Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun Terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Raya

(1)

DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

SIMALUNGUN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

KECAMATAN RAYA

TESIS

Oleh

BONAR ZEITSEL AMBARITA

087003022/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2010

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA


(2)

DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

SIMALUNGUN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

KECAMATAN RAYA

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BONAR ZEITSEL AMBARITA

087003022/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2010


(3)

Judul Tesis : DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN SIMALUNGUN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH KECAMATAN RAYA

Nama Mahasiswa : Bonar Zeitsel Ambarita Nomor Pokok : 087003022

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam, SE Ketua

Dr. Ir. Tavi Supriana, MS Anggota

Kasyful Mahalli, SE, M.Si Anggota

Ketua Program Studi,

Prof. Bachtiar Hassan Miraza

Direktur,

Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa B, MSc


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 6 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr.licrer.reg.Sirojuzilam, SE Anggota : 1. Dr. Ir. Tavi Supriana, MS

2. Kasyful Mahalli, SE, M.Si 3. Drs. Rujiman, MA


(5)

PERNYATAAN

T E S I S

DAMPAK RELOKASI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN SIMALUNGUN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH

KECAMATAN RAYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2010


(6)

ABSTRAK

Bonar Zeitsel Ambarita, 087003022/PWD, Judul Penelitian “Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Raya”, dibawah bimbingan: Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, SE (Ketua), Dr. Ir. Tavi Supriana, MS (Anggota), Kasyful Mahalli, SE., M.Si. (Anggota)

Pemindahan ibukota daerah Kabupaten Simalungun ke Kecamatan Raya mengacu kepada Instruksi Menteri Dalam Negeri No.31 Tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan aktivitas ekonomi utama, seperti perdagangan, transportasi dan jasa. Pemindahan ibukota daerah Kabupaten Simalungun ke Kecamatan Raya secara teoritis akan memberikan dampak pada aspek pelayanan pemerintahan dan sosial ekonomi masyarakat.Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menganalisis dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun ditinjau dari; aspek keterjangkauan pelayanan (affordability), aspek kecukupan pelayanan (recoverability), aspek kesesuaian pelayanan (replicability), aspek pendapatan masyarakat dan lapangan kerja terhadap pengembangan wilayah Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling, yaitu Desa Bah Bolon, Desa Raya Bosi dan Desa Pematang Raya. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis uji beda rata-rata (t-test).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang positif dan signifikan keterjangkauan pelayanan (affordability), kecukupan pelayanan (recoverability) dan kesesuaian pelayanan (replicability) di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun sebelum dan setelah relokasi pusat pemerintahan. Pendapatan rata-rata nominal sebelum dan setelah relokasi berbeda namun tidak signifikan sedangkan pendapatan rata-rata riil berbeda dan signifikan yakni sebesar Rp.78.761,17/bulan. Terjadi penurunan lapangan kerja pada sektor pertanian akan tetapi pada sektor perdagangan dan jasa mengalami peningkatan.

Kata kunci : Dampak, keterjangkauan, kecukupan dan kesesuaian, pengembangan wilayah


(7)

ABSTRACT

Bonar Zeitsel Ambarita, 087003022/PWD, " The Relocation Impact Simalungun County Government Center of the Regional Development of Raya Subdistrict", under the supervision of: Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, SE (Chair), Dr.Ir. Tavi Supriana, M.S (Member), Kasyful Mahalli, SE., M.Si (Member)

Transfer of the capital Simalungun district area to Raya subdistrict refers to the Instruction No.31 of the Ministry of the Interior in 1999. This can be seen from the accretion main economic activity, such as trade, transportation and services. Transfer of the capital Simalungun district area to Raya subdistrict theoretically will have an impact on the social aspects of government services and economic community. The purpose of this study is to analyze the impact of relocation Simalungun County government center in terms of; aspects of service affordability, aspects of service adequacy, aspects of the suitability of service, aspects of community income and employment of the regional Development of Raya Subdistrict. The sampling technique used was cluster sampling, which Bah Bolon Village, Raya Bosi Village and Pematang Raya Village. The data for this study were obtained through questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed through descriptive analysis and t-test analysis.

The results of this study showed that there were significant differences in positive and affordability of services, the adequacy of service and the suitability of service in the Raya subdistrict of Simalungun District before and after the relocation of the central government. The average of nominal income before and after the relocation is different but not significant while the average of real income different and significant, equal Rp.78,761.17/month. There is a relocation impact Simalungun County government center on employment, particularly employment increase of trade and services sectors.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasihNyalah penelitian yang berjudul “Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Raya”, ini dapat terselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si.) pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Komisi Pembimbing : Bapak Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, SE (Ketua), Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS (Anggota), Bapak Kasyful Mahalli, SE., M.Si (Anggota).

Demikian juga saya sampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Orangtua tercinta DR (HC) T. Ambarita dan N. Sianipar, Kakanda Lely M. Ambarita S.E., Kakanda Dumaria Ambarita AmK, Adinda Marisi Ambarita dan Adinda Iptu. Hotmartua Ambarita S.H atas semua pengorbanan, kesabaran, motivasi serta dukungun yang diberikan kepada penulis.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza dan Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Rujiman, MA., dan Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si. selaku Dosen Penguji.

5. Kepada seluruh dosen dan pegawai pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Ir. John Hugo Silalahi, MM selaku Ketua dan Dra. Denni D. Naibaho selaku Sekretaris DPC Partai Demokrat Kabupaten Simalungun yang telah


(9)

berkenan mengijinkan penulis untuk mengikuti Pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Simalungun, Anggota DPRD Kabupaten Simalungun, Sekretariat DPRD Kabupaten Simalungun, Staff Komisi II Kabupaten Simalungun, Badan Pusat Statistik Kabupaten Simalungun dan seluruh SKPD Kabupaten Simalungun yang terkait lainnya, yang telah membantu penulis memberikan data dalam penulisan tesis ini.

8. Bapak Janrismen Saragih S.H selaku anggota DPRD Kabupaten Simalungun dari Kecamatan Raya yang telah mengarahkan penulis dalam melakukan penelitian di nagori/desa di Kecamatan Raya.

9. Ibu dr. Monalis Oktavine Manihuruk yang membantu penulis dalam mencari buku referensi dalam penulisan tesis ini.

10. Secara khusus kepada 94 (sembilan puluh empat) masyarakat Kecamatan Raya di Kabupaten Simalungun sebagai Responden yang berkenan melayani penulis dalam melakukan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik yang sifatnya menyempurnakan dan membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tulisan ini.

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini memberi arti dan manfaat.

Medan, Juli 2010

Penulis,

BONAR ZEITSEL AMBARITA NIM. 087003022


(10)

RIWAYAT HIDUP

Bonar Zeitsel Ambarita, dilahirkan pada tanggal 08 Januari 1980 di Perdagangan Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dari Ayahanda DR (HC) T. Ambarita dan Ibunda N. Sianipar.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari Pendidikan Dasar pada Sekolah Dasar No. 091621 Perdagangan selesai pada Tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama pada SMP Negeri 1 Perdagangan selesai pada Tahun 1995, Sekolah Menengah Atas pada SMA St. Thomas 1 Medan selesai pada Tahun 1998, Pendidikan S-1 di Fakultas Teknik Sipil Universitas Atmajaya Yogyakarta dan selesai pada Tahun 2005.

Pengalaman bekerja penulis dimulai tahun 2000 sebagai direktur CV. Bona Lestari, Komisaris CV. Marisi Jaya Transport tahun 2004, Komisaris PT. Martua Jaya tahun 2005 dan tahun 2009 terpilih menjadi Anggota DPRD Kabupaten Simalungun dari Fraksi Demokrat dan ditugaskan di Komisi II (Ekonomi dan Pembangunan) sampai sekarang.

Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) konsentrasi Perencanaan Pembangunan (PP), Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Pusat Pemerintahan... 13

2.2. Kota sebagai Pusat Pelayanan... 15

2.2.1. Fungsi dan Pelayanan Kota... 18

2.2.2. Model Perkembangan Kota... 21

2.3. Teori Pusat Pelayanan ... 25

2.3.1. Jangkauan Pusat Pelayanan... 28

2.3.2. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan ... 29

2.4. Pengembangan Wilayah... 33

2.5. Penelitian Sebelumnya ... 38

2.6. Kerangka Pemikiran... 41


(12)

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Lokasi Penelitian ... 44

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 44

3.3. Populasi dan Sampel ... 45

3.4. Metode Analisis Data ... 46

3.5. Definisi Operasional ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 50

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50

4.1.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah ... 50

4.1.2. Penduduk ... 51

4.2. Karakteristik Responden ... 53

4.3. Analisis Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun, Ditinjau dari Aspek Keterjangkauan Pelayanan, Kecukupan Pelayanan, Kesesuaian Pelayanan ... 55

4.3.1. Pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP)... 56

4.3.2. Pengurusan Akte Kelahiran ... 61

4.3.3. Pengurusan Kartu Keluarga /Rumah Tangga... 65

4.3.4. Pengurusan Surat Keterangan Lainnya ... 71

4.3.5. Pengurusan Surat Izin Tempat Usaha (SITU)... 77

4.3.6. Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan ... 81

4.3.7. Pelayanan Ketenagakerjaan ... 87

4.3.8. Pelayanan Kesehatan (Pengurusan Surat Keterangan Sehat/Sakit) ... 91

4.4. Analisis Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap Pendapatan Masyarakat... 105

4.5. Analisis Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap Lapangan Kerja ... 108

4.6. Keterbatasan Penelitian... 111


(13)

5.1. Kesimpulan ... 112 5.2. Saran... 113


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Simalungun

tahun 2005-2008 (dalam ribuan rupiah)... 7

3.1. Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebagai Sampel Penelitian di Setiap Desa ... 46

4.1. Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahan di Kecamatan Raya Tahun 2010 ... 51

4.2. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Menurut Nagori/Kelurahan di Kecamatan Raya Tahun 2010 ... 52

4.3. Distribusi Responden berdasarkan Kelompok Usia... 53

4.4. Distribusi Responden berdasarkan Pekerjaan ... 54

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 54

4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 54

4.7. Keterjangkauan Pelayanan dalam Pengurusan KTP Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 57

4.8. Kecukupan Pelayanan dalam Pengurusan KTP Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 58

4.9. Kesesuaian Pelayanan dalam Pengurusan KTP Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 59

4.10. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Pelayanan Pengurusan KTP Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun ... 61

4.11. Keterjangkauan Pelayanan dalam Pengurusan Akte Kelahiran Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun ... 62

4.12. Kecukupan Pelayanan dalam Pengurusan Akte Kelahiran Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 63

4.13. Kesesuaian Pelayanan dalam Pengurusan Akte Kelahiran Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 64


(15)

4.14. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Pelayanan Pengurusan Akte Kelahiran Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 65 4.15. Keterjangkauan Pelayanan dalam Pengurusan Kartu Keluarga/Rumah

Tangga Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 66 4.16. Kecukupan Pelayanan dalam Pengurusan Kartu Keluarga/Rumah Tangga

Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 67 4.17. Kesesuaian Pelayanan dalam Pengurusan Kartu Keluarga/Rumah Tangga

Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 68 4.18. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan

Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Pelayanan Pengurusan Kartu Keluarga/Rumah Tangga Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 69 4.19. Keterjangkauan Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan lainnya

Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 72 4.20. Kecukupan Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan lainnya

Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 73 4.21. Kesesuaian Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan lainnya

Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 74 4.22. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan

Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Pelayanan Pengurusan Surat Keterangan lainnya Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 75 4.23. Keterjangkauan Pelayanan dalam Pengurusan Surat Izin Tempat Usaha

(SITU) Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 78 4.24. Kecukupan Pelayanan dalam Pengurusan Surat Izin Tempat Usaha

(SITU) Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 79


(16)

4.25. Kesesuaian Pelayanan dalam Pengurusan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 80 4.26. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan

Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Pelayanan Surat Izin Tempat Usaha Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun ... 81 4.27. Keterjangkauan Pelayanan dalam Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 82 4.28. Kecukupan Pelayanan dalam Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 83 4.29. Kesesuaian Pelayanan dalam Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 84 4.30. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan

Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Pelayanan Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 85 4.31. Keterjangkauan Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan Pencari

Kerja Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 87 4.32. Kecukupan Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan Pencari Kerja

Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 88 4.33 Kesesuaian Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan Pencari Kerja

Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 89 4.34. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan

Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Pelayanan Pengurusan Surat Keterangan Pencari Kerja Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 90 4.35. Keterjangkauan Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan

Sehat/Sakit Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun ... 92


(17)

4.36. Kecukupan Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan Sehat/Sakit Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 93 4.37. Kesesuaian Pelayanan dalam Pengurusan Surat Keterangan Sehat/Sakit

Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 94 4.38. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan

Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Pelayanan Pengurusan Surat Keterangan Sehat/Sakit Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 95 4.39. Kategori Dampak Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan

Kabupaten Simalungun ... 95 4.40. Perbedaan Keterjangkauan Pelayanan (Affordability), Kecukupan

Pelayanan (Recoverability) dan Kesesuaian Pelayanan (Replicability) Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 97 4.41. Pendapatan Nominal Masyarakat Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat

Pemerintahan Kabupaten Simalungun ... 105 4.42. Perbedaan Pendapatan Nominal Masyarakat Sebelum dan Setelah

Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 106 4.43. Pendapatan Riil Masyarakat Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat

Pemerintahan Kabupaten Simalungun ... 107 4.44. Perbedaan Pendapatan Riil Masyarakat Sebelum dan Setelah Relokasi

Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 108 4.45. Jumlah Anggota Keluarga (>15 - 64 Tahun) yang Bekerja Sebelum dan

Setelah Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun... 109 4.46. Jenis Pekerjaan/Lapangan Pekerjaan Sebelum dan Setelah Relokasi Pusat


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 118

2. Tabulasi Data ... 128

3. Hasil Uji statistik ... 159

4. Peta Kabupaten Simalungun ... 207


(20)

ABSTRAK

Bonar Zeitsel Ambarita, 087003022/PWD, Judul Penelitian “Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Raya”, dibawah bimbingan: Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, SE (Ketua), Dr. Ir. Tavi Supriana, MS (Anggota), Kasyful Mahalli, SE., M.Si. (Anggota)

Pemindahan ibukota daerah Kabupaten Simalungun ke Kecamatan Raya mengacu kepada Instruksi Menteri Dalam Negeri No.31 Tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan aktivitas ekonomi utama, seperti perdagangan, transportasi dan jasa. Pemindahan ibukota daerah Kabupaten Simalungun ke Kecamatan Raya secara teoritis akan memberikan dampak pada aspek pelayanan pemerintahan dan sosial ekonomi masyarakat.Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menganalisis dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun ditinjau dari; aspek keterjangkauan pelayanan (affordability), aspek kecukupan pelayanan (recoverability), aspek kesesuaian pelayanan (replicability), aspek pendapatan masyarakat dan lapangan kerja terhadap pengembangan wilayah Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling, yaitu Desa Bah Bolon, Desa Raya Bosi dan Desa Pematang Raya. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis uji beda rata-rata (t-test).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang positif dan signifikan keterjangkauan pelayanan (affordability), kecukupan pelayanan (recoverability) dan kesesuaian pelayanan (replicability) di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun sebelum dan setelah relokasi pusat pemerintahan. Pendapatan rata-rata nominal sebelum dan setelah relokasi berbeda namun tidak signifikan sedangkan pendapatan rata-rata riil berbeda dan signifikan yakni sebesar Rp.78.761,17/bulan. Terjadi penurunan lapangan kerja pada sektor pertanian akan tetapi pada sektor perdagangan dan jasa mengalami peningkatan.

Kata kunci : Dampak, keterjangkauan, kecukupan dan kesesuaian, pengembangan wilayah


(21)

ABSTRACT

Bonar Zeitsel Ambarita, 087003022/PWD, " The Relocation Impact Simalungun County Government Center of the Regional Development of Raya Subdistrict", under the supervision of: Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, SE (Chair), Dr.Ir. Tavi Supriana, M.S (Member), Kasyful Mahalli, SE., M.Si (Member)

Transfer of the capital Simalungun district area to Raya subdistrict refers to the Instruction No.31 of the Ministry of the Interior in 1999. This can be seen from the accretion main economic activity, such as trade, transportation and services. Transfer of the capital Simalungun district area to Raya subdistrict theoretically will have an impact on the social aspects of government services and economic community. The purpose of this study is to analyze the impact of relocation Simalungun County government center in terms of; aspects of service affordability, aspects of service adequacy, aspects of the suitability of service, aspects of community income and employment of the regional Development of Raya Subdistrict. The sampling technique used was cluster sampling, which Bah Bolon Village, Raya Bosi Village and Pematang Raya Village. The data for this study were obtained through questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed through descriptive analysis and t-test analysis.

The results of this study showed that there were significant differences in positive and affordability of services, the adequacy of service and the suitability of service in the Raya subdistrict of Simalungun District before and after the relocation of the central government. The average of nominal income before and after the relocation is different but not significant while the average of real income different and significant, equal Rp.78,761.17/month. There is a relocation impact Simalungun County government center on employment, particularly employment increase of trade and services sectors.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di era otonomi daerah, aparat pemerintah di daerah lebih dekat dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat serta merupakan perwujudan dan perpanjangan tangan pemerintahan. Amanah otonomi daerah yang mengutamakan peningkatan kualitas pelayanan publik di berbagai sektor kehidupan harus menjadi acuan dan mendarah daging dalam diri aparat pemerintah di daerah. Aparat pemerintah di daerah mempunyai peran besar dalam pelaksanaan urusan-urusan publik (Rasyid, 1997).

Begitu pentingnya kualitas pelayanan publik, sehingga pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomor. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan keadilan dan pemerataan. Pelayanan keadilan dan pemerataan dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

Mengacu kepada konsep keadilan dan pemerataan, pemerintah melalui PP No. 70/1999 tanggal 28 Juli 1999, menyetujui pemindahan ibukota daerah Kabupaten


(23)

Simalungun dari wilayah daerah Kota Pematangsiantar ke Kecamatan Raya di Wilayah Daerah Kabupaten Simalungun.

Keputusan tersebut tentu telah mempertimbangkan aspek kelayakan, potensi dan dampak positif dalam jangka pendek dan jangka panjang bagi pembangunan daerah Simalungun. Pemindahan daerah ibukota Kabupaten Simalungun tersebut telah mendapat persetujuan dari DPRD Kabupaten Simalungun (Nomor 4/DPRD/1996) tanggal 8 Oktober 1996 (3 tahun sebelumnya).

Perpindahan tersebut dimaksudkan agar dapat dilakukan pembangunan di Daerah Kabupaten Simalungun dengan mengatur tata ruang wilayah. Namun setelah dievaluasi lebih dari satu dekade, pengaturan tata ruang tersebut tidak bisa dilaksanakan, karena Ibukota Daerah Kabupaten Simalungun saat ini masih berada dalam wilayah Daerah Kota Pematang Siantar.

Perpindahan ibukota kabupaten bukan sekedar persoalan pusat pemerintahan, namun hal ini merupakan perubahan yang sangat mendasar, yakni perubahan paradigma lama ibukota kabupaten sebagai pusat seluruh aktivitas pemerintahan ke paradigma baru bahwa ibukota kabupaten direncanakan sedemikian rupa untuk menjadi pusat pelayanan. Dari sisi nasional, hal ini sekaligus diharapkan mampu mengatasi ketimpangan pembangunan dengan merencanakan pembangunan yang lebih merata dan seimbang (Purba, 2006).

Dari tujuan pemindahan ibukota Kabupaten Simalungun dapat dijelaskan bahwa hubungan di dalam kota, atau antara kota dengan daerah sekitarnya, dapat


(24)

dipilah dari segi sosial ekonomi dan dari segi fisik. Kedua hal tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Salah satu teori yang dapat menjelaskan hubungan sosial-ekonomi dan fisik yang berkait erat dan saling mempengaruhi adalah teori pusat atau tempat (central place theory).

Teori tempat pemusatan pertama kali dirumuskan oleh Christaller (dalam Hartshorn, 1980) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan) tersebut. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat

pelayanan : (1) faktor lokasi ekonomi, (2) faktor ketersediaan sumberdaya, (3) kekuatan aglomerasi, dan (4) faktor investasi pemerintah.

Sebuah kota atau pusat merupakan inti dari berbagai kegiatan pelayanan, sedangkan wilayah di luar kota atau pusat tersebut adalah daerah yang harus dilayaninya, atau daerah belakangnya (hinterland). Sebuah pusat yang kecil akan

memberikan penawaran pelayanan yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan pusat yang lebih besar. Jarak wilayah yang dilayaninyapun relatif lebih dekat dengan luasan yang kecil (Knox, 1994). Guna mengetahui kekuatan dan keterbatasan hubungan ekonomi dan fisik suatu kota atau pusat dengan wilayah dijelaskan Christaller melalui sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai Central Place


(25)

Theory. Teori ini menjelaskan peran sebuah kota sebagai pusat pelayanan, baik

pelayanan barang maupun jasa bagi wilayah sekitarnya (tributary area).

Menurut Christaller (1966) dalam Haggett (2001), sebuah pusat pelayanan harus mampu menyediakan barang dan jasa bagi penduduk di daerah sekitarnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa dua buah pusat permukiman yang mempunyai jumlah penduduk yang persis sama tidak selalu menjadi pusat pelayanan yang sama. Istilah kepusatan (centrality) digunakan untuk menggambarkan bahwa besarnya jumlah

penduduk dan pentingnya peran sebagai tempat terpusat (central place).

Ibukota kabupaten merupakan suatu perwilayahan pusat atau sentral pengendalian pembangunan yang akan mendorong terjadinya pertumbuhan secara seimbang antar kota dengan desa atau antara desa dengan desa yang bersinergis. Dan merupakan wilayah pusat keseimbangan regional (regional balance) yaitu daya

dukung suatu potensi wilayah tergantung kepada keseimbangan penyebaran penduduk yang memperoleh peluang yang sama terhadap demografi ekonomi sosial dan lingkungan untuk mewujudkan seluruh potensi yang dimiliki dapat menghasilkan suatu jaminan kualitas dan keadilan pelayanan publik (Hamid, 2008).

Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Terkait dengan hal tersebut dalam menentukan ibukota sebagai pusat pemerintahan harus dilakukan suatu penilaian yang objektif yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Kriteria-kriteria


(26)

yang perlu mendapat penilaian dalam menentukan calon ibukota tersebut antara lain adalah aspek tata ruang, aksesibilitas, keadaan fisik, kependudukan dan ketersediaan fasilitas.

Menurut Soenkarno (1999), dalam kajian tentang pemindahan ibukota kabupaten menyatakan bahwa tahapan proses pemindahan ibukota kabupaten secara administratif sebagai berikut: a) legalisasi keinginan masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang perlunya ibukota kabupaten pindah, b) Bupati meneruskan keinginan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi untuk mendapat persetujuan, c) Gubernur menerusakan usulan calon Ibukota Kabupaten tersebut kapada Menteri Dalam Negeri diteruskan ke Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) untuk meneliti calon lokasi ibukota kabupaten terbaik, d) Hasil Penelitian DPOD oleh Menteri Dalam Negeri diteruskan kepada menteri-menteri terkait untuk mendapatkan dukungan, e) Setelah mendapat dukungan dari menteri-menteri terkait, Menteri Dalam Negeri menyampaikan usulan lokasi terbaikan diatas. Fungsi kota dicerminkan oleh kelengkapan dan kualitas fasilitas pelayanan perkotaan yang dimilikinya, disamping itu kota ditinjau dari segi aksesibilitasnya ke kota-kota lain atau wilayah belakangnya. Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogen dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya. Bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam


(27)

hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi

transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).

Hubungan pengembangan pusat-pusat pelayanan dalam strategi perencanaan pembangunan regional bukan hanya diarahkan untuk meningkatkan pendapatan riil penduduk, tetapi untuk menghilangkan atau mengurangi ketimpangan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Sejalan dengan tujuan pembangunan wilayah, maka penyediaan fasilitas pelayanan dasar perkotaan sebagai salah satu bentuk pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota, seharusnya adalah diusahakan untuk memenuhi tiga buah prinsip yaitu: (a) keterjangkauan (affordability),

penyediaan fasilitas pelayanan bagi masyarakat pada dasarnya harus dapat memenuhi kebutuhan (recoverability) dan penyediaan fasilitas pelayanan dapat

diimplementasikan di tempat lain yang membutuhkan (replicability) (Haggett, 2001).

Menurut Bappenas (2005), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Semua faktor di atas adalah penting tetapi masih dianggap terpisah-pisah satu sama lain dan belum menyatu sebagai komponen yang membentuk basis untuk penyusunan konsep pembangunan wilayah (regional) secara komprehensif.


(28)

Untuk melihat kinerja perekonomian suatu wilayah biasanya digunakan indikator-indikator makroekonomi, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan (Tarigan, 2004). Dalam konteks analisis input-output regional dan tampilan struktur ekonomi daerah, maka

beberapa pengertian yang dianggap layak untuk dibahas dalam rangka menganalisis kinerja perekonomian suatu daerah adalah : (1) pertumbuhan ekonomi daerah atau regional, (2) pendapatan daerah berupa produk domestik regional bruto (PDRB), dan (3) distribusi pendapatan.

Berdasarkan data PDRB Kabupaten Simalungun tahun 2005-2008 menunjukkan peningkatan, seperti pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Simalungun tahun 2005-2008 (dalam ribuan rupiah)

Tahun PDRB Peningkatan (%)

2005 7.574,08 - 2006 8.180,74 8,01 2007 9.036,06 11,06 2008 9.869,30 9,22 Sumber : PDRB Kabupaten Simalungun, 2009

Berdasarkan Tabel 1.1. diketahui bahwa tahun 2005-2006 terjadi peningkatan PDRB Kabupaten Simalungun sebesar 8,01%, selanjutnya tahun 2006-2007 peningkatan yang terjadi sebesar 11,06%, namun tahun 2007-2008 peningkatan PDRB lebih kecil dibandingkan periode tahun 2006-2007 yaitu 9,22%.


(29)

Kecamatan Raya sebagai lokasi baru pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun mengalami perkembangan, hal ini dapat dilihat dari pertambahan beberapa kegiatan ekonomi utama, seperti perdagangan, transportasi dan jasa. Hal ini menunjukkan relevansi penggunaan teori pusat pelayanan (central place) dalam

mengkaji pemindahan ibukota pemerintahan Kabupaten Simalungun dalam konteks pengembangan wilayah mengacu Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 31 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 70 tahun 1999 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Simalungun dari Wilayah Kota Pematangsiantar ke Kecamatan Raya disebutkan bahwa rencana umum tata ruang Kecamatan Raya sebagai ibukota Kabupaten Simalungun yang baru harus memperhatikan, memusatkan dan memadukan kegiatan-kegiatan pemerintahan dan kegiatan-kegiatan ekonomi.

Sesuai dengan profil Kabupaten Simalungun tahun 2008, bahwa pemindahan pusat pemerintahan sekaligus ibukota Kabupaten Simalungun dari Kecamatan Siantar ke lokasi baru di Kecamatan Raya, berjarak 32 kilometer dari lokasi lama. dengan waktu tempuh 30-45 menit. Pemindahan pusat pemerintahan ini sekaligus menandakan Kabupaten Simalungun memiliki ibukota baru, yakni Kecamatan Raya. Selama ini, karena Kecamatan Siantar lokasinya berbatasan dengan Kota Pematangsiantar, letak ibukota Kabupaten Simalungun menjadi tak jelas. Pemindahan ini juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1999 tentang pemindahan ibukota daerah Kabupaten Simalungun dari wilayah daerah Kota Pematang Siantar ke Kecamatan Raya di wilayah daerah Kabupaten Simalungun.


(30)

Penegasan Kecamatan Raya sebagai Ibukota Kabupaten Simalungun termaktub dalam pasal penjelasan PP No.70 Tahun 1999 yang dengan bunyi penegasan bahwa “Kecamatan Raya di wilayah Daerah Kabupaten Simalungun dipandang memenuhi syarat untuk menjadi Ibukota Daerah Kabupaten Simalungun yang baru”. Dengan ditetapkannya Kecamatan Raya menjadi lokasi Ibukota yang baru diharapkan secara bertahap mendorong terwujudnya keseimbangan pembangunan antar wilayah di Daerah Kabupaten Simalungun.

Orbitrasi dan lama tempuh yakni jarak dan waktu tempuh dari pusat Pemerintahan Desa Km ke pusat Pemerintahan, dengan waktu tempuh 0,5 jam, jarak dari Ibukota Kabupaten = 45 Km ke pusat Pemerintahan, dengan waktu tempuh 1,5 jam dan jarak dari Ibukota Provinsi = 43 Km ke pusat Pemerintahan, dengan waktu tempuh 1,0 jam. Sejarah menunjukkan, sekalipun tempat yang dipilih sebagai pusat pemerintahan adalah hasil pertimbangan yang seksama, tetapi pusat pemerintahan ada kalanya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Pemindahan pusat pemerintahan terjadi karena berbagai alasan atau pertimbangan, baik menyangkut kepentingan strategi maupun manyangkut masalah politik dan kepentingan sosial ekonomi. Sejak masyarakat mengenal bentuk pemerintahan, tempat pusat pemerintahan merupakan bagian penting yang berkaitan erat dengan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, pemilihan lokasi pusat pemerintahan tidak sembarangan, melainkan hasil pertimbangan secara seksama. Hal itu berarti aspek fisik merupakan faktor utama


(31)

yang dipertimbangkan dalam pemilihan tempat untuk ibukota kabupaten. Sejalan dengan perkembangan pemerintahan dan kehidupan masyarakat, pemilihan tempat untuk pusat pemerintahan, selain memperhatikan aspek fisik, termasuk letak strategis tempat, kondisi sosial ekonomi dan budaya pun menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan (Hardjasaputra, 2003).

Berdasarkan keberadaan pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun yang baru di Kecamatan Raya perlu dilakukan kajian tentang dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pengembangan wilayah dengan fokus kajian pada aspek pelayanan pemerintahan mengacu kepada teori pusat pelayanan (central place theory) menggunakan indikator: (a) keterjangkauan pelayanan

(affordability), kecukupan pelayanan (recoverability) dan kesesuaian pelayanan

(replicability) (Haggett, 2001). Sedangkan pengukuran dampaknya terhadap

pengembangan wilayah menggunakan indikator kinerja perekonomian suatu daerah, yaitu: (a) peningkatan pendapatan masyarakat dan (b) peningkatan lapangan kerja (Tarigan, 2004).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil beberapa permasalahan penelitian.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pengembangan wilayah (studi kasus Kecamatan Raya), dengan fokus kajian:


(32)

a. Bagaimana dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun ditinjau dari aspek keterjangkauan pelayanan (affordability), aspek kecukupan

pelayanan (recoverability), aspek kesesuaian pelayanan (replicability).

b. Bagaimana dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pendapatan masyarakat.

c. Bagaimana dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap lapangan kerja.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisis dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun ditinjau dari aspek keterjangkauan pelayanan (affordability),

aspek kecukupan pelayanan (recoverability), aspek kesesuaian pelayanan

(replicability) terhadap pengembangan wilayah Kecamatan Raya Kabupaten

Simalungun.

b. Untuk menganalisis dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pendapatan masyarakat.

c. Untuk menganalisis dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap lapangan kerja.


(33)

1.4. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Bagi instansi terkait, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan rujukan/informasi dalam meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam upaya pengembangan wilayah.

b. Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi dalam pemanfaatan pelayanan pemerintahan di Kabupaten Simalungun.

c. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintahan dan pengembangan wilayah.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pusat Pemerintahan

Ibukota kabupaten, yaitu kota tempat kedudukan pusat pemerintahan kabupaten, dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi kota yang makin mempunyai ciri dan tingkat kemajuan yang memenuhi syarat untuk diklasifikasikan sebagai Kota. Bila tahap perkembangan yang demikian itu terjadi, dijumpai suatu dilema karena Kota dan Kabupaten mempunyai tingkat yang sama tatarannya dari segi hierarki administrasi pemerintahan (Soenkarno, 1999).

Tatanan pemikiran sistem pemerintahan yang berlaku, menimbulkan kecenderungan yang mengarah kepada diambilnya keputusan untuk memindahkan lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten keluar dari kota kedudukannya semula. Seperti yang terjadi pada Kabupaten Simalungun, yaitu memindahkan ibukota dari sebelumnya berada pada wilayah Kota Pematangsiantar ke wilayah Kecamatan Raya, salah satu wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Simalungun.

Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan pemerintahan. Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya (Purba, 2005).


(35)

Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melaui perancangan kawasan pemerintahannya. Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan pemerintahan (Purba, 2005).

Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya. Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melaui perancangan kawasan pemerintahannya (Purba, 2005).

Menurut Hamid (2008), ada beberapa faktor dan indikator untuk menentukan lokasi atau wilayah calon ibukota kabupaten yaitu meliputi:

a. Faktor lingkungan makro adalah dorongan lingkungan baik dari dalam maupun dari luar seperti dorongan ketersediaan ruang atau lahan untuk menjadikan ibu kota kabupaten sebagai pusat pemerintahan, pusat pengendalian dan pertumbuhan pembangunan. Pusat jasa perdagangan dan jasa sosial lainnya tentu memerlukan ruang atau lahan yang luas karena tidak saja lahan yang disediakan hanya untuk perkantoran tetapi juga untuk kepentingan kegiatan ekonomi sosial.


(36)

b. Faktor endowment daerah yaitu ketersediaan SDM yang memadai dan SDA

yang potensial serta tingkat pengetahuan masyarakat yang cukup sebagai calon warga ibukota kabupaten, sedangkan yang dimaksudkan dengan SDA yang potensial adalah ketersediaan sumber air, tanah dan lain sebagainya. c. Faktor budaya yang meliputi sifat dan perilaku masyarakat, adat istiadat yang

memberikan dukungan terhadap penetapan ibukota kabupaten.

Disamping faktor-faktor tersebut ikut menentukan kelayakan lokasi ibukota Kabupaten yaitu daya dukung alam seperti yang disebut diatas antaranya lahan dan sumber air, akses kemudahan pelayanan serta ketersediaan infrastruktur dasar seperti jalan raya yang ada sehingga dapat meringankan beban pembiayaan infrastruktur dan sekaligus telah berfungsi dengan dimulainya pembangunan sarana pemerintahan didalam wilayah ibukota kabupaten (Hamid, 2008).

2.2. Kota Sebagai Pusat Pelayanan

Pusat pelayanan yang terletak di dalam kawasan perkotaan menjadi tempat central aktivitas masyarakat, terbentuk sebagai kawasan yang paling dinamis dan menjadi denyut nadi perkembangan suatu wilayah. Berbagai fasilitas pelayanan yang lebih bervariasi membuat pusat pelayanan sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan pusat kota. Adanya pusat pelayanan yang mengalami kegagalan dalam perkembangannya disebabkan oleh banyak posisi daerah hinterland

-nya yang justru terserap masuk ke dalam wilayah pusat yang lebih besar, berakibat daerah ini mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami


(37)

kemunduran dalam pembangunannya, sehingga menyebabkan kesenjangan antara wilayah (Sukirno, 1976).

Pusat kota menjadi pusat kegiatan masyarakat yang terbentuk sebagai kawasan yang paling dinamis, merupakan denyut nadi perkembangan suatu wilayah. Ia memiliki kecenderungan untuk menjadi besar dan berkembang dengan dukungan wilayah sekitarnya atau hinterland-nya (Yunus, 2005).

Berbagai fasilitas dan lapangan kerja yang lebih bervariasi membuat suatu kota sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan perkotaan. Tentunya hal tersebut menyebabkan pusat kota banyak diminati oleh masyarakat setempat maupun pendatang untuk beraktivitas di dalam kota, walaupun dia bertempat tinggal di luar kawasan perkotaan tersebut (Bappenas, 2001).

Christaller (1966) dalam Djojodipuro (1992), mendefisikan tempat pusat atau lebih dikenal dengan central place merupakan kota-kota yang menyajikan barang dan

jasa bagi masyarakat di wilayah sekelilingnya dengan membentuk suatu hirarki berdasarkan jarak dan ambang batas penduduk. Pembagian hirarki pelayanan tersebut, mengakibatkan suatu kota (dengan hirarki pelayanan paling tinggi) secara alami memiliki potensi daya tarik yang besar dan berpengaruh besar bagi daerah-daerah yang kekuatannya lebih kecil, dimana kota tersebut mempunyai kemampuan menarik potensi, sumber daya dari daerah lain dan kota di bawahnya.

Richardson (1977), menyatakan bahwa bagi kota kecil dan menengah terdapat pemusatan perkembangan di kota besar yang menimbulkan semakin tingginya


(38)

ketergantungan mereka pada kota di atasnya. Hal tersebut mengakibatkan inovasi dan kemajuan teknik menumpuk pada wilayah-wilayah makmur tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut Sukirno (1985), menyatakan kondisi yang terjadi adalah terdapatnya suatu kota yang mengalami kegagalan dalam perkembangannya karena banyak posisi daerah hinterland-nya yang justru terserap

masuk ke dalam wilayah perkotaan yang lebih besar. Akibatnya daerah ini mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami kemunduran dalam pembangunannya. Kesenjangan yang terjadi bisa diakibatkan oleh struktur ekonomi, tingkat pendapatan, prasarana dan sarana yang tersedia serta tingkat pengangguran.

Namun perbedaan kemampuan pelayanan dari kota-kota tersebut apabila dibiarkan berkembang secara alami akan menimbulkan fenomena kesenjangan wilayah secara spasial dan ekonomi yang dicirikan dengan perbedaan tingkat pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah serta adanya perbedaan dan tingkat kemakmuran (Cheema, 1996).

Kesenjangan wilayah apabila dibiarkan berlarut-larut maka akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan wilayah. Adapun konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu:

1. Makin besarnya migrasi penduduk desa, terutama yang memiliki ketrampilan (skill), masuk ke wilayah perkotaan karena peluang untuk mendapatkan

pendapatan yang lebih tinggi.

2. Investasi cenderung mengalir ke wilayah yang sudah berkembang karena peluang untuk meraih keuntungan lebih besar karena faktor pasar yang lebih mendukung.


(39)

3. Pemerintah cenderung melakukan investasi pembangunan di wilayah yang sudah berkembang karena kebutuhannya yang lebih besar. Seiring berlangsungnya pembangunan ini, guna mengatasi terjadinya kesenjangan wilayah antara kota utama dengan kota menengah/kecil.

Fungsi dan hirarkhi kota merupakan tata jenjang menujukkan hubungan keterkaitan antarkomponen pembentuk struktur pemanfaatan ruang. Penentuan fungsi kota pada prinsipnya didasarkan pada komponen pembentuk yang dominan mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi perkotaan, sedangkan hirarkhi kota adalah hubungan antarkegiatan yang berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang, dalam skala wilayah dikenal dengan sistem kota atau orde kota berdasarkan skala pelayanannya (Manta, 2006).

2.2.1. Fungsi dan Pelayanan Kota

Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi,

dan lain-lain (Tarigan, 2006).

Berkaitan dengan konteks ruang menurut Tarigan (2006), kota merupakan satu sistem yang tidak berdiri sendiri, karena secara internal kota merupakan satu kesatuan sistem kegiatan fungsional di dalamnya, sementara secara eksternal, kota dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan kawasan terbangun yang terletak saling berdekatan/ terkonsentrasi, yang meluas dari


(40)

pusatnya hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah geografis yang didominasi oleh struktur binaan. Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk yang membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja. Kota ditinjau dari aspek ekonomi memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk mendukung kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri.

Di Indonesia, kawasan perkotaan dibedakan berdasarkan status administrasinya, yakni: (1) Kawasan perkotaan berstatus administratif Daerah Kota; (2) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten; (3) Kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan; dan (4) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan (Tarigan, 2006).

Peranan dan fungsi kota dalam lingkup wilayah menurut Tarigan (2006), sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara satu kota dengan kota yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antar kota dalam suatu sistem kota-kota terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/distribusi komoditas dan kota sebagai node yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan hierarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi atau keterkaitan antar kota


(41)

adalah : (1) mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah-pisah dalam ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengkaitkannya; (2) memungkinkan adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan; (3) sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam sistem.

Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota mempunyai fungsi baik fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah dominasi kegiatan fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota tersebut yang mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia, National

Urban Development Strategy (NUDS, 1985) telah mengidentifikasi empat fungsi

dasar kota/perkotaan: Hinterland Services, Interregional communication, Goods

processing (manufacturing), Residential subcenters. Berdasarkan fungsinya dalam

sistem kota-kota/sistem pusat permukiman nasional seperti diarahkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN, 1997), kota-kota di Indonesia terdiri dari: Pusat Kegiatan Nasional (PKN); Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); Pusat Kegiatan Lokal (PKL) (Tarigan, 2006).

Perkotaan amat besar perannya dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Hal ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tarsier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi penduduk (Yunus, 2005).


(42)

Pada sisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta berpusatnya berbagai keputusan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa perkotaan memiliki nilai strategis. Perkotaan tidak sekedar sebagai pemusatan penduduk serta berbagai fungsi sosial, ekonomi, politik dan administrasi, tetapi juga potensial sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional maupun regional. Dalam kaitan ini, sistem perkotaan dapat memberi petunjuk bagi bagian-bagian yang perlu memperoleh investasi agar tercapai solusi terhadap dilema antara efisiensi nasional dan pemerataan antar wilayah (Richardson, 1979).

2.2.2. Model Perkembangan Kota

Perkembangan kota di Indonesia mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan politik maupun perekonomian. Dalam era desentralisasi sekarang ini, dimana implementasi dari kebijakan tersebut serta perubahan pendekatan dalam pembangunan akan menimbulkan implikasi pada pola urbanisasi. Urbanisasi terkait dengan perkembangan perkotaan.

Teori klasik menyatakan bahwa kota-kota berkembang karena peningkatan efisiensi kegiatan pertanian yang mengakibatkan dislokasi tenaga kerja pertanian (Devas, et al, 1993). Teori ini mengisyaratkan terdapatnya kaitan industrialisasi dan

perkembangan perkotaan. Perkembangan industri perkotaan akan memicu migrasi desa-kota yang akhirnya mendorong lebih jauh urbanisasi. Teori ini sejalan dengan


(43)

perspektif modernisasi, namun dalam perspektif modernisasi juga menekankan perbedaan fertilitas dan mortalitas antara desa dan kota sebagai pemicu perkembangan perkotaan disamping migrasi desa-kota.

Pandangan-pandangan tersebut mengisyaratkan adanya hubungan antara perkembangan ekonomi dan urbanisasi. Meskipun demikian perkotaan bukan sekedar aleman statis urbanisasi. Kota-kota dapat memainkan peran sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang, terutama melalui berbagai fungsi yang dimilikinya (Friedmann, 1966).

Fungsi-fungsi tersebut mampu mendorong lebih jauh migrasi desa-kota. Kecenderungan ini akan semakin menguat dengan konsentrasi investasi di kota-kota besar seperti yang dilakukan di banyak negara berkembang karena pertimbangan keterbatasan sumberdaya serta infrastruktur pendukung. Semua ini akan mendorong urbainsasi (Nugroho, dkk, 2004).

Teori tempat sentral mengilhami sebuah model perkembangan sistem perkotaan. Pada tahap awal, ketika kegiatan pertanian masih dominan, akan ditemukan kota-kota dengan fungsi dan interaksi terbatas. Kepadatan penduduk perkotaan belum menjadi isu pada tahap ini. Kemudian spesialisasi dan diferensiasi kegiatan pada tahap transisi mendorong perkembangan perkotaan.

Interaksi dan kompetisi antar kota menjadi makin intensif yang dipacu oleh kemajuan transportasi dan komunikasi. Ini akan menghasilkan diferensiasi perkembangan perkotaan. Kota-kota yang unggul akan berkembang lebih cepat, membentuk aglomerasi, menjadi sasaran pendatang dan mengalami persoalan tekanan


(44)

penduduk. Pada tahap klimaks, berbagai fungsi perkotaan sudah terbentuk lengkap. Selain itu kota-kota semakin terintegrasi yang ditunjang oleh kemajuan perhubungan. Desentralisasi penduduk dari kota-kota besar mulai berlangsung (Soegijoko, 2005).

Perencanaan kota di Indonesia yang merupakan bagian dari proses penataan ruang kota, tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan ruang sebagai implementasi dari rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai kegiatan untuk menjaga kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang (Nurmandi, 2006).

Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, sering kali terjadi benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, yang secara umum menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata ruang; (2) ketidak-efektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/persepsi tentang rencana tata ruang.

Permasalahan khusus dalam penataan ruang/pembangunan kota terkait dengan konsep penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan kota. Dalam hal ini perlu pemahaman terhadap aspek-aspek permasalahan spesifik yang mempengaruhi perwujudan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan rencana yang ditetapkan, yang meliputi lima aspek, yaitu: manajemen lahan; lingkungan hidup


(45)

perkotaan; prasarana perkotaan; pembiayaan dan investasi; serta kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat (Soegijoko dan Kusbiantoro, 1997).

Di kota-kota terdapat berbagai kemudahan. Kemudahan diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Diantara kemudahan-kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat panting, oleh karena itu di kota-kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan usaha distribusi, yang selanjutnya menurut Yunus (2005), menyebutnya "simpul jasa distribusi" atau disingkat dengan simpul.

Ada dua faktor panting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hirarki simpul dalam sistem spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi bagi wilayah pengembangannya atau wilayah nasional (bersifat keluar), sedangkan fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam). Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hirarki dari tiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional enter simpul yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang.

Biasanya pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antar simpul yang mempunyai


(46)

tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat keterhubungan dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan antar simpul dapat diketahui dari data arus barang dari tempat asal ke tempat tujuan.

Selanjutnya berdasar susunan hirarki serta keterhubungan den ketergantungan dapat ditentukan arah pengembangan pemasarannya secara geografis. Yunus (2005), membedakan wilayah administrasi dengan wilayah pengembangan. Secara administratif, seluruh wilayah terbagi habis, tetapi tidak berarti bahwa seluruh wilayah administrasi secara otomatis tercakup dalam wilayah pengembangan. Dalam kenyataannya beberapa bagian wilayah administrasi tidak terjangkau oleh pelayanan distribusi disebabkan hambatan-hambatan geografis atau karena belum tersedianya prasarana distribusi ke dan dari bagian-bagian wilayah tersebut.

2.3. Teori Pusat Pelayanan

Teori tempat pusat pertama kali dikembangkan oleh W. Christaller dan A. Lösch, dalam rangka untuk menjelaskan ukuran dan jumlah kota dan jarak mereka di suatu wilayah. Hal itu bergantung pada definisi kota yang menganggap hal itu pada dasarnya sebagai pusat distribusi barang dan jasa kepada penduduk yang tersebar, dan pada prinsip-prinsip pengoptimalan (Hartshorn, 1980).

Teori ini berdiri di batas antara geografi dan ekonomi spasial, dan mungkin diklaim oleh kedua disiplin. Teori ini didasarkan pada perbedaan antara pusat, yang merupakan kursi dari persediaan barang, jasa dan perifer (daerah melengkapi pusat)


(47)

membenarkan clustering di tempat yang sama jasa produksi dan tingkat yang sama

dari rentang yang sama ditujukan pada populasi yang tersebar di wilayah yang saling melengkapi (atau daerah pengaruh), pelanggan yang terpolarisasi oleh pusat (Hartshorn, 1980).

Pusat bersifat hierarchised, karena adanya beberapa tingkatan layanan

ditentukan oleh rentang spasial dan dengan munculnya ambang batas (ditetapkan oleh volume pelanggan yang diperlukan untuk penyediaan layanan akan menguntungkan). Sering digunakan dan layanan murah yang ditawarkan di berbagai pusat-pusat kecil yang terletak dekat dengan konsumen, sementara mereka yang kurang sering digunakan adalah terletak di kota-kota yang lebih besar, tetapi juga lebih jauh (Knox, 1994).

Pengamatan di berbagai daerah telah menunjukkan bagaimana teori berguna adalah memahami organisasi spasial pelayanan kepada penduduk sebagian besar penduduk. Teori memberikan cukup baik tentang diferensiasi jaringan perkotaan di tingkat menengah skala, di daerah yang relatif homogen. Hirarki pusat-pusat perkotaan sebagian besar cocok dengan hirarki tingkat jasa yang mereka berkonsentrasi, diatur berdasarkan frekuensi penggunaannya, amplitudo rentang spasial mereka dan ukuran ambang batas kemunculan mereka (Manta, 2006).

Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusunan suatu model wilayah perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah teori tempat sentral (central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat


(48)

horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang tersusun dalam tata ruang geografi dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas dibandingkan pusat-pusat yang kecil. Sedangkan secara vertikal model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya di supply oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya

(Haggett, 2001).

Prinsip pemasaran dengan susunan piramidal pada model tempat sentral dapat menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller wilayah perdagangan dapat dilayani sedangkan dalam sebagian dari wilayah-wilayah tersebut tidak sepenuhnya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan hambatan-hambatan geografis. Teori sentral menjelaskan struktur pelayanan antar pusat. Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur pusat-pusat kota (wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan (fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis; agar teori tempat sentral dapat menjelaskan gejala-gejala dinamis maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural (Hartshorn, 1980).

Sumbangan positif teori tempat sentral adalah teori tersebut relevan bagi perencanaan kota dan wilayah karena sistem hierarki pusat merupakan sarana yang


(49)

efisien untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi (Haggett, 2001).

2.3.1. Jangkauan Pusat Pelayanan

Jangkauan pelayanan suatu pusat dikenal sebagai range of a good.

Jangkauannya (range) digambarkan sebagai area pasar (luas jangkauan area yang

dilayani) dari satu jenis barang dagangan. Atau dapat juga dianalogikan sebagai asal konsumen, yang diukur dari jarak tempat tinggal konsumen menuju ke pusat pelayanan.

Jangkauan pelayanan bagian dalam (inner range of the good) adalah

perwujudan secara spasial dari konsep ambang batas, yang bukan merupakan konsep spasial. Ini merupakan bentuk wilayah belakang (hinterland) atau area pelayanan

yang dibutuhkan untuk memenuhi ambang batas.

Hartshorn (1980), jangkauan pelayanan bagian luar ada juga yang ideal, yang kemudian dikenal sebagai ideal outer range of the good. Ini merupakan areal

perluasan paling luar, yang tidak mendapatkan pelayanan dari pusat manapun. Penduduk di area ini tidak dapat dilayani karena biaya untuk menuju ke pusat pelayanan terlalu tinggi. Area ini mewujudkan adanya keterbatasan geografi dan ekonomi bagi suatu pusat pelayanan. Guna memenuhi kebutuhan, penduduk menciptakan penggantinya, atau hidup dengan tidak bergantung pada barang yang tidak mampu mereka produksi sendiri.


(50)

Bila ideal outer range of the good kemudian, karena perkembangan teknologi,

dapat dilayani oleh suatu pusat, maka area ini menjadi real outer range of the good.

Jangkauan pelayanan bagian luar yang nyata (real outer range of the good) adalah

perluasan area dari jangkauan pelayanan bagian dalam, yang bisa dilayani tidak hanya oleh satu pusat pelayanan. Bila pusat pelayanan tidak mendapatkan pesaing guna melayani ideal outer range of the good, maka pusat pelayanan tersebut

mendapatkan ideal outer range sepenuhnya menjadi bagian dari real outer range of

the good. Namun bila terdapat pesaing, maka ideal outer range dilayani secara

bersama sehingga real outer range mengecil.

Hasil penelitian Christaller (dalam Hartshorn, 1980) menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan penduduk membentuk hirarkhi pelayanan, dengan sebuah pusat utama yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih rendah.

2.3.2. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan

Beberapa teori lain dengan penerapan teori Economic Base, Multiplier Effect

yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi, (Location

Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori Kutub

Pengembangan (Growth Pole Theory).

a. Teori Lokasi.

Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.


(51)

b. Teori Pusat Pelayanan

Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).

c. Teori Kutub Pertumbuhan

Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep industri penggerak (leading industry),

konsep polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).

Tarigan (2006), teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial

order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari

sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial.

Salah satu hal banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis ini dapat dikembangkan untuk melihat suatu lokasi yang memiliki daya tarik terhadap batas wilayah pengaruhnya, dimana orang masih ingin mendatangi pusat yang memiliki daya tarik tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya daya tarik pada pusat tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut. Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi


(52)

atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya. Tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.

Dalam konteks keruangan, beberapa konsep pembangunan wilayah telah diciptakan, misalnya Perroux (1955) dengan konsep “growth pole”. Konsep tersebut

kemudian digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan, dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dianggap berhasil dilaksanakan dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia biasanya diikuti oleh negara maupun wilayah lainnya. Salah satu konsep keruangan yang banyak diikuti adalah konsep

growth pole (kutub pertumbuhan).

Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah konsisten dengan teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana industri pendorong

dianggap sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya. Disini Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan. Meskipun ada beberapa perbedaan penekanan arti industri pendorong akan tetapi ada tiga ciri dasar yang dapat disebutkan yaitu :

1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh kuat baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.


(53)

3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus penting sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan kepada unit-unit ekonomi lainnya.

Keberhasilan penerapan strategi growth pole di negara asalnya, membuat

pemerintahan yang berkuasa di negara lain pada masa itu berusaha mencoba menerapkan juga di negara masing-masing termasuk di Indonesia, seperti dinyatakan oleh Nagamine Haruo (2000 ), “Perencanaan wilayah sebagai peramalan masa depan dalam pendekatan analitis dari Isard membawa pada publikasi pada pembangunan ‘kutub’, growth pole, growth centers dan kelompoknya selama paruh terakhir dari

tahun 1960an. Pendekatan ini didasarkan pada realitas negara-negara industri di Barat dalam penerapannya efektif, begitu juga besar harapan dapat efektif diterapkan pada Negara-negara Dunia Ketiga”.

Stern (2002) menyatakan bahwa pada era tahun 1960an pemerintah pada berbagai negara mempunyai kekuasaan penuh terhadap perencanaan pembangunan di negaranya, hal ini mengingat pada tahun 1960an, baik masyarakat umum maupun pejabat pemerintah percaya bahwa pemerintah dapat mengerti ekonomi secara baik dan dengan kuat membawa negaranya ke arah tertentu. Sehingga dapat dipahami mengapa konsep growth pole yang dianggap berhasil di negara Barat banyak diikuti


(54)

2.4. Pengembangan Wilayah

Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk

memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup. Menurut Alkadri (1999), pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah kekayaan, tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan.

Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga merupakan proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses

tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument yang

digunakan. Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stakeholders (masyarakat, pemerintah, pengusaha) di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi. Pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri.

Sampai sekarang visi dan misi pengembangan wilayah nampaknya belum baku. Sebagai gambaran dapat disampaikan visi dan misi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah.

Visi tersebut adalah terwujudnya keselarasan pembangunan dan keserasian pertumbuhan wilayah regional, perkotaan, dan perdesaan yang diselenggarakan


(55)

secara holistik, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan memberdayakan masyarakat. Termasuk didalamnya permukiman untuk semua orang, yang layak huni, terjangkau, berjati diri dan mendorong produktivitas warganya.

Sedangkan misinya adalah :

1. Penyelenggaraan pengaturan, pembinaan dan pengawasan dalam rangka perwujudan manfaat pembangunan permukiman dan pengembangan wilayah bagi kesejahteraan masyarakat

2. Peningkatan kemampuan daerah yang lebih profesional, mandiri dan akuntabel dalam pembangunan

3. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan yang diselenggarakan secara transparan

4. Penciptaan iklim yang konduktif bagi dunia usaha berperan aktif dalam pembangunan

5. Pengembangan sinergi antar penyelenggara pembangunan untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal

Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam kajian tentang pemindahan pusat pemerintahan. Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.


(56)

Jadi pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stakeholders

di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdya alam dengan teknologi untuk memberi nilai tambah atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif atau wilayah fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut.

Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan SDM dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan memanfaatkan instrument yang ada. Dengan target tersebut dirancang skenario-skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan melalui pemanfaatan resources. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia,

muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah resources yang

melimpah.

Konsep Marshal Plan yang berhasil menuntun pembangunan Eropa setelah

PD II telah mendorong banyak negara berkembang untuk berkiblat dan menerapkan konsep tersebut. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa konsep ini membawa kegagalan dalam menciptakan pembangunan secara merata antar daerah. Secara geografis misalnya beberapa pusat pertumbuhan maju secara dramatis, sementara beberapa pusat pertumbuhan lainnya masih jauh tertinggal atau jauh dari kemampuan berkembang.

Kajian pengembangan wilayah di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran


(57)

dari aktifitas masyarakat suatu wilayah dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.

Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah yang didasarkan pada penataan ruang.

Dalam kaitan itu konsep pengembangan wilayah yang paling relevan adalah konsep integrasi fungsional (Alkadri, 1999). Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain.

Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas. Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri. Berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada dasarnya hampir seluruh kewenangan urusan pemerintahan, termasuk penataan ruang, diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota), kecuali urusan yang ditetapkan menjadi kewenangan pusat dan provinsi.


(1)

15 39 36 47 33 29 79 31 25

16 65 61 48 48 38 80 34 32

17 62 55 49 47 40 81 28 29

18 65 40 50 37 38 82 36 32

19 52 43 51 41 45 83 33 33

20 59 63 52 25 25 84 37 36

21 51 50 53 36 30 85 21 22

22 62 52 54 39 32 86 38 28

23 49 39 55 45 32 87 56 50

24 34 36 56 38 38 88 32 29

25 50 46 57 26 26 89 37 24

26 39 29 58 34 38 90 41 26

27 48 39 59 39 31 91 45 31

28 47 35 60 57 38 92 39 25

29 58 43 61 38 30 93 44 37

30 30 30 62 36 36 94 46 34

31 53 48 63 35 33

32 44 37 64 42 38

Perbedaan Pendapatan Masyarakat Sebelum dan setelah Relokasi (nominal)

No Setelah Sebelum No Setelah Sebelum No Setelah Sebelum 1 1500000 1500000 33 1700000 1700000 65 2350000 2257000 2 1700000 1700000 34 2100000 2100000 66 1500000 1500000 3 2500000 2500000 35 2300000 2300000 67 1700000 1700000 4 1900000 1900000 36 1500000 1500000 68 2400000 2400000 5 1200000 1200000 37 1700000 1700000 69 1900000 1900000 6 3500000 3500000 38 2500000 2500000 70 1200000 1200000 7 1400000 1400000 39 1900000 1900000 71 3100000 3100000 8 1700000 1700000 40 2100000 2100000 72 1400000 1400000


(2)

9 2100000 2100000 41 2300000 2300000 73 1700000 1700000 10 2300000 2300000 42 2100000 2100000 74 2100000 2100000 11 1700000 1700000 43 1500000 1500000 75 2300000 2300000 12 2000000 2000000 44 1400000 1400000 76 1700000 1700000 13 2500000 2500000 45 1700000 1700000 77 1900000 1900000 14 1600000 1600000 46 2100000 2100000 78 2300000 2300000 15 1200000 1000000 47 2300000 2300000 79 1600000 1600000 16 1800000 1800000 48 1700000 1700000 80 1200000 1200000 17 1200000 1200000 49 2000000 2000000 81 1600000 1600000 18 3500000 3500000 50 1700000 1700000 82 1400000 1400000 19 1400000 1200000 51 1400000 1400000 83 1700000 1700000 20 1700000 1500000 52 1700000 1700000 84 2100000 2100000 21 2100000 2100000 53 1400000 1400000 85 1300000 1300000 22 1500000 1500000 54 1700000 1700000 86 1700000 1700000 23 1700000 1700000 55 1400000 1400000 87 2400000 2400000 24 2500000 2500000 56 2100000 2100000 88 1600000 1600000 25 1900000 1900000 57 1800000 1800000 89 1400000 1400000 26 2100000 2100000 58 2000000 2000000 90 1700000 1700000 27 1200000 1200000 59 2150000 2150000 91 2100000 2100000 28 1700000 1700000 60 1200000 1200000 92 2000000 2000000 29 1300000 1300000 61 3500000 3500000 93 1700000 1700000 30 1600000 1600000 62 1400000 1400000 94 2000000 2000000 31 1700000 1700000 63 1700000 1700000

32 1400000 1400000 64 2100000 2100000

Perbedaan Pendapatan Masyarakat (Riil)

No Sebelum Dpt Setelah

Inflasi No Sebelum

Dpt Setelah

Inflasi No Sebelum

Dpt Setelah Inflasi 1 1500000 1557750 33 1700000 1765450 65 2257000 2440475 2 1700000 1765450 34 2100000 2180850 66 1500000 1557750


(3)

3 2500000 2596250 35 2300000 2388550 67 1700000 1765450 4 1900000 1973150 36 1500000 1557750 68 2400000 2492400 5 1200000 1246200 37 1700000 1765450 69 1900000 1973150 6 3500000 3634750 38 2500000 2596250 70 1200000 1246200 7 1400000 1453900 39 1900000 1973150 71 3100000 3219350 8 1700000 1765450 40 2100000 2180850 72 1400000 1453900 9 2100000 2180850 41 2300000 2388550 73 1700000 1765450 10 2300000 2388550 42 2100000 2180850 74 2100000 2180850 11 1700000 1765450 43 1500000 1557750 75 2300000 2388550 12 2000000 2077000 44 1400000 1453900 76 1700000 1765450 13 2500000 2596250 45 1700000 1765450 77 1900000 1973150 14 1600000 1661600 46 2100000 2180850 78 2300000 2388550 15 1000000 1246200 47 2300000 2388550 79 1600000 1661600 16 1800000 1869300 48 1700000 1765450 80 1200000 1246200 17 1200000 1246200 49 2000000 2077000 81 1600000 1661600 18 3500000 3634750 50 1700000 1765450 82 1400000 1453900 19 1200000 1453900 51 1400000 1453900 83 1700000 1765450 20 1500000 1765450 52 1700000 1765450 84 2100000 2180850 21 2100000 2180850 53 1400000 1453900 85 1300000 1350050 22 1500000 1557750 54 1700000 1765450 86 1700000 1765450 23 1700000 1765450 55 1400000 1453900 87 2400000 2492400 24 2500000 2596250 56 2100000 2180850 88 1600000 1661600 25 1900000 1973150 57 1800000 1869300 89 1400000 1453900 26 2100000 2180850 58 2000000 2077000 90 1700000 1765450 27 1200000 1246200 59 2150000 2232775 91 2100000 2180850 28 1700000 1765450 60 1200000 1246200 92 2000000 2077000 29 1300000 1350050 61 3500000 3634750 93 1700000 1765450 30 1600000 1661600 62 1400000 1453900 94 2000000 2077000 31 1700000 1765450 63 1700000 1765450


(4)

Jumlah Anggota Keluarga (>15 - 64 Tahun) yang Bekerja Jenis Pekerjaan/Lapangan Pekerjaan

No Setelah Sebelum Setelah Sebelum No Setelah Sebelum Setelah Sebelum No Setelah Sebelum Setelah Sebelum

1 1 1 1 1 33 3 4 3 4 65 2 2 2 2

2 1 4 1 4 34 2 2 1 1 66 3 3 3 3

3 2 2 2 2 35 2 2 1 1 67 3 3 3 3

4 1 1 1 1 36 4 4 4 1 68 2 2 2 2

5 1 1 1 1 37 4 4 4 1 69 1 1 1 1

6 2 3 1 3 38 2 2 2 1 70 1 1 1 1

7 4 4 4 4 39 1 1 1 1 71 3 3 3 3

8 2 4 1 4 40 2 2 1 1 72 1 3 1 3

9 2 2 1 2 41 2 2 1 1 73 1 3 1 3

10 2 2 1 2 42 2 2 1 1 74 2 2 2 2

11 4 1 4 1 43 3 1 3 1 75 2 2 2 2

12 4 4 4 4 44 2 1 2 1 76 1 1 1 1

13 2 2 1 1 45 2 1 1 1 77 1 1 1 1

14 3 2 3 1 46 2 2 1 2 78 2 2 2 2

15 4 2 4 1 47 2 2 1 2 79 3 3 1 3

16 4 2 4 1 48 1 3 1 3 80 3 3 1 3

17 4 2 4 1 49 2 3 1 3 81 3 3 1 3

18 3 3 3 3 50 2 3 2 3 82 3 3 1 3

19 3 1 3 1 51 2 3 2 1 83 3 4 1 1

20 3 2 3 1 52 2 3 2 1 84 2 2 2 2

21 2 2 1 1 53 2 3 2 1 85 1 1 1 1

22 3 2 3 1 54 4 3 4 1 86 1 1 1 1

23 3 2 3 1 55 3 3 3 3 87 2 2 2 2

24 2 2 1 1 56 2 2 2 2 88 3 4 1 1

25 1 1 1 1 57 3 4 3 4 89 3 4 1 1

26 2 2 1 1 58 3 4 3 4 90 3 4 1 1


(5)

28 4 1 1 1 60 3 3 3 3 92 2 1 2 1

29 4 2 1 1 61 3 3 3 3 93 3 1 3 1

30 4 4 1 4 62 3 3 3 3 94 3 1 3 1

31 4 4 4 4 63 3 3 3 3


(6)

Keterangan: Skala: 1 : 500.000

Lampiran 4. Peta Kabupaten Simalungun

Lampiran 4. Peta Kabupaten Simalungun