this PDF file 005PUUIV2006 TENTANG PENGUJIAN UNDANGUNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANGUNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN | SURYANINGSIH | Legal Opinion 1 PB

ASPEK KONSTITUSIONAL PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR: 005/PUU-IV/2006 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN
KEHAKIMAN
INDAH SURYANINGSIH / D 101 13 332
Pembimbing I
Dr. Idham Chalid, S.H., M.H
Pembimbing II
Leli Tibaka, S.H., M.H
ABSTRAK
Latar belakang pemikiran dan dasa r pertimbangan hukum MK dalam
memutus Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 berkaitan dengan hakim konstitusi
yang tidak termasuk dalam objek penga wa san KY adalah tidak konsisten bahkan
inkonstitusional dalam arti tidak ada ketentua n konstitusi yang menguatkan
pendapat tersebut serta tidak mencerminkan prinsip keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum, karena pada hakikatnya penga wa sa n
ditujukan untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Sebagaimana disebutkan Lord Acton, bahwa “power tends to corrupt and
absolute power tends to corrupt absolutely. Artinya, kekuasaan itu cenderung
korup dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup juga secara absolut.

Putusan ideal atas perka ra Nomor 005/PUU-IV/2006 menurut penulis
adalah pertama, menyatakan sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan
dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon (Hakim Agung) tidak memiliki legal
standing atau permohonan pemohon terkait hal tersebut tidak dapat diterima,
sebab tidak ada kerugiaan konstitusional pemohon (Hakim Agung) jika KY
menga wasi hakim konstitusi. Kedua, menyatakan: Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20
UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945; Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf (e), Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 23 a yat (5); Pa sal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan
Pasal 25 ayat (4) UUKY bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Kata kunci : Konstiusional, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
I.
A.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-undang Dasar Negara

Republik


Indonesia

Tahun

1945

(selanjutnya disebut UUD NRI 1945)
pada Pasal 1 ayat (3) menegaskan

bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum.

Negara

hukum

Indonesia

sebagaimana dikonsepsikan oleh Moh.

Mahfud MD sebagai sebagai negara
hukum

yang

prismatik,

menggabungkan segi-segi positif antara

rechtstaat dengan kepastian hukumnya

(selanjutnya

dan the rule of la w dengan rasa

menyebutkan bahwa MK memiliki

keadilannya secara integratif. 1

kewenangan sebagai berikut:


Secara
kekuasaan

kosepsional
kehakiman

teoritis,

a.

b.

negara hukum di samping kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Kekuasaan
kehakiman diatur dalam bab tersendiri

c.

dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu

BAB

IX

tentang

Kekuasaan

Kehakiman yang terangkum dalam 5

d.
e.

pasal dan 18 ayat. Pada Pasal 24 UUD
NRI Tahun 1945 disebutkan:
1)

Kekuasaan kehakiman merupa kan
kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan
peradilan
diba wahnya
dalam
lingkungan
peradilan
umum,
lingkungan
peradilan
agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata
usaha
negara,
dan
sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Badan-badan lain yang fungsinya

berkaitan
dengan
kekua saan
kehakiman diatur dalam undangundang.
Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945

2)

3)

UUMK),

Menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Memutus sengketa kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Memutus
pembubaran
partai
politik; dan
Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum;
Mahkamah
Konstitusi
wajib
memberi putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/ atau
Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana
berat
lainnya,

atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam
Undnag-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945.
Pengujian
undang-undang

merupakan

kekuasaan yang niscaya ada dalam

disebut

(selanjutnya disebut UU) terhadap
Undang-Undang

Dasar


(selanjutnya

disebut UUD), atau dalam bahasa
Inggris disebut judicial review adalah
merupakan akses

bagi

masyarakat

jo. Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003

untuk menguji UU yang merugikan hak

tentang

konstitusionalnya.2 Menurut Martitah,

1


Mahkamah

Konstitusi

Syarif Mappiasse,
Logika Hukum
Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Penamedia Group, 2015., hlm., 17.

2

Hak konstitusional merupakan hak yang
dijamin oleh konstitusi, dalam hal ini UUD
NRI 1945.

fungsi kewenangan tersebut merupakan
upaya untuk mengontrol proses dan
produk

serta

keputusan-keputusan

politik yang hanya mendasarkan diri
pada prinsip “the rule of majority.3
Pengujian UU ini kemudian akan
melahirkan putusan yang menyatakan
bahwa UU yang diuji telah sesuai atau
bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 atau tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat, yang sifatnya
mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia
sejak

putusan

di

bacakan

dalam

persidangan yang terbuka untuk umum.
Putusan sebagaimana dimaksud harus
memperhatikan

sepuluh

rambu

berikut4:
1) MK tidak boleh membuat putusan
yang bersifat mengatur;
2) MK tidak boleh membuat ultra
petita (putusan yang tidak diminta
oleh pemohon);
3) MK tidak boleh menjadikan UU
sebagai dasar pembatalan UU
lainnya;
4) MK tidak boleh mencampuri
masalah-masalah
yang
didelegasikan oleh UUD kepada
lembaga
legislatif
untuk
mengaturnya dengan atau dalam
UU
sesuai
dengan
pilihan
politiknya sendiri;
3

Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari
Negatif Legislature ke Positif Legislature?,
Konpress, Jakarta, 2013, hlm. 2.
4
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum
dalam Kontoversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta
2012, hlm., 281-284.

5) MK tidak boleh mendasarkan pada
teori yang tidak secara jelas dianut
oleh konstitusi, yang harus
menjadi dasar adalah isi UUD NRI
Tahun 1945 dan semua original
intent-nya;
6) MK tidak boleh melanggar asas
nemo judex in causa sua , yakni
memutus hal-hal yang berkaitan
dengan
kepentingan
dirinya
sendiri;
7) Para hakim MK tidak boleh
berbicara atau mengemukakan
opini kepada publik atas kasus
konkret yang sedang diperiksa
MK, termasuk di seminar-seminar
dan pada pidato-pidato resmi.
8) Para hakim MK tidak boleh
mencari-cari
perkara
dengan
menganjurkan siapa pun untuk
mengajukan
gugatan
atau
permohonan ke MK.
9) Para hakim MK tidak boleh secara
proaktif menawarkan diri sebagai
penengah dalam silang sengketa
politik antara lembaga negara atau
antarlembaga-lembaga politik;
10) MK tidak boleh ikut membuat
opini tentang eksistensi atau
tentang baik atau buruknya UUD,
atau apakah UUD yang berlaku itu
perlu diubah atau dipertahankan.
Pengujian UU terhadap UUD
NRI Tahun 1945, hanya akan terjadi
jika ada permohonan dari pemohon,
yaitu orang yang mengajukan perkara
pengujian UU terhadap UUD NRI
Tahun 1945 dengan syarat pemohon
haruslah

orang

atau

badan

yang

mempunyai kedudukan hukum (legal
standing)

dan

konstitusionalnya

menganggap
dirugikan

hak

dengan

berlakunya suatu UU5. Sejak Putusan

tentang

Nomor 006/PUU-III/2005, MK telah

(selanjutnya disbut UUKK) terhadap

menentukan 5 (lima) syarat adanya

UUD

kerugian konstitusional sebagaimana

mengenai pasal-pasal yang berkaitan

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)

dengan

UUMK, sebagai berikut6:

pengawasan hakim dan usul penjatuhan

1) Harus ada hak konstitusional
pemohon yang diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945;
2) Hak
konstitusional
tersebut
dianggap
dirugikan
oleh
berlakunya suatu undang-undang;
3) Kerugian
hak
konstitusional
tersebut bersifat spesifik dan
aktual,
atau
setidak-tidaknya
bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
4) Ada hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian hak
konstitusional dengan undangundang
yang
dimohonkan
pengujian;
5) Ada kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak konstitusional yang
didalilkan tidak akan atau tidak
lagi terjadi.
Putusan MK No. 005/PUU-

sanksi yang diajukan oleh 31 orang

IX/2006 yang merupakan perkara uji
konstitusionalitas UU No. 22 Tahun
2004

tentang

(selanjutnya

Komisi

disebut

Yudisial

UUKY)

dan

Pengujian UU No.4 Tahun 2004
5

Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani,
Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung
2012. hlm., 373.
6
Achmad Edi Subiyato, Yurisprudensi,
Hukum Acara Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Setara Press, Jawa Timur, 2014,
hlm., 306.

Kekuasaan

NRI

Hakim

Tahun

lingkup

Kehakiman

1945,

pengertian

MA dengan

hal-hal

khusus

hakim,

yang

dimonhonkan untuk diputus (petitum)
sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para
Pemohon;
2) Menyatakan Pasal 1 angka 5; Pasal
20; Pasal 21; Pasal 22 ayat (1)
huruf e dan ayat (5); Pasal 23 ayat
(2) dan ayat (3) serta ayat (5),
Pasal 24 ayat (1) dan; Pasal 25
ayat (3) dan ayat (4) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial serta
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan
Kehakiman harus
dinyatakan bertentangan dengan
Pasal 24B dan Pasal 25 UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3) Menyatakan bahwa pasal-pasal
tersebut pada angka 2 di atas tidak
mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat bagi Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi.
Atau mohon putusan yang seadiladilnya.
Putusan MK atas perkara a quo
adalah menyatakan permohonan para
Pemohon dikabulkan untuk sebagian.
MK

menyatakan

menjadi

objek

pasal-pasal

yang

permohonan

para

pemohon

kesemuanya,

sepanjang

kemudian

mengenai

kata-kata

“dan/atau

hakim konstitusi terlibat dalam kasus

tidak

hukum yang mencoreng instansi MK

Mahkamah

Konstitusi”

mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memperhatikan 5 (lima) syarat
kerugian

konstitusional

disebutkan

di

berpandangan

Penulis

pemohon

tidak

memenuhi syarat sebagai pemohon
sepanjang menyangkut ketentuan yang
berkaitan dengan hakim konstitusi dan
melihat

latar

belakang

pertimbangan

putusan

melakukan

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang

telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1) Apakah latar belakang dan dasar
pertimbangan MK dalam memutus
perkara nomor 005/PUU-IV/2006?
2) Bagaimana putusan yang ideal atas
perkara nomor 005/PUU-IV/2006?

dan dasar
tersebut

dikaitkan dengan sepuluh rambu MK
dalam

beberapa

dan pengadilan.

yang

atas

menyebabkan

pengujian

UU

terhadap UUD NRI Tahun 1945,
menurut

penulis

putusan

tersebut

adalah

tidak

memiliki

dasar

II.
A.

PEMBAHASAN
Latar Belakang dan dasar
pertimbangan
MK
dalam
memutus
perkara
nomor
005/PUU-IV/2006
Pemohon adalah perorangan

Warga

Negara

berprofesi

dan

Indonesia
menduduki

yang
jabatan

konstitusional, melanggar rambu dan

(ambt) sebagai hakim agung, para

syarat

telah

Pemohon memiliki hak konstitusional

disebutkan di atas dan terpenting

yang diberikan oleh UUD NRI Tahun

adalah tidak mencerminkan prinsip

1945, yakni hak kebebasannya sebagai

keadilan,

dan

hakim dalam memeriksa, mengadili,

kemanfaatan sebagai tujuan hukum

dan memutus suatu perkara yang

karena dengan mengecualikan hakim

ditanganinya. Kebebasan/kemerdekaan

konstitusi sebagai bagian dari hakim

institusional

yang diawasi oleh KY adalah bentuk

tercermin dalam kebebasan para hakim

diskriminasi terlebih lagi pengecualian

sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.

tersebut akan menyebabkan hakim

Oleh karena itu, sebagai konsekuensi

konstitusi

tidak

terjaga

bahwa hakim adalah pejabat yang

martabat

serta

perilakunya,

konstitusional

kepastian

yang

hukum

keluhuran
yang

melakukan

lembaga

kekuasaan

peradilan

kehakiman

(rechters

van

causa (neimand is geschikt om als

rechterlijke macth ) (Pasal 31 UUKK),

rechter in zijn eigen zaak op te treden)

hakim wajib menjaga kemandirian

yang berarti bahwa tidak seorang pun

peradilan (Pasal 33 UUKK) yang

dapat menjadi hakim dalam perkaranya

secara inheren hakim juga secara

sendiri, tidak dapat diterapkan dalam

individual

kemandiriannya

perkara a quo8 dengan alasan (i) tidak

sebagai hakim, sehingga seorang ketua

ada forum lain yang bisa mengadili

pengadilan

boleh

permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak

mengintervensi hakim yang sedang

boleh menolak mengadili permohonan

menangani perkara.7

yang

als

uitvoerder

menjaga

pun

tidak

diajukan

kepadanya

dengan

Proses peradilan kasus a quo di

alasan tidak ada atau tidak jelas

MK objectum litis-nya adalah masalah

mengenai hukumnya; dan (iii) kasus ini

konstitusionalitas

lebih

merupakan kepentingan konstitusional

menyangkut kepentingan publik yang

bangsa dan negara, bukan semata-mata

dijamin oleh konstitusi sebagai hukum

kepentingan institusi Mahkamah itu

yang tertinggi (supreme la w), bukan

sendiri atau kepentingan perseorangan

semata-mata kepentingan individual.

hakim

Oleh karena itu, dalam kasus a quo,

menjabat.9

UU

yang

dijadikan

alasan

mengesampingkan

untuk

kewajiban

yang

sedang

Pasal 24A ayat (3) UUD NRI

penerapan prinsip imparsialitas tidak
dapat

konstitusi

Tahun 1945 berbunyi, “Calon hakim
agung

diusulkan

konstitusional yang lebih utama untuk

kepada

Dewan

memeriksa dan memutus permohonan

untuk mendapatkan persetujuan dan

a quo. MK menekankan pada fungsi

selanjutnya ditetapkan sebagai hakim

dan

dan

agung oleh Presiden”. Pengaturan yang

dengan

demikian menunjukkan keberadaan KY

tugasnya

mempertahankan
tetap

menjga

mengawal
konstitusi
prinsip

8

itu asas nemo judex idoneus in propia
Mahkamah

Perwakilan

Rakyat

Ibid., hlm. 152-153.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
hlm. 62-63.
9

Putusan

Yudisial

imparsialitas

dalam keseluruhan proses. Oleh karena

7

Komisi

Konstitusi

No.005/PUU-IV/2006, hlm. 155.

RI

dalam sistem ketata negaraan adalah
terkait dengan MA.

Hakim konstitusi pada dasarnya
bukanlah hakim sebagai profesi tetap,
melainkan hakim karena jabatannya.
Hakim konstitusi hanya diangkat untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun dan
setelah tidak lagi menduduki jabatan
Hakim Konstitusi, yang bersangkutan
masing-masing kembali lagi kepada
status profesinya yang semula. Dalam
keseluruhan mekanisme pemilihan dan
pengangkatan para Hakim Konstitusi
diatur dalam UUD NRI Tahun 1945
juga tidak terdapat keterlibatan KY
sama sekali. 11
Ketentuan

memperluas

24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
mencakup perilaku Hakim Konstitusi
mengebiri

menghalang-halangi

kewenagan

dan

pemenuhan

tanggungjawab MK dalam menjaga
konstitusionalitas

Putusan Ideal atas Perkara
Nomor 005/PUU-IV/2006
Legal standing pemohon tidak

terpenuhi terkait permohonan pemohon
atas hakim konstitusi, karena tidak
dapat

dibuktikan

konstitusional

adanya

kerugian

sesuai

syarat

sebagaimana telah disebutkan dimuka
yang bersifat spesifik yang dialami
oleh para Pemohon, selaku Hakim
Agung, sebagai akibat dari berlakunya
ketentuan yang mengatur tentang MK
dan Hakim Konstitusi dalam UUKY.
Sehingga menurut penulis pemohon
tidak

memiliki

mengajukan

legal

standing

permohonan

terkait

dengan hakim konstitusi atau dengan
yang

pengertian perilaku hakim dalam Pasal

dapat

B.

10

mekanisme

hubungan antar lembaga negara yang
kewenanagannya diberikan UUD NRI
Tahun 1945.12

kata lain permohonan terkait MK dan
hakim MK tidak dapat diterima.
Terhadap

alasan

MK

mengesampingkan asas nemo judex
idoneus in propia causa (neimand is
geschikt om als rechter in zijn eigen
zaak op te treden) yang berarti bahwa

tidak seorang pun dapat menjadi hakim
dalam

perkaranya

sendiri,

penulis

berpendapat bahwa benar tidak ada
forum

yang

bisa

mengadili

permohonan ini, tetapi pemerintah dan
10

Putusan Mahkamah Konstitusi
No.005/PUU-IV/2006, hlm. 181.
11
Ibid., hlm. 174.
12
Ibid., hlm. 174-175.

RI

DPR/DPD sebagai pembentu k UU dan
juga bagian dari MPR yang memiliki
kewenangan mengubah UUD NRI bisa

melakukan

hal

menyelesaikan

lain

untuk

persoalan

tersebut.

negara jika diputuskan oleh pejabat
negara

yang

bersangkutan

dengan

Terlebih lagi UUKY dibentuk oleh

kasus tersebut akan dipandang politis.

lembaga

Jika hal ini merupakan kepentingan

legislatif

dan

materinya

merupakan masalah yang didelegasikan

konstitusional

oleh UUD NRI Tahun 1945 kepada

tentulah

lembaga legislatif untuk mengaturnya

pemerintah dalam membentuk UU ini

dengan atau dalam UU sesuai dengan

lebih dahulu menyadarinya. Namun

pilihan

menurut

pada kenyataannya ketentuan pasal

moralitas keadilan. Sehingga MK tidak

yang dimohonkan dalam perkara a quo

boleh mencampurinya apalagi sampai

merupakan suatu kesepakatan tanpa

memutuskan

pertentangan

politiknya

dan

konstitusionalitasnya

bangsa

lembaga

negara

legislatif

dalam

dan

perumusannya.

tanpa dasar yang konstitusional yang

Sehingga

dapat

menyerahkan sepenuhnya kepada DPR

diterima

secara

umum

akan

dan

aman

dan

keempat

kembali UU hasil bentukkannya atau

pelaksanaan

sepuluh

kewenangan

rambu
pengujian

menyerahkan

untuk

jika

sebagaimana disebutkan dalam rambu
dalam

Pemerintah

lebih

kepada

mereview

MPR

untuk

mengubah atau memperjelas maksud

UU terhadap UUD.
Di pengadilan dikenal asas ius

dari ketentuan dalam UUD NRI Tahun

curia novit bahwa hakim tidak boleh

1945 sehingga tidak menimbulkan

menolak perkara, tetapi tetap perlu

penafsiran ganda.

diperhatikan asas nemo judex idoneus

Terhadap pengesampingan asas

in propia causa sebagai bagian yang

tersebut,

Majelis

tidak terpisahkan dalam beracara di

dibentuk

untuk

MK dan pengadilan secara umum.

putusan a quo berpendapat bahwa:

Terlebih asas ini lebih menyelamatkan
hakim
konflik

dari

kepentigan

menguatkan
hakim

kemungkinan

dalam

prinsip

yang

adanya
akan

imparsialitas

memutus

perkara.

Kepentingan konstitusional bangsa dan

eksaminasi

yang

mengeksaminasi

“ Pengesampingan asas ini tidak
memiliki argumentasi hukum yang
kuat karena kewajiban tersebut tidak
boleh dijalankan dengan melanggar
prinsip universalitas hukum acara
(due process) yang mengharuskan
hakim memegang teguh prinsip
keadilan dan imparsialitas. Asas
tersebut berlaku universal, bahkan

telah diatur dalam Pasal 29 ayat (5)
UU No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan
Kehakiman,
yang
menyatakan:
Seorang hakim atau panitera wajib
mengundurkan
diri
dari
persidangan apabila ia mempunyai
kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang
sedang
diperiksa,
baik
atas
kehendaknya sendiri maupun atas
permintaan
pihak
yang
berperkara.”.13
Selanjutnya majelis eksaminasi
menegaskan bahwa:
“ Penyimpangan atas suatu asas
hanya dapat dilakukan jika diatur
secara eksplisit di dalam UU,
misalnya peradilan harus dilakukan
secara terbuka untuk umum, kecuali
undang-undang menentukan lain
(Pasal 19 (1) UU No. 4 tahun 2004).
Ternyata UU MK dan Peraturan MK
Nomor 006/PMK/2005 tentang
hukum
acara
pengujian
undangundang
tidak
mengatur
secara
spesifik
tentang
penyimpangan atas asas dimaksud.
Karena itu MK tidak mempunyai
alasan untuk menyimpang dari asas
tersebut, kecuali bersandar kepada
kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi
perlu dicatat, argumen kekuasaan
demikian berpotensi menimbulkan
13

Usfunan Yohanes, dkk., Eksaminasi

Putusan

Mahkamah

Konstitusi

No.

penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power). Akibat lebih lanjut,
pemeriksaan perkara ini sarat
benturan kepentingan (conflict of
interest). Padahal untuk menjaga
prinsip
imparsialitas
hakim
konstitusi harus terbebas dari
benturan
kepentingan
dalam
membuat putusan. Atas dasar
demikian,
karena
mengenyampingkan asas nemo
judex idoneus in propria causa ,
maka hakim konstitusi telah
melakukan judicial misconduct.
Seharusnya hakim konstitusi tidak
memutus permohonan sepanjang
yang menyangkut diri mereka
sendiri. Apalagi Pasal 29 ayat (6)
UU No. 4 tahun 2004 menyatakan:
Dalam hal terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan pada ayat (5),
putusan dinyatakan tidak sah dan
terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi
administratif
atau
dipidana
berdasa rkan
peraturan
perundangundangan.
Artinya, adalah benar seandainya
MK mengabulkan permohonan
”deklarasi” KY yang meminta
hakim konstitusi tidak memutuskan
permohonan yang berkait dengan
hakim konstitusi. Upaya KY
tersebut harus dimaknai positif
sebagai cara untuk membantu hakim
konstitusi
menjaga
prinsip
14
imparsialitasnya.”
Putusan
ini
menimbulkan

005/PUUIV/2006 Pengujian Undang-undang
No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan

diskriminasi terhadap hakim- hakim

Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang

yang

Kekuasaan Kehakiman , (Yogyakarta, Pusat

terhadap

Kajian

martabat serta perilaku hakim adalah

Anti

Korupsi

Fakultas

Hukum,

lain.

Universitas Gajah Madah dan Indonesian
Monitoring Court, 2006) hlm., 2.

14

Ibid.

Sejatinya

pengawasan

kehormatan

keluhuran

bentuk penjagaan dari kemungkinan

Konstitusi, telah berubah menjadi tidak

pelanggaran

termasuk hakim konstitusi. Dua orang

pelaksanaan

tugas

mengadili perkara yang menjadi hak

ahli

konstitusional warga negara. Karena

persidangan permohonan tersebut yang

pada hakikatnya pengawasan oleh KY

mendukung

merupakan bentuk checks and balances

Moh.Mahfud MD dan Deny Indrayana.

dalam

Menurut Mahfud MD :

ketatanegaraan

Indonesia,

dimana setiap lembaga negara ada
sederarat dan saling mengontrol agar
kewenangan yang telag digariskan
dalam UUD NRI Tahun 1945 dpat
dijalankan

sebagaimana

mestinya

bukan untuk mencederai kewenangan
itu sendiri, dalam hal ini independensi
hakim.
Menurut
pertentangan

penulis
yang

tidak

berarti

ada
antara

konsep hakim dengan pasal-pasal yang
dimohonkan, karena cukup jelas halhal berkaitan dengan pengertian hakim,
di dalam UUD NRI Tahun 1945

yang

dihadirkan

pendapat

di

ini

dalam

adalah

“di dalam risalah tanggal 8 Juni
2000, dalam buku kedua jilid tiga
halaman 434, dikatakan “Komisi
Yudisial mengawasi Hakim Agung
dan hakim pada semua tingkatan ”,
dan Ahli juga ingin mengatakan
bahwa
sampai
berakhirnya
perumusan Pasal 24B tersebut tidak
ada satu pun yang membantah di
dalam sidang Panitia Ad hoc
tersebut. Kemudian tanggal 26
September 2000, Zein Badjeber
mengatakan
bahwa
”Komisi
Yudisial bukan hanya menyangkut
Hakim Agung, tapi seluruh ha kim”.
Pernyataan-pernyataan
tersebut
muncul dan tertulis di dalam risalah,
dan sampai akhir persidangan tidak
ada yang membantah.15
Sementara
Deny
Indrayana

terdapat kata “hakim”, “hakim agung”

menjelaskan beberapa cara penafsiran

dan “hakim konstitusi” yang ketiganya

yang digunakan untuk mengetahui

memiliki pengertian dan konteks yang
berbeda

yang

disebutkan

pertama

adalah umum untuk seluruh hakim dan

apakah kata “hakim” itu hanya terbatas
pada hakim di bawah MA atau seluruh
hakim, yaitu :
"melalui penafsiran metode literal
dan legalistik; kaku dan dangkal;
progressif;
mengacu
pada
pengertian sebelumnya
(stare

yang disebutkan selanjutnya ansih pada
hakim dalam masing-masing instansi.
Secara original intent “Hakim” yang
dimaksud dalam pasal tersebut adalah
seluruh

hakim

termasuk

hakim

15

Ibid, Keterangan saksi ahli Moh.Mahfud
MD, pihak yang terkait langsung (Komisi
Yudisial), hlm.108.

decisis); mengacu pada niat
pembuat konstitusi (purposive);
dan
umum
atau
liberal.
Berdasarkan
keenam
metode
tersebut, tidak ada satupun metode
yang dapat dikatakan mendukung
dalil pemohon bahwa kata "hakim"
pada ujung Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 tidak mencakup
pengertian: hakim agung, hakim
konstitusi
dan
hakim
ad
hoc.Berdasarkan metode literal dan
legalistik - terkadang disebut
textualism, "hakim" harus dilihat
sebagai kata pengertian "umum".
Sedangkan "hakim agung", "hakim
konstitusi", "hakim ad hoc",
"hakim kepailitan", "hakim tindak
pidana korupsi" dan jenis hakim
lainnya
adalah
pengertian
"khusus". Artinya, kata "hakim"
mencakup semua jenis hakim
sebagai profesi, tidak terkecuali
hakim agung, hakim konstitusi,
hakim ad hoc dan/atau hakim
apapun yang di masa datang akan
muncul berdasarkan peraturan
perundangan. 16
Lebih lanjut Deny Indrayana

menjelaskan bahwa :
"hakim konstitusi" kata mereka
memang tidak secara jelas dibahas
(di dalam risalah). Namun bukan
berarti bahwa hakim konstitusi
tidak termasuk kata "hakim"
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Tidak dibahasnya hakim konstitusi
itu
lebih
pada
persoalan
sistematika
pembahasan
amandemen UUD 1945 yang tidak
runtut serta tidak pula terencana
16

Ibid. Keterangan saksi ahli Deny
Indrayana, pihak yang terkait langsung
(Komisi Yudisial), hlm.98-100.

secara rapi. Namun jika dilihat di
dalam blue print Mahkamah
Konstitusi juga secara tegas
menyatakan bahwa, "menjadi
penting
bagi
Mahkamah
Konstitusi, untuk memberikan
pengawasan terhadap integritas
dan perilaku hakim kepada pihak
eksternal
yang
memiliki
kewenangan untuk itu. Komisi
Yudisial, secara yuridis memiliki
kewenangan untuk mengawasi
hakim,
baik di lingkungan
peradilan
umum
maupun
Mahkamah Konstitusi." (kursif
penulis).17
Di
dalam
kesimpulan
pendapatnya

Deny

menegaskan

kembali

berdasarkan

Indrayana
bahwa

constitutional

interpretation “hakim” menurut Pasal

24B adalah seluruh hakim,
terkecuali

hakim

agung,

tidak
hakim

konstitusi dan hakim ad hoc. Di dalam
cetak biru Mahkamah Konstitusi secara
eksplisit

MK

sebenarnya

telah

mengakui bahwa Hakim Konstitusi pun
juga merupakan hakim yang menjadi
objek pengawasan Komisi Yudisial.
Hal ini terlihat di dalam Bab IV
Mewujudkan

Akuntabilitas

dan

Transparansi MK bagian B Tujuan
Strategis, MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi memiliki
peran strategis dalam sistem
ketatanegaraan, yang tercermin pada
17

Ibid.

maka sulit diharapkan akan efektif
menjalankan fungsi pengawasan
atas kehormatan hakim agung itu
sendiri, karena kedudukannya yang
tidak independen terhadap subjek
yang akan diawasi. Di samping itu,
jika lembaga ini dibentuk di dalam
struktur MA, maka subjek yang
diawasinya hanya terbatas pada
hakim agung saja. Oleh karena itu,
keberadaan lembaga KY ini
dibentuk tersendiri di luar MA,
sehingga subjek yang diawasinya
dapat diperluas ke semua hakim,
termasuk hakim konstitusi dan
hakim di seluruh Indonesia. (kursif
penulis)
Saksi Patrialis Akbar, sebagai

kewenangan-kewenangan
yang
dimilikinya. Untuk mengimbangi
dan menjaga agar MK
tetap
menjalankan
fungsinya
secara
bertanggung jawab, perlu ada
mekanisme pengawasan terpadu
terhadap MK. Menjadi penting bagi
MK,
untuk
memberikan
pengawasan terhadap integritas dan
perilaku hakim kepada pihak
eksternal
yang
memiliki
kewenangan untuk itu. KY, secara
yuridis memiliki kewenangan untuk
mengawasi
hakim,
baik
di
lingkungan peradilan umum maupun
MK.18
Selain itu dalam menanggapi
kewenangan Komisi Yudisial Jimly
Asshiddiqie19, menyatakan bahwa:
“Dari ketetentuan mengenai KY ini
dapat dipahami bahwa jabatan
hakim dalam konsepsi UUD 1945
dewasa
ini
adalah
jabatan
kehormatan yang perlu dijaga dan
ditegakkan kehormatannya oleh
suatu lembaga yang juga bersifat
mandiri, yaitu KY. Pembentukan
lembaga baru ini dapat dikatakan
merupakan pengembangan lebih
lanjut ide pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Agung yang
sudah berkembang selama ini. Akan
tetapi, jika majelis semacam ini
dibentuk di lingkungan internal MA,
18

Mahkamah
Konstitusi
Republik
Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah
Konstitusi
Sebagai
Institusi
Peradilan
Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya ,
Jakarta, 2005, hlm.121.
19
Jilmy
Asshiddiqie,
Struktur
Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan
Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN
Depkeh & HAM, Denpasar 14-18 Juli 2013,
hlm. 20.

mantan

anggota

Panitia

Ad

Hoc

(selanjutnya disebut PAH) III dan PAH
I

Badan

Permusyawaratan
dengan

Pekerja
Rakyat,

kewenangan

dan

Majelis
terkait
maksud

dibentuknya KY, menyatakan:
“Khusus berkenaan dengan kalimat
"perilaku hakim" dalam kalimat
terakhir Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 tersebut dimaksudkan kepada
perilaku hakim secara menyeluruh
dengan tidak terbatas pada hakim
tertentu saja akan tetapi kepada
seluruh
Hakim
sebagaimana
ditegaskan dalam buku PANDUAN
DALAM MEMASYARAKATKAN
UNDANG UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK TAHUN
1945 yang memuat antara lain
tentang latar belakang, proses dan
hasil UUD 1945 yang dibuat
bersama oleh Pimpinan MPR
bersama Anggota PAH I yang
diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal
MPR RI tahun 2004. Dalam

halaman 195 dan 196 buku tersebut
menuntun para anggota MPR dalam
memasyarakatkan Pasal 24B yang
saksi kutip antara lain sebagai
berikut:
"Adanya ketentuan ini didasari
pemikiran bahwa hakim agung yang
duduk di Mahkamah Agung dan
para hakim merupakan figur-figur
yang sangat menentukan dalam
perjuangan menegakkan hukum dan
keadilan. Apalagi hakim agung
duduk pada tingkat peradilan
tertinggi (puncak) dalam susunan
peradilan di Indonesia sehingga
menjadi tumpuan harapan bagi
pencari keadilan”20
Saksi Sutjipno juga memberikan
keterangan

terkait

maksud

pembentukan KY dan posisinya dalam
ketatanegaraan RI, sebagai berikut:
“ Komisi Yudisial dalam rangka
checks and balances adalah untuk
mengontrol perilaku para hakim
dalam seluruh jajajaran Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Demi menjaga martabat dan
kehormatan hakim keseluruhannya,
maka yang menjadi sasaran utama
KY adalah aspek administratif
personil hakim yaitu para hakim
dalam seluruh jajaran kekuasaan
yudikatif
dan
bukan
aspek
operasional yudikatif;
KY pun juga bukan aparat yudikatif,
KY tidak lain adalah semata-mata
sebagai aparat pengawas atau aparat
kontrol dan penjaga perilaku para
hakim, yang berarti aspek-aspek
administratif personil yudikatif dan
bukan aspek operasional yudikatif

dengan maksud dan tujuan untuk
terpeliharanya
martabat
dan
kehormatan hakim;
KY sengaja dibangun secara ekstra
struktural dengan maksud dan
tujuan pula untuk menjamin adanya
objektifitas pengawasan atau kontrol
terhadap para hakim;
Untuk mencegah timbulnya unsur
subjektifitas yaitu penilaian terhadap
diri sendiri oleh diri sendiri, dan
yang diputuskan oleh diri sendiri
yang berada dalam satu tangan pasti
sangat subjektif sehingga perlu
dibangun secara ekstra struktural
agar terwujud adanya check and
balances
yang
baik
dalam
pelaksanaannya;”21
Sehingga tidak ada perbedaan
antara semua hakim, karena secara
umum dan yuridis, hakim berarti pihak
yang menjadi juri atau pengadil dalam
suatu perkara apapun itu. Sedangkan
hakim dalam konteks pelaku kekuasaan
kehakiman adalah semua hakim dalam
semua instansi kekuasaan kehakiman
dan badan peradilan di bawahnya, yaitu
hakim agung, hakim pengadilan negeri,
hakim

pengadilan

tinggi,

hakim

konstitusi dan hakim ad hoc tanpa
memperhatikan

masa

jabatannya

sebagai hakim.
Permasalahan penting yang perlu
dibahas dalam UUKY tersebut adalah
mengenai

kejelasan

bagaimana

perilaku hakim yang akan diawasi dan
20

Putusan Mahkamah Konstitusi RI
No.005/PUU-IV/2006, hlm., 53-54.

21

Ibid. hlm., 56-57.

tata cara pengawasan hakim yang
merupakan wujud dari kewenangan
KY“ dalam Menjaga dan menegakkan
keluhuran

martabat,

serta

perilaku

hakim” yang menurut penulis kurang
jelas. Menurut penulis putusan ideal
atas perkara

a quo adalah sebagai

berikut:
MENGADILI
1) Menyatakan
sepanjang
menyangkut
ketentuan
yang
berkaitan
dengan
Hakim
Konstitusi, para Pemohon tidak
memiliki legal standing dan
Permohonan terkait hal tersebut
tidak dapat diterima, karena tidak
ada kerugian hak atau kewenangan
konstitusional
yang
bersifat
spesifik yang dialami oleh para
Pemohon, selaku Hakim Agung,
sebagai akibat dari berlakunya
ketentuan yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi dan Hakim
Konstitusi dalam UU RI No. 22
Tahun 2004 tentang KY (LN-RI
Tahun 2004 No.89, Tambahan LNRI No.4415).
2) Menyatakan permohonan para
Pemohon
dikabulkan
untuk
sebagian;
3) Menyatakan:
a. Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20
UU RI No. 22 Tahun 2004
tentang KY (LN-RI Tahun 2004
No.89,
Tambahan
LN-RI
No.4415) tidak bertentangan
dengan UUD Negara RI Tahun
1945;
b. Pasal 21, Pasal 22 ayat (1)
huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal
23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3),
Pasal 23 ayat (5); Pasal 24 ayat

4)

5)

6)

7)

(1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25
ayat (4), UU RI No. 22 Tahun
2004 tentang KY (LN-RI Tahun
2004 No.89, Tambahan LN-RI
No.4415), bertentangan dengan
UUD Negara RI Tahun 1945;
c. Pasal 34 ayat (3), yang
berbunyi,
”Dalam
rangka
menjaga
kehormatan,
keluhuran
martabat
serta
perilaku hakim agung dan
hakim, penga wasan dilakukan
oleh KY yang diatur dalam
UU”, UU RI No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman
(LN-RI Tahun 2004 No.8,
Tambahan LN-RI No. 4358),
tidak bertentangan dengan
UUD Negara RI Tahun 1945;
Menyatakan Pasal-pasal di dalam
kedua UU tersebut di atas yang
dinyatakan tidak bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945
tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan Pasal-pasal di dalam
UU RI No. 22 Tahun 2004 tentang
KY (LN-RI Tahun 2004 No.89,
Tambahan LN-RI No.4415) yang
dinyatakan bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945 tidak
mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat;
Memerintahkan kepada Panitera
Mahkamah untuk memuat amar
putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
Menolak
permohonan
untuk
selebihnya.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penulis atas
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006

penulis menarik kesimpulan sebagai

Konstitusi, para Pemohon (Hakim

berikut:

Agung)

1) Latar belakang pemikiran dan

standing

tidak

memiliki

atau

legal

permohonan

dasar pertimbangan hukum MK

pemohon terkait hal tersebut tidak

dalam memutus Perkara Nomor

dapat diterima, sebab tidak ada

005/PUU-IV/2006

kerugiaan konstitusional pemohon

berkaitan

dengan hakim konstitusi yang

(Hakim

tidak

termasuk

Agung)

jika

KY

dalam

objek

mengawasi

adalah

tidak

Kedua , menyatakan: Pasal 1 angka

konsisten bahkan inkonstitusional

5 dan Pasal 20 UUKY dan Pasal

dalam arti tidak ada ketentuan

34

konstitusi

yang

menguatkan

bertentangan dengan UUD NRI

pendapat

tersebut

serta

tidak

Tahun 1945; Pasal 21, Pasal 22

mencerminkan prinsip keadilan,

ayat (1) huruf (e), Pasal 22 ayat

kepastian hukum dan kemanfaatan

(5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat

sebagai tujuan hukum, karena pada

(3) dan Pasal 23 ayat (5); Pasal 24

hakikatnya pengawasan ditujukan

ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan

untuk menjaga agar tidak terjadi

Pasal

penyalahgunaan

bertentangan dengan UUD NRI

pengawasan

KY

kewenangan.

Sebagaimana disebutkan
Acton, bahwa

Lord

“power tends to

corrupt and absolute power tends
to corrupt absolutely. Artinya,

kekuasaan itu cenderung korup dan
kekuasaan yang absolut, maka
akan korup juga secara absolut.
2) Putusan ideal atas perkara Nomor
005/PUU-IV/2006 menurut penulis
adalah

pertama ,

menyatakan

sepanjang menyangkut ketentuan
yang berkaitan dengan Hakim

hakim

ayat

(3)

25

ayat

konstitusi.

UUKK

(4)

tidak

UUKY

Tahun 1945.
B. Saran
1) Dalam mengadili perkara, MK
harus berpedoman pada Pancasila,
UUD NRI Tahun 1945 dan ketiga
tujuan hukum,

yaitu keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan.
2) Perlunya

penguatan

atas

kewenangan KY dalam konstitusi
sebagai

satu-satunya

lembaga

pengawas kehormatan, keluhuran
martabat

serta perilaku

hakim

tanpa ada pengecualian terhadap
hakim tertentu untuk tidak diawasi
dengan

alasan

apapun,

pembentukkan pedoman perilaku
hakim

yang

secara

umum

melingkupi semua hakim, serta
pelengkapan segala kekuarangan
dalam UUKY.

DAFTAR PUSTAKA
A.

Buku-Buku
Achmad Edi Subiyato, Yurisprudensi, Hukum Acara Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Jawa Timur, 2014.
Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negatif Legislature ke Positif
Legislature?, Konpress, Jakarta, 2013.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontoversi Isu, Rajawali
Pers, Jakarta 2012.
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Penamedia Group, 2015.
Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung 2012.

B.

Jurnal/ Makalah
Jilmy Asshiddiqie, Struktur Ketatanega raan Indonesia setelah Perubaha n
Keempat UUD Tahun 1945 , Makalah Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang
Modern Dan Terpercaya , Jakarta, 2005.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Usfunan Yohanes, dkk., Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.
005/PUUIV/2006 Pengujian Undang-undang No. 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang No. 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman , (Yogyakarta, Pusat Kajian Anti
Korupsi Fakultas Hukum, Universitas Gajah Madah dan Indonesia n
Monitoring Court, 2006).

C.

Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Undang undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentag
Kekuasaan Kahakiman

INDAH SURYANINGSIH, lahir di Sidole, 24 September 1996, Alamat Rumah
Jl. Lasaginti, No. 224 Desa Sidole Barat Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi
Moutong,

Nomor

Telepon

indahhukum332@gmail.com

+6282344966496

Alamat

Email

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

11 143 2