Pembuatan dan Karakterisasi Film Kitosan Molekul Tinggi dengan Hidrogel Gelatin

(1)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitin

Kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β -(1→ 4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)nyang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O.

struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C-2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHCOCH3, asetamida).

O HOH2C

HO

O

NHCOCH3 *

*

n

Gambar 2.1 Struktur Kimia Kitin (Mojarrad,et al. 2006)

Di alam, kitin dikenal sebagai polisakarida yang paling melimpah setelah selulosa. Kitin umumnya banyak dijumpai pada hewan avertebrata laut, darat, dan jamur dari gugus Mucor, Phycomyces, dan Saccharomyces (Hirano, 1986; Knorr, 1991). Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Sebagai contoh, kulit udang mengandung 25-40% protein, 40-50% CaCO3, dan 15-20% kitin, tetapi besarnya komponen tersebut

masih bergantung pada jenis udangnya (Altschul, 1976). Sebagian besar kelompok Crustacea, seperti kepiting, udang, dan lobster, merupakan sumber utama kitin komersial. Di dunia, kitin yang diproduksi secara komersial 120 ribu ton per tahun. Kitin yang berasal dari kepiting dan udang besar 39 ribu ton (32,5%) dan dari jamur 32 ribu ton (26,7%)(Knorr, 1991).


(2)

2.1.1 Sifat Kitin

Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373 ± 0,03 kal/g/oC (Knorr, 1984) dan derajat rotasi spesifik [α ]D18 +22o pada kosentrasi asam metanasulfonat 1,0%. Sebagai

biopolymer kristalin, kitin terdapat dalam 3 bentuk Kristal di alam, yaitu α , β , dan γ . Kitin-α berbentuk Kristal ortorombik dengan setiap unit selnya mengandung 4 cincin N-asetil-D-glukosamina yang ditautkan dengan 2 ikatan glikosidik β -(1→ 4) dan tertara secara antiparalel, rapat, dan kompak. Kitin-β berbentuk kristalin monoklin dan setiap unitnya terdiri atas 2 cincin N-asetil-D-glukosamina dan 2 molekul air yang tertara secara parallel. Sementara struktur kitin-γ diduga dalam 2 penataan, yaitu 2 rantai paralel dan 1 antiparalel. Ketiga bentuk kristalin tersebut dapat dibedakan dengan menggunakan spektroskopi IR pada bilangan gelombang 3160 dan 3190 cm-1.

Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer, dan basa, tetapi larut dalam asam formiat, asam metanasulfonat, N,N-dimetilasetalmida yang mengandung 5% litium klorida, heksafluoroisopropil alkohol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65 (% [v/v])(Hirano, 1986). Asam mineral pekat seperti H2SO4, HNO3, dan H3PO4 dapat melarutkan kitin

sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil (Bastaman,1989).

2.2 Kitosan

Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β -(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Sumber kitin

alami ditemukan dalam cumi-cumi, jamur, serangga dan beberapa alga. Dalam jumlah produksi yang besar kitin diperoleh dari kulit luar golongan Crustasean (seperti udang, kepiting, lobster, dan udang karang) dan dari cangkang moluska (Rajasree, R & Rahate. K.P. 2013).


(3)

(4)

Tabel 2.1. Spesifikasi Kitosan

Parameter Ciri

Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air (%) ≤ 10,0

Kadar abu (%) ≤ 2,0

Warna larutan Tidak berwarna

N-deasetilasi (%) ≥ 70

Kelas viskositas (cps) :

- Rendah < 200

- Medium 200–799

- Tinggi 800–2000

- sangat tinggi > 2000

(Sugita, 2009) 2.2.1 Sifat Kitosan

Kitosan merupakan polimer yang terdapat berlimpah di alam dan dapat diperbaharui. Kitosan memiliki sifat yang unggul seperti biodegradabel, biokompatibilitas, tidak beracun, dan bersifat menyerap. Sifat fisik berupa padatan amorf berwarna putih kekuningan. Sifat kimia kitosan antara lain adalah poliamin


(5)

9

berbentuk linear, mempunyai gugus amino dan hidroksil yang aktif dan mempunyai kemampuan mengkelat beberapa jenis logam. Sedangkan sifat biologi kitosan antara lain: bersifat biokompatibel, dimana sebagai polimer alami, sifatnya tidak mempunyai akibat samping, aman dan tidak beracun, serta mudah diuraikan oleh mikroba. Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif. Efek regeneratif pada jaringan gusi. Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol, dan bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Mampu meningkatkan pembentukan yang berperan dalam pembentukan tulang (Kumar Dutta, P. 2004).

2.2.2 Kegunaan Kitosan

Dewasa ini aplikasi kitosan sangat banyak dan meluas. Kitosan mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun dan baik sebagai flokulan dan koagulan serta mudah membentuk membran atau film. Kitosan merupakan suatu biopolimer alam yang reaktif yang dapat melakukan perubahan-perubahan kimia (Sugita, 2009).

Tabel 2.2 Aplikasi dan fungsi kitosan diberbagai bidang

Bidang Aplikasi Fungsi

I. Pengolahan limbah Bahan koagulasi/flokulasi untuk limbah cair

Penghilangan ion-ion metal dari limbah cair

II. Pertanian Dapat menurunkan kadar asam sayur, buah dan ekstrak kopi

Sebagai pupuk


(6)

III. Industri tekstil Serat tekstil

Meningkatkan ketahanan warna

IV. Bioteknologi Bahan-bahan immobilisasi enzim

V. Klarifikasi /

Penjernihan

a. Limbah industri pangan b. Industry sari buah

c. Pengolahan minuman beralkohol

d. Penjernihan air minum e. Penjernihan kolam renang f. Penjernihan zat warna g. Penjernihan tannin

Koagulasi/flokulasi Flokulan pectin/protein Flokulan protein/mikroba Koagulasi

Flokulan mikroba Pembentuk kompleks Pembentuk kompleks

VI. Kosmetik Bahan untuk rambut dan kulit

VII. Biomedis Mempercepat penyembuhan luka

Menurunkan kadar kolesterol

VIII. Fotografi Melindungi film dari kerusakan


(7)

11

2.3 Gelatin

Gelatin merupakan bahan alami yang diperoleh dari hidrolisis parsial kolagen. Gelatin bisa bersifat sebagai gelling agent (bahan pembuat gel) atau sebagai non gelling agent. Gelatin merupakan protein konversi bersifat larut air yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang bersifat tidak larut air. Tulang sapi, kulit sapi dankulit babi adalah bahan yang biasa digunakan untuk memperoleh gelatin (Sobral,2001).

Gelatin larut dalam air, asam asetat, dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glikol, sorbitol, dan manitol (Viro 1992), tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzena, petroleum eter, dan pelarut organik lainnya. Dalam kondisi tertentu gelatin larut dalam campuran aseton-air dan alkohol-air. Gelatin digunakan untuk berbagai keperluan industri, baik industri pangan maupun non-pangan karena memiliki sifat yang khas, yaitu dapat berubah secara

reversibel dari bentuk sol ke gel, mengembang dalam air dingin, dapat

membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid. King (1969) menyatakan bahwa pada suhu 71 °C gelatin mudah larut dalam air dan membentuk gel pada suhu 49 °C.

Gelatin bersifat lentur/elastis, biokompatibel, bioabsoptivitas tinggi, dan dapat dibentuk menjadi film dan pelapis yang memiliki sifat mekanik yang cukup baik, berwarna kuning sampai putih transparan dan hampir tidak ada rasanya serta hampir tidak berbau, berbentuk serpihan atau serbuk, mudah larut dalam air panas gliserol dan asam asetat dan tidak mudah larut dalam pelarut organik. Kandungan protein gelatin sekitar 85 – 92%, sisanya berupa garam mineral dan air (Schieber and Gareis,2007). Kandungan kimia dari gelatin terbesar adalah glisin (hampir 1 dalam 3 residu asam amino, menyusun setiap 3 residu), proline dan 4 hydroxyproline residu . Tipe strukturnya adalah (–Ala-Gly-Pro-Arg-Gly-Glu-4Hyp-Gly-Pro-) dapat dilihat pada gambar 2.4


(8)

Gambar

Gelatin adalah pembuat gel) atau se mengembang jika dir kali bobot gelatin. G didinginkan (Anonim diperoleh dari jaringa menunjukkan peruba (deMan 1997). Proses guanidin arginin. Da dipanaskan sampai m sol tersebut membent dengan tempatnya. tergulung dalam bent molekul-molekul yang Berdasarkan si dengan cara 2 prinsip dilakukan untuk mem kulit tua (keras,liat menghasilkan gelatin dimana tidak memerl belum kuat terikat sehi dinetralkan dan dicuci

Sifat fisik dan tertentu dalam gelatin gelatin seperti warna

bar 2.3 Struktur Kimia Gelatin (Poppe, 1992)

lah protein larut yang bisa bersifat sebagai gelli u sebagai non-gelling agent (Halal Guide 2007)

direndam dalam air dan berangsur-angsur me n. Gelatin larut dalam air panas dan akan mem nonima 1978). Gelatin didefinisikan sebagai ingan kolagen hewan yang dapat didispersi ubahan sol-gel reversible seiring dengan pe oses pembentukan gel pada gelatin berkaitan era

Dalam pembentukan gel, gelatin didispersi membentuk sol. Daya tarik menarik antar mol bentuk cairan yang bersifat mengalir dan dapat

. Bila didinginkan, molekul-molekul yang bentuk sol mengurai dan terjadi ikatan-ikata

ang berdekatan sehingga terbentuk suatu jaringa n sifat bahan dasarnya pembuatan gelatin da nsip dasar yaitu cara alkali dan cara asam. Cara

emperoleh gelatin tipe B, yaitu bahan dasarn iat) maupun tulang. Cara pengasaman di tin tipe A (asam). Tipe A umumnya diperoleh erlukan perendaman yang lama dengan asam, sehingga cukup dengan asam yang encer selam uci berulang-ulang, untuk menghilangkan asam dan kimia secara umum dan kandungan unsu atin dapat digunakan untuk menilai mutu gel rna, bau dan rasa dapat diukur dengan mengg

, 1992)

gelling agent (bahan

2007). Gelatin akan menyerap air 5-10 embentuk gel jika gai produk yang rsi dalam air dan n perubahan suhu erat dengan gugus si dalam air dan olekul lemah dan pat berubah sesuai ng kompak dan katan silang antara

ngan.

n dapat dilakukan ra alkali atau basa sarnya berasal dari dilakukan untuk oleh dari kulit babi, , karena jaringan ama beberapa hari, sam dan garamnya. unsur-unsur mineral

gelatin. Sifat fisik nggunakan indera


(9)

13

manusia. Sedangkan sifat kimia seperti kadar air, kadar abu, logam berat dan kandungan mineral diukur dengan menggunakan alat. Penggunaan gelatin dalam produk pangan lebih disebabkan oleh sifat fisik yang unik dari gelatin dibanding karena nilai gizinya sebagai sumber protein. Dalam industri pangan gelatin digunakan sebagai pembentuk gel, penstabil, pengemulsi, pengental busa, pembentuk kristal, pelapis, perekat, pengikat air, dan penjernih (Jones Ward and Courts,1977).

2.4 Pembentukan Film

Pembentukan film merupakan polimer yang mampu mengeras menjadi film yang koefisien. Polimer membutuhkan strukutur kimia dalam molekulnya yang memberikan kelarutan dalam medium tertentu. Sifat polimer ini penting untuk membentuk film.

Pembentukan film biasanya melibatkan proses pemanasan. Selama pemanasan, pelarut menguap baik dari larutan maupun dispersi. Pada awalnya polimer berada dalam bentuk kumparan yang terisolasi. Jika pelarut menguap secara lambat, kumparan akan saling mendekat, hingga pada konsentrasi polimer tertentu, kumparan polimer akan saling berpenetrasi satu sama lain (Osterwald, 1984)

Pembentukan film dari sistem dispersi polimer dapat digambarkan oleh pembentukan film lateks yang merupakan koloid partikel polimer yang terdispersi dalam cairan. Ikatan dua atau lebih partikel polimer kering terjadi karena aliran viskos, tegangan permukaan plastis menyediakan tekanan geser yang dibutuhkan. Sifat film kitosan bergantung pada morfologinya yang dipengaruhi oleh sistem pelarut, berat molekul, derajat N-asetilasi, penguapan pelarut, dan mekanisme regenerasi amin bebas. Penelitian Samuel menunjukan bahwa medium koagulasi seperti halnya asam untuk mencetak film dapat mempengaruhi struktur kristal kitosan. Dengan demikian pemilihan asam juga dapat memberi efek yang signifikan terhadap kekuatan tarik.(Krogras, 2003).


(10)

2.5 Karakterisasi Film

2.5.1 Pengujian Kekuatan Tarik

Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σ

t)

menggunakan alat pengukuran tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan diberikan tegangan. Secara praktis kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (F

maks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan,

dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang:

t = FmaksAo

Selama deformasi, dapat diasumsikan bahwa volum spesimen tidak berubah, sehingga perbandingan luas penampang semula dengan penampang setiap saat, A/A= l/l, dengan l dan l masing-masing adalah panjang spesimen setiap saat dan semula. Bila didefenisikan besaran kemuluran (ε ) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap panjang spesimen semula (ε = Δ l/l) maka diperoleh hubungan:

= (l + )Ao

Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik ini dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan, yakni nisbah beban dengan luas penampang, terhadap perpanjangan bahan (regangan), yang disebut dengan kurva tegangan-regangan. Bentuk kurva tegangan−regangan ini merupakan karakteristik yang menunjukkan indikasi sifat mekanis bahan yang lunak, keras, kuat, lemah, rapuh atau liat (Wirjosentono, 1995).

2.5.2 Analisa Permukaan dengan SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM (Scanning Electron Microscopy) adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis. Prinsip kerja dari SEM adalah dengan


(11)

15

menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas elektron yang dipantulkan dengan energi tinggi. Permukaan material yang disinari atau terkena berkas elektron akan memantulkan kembali berkas elektron atau dinamakan berkas elektron sekunder ke segala arah. Tetapi dari semua berkas elektron yang dipantulkan terdapat satu berkas elektron yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detektor yang terdapat di dalam SEM akan mendeteksi berkas elektron berintensitas tertinggi yang dipantulkan oleh benda atau material yang dianalisis (Micheler, 2008). Pada alat Scan Electron Microscopy (SEM) suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi (Stevens, 2001). 2.5.3 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik (REM). Interaksi yang terjadi dalam spektroskopi inframerah ini merupakan interaksi dengan REM melalui absorbansi radiasi. Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak diantara daerah tampak dan gelombang mikro. Molekul menyerap radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang khusus. Absorbansi cahaya ultraviolet mengakibatkan pindahnya sebuah elektron ke orbital dengan energi yang lebih tinggi. Radiasi inframerah tidak cukup mengandung energi untuk melakukan eksitasi tersebut, absorbsinya hanya mengakibatkan membesarnya amflitudo getaran atom-atom yang terikat satu sama lain (Sudarmadji, 1989).

Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah vibrasi molekul yang dideteksi dan dapat diukur pada spektrofotometer infra merah. Spektra didaerah infra merah dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat bahan, perubahan struktur yang sedikit saja dapat memberikan perubahan yang dapat diamati pada spectrogram panjang gelombang versus transmitasi


(12)

Menurut Sastrohamidjojo (1992), panjang gelombang yang diserap oleh berbagai tipe ikatan tergantung pada jenis vibrasi ikatan tersebut. Oleh karena itu berbagai jenis ikatan mengabsorbsi radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berbeda.

Perubahan ini sangat spesifik dan merupakan sidik jari suatu molekul dengan membandingkan spektogram yang dihasilkan oleh bahan yang diuji terhadap bahan yang sudah diketahui secara kualitatif. Penerapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan fungsi puncak pada panjang gelombang terkait yang dihasilkan ole zat-zat yang diujikan dan zat standart. Spectra infra merah ditujukan terutama untuk senyawa organik yaitu analisis gugus fungsi yang dimiliki oleh senyawa tersebut (Mulja, M. 1995).

Jumlah energi yang diserap juga bervariasi untuk setiap ikatan. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan momen ikatan sewaktu absorbsi. Ikatan nonpolar (C-H atau C-C) pada umumnya memberikan absorbsi lemah, sedangkan ikatan polar (C-O) akan terlihat sebagai absorbsi yang kuat.

Spektroskopi FTIR dapat digunakan untuk menganalisa kualitatif maupun kuantitatif. Analisa kualitatif spektroskopi FTIR secara umum dipergunakan untuk identifikasi gugus-gugus fungsional yang terdapat dalam suatu senyawa yang dianalisa (Silverstein, 1986). Dua variasi instrumental dari spektroskopi infra merah yaitu metode dispersif yang lebih tua, dimana prisma atau kisi dipakai untuk mendispersikan radiasi infra merah, dan metode Frourier Transform (FT) yang lebih akhir, yang menggunakan prinsip interferometri.

Kelebihan-kelebihan dari FT-IR mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembanagan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi, kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum (Stevens, 2001). Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) pada prinsipnya sama dengan spektroskopi inframerah, hanya saja spektroskopi FTIR ditambahkan alat optik (fourier transform) untuk menghasilkan spektra yang lebih baik, sehingga spektroskopi FTIR dapat menghasilkan data dimana dengan spektroskopi inframerah puncak yang diinginkan tidak muncul. 2.5.3.1 Peralatan untuk Spektrofotometer Inframerah


(13)

17

Komponen dasar spektrofotometer IR sama dengan UV-tampak, tetapi sumber, detektor, dan komponen optiknya sedikit berbeda. Mula-mula sinar infra merah dilewatkan melalui sampel dan larutan pembanding, kemudian dilewatkan pada monokromator untuk menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray

radiation). Berkas ini kemudian didispersikan melalui prisma. Dengan

melewatkannya melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor. (Khopkar,S.M.2008).

Gambar 2.4 Bagan Alat Spektroskopi Inframerah (Fessenden, R.J. 1983)

Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi inframerah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrofotometer inframerah. Komponen alat yang khas adalah sumber cahaya yang memancarkan cahaya inframerah pada semua panjang gelombang. Cahaya dari sumber ini pecah oleh sistem cermin menjadi dua berkas cahaya, berkas rujukan (referensi) dan berkas contoh. Setelah masing-masing melewati sel rujukan (pelarut murni, jika pelarut itu digunakan dalam contoh, atau kosong jika contoh tak menggunakan pelarut) dan sel contoh, kedua berkas ini digabung kembali dalam pemenggal (chopper; suatu sistem cincin lain), menjadi suatu berkas yang berasal dari kedua berkas itu, yang selang-seling bergantian. Berkas selang-seling ini didifraksi oleh suatu kisi sehingga berkas itu terpecah menurut panjang gelombang. Detektor mengukur beda intensitas antara kedua macam berkas tadi pada tiap-tiap panjang gelombang dan meneruskan informasi ini ke perekam, yang menghasilkan spektrum. Pita-pita inframerah dalam sebuah spektrum dapat dikelompokkan menurut intensitasnya :

Sumbe r Cahaya

Sel Contoh

Sel Rujuka

n


(14)

bertumpang-tindih dengan suatu pita kuat disebut bahu (sh, shoulder). Banyaknya gugus identik dalam sebuah molekul mengubah kekuatan relatif pita absopsinya dalam suatu spektrum. (Fessenden,R.J.1983).


(1)

manusia. Sedangkan sifat kimia seperti kadar air, kadar abu, logam berat dan kandungan mineral diukur dengan menggunakan alat. Penggunaan gelatin dalam produk pangan lebih disebabkan oleh sifat fisik yang unik dari gelatin dibanding karena nilai gizinya sebagai sumber protein. Dalam industri pangan gelatin digunakan sebagai pembentuk gel, penstabil, pengemulsi, pengental busa, pembentuk kristal, pelapis, perekat, pengikat air, dan penjernih (Jones Ward and Courts,1977).

2.4 Pembentukan Film

Pembentukan film merupakan polimer yang mampu mengeras menjadi film yang koefisien. Polimer membutuhkan strukutur kimia dalam molekulnya yang memberikan kelarutan dalam medium tertentu. Sifat polimer ini penting untuk membentuk film.

Pembentukan film biasanya melibatkan proses pemanasan. Selama pemanasan, pelarut menguap baik dari larutan maupun dispersi. Pada awalnya polimer berada dalam bentuk kumparan yang terisolasi. Jika pelarut menguap secara lambat, kumparan akan saling mendekat, hingga pada konsentrasi polimer tertentu, kumparan polimer akan saling berpenetrasi satu sama lain (Osterwald, 1984)

Pembentukan film dari sistem dispersi polimer dapat digambarkan oleh pembentukan film lateks yang merupakan koloid partikel polimer yang terdispersi dalam cairan. Ikatan dua atau lebih partikel polimer kering terjadi karena aliran viskos, tegangan permukaan plastis menyediakan tekanan geser yang dibutuhkan. Sifat film kitosan bergantung pada morfologinya yang dipengaruhi oleh sistem pelarut, berat molekul, derajat N-asetilasi, penguapan pelarut, dan mekanisme regenerasi amin bebas. Penelitian Samuel menunjukan bahwa medium koagulasi seperti halnya asam untuk mencetak film dapat mempengaruhi struktur kristal kitosan. Dengan demikian pemilihan asam juga dapat memberi efek yang signifikan terhadap kekuatan tarik.(Krogras, 2003).


(2)

2.5 Karakterisasi Film

2.5.1 Pengujian Kekuatan Tarik

Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σ

t) menggunakan alat pengukuran tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan diberikan tegangan. Secara praktis kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (F

maks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang:

t = FmaksAo

Selama deformasi, dapat diasumsikan bahwa volum spesimen tidak berubah, sehingga perbandingan luas penampang semula dengan penampang setiap saat, A/A= l/l, dengan l dan l masing-masing adalah panjang spesimen

setiap saat dan semula. Bila didefenisikan besaran kemuluran (ε ) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap panjang spesimen semula (ε = Δ l/l) maka

diperoleh hubungan:

= (l + )Ao

Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik ini dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan, yakni nisbah beban dengan luas penampang, terhadap perpanjangan bahan (regangan), yang disebut dengan kurva tegangan-regangan. Bentuk kurva tegangan−regangan ini merupakan karakteristik yang menunjukkan indikasi sifat mekanis bahan yang lunak, keras, kuat, lemah, rapuh atau liat (Wirjosentono, 1995).

2.5.2 Analisa Permukaan dengan SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM (Scanning Electron Microscopy) adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis. Prinsip kerja dari SEM adalah dengan


(3)

menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas elektron yang dipantulkan dengan energi tinggi. Permukaan material yang disinari atau terkena berkas elektron akan memantulkan kembali berkas elektron atau dinamakan berkas elektron sekunder ke segala arah. Tetapi dari semua berkas elektron yang dipantulkan terdapat satu berkas elektron yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detektor yang terdapat di dalam SEM akan mendeteksi berkas elektron berintensitas tertinggi yang dipantulkan oleh benda atau material yang dianalisis (Micheler, 2008). Pada alat Scan Electron Microscopy (SEM) suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi (Stevens, 2001).

2.5.3 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik (REM). Interaksi yang terjadi dalam spektroskopi inframerah ini merupakan interaksi dengan REM melalui absorbansi radiasi. Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak diantara daerah tampak dan gelombang mikro. Molekul menyerap radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang khusus. Absorbansi cahaya ultraviolet mengakibatkan pindahnya sebuah elektron ke orbital dengan energi yang lebih tinggi. Radiasi inframerah tidak cukup mengandung energi untuk melakukan eksitasi tersebut, absorbsinya hanya mengakibatkan membesarnya amflitudo getaran atom-atom yang terikat satu sama lain (Sudarmadji, 1989).

Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah vibrasi molekul yang dideteksi dan dapat diukur pada spektrofotometer infra merah. Spektra didaerah infra merah dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat bahan, perubahan struktur yang sedikit saja dapat memberikan perubahan yang dapat diamati pada spectrogram panjang gelombang versus transmitasi (Mulja, M. 1995).


(4)

Menurut Sastrohamidjojo (1992), panjang gelombang yang diserap oleh berbagai tipe ikatan tergantung pada jenis vibrasi ikatan tersebut. Oleh karena itu berbagai jenis ikatan mengabsorbsi radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berbeda.

Perubahan ini sangat spesifik dan merupakan sidik jari suatu molekul dengan membandingkan spektogram yang dihasilkan oleh bahan yang diuji terhadap bahan yang sudah diketahui secara kualitatif. Penerapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan fungsi puncak pada panjang gelombang terkait yang dihasilkan ole zat-zat yang diujikan dan zat standart. Spectra infra merah ditujukan terutama untuk senyawa organik yaitu analisis gugus fungsi yang dimiliki oleh senyawa tersebut (Mulja, M. 1995).

Jumlah energi yang diserap juga bervariasi untuk setiap ikatan. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan momen ikatan sewaktu absorbsi. Ikatan nonpolar (C-H atau C-C) pada umumnya memberikan absorbsi lemah, sedangkan ikatan polar (C-O) akan terlihat sebagai absorbsi yang kuat.

Spektroskopi FTIR dapat digunakan untuk menganalisa kualitatif maupun kuantitatif. Analisa kualitatif spektroskopi FTIR secara umum dipergunakan untuk identifikasi gugus-gugus fungsional yang terdapat dalam suatu senyawa yang dianalisa (Silverstein, 1986). Dua variasi instrumental dari spektroskopi infra merah yaitu metode dispersif yang lebih tua, dimana prisma atau kisi dipakai untuk mendispersikan radiasi infra merah, dan metode Frourier Transform (FT) yang lebih akhir, yang menggunakan prinsip interferometri.

Kelebihan-kelebihan dari FT-IR mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembanagan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi, kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum (Stevens, 2001). Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) pada prinsipnya sama dengan spektroskopi inframerah, hanya saja spektroskopi FTIR ditambahkan alat optik (fourier transform) untuk menghasilkan spektra yang lebih baik, sehingga spektroskopi FTIR dapat menghasilkan data dimana dengan spektroskopi inframerah puncak yang diinginkan tidak muncul.


(5)

Komponen dasar spektrofotometer IR sama dengan UV-tampak, tetapi sumber, detektor, dan komponen optiknya sedikit berbeda. Mula-mula sinar infra merah dilewatkan melalui sampel dan larutan pembanding, kemudian dilewatkan pada monokromator untuk menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray

radiation). Berkas ini kemudian didispersikan melalui prisma. Dengan

melewatkannya melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor. (Khopkar,S.M.2008).

Gambar 2.4 Bagan Alat Spektroskopi Inframerah (Fessenden, R.J. 1983)

Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi inframerah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrofotometer inframerah. Komponen alat yang khas adalah sumber cahaya yang memancarkan cahaya inframerah pada semua panjang gelombang. Cahaya dari sumber ini pecah oleh sistem cermin menjadi dua berkas cahaya, berkas rujukan (referensi) dan berkas contoh. Setelah masing-masing melewati sel rujukan (pelarut murni, jika pelarut itu digunakan dalam contoh, atau kosong jika contoh tak menggunakan pelarut) dan sel contoh, kedua berkas ini digabung kembali dalam pemenggal (chopper; suatu sistem cincin lain), menjadi suatu berkas yang berasal dari kedua berkas itu, yang selang-seling bergantian. Berkas selang-seling ini didifraksi oleh suatu kisi sehingga berkas itu terpecah menurut panjang gelombang. Detektor mengukur beda intensitas antara kedua macam berkas tadi pada tiap-tiap panjang gelombang dan meneruskan informasi ini ke perekam, yang menghasilkan spektrum. Pita-pita inframerah dalam sebuah spektrum dapat dikelompokkan menurut intensitasnya : kuat (s, strong), medium (m) dan lemah (w, weak). Suatu pita lemah yang

Sumbe r Cahaya

Sel Contoh

Sel Rujuka

n


(6)

bertumpang-tindih dengan suatu pita kuat disebut bahu (sh, shoulder). Banyaknya gugus identik dalam sebuah molekul mengubah kekuatan relatif pita absopsinya dalam suatu spektrum. (Fessenden,R.J.1983).