SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KER

SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG

  Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F24103133 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

  Angelia Merdiyanti. F24103133. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr.

RINGKASAN

  Mi kering berbahan baku pati dan tepung jagung merupakan produk baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan beberapa formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum, baik mi basah maupun mi instan. Namun demikian, hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Teknologi yang telah dihasilkan selanjutnya perlu di-scale up (penggandaan skala proses) untuk dapat diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil. Oleh karena itu, tahapan penggandaan skala proses produksi dari skala laboratorium ke skala pilot plant perlu dilakukan dengan penyesuaian formulasi dan proses produksi pada skala yang lebih besar.

  Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu tahap penepungan jagung, karakterisasi tepung dan pati jagung, verifikasi formulasi dan proses produksi mi jagung kering pada skala laboratorium, serta penggandaan skala produksi mi jagung kering. Proses penepungan jagung dilakukan dengan dua teknik penggilingan, yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Proses penggilingan kering terdiri dari tahap penggilingan jagung menggunakan multi mill, perendaman dan pencucian selama + 2 jam, pengeringan dengan oven hingga kadar air 17, penggilingan grits jagung dengan disc mill, dan pengayakan dengan saringan berukuran 100 mesh. Sedangkan proses penggilingan basah terdiri dari tahap pencucian, perendaman (6, 9, dan 12 jam), penggilingan jagung dengan penggiling batu, penyaringan dengan vibrating screen, pengendapan sampai terbentuk lapisan endapan pati jagung dan lapisan air yang jernih, pemisahan endapan pati dari lapisan air, pengeringan dengan oven hingga kadar air 10, dan penepungan dengan disc mill.

  Hasil penggilingan kering memberikan rendemen tepung sebesar 24,80 dari bobot awal 25 kg. Sedangkan penepungan basah dengan waktu perendaman selama 6, 9, dan 12 jam menghasilkan rendemen tepung jagung berturut-turut 22,21; 24,38; dan 32,47. Karakteristik tepung jagung hasil penggilingan kering terhadap kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan amilosa berturut- turut 7,94; 0,68; 8,73; 2,99; 79,66; dan 20,22 dan mempunyai nilai wana L, a dan b berturut-turut 63,01; +3,10; dan +12,53. Karakteristik tepung jagung terbaik hasil penggilingan basah dengan waktu perendaman 12 jam terhadap kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan amilosa berturut-turut 5,48; 0,79; 8,78, 6,33; 78,62; 20,26. Pengukuran warna terhadap nilai L, a, dan b dari waktu perendaman 12 jam berturut-turut 63,89; +3,69; +7,08.

  Langkah selanjutnya adalah verifikasi formulasi dan proses produksi mi jagung kering pada skala laboratorium dengan melakukan modifikasi terhadap formulasi menggunakan 30 pati jagung (dari berat tepung). Substitusi ini menghasilkan lembaran mi yang tidak mudah sobek, tidak cepat menjadi keraskaku, dan halus permukaannya. Selain itu, untaian mi yang tercetak pun berukuran panjang atau kontinyu dan tidak mudah patah. Tahap verifikasi ini juga Langkah selanjutnya adalah verifikasi formulasi dan proses produksi mi jagung kering pada skala laboratorium dengan melakukan modifikasi terhadap formulasi menggunakan 30 pati jagung (dari berat tepung). Substitusi ini menghasilkan lembaran mi yang tidak mudah sobek, tidak cepat menjadi keraskaku, dan halus permukaannya. Selain itu, untaian mi yang tercetak pun berukuran panjang atau kontinyu dan tidak mudah patah. Tahap verifikasi ini juga

  Tahap penggandaan skala produksi mi jagung kering dilakukan dengan mencoba proses produksi menggunakan jumlah bahan baku yang lebih besar serta automatisasi proses untuk menggantikan tahapan proses yang masih dilakukan secara manual. Proses produksi mi jagung kering terdiri dari tahap pencampuran bahan menggunakan varimixer dengan pengaduk jenis jari-jari (whisk) dan waktu

  pengadukan adonan selama 15-25 menit dengan suhu adonan sekitar 25-40 o C. Proses pengukusan adonan dan pengulian dilakukan menggunakan uap panas

  bersuhu 90-100 o C dengan waktu pengukusan selama 15 menit. Proses pembentukan lembaran mi (sheeting) dilakukan dengan melewatkan adonan di

  antara dua roller sheeting (5-10 kali) sampai ketebalan 1,5-2,0 mm, pencetakan untaian mi (slitting) menggunakan slitter, dan pemotongan (cutting) menggunakan lempengan pemotong. Pengukusan mi mentah dilakukan selama 10

  menit dengan menggunakan uap panas bersuhu 90-100 o C dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven bersuhu 55-60 0 C selama 1-1,5 jam.

  Bahan baku yang digunakan untuk membuat mi jagung kering antara lain tepung jagung dari hasil penggilingan kering dan basah (perendaman 12 jam), pati jagung, air, garam, baking powder, dan guar gumCMC. Penambahan CMC terbukti lebih baik dalam mengurangi cooking loss mi, meningkatkan daya serap air saat proses rehidrasi mi, serta menurunkan kekerasan dan kelengketan mi dibandingkan dengan mi jagung yang ditambahkan guar gum. Namun, penambahan CMC masih kurang mampu meningkatkan elastisitas mi. Nilai cooking loss, daya serap air, kekerasan, dan kelengketan mi jagung yang ditambahkan CMC berturut-turut 17,82; 285,71; 1153,65 gf; dan -295,95 gf. Sedangkan Nilai cooking loss, daya serap air, kekerasan, dan kelengketan mi jagung yang ditambahkan guar gum berturut-turut 20,72; 202,42; 1469,20 gf; dan -469,75 gf. Berdasarkan hasil tersebut, penggunaan CMC lebih direkomendasikan untuk produksi mi jagung kering.

  Penggunaan tepung jagung hasil pengilingan kering juga lebih direkomendasikan karena menghasilkan produk akhir mi jagung kering yang secara kualitas lebih baik daripada tepung jagung hasil penggilingan basah. Mi kering dari tepung jagung penggilingan kering memiliki warna kekuningan. Lain halnya dengan mi kering dari tepung jagung penggilingan basah yang memiliki warna kecoklatan. Di samping itu, mi dari tepung jagung penggilingan basah mempunyai aroma dan rasa yang kurang sedap atau sedikit tengik setelah pemasakan serta memiliki tekstur yang lebih rapuh sehingga mudah sekali patahhancur ketika dimasak. Hasil uji proksimat juga menunjukkan kadar lemak mi dari tepung jagung penggilingan basah lebih tinggi daripada mi dari tepung jagung penggilingan kering. Kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat dari mi jagung dengan tepung hasil penggilingan basah berturut-turut 4,66; 1,27; 6,13; 1,83; 86,11 dan berturut-turut 7,80; 1,50; 6,34; 0,19; 84,17 untuk mi jagung dari tepung hasil penggilingan kering.

PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG SKRIPSI

  Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

  Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

  Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

  Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F24103133 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG SKRIPSI

  Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

  Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F24103133

  Dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1984 Di Jakarta

  Tanggal lulus : ...............................

  Menyetujui, Bogor, Februari 2008

  Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr

  Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

  Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen

RIWAYAT HIDUP

  Penulis bernama lengkap Angelia Merdiyanti yang dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1984 di Jakarta dan merupakan putri pertama dari pasangan Sriyanto dan Primertiningsih. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 06 Srengseng Sawah Jakarta Selatan (1990-1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 211 Jakarta Selatan (1996-1999), dan pendidikan lanjutan di SMUN

  28 Jakarta Selatan (1999-2002).

  Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif dalam beberapa kegiatan non akademik diantaranya Suksesi HIMITEPA 2004, Open House IPB 2004, Masa Perkenalan Kampus dan Masa Perkenalan Fakultas

  2004, Lepas Landas Sarjana 2005 , BAUR 2005, dan Dies Natalis Ke-42 IPB. Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Paket Teknologi Pembuatan Mi kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung” sebagai tugas akhir.

KATA PENGANTAR

  Penulis menghaturkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Paket Teknologi Pembuatan Mi kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung”. Salawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

  Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada:

  1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.

  2. Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr. selaku Dosen Pembimbing II atas segala masukan dan bimbingannya kepada penulis.

  3. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan yang diberikan kepada penulis.

  4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

  5. Bapak, Ibu, Wenny, Sandy, dan anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang, nasehat, dorongan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

  6. Gilang selaku Partner penelitian atas bantuan ilmu, tenaga, dan waktu.

  7. Rekan-rekan sebimbingan: Anggita, Fauzan, dan Sigit atas dukungan, bantuan, dan perhatiannya kepada penulis.

  8. Kak Bobby dan kak Rohana ITP 39 yang telah membantu penulis di awal- awal penelitian.

  9. Anak-anak Windy: Eka, Prima, Mardi, Lita, Anis, Eneng, dan yang lainnya atas persahabatan, dukungan, dan kemurahan hati kalian selama ini.

  10. Anak-anak Ex-DR: Lasty, Maya, Gading, Mae, dan Isti. Kalian membuat hari–hariku penuh dengan keceriaan dan canda tawa.

  11. Teh Euis, Noor, Intan, Mona, Asih atas kebersamaan, dukungan, dan nasehat-nasehatnya yang sangat berharga bagi penulis.

  12. Adis, Rucit, Susan, Sarwo, dan sahabat-sahabatku di golongan D atas kebersamaan dan keceriaan yang telah kita lalui bersama-sama.

  13. Fitri, Lina, Dhani, Hay-Hay, Her-Her, Mita, dan sahabat-sahabat TPG 40 lainnya atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna.

  14. Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Rozak, Teh Ida, Bu Antin, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Gatot, Pak Iyas, Pak Nur, Mbak Ari, dan semua laboran di laboratorium ITP lainnya atas bantuan dan kerjasamanya.

  15. Seluruh pustakawan dan pustakawati di PAU, PITP, dan LSI yang telah membantu penulis dalam mencari literatur.

  16. Katja dan Lizzy atas bantuan, diskusi-diskusi, dan kebersamaan kita yang singkat tapi terasa menyenangkan.

  Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

  Bogor, Februari 2008

  Penulis

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Produk mi baik berupa mi basah, mi kering, maupun mi instan kini sudah menjadi bahan makanan utama kedua setelah beras bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen, mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan (Juniawati, 2003). Mi biasanya terbuat dari tepung terigu yang bahan bakunya, yaitu gandum masih harus diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu, pencarian berbagai bahan pangan lain sebagai pengganti tepung terigu terus dilakukan. Salah satu alternatif substitusi tepung terigu terutama dalam pembuatan mi adalah dengan pemanfaatan jagung. Jagung merupakan salah satu komoditas yang memiliki kandungan nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia sudah digunakan sebagai makanan pokok.

  Pemilihan jagung sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan mi sejalan dengan program pemerintah dalam upaya diversifikasi pangan. Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi jagung secara nasional

  mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2006, produksi jagung

  nasional mencapai 11,6 juta ton. Sementara itu, produksi jagung secara nasional untuk tahun 2007 diperkirakan mencapai 13,3 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2007). Upaya peningkatan kapasitas produksi jagung dan peningkatan nilai tambah jagung yang tidak hanya terbatas pada penggunaannya sebagai makanan pokok saja juga perlu dilakukan. Salah satu rencananya adalah pengembangan industri berbasis jagung dengan meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan baku pembuatan mi.

  Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dari tepung atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Beberapa penelitian mengenai pembuatan mi dari bahan dasar jagung, baik berupa mi basah atau mi instan pun telah dilakukan. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran (sheetingpressing), pencetakan untaian mi (slitting), Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dari tepung atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Beberapa penelitian mengenai pembuatan mi dari bahan dasar jagung, baik berupa mi basah atau mi instan pun telah dilakukan. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran (sheetingpressing), pencetakan untaian mi (slitting),

  Menurut Juniawati (2003), mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Mi jagung instan mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung instan juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya proses penggorengan pada mi jagung instan, melainkan hanya proses pengeringan menggunakan oven saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu lutein, zeaxanthin, dan - karoten.

  Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) telah melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan menambahkan protein gluten dan guar gum untuk memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) telah merancang Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) telah melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan menambahkan protein gluten dan guar gum untuk memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) telah merancang

B. Tujuan Dan Luaran Penelitian

  Penelitian ini bertujuan merumuskan paket teknologi pembuatan mi

  kering dengan memanfaatkan bahan baku tepung jagung pada skala produksi 1 kilogram. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka luaran yang dihasilkan mencakup:

  Spesifikasi pati dan tepung jagung sebagai bahan baku utama pembuatan mi jagung kering.

  Spesifikasi proses (aliran dan kondisi) untuk pembuatan mi jagung kering. Spesifikasi alat yang dibutuhkan untuk pembuatan mi jagung kering.

C. Manfaat

  Manfaat dari penelitian ini yaitu menghasilkan desain proses produksi dan formulasi mi jagung kering yang sesuai untuk diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Jagung Jenis Jagung

  Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji– bijian dari keluarga rumput–rumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut

  (Anonim a , 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada 6 tipe utama jagung, yaitu dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corns (Darrah et al., 2003).

  Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya (kiri ke kanan: flint, dent, dan yellow flour (Anonim b , 2005).

  Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm pada bagian sisi dan belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour merupakan salah satu jagung yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan mudah dibuat tepung (Darrah et al., 2003). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm pada bagian sisi dan belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour merupakan salah satu jagung yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan mudah dibuat tepung (Darrah et al., 2003). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati

  Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-

  2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn) juga terdapat di Indonesia.

Morfologi dan Anatomi Biji Jagung

  Biji jagung merupakan biji serealia yang paling besar dengan berat masing–masing 250–300 mg. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991).

  Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62-160 m tergantung genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis (lapisan paling luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells, dan tegmen (seed coat).

  Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu 82-84 dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89 pati sebagai cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis dent dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu 82-84 dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89 pati sebagai cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis dent dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron

  Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991).

  Jagung normal mengandung 10-12 lembaga dari berat biji. Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu embrio dan skutelum. Embrio mencakup 1,1 dari berat biji jagung (sekitar 10 bagian lembaga) dan mengandung 30,8 protein. Sedangkan skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan selama perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan, yaitu epithelium, parenkim, epidermis, dan provaskular. Jaringan parenkim terdiri dari sel yang mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati, dan oil bodies yang mencakup 83 dari total lemak dalam biji jagung

  (Watson, 2003). Adapun bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung.

  Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung

  Bagian anatomi

  Jumlah ()

  Pericarp (bran) 5,3

  Endosperma 82,9 Lembaga (germ) 11,1

  Tip cap

  Sumber: Watson (2003)

Komposisi Kimia Biji Jagung

  Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72 dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86 pati dan sekitar 1 gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan, yaitu amilosa dan amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30 dan amilopektin sekitar 70-75.

  Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (D- glukosa dan D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol. Sukrosa merupakan disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per endosperma). Sedangkan maltosa, trisakarida, dan oligosakarida terdapat dalam jumlah sedikit. Adapun phytate (hexaphosphoric ester dari myo- inositol) diketahui sebagai satu-satunya gula alkohol yang terdapat dalam biji jagung. Sekitar 90 phytate ditemukan di dalam skutelum dan 10-nya terdapat di dalam aleuron (Boyer dan Shannon, 2003).

  Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung

  Abu Serat

  Biji utuh

  Sumber: Watson (2003)

  Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung bervariasi dari 6-18. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin (zein), dan glutelin. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron, pericarp, dan lembaga. Sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan pada endosperma.

  Tabel 3. Distribusi protein di dalam endosperma jagung

Kandungan pada jagung

  Albumin 4,7 20,2 5,6 Globulin 3,5

  Residu 9,0 12,0 14,5 Sumber: Lawton dan Wilson (2003)

  Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin. Zein merupakan protein yang larut dalam 70 etanol dan terdiri dari beberapa komponen, yaitu , ß, , dan -zein. -zein merupakan prolamin terbanyak dalam biji jagung (70 dari total zein). Bila dibandingkan dengan -zein, ß- zein mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi kekurangan asam amino glutamin, leusin, dan prolin. -zein merupakan prolamin terbanyak kedua dalam biji jagung (20 dari total zein). Seperti halnya -zein dan ß-zein, -zein juga kekurangan asam amino lisin dan triptofan tetapi kaya akan asam amino prolin dan sistein. Sedangkan -zein kaya akan asam amino metionin (Lawton dan Wilson, 2003). Adapun glutelin yang larut dalam asam atau basa memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein, tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1996).

  Menurut Lawton dan Wilson (2003), sekitar 76-83 lipid dalam biji jagung terdapat di bagian lembaga. Kandungan lipid tersebut terutama adalah triasilgliserols (TAGs), yaitu sekitar 95. Selain itu, biji jagung juga mengandung fosfolipid, glikolipid, hidrokarbon, fitosterol (sterol dan stanol), asam lemak bebas, karotenoid (vitamin A), tocol (vitamin E), dan waxes yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan TAG. Asam lemak yang terkandung Menurut Lawton dan Wilson (2003), sekitar 76-83 lipid dalam biji jagung terdapat di bagian lembaga. Kandungan lipid tersebut terutama adalah triasilgliserols (TAGs), yaitu sekitar 95. Selain itu, biji jagung juga mengandung fosfolipid, glikolipid, hidrokarbon, fitosterol (sterol dan stanol), asam lemak bebas, karotenoid (vitamin A), tocol (vitamin E), dan waxes yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan TAG. Asam lemak yang terkandung

  Biji jagung juga mengandung beberapa vitamin seperti kolin (567 mgkg), niasin (28 mgkg), asam pantotenat (6,6 mgkg), piridoksin (5,3 mgkg), tiamin (3,8 mgkg), riboflavin (1,4 mgkg), asam folat (0,3 mgkg), biotin (0,08 mgkg), serta vitamin A ( -karoten) dan vitamin E ( -tokoferol) masing-masing sebesar 2,5 mgkg dan 30 IUkg (Watson, 2003). Sedangkan mineral–mineral yang terdapat pada biji jagung dapat dilihat pada Tabel 4.

  Tabel 4. Jumlah mineral pada biji jagung

  Mineral

  Rata – rata ()

  Fosfor 0,29 Potasium 0,37 Magnesium 0,14

  Sulfur

  klorin 0,05 Kalsium 0,03

  Sodium 0,03 Sumber: Watson (2003)

Quality Protein Maize (QPM)

  Protein serealia, terutama jagung, memiliki kandungan nutrisi yang rendah karena kurangnya kadar asam amino esensial seperti lisin dan triptofan. Kandungan asam amino lisin dan triptofan pada jagung masing- masing hanya 0,28 dan 0,06 dari total protein biji. Angka ini kurang dari separuh konsentrasi yang disarankan oleh Badan Pangan dan Pertanian se- Dunia (FAO) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2004).

  Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas protein pada jagung. Salah satu caranya melalui rekayasa genetika dengan mutasi gen. Mutasi gen dilakukan untuk menghambat produksi zein karena fraksi protein ini mengandung lisin dan triptophan dalam jumlah sedikit. Penghambatan produksi zein dapat meningkatkan pembentukan fraksi protein lain yang kaya akan lisin dan triptophan sehingga presentasi kedua asam amino tersebut akan meningkat. Mutan yang pertama kali ditemukan adalah gen opaque-2 dan floury-2. Jagung yang telah diperkaya dengan gen opaque-2floury-2 dikenal Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas protein pada jagung. Salah satu caranya melalui rekayasa genetika dengan mutasi gen. Mutasi gen dilakukan untuk menghambat produksi zein karena fraksi protein ini mengandung lisin dan triptophan dalam jumlah sedikit. Penghambatan produksi zein dapat meningkatkan pembentukan fraksi protein lain yang kaya akan lisin dan triptophan sehingga presentasi kedua asam amino tersebut akan meningkat. Mutan yang pertama kali ditemukan adalah gen opaque-2 dan floury-2. Jagung yang telah diperkaya dengan gen opaque-2floury-2 dikenal

  Pada tahun 2004, Badan Litbang Pertanian telah melepaskan dua varietas jagung QPM yang dikenal dengan nama Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1. Varietas Srikandi Kuning-1 berdaya hasil 7,9 tonha dan bijinya berwarna kuning sesuai dengan namanya. Sedangkan varietas Srikandi Putih-1 yang bijinya berwarna putih mampu berproduksi hingga 8,1 tonha. Adapun kadar protein biji Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 masing- masing 10,3 dan 7,8 dengan kandungan lisin dan triptofan sebesar 0,46 dan 0,09 untuk Srikandi Kuning-1, serta 0,36 dan 0,07 untuk Srikandi Putih-1 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2004).

B. Proses Penepungan Jagung

  Teknik penggilingan dalam usaha mereduksi ukuran jagung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan kering (dry milling) dan penggilingan basah (wet milling). Berdasarkan penelitian Juniawati (2003), metode penggilingan kering jagung dilakukan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama (penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan hammer mill yang bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan kulit, lembaga, dan tip cap. Hasil dari penggilingan kasar tersebut kemudian direndam dan dicuci dalam air untuk memisahkan grits jagung yang banyak mengandung pati dari kulit, lembaga, dan tip cap yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Kulit harus dipisahkan dari endosperma karena memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena berhubungan erat dengan ketahanan tepung terhadap ketengikan akibat oksidasi lemak. Tip cap juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar dan menimbulkan butir-butir hitam pada tepung apabila pemisahannya tidak sempurna.

  Jagung tidak mengalami perendaman yang lama pada proses penggilingan kering. Pembasahan hanya dilakukan untuk mengkondisikan Jagung tidak mengalami perendaman yang lama pada proses penggilingan kering. Pembasahan hanya dilakukan untuk mengkondisikan

  mill (Hoseney, 1998). Penggilingan kedua merupakan penggilingan grits

  jagung yang telah dikeringkan menggunakan disc mill (penggiling halus) sehingga dihasilkan tepung jagung. Proses pengayakan dengan saringan berukuran 80 atau 100 mesh dapat dilakukan untuk memperoleh tepung jagung dengan ukuran partikel yang diinginkan sesuai kebutuhan.

  Adapun tahapan proses pada penggilingan basah berbeda dengan proses penggilingan kering biji jagung. Penggilingan basah menghasilkan empat komponen dasar, yaitu pati, lembaga, serat, dan protein. Menurut Johnson dan May (2003), pembuatan pati dengan metode penggilingan basah terdiri dari tahap pembersihan, perendaman, dan pemisahan komponen- komponen biji jagung yang meliputi tahap penggilingan kasar dan pemisahan lembaga, penggilingan halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian pati, serta starch finishing.

  Proses penepungan jagung diawali dengan tahap pembersihan untuk membersihkan biji jagung dari kotoran dan kontaminan asing. Selanjutnya,

  biji jagung direndam dalam air yang telah ditambahkan SO 2 dengan

  konsentrasi tertentu (0,12-0,2) selama 22-50 jam (umumnya 30-36 jam) pada suhu 52 o

  C. Selama perendaman, air akan berdifusi ke dalam biji jagung

  sehingga kadar air meningkat dari 15 menjadi 45. Penggunaan SO 2 sangat

  penting karena SO 2 sebagai agen pereduksi mampu memecah ikatan disulfida

  pada matriks protein yang membungkus granula pati sehingga dapat

  membebaskan granula pati tersebut. Selain itu, SO 2 juga mampu menciptakan

  kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Asam laktat yang dihasilkan bakteri tersebut dapat meningkatkan pelunakkan biji, melarutkan protein endosperma, dan melemahkan dinding sel endosperma. Asam laktat juga membantu pemisahan pati dan meningkatkan jumlah pati yang dihasilkan (Johnson dan May, 2003).

  Tahapan selanjutnya adalah penggilingan kasar biji jagung dan pemisahan lembaga dengan menggunakan attrition mill dan separator lembaga (hydroclone). Attrition mill terdiri dari dua jenis cakram (cakram statis dan cakram berputar) yang dilengkapi dengan kenop (devil’s teeth) pada Tahapan selanjutnya adalah penggilingan kasar biji jagung dan pemisahan lembaga dengan menggunakan attrition mill dan separator lembaga (hydroclone). Attrition mill terdiri dari dua jenis cakram (cakram statis dan cakram berputar) yang dilengkapi dengan kenop (devil’s teeth) pada

  Menurut Johnson dan May (2003), pati hasil sentrifuse masih mengandung 3-5 protein dan sejumlah kecil kontaminan terlaruttak larut. Pati kasar tersebut lalu dicuci dengan air menggunakan hydroclone. Pati hasil pencucian harus mengandung <0,30 total protein dan 0,01 protein terlarut. Slurry pati murni dari penggilingan basah selanjutnya langsung dikeringkan atau diberi perlakuan dengan beberapa senyawa kimia seperti bleaching agents atau asam untuk memodifikasi karakteristik pati tersebut. Residu kimia kemudian dicuci dari pati dengan menggunakan nozzle-type centrifuges atau penyaring vakum yang dilengkapi dengan spray.

C. Pati Jagung

  Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena, merupakan produk olahan jagung yang diperoleh dari hasil penggilingan basah (wet milling) dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar, lemak, dan protein. Pati jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat. Menurut Tanikawa dan Motohiro (1985), bahan pengikat berfungsi untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan. Pati jagung juga berfungsi sebagai bahan pengisi. Bahan-bahan yang termasuk ke dalam bahan pengisi diantaranya adalah gum, pati, dekstrin, turun-turunan dari protein, dan bahan-bahan lainnya yang dapat Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena, merupakan produk olahan jagung yang diperoleh dari hasil penggilingan basah (wet milling) dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar, lemak, dan protein. Pati jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat. Menurut Tanikawa dan Motohiro (1985), bahan pengikat berfungsi untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan. Pati jagung juga berfungsi sebagai bahan pengisi. Bahan-bahan yang termasuk ke dalam bahan pengisi diantaranya adalah gum, pati, dekstrin, turun-turunan dari protein, dan bahan-bahan lainnya yang dapat

  Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat ditentukan oleh karakteristik kimianya. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik yang tersusun dari amilosa dan amilopektin. Pada umumnya, pati mengandung 25–30 amilosa dan 70–75 amilopektin. Menurut Hoseney (1998), amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan -(1,4) dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus terdiri dari 500-2000 unit glukosa. Umumnya amilosa dikatakan sebagai linier dari pati. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan, biasanya sekitar 250.000 (untuk 1500 unit anhidroglukosa). Amilopektin seperti halnya amilosa juga mempunyai ikatan

  -(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan -(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5 dari seluruh ikatan yang

  7 ada pada amilopektin. Bobot molekul amilopektin berkisar antara 10 8 –5x10 (Fennema, 1996).

  Mauro et al. (2003) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73 amilopektin dan 27 amilosa. Namun demikian, ada pula varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100) dari amilopektin yaitu jenis waxyglutinous corn. Sebaliknya, varietas jagung yang dinamakan high-amylose corn mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75).

  Secara alami, bentuk asli pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah. Sedangkan granula pati pada kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi.

  Tabel 5. Karakteristik granula pati

  Jenis pati Ukuran granula (µm)

  Bentuk granula

  Padi 3-8 Poligonal Gandum

  20-35

  Lentikular atau bulat

  Jagung

  15 Polihedral atau bulat

  28 Lentikular atau bulat

  Barley

  20-25

  Bulat atau elips

  Sumber: Hoseney (1998)

  Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan (Tabel 5). Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxyglutinous corn) memiliki diameter berkisar antara 2–30 m. Jagung yang tinggi amilosa (high-amylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 m. Sedangkan pati pada kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 m, 4-35 m, dan 2-55 m (Fennema, 1996). Menurut Boyer dan Shannon (2003), granula pati memiliki struktur kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorf.

D. Gelatinisasi Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi

  Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996). Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air.

  Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal gelap terang (biru-kuning) di bawah mikroskop

  (Hoseney, 1998). Selain itu, granula pati juga akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan (viskositas) semakin meningkat, dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 2004).

  Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

  Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

  Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

  Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel

  Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) Menurut Swinkels (1985), mekanisme gelatinisasi pada dasarnya

  terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya, dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula. Mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.

  Suhu Gelatinisasi

  Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu dimana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Pengukuran suhu gelatinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan Brabender Visco-amylograph dan Differential Scanning Calorimetry.

  Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 6.

  Tabel 6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati

  Sumber pati o Suhu gelatinisasi ( C)

  Beras 65-73 Ubi jalar

  82-83

  Tapioka 59-70

  Jagung 61-72 Gandum 53-64 Sumber: Fennema (1996)

  Suhu gelatinisasi dipengaruhi pula oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Wirakartakusumah (1981) menyatakan keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio airpati, laju pemanasan, dan adanya komponen- komponen lain dalam media pemanasnya. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.

E. Mi Mi Kering

  Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi. Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87, artinya kandungan airnya harus di bawah 13. Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut, dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh et al., 1985). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 7.

  Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996

  Jenis Uji

  Satuan

  Mutu I

  Mutu II

  4. Protein (N x 6,25) bb

  Min. 11

  Min. 8

  Bahan Tambahan Makanan:

  5. 5.1 Boraks

  Tidak boleh ada

  5.2 Pewarna

  sesuai dengan

  Tambahan

  SNI 01-0222-1995

  Cemaran Logam:

  6.1 Timbal (Pb)

  mgkg

  Maks. 1,0

  6. 6.2 Tembaga (Cu) mgkg

  Maks. 10,0

  6.3 Seng (Zn)

  mgkg

  Maks. 40,0

  6.4 Raksa (Hg)

  mgkg

  Maks. 0,05

  7. Arsen (As)

  6 8. 6 kolonig Maks. 1,0 x 10 Maks. 1,0 x 10

  lempeng total

  8.2 E. coli

  APMg

  Maks. 10

  4 8.3 Kapang 4 kolonig Maks. 1,0 x 10 Maks. 1,0 x 10

  Produk mi kering maupun mi basah pada dasarnya memiliki komposisi yang hampir sama. Keduanya dibedakan dalam tahapan proses pembuatan, kadar air, dan kadar protein. Mi kering diperoleh dengan cara mengeringkan mi mentah dengan metode penjemuran atau di angin-anginkan atau juga

  dikeringkan dalam oven pada suhu ± 50 o

  C. Mi kering mempunyai daya

  simpan yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara penyimpanannya. Selama kemasannya masih tertutup rapat, mi kering dapat disimpan selama 6-

  12 bulan.

  Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera (Intan, 1997). Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), dalam 100 gram mi kering terkandung 337 kkal energi, protein 7,9 g, lemak 11,8 g, karbohidrat 50,0 g, kalsium 49 mg, fosfor 47 mg, besi 2,8 mg, vitamin B1 0,01 mg, dan air 28,9 g.

  Mi Jagung

  Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dengan bahan baku utama tepung atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Mi jagung dapat diproses menjadi mi instan (mi kering) ataupun mi basah. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan dengan pembentukan lembaran terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran (sheetingpressing), pencetakan untaian mi (slitting), pengukusan kedua, dan pengeringan. Sedangkan proses pembuatan mi jagung basah terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan, sheeting, slitting, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran dengan minyak (Rianto, 2006).

  Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Proses pengukusan bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70) sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Proses pengukusan bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70) sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka

  Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung instan mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalorikemasan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung instan juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya proses penggorengan pada mi jagung instan, melainkan hanya proses pengeringan saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu -karoten, lutein, dan zeaxanthin.

  Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian, diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) merancang proses dan formulasi mi jagung basah berbahan dasar tepung jagung varietas srikandi kuning kering panen. Rianto (2006) telah mengoptimasi proses pembuatan mi jagung basah Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian, diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) merancang proses dan formulasi mi jagung basah berbahan dasar tepung jagung varietas srikandi kuning kering panen. Rianto (2006) telah mengoptimasi proses pembuatan mi jagung basah

F. Proses Penggandaan Skala

  Menurut Hulbert (1998), penggandaan skala (scale up) merupakan tindakan menggunakan hasil penelitian yang diperoleh dari laboratorium untuk mendesain prototipe produk dan proses dalam sebuah pilot plant. Pengembangan produk (sumber dan formulasinya), pengujian unit operasi, pengembangan kinerja dari alat, dan penentuan titik kritis proses diperlukan untuk dapat melakukan penggandaan skala. Proses penggandaan skala membutuhkan kekuatan analisis dalam menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan, diantaranya analisis terhadap kondisi operasi, desain, dan proses optimum.

  Pilot plant adalah tipe pabrik berskala lebih kecil dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari skala laboratorium sebelum diterapkan pada skala yang lebih besar, yaitu skala pabrik (industri). Biasanya tahap pilot plant digunakan untuk menguji ide pengembangan produk baru, persediaan pangan baru, atau kondisi operasi yang berbeda. Tahap pilot plant juga digunakan untuk mengevaluasi perkembangan produk, mengurangi biaya, mengatasi permasalahan teknis, dan terhadap produk baru digunakan untuk mengevaluasi ingredien yang diusulkan, variabel proses, proses produksi, studi optimalisasi, dan profil flavor. Produk terpilih dapat digunakan untuk uji pasar, registrasi

  produk, dan panel sensori (Anonim c , 2007).

  Pada tahap pilot plant, proses akan dinilai untuk melihat kemampuannya dalam memenuhi spesifikasi target, karakteristik produk, dan perlutidaknya modifikasi proses sebelum ditransfer ke skala pabrik. Pembangunan pilot plant digunakan untuk mengurangi resiko yang berhubungan dengan konstruksi proses pada pabrik yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada skala pilot plant, perubahan desain dapat dibuat lebih murah Pada tahap pilot plant, proses akan dinilai untuk melihat kemampuannya dalam memenuhi spesifikasi target, karakteristik produk, dan perlutidaknya modifikasi proses sebelum ditransfer ke skala pabrik. Pembangunan pilot plant digunakan untuk mengurangi resiko yang berhubungan dengan konstruksi proses pada pabrik yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada skala pilot plant, perubahan desain dapat dibuat lebih murah

  yang dibutuhkan untuk mendesain pabrik skala besar (Anonim c , 2007).