Analisis Tentang Konsolidasi Tanah Pada Desa Pematang Simalungun Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

BAB II
KONSOLIDASI TANAH DI DESA PEMATANG SIMALUNGUN
KECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN
MENGALAMI KEGAGALAN

A. Bentuk-bentuk kegagalan serta masalah di dalam pelaksanaan konsolidasi
tanah di Indonesia.
Pelaksanaan pembangunan saat ini menghadapi tugas yang sangat berat karena
kebanyakan daerah di Indonesia tumbuh secara alamiah tanpa berlandaskan pada tata
ruang yang mantap. Tetapi juga karena urbanisasi yang berlangsung sangat cepat dan
dalam aktu yang relative singkat. Pertumbuhan penduduk yang melesat sangat cepat
menuntut pewadaan aneka aktifitas dan dalam suatu tata ruang yang utama di daerah
perkantoran ataupun kabupaten. 23
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu alternative
model pembangunan wilayah perkotaan tanpa pembebasan tanah yaitu dengan cara
konsolidasi tanah perkotaan (KTP). Melalui konsolidasi tanah perkotaan. Ini diharapkan
akan dapat mengatasi berbagai kelemahan model pembangunan konvensional seperti
pembebasan tanah, dalam pengadaan fasilitas-fasilitas umum dan lingkungan yang
teratur. 24
Konsolidasi lahan merupakan salah satu bentuk kegiatan pengelolaan tata guna
lahan melalui pengaturan kembali penggunaan lahan dan penguasaan bidang-bidang

tanah. Konsolidasi tanah sudah cukup populer di banyak Negara seperti di Negara
Jepang, Taiwan, Jerman, dan Indonesia sebagai salah satu instrumen penataan ruang
23

Kantor Pertanahan Kabupaten Kudus, Makalah Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan
Secara swadaya Di Kantor Pertanahan Kabupaten Kudus, Kudus, 2010. Hal 1
24
Ibid, hal 1.

Universitas Sumatera Utara

sasaran dari kegiatan ini adalah penataan kembali pengguaan dan penguasaan tanah
pada suatu kawasan yang kondisinya kurang memenuhi syarat menjadi kawasan yang
lebih baik.
Model-model konsolidasi tanah bervariasi karena struktur penguasaan bidangbidang tanah di beberapa Negara yang berbeda-beda. Secara garis besar
ada 3 model konsolidasi tanah. Di Eropa misalnya, konsolidasi lahan pertannian
merupakan upaya menyatakan penguasaan seseorang atas bidang-bidang tanah yang
terbesar menjadi 1 hamparan agar lebih mudah dalam pengelolaannya. Menata kembali
bentuk dan letak bidang tanah serta pemecahan bidang menjadi jumlah kavling lebih
banyak (land division) dalam rangka penataan wilayah.

1.

Kasus Konsolidasi Tanah (Land Consolidatoin) di Puger Jember Jawa Timur.
Program pemberian tanah dan sertifikat gratis untuk rakyat, khususnya nelayan

miskin, yang sering disebut konsolidasi tanah atau Land Consolidation (LC) di
Kecamatan Puger, Kabupaten jember, Jawa Timur oleh Badan Pertanahn Nasional
(BPN) Pusat, dengan anggaran APBN merupakan program yang patut diacungi jempol,
karena program tersebut akan berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat
nelayan miskin, paling tidak melalui program ini, dapat mengangkat kehidupan yang
lebih layak, terutama maslaah papan/tempat.
Kalau boleh dikatakan, bahwa program tersebut merupakan salah satu bagian
terkecil dari “amanat” Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5 tahun 1960). Oleh
karenanya, dalam mengawal dan melaksanakan program tersebut harus benarbenar teliti
dan serius, terutama maslaha vertifikasi data penerima. Hal ini untuk menghindari
munculnya masalah dikemudian hari, sehingga dalam pelaksanaannya benar-benar tepat
sasaran, agar tidak terkesan asal-asalan.

Universitas Sumatera Utara


Dalam melaksanakan program tersebut Pemerintah telah menetapkan kriteria
penerima sebagai acuan dasar vertifikasi data penerima sebagai berikut : 25
1.

Nelayan/buruh yang sudah berumah tangga tetapi yang belum punya tanah/maupun
rumah tinggal milik sendiri dan dalam kondisi tidak mampu/miskin.

2.

Nelayan atau buruh miskin yang sudah berumah tangga tetapi tinggal bersama
beberapa kepala keluarga dalam satu rumah.

3.

Nelayan dan buruh miskin dan bukan juragan atau pemilik perahu, sampan yang
punya anak buah perahu.

4.

Nelayan dan buruh miskin yang bersedia untuk tidak menjual tanah yang diberikan

oleh pemerintah lewat program LC (Land Consolidation) ini, kecuali diwariskan
kepada ahli warisnya dengan pernyataan tertulis.

5.

Nelayan dan buruh miskin yang bertempat tinggal di Kecamatan Puger khususnya
Desa Puger Kulon dan Puger Wetan dan identitas lain yang jelas.

6.

Nelayan dan buruh miskin yang pekerjanya bias dibuktikan di lapangan bahwa
yang bersangkutan benar-benar nelayan atau buruh nelayan miskin.
Dengan adanya rencana program tersebut, Pemerintah Kabupaten Jember

merespon positif, hal ini dibuktikan terbitnya surat keputusan Bupati Nomor :
188.45/179/012/2008 tertanggal 8 Juli tahun 2008 tentang penetapan lokasi dan
pelaksanaan Land Consolidation (LC) tahun 2008, diantaranya : lokasi Land
Consolidation bertempat di Desa Puger Kulon Kecamatan Puger, dengan luas 75.600
M2 untuk dibagikan kepada 700 penerima dan masing-maisng penerima mendapatkan
bidang tanah seluas 108 M2 , untuk diberikan kepada masyarakat nelayan miskin yang

bertempat tinggal di Desa Puger Kulon sebanyak 342 orang, sedang Desa Puger Wetan
25

Kasus Konsolidasi Tanah/LC Puger Jember Jawa Timur
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/02/04/kasus-konsolidasi-tanah-puger-jember-jatiprogram-bpn436172.html DIAKSES PADA TANGGAL 25 Juli 2014 oleh Mohammad Soleh

Universitas Sumatera Utara

sebanyak 358 orang. Hal tersebut juga diperkuat dengan terbitnya surat keputusan
Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Timur, Nomor SK.412.35
Tahun 2008 tertanggal 15 September 2008, tentang penegasan tanah sebagai obyek
konsolidasi tanah. 26
Pada tanggal 5 Maret Tahun 2010, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Kabupaten Jember mengadakan serah terima sertifikat tanah program Land
Consolidation (LC) sebanyak 700 sertifikat secara simbilok bertempat di Kecamatan
Puger, disaksikan Camat Puger, kepala Desa Puger Kulon, Kepala Desa Puger Wetan,
pengurus koperasi Makmur Sejahtera dan beberapa undangan lainnya. Ada sedikit
keanehan dalam acara tersebut, sertifikat diberikan kepada salah satu pengurus koperasi
Makmur Sejahtera yang mengatas namakan penerima program LC. 27
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, bahwa persoalan validitas data

penerima harus benar-benar teliti untuk menghindari timbulnya masalah.
Akan tetapi setelah sertifikat tanah LC diserahkan secara simbolik, timbul
berbagai persoalan, baik dari banyaknya data yang tidak layak menerima maupun
adanya penerima yang di duga fiktif.
Timbulnya persoalan tersebut, jelas merupakan bentuk kecerobohan dari
berbagai pihak yang terkait, baik dari kalangan Pemerintah Desa selaku pelaksana
pendataan maupun dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN), di sisi lain,
munculnya koperasi Makmur Sejahtera yang telah mendapatkan legimitasi dari Kantor
Badan Pertanahan Nasional (BPN) jawa Timur untuk melaksakan program tersebut
dengan alasan akses reform. Sehingga dapat mempengaruhi dan mengeksekusi sebagai
pelaksana, baik mengenai data penerima maupun sertifikat tanah LC. Sekedar
26
27

Ibid, Mohammad Soleh
Ibid, Mohammad Soleh.

Universitas Sumatera Utara

diketahui bahwa sampai saat ini sebanyak 700 sertifikat tanah LC masih di

eksekusi oleh koperasi Makmur Sejahtera.
Hasil investigasi langsung yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
Mina Bahari Puger, terdapat 70% tidak layak menerima dari 700 penerima program
tersebut, Desa Puger Kulon terdapat sebanyak 253 tidak layak dari 342 penerima dan
Desa Puger Wetan sebanyak 267 tidak layak dari 358 penerima.
Dari paparan tersebut, menunjukkan bahwa pangkal persoalan berada di
lingkaran jajaran Badan Pertanahan Nasional (BPN), ada dugaan bahwa program Land
Consolidation hanya sebagai “ladang mengais rejeki” berbagai pihak, dan patut diduga
bahwa munculnya koperasi Makmur Sejahtera yang telah mendapatkan legitiminasi dari
Kantor BPN Jawa Timur adalah sebagai instrument mencari nafkah, “dimana ada gula
disitulah semut akan datang”.
Dengan demikian bahwa program Land Consoludition terkesan asal-asalan,
sertifikat terbit dan tanah dibagikan (istilah tidak konsisten), tanpa ada rasa tanggung
jawab, padahal program Land Consolidation/konsolidasi tanah tidak sekedar
menerbitkan sertifikat dan bagi-bagi tanah gratis, tapi ini menyangkut hak-hak dasar
masyarakat rakyat sebagaimana amanat UUPA.

2.

Kasus Konsolidasi Tanah di Kota Pematang Siantar

Kasus penyimpangan prosedur tahapan pelaksanaan kegiatan kerja konsolidasi

tanah terjadi dalam pelaksanaan konsolidasi tanah di Kota Pematang Siantar Provinsi
Sumatera Utara. Kasus tersebut menjadikan tahapan pelaksanaan kegiatan konsolidasi
tanah sebagai titik tolak untuk membuat keputusan. Kasus Lidya Boru Siahaan, dkk
(para penggugat) melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota pematang Siantar (tergugat),

Universitas Sumatera Utara

Putusan PTUN Medan Reg. Nomor 57/G/1992/PTUN-Medan Tanggal 20 Maret 1993,
Putusan

Pengadilan

Tinggi

Tata

Usaha


Negara

(PTTUN)

Medan

No.57/BDG.G.MD/PTTUN/1993 tanggal 5 April 1994 dan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MARI) Reg. No. 70K/TUN/1994 tanggal 14 Agustus 1995. 28
Obyek sengketa adalah tanah yang terletak di areal Siantar Estate Blok 26 afd.
Sumarito Desa Bah Kapul Kecamatan Siantar dengan jumlah keseluruhan 43.835 M2 ,
sertifikat nomor 837, 838, 846, 847, 1023, 1024. 29

Kasus Posisi
Para penggugat mendalilkan bahwa dalam rangka proyek Land Consolidation,
tanah penggugat berkurang seluas 11.141 M2 atau 20,27% (persen). Pengurangan areal
ini seharusnya dipergunakan untuk sarana umum/jalan ternyata oleh tergugat diberikan
keada orang lain tanpa sepengetahuan para penggugat. Bahwa areal milik orang lain
yang ditambahkan ke dalam sertifikat hak milik atas nama para enggugat adalah areal
dengan keadaan tidak baik (rendahan), sedang areal penggugat yang diberikan kepada
orang lain adalah areal yang baik. Hal ini jelas merugikan para penggugat dan proses

dilaksanakan tergugat tanpa meusyawarah dengan penggugat. Bahwa pada tanggal 24
Agustus 1992 sertifikat hak atas tanah tersebut terbit. Para penggugat tidak dapat
menerimanya dan menyatakan keberatan kepada tergugat.
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, pernggugat menuntut kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara Medan untuk menjatuhkan putusan. 30

28

Yudhi Setiawan (Pegawai Kantor Pertanahan Gianyer Bali), Tantangan dan Hambatan
Konsolidasi Tanah Bagian (X), merupakan karya ilmiah berupa desertasi doctor yang di posted pada
blognya Yudhi Setiawan sendiri pada Senin tanggal 09 Februari 2009, dan diakses pada tanggal 22 Juli
2014.
29
Ibid, Yudhi Setiawan.
30
Ibid, Yudhi Setiawan.

Universitas Sumatera Utara

1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;

2. Membatalkan Surat keputusan tergugat yaitu sertifikat hak milik tanah
masing-masing Nomor M. 837, Nomor M. 838, Nomor M. 846, Nomor M.
847, Nomor M. 1023, Nomor M. 1024. Atas nama Wahasan Manurung,
Lidya Br. Siahaan, Indra Manurung;
3. Dst………….
Pertimbangan hukum Peradilan Tata Usaha Negara Medan berdasarkan
Putusan PTUN Medan Reg. Nomor 57/G/1992/PTUN-Medan tanggal 20
Maret 1993 dengan amar putusan : 31

1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
2. Membatalkan Surat keputusan tergugat yaitu sertifikat hak milik tanah
masing-masing Nomor M. 837, Nomor M. 838, Nomor M. 846, Nomor M.
847, Nomor M. 1023, Nomor M. 1024. Atas nama Wahasan Manurung,
Lidya Br. Siahaan, Indra Manurung;
3. Dst………….
Dalam pertimbangan hukum putusan dinyatakan :
“Bahwa berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Tata Cara kerja Tahap II,
bahwa selain pernyataan ikut serta dalam konsolidasi tanah tersebut diperlukan pula
pernyataan kesepakatan desain tata ruang”
“Bahwa dari ketentuan tersebut di atas ternyata pihak terguga secara baik dalam
menyusun pra desain maupun deain tata ruang tidak pernah memanggil penggugat
untuk mengadakan musyawarah,...”

31

Ibid, Yudhi Setiawan

Universitas Sumatera Utara

Pertimbangan hukum tersebut menjadi dasar bagi Hakim PTUN Medan untuk
mengadili Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar untuk menyatakan batal hak milik
yang dibuat di atas tanah penggugat. Keputusan tersebut kemudian dikuatkan oleh
Putusan Pengadilan Tinggi Tata usaha (PTTUN) Medan No.57/BDG.G.MD/
PTTUN/1993 tanggal 5 April 1994 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
(MARI) Reg. NO.70K/TUN/1994 tanggal 14 Agustus 1995.
Dalam

tingkat,

Mahkamah

Agung

dalam

pertimbangan

hukumnya;

Menimbang: 32
Lagi pula dari sebab, tidak ternyata bahwa putusan PTTUN Medan dalam
perkara ini bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang, maka permohonan
kasasi Badan Pertanahan Nasional tingkat I dan Kotamadya Pematang Siantar baru
ditolak:
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970,
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986;
Mengadili:
Menolak permohonan kasasi Kepala Badan Pertanahan Nasional Tingkat I,
Kotamadya Pematang Siantar. Menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya
perkara dalam peradilan Tingkat Kasasi yang ditetapkan sebesar Rp.50.000,- (lima
puluh ribu rupiah).
Analisis
Perjanjian dalam konsolidasi tanah terdapat percampuran perjanjian, yaitu; (1)
perjanjian perdata, (2) perjanjian kebijaksanaan (kewenangan). Beedasarkan hal
demikian, ketika terjadi sengketa antara Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan

32

Ibid, Yudhi Setiawan

Universitas Sumatera Utara

pemilik tanah dan adanya suatu gugatan harus dilihat dahulu apa yang dilanmggar.
Apabila pelanggar tersebut mengenai perjanjian perdata trntunya menjadi kompetensi
hakim perdata. Dengan kata lain gugatan diajukan melalui peradilan umum. Sebaliknya,
jika dianggap sebagai perjanjian kebijaksanaan (kewenangan), bila terjadi sengketa
mengenai pelaksanaan perjanjian maka menjadi kompetensi hakim tata usaha Negara.
Berkaitan dengan kasus sengketa ini, analisis dilakukan berkaitan pertimbangan
hukum dalam putusan hakim : 33
“Bahwa berdasar ketentuan yang terdapat dalam Tata Cara Kerja Tahap II,
bahwa selain pernyataan ikut serta dalam konsolidasi tanah tersebut diperlukan
pula pernyataan kesepakatan sdesain tata ruang.”
(substansi puitusan ini masuk dalam perjanjian perdata)
“Bahwa dari ketentuan tersebut di atas ternyata pihak tergugat baik dalam
menyusun pra desain maupun desain tata ruang tidak pernah memnaggil
penggugat untuk mengadakan musyawarah,…”
(substansi puitusan ini masuk dalam perjanjian perdata)
Analisis poin pertama kalimat : “……diperlukan pula pernyataan kesepakatan
desain tata ruang”. Point kedua kalimat : “……tidak pernah memanggil penggugat
untuk mengadakan musyawarah”. Kalimat pada poin pertama dan poin kedua
mengandung makna telah terjadi cacat kehendak sehingga peneribitan sertifikatnya
tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 BW terutama
“sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”; Hal tersebut didasarkan ketentuan Pasal
1321 BW “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
paksaan atau penipuan”. Dengan kata lain tiga faktor yang menyebabkan timbulnya

33

Ibid, Yudhi Setiawan

Universitas Sumatera Utara

cacat kehendak, adalah “dwaling” (kesesatan, kekeliruan, kekhilafan), “dwang”
(tekanan, paksaan) serta “bedrog” (penipuan). 34
Berkaitan dengan “sepakat mereka yang mengakibatkan dirinya” untuk lebih
lengkapnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1321 BW :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Dalam ketentuan Pasal 1322 BW :
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila
kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian.
Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi
mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu
perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat
dirinya orang tersebut.
Pemahaman tentang “dwang” (tekanan, paksaan) bukan dimaksudkan dengan
paksaan yang bersifat absolute dimana seseorang dipaksa sehingga tidak bias berbuat
apa-apa. Tetapi yang dimaksud adalah paksaan kekerasan jasmani atau ancaman yang
menimbulkan ketakutan sehingga paksaan yang demikian membuat seseorang
melakukan perjanjian. Penjelasan di atas adalah penafsiran-penafsiran dari Pasal 1323
dan 1324 BW.
Dalam ketentuan Pasal 1323 BW :
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian,
merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan

34

Ibid, Yudhi Setiawan.

Universitas Sumatera Utara

oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak
telah dibuat.
Dalam ketentuan Pasal 1324 BW :
Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat
menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat
menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaan
terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan
kedudukan orang-orang yang bersangkutan.
Dalam ketentuan Pasal 1325 BW :
Paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan
terhadap salah satu pihak yang membbuat perjanjian tetapi juga apabila paksaan
itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas
maupun ke bawah.
Dalam ketentuan Pasal 1449 BW :
Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan,
menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.
Berkaitan dengan adanya “bedrog” (penipuan) dalm perjanjian merupakan
alasan untuk membatalkan perjanjian yang diadakan. Dengan kata lain, perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 1328 BW :
Penipuan merupakan alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat
yang dipakai oleh slah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata

Universitas Sumatera Utara

bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu
muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Dalam ketentuan Pasal 1452 BW :
Pernyataan

batal

berdasarkan

paksaan,

kekhilafan

atau

penipuan,

berakibatbarang dan orang-orangnya dipulihkan dalam keadaan sewaktu sebelum
perikatan tersebut.merujuk uraian di atas, dilanggarnya ketentuan Pasal 1320 BW
terutama “sepakat mereka yang mengakibatkan dirinya”, dapat diartikan tidak
dipenuhinya syarat subyektif oleh para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
maka menurut hukum perjanjian akan berakibat “dapat dibatalkan” perjanjian tersebut
atau dapat dimintaakan pembatalannya. Dengan demikian dalam putusan hakim, cacat
kehendak yang disebabkan karena “dwaling” (kesesatan, kekeliruan, kekhilafan), atau
“dwang” (tekanan, paksaan) atau “bedrog” (penipuan) adalah sebagai alasan
pembatalan sertifikat hak atas tanahnya.
1.

Bahwa Hakim Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Tinggi dan Hakim
pada tingkat kasasi tidak cermat menganalisis kasus perkara tanah karena
pertimbangan hukum putusan hakim di atas masuk dalam lapangan hukum
perdata. Sehingga gugatan tersebut merupakan kompetisi perasilam umum
dan bukan kompetensi hakim peradilan telah terjadi modifikasi tata usaha
Negara. Dengan demikian telah terjadi modifikasi perkara perdata menjadi
sengketa tata usaha Negara, dan para hakim di atas mempunyai andil dalam
menciptakan ketidak pastian hukum.

2.

Dengan putusan yang demikian berlaku asas ex falso quolibet. Jika konsep
awalnya atas dasarnya salah satu kesimpulannya akan salah. Dengan kata

Universitas Sumatera Utara

lain kealahan konepmengakibatkan alur nalar sesat dan kesimpulannya
menyesatkan.
Penggujian Atas Putusan Hakim Perasilan Tata Usaha Negara Medan
Pengujian ini dilakukan dengan dua alasan, pertama untuk mengungkap
argumentai hakim yang berpendapat bahwa kasus dalam konsolidasi tanah masuk
lapangan hukum administrasi sehingga menjadi kompetensi hakim peradilan tata uaha
Negara. Kedua untuk menguji apakah hakim dalam memutuskan perkara dalam
konsolidasi tanah telah mengikut konsep hokum administrasi atau tidak.
Hakim berpendapat bahwa telah terjadi penyimpangan prosedur terhadap
tahapan kegiatan kerja dalam pelaksanaan konsolidasi tanah di Kota Pematang Siantar
Provinsi Sumatera Utara. Kasus tersebut menjadikan tahapan pelaksanaan kegiatan
konsolidasi tanah sebagai titik tolak untuk membuat keputusan. Kasus Lidya Boru
Siahaan, dkk (para penggugat) melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Pematang
Siantar (tergugat), Putusan PTUN Medan Reg. Nomor 57/G/1992/PTUN-Medan
Tanggal 20 Maret 1993, Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)
Medan Nomor 57/BDG.G.MD/PTTUN/1993 tanggal 5 April 1994 dan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Reg No. 70K/TUN/1994 tanggal 14
Agustus 1995.
Obyek sengketa adalah tanah yang terletak di areal Siantar Estate Blok26 afd.
Sumarito Desa Bah Kapul Kecamatan Siantar dengan jumlah keseluruhan 43.835 M2,
sertifikat No. 837,838,846,847,1023,1024.

Universitas Sumatera Utara

Prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah dalam konsolidasi tanah
Prosedur (tahapan pertama) yang dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setelah dikeluarkannya Keputusan Bupati/Walikota tentang penetapan Lokasi
Pelaksanaan Konsolidasi Tanah adalah :
1.

Mengidentifikasi (pendataan) Subyek dan Obyek ; satgas pelaksana identifikasi
subyek dan obyek yang dipimpin Kepala Seksi pengaturan penguasaan Tanah
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau petugas yang ditunjuk,melaksanakan
kegiatan identifikasi subyek dan obyek. Seperti : (a) nama peserta, alamat,
pekerjaan, batas-batas tanah, luas tanah, (b) identifikasi dilaksanakan bersamaan
dengan pengukuran rincian agar dapat memberikan hasil terpadu, (c) hasil dari
identifikasi adalah daftar pemilikan tanah sebelum konsolidasi tanah dan
memasukannya ke dalam formulir Model KT – 05.

2.

Pengukuran dan Pemetaan Keliling ; adalah untuk mengetahui batas keliling dan
letak lokasi. Kegiatannya meliputi : (a) pengukuran keliling dengan pemasangan
tugu polygon pada titik-titik yang secara teknis diperlukan dan diikuti pengukuran,
pemetaan dan perhitungan jaringan polygon, (b) pengukuran keliling lokasi
Konsolidasi Tanah, (c) memetakan hasil pengukuran kelilin, (d) menghitung luas
lokasi.

3.

Pengukuran dan Pemetaan Rincikan ; rincian kegiatannya : (a) mengukur batasbatas persil, (b) memetakan hasil pengukuran persil, (c) menghitung luas persil, (d)
mencocokkan luas tanah hasil perhitungan dengan luas tanah yang tercantum dalam
pipil/girik/bukti hak atas tanah lainnya. Apabila ada perbedaan, maka yang dipakai
adalah hasil pengukuran dengan diberitahukan kepada pemilik tanah, (e) memberi
nomor setiap persil dalam peta rincikan. Hasilnya berupa peta rincikan (skala 1:

Universitas Sumatera Utara

1000) lengkap dengan nomor persil serta menggambarkan jalan, saluran air dan
bangunan yang disertai daftar nama ini sebagai bahan pembuatan Desain
Konsolidasi Tanah.
4.

Pengukuran Topografi DAN Pemetaan Penggunaan Tanah ; pengukuran
topografi digunakan untuk mengetahui ketinggian dan lereng areal konsolidasi
tanah, kegiatannya : (a) mengukur ketinggian di lapangan, (b) memetakan hasil
pengukuran, (c) membuat garis ketinggian, (d) menghitung lereng. Peta topografi
dibuat dengan skala 1:1000 dengan interval counter (0,5 s.d 1m). Pemetaan
pengunaan tanah digunakan untuk mengetahui jenis penggunaan tanah di lokasi
konsolidasi tanah. Pembuatan Peta Rencana Block (Block Plan). Rencana blok
menggambarkan rencana jaringan jalan dan fasilitas umum.

5.

Pembuatan Desain Konsolidasi Tanah (DKT) ; adalah untuk merencanakan
tanah pada areal tanah yang telah dikurangi Sumbangan Tanah Untuk Pelaksanaan
(STUP). Hasil Desain Konsolidasi Tanah (DKT) berupa peta yang menggambarkan
: rencana kavling, jaringan jalan, fasilitas umum, dan lain-lain.
Setelah prosedur (tahapan pertama) selesai, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

mengajukan permohonan penegasan obyek konsolidasi tanah kepada Kantor Wilayah
Badan Pertanahan nasional provinsi setempat dengan melampirkan : (a) Surat keputusan
Bupati/Walikota

tentang

Penetapan

Lokasi

Konsolidasi

Tanah

;

(b)

Pernyataan/Persetujuan pemilik tanah mengenai kesediannya ikut serta dalam
konsolidasi tanah; (c) Daftar peserta dan luas tanahnya, (d) Peta situasi lokasi
konsolidasi tanah; (e) Peta penggunaan tanah; (f) peta rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten/Kota; (g) Peta keliling; (h) Peta rincikan (sebelum konsolidasi
tanah); (i) Desain konsolidasi tanah; (j) perhitungan rencana luas dan peruntukan tanah;

Universitas Sumatera Utara

(k) Keterangan riwayat tanah yang di tanda tangani Kepala Kantor pertanahn/Kota
setempat. (l) Surat keterangan pendaftaran tanah.
Dikeluarkannya Surat keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi tentang Penegasan Tanah Sebagai Obyek Konsolidasi Tanah, langkah
prosedur (tahapan kedua) adalah :
1.

Staking out/Realokasi; dimaksudkan untuk mewujudkan secara fisik Desain
Konsolidasi Tanah (DKT) di lapangan dan menunjukkan kevling kepada yang
berhak. Pelaksanaannya melalui pengukuran dan pemetaan KADASTRAL ulang.

2.

Pembuatan Desain Konsolidasi Tanah (DKT); adalah untuk merencanakan
penataan tanah setelah dikurangi STUP. Dalam melakukan pengkavlingan
diusahakan agar pergeseran atau pemindahan kavling lama tidak jauh dengan letak
semula. Hasil DKT berupa peta yang menggambarkan; rencana kavling, rencana
fasilitas umum dan lain-lain.

3.

Musyawarah tentang DKT; dimusyawarahkan dengan peserta Konsolidasi Tanah
dengan dijelaskan : (a) perubahan bentuk, luas dan kemungkinan terjadinya
penggeseran sebagai akibat dari realokasi kavling setelah luas tanahnya dikurangi
STUP. (b) kemungkinan pembongkaran bangunan atau tanaman yang telah ada
sebagai akibat penggeseran. Hasil musyawarah ini dibuat dalam Berita Acara yang
ditandatangani oleh anggota Satgas Pelaksana serta wakil dari para peserta.

4.

Pernyataan Pelepasan Hak atas Tanah; adalah untuk menjadikan status tanah
menjadi tanah yang dikuasai Negara, sehingga pemerintah dapat menata kembali
penguasaan tanah dan penggunaan sesuai hasil musyawarah dengan para peserta
Konsolidasi Tanah. Surat pernyataan Pelepasan Hak/Penguasaan fisik tanah
ditandatangani oleh yang bersangkutan dihadapan Kepala Kantor pertanahn

Universitas Sumatera Utara

Kabupaten/Kota yang perlu diperhatikan dalam pelepasan hak adalah : (a) peserta
Konsolidasi Tanah datang sendiri ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk
membuat surat pernyataan, (b) Apabila tanah tersebut sudah bersertifikat dan
diagunkan/jaminan kredit, maka harus ada persetujuan kreditur yang bersangkutan.
Untuk itu Kepala Kantor Pertnahan Kabupaten/Kota perlu memberitahukan secara
tertulis kepada kreditur dan selanjutnya diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, (c) apabila tanah yang bersangkutan merupakan pemilikan bersama
misalnya suami-istri, maka yang menandatangani Suart Pernyataan pelepasan Hak
adalah suami-istri (bersama-sama). Pada saat pelepasan hak/penguasaan fisik,
sertifikat dan bukti-bukti lainnya harus diserahkan kepada kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota (d) Tanah-tanah aset pemerintah persetujuannya adalah
dari instansi yang bersangkutan.
5.

Konstruksi; adalah pekerjaan teknis fisik yang meliputi penggalian parit untuk
pembentukan badan jalan, pengerasan, sarana/fasilitas umum dan lainnya.
Pekerjaan konstruksi ini dilaksanakan mengacu kepada desain konsolidasi tanah.

6.

Pengelolaan Tanah Pengganti Biaya Pelaksanaan (TPBP); dilakukan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Tanah tersebut merupakan sumbangan dari
pemilik tanah atau peserta konsolidasi tanah yang telah diserahkan pengelolannya
kepada Negara melalui pelepasan hak untuk membiayai pelaksanaan konsolidasi
tanah. Biaya atau dana tersebut diperoleh dari hasil pembayaran kompensasi
penyerahan Tanah Pengganti Biaya Pelaksanaan (TPBP).

7.

Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah; Kepala Kantor pertanahan
memberi keputusan mengenai pemberian hak milik atas tanah.

8.

Sertifikasi.

Universitas Sumatera Utara

Analisis
Berkaitan dengan kasus sengketa, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut : pertama,
bahwa tanah yang terletak di lokasi konsoldasi tanah adalah tanah milik penggugat yang
dalam rangka Land-consolidation tanahnya dikurangi sesuai perjanjian yang telah
disepakati. Kedua, bahwa dalam proses desain konsolidasi tanah proses tersebut
dilaksanakan tergugat tanpa musyawarah dengan penggugat.
Hal yang tidak dilihat oleh hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi
dan

hakim

tingkat

kasasi;

pertama,

telah

adanya

penandatanganan

persetujuan/kesepakatan/pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah oleh pemilik
tanah. Peristiwa itu diartikan telah ada kesepakatan dalam perjanjian antara Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota dan pemilik tanah. Dengan kata lain pemilik tanah
setuju/sepakat untuk melepaskan hak atas tanahnya untuk ditata dalam konsolidasi
tanah. Konsekuensi penataan adalah adanya pergeseran lokasi tanah karena keperluan
fasilitas

umum

dan

fasilitas

sosial;

kedua,

penandatanganan

persetujuan/kesepakatan/pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah oleh pemilik
tanah berarti telah ada musyawarah tentang desain konsolidasi tanah kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. Dengan kata lain tidak akan nada penandatanganan
persetujuan/kesepakatan/apabila pemilik tanah tidak atau belum ada kesepakatan.
Pemilik tanah mempunyai hak untuk menerima atau menolak sama sekali (take it or
leave it) konsolidasi tanah.
Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan
tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan seperti Surat Edaran Kepala
Badan Pertanahan Nasional tanggal 7 Desember 1991 Nomor 410-4245 perihal

Universitas Sumatera Utara

Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah, yang merupakan peraturan kebijaksanaan.
Suatu peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang
tidak akan ada dasar peraturan perundang-undangan untuk keputusan membuat
peraturan kebijaksanaan. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan diskresi dan
ketiadaan wewenang administrasi (Negara) membuat peraturan perundang-undangan.
Baik karena secara umum tidak berwenang maupun untuk obyek bersangkutan tidak
berwenang mengatur. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diarahkan pada
doelmategheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik
(AUPB), di Belanda disebut dengan algemene beginselen van behoorlijk bestuur
(abbb)dan telah diatur dalam undang-undang yang disebut dengan algemene wt
bestuursrecht (Awb) dan dalam bahas Inggrisnya diterjemahkan sebagai general
Administrative Law Act (GALA). Di Inggris peraturan kebijaksanaan disebut dengan
prinsip ultra vires. Prinsip ultra vires penekanannya pada aspek kepastian hukum dan
adanya supremasi parlemen. Hal tersebut karena semua kewenangan publik ditentukan
melalui dan oleh parlemen dengan mempergunakan lembaga peradilan sebagai sarana
penegakannya.
Jika hakim peradilan tata usaha Negara dalam kasus ini menganggap telah
terjadi pelanggaran oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sehingga “bertentangan
dengan peraturan perundang-ndangan, batu ujinya adalah pelanggaran atas asas
kepercayaan (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak
(fair play) dari AUPB dalam pelaksanaan konsolidasi tanah. Dasar pengujian
(toetsings gronden) yang diambil oleh hakim peradilan tata usaha negara adalah ada
tidaknya pelanggaran atas asas kepercayaan (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran

Universitas Sumatera Utara

atau asa permainan yang layak (fair play) dari AUPB, dalam pertimbangan putusan
harus disebutkan asas mana yang dilanggar.
Penjelasan di atas sesuai dengan JUKLAK Mahkamah Agung Nomor
052/Td.TUN/III/1992, tanggal 24 Maret 1992 bahwa :
Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas umum pemerintah yang baik
sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam
dictum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan yang baik yang dilanggar
dan akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2).
Sehingga dinyatakan keputusan tata usaha Negara yang digugat bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a
Undang-undang tahun 1986. Dalam hal ii ketentuan pasal 53 ayat (2) huruf a dapat
digunakan secara terbatas,yaitu dalam hal terdapat rumusan undang-undang tersamar
(norma tersamar). Terhadap rumusan undang-undang tersamar “kewenangan bebas”
pemerintahan berupa kewenangan interprestasi. Terhadap interprestasi itulah dapat
diterapkan AUPB. Dengan demikian dalam pertimbangan AUPB diterapkan melalui
interprestasi

terhadap

peraturan

perundang-undangan

namun

dalam putusan

dinyatakan bahwa keputusan tata usaha Negara yang digugat bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c
yaitu adanya unsur “penyalahgunaan wewenang” dan “tindakan sewenag-wenang”
hanya dapat diukur dari asas kepercayaan (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran
atau asas itu digunakan untuk melalui namun dalam dictum putusan bahwa keputusan
tata usaha Negara (dalam hal ini sertifikat hak atas tanah) yang digugat dinyatakan batal
karena mengandung unsur tindakan sewenang-wenang.

Universitas Sumatera Utara

Pengujian keputusan tata usaha Negara dalam kaitannya dengan Pasal 53 ayat
(2) Undang-undang Nomor 5 tahun 1986, dilakukan pengujian secara materil tidak
hanya terbatas karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagai
hukum tertulis, tetapi juga karena bertentangan dengan hukum tidak tertulis yaitu
AUPB. Ini berarti pengujian keputusan yang merupakan peraturan kebijaksanaan seperti
Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan nasional tanggal 7 Desember 1991 Nomor 4104245 perihal Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah, dapat dilakukan pengujian
secara tidak langsung oleh hakim peradilan tata usaha Negara. Dari uraian di atas
diketahui bahwa pengujian secara materil peraturan kebijaksanaan oleh hakim peradilan
tata usaha Negara meurut ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 14 dan Pasal 27 AUPB dengan mengacu kepada peraturan
perundang-undangan.
1. Telah terjadi kesalahan dalam pertimbangan putusan karena tidak
menyebutkan asas mana dari asas-asas umum pemerintahan yang baik
(AUPB) yang dilanngar.
2. Telah terjadi kesalahan dalam putusan baik oleh hakim pengadilan negeri,
hakim pengadilan tinggi dan hakim tingkat kasasi yang pada intinya
menyatakan bahwa dalam penerbitan sertfikat hak milik para penggugat
adanya cacat yuridis berkaittan dengan aspek prosedur yang dilakukan
tergugat dalam menerbitkan sertifikat hak milik atas tanah obyek sengketa.
3. Kesalahan terjadi karena hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi
dan hakim pada tingkat kasasi tidak cermat menganalisis kasus perkara
dalam konsolidasi tanah. Ketidakcermatan tersebut karena para haki di atas
tidak memahami konsep hukum administrasi. Keadaan tersebut lebih

Universitas Sumatera Utara

disebabkan karena memodifikasi perkara perdata menjadi sengketa tata usaha
Negara. Dengan demikian para hakim di atas mempunyai andil dalam
menciptakan ketidakpastian hukum.
4. Dengan putusan yang demikian berlaku asas ex falso quolibet. Jika konsep
awalnya atau dasarnya salah maka kesimpulannya akan salah. Dengan kata
lain kesalahan konsep mengakibatkan alur nalar sesat dan kesimpulannya
menyesatkan.

B. Faktor-Faktor Kegagalan Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Di Indonesia
1.

Masalah Dari Pemilik Tanah
Sebelum

lokasi

konsolidasi

tanah

diterapkan

dengan

Surat

keputusan

Bupati/Walikota, salah satu persyaratan penetapan obyek konsolidasi tanah adalah
adanya kesediaan pemilik tanah untuk menyetujui pelaksanaan konsolidasi tanah.
Dengan kata lain menyetujui melepaskan sebagian hak atas tanahnya untuk
disumbangkan alam konsolidasi tanah tanpa ganti rugi berupa uang. Ganti rugi dalam
konsolidasi tanah adalah ganti rugi berupa lingkungan yang tertata rapi, semua tanah
menghadap ke jalan, terdapatnya fasilitas umum dan fasilitas sosial, dan kepastian hak
atas tanah berupa sertifikat yang diperoleh secara cuma- cuma sebagai kompensasi atas
tanah yang disumbangkan dalam konsolidasi tanah. Makna “menyetujui” adalah
sepakat. Kesepakatan melahirkan perjanjian. Perjanjian menimbulkan perikatan, dan
perikatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum diatur dalam hukum perjanjian.
Dengan kata lain perjanjian digunakan dalam konsolidasi tanah. Untuk mencapai hal
tersebut, langkah yang ditempuh Kantor Pertanhan Kabupaten/ kota sebagai pelaksana
konsolidasi tanah adalah melakukan penyuluhan untuk mendapatkan persetujuan dari

Universitas Sumatera Utara

pemilik tanah. Penyuluhan dilaksanakan Kantor Pertahanan dan Pemerintahan Daerah
secara langsung. Penyuluhan diberikan kepada masyarakat terutama para pemilik tanah
di lokasi konsolidasi tanah, pemuka masyarakat, pemuka adat (pimpinan informal),
Ketua RW dan aparat pelaksana pada lokasi terpilih. Hal tersebut dimaksudkan agar
masyarakat semakin mengerti tentang manfaat kegiatan konsolidasi tanah dan ikut
secara aktif dalam pelaksanaannya. Penyuluhan kepada aparat pelaksana dimaksudkan
agara aparat mengerti tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan
konsolidasi tanah. Adapun materi penyuluhannya yaitu : (a) kegiatan konsolidasi tanah
secara umum, (b) manfaat konsolidasi tanah bagi peserta, (c) sumbangan peserta dalam
konsolidasi tanah berupa Sumbangan Tanah Untuk Pelaksanaan (STUP), (d) susunan
organisasi pelaksana konsolidasi tanah, (e) lain – lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan kondolidasi tanah. (f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
4 Tahun 1991
Pada pasal 4 ayat (1) menetapkan : Lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh
Bupati/Walikota dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang dan Rencana
Pembangunan Daerah.
Konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila sekurang – kurangnya 85 persen dari
pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang – kurangnya 85 persen dari luas
seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasikan persetujuannya.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi
mereka yang membuatnya. Persetujuan – persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan – alasan yang oleh undang –
undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan – persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.

Universitas Sumatera Utara

Merujuk pasal 1338 BW, menurut hukum perdata tanpa persetujuan pemilik
tanah melepaskan hak atas tanahnya Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
yang mempunyai kewenangan di bidang pertanahan sekalipun tidak bias menggunakan
kewenangannya untuk melaksanakan konsolidasi tanah. Di sisi lain, Bupati/Walikota
tidak mempunyai wewenang mengatur di bidang pertanahan, hanya berwenang
menetapkan lokasi konsolidasi tanah. Bupati/Walikota bias menetapkan lokasi
konsolidasi tanah tetapi tidak bias melaksanakan keputusan tersebut apabila tidak ada
persetujuan dari pemilik tanah (lihat Pasal 4 ayat (2) di atas). Dengan demikian, peran
serta (inspraak) atau persetujuan pemilik tanah dalm konsolidasi tanah menentukan.
Dengan kata lain, tanpa adanya kesepakatan dari pemilik tanah Keputusan
Bupati/Walikota yang dikeluarkan tidak bias dilaksanakan.
Contrario, apabila Bupati / Walikota mengeluarkan keputusan tentang
penentapan lokasi konsolidasi tanah (sesuai dengan kewenangannya) tanpa adanya
kesepakatan dari pemilik tanah, maka keputusan Bupati/ Walikota tersebut tidak berarti
dan tidak berakibat hukum. Hal tersebut dapat dilihat konsideran “memperhatikan”dari
keputusan Bupati/ Walikota sebagai berikut :
MEMPERHATIKAN : Hasil musyawarah masyarakat Desa/Kelurahan/ Kabupaten
….tanggal……….tentang Kondolidasi Tanah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah dari pemilik tanah
dalam konsolidasi tanah; pertama, sulitnya mendapatkan persetujuan atau kesepakatan
dari pemilik tanah menentukan dikeluarkannya keputusan Bupati/Walikota tentang
penetapan lokasi konsolidasi tanah. Dengan kata lain persetujuan menentukan dapat
tidaknya konsolidasi tanah dilaksanakan; kedua, sulitnya mencari titik temu kesepakatan

Universitas Sumatera Utara

besaran persentase sumbangan tanah untuk pembangunan yang diberikan tanpa ganti
rugi.

2. Masalah Yang Bersumber Dari Pemerintah Daerah
Penataan ruang diatur dalam Undang – undang Nomor 24 tahun 1992 tentang
Penataan Ruang yang diganti dengan Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007.
Rencana Ruang Wilayah Kabupaten / Kota dan atau Rencana Detal Tata Ruang Kota
(RDTRK) dan Renacana Teknik Ruang Kota (RTRK) menjadi pedoman untuk
merumuskan kebijakan pokok pemanfaatan ruang dan penetapan lokasi investasi di
wilayah Kabupaten / Kota serta menjadi dasar bagi penerbitan perizinan lokasi
pemabangunan. Berdasarkan uraian di atas, titik anjak pemerintah daerah superior
rencana tata ruang dan rencana pembangunan daerah yang didasarkan atas undang –
undang dibandingkan konsolidasi tanah yang didasarkan atas regulasi Peraturan Kepala
Pertanahan Badan Pertahanan Nasional Nomor 4 Tahun 1991. Dengan kata lain,
konsolidasi tanah tidak bisa dilaksanakan apabila tidak menyesuaikan dengan rencana
tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Ketika rencana tata ruang kota
menetapkan pembuatan jalan arteri selebar 40 meter untuk memecahkan kemacatan lalu
lintas kota, misalnya. Hal ini akan menjadi benturan apabila pelaksanaannya dilakukan
melalui konsolidasi tanah yang hanya mampu menyediakan jalan lingkungan dengan
lebar 4 sampai 8 meter karena peran serta pemilik tanah yang dilaksanakan di Indonesia
“umumnya” hanya 20 % (dua puluh persen) dari luas tanah. Sesuai dengan rencana
pembangunan daerah, dibutuhkan pembangunan stadion sepak bola misalnya.
Konsolidasi tanah tidak bisa memberikan solusi atas luasnya lahan yang diperuntukan
untuk stadion dengan peran serta pemilik tanah yang hanya 20% (dua puluh persen) dari

Universitas Sumatera Utara

luas tanah. Keadaan di atas dapat diatasi, apabila peran serta ditingkatkan setidaktidaknya 30%. Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa rencana tata ruang dan
rencana pembangunan daerah yang diatur atas dasar undang-undang,superior
dibandingkan konsolidasi tanah yang diatur atas dasar regulasi. Pemaksaan pelaksanaan
dua hal yang bertentangan tersebut mengakibatkan terjadinya tarik menarik kepentingan
antara Pemerintah daerah dan pemilik tanah yang berpotensi menimbulkan gugatan.
Demikian pula dengan ditetapkannya Bupati/Walikota sebagai ketua Tim Koordinasi
Konsolidasi Tanah Tingkat Kabupaten/Kota, dimana tugasnya antara lain adalah
mengevaluasi

dan

mengarahkan

penyusunan

desain

tata

ruang

serta

mengatur/mengarahkan peruntukan dan penggunaan tanah pengganti biaya pelaksana
(TPBP) cenderung menimbulkan penyalahgunaan wewenang (de’tournament de
pouvoir) yang berpotensi menimbulkan gugatan pula.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan; pertama, masalah dari pemerintah
daerah dalam konsolidasi tanah adalah wewenang yang terbatas karena pembatasan hak
atas tanah bukan wewenang Bupati/Walikota; kedua, percampuran antara wewenang
Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dan dalam menetapkan lokasi konsolidasi
tanah dengan tigas Bupati/Walikota sebagai tim koordinasi dalam konsolidasi tanah.
Dengan kata lain ada percampuran antara kewenangan dan ketidakwenangan
Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah; ketiga, penggunaan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 dalam konsolidasi tanah membuka peluang
yag besar terjadinya gugatan dari pemilik tanah atau badan hukum perdata.
Contoh gugatan dengan alasan yang pada pokoknya ada cacat yuridis dalam
prosedur menjadikan terjadinya kasus dalam pelaksanaan konsolidasi tanah di Kota
pematang Siantar provinsi Sumatera Utara. Kasus tersebut menjadikan tahapan

Universitas Sumatera Utara

pelaksanaan kegiatan konsolidasi tanah sebagai titik tolak untuk membuat keputusan.
Kasus Lidya boru Siahaan, dkk (para penggugat) melawan Kantor pertanahan Kota
Pematang Siantar (tergugat), Putusan PTUN Medan Reg Nomor 57/G/1992/PTUNMedan Tanggal 20 Maret 1993, Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN) Medan Nomor 57/BDG.G.MD/PTTUN/1993 Tanggal 5 April 1994 dan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Reg. Nomor 70K/TUN/1994
tanggal 14 Agustus 1995.

C. Bentuk Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui
Peradilan Umum
Di Indonesia sulit untuk mendapatkan pengaturan yang memadai atau lengkap
mengenai penyelesaian sengketa melalui alternative

penyelesaian sengketa, dalam

Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 bahwa alternative penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh Para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli.
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali dengan perasaan tidak puas yang bersifat
subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok.
Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflik interest. Pihak
yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan
apabila tidak ada titik temu penyelesaian maka ini dikatakan sebagai sengketa yang
secara garis besar terdapat dua kubu/pihak yang mempunyai pendirian masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

Sengketa tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap
hak publik dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak
publik antara lain wewenang pemberian sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional
sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan yang menyangkut hak perorangan
dikarenakan proses peralihan hak.
Sengketa tanah yang timbul antara lain terkait dengan warisan, penerbitan
sertifikat, perbuatan hukum perlaihan hak atas tanah (jual beli, hibah), dan pembebasan
tanah untuk kepentingan umum. Sumber sengketa tanah yang terjadi secara umum dapat
dibagi menjadi 5 (lima) kelompok : 35
1.
2.
3.
4.
5.

Sengketa disebabkan oleh kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru
Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan tentang sumber daya agrarian
Tumpang tindihnya penggunaan tanah
Kualitas sumber daya manusia dari aparat pelaksana, dan
Berubahnya pola piker masyarakat terhadap penguasaan tanah.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan

yang umumnya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan dan hal ini
berakibat dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat. Agar terciptanya proses
penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi adalah kedua belah
pihak harus sama-sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar
dan hak untuk di dengar sehingga dapat tercipta titik temu dari penyelesaian
masalah/sengketa.
Ada 3 (tiga) faktor utama yang memengaruhi proses penyelesian sengketa, yaitu
: [14]
1. Kepentingan (intersect),
2. Hak-hak (rights), dan
35

Muchsin, 16 Juli 2002, Konflik Sumber Daya Agraria dan Upaya Penegakan Hukumnya,
Makalah Seminar Nasional Pertanahan 2002 “Pembaharuan Agraria”, Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara

3. Status Kekuasaan (power)
Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai, hakhaknya dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan.
Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan
bersikeras dan bersikukuh mempertahankan ketiga faktor tersebut di atas.
Latar belakang lahirnya ADR (Alternative Dispute Resolution) adalah
dikarenakan :
1. Mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke
pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan sehingga
memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa,
3. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan.
4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan
keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan.
ADR merupakan suatu istilah asing yang perlu dicarikan pada dalam Bahasa
Indonesia. Alternative Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai alternative to
litigation dan alternative to adjudication. Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara
perundingan atau mediasi ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan
menempuh cara berperkara di depan persidangan yang memakan waktu lama dan biaya
yang tidaklah sedikit disamping itu adanya krisis kepercayaan masyarakat akan
kemandirian lembaga peradilan sehingga orang enggan menyelesaikan masalah melalui
jalur hukum dan oleh karena itu merekamencari jalur alternative penyelesaian sengketa
atau konflik yang terjadi dengan harapan dapat memberikan keuntungan bagi kedua
belah pihak tanpa menimbulkan perpecahan ataupun rasa kurang puas akan hasil dari

Universitas Sumatera Utara

putusan pengadilan, dan salah satu cara yang dipergunakan adalah dengan menempuh
jalur mediasi.
Mediasi dan perdamaian ini diterbitkan sebagai salah satu upaya untuk
mensosialisasikan pentingnya pemberdayaan lembaga damai yang seharusnya
dimaksimalkan oleh hakim sebagai penegak hukum dalam perkara perdata yang
memiliki banyak keuntungan dalam menggunakan atau menempuh jalur mediasi
sebagai salah satu alternative menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan.
Keuntungan itu antara lain sengketa yang terjadi antara pihak dapat diselesaikan dengan
prinsip win-win solution tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, hubungan baik antara
yang bersengketa tetap dapat mempengaruhi “performance” pihak-pihak yang
bersengketa. Dalam mediasi atau alternative penyelesaian sengketa di luar proses
peradilan pada umumnya, penyelesaian lebih ditekankan pada kebaikan semua pihak.
Upaya damai adalah suatu persetujuan dengan nama kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara yang
sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851 KUH