Faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan waktu penetapan anggaran sebagai variabel moderating

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Landasan Teoritis

2.1.1 Serapan Anggaran Pemerintah Daerah
Serapan anggaran merupakan kemampuan pemerintah daerah dalam
melaksanakan

anggaran

yang

telah

direncanakan/dianggarkan

sebelumnya.


Melaksanakan anggaran sebagaimana yang direncanakan merupakan tugas penting
dalam sistem pemerintahan. Dengan melaksanakan anggaran sebagaimana yang
direncanakan artinya pemerintah mampu memaksimalkan pelayanan publik melalui
kegiatan ataupun belanja. Setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan daerah
berlomba-lomba untuk mencapai target anggaran dan memaksimalkan pelayanan
publik , namun demikian pada kenyataan nya pada akhir tahun tingkat serapan
anggaran masih rendah dan banyak daerah yang tidak mampu mencapai targetnya.
Menurut Abdullah (2016), ada beberapa penyebab rendahnya serapan
anggaran pemerintah daerah, yaitu:
1.

Penetapan anggaran yang terlambat sehingga proses pembayaran biaya-biaya
rutin dan kegiatan menjadi terlambat sehingga pada akhir tahun anggaran
persentase serapan anggaran tidak sesuai dengan target yang direncanakan.

2.

Tidak lengkapnya petunjuk teknis/ pedoman pelaksanaan anggaran yang
menyebabkan keragu-raguan dalam melaksanakan anggaran karena meskipun
anggaran telah ditetapkan dengan perda namun tidak dilengkapi petunjuk teknis

berupa Pergub/Perbup/Perwal. Sehingga banyak kegiatan yang telah selesai
dilaksanakan dikemudian hari menjadi temuan pemeriksaan karena pelaksanaan
dan pertanggungjawabannya dianggap tidak sesuai dengan peraturan.

Universitas Sumatera Utara

3.

Terlalu banyak proyek titipan atau penumpang gelap. Kegiatan yang dibiayai
dengan anggaran daerah harus terdaftar dalam RKPD, disepakati dalam PPAS
dan tercantum dalam lampiran APBA/APBK. Kegiatan titipan ini pada akhirnya
membebani pelaksanaan anggaran.

4.

Jumlah pagu yang terlalu besar dikarena kan adanya mark upataupun ketidak
akuratan perencanaan.

5.


Hambatan dalam pelaksanaan kegiatan seperti keterlambatan dan kendala dalam
proses lelang, hambatan birokrasi dan lainnya.

6.

Tidak adanya insentif yang menjadi pendorong semangat kerja.

7.

Kualitas Sumber daya manusia yang tidak memadai

8. Pengawasan yang kurang optimal

2.1.2. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) menurut Abdullah (2013)
merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran
sebelumnya sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006. Menurut Tanjung (2009),
SiLPA didefenisikan sebagai selisih antara surplus/defesit dengan pembiayaan neto.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) menurut Permendagri 13/2006adalah
selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode

anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan
PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain
pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan
belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum
terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.SILPA adalah suatu indikator yang
menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah, karena SILPA hanya akan

Universitas Sumatera Utara

terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dansekaligus terjadi Pembiayaan Neto
yang positif, dimana komponen Penerimaan lebih besar dari komponen Pengeluaran
Pembiayaan(Kusnandar dan Siswantoro, 2012).
SiLPA merupakan salah satu sumber pembiayaan yang digunakan untuk
menutup defisit APBD akibat dari usaha peningkatan kualitas pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat sesuai penjelasan dalam PMK No.45/PMK.02/2006. Jika
SiLPA daerah cukup besar dan diperkirakan mampu membiayai seluruh Belanja
Daerah maka untuk penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan pelayanan
publik tidak harus menunggu bantuan dana transfer dari Pemerintah Pusat. Dana
Transfer dapat dialokasikan untuk belanja operasional dan belanja tak terduga
daerah. Di samping itu jumlah SiLPA suatu daerah dapat juga mengindikasikan

sejauh mana Pemerintah daerah mengalokasikan anggaran daerah secara efisien dan
ekonomis dalam setiap anggaran belanja daerah. Menurut Tanjung (2009) bahwa
kelebihan SiLPA yang cukup besar dapat mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak
tepat dalam menganggarkan anggaran belanja daerah sehingga seharusnya kelebihan
penganggaran tersebut dapat digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan lain
yang berguna untuk penyediaan pelayanan publik pada tahun berjalan menjadi
tertunda.

2.1.3. Perubahan Anggaran
Perubahan anggaran dalam pemerintahan atau PAPBD dapat diartikan
sebagai upaya pemerintah untuk menyesuaikan rencana keuangan nya dengan
perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada
meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun
bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD.

Universitas Sumatera Utara

Sebagaimana yang dikatakan Abdullah (2014) bahwa perubahan anggaran daerah
dilakukan untuk tujuan menyesuaikan anggaran berjalan terhadap perubahanperubahan terkini, termasuk perubahan dalam perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah pusat.

Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan
berbeda antara lain :
2.1.3.1. Perubahan atas Pendapatan
Anggaran pendapatan akan berubah dalam tahun anggaran yang sedang
berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber
penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang
pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan
terkini.
1. Perubahan atas alokasi anggaran belanja
Merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok
belanja langsung. Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal
berdasarkan penyebabnya adalah:
1. Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila
prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan
antara SiLPA tahun lalu definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA
tahun berikutnya.
2. Perubahan karena adanya pergeseran anggaran. Pergeseran anggaran dapat
terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang
bersangkutan tidak berubah.


Universitas Sumatera Utara

3. Perubahan karena adanya

perubahan dalam

penerimaan,

khususnya

pendapatan. Perubahan target atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat
berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama.
2.1.3.2. Perubahan dalam pembiayaan
Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam APBD berjalan berbeda dengan
anggaran ayng ditetapkan sejak awal tahun anggaran, maka diperlukan
penyesuaian dalam anggaran penerimaan pembiayaan, setidaknya untuk
mengkoreksi penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
Tahun Sebelumnya (SiLPA).SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa
Lebih Pembiayaan) tahun lalu. Oleh karena itu, SiLPA merupakan penerimaan
pada awal tahun berjalan. Namun, besaran yang diakui pada saat penyusunan

APBD masih bersifat taksiran, belum definitif, karena (a) pada akhir tahun lalu
tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan oleh SKPD ke BUD
dan (b) BPK RI belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan
yang sesungguhnya.Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD tahun
berjalan dengan Laporan

Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya

merupakan angka yang menjadi salah satu bahan untuk perubahan anggaran
dalam tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian untuk belanja. Jika
diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan pengeluaran
atau SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan
perubahan alokasi belanja.
2.1.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu modal dasar bagi pemerintah
daerah dalam mendapatkan dana dalam memenuhi belanja daerah, dan merupakan
usaha daerah dalam memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana (subsidi)

Universitas Sumatera Utara


dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan
kepada Pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai
dengan potensi yang dimilikinya sebagai perwujudan desentralisasi. PAD dapat
dijadikan sebagai indikator dalam menilai tingkat kemandirian suatu daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya. Semakin tinggi rasio PAD dibandingkan dengan
total pendapatan makin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah.
Menurut Halim (2001), PAD adalah penerimaan daerah yang diperoleh dari
sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bratakusumah
(2005), PAD sebagai pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan
untuk guna membiayai kegiatan-kegiatan daerah tersebut.
Menurut Mardiasmo (2002:132), PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 1, PAD adalah penerimaan yang
diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang
berlaku. PAD merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang
digunakan untuk modal dasar Pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan
dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah

pusat.
Berdasarkan UU nomor 32 tahun 2004 pasal 79 disebutkan bahwa
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari:
1. hasil pajak daerah,
2. hasil retribusi daerah,

Universitas Sumatera Utara

3. hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan milik daerah yang
dipisahkan,
4. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
1.

Pajak Daerah
Pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara

untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk investasi
publik. Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan
sebagai badan hukum publik dalam rangka membiayai rumah tangganya. Dengan
kata lain pajak daerah adalah : pajak yang wewenang pungutannya ada pada daerah.

2.

Retribusi Daerah
Retribusi adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan kepada mereka

yang menggunakan jasa-jasa negara, artinya restribusi daerah sebagai pembayaran
atas pemakaian jasa atau karena mendapat pekerjaan usaha atau milik daerah bagi
yang berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh daerah baik secara langsung
maupun tidak langsung oleh karena itu setiap pungutan yang dilakukan oleh
Pemerintah daerah senantiasa berdasarkan prestasi dan jasa yang diberikan kepada
masyaraakat, sehingga keluasan retribusi daerah terletak pada yang dapat dinikmati
oleh masyarakat. Jadi retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa layanan yang
diberikan pemerintah kepada yang membutuhkan.
Beberapa ciri-ciri retribusi yaitu retibusi dipungut oleh negara, dalam
pungutan terdapat pemaksaan secara ekonomis, adanya kontra prestasi yang secara
langsung dapat ditunjuk, retribusi yang dikenakan kepada setiap orang/badan yang
menggunakan/mengenyam jasa-jasa yang disediakan oleh negara.

Universitas Sumatera Utara

Dari uraian diatas dapat kita lihat pengelompokan retribusi yang meliputi :
1.

Retribusi jasa umum, yaitu: retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan
oleh Pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau badan.

2. Retribusi jasa usaha, yaitu: retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemda dengan
menganut prinsip komersial karena pada dasarnya disediakan oleh sektor swasta.
3. Perusahaan Daerah
Dalam usaha menggali sumber pendapatan daerah dapat dilakukan dengan
berbagai cara, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang sangat penting dan
selalu mendapat perhatian khusus adalah perusahaan daerah.
Perusahaan Daerah adalah kesatuan produksi yang bersifat: a. memberi jasa,
b. menyelenggarakan pemanfaatan umum, c. memupuk pendapatan.

Tujuan

perusahaan daerah untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya
dan pembangunan kebutuhan rakyat dengan menggutamakan industrialisasi dan
ketentraman serta ketenangan kerja menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Perusahaan daerah bergerak dalam lapangan yang sesuai dengan urusan rumah
tangganya menurut perundang-undangan yang mengatur pokok-pokok pemerintahan
daerah. Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan mengusai hajat hidup
orang banyak di daerah, yang modal untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah
yang dipisahkan.
4.

Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Pendapatan Asli Daerah tidak seluruhnya memiliki kesamaan, terdapat pula

sumber-sumber pendapatan lainnya, yaitu penerimaan lain-lain yang sah, menurut
Devas bahwa : kelompok penerimaan lain-lain dalam pendapatan daerah Tingkat II

Universitas Sumatera Utara

mencakup berbagai penerimaan kecil-kecil, seperti hasil penjualan alat berat dan
bahan jasa. Penerimaan dari swasta, bunga simpanan giro dan Bank serta penerimaan
dari denda kontraktor. Namun walaupun demikian sumber penerimaan daerah sangat
bergantung pada potensi daerah itu sendiri.
Dalam rangka meningkatkan PAD Pemerintah daerah dilarang :
a. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi
biaya tinggi dan,
b.

Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan impor/ekspor.

2.1.5. Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Menurut Elmi (2002), secara umum tujuan pemerintah pusat melakukan
tranfer dana kepada Pemerintah daerah adalah :
1.

Sebagai tindakan nyata untuk mengurangi ketimpangan pembagian “kue
nasional” baik vertikal maupun Horizontal.

2.

Suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah dengan
menyerahkan sebagian wewenang pengelolaan keuangan negara agar manfaat
yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat daerah bersangkutan.
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dana perimbangan adalah untuk

mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan Pemerintah daerah dan
antar Pemerintah daerah. Adapun komponen dana perimbangan adalah:

Universitas Sumatera Utara

2.1.5.1 Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antara daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dari
pengertian yang diambil dari UU 33/2004 tersebut, dapat disebutkan bahwa DAU
merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antara daerah, serta
memberikan sumber pembiayaan daerah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa DAU
lebih diprioritaskan untuk daerah yang mempunyai kapasitas fiskal yang
rendah.Menurut UU 33/2004, porsi DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua
puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam
APBN. Sementara itu, proporsi pembagian DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota
ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
DAU bersifat “block grant”, yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah
sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah, untuk peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka otonomi daerah.
Dana Alokasi Umum dihitung dengan menggunakan pendekatan celah
fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi
dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa
jumlah gaji PNS Alokasi Dasar (AD) dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai
Negeri Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangantunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku.
Celah Fiskal (CF) merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal
(KbF-KpF). Dengan demikian, daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dengan

Universitas Sumatera Utara

kebutuhan fiskalnya rendah, maka akan memperoleh Dana Alokasi Umum dalam
jumlah yang kecil, sebaliknya bagi daerah yang kapasitas fiskalnya rendah dengan
kebutuhan fiskal tinggi, maka Dana Alokasi Umum yang akan didapatkan jumlahnya
akan besar. Jika dalam perhitungan, menghasilkan celah fiskal negatif, maka jumlah
DAU yang diterima oleh pemerintah daerahadalah sebesar alokasi dasar setelah
diperhitungkan dengan celah fiskalnya. Celah fiskal negatif atau kapasitas fiskal
yang lebih besar dari kebutuhan fiskal, menandakan bahwa pendapatan daerah yang
berasal dari PAD, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
dari pemerintah daerah tersebut sudah cukup tinggi, sehingga daerah tersebut lebih
sedikit atau tidak membutuhkan alokasi dari pusat untuk membiayai Belanja Daerah.
2.1.5.2 Dana Alokasi Khusus (DAK)
UU 33/2004 Pasal 1 ayat 23 menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus
(DAK) merupakan bagian dari Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah
untuk membiayai kebutuhan tertentu. Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk
mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas
nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di
bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang
merupakanbagian dari anggaran Kementerian Negarayang digunakan untuk
melaksanakanurusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi
Khusus. Dana AlokasiKhusus digunakan untuk menutup kesenjangan pelayanan
publik antar daerah denganmemberi prioritas pada bidang pendidikan, kesehatan,

Universitas Sumatera Utara

infrastruktur, kelautan danperikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, dan
lingkungan hidup.
2.1.5.3. Dana Bagi Hasil (DBH)
PP 71/2010 menyatakan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan salah
satu komponen dari Dana Perimbangan yang termasuk dalam kelompok Transfer
Pemerintah Pusat. Lebih lanjut,didalam UU No.33/2004 menyebutkan bahwa Dana
Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagi hasilkan kepada
daerahberdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah
penghasil. Adapun yang menjadi sumber Dana Bagi Hasil (DBH), adalah sebagai
berikut:
1.

Pajak, yang terdiri dari: a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b) Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan; c) Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan PPh Pasal 21
(WPOPDN).

2.

Sumber Daya Alam yang terdiri dari: a) Kehutanan; b) Pertambangan Umum;c)
Perikanan; d) Pertambangan Minyak Bumi; e) Pertambangan Gas Bumi, dan; f)
Pertambangan Panas Bumi.

2.1.6.Waktu Penetapan Anggaran
Proses penyusunan anggaran dimulai dengan penetapan tujuan, target dan
kebijakan anggaran. Proses tersebut membutuhkan waktu yang telah ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kesamaan persepsi antar berbagai pihak
tentang apa yang akan dicapai dan keterkaitan tujuan dengan berbagai program yang
akan dilakukan, sangat krusial bagi kesuksesan anggaran. Proses panjang dari
penentuan tujuan ke pelaksanaan anggaran seringkali melewati tahap yang

Universitas Sumatera Utara

melelahkan, sehingga perhatian terhadap tahap penilaian dan evaluasi sering
diabaikan.
Proses penyusunan anggaran diharapkan dapat terlaksana tepat waktu
sehingga penetapan anggaran juga akan tepat waktu. Penetapan anggaran yang
terlambat dapat menghambat kelancaran pelaksanaan anggaran tahun berkenaan,
dikarenakan waktu yang semula dijadwalkan molor dan menggangu seluruh rencana
pelaksanaan anggaran. Penetapan anggaran yang terlambat akan membuat waktu
yang tersedia untuk melaksanakan anggaran baik itu pendapatan maupun belanja
akan semakin sedikit. Hal ini akan berpengaruh pula pada kemampuan pemerintah
untuk menyerap anggaran secara maksimal, dan pada akhirnya akan menimbulkan
besarnya sisa lebih pembiayaan anggaran pada akhir tahun anggaran. Penetapan
waktu anggaran yang terlambat juga merupakan salah satu penyebab terjadinya
perubahan anggaran dikarenakan anggaran yang semula telah ditetapkan tidak dapat
terlaksana sampai akhir tahun anggaran dan memerlukan perubahan sesuai dengan
kondisinya.
Proses penyusunan APBD ( Pasal 17-20 UU Nomor 17/2003 ) dimulai
dengan Pemerintah daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran
berikutnya sejalan dengan rencana pemerintah daerah sebagai landasan penyusunan
RAPBD kepada DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh
Pemerintah daerah dalam pembicaraan pendahuluan

RAPBD tahun anggaran

berikutnya. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan
DPRD, Pemerintah daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran
sementara

untuk

dijadikan

acuan

bagi

setiap

satuan

kerja

perangkat

daerah.Berdasarkan kebijakan umum APBD, strategi dan plafon sementara yang
telah ditetapkan pemerintah dan DPRD, kepala satuan kerja perangkat daerah selaku

Universitas Sumatera Utara

pengguna anggaran menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah (RKA-SKPD) tahun berikutnya dengan pendekatan berdasarkan

kinerja

yang dicapai. Rencana kerja dan anggaran selanjutnya disampaikan kepada DPRD
untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan rencana
kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai
bahan penyusunan rencana peraturan daerah tentang APBD tahun berikutnya.Setelah
dokumen rancangan PERDA mengenai APBD tersusun, Pemerintah daerah
mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD tersebut disertai penjelasan
dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD. Pembahasan rancangan peraturan
daerah tentang APBD antara Pemerintah daerah dan DPRD dilakukan sesuai dengan
undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD. Dalam pembahasan
PERDA RAPBD, DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan
jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
APBD.
Berdasarkan

pasal

186

UU

Nomor

32/2004,

rancangan

PERDA

kabupaten/kota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/ Walikota
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk
dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan Gubernur kepada Bupati/ Walikota paling
lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan PERDA
kabupaten/kota

dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran

APBD.Pengambilan keputusan mengenai rancangan peraturan daerah tentang APBD
dilakukan oleh DPRD selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan dilaksanakan. APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan
unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Apabila DPRD tidak
menyetujui rancangan peraturan daerah yang diajukan Pemerintah daerah, maka

Universitas Sumatera Utara

untuk membiayai keperluan setiap tahun Pemerintah daerah dapat dilaksanakan
pengeluaran

setinggi-tingginya

sebesar

angka

APBD

tahun

anggaran

sebelumnya.Rancangan peraturan Kepala Daerah ditetapkan setelah memperoleh
pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan Gubernur bagi
kabupaten/kota. Jangka waktu pengesahan ditetapkan paling lama 15 hari terhitung
sejak tanggal disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri bagi Provinsi dan
Gubernur bagi kabupaten/kota. Jika sampai dengan batas waktu tersebut belum
disahkan oleh pejabat berwenang, maka dianggap telah disahkan dan Kepala Daerah
menetapkan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tersebut menjadi Peraturan Kepala
Daerah.
Gambaran tahapan dan jadwal proses penyusunan anggaran (APBD) menurut
Permendagri No.52 Tahun 2015 dapat dilihat pada lampiran 6.

2.1.7. Teori Keagenan
Teori keagenan (Agency Theory) merupakan teori yang banyak digunakan
dalam praktik bisnis di sektor privat maupun sektor publik dewasa ini. Teori ini
menjelaskan hubungan prinsipal dan agen yang berakar dari sinergi teori ekonomi,
teori keputusan, Sosiologi dan teori organisasi (Halim & Abdullah,2006).
Teori keagenan merupakan sebuah kontrak antara seseorang atau lebih
(disebut Principal) yang menunjuk orang yang lainnya (disebut agen) untuk
menjalankan layanan sesuai dengan kepentingan prinsipal, yang mencakup
pendelegasian beberapa kewenangan pengambilan keputusan kepada agen (Jensen &
Meckling,1976).
Pendelegasian wewenang terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang
(prinsipal) memilih orang atau kelompok lain (agen) untuk bertindak sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

kepentingan prinsipal (Lupia & McCubbins,2000).Dengan adanya pendelegasian
wewenang untuk mengambil keputusan tersebut sering kali terjadi konflik berupa
asimetri informasi antara agen dengan prinsipal. Konflik yang terjadi dikarenakan
manusia adalah makhluk ekonomi yang mempunyai sifat dasar mementingkan
kepentingan diri sendiri. Prinsipal dan agen memiliki tujuan yang berbeda dan
masing-masing menginginkan tujuan mereka terpenuhi.
Pada sektor publik, khususnya pada Pemerintah daerah di Indonesia, teori
keagenan ini telah dipraktikkan sejak diberlakukannya otonomi daerah dan
desentralisasi tahun 1999 yaitu antara DPRD sebagai legislatif dan prinsipal yang
mewakili kepentingan masyarakat dengan Pemerintah daerah sebagai eksekutif dan
agen.
Dalam penyusunan anggaran, pihak eksekutif dan legislatif terlebih dahulu
membuat kesepakatan tentang Arah dan Kebijakan Umum (AKU) dan prioritas
anggaran yang akan menjadi pedoman anggaran pendapatan dan anggaran belanja.
Sebelum anggaran tersebut selanjutnya menjadi Perda, ada proses panjang yang
tidak luput dari perbedaan kepentingan antara legislatif dan eksekutif.
Dalam mengusulkan anggaran eksekutif lebih cenderung mengusulkan
anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual yang terjadi saat ini (asas
maksimal) sedangkan dalam mengusulkan pendapatan eksekutif cenderung
mengusulkan target yang lebih rendah (asal minimal) agar ketika dilaksanakan target
tersebut dapat lebih mudah dicapai.
Usulan anggaran yang lebih besar dari kenyataan yang sebenarnya mampu
dilaksanakan oleh eksekutif ini berdampak pada serapan anggaran yang tidak
optimal sehingga pada akhir periode SILPA Pemerintah daerah menjadi cukup besar.

Universitas Sumatera Utara

Legislatif sebagai prinsipal yang sekaligus sebagai agen bagi pemilihnya,
dalam memutuskan program-program dan kegiatan-kegiatan yang ditampung dalam
APBD, cenderung memiliki sifat oportunistik. Usulan kegiatan yang dibiayai dengan
anggaran seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang
teridentifikasi ketika legislatif turun ke lapangan melakukan penjaringan aspirasi
masyarakat. Namun kenyataanya sering kali legislatif mengusulkan kegiatan yang
dapat meningkatkan penghasilannya sehingga dapat memenuhi self-interestnya.
Disamping itu ada kecenderungan dimana legislatif memperjuangkan usulan
anggaran yang dimaksudkan untuk mengharumkan nama politisi diwilayah tertentu
yang hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat yang merupakan target pemilih politisi
bersangkutan.
Perbedaan kepentingan legislatif dan eksekutif ini pada akhirnya juga dapat
memperlama proses penyusunan anggaran dan memakan waktu yang cukup lama
sehingga mempengaruhi ketepatan waktu penetapan anggaran.

2.2.

Review Terdahulu (Theoretical Mapping)
Penelitian tentang penyerapan anggaran telah dilakukan oleh beberapa

peneliti sebelumnya diantaranya oleh Siswanto, et al. (2010) melakukan penelitian
terhadap rendahnya penyerapan belanja atas tujuh Kementrian/Lembaga (K/L)
terbesar pengelola belanja yaitu Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian
Pertahanan, Kementrian Pekerjaan Umum, Kepoisian, Kementrian Kesehatan,
Kementrian Perhubungan dan Kementrian Keuangan. Dari hasil penelitian ini
diperoleh empat faktor penyebab utama rendahnya penyerapan belanja yaitu
permasalahan terkait internal K/L, mekanisme pengadaan barang dan jasa, dokumen
pelaksanaan anggaran, mekanisme revisi serta permasalahan lain.

Universitas Sumatera Utara

Kuswoyo (2011) melakukan penelitian terhadap faktor-faktor penyebab
terjadinya penumpukan serapan anggaran dan belanja di akhir tahun anggaran pada
satuan kerja di wilayah kerja KPPN Kediri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyebab utama penumpukan penyerapan anggaran belanja di akhir tahun anggaran
adalah faktor perencanaan, pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa dan
faktor internal satker.
Miliasih (2012) yaitu tentang Analisis keterlambatan penyerapan anggaran
belanja satuan kerja kementerian negara/lembaga TA 2010 di wilayah pembayaran
KPPN Pekanbaru. Penelitian dilakukan dengan statistika deskriptif menghasilkan
dua faktor utama yang menyebabkan keterlambatan penyerapan anggaran belanja
yaitu kebijakan teknis dan kultur pengelolaan anggaran di satuan kerja. Besarnya
jumlah satker yang masuk dalam kategori terlambat, menunjukkan pola penyerapan
anggaran belanja yang kecil di awal tahun anggaran dan tidak merata sampai dengan
triwulan ketiga, dan terjadi penumpukan realisasi anggaran terjadi di triwulan
keempat, terutama di bulan Desember. Sedangkan berdasarkan jenis belanja, tingkat
penyerapan belanja pegawai cenderung paling stabil setiap triwulannya. Penyerapan
anggaran belanja barang, belanja modal dan belanja sosial cenderung rendah di awal
tahun tidak merata sampai dengan triwulan ketiga, dan terjadi penumpukan realisasi
di triwulan keempat.
Herriyanto (2012) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada satuan kerja kementrian/lembaga
di wilayah Jakarta. Dengan menggunakan analisis faktor eksporatori (Eksploratory
Factor Analysis-EFA), keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada satuan
kerja kementrian/lembaga di wilayah Jakarta di sebabkan oleh beberapa faktor antara

Universitas Sumatera Utara

lain: (1) faktor perencanaan (2) faktor Administrasi (3) faktor sumber daya manusia
(4) faktor dokumen pengadaan dan (5) faktor ganti uang persediaan.
Pradana

(2013)

melakukan

penelitian

pada

Pemerintahan

Provinsi

Kalimantan Timur tentang pengaruh pendapatan asli daerah dan dana perimbangan
terhadap kinerja keuangan dan belanja modal. Indikator yang digunakan dalam
mengukur kinerja keuangan adalah realisasi anggaran, sehingga meskipun tidak serta
merta mengaitkan pengaruh dana perimbangan dan pendapatan asli daerah terhadap
serapan anggaran, namun terdapat benang merah

yang sama dalam penulisan

penelitian ini dimana tolak ukur ataupun indikator yang digunakan dan
dikembangkan dalam penelitian ini adalah kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan anggarannya yang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
simultan pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan
dan secara parsial pendapatan asli daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja keuangan sedangkan dana perimbangan berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kinerja keuangan.
Priatno, et al. (2013) pada Satuan Kerja lingkup pembayaran KPPN Blitar.
Penelitian ini menggunakan analisis faktor dan regresi logistik. Dari 15 variabel awal
yang dimunculkan, diperoleh 3 faktor yakni faktor adminsitrasi dan SDM, faktor
perencanaan, dan faktor pengadaan barang dan jasa. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa faktor administrasi dan SDM mempunyai pengaruh yang tidak signifikan
terhadap penyerapan anggaran satuan kerja, sedangkan faktor perencanaan dan
faktor pengadaan barang dan jasa yang mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap penyerapan anggaran satuan kerja.
Penetapan SK Pejabat Pengelola Keuangan di awal tahun dan adanya administrasi
yang baik dapat menutupi kendala SDM yang kurang baik pada satuan kerja. Faktor

Universitas Sumatera Utara

perencanaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran
satuan kerja sehingga satuan kerja yang memiliki perencanaan yang buruk akan
cenderung memperlambat penyerapan anggaran. Faktor-faktor perencaan tersebut
antara lain masa penyusunan dan penelaahan anggaran yang terlalu singkat, pejabat
pengelolaan keuangan sering mutasi dan pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai
dengan DIPA, pagu ang
garan dan keterlambatan penunjukan panitia pengadaan barang dan jasa.
Lestari (2014) Melakukan penelitian berjudul pengaruh alokasi belanja murni
dan alokasi belanja perubahan terhadap serapan anggaran kabupaten/kota di Aceh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif anggaran awal
terhadap serapan anggaran sedangkan anggaran perubahan berpengaruh positif
terhadap serapan anggaran. Hal ini dikarenakan penganggaran yang buruk
berdampak pada kinerja keuangan yang tidak mencapai target mencapai target
seperti rendahnya serapan anggaran. Penambahan atau pergeseran anggaran juga
dimaksudkan untuk membantu realisasi anggaran/ memperkecil varian anggaran
sehingga perubahan anggaran semakin mendekati realisasinya.
Abdullah, et al. (2015) melakukan penelitian dengan judul faktor-faktor yang
mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah studi pada Pemerintah daerah
Kabupaten/Kota di Aceh. Variabel independen yang diteliti yaitu waktu penetapan
anggaran, sisa anggaran tahun sebelumnya, dan perubahan anggaran.
Secara bersama-sama, waktu penetapan anggaran, sisa anggaran tahun sebelumnya
dan perubahan anggaran berpengaruh terhadap serapan anggaran pada pemerintah
daerah kabupaten/kota di Aceh. Secara sendiri-sendiri, dengan signifikansi 5% hanya
faktor sisa anggaran tahun sebelumnya berpengaruh (negatif) terhadap serapan
anggaran.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Review Peneliti Terdahulu
Nama
Peneliti
Abdullah,
et.al (2015)

Judul Penelitian

Variabel

Hasil Penelitian

Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
serapan
anggaran
Pemerintah
daerah
studi pada Pemerintah
daerah kabupaten/kota
di Aceh

Variabel Independen
: Waktu penetapan
anggaran (X1), Sisa
anggaran tahun
sebelumnya (X2),
Perubahan anggaran
(X3)
Variabel Dependen :
Serapan Anggaran
(Y)

Siswanto
dan Rahayu
(2010)

Faktor-faktor
penyebab rendahnya
penyerapan belanja
kementrian
dan
lembaga TA 2010

Permasalahan terkait
internal (X1),
Mekanisme
pengadaan barang
dan jasa (X2),
Dokumen
pelaksanaan
anggaran (X3) dan
Mekanisme revisi
(X4)

Hasil dari penelitian
menunjukkan
bahwa secara bersama-sama
waktu
penetapan anggaran, Sisa anggaran
tahun sebelumnya, dan perubahan
anggaran berpengaruh terhadap serapan
anggaran pemerintah di kabupaten /kota
di Aceh. Sedangkan secara sendirisendiri dengan signifikansi 5% hanya
faktor sisa anggaran tahun sbelumnya
berpengaruh (negatif) terhadap serapan
anggaran, Perubahan anggaran tidak
berpengaruh terhadap serapan anggaran
dan waktu penetapan anggaran tidak
berpengaruh terhadap serapan anggaran.
Dari hasil penelitian ini diperoleh empat
faktor utama rendahnya penyerapan
belanja yaitu masalah terkait internal
K/L, mekanisme pengadaan barang dan
jasa, dan mekanisme revisi.

Kuswoyo
(2011)

Faktor-faktor
penyebab
penumpukan
anggaran
belanja
diakhir
tahun
anggaran
pada
saruan
kerja
di
wilayah
KPPN
Kediri

Variabel Independen
: Perencanaan
anggaran
(X1),Pelaksanaan
anggaran (X2),
Pengadaan barang
dan jasa (3), Faktor
internal satker (X4)
Variabel Dependen
:Penumpukan
anggaran pada akhir
tahun (Y)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyebab utama terjadinya penumpukan
penyerapan anggaran pada akhir tahun
disebabkan oleh empat faktor yaitu
perencanaan, pelaksanaan anggaran,
pengadaan barang dan jasa dan faktor
internal.

Miliasih
(2012)

Analisis
keterlambatan
penyerapan anggaran
belanja satuan kerja
kementeriannegara/l
embagaTA 2010 di
wilayah pembayaran
KPPN Pekanbaru

Variabel Independen
: Kebijakan teknis
(X1), dan Kultur
pengelolaan
anggaran (X2)
Variabel Dependen :
Keterlambatan
penyerapan anggaran
(Y)

Penelitian ini fokus pada

Faktor-faktor yang
mempengaruhi
keterlambatan
penyerapan anggaran
belanja pada satuan

Variabel Independen
: Perencanaa,
Administrasi (X1),
Sumber Daya
Manusia (X2),

Dengan menggunakan analisis faktor
eksporatori
(Eksploratory
Factor
Analysis-EFA),
keterlambatan
penyerapan anggaran belanja pada
satuan kerja kementrian/lembaga di

Herriyanto
(2012)

realisasi anggaran belanja satker di
wilayah pembayaran KPPN Pekanbaru.
Penelitian ini menyimpulkan 75,25%
satker
mengalami
keterlambatan
penyerapananggaran belanja. Penyebab
utama keterlambatan terletak pada
permasalahaninternal satker.

Universitas Sumatera Utara

kerja
Kementerian/Lemba
ga
di
wilayah
Jakarta.

Dokumen Pengadaan
(X3), dan Ganti
Uang Persediaan
(X4)
Variabel Dependen:
Keterlambatan
penyerapan anggaran
(Y)

wilayah Jakarta di sebabkan oleh
beberapa faktor antara lain: (1) Faktor
perencanaan
42,91% (2) Faktor
Administrasi 8,84 % (3) Faktor Sumber
Daya Manusia 7,80 % (4) Faktor
Dokumen pengadaan 6,47 % dan (5)
Faktor Ganti Uang Persediaan sebesar
5,41 % sedangkan sisanya sebesar 28,57
% dijelaskan oleh faktor lain diluar
faktor diatas.

Direktorat
Jendral
perbendahar
aan
kementrian
keuangan RI
(2012)

Monitoring
dan
evaluasi penyerapan
anggaran TA 2011
secara nasional di
seluruh
wilayah
pembayaran KPPN
di Indonesia

Proses perencanaan
anggaran (X1),
persiapan
pelaksanaan
anggaran (X2),
pengadaan barang
dan jasa (X3),
mekanisme
pembayaran (X4)
dan force
majeur(X5)

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa
penyebab
utama
keterlambatan
penyerapan anggaran terkait proses
perencanaan
anggaran,
persiapan
pelaksanaan
anggaran,
pengadaan
barang
dan
jasa,
mekanisme
pembayaran dan keadaan force majeur.

Pradana
(2013)

Pengaruh PAD dan
Dana Perimbangan
terhadap
Kinerja
keuangan
dan
belanja modal studi
kasus pada Provinsi
Kalimantan timur

Variabel Independen
– PAD dan dana
perimbangan
Dependen variabelKinerja keuangan
dan belanja modal

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa
secara simultan pendapatan asli daerah
dan dana perimbangan berpengaruh
signifikan terhadap kinerja keuangan
dan secara parsial pendapatan asli
daerah
berpengaruh
positif
dan
signifikan terhadap kinerja keuangan
dan dana perimbangan bepengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
pendapatan asli daerah.

Priatno &
Khusaini
(2013)

Analisis
faktorfaktor
yang
mempengaruhi
penyerapan anggaran
pada satuan kerja
lingkup pembayaran
KPPN Blitar.

Variabel Independen
: Administrasi dan
SDM (X1),
Perencanaan (X2)
dan Pengadaan
Barang dan Jasa(X3)
Variabel Dependen:
Penyerapan
Anggaran (Y)

Hasil analisis data menunjukkan bahwa
Faktor
adminstrasi dan SDM mempunyai
pengaruh yang tidak signifikan terhadap
penyerapan anggaran
satuan
kerja,
sedangkan
faktor
perencanaan dan faktor pengadaan
barang dan jasa yang
mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap penyerapan anggaran satuan
kerja.

Arif dan
Halim (2013)

Identifikasi faktorfaktor
penyebab
minimnya
penyerapan APBD di
Kabupaten Riau

Variabel Independen
: Kapasitas SDM
(X1), Regulasi (X2),
Tender/ lelang (X3),
dan Lambatnya
pengesahan APBD
(X4)
Minimnya

Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwasannya masing-masing daerah
kabupaten
memiliki
faktor-faktor
penyebab
minimnya
penyerapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang berbeda-beda,
namun ada beberapa faktor yang hampir
sama antara daerah yang satu dengan

Universitas Sumatera Utara

penyerapan APBD
(Y)

daerah lainnya antara lain faktor
regulasi,
faktor
politik,
faktor
tender/lelang,
faktor
komitmen
organisasi.

Carlin
Tasya Putri
(2014)

Analisa
faktorfaktor
yang
mempengaruhi
penyerapananggaran
pada satuan kerja
perangkat daerah di
Provinsi Bengkulu

Variabel Independen
: Dokumen
perencanaan (X1),
Pencatatan
administrasi (X2),
Kompetensi SDM
(X3), Dokumen
pengadaan (X4) dan
Uang Persediaan
(X5)
Variabel Dependen :
Penyerapan
Anggaran (Y)

Hasil penelitian dengan regresi linier
berganda menunjukkan kompetensi
sumber
daya
manusia
memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
penyerapan
anggaran,
dokumen
pengadaan memiliki pengaruh yang
signifikan
terhadap
penyerapan
anggaran dan uang persediaan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
penyerapan
anggaran.
Dokumen
perencanaan tidak memiliki pengaruh
terhadap penyerapan anggaran dan
pencatatan administrasi tidak memiliki
pengaruh
terhadap
penyerapan
anggaran.

Lestari
(2014)

Pengaruh
Alokasi
Belanja Murni dan
Alokasi
Belanja
Perubahan terhadap
Serapan Anggaran di
Kabupaten/ Kota di
Aceh.

Variabel
Independen: Alokasi
BelanjaMurni (X1)
Alokasi Belanja
Perubahan (X2)
Variabel Dependen:
Serapan Anggaran
(Y)

Hasil Penelitian menunjukan terdapat
pengaruh negatif antara Belanja murni
terhadap
serapan
anggaran
dan
pengaruh positif antara
belanja perubahan dengan serapan
anggaran dimana Belanja perubahan
dilakukan
diharapkan
mampu
mendekatkan
anggaran
yang
direncanakan dengan realisasinya.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran Dengan Perubahan Anggaran Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Sumatera Utara

0 0 15

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran Dengan Perubahan Anggaran Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran Dengan Perubahan Anggaran Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Sumatera Utara

0 0 9

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran Dengan Perubahan Anggaran Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Sumatera Utara

0 4 20

Faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan waktu penetapan anggaran sebagai variabel moderating

0 0 15

Faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan waktu penetapan anggaran sebagai variabel moderating

0 0 2

Faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan waktu penetapan anggaran sebagai variabel moderating

0 1 10

Faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan waktu penetapan anggaran sebagai variabel moderating Chapter III VI

0 0 49

Faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan waktu penetapan anggaran sebagai variabel moderating

0 2 4

Faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan waktu penetapan anggaran sebagai variabel moderating

1 1 11