this PDF file 005PUUIV2006 TENTANG PENGUJIAN UNDANGUNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANGUNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN | SURYANINGSIH | Legal Opinion 1 PB
ASPEK KONSTITUSIONAL PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR: 005/PUU-IV/2006 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN
KEHAKIMAN
INDAH SURYANINGSIH / D 101 13 332
Pembimbing I
Dr. Idham Chalid, S.H., M.H
Pembimbing II
Leli Tibaka, S.H., M.H
ABSTRAK
Latar belakang pemikiran dan dasa r pertimbangan hukum MK dalam
memutus Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 berkaitan dengan hakim konstitusi
yang tidak termasuk dalam objek penga wa san KY adalah tidak konsisten bahkan
inkonstitusional dalam arti tidak ada ketentua n konstitusi yang menguatkan
pendapat tersebut serta tidak mencerminkan prinsip keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum, karena pada hakikatnya penga wa sa n
ditujukan untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Sebagaimana disebutkan Lord Acton, bahwa “power tends to corrupt and
absolute power tends to corrupt absolutely. Artinya, kekuasaan itu cenderung
korup dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup juga secara absolut.
Putusan ideal atas perka ra Nomor 005/PUU-IV/2006 menurut penulis
adalah pertama, menyatakan sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan
dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon (Hakim Agung) tidak memiliki legal
standing atau permohonan pemohon terkait hal tersebut tidak dapat diterima,
sebab tidak ada kerugiaan konstitusional pemohon (Hakim Agung) jika KY
menga wasi hakim konstitusi. Kedua, menyatakan: Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20
UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945; Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf (e), Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 23 a yat (5); Pa sal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan
Pasal 25 ayat (4) UUKY bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Kata kunci : Konstiusional, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
I.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-undang Dasar Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
(selanjutnya disebut UUD NRI 1945)
pada Pasal 1 ayat (3) menegaskan
bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum.
Negara
hukum
Indonesia
sebagaimana dikonsepsikan oleh Moh.
Mahfud MD sebagai sebagai negara
hukum
yang
prismatik,
menggabungkan segi-segi positif antara
rechtstaat dengan kepastian hukumnya
(selanjutnya
dan the rule of la w dengan rasa
menyebutkan bahwa MK memiliki
keadilannya secara integratif. 1
kewenangan sebagai berikut:
Secara
kekuasaan
kosepsional
kehakiman
teoritis,
a.
b.
negara hukum di samping kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Kekuasaan
kehakiman diatur dalam bab tersendiri
c.
dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu
BAB
IX
tentang
Kekuasaan
Kehakiman yang terangkum dalam 5
d.
e.
pasal dan 18 ayat. Pada Pasal 24 UUD
NRI Tahun 1945 disebutkan:
1)
Kekuasaan kehakiman merupa kan
kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan
peradilan
diba wahnya
dalam
lingkungan
peradilan
umum,
lingkungan
peradilan
agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata
usaha
negara,
dan
sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan
dengan
kekua saan
kehakiman diatur dalam undangundang.
Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945
2)
3)
UUMK),
Menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Memutus sengketa kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Memutus
pembubaran
partai
politik; dan
Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum;
Mahkamah
Konstitusi
wajib
memberi putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/ atau
Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana
berat
lainnya,
atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam
Undnag-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945.
Pengujian
undang-undang
merupakan
kekuasaan yang niscaya ada dalam
disebut
(selanjutnya disebut UU) terhadap
Undang-Undang
Dasar
(selanjutnya
disebut UUD), atau dalam bahasa
Inggris disebut judicial review adalah
merupakan akses
bagi
masyarakat
jo. Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003
untuk menguji UU yang merugikan hak
tentang
konstitusionalnya.2 Menurut Martitah,
1
Mahkamah
Konstitusi
Syarif Mappiasse,
Logika Hukum
Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Penamedia Group, 2015., hlm., 17.
2
Hak konstitusional merupakan hak yang
dijamin oleh konstitusi, dalam hal ini UUD
NRI 1945.
fungsi kewenangan tersebut merupakan
upaya untuk mengontrol proses dan
produk
serta
keputusan-keputusan
politik yang hanya mendasarkan diri
pada prinsip “the rule of majority.3
Pengujian UU ini kemudian akan
melahirkan putusan yang menyatakan
bahwa UU yang diuji telah sesuai atau
bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 atau tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat, yang sifatnya
mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia
sejak
putusan
di
bacakan
dalam
persidangan yang terbuka untuk umum.
Putusan sebagaimana dimaksud harus
memperhatikan
sepuluh
rambu
berikut4:
1) MK tidak boleh membuat putusan
yang bersifat mengatur;
2) MK tidak boleh membuat ultra
petita (putusan yang tidak diminta
oleh pemohon);
3) MK tidak boleh menjadikan UU
sebagai dasar pembatalan UU
lainnya;
4) MK tidak boleh mencampuri
masalah-masalah
yang
didelegasikan oleh UUD kepada
lembaga
legislatif
untuk
mengaturnya dengan atau dalam
UU
sesuai
dengan
pilihan
politiknya sendiri;
3
Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari
Negatif Legislature ke Positif Legislature?,
Konpress, Jakarta, 2013, hlm. 2.
4
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum
dalam Kontoversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta
2012, hlm., 281-284.
5) MK tidak boleh mendasarkan pada
teori yang tidak secara jelas dianut
oleh konstitusi, yang harus
menjadi dasar adalah isi UUD NRI
Tahun 1945 dan semua original
intent-nya;
6) MK tidak boleh melanggar asas
nemo judex in causa sua , yakni
memutus hal-hal yang berkaitan
dengan
kepentingan
dirinya
sendiri;
7) Para hakim MK tidak boleh
berbicara atau mengemukakan
opini kepada publik atas kasus
konkret yang sedang diperiksa
MK, termasuk di seminar-seminar
dan pada pidato-pidato resmi.
8) Para hakim MK tidak boleh
mencari-cari
perkara
dengan
menganjurkan siapa pun untuk
mengajukan
gugatan
atau
permohonan ke MK.
9) Para hakim MK tidak boleh secara
proaktif menawarkan diri sebagai
penengah dalam silang sengketa
politik antara lembaga negara atau
antarlembaga-lembaga politik;
10) MK tidak boleh ikut membuat
opini tentang eksistensi atau
tentang baik atau buruknya UUD,
atau apakah UUD yang berlaku itu
perlu diubah atau dipertahankan.
Pengujian UU terhadap UUD
NRI Tahun 1945, hanya akan terjadi
jika ada permohonan dari pemohon,
yaitu orang yang mengajukan perkara
pengujian UU terhadap UUD NRI
Tahun 1945 dengan syarat pemohon
haruslah
orang
atau
badan
yang
mempunyai kedudukan hukum (legal
standing)
dan
konstitusionalnya
menganggap
dirugikan
hak
dengan
berlakunya suatu UU5. Sejak Putusan
tentang
Nomor 006/PUU-III/2005, MK telah
(selanjutnya disbut UUKK) terhadap
menentukan 5 (lima) syarat adanya
UUD
kerugian konstitusional sebagaimana
mengenai pasal-pasal yang berkaitan
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
dengan
UUMK, sebagai berikut6:
pengawasan hakim dan usul penjatuhan
1) Harus ada hak konstitusional
pemohon yang diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945;
2) Hak
konstitusional
tersebut
dianggap
dirugikan
oleh
berlakunya suatu undang-undang;
3) Kerugian
hak
konstitusional
tersebut bersifat spesifik dan
aktual,
atau
setidak-tidaknya
bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
4) Ada hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian hak
konstitusional dengan undangundang
yang
dimohonkan
pengujian;
5) Ada kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak
lagi terjadi.
Putusan MK No. 005/PUU-
sanksi yang diajukan oleh 31 orang
IX/2006 yang merupakan perkara uji
konstitusionalitas UU No. 22 Tahun
2004
tentang
(selanjutnya
Komisi
disebut
Yudisial
UUKY)
dan
Pengujian UU No.4 Tahun 2004
5
Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani,
Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung
2012. hlm., 373.
6
Achmad Edi Subiyato, Yurisprudensi,
Hukum Acara Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Setara Press, Jawa Timur, 2014,
hlm., 306.
Kekuasaan
NRI
Hakim
Tahun
lingkup
Kehakiman
1945,
pengertian
MA dengan
hal-hal
khusus
hakim,
yang
dimonhonkan untuk diputus (petitum)
sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para
Pemohon;
2) Menyatakan Pasal 1 angka 5; Pasal
20; Pasal 21; Pasal 22 ayat (1)
huruf e dan ayat (5); Pasal 23 ayat
(2) dan ayat (3) serta ayat (5),
Pasal 24 ayat (1) dan; Pasal 25
ayat (3) dan ayat (4) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial serta
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan
Kehakiman harus
dinyatakan bertentangan dengan
Pasal 24B dan Pasal 25 UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3) Menyatakan bahwa pasal-pasal
tersebut pada angka 2 di atas tidak
mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat bagi Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi.
Atau mohon putusan yang seadiladilnya.
Putusan MK atas perkara a quo
adalah menyatakan permohonan para
Pemohon dikabulkan untuk sebagian.
MK
menyatakan
menjadi
objek
pasal-pasal
yang
permohonan
para
pemohon
kesemuanya,
sepanjang
kemudian
mengenai
kata-kata
“dan/atau
hakim konstitusi terlibat dalam kasus
tidak
hukum yang mencoreng instansi MK
Mahkamah
Konstitusi”
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memperhatikan 5 (lima) syarat
kerugian
konstitusional
disebutkan
di
berpandangan
Penulis
pemohon
tidak
memenuhi syarat sebagai pemohon
sepanjang menyangkut ketentuan yang
berkaitan dengan hakim konstitusi dan
melihat
latar
belakang
pertimbangan
putusan
melakukan
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1) Apakah latar belakang dan dasar
pertimbangan MK dalam memutus
perkara nomor 005/PUU-IV/2006?
2) Bagaimana putusan yang ideal atas
perkara nomor 005/PUU-IV/2006?
dan dasar
tersebut
dikaitkan dengan sepuluh rambu MK
dalam
beberapa
dan pengadilan.
yang
atas
menyebabkan
pengujian
UU
terhadap UUD NRI Tahun 1945,
menurut
penulis
putusan
tersebut
adalah
tidak
memiliki
dasar
II.
A.
PEMBAHASAN
Latar Belakang dan dasar
pertimbangan
MK
dalam
memutus
perkara
nomor
005/PUU-IV/2006
Pemohon adalah perorangan
Warga
Negara
berprofesi
dan
Indonesia
menduduki
yang
jabatan
konstitusional, melanggar rambu dan
(ambt) sebagai hakim agung, para
syarat
telah
Pemohon memiliki hak konstitusional
disebutkan di atas dan terpenting
yang diberikan oleh UUD NRI Tahun
adalah tidak mencerminkan prinsip
1945, yakni hak kebebasannya sebagai
keadilan,
dan
hakim dalam memeriksa, mengadili,
kemanfaatan sebagai tujuan hukum
dan memutus suatu perkara yang
karena dengan mengecualikan hakim
ditanganinya. Kebebasan/kemerdekaan
konstitusi sebagai bagian dari hakim
institusional
yang diawasi oleh KY adalah bentuk
tercermin dalam kebebasan para hakim
diskriminasi terlebih lagi pengecualian
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
tersebut akan menyebabkan hakim
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi
konstitusi
tidak
terjaga
bahwa hakim adalah pejabat yang
martabat
serta
perilakunya,
konstitusional
kepastian
yang
hukum
keluhuran
yang
melakukan
lembaga
kekuasaan
peradilan
kehakiman
(rechters
van
causa (neimand is geschikt om als
rechterlijke macth ) (Pasal 31 UUKK),
rechter in zijn eigen zaak op te treden)
hakim wajib menjaga kemandirian
yang berarti bahwa tidak seorang pun
peradilan (Pasal 33 UUKK) yang
dapat menjadi hakim dalam perkaranya
secara inheren hakim juga secara
sendiri, tidak dapat diterapkan dalam
individual
kemandiriannya
perkara a quo8 dengan alasan (i) tidak
sebagai hakim, sehingga seorang ketua
ada forum lain yang bisa mengadili
pengadilan
boleh
permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak
mengintervensi hakim yang sedang
boleh menolak mengadili permohonan
menangani perkara.7
yang
als
uitvoerder
menjaga
pun
tidak
diajukan
kepadanya
dengan
Proses peradilan kasus a quo di
alasan tidak ada atau tidak jelas
MK objectum litis-nya adalah masalah
mengenai hukumnya; dan (iii) kasus ini
konstitusionalitas
lebih
merupakan kepentingan konstitusional
menyangkut kepentingan publik yang
bangsa dan negara, bukan semata-mata
dijamin oleh konstitusi sebagai hukum
kepentingan institusi Mahkamah itu
yang tertinggi (supreme la w), bukan
sendiri atau kepentingan perseorangan
semata-mata kepentingan individual.
hakim
Oleh karena itu, dalam kasus a quo,
menjabat.9
UU
yang
dijadikan
alasan
mengesampingkan
untuk
kewajiban
yang
sedang
Pasal 24A ayat (3) UUD NRI
penerapan prinsip imparsialitas tidak
dapat
konstitusi
Tahun 1945 berbunyi, “Calon hakim
agung
diusulkan
konstitusional yang lebih utama untuk
kepada
Dewan
memeriksa dan memutus permohonan
untuk mendapatkan persetujuan dan
a quo. MK menekankan pada fungsi
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
dan
dan
agung oleh Presiden”. Pengaturan yang
dengan
demikian menunjukkan keberadaan KY
tugasnya
mempertahankan
tetap
menjga
mengawal
konstitusi
prinsip
8
itu asas nemo judex idoneus in propia
Mahkamah
Perwakilan
Rakyat
Ibid., hlm. 152-153.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
hlm. 62-63.
9
Putusan
Yudisial
imparsialitas
dalam keseluruhan proses. Oleh karena
7
Komisi
Konstitusi
No.005/PUU-IV/2006, hlm. 155.
RI
dalam sistem ketata negaraan adalah
terkait dengan MA.
Hakim konstitusi pada dasarnya
bukanlah hakim sebagai profesi tetap,
melainkan hakim karena jabatannya.
Hakim konstitusi hanya diangkat untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun dan
setelah tidak lagi menduduki jabatan
Hakim Konstitusi, yang bersangkutan
masing-masing kembali lagi kepada
status profesinya yang semula. Dalam
keseluruhan mekanisme pemilihan dan
pengangkatan para Hakim Konstitusi
diatur dalam UUD NRI Tahun 1945
juga tidak terdapat keterlibatan KY
sama sekali. 11
Ketentuan
memperluas
24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
mencakup perilaku Hakim Konstitusi
mengebiri
menghalang-halangi
kewenagan
dan
pemenuhan
tanggungjawab MK dalam menjaga
konstitusionalitas
Putusan Ideal atas Perkara
Nomor 005/PUU-IV/2006
Legal standing pemohon tidak
terpenuhi terkait permohonan pemohon
atas hakim konstitusi, karena tidak
dapat
dibuktikan
konstitusional
adanya
kerugian
sesuai
syarat
sebagaimana telah disebutkan dimuka
yang bersifat spesifik yang dialami
oleh para Pemohon, selaku Hakim
Agung, sebagai akibat dari berlakunya
ketentuan yang mengatur tentang MK
dan Hakim Konstitusi dalam UUKY.
Sehingga menurut penulis pemohon
tidak
memiliki
mengajukan
legal
standing
permohonan
terkait
dengan hakim konstitusi atau dengan
yang
pengertian perilaku hakim dalam Pasal
dapat
B.
10
mekanisme
hubungan antar lembaga negara yang
kewenanagannya diberikan UUD NRI
Tahun 1945.12
kata lain permohonan terkait MK dan
hakim MK tidak dapat diterima.
Terhadap
alasan
MK
mengesampingkan asas nemo judex
idoneus in propia causa (neimand is
geschikt om als rechter in zijn eigen
zaak op te treden) yang berarti bahwa
tidak seorang pun dapat menjadi hakim
dalam
perkaranya
sendiri,
penulis
berpendapat bahwa benar tidak ada
forum
yang
bisa
mengadili
permohonan ini, tetapi pemerintah dan
10
Putusan Mahkamah Konstitusi
No.005/PUU-IV/2006, hlm. 181.
11
Ibid., hlm. 174.
12
Ibid., hlm. 174-175.
RI
DPR/DPD sebagai pembentu k UU dan
juga bagian dari MPR yang memiliki
kewenangan mengubah UUD NRI bisa
melakukan
hal
menyelesaikan
lain
untuk
persoalan
tersebut.
negara jika diputuskan oleh pejabat
negara
yang
bersangkutan
dengan
Terlebih lagi UUKY dibentuk oleh
kasus tersebut akan dipandang politis.
lembaga
Jika hal ini merupakan kepentingan
legislatif
dan
materinya
merupakan masalah yang didelegasikan
konstitusional
oleh UUD NRI Tahun 1945 kepada
tentulah
lembaga legislatif untuk mengaturnya
pemerintah dalam membentuk UU ini
dengan atau dalam UU sesuai dengan
lebih dahulu menyadarinya. Namun
pilihan
menurut
pada kenyataannya ketentuan pasal
moralitas keadilan. Sehingga MK tidak
yang dimohonkan dalam perkara a quo
boleh mencampurinya apalagi sampai
merupakan suatu kesepakatan tanpa
memutuskan
pertentangan
politiknya
dan
konstitusionalitasnya
bangsa
lembaga
negara
legislatif
dalam
dan
perumusannya.
tanpa dasar yang konstitusional yang
Sehingga
dapat
menyerahkan sepenuhnya kepada DPR
diterima
secara
umum
akan
dan
aman
dan
keempat
kembali UU hasil bentukkannya atau
pelaksanaan
sepuluh
kewenangan
rambu
pengujian
menyerahkan
untuk
jika
sebagaimana disebutkan dalam rambu
dalam
Pemerintah
lebih
kepada
mereview
MPR
untuk
mengubah atau memperjelas maksud
UU terhadap UUD.
Di pengadilan dikenal asas ius
dari ketentuan dalam UUD NRI Tahun
curia novit bahwa hakim tidak boleh
1945 sehingga tidak menimbulkan
menolak perkara, tetapi tetap perlu
penafsiran ganda.
diperhatikan asas nemo judex idoneus
Terhadap pengesampingan asas
in propia causa sebagai bagian yang
tersebut,
Majelis
tidak terpisahkan dalam beracara di
dibentuk
untuk
MK dan pengadilan secara umum.
putusan a quo berpendapat bahwa:
Terlebih asas ini lebih menyelamatkan
hakim
konflik
dari
kepentigan
menguatkan
hakim
kemungkinan
dalam
prinsip
yang
adanya
akan
imparsialitas
memutus
perkara.
Kepentingan konstitusional bangsa dan
eksaminasi
yang
mengeksaminasi
“ Pengesampingan asas ini tidak
memiliki argumentasi hukum yang
kuat karena kewajiban tersebut tidak
boleh dijalankan dengan melanggar
prinsip universalitas hukum acara
(due process) yang mengharuskan
hakim memegang teguh prinsip
keadilan dan imparsialitas. Asas
tersebut berlaku universal, bahkan
telah diatur dalam Pasal 29 ayat (5)
UU No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan
Kehakiman,
yang
menyatakan:
Seorang hakim atau panitera wajib
mengundurkan
diri
dari
persidangan apabila ia mempunyai
kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang
sedang
diperiksa,
baik
atas
kehendaknya sendiri maupun atas
permintaan
pihak
yang
berperkara.”.13
Selanjutnya majelis eksaminasi
menegaskan bahwa:
“ Penyimpangan atas suatu asas
hanya dapat dilakukan jika diatur
secara eksplisit di dalam UU,
misalnya peradilan harus dilakukan
secara terbuka untuk umum, kecuali
undang-undang menentukan lain
(Pasal 19 (1) UU No. 4 tahun 2004).
Ternyata UU MK dan Peraturan MK
Nomor 006/PMK/2005 tentang
hukum
acara
pengujian
undangundang
tidak
mengatur
secara
spesifik
tentang
penyimpangan atas asas dimaksud.
Karena itu MK tidak mempunyai
alasan untuk menyimpang dari asas
tersebut, kecuali bersandar kepada
kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi
perlu dicatat, argumen kekuasaan
demikian berpotensi menimbulkan
13
Usfunan Yohanes, dkk., Eksaminasi
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.
penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power). Akibat lebih lanjut,
pemeriksaan perkara ini sarat
benturan kepentingan (conflict of
interest). Padahal untuk menjaga
prinsip
imparsialitas
hakim
konstitusi harus terbebas dari
benturan
kepentingan
dalam
membuat putusan. Atas dasar
demikian,
karena
mengenyampingkan asas nemo
judex idoneus in propria causa ,
maka hakim konstitusi telah
melakukan judicial misconduct.
Seharusnya hakim konstitusi tidak
memutus permohonan sepanjang
yang menyangkut diri mereka
sendiri. Apalagi Pasal 29 ayat (6)
UU No. 4 tahun 2004 menyatakan:
Dalam hal terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan pada ayat (5),
putusan dinyatakan tidak sah dan
terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi
administratif
atau
dipidana
berdasa rkan
peraturan
perundangundangan.
Artinya, adalah benar seandainya
MK mengabulkan permohonan
”deklarasi” KY yang meminta
hakim konstitusi tidak memutuskan
permohonan yang berkait dengan
hakim konstitusi. Upaya KY
tersebut harus dimaknai positif
sebagai cara untuk membantu hakim
konstitusi
menjaga
prinsip
14
imparsialitasnya.”
Putusan
ini
menimbulkan
005/PUUIV/2006 Pengujian Undang-undang
No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan
diskriminasi terhadap hakim- hakim
Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang
yang
Kekuasaan Kehakiman , (Yogyakarta, Pusat
terhadap
Kajian
martabat serta perilaku hakim adalah
Anti
Korupsi
Fakultas
Hukum,
lain.
Universitas Gajah Madah dan Indonesian
Monitoring Court, 2006) hlm., 2.
14
Ibid.
Sejatinya
pengawasan
kehormatan
keluhuran
bentuk penjagaan dari kemungkinan
Konstitusi, telah berubah menjadi tidak
pelanggaran
termasuk hakim konstitusi. Dua orang
pelaksanaan
tugas
mengadili perkara yang menjadi hak
ahli
konstitusional warga negara. Karena
persidangan permohonan tersebut yang
pada hakikatnya pengawasan oleh KY
mendukung
merupakan bentuk checks and balances
Moh.Mahfud MD dan Deny Indrayana.
dalam
Menurut Mahfud MD :
ketatanegaraan
Indonesia,
dimana setiap lembaga negara ada
sederarat dan saling mengontrol agar
kewenangan yang telag digariskan
dalam UUD NRI Tahun 1945 dpat
dijalankan
sebagaimana
mestinya
bukan untuk mencederai kewenangan
itu sendiri, dalam hal ini independensi
hakim.
Menurut
pertentangan
penulis
yang
tidak
berarti
ada
antara
konsep hakim dengan pasal-pasal yang
dimohonkan, karena cukup jelas halhal berkaitan dengan pengertian hakim,
di dalam UUD NRI Tahun 1945
yang
dihadirkan
pendapat
di
ini
dalam
adalah
“di dalam risalah tanggal 8 Juni
2000, dalam buku kedua jilid tiga
halaman 434, dikatakan “Komisi
Yudisial mengawasi Hakim Agung
dan hakim pada semua tingkatan ”,
dan Ahli juga ingin mengatakan
bahwa
sampai
berakhirnya
perumusan Pasal 24B tersebut tidak
ada satu pun yang membantah di
dalam sidang Panitia Ad hoc
tersebut. Kemudian tanggal 26
September 2000, Zein Badjeber
mengatakan
bahwa
”Komisi
Yudisial bukan hanya menyangkut
Hakim Agung, tapi seluruh ha kim”.
Pernyataan-pernyataan
tersebut
muncul dan tertulis di dalam risalah,
dan sampai akhir persidangan tidak
ada yang membantah.15
Sementara
Deny
Indrayana
terdapat kata “hakim”, “hakim agung”
menjelaskan beberapa cara penafsiran
dan “hakim konstitusi” yang ketiganya
yang digunakan untuk mengetahui
memiliki pengertian dan konteks yang
berbeda
yang
disebutkan
pertama
adalah umum untuk seluruh hakim dan
apakah kata “hakim” itu hanya terbatas
pada hakim di bawah MA atau seluruh
hakim, yaitu :
"melalui penafsiran metode literal
dan legalistik; kaku dan dangkal;
progressif;
mengacu
pada
pengertian sebelumnya
(stare
yang disebutkan selanjutnya ansih pada
hakim dalam masing-masing instansi.
Secara original intent “Hakim” yang
dimaksud dalam pasal tersebut adalah
seluruh
hakim
termasuk
hakim
15
Ibid, Keterangan saksi ahli Moh.Mahfud
MD, pihak yang terkait langsung (Komisi
Yudisial), hlm.108.
decisis); mengacu pada niat
pembuat konstitusi (purposive);
dan
umum
atau
liberal.
Berdasarkan
keenam
metode
tersebut, tidak ada satupun metode
yang dapat dikatakan mendukung
dalil pemohon bahwa kata "hakim"
pada ujung Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 tidak mencakup
pengertian: hakim agung, hakim
konstitusi
dan
hakim
ad
hoc.Berdasarkan metode literal dan
legalistik - terkadang disebut
textualism, "hakim" harus dilihat
sebagai kata pengertian "umum".
Sedangkan "hakim agung", "hakim
konstitusi", "hakim ad hoc",
"hakim kepailitan", "hakim tindak
pidana korupsi" dan jenis hakim
lainnya
adalah
pengertian
"khusus". Artinya, kata "hakim"
mencakup semua jenis hakim
sebagai profesi, tidak terkecuali
hakim agung, hakim konstitusi,
hakim ad hoc dan/atau hakim
apapun yang di masa datang akan
muncul berdasarkan peraturan
perundangan. 16
Lebih lanjut Deny Indrayana
menjelaskan bahwa :
"hakim konstitusi" kata mereka
memang tidak secara jelas dibahas
(di dalam risalah). Namun bukan
berarti bahwa hakim konstitusi
tidak termasuk kata "hakim"
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Tidak dibahasnya hakim konstitusi
itu
lebih
pada
persoalan
sistematika
pembahasan
amandemen UUD 1945 yang tidak
runtut serta tidak pula terencana
16
Ibid. Keterangan saksi ahli Deny
Indrayana, pihak yang terkait langsung
(Komisi Yudisial), hlm.98-100.
secara rapi. Namun jika dilihat di
dalam blue print Mahkamah
Konstitusi juga secara tegas
menyatakan bahwa, "menjadi
penting
bagi
Mahkamah
Konstitusi, untuk memberikan
pengawasan terhadap integritas
dan perilaku hakim kepada pihak
eksternal
yang
memiliki
kewenangan untuk itu. Komisi
Yudisial, secara yuridis memiliki
kewenangan untuk mengawasi
hakim,
baik di lingkungan
peradilan
umum
maupun
Mahkamah Konstitusi." (kursif
penulis).17
Di
dalam
kesimpulan
pendapatnya
Deny
menegaskan
kembali
berdasarkan
Indrayana
bahwa
constitutional
interpretation “hakim” menurut Pasal
24B adalah seluruh hakim,
terkecuali
hakim
agung,
tidak
hakim
konstitusi dan hakim ad hoc. Di dalam
cetak biru Mahkamah Konstitusi secara
eksplisit
MK
sebenarnya
telah
mengakui bahwa Hakim Konstitusi pun
juga merupakan hakim yang menjadi
objek pengawasan Komisi Yudisial.
Hal ini terlihat di dalam Bab IV
Mewujudkan
Akuntabilitas
dan
Transparansi MK bagian B Tujuan
Strategis, MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi memiliki
peran strategis dalam sistem
ketatanegaraan, yang tercermin pada
17
Ibid.
maka sulit diharapkan akan efektif
menjalankan fungsi pengawasan
atas kehormatan hakim agung itu
sendiri, karena kedudukannya yang
tidak independen terhadap subjek
yang akan diawasi. Di samping itu,
jika lembaga ini dibentuk di dalam
struktur MA, maka subjek yang
diawasinya hanya terbatas pada
hakim agung saja. Oleh karena itu,
keberadaan lembaga KY ini
dibentuk tersendiri di luar MA,
sehingga subjek yang diawasinya
dapat diperluas ke semua hakim,
termasuk hakim konstitusi dan
hakim di seluruh Indonesia. (kursif
penulis)
Saksi Patrialis Akbar, sebagai
kewenangan-kewenangan
yang
dimilikinya. Untuk mengimbangi
dan menjaga agar MK
tetap
menjalankan
fungsinya
secara
bertanggung jawab, perlu ada
mekanisme pengawasan terpadu
terhadap MK. Menjadi penting bagi
MK,
untuk
memberikan
pengawasan terhadap integritas dan
perilaku hakim kepada pihak
eksternal
yang
memiliki
kewenangan untuk itu. KY, secara
yuridis memiliki kewenangan untuk
mengawasi
hakim,
baik
di
lingkungan peradilan umum maupun
MK.18
Selain itu dalam menanggapi
kewenangan Komisi Yudisial Jimly
Asshiddiqie19, menyatakan bahwa:
“Dari ketetentuan mengenai KY ini
dapat dipahami bahwa jabatan
hakim dalam konsepsi UUD 1945
dewasa
ini
adalah
jabatan
kehormatan yang perlu dijaga dan
ditegakkan kehormatannya oleh
suatu lembaga yang juga bersifat
mandiri, yaitu KY. Pembentukan
lembaga baru ini dapat dikatakan
merupakan pengembangan lebih
lanjut ide pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Agung yang
sudah berkembang selama ini. Akan
tetapi, jika majelis semacam ini
dibentuk di lingkungan internal MA,
18
Mahkamah
Konstitusi
Republik
Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah
Konstitusi
Sebagai
Institusi
Peradilan
Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya ,
Jakarta, 2005, hlm.121.
19
Jilmy
Asshiddiqie,
Struktur
Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan
Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN
Depkeh & HAM, Denpasar 14-18 Juli 2013,
hlm. 20.
mantan
anggota
Panitia
Ad
Hoc
(selanjutnya disebut PAH) III dan PAH
I
Badan
Permusyawaratan
dengan
Pekerja
Rakyat,
kewenangan
dan
Majelis
terkait
maksud
dibentuknya KY, menyatakan:
“Khusus berkenaan dengan kalimat
"perilaku hakim" dalam kalimat
terakhir Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 tersebut dimaksudkan kepada
perilaku hakim secara menyeluruh
dengan tidak terbatas pada hakim
tertentu saja akan tetapi kepada
seluruh
Hakim
sebagaimana
ditegaskan dalam buku PANDUAN
DALAM MEMASYARAKATKAN
UNDANG UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK TAHUN
1945 yang memuat antara lain
tentang latar belakang, proses dan
hasil UUD 1945 yang dibuat
bersama oleh Pimpinan MPR
bersama Anggota PAH I yang
diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal
MPR RI tahun 2004. Dalam
halaman 195 dan 196 buku tersebut
menuntun para anggota MPR dalam
memasyarakatkan Pasal 24B yang
saksi kutip antara lain sebagai
berikut:
"Adanya ketentuan ini didasari
pemikiran bahwa hakim agung yang
duduk di Mahkamah Agung dan
para hakim merupakan figur-figur
yang sangat menentukan dalam
perjuangan menegakkan hukum dan
keadilan. Apalagi hakim agung
duduk pada tingkat peradilan
tertinggi (puncak) dalam susunan
peradilan di Indonesia sehingga
menjadi tumpuan harapan bagi
pencari keadilan”20
Saksi Sutjipno juga memberikan
keterangan
terkait
maksud
pembentukan KY dan posisinya dalam
ketatanegaraan RI, sebagai berikut:
“ Komisi Yudisial dalam rangka
checks and balances adalah untuk
mengontrol perilaku para hakim
dalam seluruh jajajaran Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Demi menjaga martabat dan
kehormatan hakim keseluruhannya,
maka yang menjadi sasaran utama
KY adalah aspek administratif
personil hakim yaitu para hakim
dalam seluruh jajaran kekuasaan
yudikatif
dan
bukan
aspek
operasional yudikatif;
KY pun juga bukan aparat yudikatif,
KY tidak lain adalah semata-mata
sebagai aparat pengawas atau aparat
kontrol dan penjaga perilaku para
hakim, yang berarti aspek-aspek
administratif personil yudikatif dan
bukan aspek operasional yudikatif
dengan maksud dan tujuan untuk
terpeliharanya
martabat
dan
kehormatan hakim;
KY sengaja dibangun secara ekstra
struktural dengan maksud dan
tujuan pula untuk menjamin adanya
objektifitas pengawasan atau kontrol
terhadap para hakim;
Untuk mencegah timbulnya unsur
subjektifitas yaitu penilaian terhadap
diri sendiri oleh diri sendiri, dan
yang diputuskan oleh diri sendiri
yang berada dalam satu tangan pasti
sangat subjektif sehingga perlu
dibangun secara ekstra struktural
agar terwujud adanya check and
balances
yang
baik
dalam
pelaksanaannya;”21
Sehingga tidak ada perbedaan
antara semua hakim, karena secara
umum dan yuridis, hakim berarti pihak
yang menjadi juri atau pengadil dalam
suatu perkara apapun itu. Sedangkan
hakim dalam konteks pelaku kekuasaan
kehakiman adalah semua hakim dalam
semua instansi kekuasaan kehakiman
dan badan peradilan di bawahnya, yaitu
hakim agung, hakim pengadilan negeri,
hakim
pengadilan
tinggi,
hakim
konstitusi dan hakim ad hoc tanpa
memperhatikan
masa
jabatannya
sebagai hakim.
Permasalahan penting yang perlu
dibahas dalam UUKY tersebut adalah
mengenai
kejelasan
bagaimana
perilaku hakim yang akan diawasi dan
20
Putusan Mahkamah Konstitusi RI
No.005/PUU-IV/2006, hlm., 53-54.
21
Ibid. hlm., 56-57.
tata cara pengawasan hakim yang
merupakan wujud dari kewenangan
KY“ dalam Menjaga dan menegakkan
keluhuran
martabat,
serta
perilaku
hakim” yang menurut penulis kurang
jelas. Menurut penulis putusan ideal
atas perkara
a quo adalah sebagai
berikut:
MENGADILI
1) Menyatakan
sepanjang
menyangkut
ketentuan
yang
berkaitan
dengan
Hakim
Konstitusi, para Pemohon tidak
memiliki legal standing dan
Permohonan terkait hal tersebut
tidak dapat diterima, karena tidak
ada kerugian hak atau kewenangan
konstitusional
yang
bersifat
spesifik yang dialami oleh para
Pemohon, selaku Hakim Agung,
sebagai akibat dari berlakunya
ketentuan yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi dan Hakim
Konstitusi dalam UU RI No. 22
Tahun 2004 tentang KY (LN-RI
Tahun 2004 No.89, Tambahan LNRI No.4415).
2) Menyatakan permohonan para
Pemohon
dikabulkan
untuk
sebagian;
3) Menyatakan:
a. Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20
UU RI No. 22 Tahun 2004
tentang KY (LN-RI Tahun 2004
No.89,
Tambahan
LN-RI
No.4415) tidak bertentangan
dengan UUD Negara RI Tahun
1945;
b. Pasal 21, Pasal 22 ayat (1)
huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal
23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3),
Pasal 23 ayat (5); Pasal 24 ayat
4)
5)
6)
7)
(1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25
ayat (4), UU RI No. 22 Tahun
2004 tentang KY (LN-RI Tahun
2004 No.89, Tambahan LN-RI
No.4415), bertentangan dengan
UUD Negara RI Tahun 1945;
c. Pasal 34 ayat (3), yang
berbunyi,
”Dalam
rangka
menjaga
kehormatan,
keluhuran
martabat
serta
perilaku hakim agung dan
hakim, penga wasan dilakukan
oleh KY yang diatur dalam
UU”, UU RI No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman
(LN-RI Tahun 2004 No.8,
Tambahan LN-RI No. 4358),
tidak bertentangan dengan
UUD Negara RI Tahun 1945;
Menyatakan Pasal-pasal di dalam
kedua UU tersebut di atas yang
dinyatakan tidak bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945
tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan Pasal-pasal di dalam
UU RI No. 22 Tahun 2004 tentang
KY (LN-RI Tahun 2004 No.89,
Tambahan LN-RI No.4415) yang
dinyatakan bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945 tidak
mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat;
Memerintahkan kepada Panitera
Mahkamah untuk memuat amar
putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
Menolak
permohonan
untuk
selebihnya.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penulis atas
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006
penulis menarik kesimpulan sebagai
Konstitusi, para Pemohon (Hakim
berikut:
Agung)
1) Latar belakang pemikiran dan
standing
tidak
memiliki
atau
legal
permohonan
dasar pertimbangan hukum MK
pemohon terkait hal tersebut tidak
dalam memutus Perkara Nomor
dapat diterima, sebab tidak ada
005/PUU-IV/2006
kerugiaan konstitusional pemohon
berkaitan
dengan hakim konstitusi yang
(Hakim
tidak
termasuk
Agung)
jika
KY
dalam
objek
mengawasi
adalah
tidak
Kedua , menyatakan: Pasal 1 angka
konsisten bahkan inkonstitusional
5 dan Pasal 20 UUKY dan Pasal
dalam arti tidak ada ketentuan
34
konstitusi
yang
menguatkan
bertentangan dengan UUD NRI
pendapat
tersebut
serta
tidak
Tahun 1945; Pasal 21, Pasal 22
mencerminkan prinsip keadilan,
ayat (1) huruf (e), Pasal 22 ayat
kepastian hukum dan kemanfaatan
(5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat
sebagai tujuan hukum, karena pada
(3) dan Pasal 23 ayat (5); Pasal 24
hakikatnya pengawasan ditujukan
ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan
untuk menjaga agar tidak terjadi
Pasal
penyalahgunaan
bertentangan dengan UUD NRI
pengawasan
KY
kewenangan.
Sebagaimana disebutkan
Acton, bahwa
Lord
“power tends to
corrupt and absolute power tends
to corrupt absolutely. Artinya,
kekuasaan itu cenderung korup dan
kekuasaan yang absolut, maka
akan korup juga secara absolut.
2) Putusan ideal atas perkara Nomor
005/PUU-IV/2006 menurut penulis
adalah
pertama ,
menyatakan
sepanjang menyangkut ketentuan
yang berkaitan dengan Hakim
hakim
ayat
(3)
25
ayat
konstitusi.
UUKK
(4)
tidak
UUKY
Tahun 1945.
B. Saran
1) Dalam mengadili perkara, MK
harus berpedoman pada Pancasila,
UUD NRI Tahun 1945 dan ketiga
tujuan hukum,
yaitu keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan.
2) Perlunya
penguatan
atas
kewenangan KY dalam konstitusi
sebagai
satu-satunya
lembaga
pengawas kehormatan, keluhuran
martabat
serta perilaku
hakim
tanpa ada pengecualian terhadap
hakim tertentu untuk tidak diawasi
dengan
alasan
apapun,
pembentukkan pedoman perilaku
hakim
yang
secara
umum
melingkupi semua hakim, serta
pelengkapan segala kekuarangan
dalam UUKY.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-Buku
Achmad Edi Subiyato, Yurisprudensi, Hukum Acara Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Jawa Timur, 2014.
Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negatif Legislature ke Positif
Legislature?, Konpress, Jakarta, 2013.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontoversi Isu, Rajawali
Pers, Jakarta 2012.
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Penamedia Group, 2015.
Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung 2012.
B.
Jurnal/ Makalah
Jilmy Asshiddiqie, Struktur Ketatanega raan Indonesia setelah Perubaha n
Keempat UUD Tahun 1945 , Makalah Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang
Modern Dan Terpercaya , Jakarta, 2005.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Usfunan Yohanes, dkk., Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.
005/PUUIV/2006 Pengujian Undang-undang No. 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang No. 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman , (Yogyakarta, Pusat Kajian Anti
Korupsi Fakultas Hukum, Universitas Gajah Madah dan Indonesia n
Monitoring Court, 2006).
C.
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentag
Kekuasaan Kahakiman
INDAH SURYANINGSIH, lahir di Sidole, 24 September 1996, Alamat Rumah
Jl. Lasaginti, No. 224 Desa Sidole Barat Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi
Moutong,
Nomor
Telepon
indahhukum332@gmail.com
+6282344966496
Alamat
Email
NOMOR: 005/PUU-IV/2006 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN
KEHAKIMAN
INDAH SURYANINGSIH / D 101 13 332
Pembimbing I
Dr. Idham Chalid, S.H., M.H
Pembimbing II
Leli Tibaka, S.H., M.H
ABSTRAK
Latar belakang pemikiran dan dasa r pertimbangan hukum MK dalam
memutus Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 berkaitan dengan hakim konstitusi
yang tidak termasuk dalam objek penga wa san KY adalah tidak konsisten bahkan
inkonstitusional dalam arti tidak ada ketentua n konstitusi yang menguatkan
pendapat tersebut serta tidak mencerminkan prinsip keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum, karena pada hakikatnya penga wa sa n
ditujukan untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Sebagaimana disebutkan Lord Acton, bahwa “power tends to corrupt and
absolute power tends to corrupt absolutely. Artinya, kekuasaan itu cenderung
korup dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup juga secara absolut.
Putusan ideal atas perka ra Nomor 005/PUU-IV/2006 menurut penulis
adalah pertama, menyatakan sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan
dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon (Hakim Agung) tidak memiliki legal
standing atau permohonan pemohon terkait hal tersebut tidak dapat diterima,
sebab tidak ada kerugiaan konstitusional pemohon (Hakim Agung) jika KY
menga wasi hakim konstitusi. Kedua, menyatakan: Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20
UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945; Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf (e), Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 23 a yat (5); Pa sal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan
Pasal 25 ayat (4) UUKY bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Kata kunci : Konstiusional, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
I.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-undang Dasar Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
(selanjutnya disebut UUD NRI 1945)
pada Pasal 1 ayat (3) menegaskan
bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum.
Negara
hukum
Indonesia
sebagaimana dikonsepsikan oleh Moh.
Mahfud MD sebagai sebagai negara
hukum
yang
prismatik,
menggabungkan segi-segi positif antara
rechtstaat dengan kepastian hukumnya
(selanjutnya
dan the rule of la w dengan rasa
menyebutkan bahwa MK memiliki
keadilannya secara integratif. 1
kewenangan sebagai berikut:
Secara
kekuasaan
kosepsional
kehakiman
teoritis,
a.
b.
negara hukum di samping kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Kekuasaan
kehakiman diatur dalam bab tersendiri
c.
dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu
BAB
IX
tentang
Kekuasaan
Kehakiman yang terangkum dalam 5
d.
e.
pasal dan 18 ayat. Pada Pasal 24 UUD
NRI Tahun 1945 disebutkan:
1)
Kekuasaan kehakiman merupa kan
kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan
peradilan
diba wahnya
dalam
lingkungan
peradilan
umum,
lingkungan
peradilan
agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata
usaha
negara,
dan
sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan
dengan
kekua saan
kehakiman diatur dalam undangundang.
Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945
2)
3)
UUMK),
Menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Memutus sengketa kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Memutus
pembubaran
partai
politik; dan
Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum;
Mahkamah
Konstitusi
wajib
memberi putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/ atau
Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana
berat
lainnya,
atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam
Undnag-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945.
Pengujian
undang-undang
merupakan
kekuasaan yang niscaya ada dalam
disebut
(selanjutnya disebut UU) terhadap
Undang-Undang
Dasar
(selanjutnya
disebut UUD), atau dalam bahasa
Inggris disebut judicial review adalah
merupakan akses
bagi
masyarakat
jo. Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003
untuk menguji UU yang merugikan hak
tentang
konstitusionalnya.2 Menurut Martitah,
1
Mahkamah
Konstitusi
Syarif Mappiasse,
Logika Hukum
Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Penamedia Group, 2015., hlm., 17.
2
Hak konstitusional merupakan hak yang
dijamin oleh konstitusi, dalam hal ini UUD
NRI 1945.
fungsi kewenangan tersebut merupakan
upaya untuk mengontrol proses dan
produk
serta
keputusan-keputusan
politik yang hanya mendasarkan diri
pada prinsip “the rule of majority.3
Pengujian UU ini kemudian akan
melahirkan putusan yang menyatakan
bahwa UU yang diuji telah sesuai atau
bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 atau tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat, yang sifatnya
mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia
sejak
putusan
di
bacakan
dalam
persidangan yang terbuka untuk umum.
Putusan sebagaimana dimaksud harus
memperhatikan
sepuluh
rambu
berikut4:
1) MK tidak boleh membuat putusan
yang bersifat mengatur;
2) MK tidak boleh membuat ultra
petita (putusan yang tidak diminta
oleh pemohon);
3) MK tidak boleh menjadikan UU
sebagai dasar pembatalan UU
lainnya;
4) MK tidak boleh mencampuri
masalah-masalah
yang
didelegasikan oleh UUD kepada
lembaga
legislatif
untuk
mengaturnya dengan atau dalam
UU
sesuai
dengan
pilihan
politiknya sendiri;
3
Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari
Negatif Legislature ke Positif Legislature?,
Konpress, Jakarta, 2013, hlm. 2.
4
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum
dalam Kontoversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta
2012, hlm., 281-284.
5) MK tidak boleh mendasarkan pada
teori yang tidak secara jelas dianut
oleh konstitusi, yang harus
menjadi dasar adalah isi UUD NRI
Tahun 1945 dan semua original
intent-nya;
6) MK tidak boleh melanggar asas
nemo judex in causa sua , yakni
memutus hal-hal yang berkaitan
dengan
kepentingan
dirinya
sendiri;
7) Para hakim MK tidak boleh
berbicara atau mengemukakan
opini kepada publik atas kasus
konkret yang sedang diperiksa
MK, termasuk di seminar-seminar
dan pada pidato-pidato resmi.
8) Para hakim MK tidak boleh
mencari-cari
perkara
dengan
menganjurkan siapa pun untuk
mengajukan
gugatan
atau
permohonan ke MK.
9) Para hakim MK tidak boleh secara
proaktif menawarkan diri sebagai
penengah dalam silang sengketa
politik antara lembaga negara atau
antarlembaga-lembaga politik;
10) MK tidak boleh ikut membuat
opini tentang eksistensi atau
tentang baik atau buruknya UUD,
atau apakah UUD yang berlaku itu
perlu diubah atau dipertahankan.
Pengujian UU terhadap UUD
NRI Tahun 1945, hanya akan terjadi
jika ada permohonan dari pemohon,
yaitu orang yang mengajukan perkara
pengujian UU terhadap UUD NRI
Tahun 1945 dengan syarat pemohon
haruslah
orang
atau
badan
yang
mempunyai kedudukan hukum (legal
standing)
dan
konstitusionalnya
menganggap
dirugikan
hak
dengan
berlakunya suatu UU5. Sejak Putusan
tentang
Nomor 006/PUU-III/2005, MK telah
(selanjutnya disbut UUKK) terhadap
menentukan 5 (lima) syarat adanya
UUD
kerugian konstitusional sebagaimana
mengenai pasal-pasal yang berkaitan
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
dengan
UUMK, sebagai berikut6:
pengawasan hakim dan usul penjatuhan
1) Harus ada hak konstitusional
pemohon yang diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945;
2) Hak
konstitusional
tersebut
dianggap
dirugikan
oleh
berlakunya suatu undang-undang;
3) Kerugian
hak
konstitusional
tersebut bersifat spesifik dan
aktual,
atau
setidak-tidaknya
bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
4) Ada hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian hak
konstitusional dengan undangundang
yang
dimohonkan
pengujian;
5) Ada kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak
lagi terjadi.
Putusan MK No. 005/PUU-
sanksi yang diajukan oleh 31 orang
IX/2006 yang merupakan perkara uji
konstitusionalitas UU No. 22 Tahun
2004
tentang
(selanjutnya
Komisi
disebut
Yudisial
UUKY)
dan
Pengujian UU No.4 Tahun 2004
5
Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani,
Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung
2012. hlm., 373.
6
Achmad Edi Subiyato, Yurisprudensi,
Hukum Acara Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Setara Press, Jawa Timur, 2014,
hlm., 306.
Kekuasaan
NRI
Hakim
Tahun
lingkup
Kehakiman
1945,
pengertian
MA dengan
hal-hal
khusus
hakim,
yang
dimonhonkan untuk diputus (petitum)
sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para
Pemohon;
2) Menyatakan Pasal 1 angka 5; Pasal
20; Pasal 21; Pasal 22 ayat (1)
huruf e dan ayat (5); Pasal 23 ayat
(2) dan ayat (3) serta ayat (5),
Pasal 24 ayat (1) dan; Pasal 25
ayat (3) dan ayat (4) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial serta
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan
Kehakiman harus
dinyatakan bertentangan dengan
Pasal 24B dan Pasal 25 UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3) Menyatakan bahwa pasal-pasal
tersebut pada angka 2 di atas tidak
mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat bagi Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi.
Atau mohon putusan yang seadiladilnya.
Putusan MK atas perkara a quo
adalah menyatakan permohonan para
Pemohon dikabulkan untuk sebagian.
MK
menyatakan
menjadi
objek
pasal-pasal
yang
permohonan
para
pemohon
kesemuanya,
sepanjang
kemudian
mengenai
kata-kata
“dan/atau
hakim konstitusi terlibat dalam kasus
tidak
hukum yang mencoreng instansi MK
Mahkamah
Konstitusi”
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memperhatikan 5 (lima) syarat
kerugian
konstitusional
disebutkan
di
berpandangan
Penulis
pemohon
tidak
memenuhi syarat sebagai pemohon
sepanjang menyangkut ketentuan yang
berkaitan dengan hakim konstitusi dan
melihat
latar
belakang
pertimbangan
putusan
melakukan
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1) Apakah latar belakang dan dasar
pertimbangan MK dalam memutus
perkara nomor 005/PUU-IV/2006?
2) Bagaimana putusan yang ideal atas
perkara nomor 005/PUU-IV/2006?
dan dasar
tersebut
dikaitkan dengan sepuluh rambu MK
dalam
beberapa
dan pengadilan.
yang
atas
menyebabkan
pengujian
UU
terhadap UUD NRI Tahun 1945,
menurut
penulis
putusan
tersebut
adalah
tidak
memiliki
dasar
II.
A.
PEMBAHASAN
Latar Belakang dan dasar
pertimbangan
MK
dalam
memutus
perkara
nomor
005/PUU-IV/2006
Pemohon adalah perorangan
Warga
Negara
berprofesi
dan
Indonesia
menduduki
yang
jabatan
konstitusional, melanggar rambu dan
(ambt) sebagai hakim agung, para
syarat
telah
Pemohon memiliki hak konstitusional
disebutkan di atas dan terpenting
yang diberikan oleh UUD NRI Tahun
adalah tidak mencerminkan prinsip
1945, yakni hak kebebasannya sebagai
keadilan,
dan
hakim dalam memeriksa, mengadili,
kemanfaatan sebagai tujuan hukum
dan memutus suatu perkara yang
karena dengan mengecualikan hakim
ditanganinya. Kebebasan/kemerdekaan
konstitusi sebagai bagian dari hakim
institusional
yang diawasi oleh KY adalah bentuk
tercermin dalam kebebasan para hakim
diskriminasi terlebih lagi pengecualian
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
tersebut akan menyebabkan hakim
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi
konstitusi
tidak
terjaga
bahwa hakim adalah pejabat yang
martabat
serta
perilakunya,
konstitusional
kepastian
yang
hukum
keluhuran
yang
melakukan
lembaga
kekuasaan
peradilan
kehakiman
(rechters
van
causa (neimand is geschikt om als
rechterlijke macth ) (Pasal 31 UUKK),
rechter in zijn eigen zaak op te treden)
hakim wajib menjaga kemandirian
yang berarti bahwa tidak seorang pun
peradilan (Pasal 33 UUKK) yang
dapat menjadi hakim dalam perkaranya
secara inheren hakim juga secara
sendiri, tidak dapat diterapkan dalam
individual
kemandiriannya
perkara a quo8 dengan alasan (i) tidak
sebagai hakim, sehingga seorang ketua
ada forum lain yang bisa mengadili
pengadilan
boleh
permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak
mengintervensi hakim yang sedang
boleh menolak mengadili permohonan
menangani perkara.7
yang
als
uitvoerder
menjaga
pun
tidak
diajukan
kepadanya
dengan
Proses peradilan kasus a quo di
alasan tidak ada atau tidak jelas
MK objectum litis-nya adalah masalah
mengenai hukumnya; dan (iii) kasus ini
konstitusionalitas
lebih
merupakan kepentingan konstitusional
menyangkut kepentingan publik yang
bangsa dan negara, bukan semata-mata
dijamin oleh konstitusi sebagai hukum
kepentingan institusi Mahkamah itu
yang tertinggi (supreme la w), bukan
sendiri atau kepentingan perseorangan
semata-mata kepentingan individual.
hakim
Oleh karena itu, dalam kasus a quo,
menjabat.9
UU
yang
dijadikan
alasan
mengesampingkan
untuk
kewajiban
yang
sedang
Pasal 24A ayat (3) UUD NRI
penerapan prinsip imparsialitas tidak
dapat
konstitusi
Tahun 1945 berbunyi, “Calon hakim
agung
diusulkan
konstitusional yang lebih utama untuk
kepada
Dewan
memeriksa dan memutus permohonan
untuk mendapatkan persetujuan dan
a quo. MK menekankan pada fungsi
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
dan
dan
agung oleh Presiden”. Pengaturan yang
dengan
demikian menunjukkan keberadaan KY
tugasnya
mempertahankan
tetap
menjga
mengawal
konstitusi
prinsip
8
itu asas nemo judex idoneus in propia
Mahkamah
Perwakilan
Rakyat
Ibid., hlm. 152-153.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
hlm. 62-63.
9
Putusan
Yudisial
imparsialitas
dalam keseluruhan proses. Oleh karena
7
Komisi
Konstitusi
No.005/PUU-IV/2006, hlm. 155.
RI
dalam sistem ketata negaraan adalah
terkait dengan MA.
Hakim konstitusi pada dasarnya
bukanlah hakim sebagai profesi tetap,
melainkan hakim karena jabatannya.
Hakim konstitusi hanya diangkat untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun dan
setelah tidak lagi menduduki jabatan
Hakim Konstitusi, yang bersangkutan
masing-masing kembali lagi kepada
status profesinya yang semula. Dalam
keseluruhan mekanisme pemilihan dan
pengangkatan para Hakim Konstitusi
diatur dalam UUD NRI Tahun 1945
juga tidak terdapat keterlibatan KY
sama sekali. 11
Ketentuan
memperluas
24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
mencakup perilaku Hakim Konstitusi
mengebiri
menghalang-halangi
kewenagan
dan
pemenuhan
tanggungjawab MK dalam menjaga
konstitusionalitas
Putusan Ideal atas Perkara
Nomor 005/PUU-IV/2006
Legal standing pemohon tidak
terpenuhi terkait permohonan pemohon
atas hakim konstitusi, karena tidak
dapat
dibuktikan
konstitusional
adanya
kerugian
sesuai
syarat
sebagaimana telah disebutkan dimuka
yang bersifat spesifik yang dialami
oleh para Pemohon, selaku Hakim
Agung, sebagai akibat dari berlakunya
ketentuan yang mengatur tentang MK
dan Hakim Konstitusi dalam UUKY.
Sehingga menurut penulis pemohon
tidak
memiliki
mengajukan
legal
standing
permohonan
terkait
dengan hakim konstitusi atau dengan
yang
pengertian perilaku hakim dalam Pasal
dapat
B.
10
mekanisme
hubungan antar lembaga negara yang
kewenanagannya diberikan UUD NRI
Tahun 1945.12
kata lain permohonan terkait MK dan
hakim MK tidak dapat diterima.
Terhadap
alasan
MK
mengesampingkan asas nemo judex
idoneus in propia causa (neimand is
geschikt om als rechter in zijn eigen
zaak op te treden) yang berarti bahwa
tidak seorang pun dapat menjadi hakim
dalam
perkaranya
sendiri,
penulis
berpendapat bahwa benar tidak ada
forum
yang
bisa
mengadili
permohonan ini, tetapi pemerintah dan
10
Putusan Mahkamah Konstitusi
No.005/PUU-IV/2006, hlm. 181.
11
Ibid., hlm. 174.
12
Ibid., hlm. 174-175.
RI
DPR/DPD sebagai pembentu k UU dan
juga bagian dari MPR yang memiliki
kewenangan mengubah UUD NRI bisa
melakukan
hal
menyelesaikan
lain
untuk
persoalan
tersebut.
negara jika diputuskan oleh pejabat
negara
yang
bersangkutan
dengan
Terlebih lagi UUKY dibentuk oleh
kasus tersebut akan dipandang politis.
lembaga
Jika hal ini merupakan kepentingan
legislatif
dan
materinya
merupakan masalah yang didelegasikan
konstitusional
oleh UUD NRI Tahun 1945 kepada
tentulah
lembaga legislatif untuk mengaturnya
pemerintah dalam membentuk UU ini
dengan atau dalam UU sesuai dengan
lebih dahulu menyadarinya. Namun
pilihan
menurut
pada kenyataannya ketentuan pasal
moralitas keadilan. Sehingga MK tidak
yang dimohonkan dalam perkara a quo
boleh mencampurinya apalagi sampai
merupakan suatu kesepakatan tanpa
memutuskan
pertentangan
politiknya
dan
konstitusionalitasnya
bangsa
lembaga
negara
legislatif
dalam
dan
perumusannya.
tanpa dasar yang konstitusional yang
Sehingga
dapat
menyerahkan sepenuhnya kepada DPR
diterima
secara
umum
akan
dan
aman
dan
keempat
kembali UU hasil bentukkannya atau
pelaksanaan
sepuluh
kewenangan
rambu
pengujian
menyerahkan
untuk
jika
sebagaimana disebutkan dalam rambu
dalam
Pemerintah
lebih
kepada
mereview
MPR
untuk
mengubah atau memperjelas maksud
UU terhadap UUD.
Di pengadilan dikenal asas ius
dari ketentuan dalam UUD NRI Tahun
curia novit bahwa hakim tidak boleh
1945 sehingga tidak menimbulkan
menolak perkara, tetapi tetap perlu
penafsiran ganda.
diperhatikan asas nemo judex idoneus
Terhadap pengesampingan asas
in propia causa sebagai bagian yang
tersebut,
Majelis
tidak terpisahkan dalam beracara di
dibentuk
untuk
MK dan pengadilan secara umum.
putusan a quo berpendapat bahwa:
Terlebih asas ini lebih menyelamatkan
hakim
konflik
dari
kepentigan
menguatkan
hakim
kemungkinan
dalam
prinsip
yang
adanya
akan
imparsialitas
memutus
perkara.
Kepentingan konstitusional bangsa dan
eksaminasi
yang
mengeksaminasi
“ Pengesampingan asas ini tidak
memiliki argumentasi hukum yang
kuat karena kewajiban tersebut tidak
boleh dijalankan dengan melanggar
prinsip universalitas hukum acara
(due process) yang mengharuskan
hakim memegang teguh prinsip
keadilan dan imparsialitas. Asas
tersebut berlaku universal, bahkan
telah diatur dalam Pasal 29 ayat (5)
UU No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan
Kehakiman,
yang
menyatakan:
Seorang hakim atau panitera wajib
mengundurkan
diri
dari
persidangan apabila ia mempunyai
kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang
sedang
diperiksa,
baik
atas
kehendaknya sendiri maupun atas
permintaan
pihak
yang
berperkara.”.13
Selanjutnya majelis eksaminasi
menegaskan bahwa:
“ Penyimpangan atas suatu asas
hanya dapat dilakukan jika diatur
secara eksplisit di dalam UU,
misalnya peradilan harus dilakukan
secara terbuka untuk umum, kecuali
undang-undang menentukan lain
(Pasal 19 (1) UU No. 4 tahun 2004).
Ternyata UU MK dan Peraturan MK
Nomor 006/PMK/2005 tentang
hukum
acara
pengujian
undangundang
tidak
mengatur
secara
spesifik
tentang
penyimpangan atas asas dimaksud.
Karena itu MK tidak mempunyai
alasan untuk menyimpang dari asas
tersebut, kecuali bersandar kepada
kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi
perlu dicatat, argumen kekuasaan
demikian berpotensi menimbulkan
13
Usfunan Yohanes, dkk., Eksaminasi
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.
penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power). Akibat lebih lanjut,
pemeriksaan perkara ini sarat
benturan kepentingan (conflict of
interest). Padahal untuk menjaga
prinsip
imparsialitas
hakim
konstitusi harus terbebas dari
benturan
kepentingan
dalam
membuat putusan. Atas dasar
demikian,
karena
mengenyampingkan asas nemo
judex idoneus in propria causa ,
maka hakim konstitusi telah
melakukan judicial misconduct.
Seharusnya hakim konstitusi tidak
memutus permohonan sepanjang
yang menyangkut diri mereka
sendiri. Apalagi Pasal 29 ayat (6)
UU No. 4 tahun 2004 menyatakan:
Dalam hal terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan pada ayat (5),
putusan dinyatakan tidak sah dan
terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi
administratif
atau
dipidana
berdasa rkan
peraturan
perundangundangan.
Artinya, adalah benar seandainya
MK mengabulkan permohonan
”deklarasi” KY yang meminta
hakim konstitusi tidak memutuskan
permohonan yang berkait dengan
hakim konstitusi. Upaya KY
tersebut harus dimaknai positif
sebagai cara untuk membantu hakim
konstitusi
menjaga
prinsip
14
imparsialitasnya.”
Putusan
ini
menimbulkan
005/PUUIV/2006 Pengujian Undang-undang
No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan
diskriminasi terhadap hakim- hakim
Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang
yang
Kekuasaan Kehakiman , (Yogyakarta, Pusat
terhadap
Kajian
martabat serta perilaku hakim adalah
Anti
Korupsi
Fakultas
Hukum,
lain.
Universitas Gajah Madah dan Indonesian
Monitoring Court, 2006) hlm., 2.
14
Ibid.
Sejatinya
pengawasan
kehormatan
keluhuran
bentuk penjagaan dari kemungkinan
Konstitusi, telah berubah menjadi tidak
pelanggaran
termasuk hakim konstitusi. Dua orang
pelaksanaan
tugas
mengadili perkara yang menjadi hak
ahli
konstitusional warga negara. Karena
persidangan permohonan tersebut yang
pada hakikatnya pengawasan oleh KY
mendukung
merupakan bentuk checks and balances
Moh.Mahfud MD dan Deny Indrayana.
dalam
Menurut Mahfud MD :
ketatanegaraan
Indonesia,
dimana setiap lembaga negara ada
sederarat dan saling mengontrol agar
kewenangan yang telag digariskan
dalam UUD NRI Tahun 1945 dpat
dijalankan
sebagaimana
mestinya
bukan untuk mencederai kewenangan
itu sendiri, dalam hal ini independensi
hakim.
Menurut
pertentangan
penulis
yang
tidak
berarti
ada
antara
konsep hakim dengan pasal-pasal yang
dimohonkan, karena cukup jelas halhal berkaitan dengan pengertian hakim,
di dalam UUD NRI Tahun 1945
yang
dihadirkan
pendapat
di
ini
dalam
adalah
“di dalam risalah tanggal 8 Juni
2000, dalam buku kedua jilid tiga
halaman 434, dikatakan “Komisi
Yudisial mengawasi Hakim Agung
dan hakim pada semua tingkatan ”,
dan Ahli juga ingin mengatakan
bahwa
sampai
berakhirnya
perumusan Pasal 24B tersebut tidak
ada satu pun yang membantah di
dalam sidang Panitia Ad hoc
tersebut. Kemudian tanggal 26
September 2000, Zein Badjeber
mengatakan
bahwa
”Komisi
Yudisial bukan hanya menyangkut
Hakim Agung, tapi seluruh ha kim”.
Pernyataan-pernyataan
tersebut
muncul dan tertulis di dalam risalah,
dan sampai akhir persidangan tidak
ada yang membantah.15
Sementara
Deny
Indrayana
terdapat kata “hakim”, “hakim agung”
menjelaskan beberapa cara penafsiran
dan “hakim konstitusi” yang ketiganya
yang digunakan untuk mengetahui
memiliki pengertian dan konteks yang
berbeda
yang
disebutkan
pertama
adalah umum untuk seluruh hakim dan
apakah kata “hakim” itu hanya terbatas
pada hakim di bawah MA atau seluruh
hakim, yaitu :
"melalui penafsiran metode literal
dan legalistik; kaku dan dangkal;
progressif;
mengacu
pada
pengertian sebelumnya
(stare
yang disebutkan selanjutnya ansih pada
hakim dalam masing-masing instansi.
Secara original intent “Hakim” yang
dimaksud dalam pasal tersebut adalah
seluruh
hakim
termasuk
hakim
15
Ibid, Keterangan saksi ahli Moh.Mahfud
MD, pihak yang terkait langsung (Komisi
Yudisial), hlm.108.
decisis); mengacu pada niat
pembuat konstitusi (purposive);
dan
umum
atau
liberal.
Berdasarkan
keenam
metode
tersebut, tidak ada satupun metode
yang dapat dikatakan mendukung
dalil pemohon bahwa kata "hakim"
pada ujung Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 tidak mencakup
pengertian: hakim agung, hakim
konstitusi
dan
hakim
ad
hoc.Berdasarkan metode literal dan
legalistik - terkadang disebut
textualism, "hakim" harus dilihat
sebagai kata pengertian "umum".
Sedangkan "hakim agung", "hakim
konstitusi", "hakim ad hoc",
"hakim kepailitan", "hakim tindak
pidana korupsi" dan jenis hakim
lainnya
adalah
pengertian
"khusus". Artinya, kata "hakim"
mencakup semua jenis hakim
sebagai profesi, tidak terkecuali
hakim agung, hakim konstitusi,
hakim ad hoc dan/atau hakim
apapun yang di masa datang akan
muncul berdasarkan peraturan
perundangan. 16
Lebih lanjut Deny Indrayana
menjelaskan bahwa :
"hakim konstitusi" kata mereka
memang tidak secara jelas dibahas
(di dalam risalah). Namun bukan
berarti bahwa hakim konstitusi
tidak termasuk kata "hakim"
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Tidak dibahasnya hakim konstitusi
itu
lebih
pada
persoalan
sistematika
pembahasan
amandemen UUD 1945 yang tidak
runtut serta tidak pula terencana
16
Ibid. Keterangan saksi ahli Deny
Indrayana, pihak yang terkait langsung
(Komisi Yudisial), hlm.98-100.
secara rapi. Namun jika dilihat di
dalam blue print Mahkamah
Konstitusi juga secara tegas
menyatakan bahwa, "menjadi
penting
bagi
Mahkamah
Konstitusi, untuk memberikan
pengawasan terhadap integritas
dan perilaku hakim kepada pihak
eksternal
yang
memiliki
kewenangan untuk itu. Komisi
Yudisial, secara yuridis memiliki
kewenangan untuk mengawasi
hakim,
baik di lingkungan
peradilan
umum
maupun
Mahkamah Konstitusi." (kursif
penulis).17
Di
dalam
kesimpulan
pendapatnya
Deny
menegaskan
kembali
berdasarkan
Indrayana
bahwa
constitutional
interpretation “hakim” menurut Pasal
24B adalah seluruh hakim,
terkecuali
hakim
agung,
tidak
hakim
konstitusi dan hakim ad hoc. Di dalam
cetak biru Mahkamah Konstitusi secara
eksplisit
MK
sebenarnya
telah
mengakui bahwa Hakim Konstitusi pun
juga merupakan hakim yang menjadi
objek pengawasan Komisi Yudisial.
Hal ini terlihat di dalam Bab IV
Mewujudkan
Akuntabilitas
dan
Transparansi MK bagian B Tujuan
Strategis, MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi memiliki
peran strategis dalam sistem
ketatanegaraan, yang tercermin pada
17
Ibid.
maka sulit diharapkan akan efektif
menjalankan fungsi pengawasan
atas kehormatan hakim agung itu
sendiri, karena kedudukannya yang
tidak independen terhadap subjek
yang akan diawasi. Di samping itu,
jika lembaga ini dibentuk di dalam
struktur MA, maka subjek yang
diawasinya hanya terbatas pada
hakim agung saja. Oleh karena itu,
keberadaan lembaga KY ini
dibentuk tersendiri di luar MA,
sehingga subjek yang diawasinya
dapat diperluas ke semua hakim,
termasuk hakim konstitusi dan
hakim di seluruh Indonesia. (kursif
penulis)
Saksi Patrialis Akbar, sebagai
kewenangan-kewenangan
yang
dimilikinya. Untuk mengimbangi
dan menjaga agar MK
tetap
menjalankan
fungsinya
secara
bertanggung jawab, perlu ada
mekanisme pengawasan terpadu
terhadap MK. Menjadi penting bagi
MK,
untuk
memberikan
pengawasan terhadap integritas dan
perilaku hakim kepada pihak
eksternal
yang
memiliki
kewenangan untuk itu. KY, secara
yuridis memiliki kewenangan untuk
mengawasi
hakim,
baik
di
lingkungan peradilan umum maupun
MK.18
Selain itu dalam menanggapi
kewenangan Komisi Yudisial Jimly
Asshiddiqie19, menyatakan bahwa:
“Dari ketetentuan mengenai KY ini
dapat dipahami bahwa jabatan
hakim dalam konsepsi UUD 1945
dewasa
ini
adalah
jabatan
kehormatan yang perlu dijaga dan
ditegakkan kehormatannya oleh
suatu lembaga yang juga bersifat
mandiri, yaitu KY. Pembentukan
lembaga baru ini dapat dikatakan
merupakan pengembangan lebih
lanjut ide pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Agung yang
sudah berkembang selama ini. Akan
tetapi, jika majelis semacam ini
dibentuk di lingkungan internal MA,
18
Mahkamah
Konstitusi
Republik
Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah
Konstitusi
Sebagai
Institusi
Peradilan
Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya ,
Jakarta, 2005, hlm.121.
19
Jilmy
Asshiddiqie,
Struktur
Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan
Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN
Depkeh & HAM, Denpasar 14-18 Juli 2013,
hlm. 20.
mantan
anggota
Panitia
Ad
Hoc
(selanjutnya disebut PAH) III dan PAH
I
Badan
Permusyawaratan
dengan
Pekerja
Rakyat,
kewenangan
dan
Majelis
terkait
maksud
dibentuknya KY, menyatakan:
“Khusus berkenaan dengan kalimat
"perilaku hakim" dalam kalimat
terakhir Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 tersebut dimaksudkan kepada
perilaku hakim secara menyeluruh
dengan tidak terbatas pada hakim
tertentu saja akan tetapi kepada
seluruh
Hakim
sebagaimana
ditegaskan dalam buku PANDUAN
DALAM MEMASYARAKATKAN
UNDANG UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK TAHUN
1945 yang memuat antara lain
tentang latar belakang, proses dan
hasil UUD 1945 yang dibuat
bersama oleh Pimpinan MPR
bersama Anggota PAH I yang
diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal
MPR RI tahun 2004. Dalam
halaman 195 dan 196 buku tersebut
menuntun para anggota MPR dalam
memasyarakatkan Pasal 24B yang
saksi kutip antara lain sebagai
berikut:
"Adanya ketentuan ini didasari
pemikiran bahwa hakim agung yang
duduk di Mahkamah Agung dan
para hakim merupakan figur-figur
yang sangat menentukan dalam
perjuangan menegakkan hukum dan
keadilan. Apalagi hakim agung
duduk pada tingkat peradilan
tertinggi (puncak) dalam susunan
peradilan di Indonesia sehingga
menjadi tumpuan harapan bagi
pencari keadilan”20
Saksi Sutjipno juga memberikan
keterangan
terkait
maksud
pembentukan KY dan posisinya dalam
ketatanegaraan RI, sebagai berikut:
“ Komisi Yudisial dalam rangka
checks and balances adalah untuk
mengontrol perilaku para hakim
dalam seluruh jajajaran Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Demi menjaga martabat dan
kehormatan hakim keseluruhannya,
maka yang menjadi sasaran utama
KY adalah aspek administratif
personil hakim yaitu para hakim
dalam seluruh jajaran kekuasaan
yudikatif
dan
bukan
aspek
operasional yudikatif;
KY pun juga bukan aparat yudikatif,
KY tidak lain adalah semata-mata
sebagai aparat pengawas atau aparat
kontrol dan penjaga perilaku para
hakim, yang berarti aspek-aspek
administratif personil yudikatif dan
bukan aspek operasional yudikatif
dengan maksud dan tujuan untuk
terpeliharanya
martabat
dan
kehormatan hakim;
KY sengaja dibangun secara ekstra
struktural dengan maksud dan
tujuan pula untuk menjamin adanya
objektifitas pengawasan atau kontrol
terhadap para hakim;
Untuk mencegah timbulnya unsur
subjektifitas yaitu penilaian terhadap
diri sendiri oleh diri sendiri, dan
yang diputuskan oleh diri sendiri
yang berada dalam satu tangan pasti
sangat subjektif sehingga perlu
dibangun secara ekstra struktural
agar terwujud adanya check and
balances
yang
baik
dalam
pelaksanaannya;”21
Sehingga tidak ada perbedaan
antara semua hakim, karena secara
umum dan yuridis, hakim berarti pihak
yang menjadi juri atau pengadil dalam
suatu perkara apapun itu. Sedangkan
hakim dalam konteks pelaku kekuasaan
kehakiman adalah semua hakim dalam
semua instansi kekuasaan kehakiman
dan badan peradilan di bawahnya, yaitu
hakim agung, hakim pengadilan negeri,
hakim
pengadilan
tinggi,
hakim
konstitusi dan hakim ad hoc tanpa
memperhatikan
masa
jabatannya
sebagai hakim.
Permasalahan penting yang perlu
dibahas dalam UUKY tersebut adalah
mengenai
kejelasan
bagaimana
perilaku hakim yang akan diawasi dan
20
Putusan Mahkamah Konstitusi RI
No.005/PUU-IV/2006, hlm., 53-54.
21
Ibid. hlm., 56-57.
tata cara pengawasan hakim yang
merupakan wujud dari kewenangan
KY“ dalam Menjaga dan menegakkan
keluhuran
martabat,
serta
perilaku
hakim” yang menurut penulis kurang
jelas. Menurut penulis putusan ideal
atas perkara
a quo adalah sebagai
berikut:
MENGADILI
1) Menyatakan
sepanjang
menyangkut
ketentuan
yang
berkaitan
dengan
Hakim
Konstitusi, para Pemohon tidak
memiliki legal standing dan
Permohonan terkait hal tersebut
tidak dapat diterima, karena tidak
ada kerugian hak atau kewenangan
konstitusional
yang
bersifat
spesifik yang dialami oleh para
Pemohon, selaku Hakim Agung,
sebagai akibat dari berlakunya
ketentuan yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi dan Hakim
Konstitusi dalam UU RI No. 22
Tahun 2004 tentang KY (LN-RI
Tahun 2004 No.89, Tambahan LNRI No.4415).
2) Menyatakan permohonan para
Pemohon
dikabulkan
untuk
sebagian;
3) Menyatakan:
a. Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20
UU RI No. 22 Tahun 2004
tentang KY (LN-RI Tahun 2004
No.89,
Tambahan
LN-RI
No.4415) tidak bertentangan
dengan UUD Negara RI Tahun
1945;
b. Pasal 21, Pasal 22 ayat (1)
huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal
23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3),
Pasal 23 ayat (5); Pasal 24 ayat
4)
5)
6)
7)
(1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25
ayat (4), UU RI No. 22 Tahun
2004 tentang KY (LN-RI Tahun
2004 No.89, Tambahan LN-RI
No.4415), bertentangan dengan
UUD Negara RI Tahun 1945;
c. Pasal 34 ayat (3), yang
berbunyi,
”Dalam
rangka
menjaga
kehormatan,
keluhuran
martabat
serta
perilaku hakim agung dan
hakim, penga wasan dilakukan
oleh KY yang diatur dalam
UU”, UU RI No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman
(LN-RI Tahun 2004 No.8,
Tambahan LN-RI No. 4358),
tidak bertentangan dengan
UUD Negara RI Tahun 1945;
Menyatakan Pasal-pasal di dalam
kedua UU tersebut di atas yang
dinyatakan tidak bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945
tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan Pasal-pasal di dalam
UU RI No. 22 Tahun 2004 tentang
KY (LN-RI Tahun 2004 No.89,
Tambahan LN-RI No.4415) yang
dinyatakan bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945 tidak
mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat;
Memerintahkan kepada Panitera
Mahkamah untuk memuat amar
putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
Menolak
permohonan
untuk
selebihnya.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penulis atas
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006
penulis menarik kesimpulan sebagai
Konstitusi, para Pemohon (Hakim
berikut:
Agung)
1) Latar belakang pemikiran dan
standing
tidak
memiliki
atau
legal
permohonan
dasar pertimbangan hukum MK
pemohon terkait hal tersebut tidak
dalam memutus Perkara Nomor
dapat diterima, sebab tidak ada
005/PUU-IV/2006
kerugiaan konstitusional pemohon
berkaitan
dengan hakim konstitusi yang
(Hakim
tidak
termasuk
Agung)
jika
KY
dalam
objek
mengawasi
adalah
tidak
Kedua , menyatakan: Pasal 1 angka
konsisten bahkan inkonstitusional
5 dan Pasal 20 UUKY dan Pasal
dalam arti tidak ada ketentuan
34
konstitusi
yang
menguatkan
bertentangan dengan UUD NRI
pendapat
tersebut
serta
tidak
Tahun 1945; Pasal 21, Pasal 22
mencerminkan prinsip keadilan,
ayat (1) huruf (e), Pasal 22 ayat
kepastian hukum dan kemanfaatan
(5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat
sebagai tujuan hukum, karena pada
(3) dan Pasal 23 ayat (5); Pasal 24
hakikatnya pengawasan ditujukan
ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan
untuk menjaga agar tidak terjadi
Pasal
penyalahgunaan
bertentangan dengan UUD NRI
pengawasan
KY
kewenangan.
Sebagaimana disebutkan
Acton, bahwa
Lord
“power tends to
corrupt and absolute power tends
to corrupt absolutely. Artinya,
kekuasaan itu cenderung korup dan
kekuasaan yang absolut, maka
akan korup juga secara absolut.
2) Putusan ideal atas perkara Nomor
005/PUU-IV/2006 menurut penulis
adalah
pertama ,
menyatakan
sepanjang menyangkut ketentuan
yang berkaitan dengan Hakim
hakim
ayat
(3)
25
ayat
konstitusi.
UUKK
(4)
tidak
UUKY
Tahun 1945.
B. Saran
1) Dalam mengadili perkara, MK
harus berpedoman pada Pancasila,
UUD NRI Tahun 1945 dan ketiga
tujuan hukum,
yaitu keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan.
2) Perlunya
penguatan
atas
kewenangan KY dalam konstitusi
sebagai
satu-satunya
lembaga
pengawas kehormatan, keluhuran
martabat
serta perilaku
hakim
tanpa ada pengecualian terhadap
hakim tertentu untuk tidak diawasi
dengan
alasan
apapun,
pembentukkan pedoman perilaku
hakim
yang
secara
umum
melingkupi semua hakim, serta
pelengkapan segala kekuarangan
dalam UUKY.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-Buku
Achmad Edi Subiyato, Yurisprudensi, Hukum Acara Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Jawa Timur, 2014.
Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negatif Legislature ke Positif
Legislature?, Konpress, Jakarta, 2013.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontoversi Isu, Rajawali
Pers, Jakarta 2012.
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Penamedia Group, 2015.
Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung 2012.
B.
Jurnal/ Makalah
Jilmy Asshiddiqie, Struktur Ketatanega raan Indonesia setelah Perubaha n
Keempat UUD Tahun 1945 , Makalah Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang
Modern Dan Terpercaya , Jakarta, 2005.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Usfunan Yohanes, dkk., Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.
005/PUUIV/2006 Pengujian Undang-undang No. 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang No. 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman , (Yogyakarta, Pusat Kajian Anti
Korupsi Fakultas Hukum, Universitas Gajah Madah dan Indonesia n
Monitoring Court, 2006).
C.
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentag
Kekuasaan Kahakiman
INDAH SURYANINGSIH, lahir di Sidole, 24 September 1996, Alamat Rumah
Jl. Lasaginti, No. 224 Desa Sidole Barat Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi
Moutong,
Nomor
Telepon
indahhukum332@gmail.com
+6282344966496
Alamat