Keanekaragaman Makrozoobentos Di Sungai Bah Bolon Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

(1)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BAH BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH

NATALIA LUSIANINGSIH 070805022

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

PERSETUJUAN

Judul : KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS

DI SUNGAI BAH BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

Kategori : SKRIPSI

Nama : NATALIA LUSIANINGSIH

Nomor Induk Mahasiswa : 070805022

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (MIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Juni 2011 Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si Prof. Dr. Ing. Ternala. A. Barus, M.Sc NIP. 19721126 199802 2 002 NIP. 19581016 198703 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU

Dr. Nurshara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(3)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BAH BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan yang ditambahakan oleh dosen pembimbing dan dosen penguji, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2011

NATALIA LUSIANINGSIH 070805022


(4)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas segala kasih karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Bah Bolon Kabupaten Simalungun Sumatera Utara” dalam waktu yang telah ditentukan.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada bapak dan ibu dosen yang terkasih: Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si selaku Dosen Pembimbing II, Drs. Nursal, M.Si dan Riyanto Sinaga, S.Si, M.Si selaku Dosen Penguji serta kepada Dosen Penasehat Akademik, Masitta Tanjung, S.Si, M.Si atas dorongan, bimbingan, waktu dan perhatian yang besar selama proses penulisan dan penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Bapak Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Rosalina Ginting dan Abang Ewin selaku Pegawai Administrasi dan seluruh Dosen Pengajar di Departemen Biologi.

Teristimewa penulis sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua, Ayah yang terkasih A. Sumanto dan Ibunda yang tercinta P. Widyastuti atas tiap tetes keringat, air mata, harapan, doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini.. Terima kasih penulis ucapkan kepada Om dan Tante tersayang F. X. Swardi, Bartolomeus Supri, Satmoko, Irene Pudjiati dan Maria atas harapan, dukungan moril, dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada adik-adikku tersayang, Yosephin Nova, Leonardus, Laurensius, Totti, Fransisko Irfan, Ayu Kristin, Gressio, Erik, Hendrik, Fabiola, Septian, Budi, dan Mulia yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat tercinta Widya, Noi, Kakak Nofa, Eva, Lenny, Lusi, Bayu, Artha, Liberti serta teman-teman CREDO atas doa dan dukungannya dalam suka dan duka. Rasa terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman stambuk 2007: Siti, Jupentus, Jayana, Reymon, Hotda, Else, Elisabeth, Eva, Helmi, Katrina, Desy, Ncay, Aini, Misfalla, Linda, dan Anggun atas bantuannya selama penelitian. Kepada abang dan kakak asuh stambuk 2005 dan 2006 serta kepada adik asuh stambuk 2009 atas motivasi dan kebersamaan yang telah diberikan selama ini. Serta kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi


(5)

kesempurnaan skripsi ini, Dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat. Salam sukses bagi kita semua.

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BAH BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang “Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Bah Bolon Kabupaten Simalungun Sumatera Utara” dan diidentifikasi di Laboratorium Pengelolahan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Sampel diambil dari empat lokasi dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Keanekaragaman makrozoobentos yang ditemukan terdiri dari filum Annelida, Arthropoda, dan Moluska yang terbagi dalam 20 genus. Genus Cyrnellus memiliki nilai kepadatan tertinggi pada lokasi pembuangan limbah pabrik rokok yaitu 87,40 ind/m2 dan genus Hellobdella memiliki nilai kepadatan terendah pada lokasi pertanian yaitu 0,73 ind/m2. Lokasi pembuangan limbah pabrik es memiliki indeks keanekaragaman tertinggi yaitu 1,94 dan lokasi pertanian memiliki indeks keanekaragaman terendah yaitu 1,20. Lokasi bebas aktivitas manusia memiliki indeks keseragaman tertinggi yaitu 0,74 dan lokasi pertanian memiliki indeks keseragaman terendah yaitu 0,53. Faktor fisik kimia berupa temperatur, intensitas cahaya, DO, BOD5, COD, dan kejenuhan oksigen memiliki korelasi yang kuat terhadap

keanekaragaman makrozoobentos.


(6)

THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS IN BAH BOLOH RIVER REGENCY OF SIMALUNGUN PROVINCE OF NORTH SUMATERA

ABSTRACT

“The diversity of macrozoobenthos in Bah Bolon River Regency of Simalungun Provinceo of North Sumatera” has been observed and it was identified in Management Laboratory of Natural Resource and Environment, Study Program of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Science, University of North Sumatera, Medan. The sample was taken from four different areas using Purposive Random Sampling method. The diversity of macrozoobenthos which is found such as Annelida, Arthropoda, and Molusca filums and devided in 20 genus. Genus Cyrnellus has the highest density wich is found in disposal waste of cigarette factory location with 87,40 ind/m2 and genus Hellobdella has the lowest density wich is found in agricultural location with 0,73 ind/m2. The disposal waste of ice factory location has the highest diversity index of macrozoobenthos with 1,94 and the agricultural location has the lowest diversity index of macrozoobenthos with 1,20. The free area from humans activities has the highest uniformity index with 0,74 and the agricultural location has the lowest uniformity index with 0,53. The psychochemical factors such as temperature, intensity of lights, DO, BOD5, COD, and sanuration of oxygen have a

strong correlation with diversity of macrozoobenthos.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Penghargaan i

Abstrak ii

Abstract iii

Daftar Isi iv

Daftar Tabel vi

Daftar Lampiran vii

Daftar Gambar viii

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 3

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat 4

Bab 2 Bahan dan Metoda

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian 5

2.2 Metode Penelitian 5

2.3 Deskripsi Area 5

2.4 Pengambilan Sampel Makrozoobentos 8 2.5 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 9

2.5.1 Temperatur 9

2.5.2 Disolved Oxygen (DO) 9

2.5.3 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) 9

2.5.4 Chemical Oxygen Demand (COD) 10

2.5.5 Penetrasi Cahaya 10

2.5.6 pH 10

2.5.7 Intensitas Cahaya 10

2.5.8 Kecepatan Arus 10

2.5.9 Kandungan Organik Substrat 11

2.5.10 Kejenuhan Oksigen 11

2.6 Analisis Data 12

Bab 3 Hasil dan Pembahasan

3.1 Variabel Biotik 16

3.1.1 Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif 18 (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK)

3.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan 23 Indeks Keseragaman (E)

3.1.3 Indeks Similaritas (IS) 24


(8)

3.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi 32 SPSS Ver. 17.00

Bab 4 Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan 33

4.2 Saran 33


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 2.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran 12 Faktor Fisik Kimia Perairan

Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapat pada Setiap 16 Lokasi Penelitian di Sungai Bah Bolon

Tabel 3.2 Kepadatan Populasi (Ind/m2), Kepadatan Relatif (KR), 18 dan Frekuensi Kehadiran (FK) di Setiap Lokasi Tabel 3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman 23

(E) Makrozoobentos di Setiap Lokasi Penelitian Tabel 3.4 Indeks Similaritas (IS) di Setiap Lokasi 24 Tabel 3.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh pada 25

Setiap Lokasi

Tabel 3.6 Analisis Korelasi Keanekaragaman Makrozoobentos 32 dengan Faktor Fisik Kimia Perairan


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 37 Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 38

Lampiran C. Bagan Kerja Pengukuran COD dengan Metode Refluks 39 Lampiran D. Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat 40 Lampiran E. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada 41

Berbagai Besaran Temperatur Air

Lampiran F. Peta Lokasi Penelitian 42

Lampiran G. Jumlah dan Jenis Makrozoobentos yang Didapatkan 43 pada Setiap Lokasi Penelitian Lampiran H. Contoh Hasil Perhitungan 46

Lampiran I. Foto Makrozoobentos 48


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Lokasi Pengamatan I 6

Gambar 2.2 Lokasi Pengamatan II 7

Gambar 2.3 Lokasi Pengamatan III 7

Gambar 2.4 Lokasi Pengamatan IV 8

Gambar 1 Hellobdella 48

Gambar 2 Boyeria 48

Gambar 3 Copelatus 48

Gambar 4 Cyrnellus 48

Gambar 5 Enalagma 48

Gambar 6 Gomphus 48

Gambar 7 Ophiogomphus 49

Gambar 8 Anodontoides 49

Gambar 9 Fusconaia 49

Gambar 10 Goniobasis 49

Gambar 11 Gyraulus 49

Gambar 12 Hydrobia 49

Gambar 13 Melanoides 50

Gambar 14 Pila 50

Gambar 15 Thiara 50

Gambar 16 Tryonia 50


(12)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas segala kasih karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Bah Bolon Kabupaten Simalungun Sumatera Utara” dalam waktu yang telah ditentukan.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada bapak dan ibu dosen yang terkasih: Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si selaku Dosen Pembimbing II, Drs. Nursal, M.Si dan Riyanto Sinaga, S.Si, M.Si selaku Dosen Penguji serta kepada Dosen Penasehat Akademik, Masitta Tanjung, S.Si, M.Si atas dorongan, bimbingan, waktu dan perhatian yang besar selama proses penulisan dan penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Bapak Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Rosalina Ginting dan Abang Ewin selaku Pegawai Administrasi dan seluruh Dosen Pengajar di Departemen Biologi.

Teristimewa penulis sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua, Ayah yang terkasih A. Sumanto dan Ibunda yang tercinta P. Widyastuti atas tiap tetes keringat, air mata, harapan, doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini.. Terima kasih penulis ucapkan kepada Om dan Tante tersayang F. X. Swardi, Bartolomeus Supri, Satmoko, Irene Pudjiati dan Maria atas harapan, dukungan moril, dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada adik-adikku tersayang, Yosephin Nova, Leonardus, Laurensius, Totti, Fransisko Irfan, Ayu Kristin, Gressio, Erik, Hendrik, Fabiola, Septian, Budi, dan Mulia yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat tercinta Widya, Noi, Kakak Nofa, Eva, Lenny, Lusi, Bayu, Artha, Liberti serta teman-teman CREDO atas doa dan dukungannya dalam suka dan duka. Rasa terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman stambuk 2007: Siti, Jupentus, Jayana, Reymon, Hotda, Else, Elisabeth, Eva, Helmi, Katrina, Desy, Ncay, Aini, Misfalla, Linda, dan Anggun atas bantuannya selama penelitian. Kepada abang dan kakak asuh stambuk 2005 dan 2006 serta kepada adik asuh stambuk 2009 atas motivasi dan kebersamaan yang telah diberikan selama ini. Serta kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi


(13)

kesempurnaan skripsi ini, Dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat. Salam sukses bagi kita semua.

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BAH BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang “Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Bah Bolon Kabupaten Simalungun Sumatera Utara” dan diidentifikasi di Laboratorium Pengelolahan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Sampel diambil dari empat lokasi dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Keanekaragaman makrozoobentos yang ditemukan terdiri dari filum Annelida, Arthropoda, dan Moluska yang terbagi dalam 20 genus. Genus Cyrnellus memiliki nilai kepadatan tertinggi pada lokasi pembuangan limbah pabrik rokok yaitu 87,40 ind/m2 dan genus Hellobdella memiliki nilai kepadatan terendah pada lokasi pertanian yaitu 0,73 ind/m2. Lokasi pembuangan limbah pabrik es memiliki indeks keanekaragaman tertinggi yaitu 1,94 dan lokasi pertanian memiliki indeks keanekaragaman terendah yaitu 1,20. Lokasi bebas aktivitas manusia memiliki indeks keseragaman tertinggi yaitu 0,74 dan lokasi pertanian memiliki indeks keseragaman terendah yaitu 0,53. Faktor fisik kimia berupa temperatur, intensitas cahaya, DO, BOD5, COD, dan kejenuhan oksigen memiliki korelasi yang kuat terhadap

keanekaragaman makrozoobentos.


(14)

THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS IN BAH BOLOH RIVER REGENCY OF SIMALUNGUN PROVINCE OF NORTH SUMATERA

ABSTRACT

“The diversity of macrozoobenthos in Bah Bolon River Regency of Simalungun Provinceo of North Sumatera” has been observed and it was identified in Management Laboratory of Natural Resource and Environment, Study Program of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Science, University of North Sumatera, Medan. The sample was taken from four different areas using Purposive Random Sampling method. The diversity of macrozoobenthos which is found such as Annelida, Arthropoda, and Molusca filums and devided in 20 genus. Genus Cyrnellus has the highest density wich is found in disposal waste of cigarette factory location with 87,40 ind/m2 and genus Hellobdella has the lowest density wich is found in agricultural location with 0,73 ind/m2. The disposal waste of ice factory location has the highest diversity index of macrozoobenthos with 1,94 and the agricultural location has the lowest diversity index of macrozoobenthos with 1,20. The free area from humans activities has the highest uniformity index with 0,74 and the agricultural location has the lowest uniformity index with 0,53. The psychochemical factors such as temperature, intensity of lights, DO, BOD5, COD, and sanuration of oxygen have a

strong correlation with diversity of macrozoobenthos.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

Penghargaan i

Abstrak ii

Abstract iii

Daftar Isi iv

Daftar Tabel vi

Daftar Lampiran vii

Daftar Gambar viii

Bab 1 Pendahuluan

1.1Latar Belakang 3

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat 4

Bab 2 Bahan dan Metoda

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian 5

2.2 Metode Penelitian 5

2.3 Deskripsi Area 5

2.4 Pengambilan Sampel Makrozoobentos 8 2.5 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 9

2.5.1 Temperatur 9

2.5.2 Disolved Oxygen (DO) 9

2.5.3 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) 9

2.5.4 Chemical Oxygen Demand (COD) 10

2.5.5 Penetrasi Cahaya 10

2.5.6 pH 10

2.5.7 Intensitas Cahaya 10

2.5.8 Kecepatan Arus 10

2.5.9 Kandungan Organik Substrat 11

2.5.10 Kejenuhan Oksigen 11

2.6 Analisis Data 12

Bab 3 Hasil dan Pembahasan

3.1 Variabel Biotik 16

3.1.1 Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif 18 (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK)

3.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan 23 Indeks Keseragaman (E)

3.1.3 Indeks Similaritas (IS) 24


(16)

3.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi 32 SPSS Ver. 17.00

Bab 4 Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan 33

4.2 Saran 33


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 2.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran 12 Faktor Fisik Kimia Perairan

Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapat pada Setiap 16 Lokasi Penelitian di Sungai Bah Bolon

Tabel 3.2 Kepadatan Populasi (Ind/m2), Kepadatan Relatif (KR), 18 dan Frekuensi Kehadiran (FK) di Setiap Lokasi Tabel 3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman 23

(E) Makrozoobentos di Setiap Lokasi Penelitian Tabel 3.4 Indeks Similaritas (IS) di Setiap Lokasi 24 Tabel 3.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh pada 25

Setiap Lokasi

Tabel 3.6 Analisis Korelasi Keanekaragaman Makrozoobentos 32 dengan Faktor Fisik Kimia Perairan


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 37 Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 38

Lampiran C. Bagan Kerja Pengukuran COD dengan Metode Refluks 39 Lampiran D. Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat 40 Lampiran E. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada 41

Berbagai Besaran Temperatur Air

Lampiran F. Peta Lokasi Penelitian 42

Lampiran G. Jumlah dan Jenis Makrozoobentos yang Didapatkan 43 pada Setiap Lokasi Penelitian Lampiran H. Contoh Hasil Perhitungan 46

Lampiran I. Foto Makrozoobentos 48


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Lokasi Pengamatan I 6

Gambar 2.2 Lokasi Pengamatan II 7

Gambar 2.3 Lokasi Pengamatan III 7

Gambar 2.4 Lokasi Pengamatan IV 8

Gambar 1 Hellobdella 48

Gambar 2 Boyeria 48

Gambar 3 Copelatus 48

Gambar 4 Cyrnellus 48

Gambar 5 Enalagma 48

Gambar 6 Gomphus 48

Gambar 7 Ophiogomphus 49

Gambar 8 Anodontoides 49

Gambar 9 Fusconaia 49

Gambar 10 Goniobasis 49

Gambar 11 Gyraulus 49

Gambar 12 Hydrobia 49

Gambar 13 Melanoides 50

Gambar 14 Pila 50

Gambar 15 Thiara 50

Gambar 16 Tryonia 50


(20)

kesempurnaan skripsi ini, Dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat. Salam sukses bagi kita semua.

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BAH BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang “Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Bah Bolon Kabupaten Simalungun Sumatera Utara” dan diidentifikasi di Laboratorium Pengelolahan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Sampel diambil dari empat lokasi dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Keanekaragaman makrozoobentos yang ditemukan terdiri dari filum Annelida, Arthropoda, dan Moluska yang terbagi dalam 20 genus. Genus Cyrnellus memiliki nilai kepadatan tertinggi pada lokasi pembuangan limbah pabrik rokok yaitu 87,40 ind/m2 dan genus Hellobdella memiliki nilai kepadatan terendah pada lokasi pertanian yaitu 0,73 ind/m2. Lokasi pembuangan limbah pabrik es memiliki indeks keanekaragaman tertinggi yaitu 1,94 dan lokasi pertanian memiliki indeks keanekaragaman terendah yaitu 1,20. Lokasi bebas aktivitas manusia memiliki indeks keseragaman tertinggi yaitu 0,74 dan lokasi pertanian memiliki indeks keseragaman terendah yaitu 0,53. Faktor fisik kimia berupa temperatur, intensitas cahaya, DO, BOD5, COD, dan kejenuhan oksigen memiliki korelasi yang kuat terhadap

keanekaragaman makrozoobentos.


(21)

THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS IN BAH BOLOH RIVER REGENCY OF SIMALUNGUN PROVINCE OF NORTH SUMATERA

ABSTRACT

“The diversity of macrozoobenthos in Bah Bolon River Regency of Simalungun Provinceo of North Sumatera” has been observed and it was identified in Management Laboratory of Natural Resource and Environment, Study Program of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Science, University of North Sumatera, Medan. The sample was taken from four different areas using Purposive Random Sampling method. The diversity of macrozoobenthos which is found such as Annelida, Arthropoda, and Molusca filums and devided in 20 genus. Genus Cyrnellus has the highest density wich is found in disposal waste of cigarette factory location with 87,40 ind/m2 and genus Hellobdella has the lowest density wich is found in agricultural location with 0,73 ind/m2. The disposal waste of ice factory location has the highest diversity index of macrozoobenthos with 1,94 and the agricultural location has the lowest diversity index of macrozoobenthos with 1,20. The free area from humans activities has the highest uniformity index with 0,74 and the agricultural location has the lowest uniformity index with 0,53. The psychochemical factors such as temperature, intensity of lights, DO, BOD5, COD, and sanuration of oxygen have a

strong correlation with diversity of macrozoobenthos.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Lebih kurang tiga perempat bagian dari permukaan bumi tertutup air. Dari segi ekosistem kita dapat membedakannya menjadi air tawar, air laut, dan air payau seperti yang terdapat pada muara sungai yang besar. Dari ketiga ekosistem perairan tersebut, air laut dan air payau merupakan bagian yang terbesar, yaitu lebih dari 97 %. Sisanya adalah air tawar dengan jumlah dan kondisi yang terbatas, tetapi sangat dibutuhkan oleh manusia dan banyak organisme hidup lainnya untuk keperluan hidup (Barus, 2004, hlm: 2).

Hanya 3 % air di muka bumi ini adalah air tawar (Kimbal, 1999, hlm: 975). Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua seri yaitu air tergenang atau habitat lentik dan air mengalir atau habitat lotik (Odum, 1994, hlm: 368). Perairan lentik atau perairan menggenang dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu rawa, danau, dan waduk (Barus, 2004, hlm: 100). Perairan darat yang ukurannya lebih besar dari kolam, biasanya disebut danau. Akan tetapi sebenarnya batas-batas ukuran ini tidak terlalu jelas (Sastrodinoto, 1980, hlm: 83).

Sungai merupakan salah satu perairan lotik (berarus cepat) yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Ekosistem sungai dipengaruhi oleh aktivitas alam dan aktivitas manusia di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada umumnya aktivitas manusia yang mempengaruhi ekosistem sungai meliputi kegiatan pertanian, pemukiman, dan industri. Secara langsung atau tidak langsung sampah atau limbah pertanian, pemukiman, dan industri yang masuk ke sungai dapat mengakibatkan perubahan sifat fisika, kimia, maupun sifat biologi sungai (Wargadinata, 1995, hlm: 67).


(23)

Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan yaitu membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesies lain. Penurunan keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran. Jika air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari jumlah yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah spesies yang sedikit tetapi populasinya tinggi (Sastrawijaya, 1991, hlm: 35).

Sungai Bah Bolon merupakan salah satu sungai yang berada di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sungai Bah Bolon memiliki panjang ± 118 km dan lebar antara 20 – 25 m. Di sekitar Sungai Bah Bolon terdapat berbagai aktivitas manusia antara lain: kegiatan domestik (pemukiman penduduk), industri (pabrik es dan pabrik rokok), dan pertanian yang limbahnya dibuang ke badan sungai Bah Bolon. Beragamnya aktivitas manusia ini akan mengubah faktor fisik kimia perairan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keanekaragaman biota

air yang terdapat di dalamnya terutama bentos

Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau melekat pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan sifat hidupnya, bentos dibedakan menjadi fitobentos yaitu bentos yang bersifat tumbuhan dan zoobentos yaitu bentos yang bersifat hewan. Berdasarkan cara hidupnya bentos dibedakan atas dua kelompok, yaitu infauna (bentos yang hidupnya terbenam di dalam substrat dasar perairan) dan epifauna (bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan). Berdasarkan ukuran tubuhnya bentos dapat dibagi atas makrobentos yaitu kelompok bentos yang berukuran > 2 mm, meiobentos yaitu kelompok bentos yang berukuran 0,2 – 2 mm, dan mikrobentos yaitu kelompok bentos yang berukuran < 0,2 mm (Barus, 2004, hlm: 33 – 34).

Makrozoobentos merupakan organisme air yang sebagian besar atau seluruh hidupnya berada di dasar perairan, hidup secara sesil, merayap atau menggali lubang. Makrozoobentos sering digunakan untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan fisik, kimia, dan biologi suatu badan perairan. Perairan yang tercemar akan


(24)

mempengaruhi kelangsungan hidup makrozoobentos karena makrozoobentos merupakan organisme air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar fisik maupun kimia. Suatu perairan yang sehat atau belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi (Odum, 1994, hlm: 383 – 397).

Sejauh ini informasi mengenai keanekaragaman dan jenis makrozoobentos di Sungai Bah Bolon belum diperoleh, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang “Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Bah Bolon Kabupaten Simalungun Sumatera Utara”.

1.2Permasalahan

Sungai Bah Bolon yang berada di Kabupaten Simalungun ini banyak digunakan oleh masyarakat yang berada di daerah tersebut untuk berbagai kegiatan, seperti pemukiman penduduk, pembuangan limbah industri, dan pertanian. Beragamnya aktivitas manusia ini akan mempengaruhi faktor fisik kimia perairan, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap keanekaragaman makrozoobentos. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimana keanekaragaman makrozoobentos di Sungai Bah Bolon tersebut.

1.3Tujuan Penelitian

a. Mengetahui jenis dan keanekaragaman makrozoobentos pada masing-masing lokasi penelitian di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. b. Mengetahui hubungan atau korelasi faktor fisik kimia perairan dengan

keanekaragaman makrozoobentos di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.


(25)

1.4Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman makrozoobentos pada masing-masing lokasi penelitian di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

b. Ada hubungan atau korelasi faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman makrozoobentos.

1.5Manfaat

a. Memberikan informasi awal mengenai keanekaragaman makrozoobentos yang selanjutnya dapat digunakan sebagai data pemantauan dan pengelolaan ekosistem di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

b. Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya maupun instansi yang membutuhkannya.


(26)

BAB 2

BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2011 pada 4 lokasi di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (peta lokasi penelitian pada lampiran F).

2.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel makrozoobentos adalah “Purposive Random Sampling” pada 4 lokasi pengamatan yang terdiri dari daerah bebas aktivitas manusia, pembuangan limbah pabrik es, pembuangan limbah pabrik rokok, dan daerah pertanian. Pada masing-masing lokasi dilakukan 15 kali ulangan pengambilan sampel yakni lima kali ulangan pada bagian tepi kiri, lima kali ulangan pada bagian tengah, dan lima kali ulangan pada bagian tepi kanan.

2.3 Deskripsi Area

Sungai Bah Bolon terletak di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, yang secara geografis terletak pada 02056’31,4” – 02057’17,6” LU dan 099002’29,2” – 099007’19,6” BT. Penelitian ini dilakukan pada 4 (empat) lokasi, sebagai berikut:


(27)

a. Lokasi I

Lokasi ini terletak di Kelurahan Nagahuta, Kecamatan Nagahuta Timur, Kabupaten Simalungun, yang secara geografis terletak pada 02056’31,4” LU – 099002’29,2” BT. Daerah ini merupakan daerah bebas aktivitas. Substrat pada lokasi ini adalah batu besar.

Gambar 2.1 Lokasi Pengamatan I

b. Lokasi II

Lokasi ini terletak di Kelurahan Kebun Sayur, Kecamatan Siantar Timur, Kotamadya Pematangsiantar, yang secara geografis terletak pada 02057’17,6” LU – 099004’08,7” BT. Daerah ini merupakan daerah pembuangan limbah pabrik es. Substrat pada lokasi ini adalah lumpur berpasir.


(28)

Gambar 2.2 Lokasi Pengamatan II

c. Lokasi III

Lokasi ini terletak di Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Siantar Timur, Kotamadya Pematangsiantar, yang secara geografis terletak pada 02057’28,2” LU – 099004’28,3” BT. Daerah ini merupakan daerah pembuangan limbah pabrik rokok. Substrat pada lokasi ini adalah batu besar.


(29)

Gambar 2.3 Lokasi Pengamatan III d. Lokasi IV

Lokasi ini terletak di Kelurahan Pantoan Maju, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, yang secara geografis terletak pada 02057’17,8” LU – 099007’19,6” BT. Daerah ini merupakan daerah pertanian. Substrat pada lokasi ini adalah pasir.

Gambar 2.4 Lokasi Pengamatan IV

2.4 Pengambilan Sampel Makrozoobentos

Menurut Barus (2004, hlm: 143), pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan Surber Net. Sampel yang didapat disortir dengan menggunakan Metode Hand Sortir, selanjutnya sampel yang didapat dibersihkan dengan air dan direndam dengan formalin 4% selama 1 hari, kemudian dicuci dengan akuades dan dikeringanginkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70% sebagai pengawet lalu diberi label.


(30)

Identifikasi sampel dilakukan di laboratorium PSDAL Departemen Biologi FMIPA USU dengan menggunakan buku identifikasi Edmonson (1963), Dharma (1988), dan Pennak (1989).

2.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

2.5.1 Temperatur

Air diambil, kemudian dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air selama ± 10 menit kemudian dibaca skalanya.

2.5.2 Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan Metode Winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut (Lampiran A).

2.5.3 Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan metode winkler. Sampel air yang diambil

dari perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Kemudian diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 0C. Setelah 5 hari dihitung kadar BOD dengan cara yang sama seperti perhitungan kadar oksigen (DO). Kadar BOD5 dihitung dengan cara mengurangkan

DO awal dengan DO akhir, bagan kerja terlampir. Pengukuran BOD dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan (Lampiran B).


(31)

2.5.4 Chemical Oxygen Demand (COD)

Pengukuran COD dilakukan dengan metode refluks di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan, Universitas Sumatera Utara, Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran C).

2.5.5 Penetrasi Cahaya

Diukur dengan menggunakan keping sechii yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping sechii antara terlihat dengan tidak, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air.

2.5.6 pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai angka yang tertera pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

2.5.7 Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke arah datangnya cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada lux meter tersebut.


(32)

Kecepatan arus diukur dengan menggunakan gabus yang dilepaskan melewati jarak / transek yang telah ditentukan, lalu dihitung kecepatannya dengan menggunakan stopwatch.

2.5.9 Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metode analisis abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 45 0C sampai beratnya konstan (2 – 3 hari), substrat yang kering di gerus di lumping dan dimasukkan kembali ke dalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 45 0C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 700 0C selama 3,5 jam, kemudian substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus:

KO = A

B A

x 100 %

dengan :

KO = Kandungan Organik A = Berat Konstan Substrat B = Berat Abu

(Adianto, 1993, hlm: 17)

Analisis kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan (Lampiran C).

2.5.10 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kejenuhan Oksigen (%) = ) ( ) ( 2 2 t O u O


(33)

O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 (t) = nilai konsentrasi oksigen yang sebenarnya (pada tabel)

sesuai dengan besarnya suhu (Lampiran E).

(Barus, 2004, hlm: 59) Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan Dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

No Parameter Fisik-Kimia Satuan Alat Tempat

Pengukuran 1 Temperatur Air oC Termometer Air Raksa In – situ

2 Penetrasi Cahaya cm Keping Sechii In – situ

3 pH air - pH meter In – situ

4 DO (Dissolved Oxygen) mg/l Metode Winkler In – situ

5 BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) mg/l Metode Winkler dan Inkubasi Laboratorium

6 COD (Chemical Oxygen Demand) mg/l Refluks Tetrimetri Laboratorium

7 Kandungan Substrat Organik % Oven dan Tanur Laboratorium

8 Kejenuhan Oksigen % - In - situ

9 Intensitas Cahaya Candela Lux meter In - situ

10 Kecepatan Arus m/s Stopwatch In - situ

2.6 Analisis Data

Data makrozoobentos yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon – Wienner, indeks ekuitabilitas, indeks similaritas, dan analisis korelasi dengan persamaan sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi (K)

K =

Sampel Unit

Luas

Ulangan Jenis

Suatu Individu

Jumlah /


(34)

b. Kepadatan Relatif (KR) K = Jenis Seluruh Kepada Jumlah Jenis Suatu Kepada tan tan

x 100 %

(Brower et al., 1990, hlm: 88)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

KR = x100%

Ulangan Total Jumlah Jenis Suatu Ditempati yang Ulangan Jumlah

Dimana nilai FK : 0 - 25% : sangat jarang 25% - 50% : jarang 50% - 75% : banyak 75% - 100% : sangat banyak

(Krebs, 1985, hlm: 521)

d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’) H’ = −

pilnpi

dimana :

H’ = Indeks diversitas Shannon-Wiener pi = Proporsi spesies ke-i

ln = Logaritma Nature

pi = ∑ ni / N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

dengan nilai H’ : 0 < H’ < 2,302 = Keanekaragaman rendah 2,302 < H’ < 6,907 = Keanekaragaman sedang


(35)

H’ > 6,907 = Keanekaragaman tinggi

(Krebs, 1985, hlm: 522)

e. Indeks Equitabilitas / Indeks Keseragaman (E)

E =

max ' H

H

dimana :

H’ = Indeks diversitas Shannon – Wienner H max = Keanekaragaman spesies maximum

ln S (dimana S banyaknya spesies)

(Krebs, 1985, hlm: 522)

f. Indeks Similaritas (IS)

IS = 2 x 100% b

a c +

dimana:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

dengan nilai IS :

75 – 100% = Sangat mirip 50 – 75% = Mirip

25 – 50% = Tidak mirip ≤ 25% = Sangat tidak mirip


(36)

g. Kejenuhan Oksigen

Kejenuhan Oksigen (%) = ) (

) (

2 2

t O

u O

x 100 %

Dimana : O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 (t) = nilai konsentrasi oksigen yang sebenarnya (pada tabel)

sesuai dengan besarnya suhu

(Barus, 2004, hlm: 59)

h. Analisis Korelasi

Analisis Korelasi pearson merupakan uji statistik untuk mengetahui hubungan faktor fisik kimia perairan dengan nilai keanekragaman. Uji korelasi tersebut dilakukan dengan metode komputerisasi menggunakan SPSS Ver. 17.00.

Menurut Sugiyono (2006, hlm: 214), tingkat hubungan nilai indeks korelasi dinyatakan sebagai berikut :

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 - 0,199 Sangat rendah

0,20 - 0,399 Rendah 0,40 - 0,599 Sedang 0,60 - 0,799 Kuat 0,80 - 1,00 Sangat kuat


(37)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Variabel Biotik

Hasil penelitian yang diperoleh dari empat lokasi penelitian di Sungai Bah Bolon terdiri dari 20 genus makrozoobentos, yang termasuk ke dalam tiga filum, enam kelas, sembilan ordo, dan 15 famili seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobentos yang Diperoleh pada Setiap Lokasi Penelitian di Sungai Bah Bolon

No Filum Kelas Ordo Famili Genus

1

Annelida Hirudinea Rhynchobdellida Glossiphoniidae Hellobdella 2 Chaetopoda Oligochaeta Tubificidae Limnodrillus 3

Arthropoda

Crustaceae Decapoda Palaemonidae Palaemonetes 4

Insecta

Coleoptera Dytiscidae Copelatus 5

Odonata

Aeshnidae Boyeria 6

Gomphidae Gompus

7 Ophiogompus

8 Lestidae Enalagma

9 Trichoptera Polycentropodidae Cyrnellus

10

Moluska

Bivalvia Hippuritoida Unionidae Anodontoides

11 Fusconaia

12

Gastropoda Megastropoda

Ampullanidae Pila 13

Hydrobiidae Hydrobia

14 Tryonia

15 Planorbidae Gyraulus

16 Pleuroceridae Goniobasis

17

Thiaridae Melanoides

18 Thiara

19 Viviparidae Viviparus

20 Mesogastropoda Pomatiopsidae Pomatiopsis

Berdasarkan Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa makrozoobentos yang banyak diperoleh adalah filum Moluska yaitu dari kelas Gastropoda sebanyak 10 genus dan filum yang paling sedikit diperoleh adalah Annelida yaitu sebanyak dua genus. Filum


(38)

Moluska lebih banyak dibandingkan dua filum lainnya, hal ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya. Menurut Simanjuntak (2010), filum Moluska yang diperoleh dari Perairan Pulau Sembilan adalah 15 genus dari 19 genus makrozoobentos yang diperoleh. Tobing (2009) menyatakan bahwa hasil penelitiannya tentang keanekaragaman makrozoobentos di Serang, Banten mendapatkan Moluska sebanyak 13 genus dari 22 genus makrozoobentos yang didapatkan. Menurut Susanna (1998), Moluska memiliki indeks penyebaran terbesar sehingga dapat dikatakan bahwa Moluska hidup pada berbagai daerah. Moluska memiliki pola sebaran jenis mengelompok diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan, ketersediaan makanan dan tipe substrat. Banyakanya genus dari kelas Gastropoda yang didapatkan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kondisi fisik-kimia perairan dapat mendukung kehidupannya seperti kandungan substrat organik. Menurut Handayani et al., (2000) dalam Tiorinse (2009, hlm: 62), Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang luas di substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur tetapi organisme ini cenderung menyukai substrat dasar pasir dan sedikit berlumpur. Menurut Hutchinson (1993, hlm: 130), Gastropoda merupakan hewan yang dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik pada berbagai jenis substrat yang memiliki ketersediaan makanan dan kehidupannya selalu dipengaruhi oleh kondisi fisik kimia perairan.

3.1.1 Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos

Berdasarkan jumlah makrozoobentos yang diperoleh pada setiap lokasi penelitian (Lampiran G) maka didapatkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran seperti terlihat pada Tabel 3.2 berikut:


(39)

Tabel 3.2 Kepadatan Populasi (ind/m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobentos di Setiap Lokasi Penelitian

No Genus

Lokasi I Lokasi II Lokasi III Lokasi IV

K (ind/m2)

KR (%)

FK (%)

K (ind/m2)

KR (%)

FK (%)

K (ind/m2)

KR (%)

FK (%)

K (ind/m2)

KR (%)

FK (%)

1 Anodontoides - - - 1,48 3,70 13,33 1,48 1,32 13,33 - - -

2 Boyeria 1,48 4,35 13,33 0,74 1,85 6,66 - - - -

3 Copelatus 2,22 6,53 20 - - - -

4 Cyrnellus - - - 87,40 78,16 86,66 - - -

5 Enalagma 0,74 2,17 6,66 0,74 1,85 6,66 - - -

6 Fusconaia 12,50 36,80 86,60 3,70 9,25 33,33 7,40 6,61 40 3,70 3,81 33,33

7 Gomphus 1,48 4,35 13,33 0,74 1,85 6,66 - - -

8 Goniobasis 4,44 13 40 2,96 7,40 26,6 3,70 3,30 33,33 - - -

9 Gyraulus 8,14 23,96 53,33 0,74 1,85 6,66 - - - -

10 Hellobdella 1,48 4,35 13,33 - - - 0,73 0,76 6,66

11 Hydrobia - - - 2,22 5,55 20 3,70 3,30 33,33 4,44 4,57 20

12 Limnodrillus 0,74 2,17 6,66 - - - -

13 Melanoides - - - 5,92 14,81 40 2,22 1,98 13,33 61,48 63,33 86,66

14 Ophiogomphus 0,74 2,17 6,66 - - - -

15 Palaemonetes - - - 11,85 12,22 40

16 Pila - - - 3,70 3,81 6,66

17 Pomatiopsis - - - 2,22 5,55 13,33 1,48 1,32 13,33 - - -

18 Thiara - - - 2,22 5,55 20 2,96 2,64 20 5,18 5,33 26,66

19 Tryonia - - - 16,25 40,70 93,33 1,48 1,32 13,33 - - -

20 Viviparus - - - 1,48 1,52 13,33

Total 33,96 99,85 259,9 39,93 99,91 286,56 111,82 99,95 266,64 92,57 95,35 233,3

Keterangan :

Lokasi I : Daerah bebas aktivitas Lokasi II : Daerah pembuangan pabrik es Lokasi III : Daerah pembuangan pabrik rokok Lokasi IV : Daerah pertanian

Berdasarkan Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa nilai kepadatan total makrozoobentos yang diperoleh semakin ke hilir semakin tinggi sedangkan keanekaragaman makrozoobentos semakin rendah. Lokasi I memiliki nilai kepadatan total 33,96 ind/m2 dengan jumlah genus 10, lokasi II memiliki nilai kepadatan total 39,93 ind/m2 dengan jumlah genus 12, lokasi III memiliki nilai kepadatan total 111,82 ind/m2 dengan jumlah genus sembilan, dan lokasi IV memiliki nilai kepadatan 92,57 ind/m2 dengan jumlah genus delapan. Hal ini disebabkan lokasi I dan II memiliki ekosistem yang cenderung stabil sehingga ditemukan keanekaragaman makrozoobentos yang lebih banyak dengan jumlah populasi merata sedangkan lokasi III dan IV memiliki ekosistem yang cenderung tidak stabil sehingga ditemukan keanekaragaman makrozoobentos yang sedikit dan beberapa genus dijumpai dalam jumlah populasi yang sangat banyak atau mendominasi karena memiliki daya toleransi yang tinggi


(40)

terhadap perubahan faktor fisik kimia perairan seperti genus Cyrnellus pada lokasi III dan Melanoides pada lokasi IV. Nilai kepadatan populasi akan mempengaruhi nilai kepadatan total populasi makrozoobentos pada setiap lokasi. Keanekaragaman makrozoobentos menurun seiring dengan perubahan variabel abiotik yang meliputi penurunan pH air, DO, kejenuhan oksigen dan intensitas cahaya serta peningkatan BOD5 dan COD.

Darmono (2001, hlm: 7) mengatakan bahwa suatu spesies organisme tidak dapat hidup tersebar di mana-mana, karena spesies tersebut mempunyai batas toleransi tertentu terhadap suatu variasi kondisi fisik kimia tertentu. Pada setiap individu hewan dalam satu populasi dapat terjadi perbedaan toleransi karena adanya perbedaan genetik, umur, dan status kesehatan. Misalnya, perbedaan daya tahan terhadap panas atau toksik kimiawi satu individu akan berbeda dengan lainnya dalam suatu ekosistem. Pada suatu kondisi optimum dari faktor abiotik, terdapat sejumlah organisme yang dapat hidup secara normal. Sedikit di bawah atau di atas batas optimum juga masih ditemukan organisme yang mampu hidup normal walaupun dalam jumlah yang sedikit. Keberadaan atau banyaknya populasi dan distribusi dari suatu spesies organisme dalam suatu ekosistem bergantung pada daya toleransi spesies tersebut terhadap satu atau beberapa faktor kondisi fisik ataupun kimiawi dalam ekosistem tersebut. Perubahan faktor abiotik yang melampaui ambang batas toleransi dari komponen biotik dapat mengakibatkan musnahnya suatu spesies biotik yang hidup dalam lingkungan bersangkutan. Suatu faktor kimia berpengaruh terhadap perubahan faktor fisik dalam ekosistem, begitu juga sebaliknya.

Genus Fusconaia dari kelas Bivalvia memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi pada lokasi I sebesar 12,5 ind/m2, 36,80 %, dan 86,60 %. Hal ini karena substrat dasar lokasi I berupa batu-batu besar dan pasir sehingga mendukung pertumbuhan populasi Fusconaia. Menurut Hutchinson (1993, hlm: 131) genus Fusconaia melimpah pada perairan dengan substrat dasar pasir. Suriani (2008, hlm: 11) mengatakan bahwa keragaman dan kerapatan Fusconaia paling tinggi pada daerah tanpa pemukiman dan lebih rendah pada daerah pemukiman penduduk. Daerah-daerah yang berpenduduk memiliki daya pencemar yang berlebih sehingga terjadi penurunan jumlah jenis Fusconaia.


(41)

Genus Enalagma, Limnodrillus, dan Ophiogomphus memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran terendah pada lokasi I sebesar 0,74 ind/m2, 2,17 %, dan 6,66 %. Hal ini disebabkan jumlah yang didapatkan dari lokasi ini sedikit. Kondisi fisik perairan khususnya substrat yang berupa batu-batu besar dan pasir tidak mendukung pertumbuhan genus-genus tersebut. Kecepatan arus yang cukup tinggi yakni 1,5 m/s (Tabel 3.5) juga menghambat pertumbuhan genus-genus tersebut.

Genus Limnodrillus hanya ditemukan pada lokasi I disebabkan pada tepi sungai terdapat bangkai ikan yang sudah membusuk. Limnodrillus menguraikan bangkai tersebut untuk memperoleh zat-zat organik sebagai nutrisinya. Wargadinata (1995, hlm: 34) menjelaskan bahwa kelas Tubificidae khususnya dari genus Limnodrillus mempunyai habitat di dasar perairan dengan substrat lumpur dan banyak mengandung bahan-bahan organik. Kelas Tubificidae merupakan organisme dasar perairan yang bersifat detritus feeder yakni menguraikan bahan-bahan organik yang disuplai oleh lingkungannya. Hasil penguaraian bahan-bahan organik tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Menurut Budiman (1984) dalam Heryanto (2008), kelas insekta lebih menyukai kondisi lingkungan yang bersih dan belum tercemar untuk proses perkembangannya, khususnya insekta akuatik. Enalagma dan Ophiogomphus yang termasuk dalam ordo Odonata (dragonflies) merupakan insekta hemimetabola. Larva hidup di air dan perilakunya sangat berbeda dengan hewan dewasa. Bentuk dewasa terbang dan terlihat jelas, seringkali dengan warna-warna terang, dan lebih aktif dibandingkan kebanyakan insekta air yang hidup di darat (teresterial). Kondisi ini sebenarnya dipengaruhi banyak hal diantaranya keadaan air, besar kecilnya arus air, dan faktor-faktor ekologi lain (Ward, 1992).

Genus Tryonia memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi pada lokasi II sebesar 16,25 ind/m2, 40,70 %, dan 93,33 %. Hal ini karena kondisi lingkungan perairan yang sesuai untuk pertumbuhan Tryonia yaitu substrat berupa lumpur berpasir dengan kandungan organik 3,274 %


(42)

(Tabel 3.5). Tugiyono (2007, hlm: 573) menjelaskan bahwa kelas Gastropoda pada genus Tryonia populasinya melimpah pada lokasi yang memiliki kandungan organik yang tinggi sebagai nutrisi bagi genus tersebut. Menurut Koesbiono (1979, hlm: 27) kadar organik adalah suatu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan jumlah populasi hewan bentos sebagai organisme dasar meningkat.

Genus Boyeria, Enalagma, Gomphus, dan Gyraulus memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran terendah pada lokasi II sebesar 0,74 ind/m2, 1,85 %, dan 6,66 %. Hal ini karena kondisi lingkungan di daerah ini kurang mendukung terhadap kehidupan genus-genus tersebut seperti kandungan organik substrat yang tinggi yaitu sebesar 3,275 % (Tabel 3.5) dan didukung oleh faktor persaingan dengan genus-genus lain yang lebih tinggi kepadatannya misalnya genus Tryonia dan Gyraulus bersaing dalam perebutan makanan dan tempat tinggal. Faktor ini tentu saja dapat menekan jumlah kepadatan makrozoobentos yang tidak mampu bersaing dengan genus-genus lainnya. Kimbal (1999, hlm: 1038) mengatakan bahwa bila dua atau lebih spesies bergantung pada sumber tertentu dalam lingkungannya, maka mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber makanan tersebut. Sumber yang paling sering diperebutkan adalah makanan, tetapi dapat pula hal-hal seperti tempat berlindung, tempat bersarang, sumber air dan tempat yang disinari matahari atau biasa disebut niche.

Genus Cyrnellus memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi pada lokasi III sebesar 87,40 ind/m2, 78,16 %, dan 86,66 %. Hal ini disebabkan kondisi fisik kimia lokasi III mendukung pertumbuhan Cyrnellus. Pada lokasi III terdapat substrat seperti batu-batu besar yang permukaannya yang ditumbuhi oleh lumut yang merupakan habitat genus ini. Kandungan substrat organik yang tinggi sebesar 1,146 % (Tabel 3.5) juga mendukung kehidupan genus ini sehingga populasinya sangat melimpah pada lokasi III.

Menurut Mahida (1986) dalam Lestari (2008), beberapa jenis larva insekta akuatik membutuhkan nutrisi yang tinggi sebagai pendukung pertumbuhannya. Larva insekta akuatik seperti Cyrnellus yang memiliki habitat menempel pada tumbuhan air,


(43)

lumut, atau pada lubang-lubang batu yang berada pada dasar perairan. Larva Cyrnellus membutuhkan senyawa-senyawa organik sebagai nutrisi yang mendukung perubahannya menjadi insekta dewasa berlangsung dengan baik.

Genus Anodontoides, Pomatiopsis, dan Tryonia memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran terendah pada lokasi III sebesar 1,48 ind/m2, 1,32 %, dan 13,33 %. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang tidak mendukung kehidupan genus-genus tersebut. Kecepatan arus yang tinggi yakni 2 m/s dan nilai BOD5 sebesar 0,9 mg/l (Tabel 3.5) tidak mendukung pertumbuhan

genus-genus tersebut.

Menurut Michael (1994, hlm: 168), organisme air yang mempunyai toleransi luas terhadap arus yang tinggi akan melimpah jumlahnya sedangkan yang tidak toleran akan sedikit jumlahnya. Anodontoides, Pomatiopsis, dan Tryonia termasuk dalam Filum Moluska yang cenderung menyukai perairan dengan arus yang relatif tenang karena mendukung pergerakannya dan substrat dasar berupa pasir.

Genus Melanoides memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi pada lokasi IV sebesar 61,48 ind/m2, 63,33 %, dan 86,66 %. Temperatur sebesar 28 oC (Tabel 3.5) mendukung pertumbuhan genus ini. Menurut Hartoto (1986: hlm: 156), genus Melanoides dapat bertahan hidup dan bertumbuh dengan maksimal pada perairan dengan suhu sekitar 28 – 29 oC dan relatif menyukai substrat berupa pasir dan batu-batu. Secara umum Melanoides mempunyai toleransi yang baik terhadap kekeringan dan mampu bertahan pada perairan dengan pH di bawah 7,5.

Genus Hellobdella memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran terendah pada lokasi IV sebesar 0,73 ind/m2, 0,76 %, dan 6,66 %. Substrat lokasi IV yang berupa pasir tidak mendukung kehidupan genus ini. Wargadinata (1995, hlm: 311) menjelaskan bahwa kelas hirudinea khususnya genus Hellobdella mempunyai habitat di perairan yang berbatu-batu dan mempunyai vegetasi yang banyak sebagai tempat menempel.


(44)

Ada beberapa genus makrozoobentos yang terdapat hanya pada satu lokasi misalnya Copelatus, Limnodrillus, dan Ophiogomphus pada lokasi I, Cyrnellus pada lokasi III, Palaemonetes, Pila, dan Viviparus pada lokasi IV. Hal ini disebabkan kisaran toleransi genus tersebut sangat sempit terhadap kondisi fisik kimia perairan sehingga hanya dapat hidup pada habitat tertentu yang mendukung kehidupannya.

Desmukh (1992, hlm: 246) menyatakan bahwa dalam komunitas alami biasanya ada beberapa jenis yang melimpah dan banyak jenis yang jarang. Suin (2002, hlm: 136) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan turut menentukan laju populasi. McNaughton (1990, hlm: 64) menjelaskan bahwa kepadatan populasi yang mantap (Steady State Density) umunya disebut daya dukung (Carrying Capacity) lingkungan, secara langsung sebanding dengan jumlah sumber-sumber alam yang tersedia.

3.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Perhitungan indeks keseragaman dan indeks keseragaman merupakan analisis yang biasa digunakan dalam analisis populasi dan komunitas makrozoobentos.

Tabel 3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobentos di Setiap Lokasi Penelitian

Indeks Lokasi

I II III IV

Keanekaragaman (H') 1,81 1,94 1,33 1,20

Keseragaman (E) 0,79 0,78 0,56 0,53

Berdasarkan Tabel 3.3 dapat dilihat bahwa indeks keanekragaman yang diperoleh dari keempat lokasi berkisar antara 1,20 – 1,94. Lokasi II memiliki indeks keanekaragaman tertinggi sebesar 1,94. Hal ini disebabkan pada lokasi II kandungan organik substrat sebesar 4,704 % (Tabel 3.5) lebih tinggi dibandingkan ketiga stasiun lainnya sehingga banyak jenis makrozoobentos yang dapat hidup di lokasi ini. Menurut Barus (2004, hlm: 121), suatu komunitas dinyatakan mempunyai keanekragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu


(45)

kominitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Lokasi IV memiliki H’ terendah terdapat pada lokasi yaitu sebesar 1,20. Hal ini disebabkan karena lokasi IV memiliki nilai penetrasi cahaya, pH, oksigen terlarut, intensitas cahaya, kandungan organik substrat, dan kejenuhan oksigen yang paling rendah bila dibandingkan dengan ketiga lokasi lainnya sehingga mengakibatkan keanekaragaman organisme rendah dan penyebarannya tidak merata.

Berdasarkan indeks diversitas Shannon – Wienner, diketahui bahwa lokasi penelitian di Sungai Bah Bolon merupakan perairan yang memiliki keanekaragaman organisme rendah. Berdasarkan kriteria tingkat pencemaran maka dapat diketahui bahwa lokasi I dan II termasuk kategori tercemar ringan serta lokasi III dan IV termasuk dalam kategori tercemar sedang. Menurut Barus (2004, hlm: 125), klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon – Wienner, > 2,0 (tidak tercemar); 1,6 – 2,0 (tercemar ringan); 1,0 – 1,6 (tercemar sedang); < 1,0 (tercemar berat/parah).

Nilai indeks keseragaman (E) yang diperoleh dari keempat lokasi penelitian berkisar 0,53 – 0,79. Lokasi II memiliki indeks keseragaman tertinggi sebesar 0,79. Hal ini disebabkan oleh penyebaran individu pada lokasi ini lebih merata dibandingkan dengan penyebaran individu di lokasi lain. Lokasi IV memiliki indeks keseragaman terendah sebesar 0,53. Hal ini disebabkan pada lokasi ini penyebaran makrozoobentos tidak merata. Menurut Yulianda & Damar (1994, hlm: 15), indeks keseragaman (E) berkisar 0 - 1, dimana jika indeks keseragaman mendekati 0 maka dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadinya dominansi jenis yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi, dan jika indeks keseragaman mendekati 1 maka ekosistem tersebut dalam kondisi yang relatif stabil atau mantap yaitu jumlah individu tiap jenis relatif sama.


(46)

3.1.3 Indeks Similaritas (IS)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing lokasi penelitian diperoleh indeks similaritas seperti yang tertera pada Tabel 3.4 berikut:

Tabel 3.4 Indeks Similaritas (IS)

Lokasi 1 2 3 4

1 - 54,54 % 21,05 % 33,33 %

2 - - 76,19 % 60,00 %

3 - - - 70,58 %

4 - - - -

Tabel 3.4 menunjukkan bahwa Indeks Similaritas (IS) yang didapatkan pada lokasi penelitian bervariasi dan berkisar antara 21,05 % - 76,19 %. Penelitian menunjukkan bahwa lokasi yang mempunyai kriteria sangat mirip adalah lokasi II dengan III sebesar 76,19 % dengan 8 genus yang sama. Lokasi yang mempunyai kriteria mirip adalah lokasi I dan II sebesar 54,54 %, lokasi II dan IV sebesar 60,00 %, lokasi III dan IV sebesar 70,58 % masing-masing dengan 6 genus yang sama. Lokasi yang mempunyai kriteria tidak mirip adalah lokasi I dan IV sebesar 33,33 % dengan 3 genus yang sama dan lokasi yang mempunyai kriteria sangat tidak mirip adalah lokasi I dan III sebesar 21,05 % dengan 2 genus yang sama.

Menurut Krebs (1985, hlm: 525), indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makrozoobentos yang hidup di luar tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis makrozoobentos yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan makrozoobentos antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut. Hal yang paling penting diantaranya adalah kondisi substrat dasar perairan dan kandungan organiknya.


(47)

3.2 Variabel Abiotik

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sungai Bah Bolon didapatkan nilai faktor fisik kimia seperti pada Tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Lokasi Penelitian di Sungai Bah Bolon

No Variabel Satuan Lokasi

1 2 3 4

1 Temperatur oC 26 27 27 28

2 Penetrasi Cahaya cm 43 35 40 30

3 pH air - 7,8 7,7 7,6 7,4

4 DO (Dissolved Oxygen) mg/l 7,3 6,8 6,4 6,1

5 BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) mg/l 0,3 0,8 0,9 1,1

6 COD (Chemical Oxygen Demand) mg/l 3,136 4,704 5,488 6,272 7 Kandungan Substrat Organik % 0,567 3,274 1,146 0,814 8 Kejenuhan Oksigen % 92,40 87,17 82,05 79,22 9 Intensitas Cahaya Candela 760 552 482 283

10 Kecepatan Arus m/s 1,5 1,1 2 0,8

Keterangan :

Lokasi I : Daerah bebas aktivitas Lokasi II : Daerah pembuangan pabrik es Lokasi III : Daerah pembuangan pabrik rokok Lokasi IV : Daerah pertanian

3.2.1 Temperatur

Berdasarkan Tabel 3.5 diketahui bahwa nilai temperatur pada lokasi penelitian berkisar antara 26 – 28 oC. Lokasi IV memiliki temperatur tertinggi sebesar 28 oC yang merupakan daerah pertanian sedangkan lokasi I memiliki temperatur terendah sebesar 26 oC yang merupakan daerah bebas aktivitas. Temperatur pada setiap lokasi tidak jauh berbeda atau tidak mengalami fluktuasi (relatif konstan) karena tidak mengalami perubahan yang tinggi.

Menurut Barus (2004, hlm: 46), fluktuasi temperatur di perairan tropis yang umumnya sepanjang tahun mempunyai fluktuasi temperatur udara yang tidak terlalu tinggi sehingga mengakibatkan fluktuasi temperatur air tahunan juga tidak terlalu


(48)

besar. Brower et al., (1990, hlm : 594) mengatakan bahwa kondisi temperatur perairan dipengaruhi oleh kondisi atmosfir yang mengontrol iklim, musim, dan perubahan cuaca serta keadaan intensitas cahaya matahari pada permukaan air serta faktor kanopi di sekitar perairan. Kisaran temperatur yang optimal untuk pertumbuhan bentos antara 20 oC – 30 oC.

3.2.2 Penetrasi Cahaya

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh data penetrasi cahaya pada setiap lokasi tidak jauh berbeda yakni berkisar antara 30 – 43 cm. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penetrasi cahaya pada suatu perairan. Sastrawijaya (1991, hlm: 99) menjelaskan bahwa cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam air dan demikian pula sebaliknya.

Bahan organik seperti ganggang, fitoplankton, zooplankton, dan sampah organik lainnya makin tertimbun pada permukaan air. Akibatnya kejernihan air menurun dan menjadi keruh, mula-mula perlahan kemudian relatif makin cepat. Hal ini berarti sinar matahari tidak dapat lagi menembus ke dalam air seperti semula, sehingga proses fotosintetis dalam perairan itu makin lama makin terbatas di sekitar permukaan air saja. Dengan meningkatnya jumlah total kegaitan biologi dalam perairan per unit waktu dan volume air tertentu, produksi sampah organik pun meningkat pula. Sampah ini mula-mula terapung tetapi kemudian tenggelam ke dasar perairan. Ditambah dengan pemasukan bahan dari luar, lama-lama kelamaan danau semakin dangkal oleh penegndapan bahan. Apabila kecepatan aktivitas biologi begitu tinggi dan konsentrasi organisme hidup begitu besar, produksi bahan organik menjadi cukup besar dan airnya pun menjadi sangat keruh. Akibatnya sinar matahari paling dalam hanya dapat menembus air sedalam 1 – 3 meter saja (Soeriaatmadja, 1989, hlm: 66).


(49)

Berdasarkan Tabel 3.5 dapat dilihat bahwa pH air pada setiap lokasi berkisar 7,4 – 7,8. Nilai pH yang diperoleh dari keempat lokasi penelitian menunjukkan bahwa daerah tersebut masih dapat mendukung kehidupan makrozoobentos. Menurut Barus (2004, hlm: 61), nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umunya terdapat 7 – 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

3.2.4 Dissolved Oksigen (DO)

Nilai oksigen terlarut pada lokasi penelitian berkisar 6,1 – 7,3 mg/l. Lokasi I memiliki nilai oksigen tertinggi sebesar 7,3 mg/l dan lokasi IV memiliki nilai oksigen terlarut terendah sebesar 6,1 mg/l. Nilai oksigen terlarut yang tinggi pada lokasi I berkaitan dengan dengan rendahnya temperatur demikian juga sebaliknya pada lokasi IV. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991, hlm: 99) bahwa temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen. Jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Kehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut sebanyak 5 mg/l dan tergantung pada daya tahan organisme tersebut.

3.2.5 Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

Nilai BOD5 yang didapat pada keempat lokasi penelitian berkisar antara 0,3 – 1,1

mg/l. Lokasi IV memiliki nilai BOD5 tertinggi sebesar 1,1 mg/l dan lokasi I memiliki

nilai BOD5 sebesar 0,3 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 di setiap lokasi penelitian

disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang terkandung di perairan tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen. Tingginya nilai BOD5 pada lokasi IV

disebabkan banyaknya bahan-bahan organik yang terkandung di lokasi tersebut. Bahan-bahan organik tersebut berasal dari lahan pertanian yang banyak menyumbangkan limbah yang mengandung unsur organik (pupuk) ke badan perairan.


(50)

Menurut Wardhana (2004, hlm: 91), bahan buangan limbah organik biasanya berasal dari bahan buangan limbah rumah tangga, bahan buangan limbah pertanian, kotoran manusia, kotoran hewan, dan lain sebagainya. Menurut Brower et al., (1990, hlm: 52), nilai konsentrasi BOD rendah menunjukkan kualitas suatu perairan masih baik, diaman apabila komsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2

maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila komsumsi O2 berkisar

antara 10 – 20 mg/l menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi. Selanjutnya Wardhana (2004, hlm: 93) menyatakan bahwa peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

3.2.6 Chemical Oxygen Demand (COD)

Nilai COD yang didapatkan dari hasil penelitian berkisar antara 3,136 – 6,272 mg/l. Lokasi IV memiliki nilai COD tertinggi sebesar 6,272 mg/l dan lokasi I memiliki nilai COD terendah sebesar 3,136 mg/l/ Tingginya COD di lokasi IV disebakan karena lokasi IV merupakan daerah paling hilir dari ketiga lokasi lainnya dan lokasi ini merupakan daerah pertanian. Kegiatan pertanian banyak menyumbangkan senyawa-senyawa organik maupun anorganik yang berasal dari pupuk (N dan P) dan sisa-sisa pengairan yang terbuang langsung ke badan sungai. Hal ini dapat meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan organisme pengurai untuk memecahkan senyawa-senyawa organik atau anorganik secara kimiawi. Rendahnya nilai COD pada lokasi I disebabkan karena lokasi ini merupakan daerah bebas aktivitas sehingga pemasukan senyawa-senyawa organik maupun anorganik ke badan sungai pun sedikit. Hal ini menyebabkan jumlah oksigen yang digunakan untuk proses penguraian secara kimiawi rendah.

Nilai COD menyatakan jumlah oksigen yang dubutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar / tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004, hlm:


(51)

66). Menurut Sinaga (2009, hlm: 33), COD erat kaitannya dengan BOD. Banyak zat organik yang tidak mengalami penguraian biologi secara cepat berdasarkan pengujian BOD. Senyawa-senyawa organik tersebut tetap menurunkan kualitas air sehingga perlu diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah masuk ke dalam perairan.

3.2.7 Kandungan Organik Substrat

Nilai kadar organik substrat yang didapatkan pada keempat lokasi penelitian berkisar antara 0,567 – 3,275 %. Lokasi II memiliki kandungan organik substrat tertinggi sebesar 3,275 % dan lokasi I memiliki kandungan organik substrat sebesar 0,567 %. Tinginya nilai organik substrat pada lokai II disebabkan substrat dasar pada lokasi tersebut adalah pasir berlumpur dimana pasir berlumpur mampu mengikat bahan-bahan organik lebih baik dibandingkan bebatuan. Kecepatan arus pada lokasi ini yang rendah menyebabkan proses pengendapan bahan-bahan organik lebih banyak. Nilai organik substrat yang rendah pada lokasi I disebabkan karena lokasi I masih termasuk daerah hulu sungai. Lokasi I memiliki kecepatan arus yang tinggi dan substrat batu-batu besar sehingga menyebabkan pengendapan bahan-bahan organik sedikit di lokasi ini.

Substrat dasar suatu perairan merupakan faktor yang penting bagi kehidupan hewan makrozoobentos yaitu sebagai habitat hewan tersebut. Masing-masing spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat dan kadar bahan organik substrat. Perbedaan kondisi perairan mempengaruhi pengendapan bahan-bahan organik, lingkungan yang berarus tenang memungkinkan laju pengendapan sedimen lumpur tinggi yang diikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik di dasar perairan sedangkan, pada perairan yang berarus cepat sedimen yang mengendap berupa sedimen-sedimen kasar karena yang memiliki kandungan bahan organik yang lebih rendah (Barnes & Mann, 1994, hlm: 13). Menurut Seki (1982, hlm: 56), komponen organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin, dan hormon juga ditemukan di perairan. Tetapi hanya 10 % dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan. Menurut Djaenuddin et


(52)

al., (1994) dalam Hutapea (2006: hlm: 37), criteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat berdasarkan persentase adalah sebagai berikut: < 1 % (sangat rendah), 1 % - 2 % (rendah), 2,01 % - 3 % (sedang), 3,01 % - 5 % (tinggi), dan > 5,01 % (sangat tinggi).

3.2.8 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen yang diperoleh dari keempat lokasi berkisar 79,22 – 92,40 %. Lokasi I memilik kejenuhan oksigen tertinggi sebesar 92,40 % dan lokasi IV memiliki kejenuhan oksigen terendah sebesar 79,22 %. Nilai kejenuhan oksigen yang tinggi pada lokasi I berkaitan dengan tingginya nilai DO pada lokasi tersebut. Hal ini menunjukkan defisit oksigen pada lokasi tersebut sedikit. Sumber pemasukan oksigen yang cukup besar yang berasal dari hasil fotosintesis plankton, kerapatan vegetasi sekitar yang rimbun, dan juga oksigen yang berasal dari kontak langsung dengan udara. Nilai kejenuhan oksigen yang paling rendah pada lokasi IV disebabkan karena lokasi ini merupakan daerah hilir dengan nilai DO yang rendah dan tidak ditemukannya pepohonan di sekitar lokasi ini.

Menurut Barus (2004, hlm: 60), untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/l, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Peranan temperatur sangat penting untuk diamati terutama dalam kaitannya untuk menilai kandungan oksigen dalam suatu contoh air yang diukur.

3.2.9 Intensitas Cahaya

Berdasarkan Tabel 3.5 dapat dilihat bahwa intensitas cahaya pada setiap lokasi berkisar 283 – 760 Candela. Lokasi I memiliki intensitas cahaya tertinggi sebesar 760 Candela dan lokasi IV memiliki intensitas cahaya terendah sebesar 283 Candela. Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin


(53)

maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan. Ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman (Tarumingkeng, 2001).

3.2.10 Kecepatan Arus

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai kecepatan arus berkisar 0,8 – 2 m/s. Lokasi IIImemiliki kecepatan arus yang paling tinggi sebesar 2 m/s dan lokasi IV memiliki kecepatan arus yang paling rendah sebesar 0,8 m/s. Tingginya kecepatan arus pada lokasi III disebabkan oleh substrat dasar sungai berupa batu-batu besar dan topografi sungai yang curam. Lokasi IV memiliki kecepatan arus yang paling rendah yakni sebesar 0,8 m/s. Hal ini disebabkan karena substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir dan bertopografi landai karena lokasi IV ini berada pada bagian paling hilir dari ketiga lokasi penelitian lainnya dengan arus yang cukup tenang.

Menurut Mulyanto (2007, hlm: 67), makin ke hilir kelandaian air akan semakin besar. Daya gerus terhadap dasar akan berkurang dan konsentrasi sediment yang dikandungnya cukup besar dengan akibat kapasitas transport aliran akan mengecil dan sediment yang terbawa dari hulu akan mengendap. Secara umum seluruh nilai variabel abiotik baik fisik maupun kimia yang terdapat di seluruh lokasi di Sungi Bah Bolon masih cukup baik untuk kelangsungan hidup biota air yang terdapat di dalamnya termasuk organisme makrozoobentos.

3.3 Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver 17.00

Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian yang dikorelasikan dengan Indeks Diversitas Shannon – Wienner maka diperoleh indeks korelasi seperti pada tabel 3.6 berikut:

Tabel 3.6 Korelasi Keanekaragaman Makrozoobentos dengan Faktor Fisik Kimia Perairan

Temperatur pH Penetrasi Intensitas DO BOD5 COD K. Oksigen K. Arus Substrat

H' -0,692 +0,229 +0,416 +0,782 +0,846 -0,694 -0,791 +0,684 -0,016 +0,576

Keterangan :

Nilai + : Arah korelasi searah


(54)

Berdasarkan Tabel 3.6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi Pearson pada beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya terhadap indeks keanekaragaman (H’). Nilai positif (+) menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai indeks keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik kimianya maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula sedangkan, nilai negatif (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia periran dengan nilai indeks keanekaragaman, artinya semakin besar nilai faktor fisik dan kimia makan nilai H’ akan semakin kecil begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H’ akan semakin besar.

Berdasarkan hasil uji korelasi pada Tabel 3.6 dapat dilihat bahwa faktor fisik kimia yang berkorelasi searah dan berhubungan sangat kuat adalah oksigen terlarut. Artinya semakin tinggi nilai oksigen terlarut maka semakin meningkat juga keanekaragaman makrozoobentos. Kejenuhan oksigen berpengaruh terhadap kelangsungan hidup biota air termasuk makrozoobentos, sebab semakin tinggi nilai kejenuhan oksigen (mendekati nilai 100 %) pada kisaran suhu tertentu berarti kandungan oksigen terlarut mendekati maksimum dengan demikian makrozoobentos dapat melakukan fungsi fisiologis dan biologisnya dengan baik. Fluktuasi kadar oksigen terlarut dalam air sangat menentukan kehidupan hewan air. Sumber utama oksigen terlarut dari udara ke air tergantung pada luas permukaan air, suhu, dan salinitas (Suin, 2002: hlm 58 – 59).


(55)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap keanekaragaman makrozoobentos yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Keanekaragaman makrozoobentos di sungai Bah Bolon terdiri dari tiga filum, enam kelas, sembilan ordo, 15 famili dan 20 genus.

b. Genus Cyrnellus memiliki kepadatan populasi tertinggi pada lokasi pembuangan limbah pabrik rokok yaitu 87,40 ind/m2 dan genus Hellobdella memiliki kepadatan populasi terendah pada lokasi pertanian yaitu 0,74 ind/m2.

c. Lokasi pembuangan limbah pabrik es memiliki indeks keanekaragaman tertinggi yaitu 1,94 dan lokasi pertanian memiliki indeks keanekargaman terendah yaitu 1,20. Keanekaragaman makrozoobentos pada keempat lokasi penelitian tergolong rendah.

d. Penurunan keanekaragaman makrozoobentos dan peningkatan kepadatan total populasi seiring dengan penurunan pH air, DO, kejenuhan oksigen dan intensitas cahaya serta peningkatan BOD5 dan COD.

e. Keanekaragaman makrozoobentos berkorelasi kuat dengan temperatur, intensitas cahaya, oksigen terlarut, BOD5, COD, dan kejenuhan oksigen.

4.2 Saran

Hendaknya daerah bebas aktivita manusia tetap dipertahankan dan pabrik yang membuang limbah ke badan sungai Bah Bolon sebaiknya memperhatikan pengolahan


(56)

limbahnya sebelum dibuang ke lingkungan demi kelestarian makrozoobentos yang hidup di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1993. Ekologi Pertanian. Edisi Kedua. Jakarta: Alumni Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: Program Studi Biologi. USU Press.

Barners, K. S. K. & K. H. Mann. 1994. Fundamental of Aquatic Ecology. Blackwell Scientific Publication Oxford.

Barus, T. A. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke 2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Brower, J. E. H. Z. Jerrold & Car. I. N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods For General Ecology. Third Edition. New York: Wm. C. Brown Publisher.

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. UI-Press.

Deshmuk, I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dharma, P. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta.

Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. New York: Jhon Willey & Sons, inc.

Hartoto, D. I. & Ristiyanti, M. 1986. Struktur komunitas Gastropoda dan distribusi Spasial Melanoides plicaria di Cibunia Ujung Kulan. Jurnal Berita Biologi. Vol 3 (4). Bogor: LIPI.

Heryanto , 2008. Ekologi Moluska Mangrove Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Zoo Indonesia. 17(1).

2011.

Hutchinson, W. T. 1993. A Treatise on Limnology. Edited by Yuette. Jhon Wiley & Sons, Inc: New York. Pp 1 – 6.


(57)

limbahnya sebelum dibuang ke lingkungan demi kelestarian makrozoobentos yang hidup di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1993. Ekologi Pertanian. Edisi Kedua. Jakarta: Alumni Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: Program Studi Biologi. USU Press.

Barners, K. S. K. & K. H. Mann. 1994. Fundamental of Aquatic Ecology. Blackwell Scientific Publication Oxford.

Barus, T. A. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke 2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Brower, J. E. H. Z. Jerrold & Car. I. N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods For General Ecology. Third Edition. New York: Wm. C. Brown Publisher.

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. UI-Press.

Deshmuk, I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dharma, P. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta.

Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. New York: Jhon Willey & Sons, inc.

Hartoto, D. I. & Ristiyanti, M. 1986. Struktur komunitas Gastropoda dan distribusi Spasial Melanoides plicaria di Cibunia Ujung Kulan. Jurnal Berita Biologi. Vol 3 (4). Bogor: LIPI.

Heryanto , 2008. Ekologi Moluska Mangrove Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Zoo Indonesia. 17(1).

2011.

Hutchinson, W. T. 1993. A Treatise on Limnology. Edited by Yuette. Jhon Wiley & Sons, Inc: New York. Pp 1 – 6.


(1)

Lampiran H. Contoh Hasil Perhitungan

a.

Kepadatan Populasi

Hellobdella

pada lokasi I

K =

Sampel

Unit

Luas

Ulangan

Jenis

Suatu

Individu

Jumlah

/

=

09

,

0

15

/

2

= 1,48 ind/m

2

Luas Unit Sampel (Surber Net) : 30 x 30 cm = 0,09 m

2

b.

Kepadatan Relatif

Hellobdella

pada lokasi I

K =

Jenis

Seluruh

Kepada

Jumlah

Jenis

Suatu

Kepada

tan

tan

x 100 %

=

96

,

33

48

,

1

x 100 % = 4,35 %

c.

Frekuensi Kehadiran

Hellobdella

pada lokasi I

KR =

x

100

%

Ulangan

Total

Jumlah

Jenis

Suatu

Ditempati

yang

Ulangan

Jumlah

KR =

15

2

x 100 % = 13,33 %

d.

Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’) pada lokasi I

H’ =

pi

ln

pi

=

− (2/46 ln 2/46) + (1/46 ln 1/46) + (2/46 ln 2/46) + (3/46 ln 3/46) + (2/46

ln 2/46) + (1/46 ln 1/46) + (2/46 ln 2/46) + (1/46 ln 1/46) + (17/46 ln

17/46) + (6/46 ln 6/46) + (11/46 ln 11/46)


(2)

= 1,81

e.

Indeks Keseragaman (E) populasi pada lokasi I

E

=

max

'

H

H

=

S

ln

81

,

1

=

10

ln

81

,

1

=

0,79

f.

Indeks Similaritas (IS) antara lokasi I dan II

IS

=

2

x

100

%

b

a

c

+

=

11

12

100

%

6

.

2

x


(3)

Lampiran I. Foto Makrozoobentos

Gambar 1.

Hellobdella

Gambar 2.

Boyeria

Gambar 3.

Copelatus

Gambar 4.

Cyrnellus


(4)

Gambar 7.

Ophiogomphus

Gambar 8.

Anodontoides

Gambar 9.

Fusconaia

Gambar 10.

Goniobasis


(5)

Gambar 13.

Melanoides

Gambar 14.

Pila

Gambar 15.

Thiara

Gambar 16.

Tryonia


(6)

Lampiran J. Hasil Analisis Korelasi Pearson Ver. 17.00

Correlations

Temperatur Penetrasi pHair DO BOD5 COD Substrat K.Oksigen Intensitas K.arus H

Temperatur Pearson Correlation 1 -.929 .000 -.943 .960

*

.956* .081 -.925 -.989* -.550 -.6 Sig. (2-tailed) .071 1.000 .057 .040 .044 .919 .075 .011 .450 .3

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Penetrasi Pearson Correlation -.929 1 -.289 .752 -.823 -.785 -.255 .719 .865 .808 .4 Sig. (2-tailed) .071 .711 .248 .177 .215 .745 .281 .135 .192 .5

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

pHair Pearson Correlation .000 -.289 1 .272 -.277 -.276 -.173 .305 .095 -.771 .2 Sig. (2-tailed) 1.000 .711 .728 .723 .724 .827 .695 .905 .229 .7

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

DO Pearson Correlation -.943 .752 .272 1 -.971

*

-.995** .065 .999** .980* .247 .8 Sig. (2-tailed) .057 .248 .728 .029 .005 .935 .001 .020 .753 .1

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

BOD5 Pearson Correlation .960

*

-.823 -.277 -.971* 1 .989* .174 -.962* -.970* -.330 -.6 Sig. (2-tailed) .040 .177 .723 .029 .011 .826 .038 .030 .670 .3

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

COD Pearson Correlation .956

*

-.785 -.276 -.995** .989* 1 .030 -.991** -.983* -.282 -.7 Sig. (2-tailed) .044 .215 .724 .005 .011 .970 .009 .017 .718 .2

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Substrat Pearson Correlation .081 -.255 -.173 .065 .174 .030 1 .092 .012 -.226 .5 Sig. (2-tailed) .919 .745 .827 .935 .826 .970 .908 .988 .774 .4

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

K.Oksigen Pearson Correlation -.925 .719 .305 .999

** -.962* -.991** .092 1 .969* .202 .8

Sig. (2-tailed) .075 .281 .695 .001 .038 .009 .908 .031 .798 .1

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Intensitas Pearson Correlation -.989

*

.865 .095 .980* -.970* -.983* .012 .969* 1 .436 .7 Sig. (2-tailed) .011 .135 .905 .020 .030 .017 .988 .031 .564 .2

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

K.arus Pearson Correlation -.550 .808 -.771 .247 -.330 -.282 -.226 .202 .436 1 -.0 Sig. (2-tailed) .450 .192 .229 .753 .670 .718 .774 .798 .564 .9

N 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

H Pearson Correlation -.692 .416 .229 .846 -.694 -.791 .576 .864 .782 -.016 Sig. (2-tailed) .308 .584 .771 .154 .306 .209 .424 .136 .218 .984