyalan pemain game tersebut. Lebih jauh lagi,
Griffiths (1995) menekankan bahwa aspek kompetitif dan kooperatif pada online
game membuatnya lebih membuat para pemain menjadi kecanduan.

35

Kecanduan bermain online game pada remaja dapat dilihat dari beberapa
gejala yang muncul. Pertama, remaja bermain online game seharian, dan sering
bermain dalam jangka waktu lama (lebih dari tiga jam). Biasanya dalam waktu
satu minggu remaja bisa menghabiskan waktu sekitar 30 jam. Kedua, remaja
bermain online game untuk kesenangan, cenderung seperti tidak kenal lelah dan
mudah tersinggung saat dilarang. Remaja yang kecanduan tidak pernah
menghiraukan larangan orang tua atau orang lain untuk mengurangi intensitas
bermain internet online game, dan remaja cenderung berontak apabila dilarang
untuk bermain. Ketiga, mengorbankan kegiatan sosial, dan tidak mau
mengerjakan aktivitas lain. Para gamers bisa menghabiskan sebagian besar
waktunya hanya untuk bermain game dan tidak menghiraukan aktivitas lain yang
penting baginya, seperti makan, minum, berinteraksi dengan teman sebaya atau
belajar. Keempat, ingin mengurangi ketergantungannya tapi tidak bisa. Seorang
remaja yang kecanduan bisa menghabiskan waktu sehari semalam berada di
warnet untuk bermain online game. Kecanduan yang berlebihan terhadap online
game akan menyebabkan remaja menjadi sangat cemas jika tidak bermain

(Griffiths, 1995).
Gunadi (2004), menyatakan bahwa banyak nilai positif dari online game
asalkan penggunaannya tahu bagaimana mengatur dan memanfaatkannya.
Permasalahan kebiasaan bermain online game disebabkan karena kontrol diri yang
kurang terhadap tingkah laku individu (Griffiths 2005). Mark, Murray, Evans, &
Willig (2004) juga menyatakan bahwa salah satu penyebab individu mengalami
kecanduan disebabkan adanya kegagalan dalam melakukan kontrol terhadap

36

perilaku. Pada individu yang mengalami kecanduan, individu mengalami
kurangnya kontrol diri sehingga mengabaikan kehidupan sosial maupun
kewajiban-kewajiban lainnya. Hal ini sejalan dengan Young (1996) yang
menyatakan bahwa penggunaan internet yang berlebihan dihubungkan dengan
kerusakan yang signifikan terhadap bidang sosial, psikologis dan sekolah atau
pekerjaannya.
Melihat perilaku yang tampak pada siswa yang kecanduan online game,
para ahli behavioral memandang kelainan perilaku sebagai kebiasaan yang
dipelajari dan dipengaruhi oleh lingkungan (Young, 2009). Adanya reinforcement
dari lingkungan menyebabkan sebuah perilaku tersebut menjadi menetap, karena
itu dapat diubah dengan mengganti situasi positif yang direkayasa sehingga
perilaku berubah menjadi positif. Dalam pendekatan behavioral terdapat teknik
modifikasi perilaku yang dapat memperbaiki suatu perilaku (Martin & Pear,
2003). Salah satu teknik modifikasi perilaku tersebut yaitu metode kontol diri
(self-control). Hal ini dilakukan untuk mengurangi perilaku kecanduan online
game pada klien mengingat prosedur terapi tingkah laku berakar pada perilaku

yang tampak (Kazdin, 2001). Metode ini berfokus pada perilaku saat ini dan
sekarang sehingga terapi ini tidak melihat pada pengalaman masa lalu klien.
Selain itu dalam menganalisis permasalahan perilaku terdapat beberapa cara untuk
melihat permasalahannya yaitu intensitas, frekuensi dam durasi dari perilaku
tersebut sehingga dari perilaku yang tampak orang lain bisa mengetahui bahwa hal
tersebut berlebihan atau tidak.

37

Menurut Fox & Calkins (2003) kontrol diri merupakan kapasitas dalam
”self”, yang dapat digunakan untuk mengontrol variabel-variabel luar yang
menentukan tingkahlaku. Sedangkan metode kontrol diri disini merupakan suatu
usaha atau prosedur yang akan dijalankan untuk mengarahkan dan mengontrol
perilaku. Dimana nantinya subjek akan terlibat dalam beberapa atau keseluruhan
prosedur treatment untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Baumeister,

Kathleen

& Tice, 2007). Martin & Pear (2003) juga mengatakan bahwa banyak masalah
yang dapat diatasi dengan strategi self-control, dimana masalah-masalah tersebut
bersumber di dalam diri sendiri.
Selain itu, menurut Cormier dan Cormier (1991), salah satu cara mengatasi
kecanduan online game yaitu dengan pendisiplinan waktu mengurangi kecanduan
online game pada tahap yang dirasa yakin benar tidak akan mengganggu waktu

untuk hal yang lain. Hal ini berhubungan dengan perilaku yang harus diubah agar
kecanduan online game dapat diatasi. Alternatif bantuan yang tepat untuk
mengatasi permasalahan kecanduan online game yaitu dengan menggunakan
strategi kontrol diri (self control strategies). Dengan self control strategies anak
akan mampu membantu mengurangi perilaku kecanduan bermain online role
playing game, sehingga dapat mengurangi tingkat kecanduan dan durasi individu

dalam bermain online role playing game serta dampak negatif dari kecanduan
bermain online role playing game khususnya di bidang pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, ada beberapa tahap untuk melaksanakan perlakuan kontrol diri
(Martin & Pear, 2003) agar proses kontrol diri dapat berlangsung dengan baik dan sesuai rencana

38

yaitu: (a) menetapkan masalah dan tujuan yaitu meminta subjek untuk menuliskan tujuan dan
membuat daftar perilaku spesifik yang dapat membantu subjek mencapai tujuan yaitu mengurangi
durasi bermain online game per hari; (b) membuat komitmen untuk berubah, yaitu dengan
meminta subjek membuat daftar keuntungan apa saja yang diperoleh apabila kebiasaan bermain
online game-nya dikurangi. Kemudian meminta subjek untuk menempelkan daftar tersebut di

tempat-tempat yang mudah terlihat. Langkah selanjutnya membuat komitmen dengan orang-orang
di sekitar yaitu dengan memberitahukan program perlakuan

yang akan dilakukan kepada

orang-orang terdekat subjek seperti keluarga atau teman. Banyaknya jumlah orang
yang mengingatkan individu dapat meningkatkan keberhasilan program yang akan
dijalankan; (c) mengambil data dan menganalisis penyebab, yaitu mengambil data
yang akurat dari perilaku yang bermasalah. Subjek diminta mencatat (tally) kapan,
dimana, dan seberapa sering keinginan bermain muncul, dan kemudian bersamasama dengan peneliti menganalisis penyebab perilaku kecanduan online game
subjek; (d) membuat desain dan mengimplementasikan program, terutama
program yang harus diutamakan adalah situasi yang pasti, memiliki perilaku yang
pasti dan tentunya adalah adanya suatu konsekuensi atau akibat dari perilaku
tersebut. Desain yang digunakan untuk mengurangi kebiasaan bermain online
game yaitu mangatur situasi atau stimulus dengan menggunakan instruksi diri,

mangatur perilaku dengan menuliskan durasi bermain online game yang ingin
dikurangi, mangatur konsekuensi dengan menghindari penguat tertentu yang
justru memicu munculnya keinginan untuk bermain online game; dan (e)
mencegah kegagalan. Kegagalan berarti kembalinya perilaku lama yang tidak
diharapkan dan biasanya perilaku tersebut hampir sama atau tidak jauh berbeda
dengan perilaku sebelum kita melakukan program. Subjek diminta untuk

39

membuat kontrak perilaku (behavior contract), yaitu menuliskan langkah-langkah
apa saja yang harus dilakukan untuk mencegah situasi atau kondisi yang dapat
mengakibatkan keinginan untuk bermain online game muncul kembali.
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam melaksanakan kontrol
diri,

diantaranya

dengan

mengubah

atau

mengganti

lingkungan

yang

memungkinkan munculnya perilaku target, memanfaatkan perangkat fisik, atau
menggunakan cara-cara yang unik/praktis, untuk menghindari munculnya perilaku
yang ingin dihilangkan (Feist & Feist, 2006). Penggunaan kontrol diri dalam
penelitian ini didasarkan atas kelebihan yang dimiliki teknik ini dalam proses
terapi (Soekadji, 1983).
Penggunaan teknik kontrol diri dapat digunakan untuk mengatasi masalahmasalah yang bersumber di dalam diri sendiri, misalnya untuk mengurangi
perilaku berlebih diantaranya merokok atau perilaku yang perlu ditingkatkan
lainnya, seperti perilaku berolahraga, dan belajar (Baumeister, Muraven, Tice,
1998; Baumeister, Kathleen, & Tice, 2007; Marlatt & George, 1984; Martin &
Pear, 2003; Wills & Stoolmiller, 2002).

Penguatan yang terjadi secara terus menerus dan berulang terhadap sebuah
perilaku akan menimbulkan kepuasan bagi individu, untuk itu perlu dilakukan
modifikasi perilaku dengan teknik kontrol diri (Alwisol, 2006). Begitu juga yang
terjadi

pada

perilaku kecanduan

online

40

game .

Sebagaimana gangguan

ketergantungan lainnya, kecanduan pada online game dapat diatasi, mereka perlu
belajar mengubah tingkah lakunya dengan mengontrol diri (Triharim, 2013).
Secara singkat, dinamika landasan teori tersebut dapat digambarkan dalam
rangkaian tersebut di bawah ini.

Prestasi akdemis siswa dipengaruhi oleh online
game

Siswa
yang
prestasinya
menurun Semakin tinggi

Siswa yang berprestasi
akan menggunakan internet
dengan sehat dan wajar
sehingga tidak melalaikan
kegiatan-kegiatannya

kecanduan
individu
bermain online game maka
semakin rendah prestasi
yang didapatkannya.
kecanduan online game

Konsekuensi fisik

Konsekuensi psikologis /
sekolah dan pekerjaan

Konsekuensi sosial

Bermain secara terus menerus sehingga menimbulkan perilaku
bermain yang berlebihan dan melupakan kewajiban sehari-hari

Gambar 2.1. Kerangka teoritis penelitian
Keterangan :

: menyebabkan

: aspek tidak diteliti

:: : aspek diteliti
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: efektifitas modifikasi
perilaku dengan self control strategy untuk menurunkan tingkat kecanduan online
role playing game.

41