Larangan Pendaftaran Merek yang Sama Pada Pokoknya Dengan Merek Terdaftar (Studi Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Agung)

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Merek merupakan salah satu hak kekayaan intelektual yang perkembangannya

cukup pesat di Indonesia, baik dilihat dari aspek pengaturannya, maupun
penghargaan masyarakatnya terhadap merek itu sendiri.
Pemerintah

Indonesia

dari

aspek

pengaturannya,

terus


melakukan

penyempurnaan undang-undang di bidang merek. Hal ini ditandai dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (UUM 2001) yang
menggantikan dua Undang-Undang sebelumnya, yakni Undang-Undang No.19
Tahun 1992 dan Undang-Undang No.14 Tahun 1997.
Aspek penghargaan masyarakat terhadap merek, ternyata merek telah menjadi
bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Fungsi dan makna merek terus
mengalami perkembangan. Merek tidak lagi hanya berfungsi sebagai daya pembeda
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 1 UU No.15 Tahun 2001. Insan
Budi Maulana mengatakan bahwa Merek dapat dianggap sebagai “roh” bagi suatu
produk barang atau jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. 1
Sehubungan dengan perkembangan fungsi dan makna merek Casavera
mengemukakan:

1

http://prasetyohp.wordpress.com. Diakses pada tanggal 10 Februari 2012


Universitas Sumatera Utara

Perubahan undang-undang merek dagang (trademark law) di sejumlah negara
(termasuk Indonesia) berimplikasi pada kokohnya status merek sebagai salah satu
bentuk intellectual property yang mendapat perlindungan hukum. Seiring dengan
berkembangnya wacana dan praktik manajemen ekuitas merek (brand equity) yang
memandang merek sebagai salah satu intangible asset terpenting setiap organisasi,
merek kemudian mencuat sebagai “komoditas” yang banyak diburu. Merek yang
bercitra positif dan dikenal luas diyakini memberi sejumlah manfaat, di antaranya
kepuasan dan loyalitas konsumen yang lebih tinggi, kesediaan konsumen untuk
membayar harga premium, kesediaan pelanggan untuk merekomendasikan merek
bersangkutan kepada orang lain, tingkat pembelian ulang yang lebih besar, sumber
arus kas potensial masa depan (lewat peluang ekstensi merek dan lisensi merek) dan
seterusnya. 2
Dengan demikian menurut Casavera perkembangan peranan merek termasuk
makna merek, manfaat merek dan praktik merek di Indonesia dapat dibagi dalam
empat tahap, yakni dimulai dari:
1. Identifikasi pemilik,
2. Identifikasi dan diferensiasi produk,
3. Aset, dan

4. Komoditas. 3

2

Casavera, Delapan Kasus Sengketa Merek Di Indonesia, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta,
2009, hal 3
3
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Bahkan di kalangan masyarakat modern, termasuk masyarakat Indonesia saat
ini merek telah menjadi salah satu simbol status sosial. Hal ini ditandai dengan
semakin tingginya minat masyarakat untuk membeli barang-barang produk merekmerek terkenal maupun merek-merek yang telah mempunyai reputasi baik. Tidak
hanya di kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, tetapi juga di
kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Tidak jarang yang memaksakan diri
untuk membeli merek-merek terkenal demi untuk sebuah “gengsi”. Bahkan jika tidak
mampu membeli barang yang bermerek asli (original), yang palsu ataupun sama pada
pokoknya dengan merek terkenal pun menjadi sasaran. Oleh karenanya, di kalangan
masyarakat konsumen Indonesia akhir-akhir ini berkembang istilah “ori” untuk

singkatan “original” atau asli, dan “kw” untuk singkatan “kualitas”, bagi merek yang
tidak asli.
Kondisi masyarakat yang demikian menurut Insan Budi Maulana “tidak
mustahil, merek yang telah dikenal luas oleh konsumen karena mutu dan harganya
akan selalu diikuti, ditiru, “dibajak” bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen lain
yang melakukan persaingan curang”. 4 Namun semakin ketatnya implementasi
undang-undang di bidang Merek yang ditandai dengan tingginya ancaman hukuman
penjara dan/atau denda atas pelanggaran pidana Merek di dalam UU No.15
Tahun2001 tentang merek, yakni setinggi-tingginya 5 tahun penjara dan/atau denda
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), mempersempit ruang gerak para produsen

4

Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak Cipta, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, hal.60 (selanjutnya disebut Insan Budi I)

Universitas Sumatera Utara

yang beriktikad tidak baik untuk membonceng popularitas merek yang telah memiliki
reputasi dalam masyarakat.

Modus pelanggaran merek mengalami pergeseran, dari pelanggaran secara
sembunyi-sembunyi sampai secara terang-terangan memalsukan atau meniru merekmerek yang sudah dikenal dan mempunyai reputasi baik dalam masyarakat. Tetapi
pemboncengan itu dilakukan dengan cara memohonkan pendaftaran merek yang
memiliki kemiripan atau mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek
terkenal atau Merek yang telah terdaftar dengan iktikad tidak baik. Hal ini telah
mendorong meningkatnya kasus sengketa gugatan pembatalan merek di Pengadilan
Niaga di berbagai daerah di Indonesia, karena alasan mempunyai persamaan pada
pokoknya dengan merek yang sudah dikenal atau merek yang sudah terdaftar
sebelumnya.
Kasus yang cukup menarik mengenai gugatan pembatalan merek yang
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar adalah kasus sengketa
Perusahaan Otomotif asal Jepang Toyota Kabushiki Kaisha (Toyota Motor
Corporation) yang sudah terdaftar di 100 negara, di Indonesia terdaftar sejak tanggal
3 Maret 1993 dengan No.IDM000003376, untuk produk barang kelas 12 berupa
kenderaan bermotor dan bukan bermotor mengajukan gugatan pembatalan merek
Toyoda yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM tanggal 14 Mei 2010
No.IDM000247166, yang merupakan produk accu (battery) kenderaan bermotor dan
kelengkapannya ke Pengadilan Niaga Jakarta. Alasannya bahwa piranti untuk
kenderaan bermotor (battery) merek Toyoda memiliki persamaan pada pokoknya


Universitas Sumatera Utara

dengan merek Toyota. Hal itu dapat diketahui pada unsur ucapan dan suara. Seolaholah terkesan produk Toyoda mempunyai hubungan yang erat dengan produsen
Toyota. 5
Kasus lain yang tidak kalah menariknya sengketa merek Campus antara dua
pengusaha lokal Teguh Handojo melawan Christine Kartika Setia Di Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat dengan perkara daftar No.81/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Dalam gugatannya Teguh Handojo selaku penggugat mengklaim sebagai pemilik
merek Kampus atau Campus sejak 20 Oktober 1980 dan terdaftar dengan No.15034
untuk melindungi barang kelas 16 antara lain segala macam buku tulis, buku gambar
dan alat-alat tulis. Dalam perjalanannya penggugat mengetahui kalau Christina
Kartika Setia selaku tergugat mendaftarkan merek Campus Milenia dengan
No.IDM000314567 untuk melindungi kelas yang sama. Penggugat menilai merek
Campus Milenia milik tergugat memiliki persamaan pada pokoknya dengan
mereknya antara lain pada unsur huruf, bunyi, dan cara pengucapan. 6
Sebenarnya UU No.15 Tahun 2001 tentang merek telah melakukan langkah
antisipatif terhadap terjadinya pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada
pokoknya dengan merek yang sudah dikenal dan merek yang sudah terdaftar
sebelumnya. Sekurang-kurangnya ada dua pasal dalam UU No.15 Tahun 2001


5

http:/www.bharatanews.com/berita-toyota-gugat-pembatalan-merek toyoda, diakses pada
tanggal 21 Februari 2012
6
http://en.bisnis.com/articles/sengketa-merek-campus-masuk-tahap-akhir,
diakses
pada
tanggal 21 Februari 2012

Universitas Sumatera Utara

tentang merek yang relevan sebagai penangkal terjadinya pendaftaran merek atas
dasar iktikad tidak baik tersebut, yakni Pasal 4 dan Pasal 6 Ayat (1).
Pasal 4 menegaskan bahwa: Merek tidak dapat didaftar atas dasar
permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beriktikad tidak baik. Selanjutnya
dalam penjelasannya disebutkan: Pemohon yang beriktikad baik adalah pemohon
yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk
membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan
usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi

persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
Pasal 6 Ayat (1) menegaskan:
Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
apabila Merek tersebut:
a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik
pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang
sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang
sudah dikenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasigeografis yang sudah dikenal.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a disebutkan:
Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya
unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang
dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara
penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun
persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut. 7
Namun kedua pasal tersebut dalam praktek ternyata mempunyai kelemahan,
antara lain:

7


Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Hak Kekayaan Intelektual Direktorat Jendral Hak
Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Universitas Sumatera Utara

1. Pasal 4, larangan untuk mendaftarkan merek dengan iktikad tidak baik tersebut
ruang lingkupnya tidak dibatasi untuk barang atau jasa sejenis saja, sehingga
permohonan pendaftaran merek barang atau jasa yang tidak sejenispun asalkan
dengan adanya iktikad tidak baik dari si pemohon tidak dapat didaftarkan.
Sedangkan dalam Pasal 6 Ayat (1) larangan pendaftaran merek yang sama
pada pokoknya itu dibatasi hanya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis saja. Hal
ini telah menimbulkan penafsiran yang berbeda dari pihak-pihak terkait, baik
pemeriksa merek, pemohon merek, maupun pemilik merek terkenal atau merek
terdaftar. Perbedaan ruang lingkup larangan pendaftaran merek yang mempunyai
persamaan pada pokoknya dalam kedua pasal tersebut sangat berpeluang memicu
terjadinya sengketa merek.
2. Kedua pasal tersebut tidak ada memberikan rumusan maupun kriteria yang jelas
dari kata-kata “persamaan pada pokoknya”. Pengertian dan kriteria yang terdapat
dalam Penjelasan Pasal 6 Ayat 1 huruf a dianggap terlalu sumir, sehingga sulit

diterapkan dalam praktek, karena penilaiannya sangat bersifat subjektif.
Diperkirakan kelemahan yang terdapat dalam UU No.15 Tahun 2001 tentang
Merek tersebut merupakan salah satu pemicu meningkatnya sengketa gugatan
pembatalan merek yang diajukan ke Pengadilan akhir-akhir ini. Sebab dengan tidak
adanya kriteria yang jelas mengenai “persamaan pada pokoknya” tersebut membuka
celah bagi para produsen barang dan ataupun jasa maupun Pemeriksa Merek yang
“nakal” untuk bermain dalam pendaftaran Merek tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Kelemahan yang terdapat dalam UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek
tersebut akan menjadi persoalan yang tak terpecahkan jika tidak segera dicarikan
jalan keluarnya. Salah satu solusi pemecahannya dapat dilakukan melalui penelusuran
putusan-putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa merek. Khususnya yang
substansinya adalah menyangkut persoalan gugaatan pembatalan merek karena alasan
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek yang sudah dikenal atau merek
terdaftar.
Melalui pendekatan kasus ini diharapkan dapat dilakukan identifikasi dan
inventarisasi pengertian dan kriteria “persamaan pada pokoknya” yang lahir dari
penemuan hukum oleh hakim melalui putusan pengadilan.


B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka pokok

permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan banyaknya perkara gugatan pembatalan
merek karena alasan mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek yang
telah terdaftar lebih dahulu?
2. Bagaimana kriteria “persamaan pada pokoknya” dengan Merek terdaftar atau
Merek terkenal yang dikembangkan melalui putusan Mahkamah Agung RI?
3. Bagaimana ruang lingkup penerapan larangan pendaftaran Merek yang
mempunyai “persamaan pada pokoknya” dalam putusan Mahkamah Agung RI ?

Universitas Sumatera Utara

C.

Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai di dalam penelitian ini

adalah:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor menyebabkan banyaknya perkara gugatan
pembatalan merek karena alasan mempunyai persamaan pada pokoknya dengan
merek yang telah terdaftar lebih dahulu;
2. Untuk mengetahui kriteria “persamaan pada pokoknya” dengan Merek terdaftar
atau Merek terkenal yang dikembangkan melalui putusan Mahkamah Agung RI
3. Untuk mengetahui ruang lingkup penerapan larangan pendaftaran merek yang
mempunyai “persamaan pada pokoknya” dalam putusan Mahkamah Agung RI.

D.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis, maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis manfaat dari hasil penelitian ini akan dapat memperluas
khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang Merek.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pembuat undang-undang, hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi
sumbangan berharga untuk penyempurnaan Undang Undang Merek 2001
khususnya untuk memberikan kriteria yang lebih konkrit mengenai ruang

Universitas Sumatera Utara

lingkup pengertian “persamaan pada pokoknya” yang terdapat di dalam Pasal 6
Ayat (1) Undang Undang Merek No.15 Tahun 2001;
b. Bagi masyarakat dan penegak hukum diharapkan hasil identifikasi dari kasuskasus putusan pengadilan ini akan memberi gambaran yang lebih jelas dan
kontrit tentang kriteria “persamaan pada pokoknya”, suatu merek, sehingga
diharapkan kasus gugatan pembatalan Merek yang terkait dengan masalah
persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar dapat diminimalisasi.

E.

Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Prodi S1, Program studi S2 (Magister), Program
studi S3 (Doktor), dan Program studi Magister Kenotariatan, penelitian mengenai
Larangan Pendaftaran Merek Yang Sama Pada Pokoknya Dengan Merek Terdaftar
(Studi Terhadap Beberapa Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI) belum pernah
dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli.

F.

Kerangka Teori dan Konsepsi

1.

Kerangka Teori
“Persamaan

pada

pokoknya”

merupakan

terminologi

yang

banyak

menimbulkan persoalan dalam praktek, baik dalam proses pendaftaran merek maupun
dalam proses pelaksanaan penegakan hukum. Hal ini antara lain disebabkan kriteria
“persamaan pada pokoknya” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a

Universitas Sumatera Utara

Undang Undang Merek 2001 penilaiannya sangat bersifat subjektif. Sehingga
masing-masing orang memberikan interpretasi menurut kepentingannya sendiri.
Istilah “persamaan pada pokoknya” muncul ketika dua merek jika
disandingkan apabila dilihat dengan seketika terkesan mempunyai kemiripan.
Kemiripan antara merek yang satu dengan yang lain ini disebabkan oleh adanya
unsur-unsur yang menonjol dari kedua merek tersebut. Baik berupa gambar, nama,
kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur
tersebut, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk,
cara penempatan, cara penulisan, atau kombinasi dari unsur-unsur ataupun persamaan
bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut. 8
Menurut Kasubdit Pemeriksaan Direktorat Merek Ditjen HKI, Didik Taryadi:
Jika merangkum Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Merek No.15 Tahun 2001, untuk
menilai persamaan pada pokoknya bisa dilakukan secara visual, konseptual dan
fonetik. Persamaan visual dapat diukur dari sisi “tampilan” merek itu sendiri, yang
karena persamaan bentuknya, penempatan unsur-unsurnya, susunan warna atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut menimbulkan kesan adanya persamaan yang
dapat membuat orang keliru. Hal yang paling substansial di sini adanya “kesan visual,
sehingga dengan kesan itu orang bisa keliru. Dalam persamaan konseptual, kesan
adanya persamaan lebih menekankan pada kesamaan “filosofi dan makna” yang
terkandung dalam merek tersebut. Misalnya suatu produk bermerek gambar

8

Pasal 1 Angka 1 dan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU No.15 Tahun 2001

Universitas Sumatera Utara

“Harimau”, Merek lain dengan kata atau tulisan “Harimau”. Persamaan fonetik
didasarkan pada adanya persamaan secara “pengucapan atau bunyi” Merek, sehingga
menimbulkan kesan adanya persamaan. Suatu merek “House” memiliki pengucapan
yang sama dengan “Haus”, sehingga keduanya dapat menimbulkan kemiripan. 9
Menurut Beverly W.Pattishall, et.al. dalam Trademarks and Unfair
Competition, Fifth Edition, faktor yang dapat digunakan sebagai alat ukur untuk
menentukan adanya persamaan pada pokoknya yaitu: 1. Persamaan bentuk (similarity
of appearance), 2. Istilah Asing (foreign terms), 3. Persamaan konotasi (similarity of
connotation), 4. Persamaan kata dan tanda gambar (word and pucture marks), dan 5.
Persamaan bunyi (similarity of sound). 10
Setiap pemilik merek terdaftar mendapat memiliki hak eksekutif untuk
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya dalam jangka waktu tertentu.
Jadi, suatu merek memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi pembeda, yakni membedakan produk satu perusahaan dengan produk
perusahaan lain;
2. Fungsi jaminan reputasi, yakni selain sebagai tanda asal usul produk, juga
secara pribadi menghubungkan reputasi produk bermerek tersebut dengan
produsennya, sekaligus memberi jaminan kualitas akan produk tersebut;
3. Fungsi promosi, yakni merek juga digunakan sebagai sarana memperkenalkan
produk baru dan mempertahankan reputasi produk lama yang diperdagangkan,
sekaligus untuk menguasai pasar;

9

http://legalakses.com/persamaanpada pokoknya. diakses pada tanggal 10 Februari 2012
Ibid.

10

Universitas Sumatera Utara

4. Fungsi rangsangan investasi dan pertumbuhan industri, yakni merek dapat
menunjang pertumbuhan industri melalui penanaman modal, baik asing
maupun dalam negeri dalam menghadapi mekanisme pasar bebas. 11
Sehubungan dengan kegunaan atau fungsi dari merek tersebut, Wiratmo
Dianggoro mengatakan: 12
Merek sebagai tanda pengenal atau tanda pembeda dapat menggambarkan
jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya
sewaktu diperdagangkan. Apabila dilihat dari sudut produsen, merek digunakan
sebagai jaminan hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, di samping
untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar.
Selanjutnya, dari sisi konsumen, merek diperlukan untuk melakukan pilihanpilihan barang yang akan dibeli.
Insan Budi Maulana mengatakan bahwa merek dapat dianggap sebagai “roh”
bagi suatu produk barang atau jasa. 13
Persoalan pengertian dan kriteria “persamaan pada pokoknya” merupakan inti
dari permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Persoalan ini menarik untuk
dikaji mengingat kasus sengketa gugatan pembatalan merek karena alasan
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar semakin mencuat
dalam masyarakat.
Teori yang akan digunakan untuk mengkaji persoalan tersebut, sebagai pisau
analisis adalah teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friendman.

11

Endang Purwaningsih, Perkembangan Intellectual Property Rights: Kajian Hukum
Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Penerbit Ghalia
Indonesia, Ciawi-Bogor, 2005, hal.11
12
http://prasetyohp.wordpress.com/problematika perlindungan merek di indonesia, diakses
pada tanggal 21 Februari 2012
13
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Friedman untuk dapat berjalannya suatu sistem hukum dengan baik
dalam masyarakat harus didukung oleh tiga unsur dari sistem hukum itu sendiri,
yakni: 14
1. Legal substance (substansi hukum),
2. Legal structure (struktur hukum), dan
3. Legal culture (budaya hukum).
Melalui teori ini diharapkan akan dapat diperoleh jawaban atas permasalahan
yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Dari substansi hukum, akan dilakukan
penelaahan atas kejelasan pengertian dan kriteria dari “persamaan pada pokoknya”
secara normatif, baik yang terdapat dalam UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek
sendiri, maupun dari sumber-sumber hukum yang lain. Seperti misalnya, bagaimana
istilah itu dikembangkan dalam kebiasaan, dalam yurisprudensi, maupun melalui
doktrin para ahlin hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual.
Secara substansial dalam UU No.15 Tahun 2001 ada dua bentuk larangan
pendaftaran merek tersebut, yakni larangan yang bersifat mutlak atau disebut dengan
merek tidak dapat didaftarkan, dan yang bersifat relatif yang disebut dengan “Merek
yang ditolak pendaftarannya. Larangan yang bersifat mutlak itu terdapat dalam dua
pasal dalam UU No.15 Tahun 2001 yakni Pasal 4 dan Pasal 5. Pasal 4 UU No.15
Tahun 2001 disebutkan: Merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang
diajukan oleh pemohon yang beriktikad tidak baik. Pasal ini tidak membatasi untuk

14

Lawrence M.Friedman, Law and Seciety An Introduction, Prentice Hall Inc., New Jersey,
1977, hal.6-7)

Universitas Sumatera Utara

merek yang sejenis atau berada dalam satu kelas. Selain pembuktian ada atau
tidaknya perbuatan iktikad tidak baik dari si permohon merek juga sulit
pembuktiannya, juga ketentuan tersebut sangat berpeluang untuk menimbulkan
penafsiran yang berbeda dalam penerapannya. Apakah harus dibatasi untuk merek
yang sejenis dan sekelas atau berlaku secara umum.
Terdapat lima unsur dalam Pasal 5 UU No.15 Tahun 2001 yang menyebabkan
merek itu tidak dapat didaftarkan, yakni:
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, kesusilaan atau ketertiban umum;
2. Tidak memiliki daya pembeda;
3. Telah menjadi milik umum; atau
4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya. 15
Sedangkan larangan yang bersifat relatif diatur dalam Pasal 6 UU No.15 Tahun
2001, yang mengatur adanya enam alasan yang menyebabkan permohonan Merek
ditolak pendaftarannya, yakni:
1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek
milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa
yang sejenis;
2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek
yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi
geografis yang sudah dikenal;

15

Ibid

Universitas Sumatera Utara

4. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan
hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang
berhak;
5. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,
lambang, atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun
internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
Selanjutnya dari aspek struktur hukum atau aparatur hukum, akan dikaji
bagaimana sikap dan prilaku para pemeriksa Merek dalam menilai apakan suatu
merek yang dimohonkan pendaftarannya itu sama atau tidak sama baik keseluruhan
maupun pada pokoknya dengan merek terdaftar terdahulu. Sikap dan perilaku
aparatur pemeriksa Merek tersebut akan diamati melalui kasus-kasus yang menjadi
sengketa di pengadilan dan putusannya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selain aparatur hukum pemeriksa Merek, juga diamati bagaimana sikap dan
pandangan para hakim yang menangani kasus gugatan pembatalan merek karena
alasan mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar. Apakah para
hakim dalam mempertimbangkan dan memutus sengketa merek tersebut benar-benar
telah berpedoman pada hukum yang berlaku atau belum. Hal ini akan dapat ditelusuri
melalui pertimbangan hukum dari putusan hakim itu sendiri.
Pada akhirnya, budaya hukum masyarakat khususnya para produsen barang
maupun jasa juga menjadi aspek yang tidak luput dari pengamatan dalam penelitian
ini. Apakah perkembangan budaya hukum masyarakat memang berkembang kearah
masyarakat yang taat hukum atau justru sebaliknya berkembang ke arah tidak taat

Universitas Sumatera Utara

hukum. Hal ini tentu akan dapat diamati dari sikap dan perilaku para pemohon merek
apakah ada kecendrungan untuk membonceng popularitas Merek yang sudah
memiliki reputasi dalam masyarakat dengan iktikad tidak baik.
Menggunakan tiga alat ukur yang disebutkan oleh Friedman diharapkan akan
diperoleh penjelasan mengenai efektivitas larangan mendaftarkan merek yang sama
pada pokoknya dengan merek terdaftar yang terdapat dalam Undang Undang Merek
2001 tersebut. Teori penerimaan autoritas hukum dikemukakan oleh H.A.R.Gibb
yang mengatakan bahwa setiap sistem hukum menyatakan orang-orang yang terikat
dengan hukum, harus bersedia mengakui otoritasnya dan mengakui bahwa hukum
tersebut mengikat mereka, walaupun mereka boleh jadi melakukan pelanggaran
terhadap aturan tertentu dalam hukum itu. 16
Teori ini diharapkan mampu menjelaskan mengapa kasus sengketa gugatan
pembatalan merek terdaftar oleh pemilik merek yang sudah terdaftar sebelumnya
semakin menggejala. Sementara Undang Undang Merek 2001 secara tegas mengatur
bahwa permohonan merek ditolak apabila mempunyai persamaan pada pokoknya
dengan merek terdaftar. Serta adanya larangan pendaftaran merek berdasarkan iktikad
tidak baik.
Kesadaran hukum dari para produsen untuk mendaftarkan mereknya terus
mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan. Hal ini antara lain disebabkan
oleh dua hal, yakni:

16

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 85

Universitas Sumatera Utara

a. Sistem perlindungan merek yang bersifat konstitutif (rights to file) dalam UU
No.15 Tahun 2001, yang memberikan perlindungan hukum kepada pendaftar
pertama; dan
b. Semakin pentingnya manfaat dan makna merek dalam dunia perdagangan
barang dan jasa.
2.

Konsepsi
Untuk menghindari terjadinya pemahaman yang keliru, maka dirasa perlu

untuk mengemukakan kerangka konseptual yang sekaligus merupakan definisi
operasional dari beberapa kata kunci dalam penelitian ini.
Sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa kerangka
konseptual itu adalah merupakan penggambaran antara konsep-konsep khusus yang
merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dalam istilah yang akan diteliti
dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. 17
Ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan sehubungan dengan penelitian ini,
yakni :
“Larangan” dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu perbuatan/tindakan
yang tidak boleh dilakukan terkait dengan pendaftaran Merek. Jika larangan itu
dilanggar, maka pendaftaran Merek akan ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual.

17

ibid,

Universitas Sumatera Utara

“Merek terdaftar” dalam penelitian ini meliputi merek dagang dan merek jasa
yang sudah dikenal dan merek yang sudah terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Oleh
karena di dalam UU No.15 Tahun 2001 Merek yang mendapat perlindungan hukum
menurut sistem konstitutif, meliputi Merek terkenal dan Merek yang sudah terdaftar.
“Mempunyai persamaan pada pokoknya” dalam penelitian ini adalah adanya
kemiripan akibat terdapatnya persamaan unsur-unsur yang digunakan dari suatu
merek terdaftar dengan merek yang sudah terdaftar lebih dahulu ataupun dengan
merek yang sudah terkenal milik pihak lain, yang dapat mengakibatkan masyarakat
konsumen bisa terkecoh.
Persamaan itu hanya sebatas menimbulkan ‘kesan’ kemiripan yang dilihat
baik secara visual, konseptual, dan fonetik. 18
Mengenai definisi merek yang sudah terkenal Insan Budi Maulana
mengatakan:
Merek terkenal tidak dapat didefinisikan, ahli-ahli di bidang merek pun
sepakat untuk tidak mau mendefinisikan bahkan sampai sekarang ini.
Persoalannya menyangkut kepentingan masing-masing negara. Namun kalau
dilihat karakteristik dan ciri-cirinya dapat saja, yang sementara ini terdapat
tiga hal. Pertama, mendasarkan pada pendaftaran di suatu negara; kedua,
promosi, ketiga, adalah pengetahuan masyarakat terhadap merek itu sendiri. 19
Merek terkenal yang dimaksud dalam studi ini adalah menggunakan kriteria
Merek terkenal yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 6 huruf b UUM 2001, yakni

18

http://pengata.wordpress.com/2011/07/22/kliping-protokol-madrid-{Kliping
Protokol
Madrid – HK} ; Kriteria BakuPemeriksa Dalam.
19
Insan Budi Maulana, Bianglala HaKI, PT.Hecca Mitra Utama, Jakarta, 2005, hal.207
(selanjutnya disebut Insan Budi II)

Universitas Sumatera Utara

dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut,
reputasi merek terkenal tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan
besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia, dan disertai pendaftaran merek
tersebut di beberapa negara. Termasuk juga merek yang sudah dinyatakan sebagai
merek terkenal melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Putusan Mahkamah Agung RI” adalah putusan Mahkamah Agung RI baik di
tingkat kasasi maupun di tingkat peninjauan kembali yang telah berkekuatan hukum
tetap dalam perkara pembatalan Merek terdaftar karena mempunyai persamaan pada
pokoknya dengan merek yang sudah terdaftar terlebih dahulu atau merek terkenal.

G.

Metode Penelitian

1.

Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini meliputi sifat penelitian dan pendekatan yang

digunakan dalam penelitian.
Dari sudut sifat penelitian, dikenal penelitian eksploratis, deskriptif, dan
eksplanatoris. Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif eksplanatoris. Artinya,
suatu penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala tertentu. Maksudnya adalah terutama
untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat
teori-teori lama, atau dalam kerangka menyusun teori-teori baru dalam suatu
penelitian. Apabila pengetahuan tentang suatu masalah sudah cukup, maka sebaiknya

Universitas Sumatera Utara

dilakukan penelitian eksplanatoris yang dimaksudkan untuk untuk menguji hipotesa
tersebut. 20
Alasan penelitian ini disebut sebagai penelitian yang bersifat deskriptif dan
eksplanatoris karena penelitian ini tidak hanya menggambarkan norma-norma hukum
yang berkaitan dengan judul, khususnya tentang Merek.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode yang mengacu
pada norma-norma hukum yang berlaku. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum
yang digunakan baik norma hukum nasional maupun norma hukum internasional
2.

Sumber Data.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian

kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin,
pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan
dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan,
buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.
Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:
1) Bahan hukum primer meliputi UU No.15 Tahun 2001 berikut seluruh peraturan
organiknya, termasuk putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbitan Universitas
Indonesia,2005), hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara

2) Bahan hukum sekunder, yaitu peraturan yang relevan dengan masalah penelitian,
teori-teori dan doktrin-doktrin para pakar yang ditelusuri melalui bahan-bahan
pustaka, hasil-hasil penelitian tentang Merek.
3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang dapat digunakan untuk
membantu memahami bahan hukum primer dan sekunder, antara lain meliputi
kamus-kamus hukum yang terkait dengan pengertian merek dan pengertian sama
pada pokoknya yang merupakan inti dari studi yang sedang dilakukan.
Sementara dalam menganalisis putusan-putusan pengadilan, Zainuddin Ali
mengemukakan ada 6 (enam) kunci utama yang dapat dipegang oleh peneliti, yakni:
a. Memahami sebaik mungkin fakta-fakta, situasi, serta kasus posisi dari
perkara yang telah diputus oleh pengadilan yang sedang diaudit.
b. Membandingkan dan mengidentifikasi persamaan serta perbedaan antara
fakta, situasi serta posisi kasis dari putusan pengadilan yang bersangkutan
dengan persoalan hukum yang sedang dihadapi, kemudian tentukan apakah
persamaan atau perbedaan itu akan menguntungkan atau justru merugikan
kedudukan klien. Membuat antisipasi dan menetapkan bagaimana faktafakta di dalam putusan pengadilan yang sedang diaudit itu dapat mendukung
kedudukan pihak lawan klien;
c. Mensistematisasikan, mengidentifikasikan, serta merumuskan proses berfikir
dan kebijaksanaan (reasoning and policies) yang terkandung dalam putusan
pengadilan yang sedang diaudit. Pada tahap ini, diidentifikasi pertimbangan
apa yang dianggap penting oleh hakim untuk menjawab isu pokok yang
dihadapi.
d. Merumuskan bagaimana reasoning dan policy yang dibuat hakim dalam
putusan yang sedang diaudit.
e. Membuat evaluasi dan konklusi umum tentang kekuatan dari putusan
pengadilan yang sedang diaudit untuk diaplikasikan pada persoalan hukum
yang sedang dihadapi. 21

21

Zainuddin Ali,Op.Cit, hal. 112-114

Universitas Sumatera Utara

Terdapat 8 (delapan) putusan Mahkamah Agung RI yang telah berkekuatan
hukum tetap akan dianalisis dalam studi ini, dimana tiga putusan yang substansinya
mengenai pembatalan merek terdaftar dengan alasan mempunyai persamaan pada
pokoknya dengan merek yang sudah terdaftar sebelumnya, dan 5 (lima) putusan yang
yang substansinya mengenai pembatalan merek terdaftar karena mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal.

3.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penelitian

kepustakaan (library research). Melalui penelitian kepustakaan ini diharapkan akan
dapat dikumpulkan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan juga bahan hukum tersier. Bahan hukum primer meliputi Undang
Undang No.15 Tahun 2001 Tentang Merek berikut seluruh peraturan organiknya,
termasuk putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Melakukan pengumpulan data baik dari sumber buku dan bahan bacaan
lainnya, penelusuran hasil penelitian terkait dengan hukum merek, inventarisasi
putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa merek yang

persamaan pada

pokoknya dengan merek terdaftar, dan melalui wawancara dengan pakar merek.
4.

Analisis Data
Setelah semua data yang dibutuhkan untuk menjawab seluruh permasalahan

terkumpul dilanjutkan dengan tabulasi data, dan selanjutnya dilakukan sistematisasi
data. Kemudian seluruh data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.

Universitas Sumatera Utara

Artinya mengungkapkan dan menganalisis seluruh data secara narasi atau
menjelaskan dengan kata-kata yang lugas dan mudah dipahami. Pada tahap akhir
dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir deduktifinduktif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dasar berpijak yang
digunakan adalah peraturan hukum yang mengandung hal bersifat umum yang
kemudian akan diuji melalui penelitian ini bagaimana ketentuan umum itu
diaplikasikan dalam praktek penegakan hukum di pengadilan. Oleh karena itu, untuk
menarik kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktifinduktif. Artinya, berdasarkan hal-hal bersifat umum yang secara normatif diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang Merek terkait dengan
larangan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan
merek terdaftar atau merek terkenal dilihat penerapannya secara khusus dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung RI yang telah berkekuatan hukum tetap.

Universitas Sumatera Utara