Kewirausahaan Dalam Perspektif Ilmu Ekon

Kewirausahaan Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi
Sebagai Sebuah Solusi Mengatasi Pengangguran
Menjalani kehidupan di dunia dengan segala masalah dan lika-likunya, manusia ditopang untuk
selalu memenuhi kebutuhan. Hal ini merupakan siklus kehidupan yang tidak bisa dihindari. Namun,
tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan manusia yang tidak terbatas mustahil ditutup oleh alat pemuas
kebutuhan yang terbatas. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia memerlukan pekerjaan.
Lalu lintas pemenuhan kebutuhan membutuhkan sebuah alat pembayaran yaitu uang. Untuk
mendapatkan benda ini, manusia dituntut untuk produktif yang salah satu caranya adalah bekerja.
Apapun pekerjaannya, selama itu menghasilkan uang, pasti akan selalu dicari. Tanpa uang, tidak
mungkin seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi jika orang itu ternyata juga
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan orang lain, misalnya dalam sebuah lingkup keluarga.
Usaha untuk memperoleh pekerjaan menjadi bentuk kegiatan yang tidak mudah untuk dilakukan dan
diwujudkan. Faktor pesaing, minimnya lapangan pekerjaan, dan sistem administrasi serta birokrasi
yang penuh unsur KKN, menjadi hambatan yang tak bisa dielakkan. Akibatnya terjadilah
pengangguran.
Ketenagakerjaan di Indonesia merupakan masalah klasik. Di satu sisi kelebihan angkatan kerja dan di
sisi lain kesulitan mencari tenaga kerja yang trampil dan produktif. Pengangguran menjadi beban
tenaga kerja produktif. Bila tingkat ketergantungan semakin besar akan berdampak persoalan sosial,
politik, dan meningkatnya kriminalitas. Tingkat produksi menurun, pertumbuhan ekonomi melambat
dan tingkat kesejahteraan masyarakat turun.


Pengangguran sering disebut sebagai “penyakit ekonomi modern” yang paling parah, baik
di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Akibat dari gejala
ini, tidak hanya menimbulkan stagnasi pertumbuhan ekonomi negara dan surutnya
kegiatan ekonomi, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah akibat sosial
kemasyarakatan yang ditimbulkannya.
Ketika tingkat kegiatan ekonomi mengalami kemunduran dan tidak berkembang, maka
eksesnya tentu akan mengurangi lapangan pekerjaan yang ada. Padahal jumlah angkatan
kerja dari waktu ke waktu semakin melonjak. Perlu sebuah solusi untuk menggerakkan
kegiatan ekonomi ini. Salah satu jawabannya adalah dengan kewirausahaan.
Kewirausahaan dalam Ilmu Ekonomi
Bila kita mempelajari sejarah perkembangan ekonomi di berbagai negara, segera akan kelihatan
bahwa kegiatan ekonomi modern jarang dalam keadaan stabil untuk jangka waktu yang agak lama.
Ada masa-masa dimana kegiatan ekonomi berkembang dengan cepatnya, dimana produksi
bertambah, pendapatan masyarakat meningkat, dan mencari pekerjaan mudah. Tetapi masa-masa
kemajuan ini silih berganti dengan masa-masa kemunduran, dimana semuanya terasa macet: produksi
merosot, pendapatan masyarakat berkurang, dan pengangguran bertambah.

Dari pengalaman ini ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya ada dua penyakit yang dapat
menyerang perkembangan ekonomi nasional yang sehat dan stabil (T. Gilarso, 2004: 195), yaitu :
1. Resesi atau kemunduran, kalau kegiatan ekonomi seret, produksi merosot dan banyak

pengangguran; perekonomian nasional lesu, seperti kurang darah, dan hasil produksi kurang
daripada yang sebenarnya dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang ada. Kalau
kemerosotan itu sudah parah disebut depresi.
2. Inflasi, yaitu kalau perekonomian nasional “mau lari terlalu cepat”, sehingga kapasitas
produksi tidak dapat melayani permintaan masyarakat dan harga-harga naik; ibaratnya seperti
menderita tekanan darah.
Sorotan dalam pembahasan ini akan difokuskan pada masalah batu sandungan perkembangan
ekonomi nasional yang pertama, yaitu terkait resesi yang lebih spesifik adalah pengangguran.
Semakin maju suatu negara semakin banyak orang yang terdidik, dan banyak pula orang
menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya dunia wirausaha. Pembangunan (baca:
perkembangan ekonomi) akan lebih mantap jika ditunjang oleh wirausahawan karena kemampuan
pemerintah sangat terbatas. Pemerintah tidak akan mampu menggarap semua aspek pembangunan
karena sangat banyak membutuhkan anggaran belanja, personalia, dan pengawasannya (Buchari
Alma, 2003: 1).
Oleh sebab itu,wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu
wirausaha itu sendiri. Sekarang ini kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah wirausahawan
Indonesia masih sedikit dan mutunya belum bisa dikatakan hebat, sehingga persoalan pembangunan
wirausaha Indonesia merupakan persoalan mendesak bagi suksesnya pembangunan.
Sebagai kaitannya dengan ilmu ekonomi, khususnya ekonomi makro terkait pertumbuhan ekonomi
suatu negara (pembangunan), kewirausahaan telah menempati posisi yang penting dan dibutuhkan.

Hal ini tidak terlepas dari darmabakti wirausaha terhadap pembangunan bangsa (Buchari Alma, 2003:
2), yaitu :
1. Sebagai pengusaha, memberikan darma baktinya melancarkan proses produksi, distribusi, dan
konsumsi. Wirausaha mengatasi kesulitan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan
masyarakat.
2. Sebagai pejuang bangsa dalam bidang ekonomi, meningkatkan ketahanan nasional,
mengurangi ketergantungan pada bangsa asing.
Permasalahan ekonomi di Indonesia salah satunya adalah pengangguran. Sehingga kewirausahaan
dalam ilmu ekonomi adalah memiliki posisi sebagai jalan keluar atas permasalahan tersebut.
Instrumen kewirausahaan mempunyai fondasi yang kuat terhadap serangan dari luar maupun dari
dalam.
Kewirusahaan, Solusi Mengatasi Pengangguran
“Mereka berlarian mencari kerja. Mereka berkerumun di jalan bebas hambatan. Gerakan itu
mengubah mereka; jalan bebas hambatan, tenda sepanjang jalan, rasa takut akan kelaparan dan
kelaparan itu sendiri, mengubah mereka. Anak-anak tanpa makan malam telah mengubah mereka,
gerakan tanpa henti mengubah mereka.” Tidak ada yang mempertanyakan saat John Steinbeck dalam
The Grapes of Wrath menggambarkan pengangguran yang dapat membawa dampak serius pada
keluarga dan individu (William A. McEachern, 2000: 124).

Kehilangan yang paling nyata adalah penerimaan yang rutin, tetapi mereka yang menganggur

seringkali juga kehilangan rasa percaya diri. Lebih dari itu, pengangguran dikatikan dengan kenaikan
tingkat kejahatan dan berbagai macam penyakit seperti penyakit jantung, bunuh diri, dan cacat
mental. Namun demikian, banyak orang mengeluhkan pekerjaannya, mereka mengandalkan
pekerjaan itu tidak hanya untuk pendapatan tetapi juga untuk identitas. Jika ada beberapa orang yang
belum saling mengenal bertemu, pertanyaan “What do you do?” (yang arti harfiahnya adalah: apa
pekerjaan Anda?) adalah biasanya yang muncul pertama kali. Hilangnya pekerjaan yang sudah lama
dijalani biasanya mengakibatkan juga hilangnya identitas.
Sebagai tambahan atas biaya personal di atas, pengangguran juga merupakan biaya bagi
perekonomian secara keseluruhan, karena barang dan jasa yang dapat diproduksi menjadi berkurang.
Bila perekonomian tidak menghasilkan lapangan kerja yang cukup, maka jasa dari penganggur
menjadi hilang untuk selamanya. Output yang hilang ini dan digabungkan dengan kerugian ekonomis
dan psikologis bagi individu dan keluarganya menunjukkan biaya sebenarnya dari pengangguran.
Seperti telah diuraikan di atas, ingatlah bahwa statistik pengangguran mencerminkan jutaan individu
dengan cerita mereka sendiri-sendiri. Seperti dikatakan Presiden Harry Truman, “Jika tetangga Anda
kehilangan pekerjaan, berarti itu adalah resesi; jika Anda kehilangan pekerjaan, itu berarti depresi.”
Bagi beberapa orang, pengangguran adalah semacam istirahat singkat antar satu pekerjaan ke
pekerjaan yang lain. Bagi orang lain lagi, pengangguran dapat berpengaruh jangka panjang pada rasa
percaya diri, stabilitas keluarga, dan pada kesejahteraan ekonomi.

Kesempatan kerja (employment) adalah banyaknya lapangan pekerjaan yang tersedia

untuk angkatan kerja. Persoalan muncul karena pertumbuhan angkatan kerja yang cepat
(karena laju pertambahan penduduk), yang kurang diimbangi dengan penyediaan
lapangan pekerjaan (T. Gilarso, 2004: 207). Ini berakibat pada menjamurnya angka
pengangguran. Mutu dan produktivitas tenaga kerja yang masih rendah berakibat tingkat
penghasilan juga rendah. Masalah lain adalah penyebaran angkatan kerja yang tidak
merata, baik sektoral maupun regional. Jumlah wanita yang mencari pekerjaan semakin
banyak dan setengah pengangguran di sektor informal semakin meluas.
Pengangguran dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Penganggur penuh/terbuka yaitu orang yang termasuk Angkatan Kerja tetapi tidak
bekerja dan tidak mencari pekerjaan (open unemployment).
2. Setengah penganggur terpaksa (involuntary under-employment) adalah orang yang
bekerja kurang dari 35 jam seminggu karena suatu sebab di luar kemauannya.
Mereka tidak/belum berhasil memperoleh pekerjaan sekalipun mereka mencari dan
bersedia menerima pekerjaan dengan upah lebih rendah dari tingkat yang
diharapkan.
3. Setengah penganggur sukarela (voluntary un-employment) adalah mereka yang
memilih lebih baik menganggur dari pada menerima pekerjaan yang dirasa tidak
sesuai dengan pendidikannya atau dengan upah yang lebih rendah dari tingkat yang
diharapkan.


4. Orang yang bekerja kurang dari yang sebenarnya dapat dikerjakan dengan
keterampilan /pendidikan yang dimilikinya (pengannguran terdidik).
Menurut sebab terjadinya pengangguran dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Pengangguran konjunktural, yaitu jenis pengangguran yang disebabkan oleh
adanya gelombang konjunktur: karena adanya kelesuan atau kemunduran kegiatan
ekonomi nasional. Jika permintaan lesu dan barang tidak laku, produksi
dikurangi(tidak akan ditambah) sehingga pemakaian factor produksi akan dikurangi
yang berarti terjadi pengangguran.
2. Pengangguran struktural terjadi karena masalah dari segi penawaran: kalau
masyarakat masih kekurangan perusahaan industry, kekurangan prasarana, kurang
modal, kurang keahlian, dan sebagainya maka produksi tidak bias ditingkatkan dan
banyak faktor produksi yang tidak terpakai. Misalnya pemakian transportasi
bermesin menggeser angkutan becak.
3. Pengangguran musiman yaitu jenis pengangguran yang terjadi secara berkala
karena pengaruh musim. Misalnya di sektor pertanian, pekerjaan paling padat
adalah pada musim tanam dan musim panen, tetapi di masa selang antara musim
tanam dan panen banyak terjadi pengangguran.
4. Pengangguran friksional atau transisional (peralihan) terjadi karena adanya
perpindahan tenaga kerja dari sektor/pekerjaan yang satu ke sektor/pekerjaan yang
lain. Misalnya, terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor

industry atau keluar dari jenis pekerjaan yang satu tetapi belum mendapat
pekerjaan baru.
Suatu pernyataan yang bersumber dari PBB menyatakan bahwa suatu negara akan mampu
membangun apabila memiliki wirausahawan sebanyak 2% dari jumlah penduduknya
(Buchari Alma, 2003: 4). Jadi, jika negara kita berpenduduk 200 juta jiwa, maka
wirausahawannya harus lebih kurang sebanyak 4 juta. Negara kita telah jauh tertinggal
dalam kuantitas wirausahawan dibandingkan dengan Amerika (15%) dan negara satu
regional, Malaysia yang sudah mencapai sekitar 6% (detikFinance, 15/4/2012).
Wirausahawan Indonesia saat ini berjumlah masih sekitar 1%. Katakanlah jika kita hitung
semua wirausahawan Indonesia mulai dari pedagang kecil sampai perusahaan besar ada
sebanyak 3 juta, tentu bagia terbesarnya adalah kelompok kecil-kecil yang belum terjamin
mutunya dan belum terjamin kelangsungan hidupnya.
Terlebih, berdasarkan Berita Resmi Statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik No.
33/05/Th. XV, 7 Mei 2012, dalam laporan keadaan ketenagakerjaan bulan Februari 2012,
tingkat pengangguran terbuka Indonesia adalah sebesar 6,32%. Ini tentu saja bukan
jumlah yang sedikit. Angka statistik ini seakan tidak sesuai dengan realita kehidupan
sosial kemasyarakatan yang ada. Kita melihat ternyata masih banyak warga miskin di
sekitar kita yang entah apakah dia pengangguran atau bukan.

Pertambahan penduduk dan angkatan terjadi di satu pihak dan laju serta arah investasi di

lain pihak mempengaruhi masalah pengangguran dan perluasan kesempatan kerja
(Sumitro Djojohadikusumo, 1975: 33). Pertambahan angkatan kerja juga mempengaruhi,
baik tingkat upah (dalam arti nyata) maupun aspek pembagian pendapatan masyarakat.
Selain itu, pertambahan penduduk dan angkatan kerja serta tingkat fertilitas dari yang
bersangkutan juga mempengaruhi tingkat tabungan masyarakat dan investasi untuk
perluasan dasar ekonomi.
Angkatan kerja meliputi bagian penduduk yang termasuk golongan tingkat usia 10-64
tahun. Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 120,4 juta orang,
bertambah sekitar 3,0 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2011 sebesar 117,4
juta orang atau bertambah sebesar 1,0 juta orang dibanding Februari 2011 (Berita Resmi
Statistik, BPS, No. 33/05/Th. XV, 7 Mei 2012). Bayangkan, jumlah pencari kerja
(angkatan kerja) di Indonesia menempati porsi hampir setengah dari jumlah penduduk.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita dituntut mampu untuk menciptakan lapangan
pekerjaan baru, melalui kewirausahaan. Kewirausahaan atau wirausaha menurut Joseph
Schumpeter adalah orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan
memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru
atau mengolah bahan baku baru; orang tersebut melakukan kegiatannya melalui organisasi
bisnis yang baru maupun bisa pula dilakukan dalam organisasi bisnis yang sudah ada
(Joseph Schumpeter dalam Buchari Alma, 2003: 21).
Dipaparkan sebuah fakta bahwa keberhasilan pembangunan yang dicapai oleh negara

Jepang ternyata disponsori oleh wirausahawan yang telah sejumlah 2% tingkat sedang,
berwirausaha kecil sebanyak 20% dari jumlah penduduknya. Inilah kunci keberhasilan
pembangunan negara Jepang. (Heidjrachman Ranu P. dalam Buchari Alma, 2003: 5).
Dengan semakin menjamurnya wirausahawan, maka lapangan pekerjaan pun semakin
variatif dan banyak tersedia sehingga masalah pengangguran dapat teratasi.