Daya anthelmintika infusa daun Macaranga tanarius terhadap cacing usus ayam (Ascaridia galli) betina secara in vitro - USD Repository

  

DAYA ANTHELMINTIKA INFUSA DAUN Macaranga tanarius L.

  

TERHADAP CACING USUS AYAM (Ascaridia galli) BETINA

SECARA IN VITRO

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi ( S.Farm )

  Program Studi Farmasi Oleh :

  Cosmas Mora Yudiatmoko NIM : 078114050

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

HALAMAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR

  Dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan anugerah serta kehendakNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “DAYA ANTIHELMINTIKA INFUSA DAUN

  

Macaranga tanarius L. TERHADAP CACING USUS AYAM (Ascaridia galli) BETINA

  SECARA IN VITRO ”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukanlah sesuatu hal yang mudah, hanya dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

  2. Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan petunjuk, saran dan masukan yang berharga dalam proses penyusunan skripsi.

  3. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pendamping Penelitian dan Dosen Penguji, atas segala kesabaran untuk selalu mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini

  4. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji, atas kritik dan saran yang telah diberikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

  5. Mas Parjiman, Mas Heru, Mas Kayat, Mas Yuwono, Mas Wagiran, dan semua staf laboratorium yang telah bersedia membantu selama penelitian di laboratorium.

  6. Laboratorium Parasitologi Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

  7. Bapak Purwono dan Bapak Suradi yang membantu proses penelitian di Laboratorium Parasitologi Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

  8. Bapak dan Ibu, atas dukungan, kasih sayang, doa dan segala bantuan yang diberikan, baik dalam materi maupun non-materi sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

  9. Rekan-rekan penelitian, Aryanti Prima Andini, Dina Wulandari, Ari Widya Nugraha, Andreas Arry Mahendra, Elisa Eka Adrianto, dan Aloysia Yossy Kurniawaty, atas bantuan, kerjasama, dan perjuangan selama penelitian.

  10. Pihak-Pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

  Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Skripsi ini jauh dari sempurna karena keterbatasan pikiran, waktu dan tenaga. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini lebih mendekati sempurna.

  Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu kefarmasian. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terimakasih.

  Yogyakarta, Februari 2011 Penulis

  

INTISARI

  Penyakit infeksi cacing usus terutama oleh cacing Ascaris lumbricoides memiliki prevalensi yang tinggi di Indonesia sehingga memerlukan pengobatan. Daun Macaranga tanarius L. diduga mengandung senyawa yang berkhasiat anthelmintika sebagai alternatif obat modern. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya daya anthelmintika dalam infusa daun M. tanarius L. terhadap cacing Ascaridia galli serta mengidentifikasi adanya senyawa yang diduga memiliki daya anthelmintika. Besarnya daya anthelmintika infusa daun Macaranga tersebut dinyatakan dengan nilai Median Lethal Concentration (LC

  50 ) dan Median Lethal Time (LT ).

50 Jenis penelitian ini adalah ekperimental murni dengan rancangan acak lengkap

  pola searah. Uji daya anthelmintika dibagi dalam 3 kelompok perlakuan, yaitu kelompok perlakuan perendaman cacing A. galli dalam infusa daun M. tanarius (konsentrasi 10, 20, 40, 60, 80%), kelompok kontrol positif dengan piperazin sitrat (konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1%), dan kelompok kontrol negatif menggunakan larutan garam fisiologis NaCl 0,9% b/v. Data kematian cacing yang diperoleh diuji menggunakan ANOVA satu arah dengan post hoc LSD, kemudian dianalisa dengan menggunakan probit untuk menentukan nilai LC

  50 dan LT 50 .

  Hasil penelitian menunjukkan rata-rata waktu kematian cacing dalam kontrol negatif NaCl 0,9% b/v adalah 28,6 jam. Nilai LC

  50 infusa daun M. tanarius sebesar

  17,3% dengan LT

  50 , yaitu 15,8 jam. LC 50 piperazin sitrat sebesar 0,3% dengan LT 50 ,

  yaitu 10,2 jam. Identifikasi kandungan senyawa dengan metode KLT menunjukkan adanya senyawa terpineol dari golongan monoterpenoid pada infusa daun M.

  tanarius.

  Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa infusa daun M. tanarius memiliki daya anthelmintika terhadap cacing A. galli.

  Kata kunci : infusa daun Macaranga tanarius L., anthelmintika, piperazin sitrat,

  Ascaridia galli Median

  , Median Lethal Concentration (LC

  50 ) , Lethal Time

  (LT

  50 )

  

ABSTRACT

  The intestinal worm infection caused by Ascaris lumbricoides has a quite high prevalence in Indonesia and required a treatment. The use of herbal medicine should be developed as an alternative to modern anthelmintics. It is suspected that Macaranga tanarius L. contains compounds which have anthelmintic activity. Thus, this study was aimed to determine the presence of anthelmintic activity in the infusion of M. tanarius L.’s leaves against Ascaridia galli worms and identify the presence of the compounds which have an anthelmintic activity. The amount of anthelmintic activity of M. tanarius’s leaves infusion was stated at the Median Lethal Concentration (LC

  50 ) and Median Lethal Time (LT 50 ).

  This study was purely experimental research with completely randomized one direction design. Subject samples used were A. galli worms as substitution for

  

Ascaris lumbricoides . Anthelmintic activity test was divided into three treatment

  groups, first was a treated group, A. galli was soaked in M. tanarius’s leaves infusion (concentrations of 10, 20, 40, 60, 80% w/v), positive control group using piperazin citrate (concentration of 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, and 1% w/v), and negative control group using saline solution NaCl 0.9% w/v. The obtained worm mortality data were tested using one-way ANOVA with post hoc LSD test, then were analyzed by using probit analysis with 95% confidence level to determine LC

  50 and LT 50 value.

  The result showed an average time of death of worms in the negative control NaCl 0.9% w/v was 28.6 hours.. From the test using the probit analysis obtained LC

  50

  of M. tanarius’s leaves infusion was equal to 17.3% and LT of M. tanarius’s leaves

  50

  infusion was 15.8 hours. LC

  50 of piperazin citrate was 0.3% and LT 50 piperazin

  citrate was 10.2 hours. Phytohemical compounds identification with TLC method showed the existence of terpineol, a terpenoid compounds in M. tanarius’s leaf infusion. From these result, it was concluded that M. tanarius’s leaf infusion had anthelmintic activity to the A. galli worm.

  Key words: Macaranga tanarius, L.’s leaves infusion, anthelmintics, piperazin citrate, Ascaridia galli, Median Lethal Concentration (LC

  50 ), Median

  Lethal Time (LT

  50 )

  DAFTAR ISI

  halaman HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................... vi KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

  INTISARI ........................................................................................................ x

  ABSTRACT ...................................................................................................... xi

  DAFTAR ISI ................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii

  BAB I PENGANTAR ..................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................ 1

  1. Rumusan masalah ....................................................................... 5

  2. Keaslian penelitian ..................................................................... 6 3. Manfaat penelitian ...................................................................

  6 B. Tujuan penelitian ............................................................................ 7

  BAB II PENELAAHAN PUSTAKA .............................................................. 8 A. Tanaman Macaranga tanarius L. ................................................... 8

  1. Keterangan botani ……………………...…………………….... 8

  2. Deskripsi tanaman ...................................................................... 8

  3. Kandungan kimia ....................................................................... 9

  4. Kegunaan dan khasiat……………. ........................................... 9

  C. Infundasi .......................................................................................... 10

  B. Ascaridia galli ................................................................................. 10

  D. Anthelmintika .................................................................................. 15

  E. Piperazin……………………………………………………………. 16

  F. Toksisitas…………………………………………………………… 17

  G. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)…………………………………... 18

  H. Landasan Teori……......................................................................... 20

  I. Hipotesis………………………………………………………...….. 22

  BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 23 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ...................................................... 23 B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……....………...…... 24 C. Bahan Penelitian ............................................................................. 25 D. Alat Penelitian ................................................................................ 26 E. Tata Cara Penelitian ........................................................................ 27 F. Analisis Hasil .................................................................................. 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 34 A. Identifikasi Tanaman Macaranga tanarius, L. ................................ 34 B. Pembuatan Infusa Daun M. tanarius, L. ........................................... 35

  C. Uji Daya Anthelmintika Infusa Daun M. tanarius, L. ..................... 38

  D. Identifikasi Kualitatif Kandungan Senyawa Dalam Infusa Daun

  M. tanarius,

  L. dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)…………………………………………………………… 55

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 62 A. Kesimpulan ................................................................................... 62 B. Saran ............................................................................................. 62 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 63 LAMPIRAN .................................................................................................... 67 BIOGRAFI PENULIS .................................................................................... 91

  

DAFTAR TABEL

  piperazin sitrat dengan analisa probit.................................................. 49 Tabel X. Kematian cacing A. galli pada konsentrasi yang ekuivalen dengan

  50 infusa daun M. tanarius dan

  Tabel XII. Perbandingan perhitungan LT

  50 piperazin sitrat............................................................................. 52

  Tabel XI. Kematian cacing A. galli pada konsentrasi yang ekuivalen dengan LC

  50 infusa daun M. tanarius….......................................................... 50

  LC

  50 infusa daun M. tanarius dan

  Tabel I. Pembuatan variasi konsentrasi infusa daun M. tanarius......................... 29 Tabel II. Pembuatan variasi konsentrasi larutan piperazin sitrat sebagai kontrol positif........................................................................................................ 30 Tabel III. Waktu kematian cacing Ascaridia galli pada larutan NaCl 0,9% (Uji lama waktu hidup cacing)........................................................................ 40 Tabel IV. Hasil analisa signifikansi dengan post hoc LSD...................................... 43 Tabel V. Jumlah kematian cacing A. galli pada perlakuan infusa daun M.

  Perbandingan perhitungan LC

  menggunakan analisa probit............................................................................................ 48 Tabel IX.

  50

  menggunakan analisa probit......................................................................................................... 46 Tabel VII. Jumlah kematian cacing A. galli pada larutan piperazin sitrat (kontrol positif)……….......................................................................................... 47 Tabel VIII. Data jumlah kematian cacing A.galli pada jam ke-10 perlakuan larutan piperazin sitrat (kontrol positif) untuk mencari LC

  50

  Tabel VI. Data jumlah kematian cacing A. galli pada jam ke-16 perlakuan infusa daun M. tanarius untuk mencari nilai LC

  tanarius ……..……….............................................................................. 45

  piperazin sitrat dengan analisa probit.................................................. 53 Tabel XIII. Hasil pengamatan identifikasi kualitatif kandungan senyawa dalam infusa daun M. tanarius dengan metode KLT berdasarkan harga Rf dan warna bercak pengembangan........................................................ 58

  

DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides...................................................... 14 Gambar 2. Grafik konsentrasi kelompok perlakuan vs rata-rata waktu kematian cacing (jam)......................................................................................... 42

  Grafik hubungan waktu vs mortalitas cacing A.galli berdasarkan Gambar 3. persamaan regresi probit LT infusa

  50 daun M. tanarius dan piperazin sitrat.

  .................................................................................................... 53 Gambar 4. Profil KLT infusa daun M. tanarius, L dengan pembanding terpineol. (A) Deteksi UV 254 nm. (B) Deteksi UV 365 nm. (C)

  Pengamatan langsung dengan sinar tampak (visibel).......................... 57 Gambar 5. Struktur kimia dari senyawa friedooleanane dan friedelin yang merupakan senyawa dari golongan triterpenoid……………………. 60

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Surat keterangan determinasi tanaman Macaranga tanarius, L. dari Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma ……............................. 67

  Lampiran 2. Surat hasil determinasi cacing A. galli dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta..................................... 68

  Lampiran 3. Surat keterangan pengujian kandungan terpenoid dengan metode KLT …………………………………………..................................... 69 Lampiran 4. Foto tanaman dan serbuk daun Macaranga tanarius, L. ...................

  70 Lampiran 5. Gambar bagian anterior dan posterior cacing A. galli ........................ 71 Lampiran 6. Gambar bagian anterior dan skema morfologi A. lumbricoides…...… 72 Lampiran 7. Foto seri konsentrasi infusa daun M. tanarius, L., larutan piperazin, cacing A. galli, dan dokumentasi perlakuan perendaman….……….

  73 Lampiran 8. Data pengamatan waktu kematian cacing A. galli .............................

  75 Lampiran 9. Analisa statistik dengan metode Oneway ANOVA dan post hoc LSD……………................................................................................ 76

  Lampiran 10. Analisa probit untuk mencari LC

  50 infusa daun M. tanarius.......... 79 Lampiran 11.

  Analisa probit untuk mencari LC

  50 piperazin sitrat.......................... 82 Lampiran 12.

  Analisa probit untuk mencari LT

  50 infusa daun M. tanarius pada

  konsentrasi yang ekuivalen dengan LC 50 infusa daun M.

  tanarius............................................................................................... 85 Lampiran 13.

  Analisa probit untuk mencari LT

  50 piperazin sitrat pada

  konsentrasi yang ekuivalen dengan LC

  50 piperazin sitrat................ 88

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara

  berkembang, termasuk Indonesia. Infeksi tersebut merupakan infeksi yang paling banyak menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar. Seperti yang tertulis dalam KepMenKes No: 424/MENKES/VI/2006, pemerintah menyatakan bahwa hasil survei Subdirektorat Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 sekolah dasar di 10 propinsi menunjukkan prevalensi infeksi cacing usus pada anak-anak usia sekolah dasar berkisar antara 2,2 - 96,3% (Departemen Kesehatan RI, 2006).

  Anak-anak paling sering terserang penyakit cacing usus karena kebiasaan mereka memasukkan tangan ke dalam mulut, misalnya pada saat makan tanpa mencuci tangan setelah beraktivitas. Namun demikian, sesekali orang dewasa juga dapat terinfeksi cacing. Cacing usus yang paling sering ditemui adalah cacing gelang, cacing tambang, cacing cambuk, cacing pita dan cacing kremi. Semua cacing masuk ke dalam perut melalui mulut, kecuali cacing tambang yang larvanya dapat menembus kulit (Oswari, 1995).

  Infeksi cacing usus ditularkan melalui tanah ataupun makanan yang tercemar telur cacing. Sebagian besar dijumpai pada tempat tinggal yang tidak higienis dan pada masyarakat dengan cara hidup tidak menjaga kebersihan, di mana biasanya hal tersebut menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di pedesaan dan di daerah kumuh perkotaan di Indonesia (Mardiana & Djarismawati, 2008).

  Salah satu penyebab infeksi cacing usus pada manusia yang umum adalah

  Ascaris lumbricoides

  atau lebih dikenal dengan cacing gelang. Cacing ini penularannya dengan perantaraan tanah (soil transmited helminths). A. lumbricoides merupakan cacing bulat (roundworm) yang biasanya bersarang dalam usus halus. Adanya cacing di dalam usus penderita akan mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi dalam usus, menyebabkan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan. Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut askariasis (Rasmaliah, 2001). Kejadian askariasis juga muncul pada unggas yang disebabkan oleh cacing Ascaridia galli yang merupakan cacing Nematoda dari famili yang sama dengan cacing A. lumbricoides (Levine, 1981).

  Dampak yang terjadi akibat infeksi cacing pada manusia dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, dan kecerdasan pada anak-anak. Selain itu, akan dapat mengurangi produktivitas kerja pada orang dewasa sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian yang dikarenakan penderita infeksi cacing akan mengalami kehilangan karbohidrat dan protein sebagai sumber makanan serta kekurangan darah yang akhirnya berdampak pada turunnya kualitas sumber daya manusia (Departemen Kesehatan RI, 2006).

  Mengingat bahwa prevalensi infeksi cacing usus di Indonesia masih sangat tinggi, maka dibutuhkan solusi pengobatan dan penanggulangan infeksi ini dengan penduduk yang kurang mampu. Salah satu solusi yang dipilih adalah menggunakan obat-obatan herbal tradisional (back to nature) yang sudah dikenal murah. Oleh karena itu, dengan meningkatnya penggunaan dan permintaan obat tradisional, kebutuhan penelitian di bidang obat-obatan tradisional pun turut meningkat.

  Penelitian tentang obat-obatan tradisional ditujukan antara lain untuk mengevaluasi manfaat obat tradisional serta keamanannya secara ilmiah.

  Banyak tanaman dieksplorasi dan dimanfaatkan sebagai obat herbal atau obat tradisional, salah satunya adalah Macaranga tanarius L. Tumbuhan ini kurang dikenal masyarakat di Indonesia namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Lim, Lim, dan Yule (2009), tanaman ini memiliki potensi besar dalam bidang kesehatan.

  Beberapa kegunaan tumbuhan ini yang sudah diketahui, antara lain digunakan sebagai penurun panas (antipiretik), pereda batuk (antitussive), agen emetik, antibakteri, dan antioksidan, namun belum disebutkan tentang khasiat sebagai anthelmintika dari tanaman tersebut. Penelitian lain mengenai tanaman M. tanarius yang dilakukan oleh Hui, Li, dan Ng (1974) menemukan bahwa daun tanaman M.

  tanarius

  L. mengandung banyak senyawa terpenoid, sedangkan Tarmudji (2004) pada penelitiannya mengungkapkan bahwa fraksi n-heksan yang mengandung senyawa terpenoid dari daun pare (Momordica charantia) memiliki daya anthelmintika yang lebih kuat dibandingkan fraksi dari golongan senyawa lain seperti saponin, gula, dan tanin. Berdasarkan informasi tersebut, sangat menarik untuk dilakukan penelitian tentang daya anthelmintika infusa daun M. tanarius L. terhadap memberikan referensi bagi pemanfaatan obat tradisional, khususnya dalam kaitan penanganan masalah infeksi cacing, yaitu sebagai obat anthelmintika. Dengan demikian, pemanfaatan tumbuhan ini sebagai obat dapat menjadi semakin lengkap dan berdasar pada landasan ilmiah, yang kemudian diharapkan turut meningkatkan upaya-upaya pelayanan kesehatan masyarakat.

  Infusa dipilih sebagai sediaan dalam penelitian ini dikarenakan adanya pendekatan metode dengan pola penggunaan obat tradisional di masyarakat yang umumya dibuat secara mudah dan praktis, yaitu dengan cara merebus simplisia tanaman sehingga diharapkan nantinya masyarakat dapat dengan mudah mengaplikasikan dan memanfaatkan hasil penelitian ini. Pelarut yang digunakan yaitu air, merupakan pelarut yang murah dan mudah didapat serta jika dilihat dari segi keamanannya, air lebih aman dan praktis digunakan oleh masyarakat daripada pelarut lain seperti eter, metanol, dan n-heksan. Menurut Santoso, Sidik, dan Wattimena (1991), pelarut air dapat digunakan untuk menyari alkaloid, minyak menguap, glikosida, tanin, dan gula. Minyak menguap (atsiri) merupakan senyawa yang tersusun atas senyawa terpenoid, sehingga air bisa digunakan sebagai penyari untuk senyawa terpenoid, terutama terpen penyusun minyak atsiri dan glikosida terpenoid yang larut dalam air.

  Penelitian uji daya antihelmintik secara in vitro ini menggunakan cacing

  Ascaridia galli, yaitu cacing parasit yang banyak dijumpai pada ayam (Tabbu, 2002).

  Walaupun angka kejadian askariasis cukup tinggi, namun untuk mendapatkan cacing

  Ascaris lumbricoides cacing A. lumbricoides tersebut harus dikeluarkan dari tubuh penderita dalam keadaan hidup tanpa pengaruh obat cacing. Selain itu, A. galli dipilih karena mempunyai kekerabatan yang dekat dengan A. lumbricoides dan infeksinya sama- sama dapat diobati dengan piperazin. Piperazin dipilih sebagai kontrol positif karena merupakan obat pilihan untuk infeksi cacing A. galli dan juga paling banyak digunakan untuk infeksi cacing tersebut (Tabbu, 2002).

  Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap pola searah. Daya anthelmintika diketahui dengan mengamati kematian cacing tiap jam yang kemudian dianalisa menggunakan analisis varian satu arah (one way ANOVA). Analisis varian satu arah digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan bermakna antara kelompok kontrol positif, kontrol negatif dan kelompok perlakuan, yang dilanjutkan dengan uji post hoc Least-Significant Difference (LSD). Setelah itu dihitung besar daya anthelmintika yang dinyatakan dengan nilai LC

  50 (Median Lethal Concentration

  ) dan LT 50 (Median Lethal Time) dengan menggunakan analisa probit.

1. Rumusan masalah

  Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

  a. Apakah infusa daun M. tanarius L. memiliki daya anthelmintika terhadap cacing A. galli betina secara in vitro? b. Seberapa besar daya anthelmintika infusa daun M. tanarius L. terhadap cacing

  A. galli

  betina secara in vitro yang dinyatakan dengan nilai LC

  50 dan LT 50 ? c. Apakah daun M. tanarius mengandung senyawa terpenoid yang diduga memiliki daya anthelmintika terhadap cacing A. galli betina?

  2. Keaslian penelitian

  Penelitian mengenai daya anthelmintika bahan obat alam sudah banyak dilakukan, antara lain penelitian daun pare untuk obat cacing pada domba (Tarmudji, 2004) dan penelitian daya anthelmintika infusa biji ceguk (Quisqualis indica L.) terhadap cacing kait anjing (Ancylostoma spp.) secara in vitro (Mulyaningsih, 2010).

  Namun sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang daya anthelmintika infusa daun M. tanarius L. terhadap cacing A. galli belum pernah dilakukan.

  Penelitian-penelitian berkait tanaman M. tanarius L. yang sudah pernah dilakukan antara lain pengujian daya antibakteri, antioksidan, sitotoksisitas, dan daya anti-tyrosinase (Lim et al, 2009), serta pengujian atau eksplorasi kandungan senyawa aktif yang ada dalam tanaman M. tanarius L. (Jurgens, Feldhaar, Feldmeyer, & Fiala, 2005; Hui et al., 1974).

  3. Manfaat penelitian

  a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu farmasi yang berkaitan dengan pemanfaatan tumbuhan obat

  Indonesia sebagai obat tradisional, terutama sebagai obat cacing. b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai daya anthelmintika infusa daun M. tanarius L. kepada masyarakat sehingga mendorong upaya pengembangan dan penggunaan obat bahan alam sebagai obat cacing

B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui ada atau tidaknya daya anthelmintika infusa daun M. tanarius, L.

  terhadap cacing A. galli betina secara in vitro.

  2. Mengetahui besar daya anthelmintika infusa daun M. tanarius, L. terhadap cacing

  A. galli

  betina secara in vitro yang dinyatakan dengan nilai Median Lethal

  Concentration

  (LC

  50 ) dan Median Lethal Time (LT 50 ).

  3. Mengetahui kandungan kimia dalam daun M. tanarius, L. yang diduga memiliki daya anthelmintika.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tanaman Macaranga tanarius L.

  1. Keterangan botani

  Tanaman M. tanarius L. ini tergolong ke dalam famili Euphorbiaceae dan termasuk genus Macaranga, dengan nama spesies Macaranga tanarius L.. Tanaman ini di daerah Jawa sering disebut tutup ancur, di Batak disebut mapu, dan di daerah Sunda disebut mara (Plantamor, 2008).

  2. Deskripsi tanaman

  Merupakan pohon kecil sampai sedang, dengan dahan agak besar. Daun berseling, agak membundar dan berukuran lebar antara 5-25 cm, dengan stipula besar yang luruh. Perbungaan bermalai di ketiak, bunga ditutupi oleh daun gagang. Buah kapsul berkokus 2, ada kelenjar kekuningan di luarnya. Biji membulat, menggelembur. Jenis ini juga mengandung tanin yang cukup untuk menyamak jala dan kulit (Prosea, 2010). Macaranga tanarius.L tersebar luas, dari Kepulauan Andaman dan Nicobar, Indo-Cina, Cina Selatan, Taiwan dan Kepulauan Ryukyu, seluruh Malesia, sampai ke Australia Utara dan Timur dan Melanesia. Jenis ini umum dijumpai di daratan Asia Tenggara (Thailand Selatan, Semenanjung Malaya), dan pada banyak pulau di Malesia (Sumatra, Borneo, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Nugini, seluruh Kepulauan Filipina) (Departemen Kehutanan RI, 2010).

  9

  3. Kandungan kimia

  Daun Macaranga mengandung senyawa terpen cis-3-hexenol, cis-3-hexenyl

  acetate, benzaldehyde

  , 2 phenyl ethyl alcohol , β-pinen, D-limonen, β-linalool,

  geranyl

  acetone, 5-hydroxymethylfurfural, α-copaene, friedelin, friedelan-3β-ol, β-

  amyrenone, β-amyrin dan banyak terpenoid yang lain (Jurgens et al., 2005; Hui et al.,

  1974). Selain itu juga ditemukan beberapa senyawa baru di antaranya, yaitu

  nymphaeol A

  , nymphaeol B, tannariflavanone B, blumenol A (fomivoliol), blumenol B (7,8-dihydrovomifoliol) dan annuionone E. (Phomart, Sutthivaiyakit, Chimnoi, & Ruchirawat, & Sutthivaiyakit, 2005).

  4. Kegunaan dan khasiat

  Di Sumatera tanaman Macaranga ini diambil kayunya sebagai bahan bakar yang memiliki kualitas baik. Serat kayunya digunakan sebagai bahan pembuat kertas karena kualitas seratnya halus dan ringan. Daun tanaman ini juga diketahui digunakan sebagai pewarna. Di Indonesia dan di Filipina, getah tanaman ini disadap untuk dijadikan bahan perekat (World Agroforestry Centre, 2010).

  Untuk manfaat kesehatan, daun M. tanarius L. ini digunakan sebagai penurun panas (antipiretik), pereda batuk (antitussive), agen emetik, antibakteri, serta antioksidan (Lim et al., 2009). Belum ada penelitian ataupun keterangan yang menjelaskan khasiat dan penggunaan tanaman ini sebagai obat anthelmintika di masyarakat, namun dari keterangan kandungan zat aktif dalam tanaman ini yang

  10

  dilaporkan oleh Jurgens et al. (2005), dirasa perlu untuk diteliti mengenai khasiat sebagai anthelmintika.

B. Infundasi

  Infundasi adalah suatu metode penyarian untuk mengekstraksi simplisia menggunakan air sehingga didapatkan bentuk sediaan infusa. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90 C selama 15 menit, sambil sekali-sekali diaduk. Infusa diserkai selagi panas melalui kain flannel, ditambah air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Departemen Kesehatan RI, 1986).

  Metode infundasi ini dapat digunakan untuk menarik senyawa-senyawa dari tanaman secara keseluruhan, sehingga biasa digunakan dalam skrining bioaktivitas tanaman dan untuk pengujian bioaktivitas selanjutnya digunakan metode-metode ekstraksi yang lebih spesifik, seperti perkolasi dan soxhletasi. Kelebihan dari metode infundasi dengan penyari air ini, yaitu cairan penyari mudah didapatkan, murah, lebih aman dibandingkan penyari seperti metanol dan eter, stabil, dan tidak toksik (Nurusyifah, 2010). Air dapat digunakan untuk menyari senyawa yang bersifat polar, seperti saponin, garam alkaloid, glikosida flavonoid, dan glikosida terpen (Bashori, 2008).

  11 C. Ascaridia galli

  Menurut Levine (1981) cacing A. galli diklasifikasikan dalam filum Nemathelmintes dan kelas Nematoda, serta digolongkan dalam famili Ascarididae, dan genus Ascaridia.

  Cacing ini merupakan parasit pada ternak unggas yang termasuk dalam soil

  transmitted helminthes

  dan biasa ditemukan pada usus ayam dan unggas lain di seluruh dunia. Panjang cacing jantan 30-80 mm dan diameter 0,5-1,2 mm. Penghisap preanal berdiameter sekitar 220 µm dan mempunyai papila-papila pada tepi tubuh bagian posterior. Panjang spikulum sekitar 4 mm. Cacing betina panjangnya 60-120 mm dan diameter 0,9-1,8 mm dengan telur berukuran 75-80 x 45-50 mikron (Levine, 1981).

  Siklus hidup cacing A. galli cukup sederhana. Cacing dewasa betina akan mengeluarkan telur dalam jumlah sangat banyak, yaitu dapat mencapai 250.000 butir sehari yang dikeluarkan bersama kotoran ayam. Telur tersebut akan mengalami embrionisasi dalam tanah dan sesudahnya menjadi telur infektif. Suhu optimum untuk terjadinya embrionisasi ialah 32-38,8

  C. Proses ini membutuhkan waktu 10-14 hari dan dalam waktu tersebut akan tumbuh menjadi larva dalam telur. Ayam dapat terinfeksi A. galli apabila telur yang mengalami embrionisasi termakan oleh ayam. Setelah telur tertelan, dalam beberapa jam telur tersebut akan menetas dalam tembolok, perut kelenjar, perut pengunyah (ampela), atau dalam usus halus.

  Kemudian larva cacing akan keluar dari telur dan tetap tinggal dalam rongga saluran

  12

  dinding usus dan pindah ke dalam jaringan mukosa usus. Setelah dewasa, larva masuk lagi ke dalam rongga usus dan tumbuh menjadi cacing dewasa dan mulai mengeluarkan telurnya (Nugroho, 1989). Sejumlah besar A. galli dewasa di dalam lumen usus halus dapat membunuh induk semang, tetapi biasanya tidak cukup banyak untuk dapat membunuh. Gejala-gejala berkisar dari mulai tidak tampak sampai terjadinya hambatan pertumbuhan badan akibat penyerapan nutrisi yang sangat buruk. Banyak larva masuk ke dalam selaput lendir usus dan menyebabkan perdarahan dan kerusakan yang hebat. Mungkin timbul enteritis berdarah pada infeksi berat. Pengaruh yang paling serius terjadi kira-kira 2 minggu setelah inokulasi (Levine, 1981)

  Cacing A. galli secara morfologi dan anatomi tubuhnya dapat dikatakan analog dengan Ascaris lumbricoides yang merupakan parasit pada manusia, namun demikian belum diketahui mengapa cacing A. galli tidak bisa menginfeksi manusia dan begitu pula dengan cacing A. lumbricoides yang tidak dapat menginfeksi unggas meskipun keduanya berada dalam satu golongan famili yang sama. Namun ada dugaan sementara bahwa perbedaan sistem antibodi turut berperan membatasi infeksi cacing tersebut, misalnya pada manusia terdapat imunoglobulin G yang berfungsi dalam pertahanan terhadap parasit, seperti cacing.

  Klasifikasi A. lumbricoides menurut Faust dan Russel (1968), yaitu termasuk dalam filum Nemathelmintes dan kelas Nematoda, serta dimasukkan dalam ordo Ascaridida, famili Ascarididae, dan genus Ascaris.

  13 Secara morfologi dan anatomi, cacing A. lumbricoides tidak jauh berbeda

  dengan cacing A. galli. Perbedaan yang paling tampak dari ke duanya, yaitu pada ukuran dimana cacing A. lumbricoides memiliki ukuran yang lebih besar daripada cacing A. galli. Cacing A. lumbricoides dewasa berwarna putih atau merah muda. Cacing ini mudah diidentifikasi karena ukurannya besar (jantan 10-31 cm; betina 20- 35 cm), lapisan kutikulum yang rata dan bergaris halus, ujung anterior dan posterior yang membulat (conical), ujung posterior yang melengkung ke ventral dan papil dengan 2 buah spikulum pada cacing jantan, mulut yang mempunyai 3 bibir lonjong dengan papil peraba, sepasang alat kelamin pada 2/3 bagian posterior cacing betina dan 1 saluran panjang yang berkelok-kelok pada cacing jantan (Faust & Russel, 1968).

  Manusia dapat terinfeksi A. lumbricoides bila menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur cacing A. lumbricoides yang telah mengandung larva. Larva cacing kemudian bebas dan menembus mukosa usus mencapai pembuluh darah sampai pembuluh mesentrika atau terbawa aliran vena porta ke hati, jantung kanan sampai peredaran darah paru. Di jaringan paru, larva cacing akan tinggal sementara waktu dan mengalami moulting atau pergantian kulit 2 kali. Selanjutnya larva akan mencapai alveolus, bronkiolus, bronkus, dan trakhea dengan bantuan bulu-bulu getar saluran nafas. Larva kemudian mencapai epiglottis dan kemudian tertelan kembali ke lambung, mencapai usus halus dan tumbuh menjadi cacing jantan dan betina (Faust & Russel, 1968). Patogenitas A. lumbricoides

  14

  usus dan menyebabkan kelainan pada penyerapan nutrisi dari makanan. Jika jumlah cacing berlebih maka dapat terjadi obstruksi usus (Hamsafir, 2010). Jika diamati lebih jauh, patogenitas cacing A. galli dan A. lumbricoides memiliki kesamaan sehingga secara patogenitas pun dapat dikatakan analog.

  Siklus hidup A. lumbricoides dapat digambarkan pula sebagai berikut.

  1

  2

  3

  4

  5

  6 Gambar 1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides (Chiodini, Moody, & Manser, 2001) Keterangan :

  1. Telur dengan embrio matang (telur infektif).

  2. Larva cacing keluar dari telur.

  3. Larva mampu menembus lapisan mukosa dan jaringan tubuh.

  4. Larva cacing berkembang menjadi dewasa berada pada intestinum.

  5. Cacing dewasa berkembangbiak pada saluran cerna (intestinum) 6. Telur yang dihasilkan keluar bersama feses dan memulai siklus baru.

  15 D. Anthelmintika

  Anthelmintika atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh.

  Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan (Sukarban & Santoso, 1995).

  1. Jenis anthelmintika

  Obat yang digunakan untuk membasmi cacing secara umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu : a. Vermifuga, yaitu bekerja dengan cara memabukkan (paralisis) cacing dalam dosis rendah.

  b. Vermisida, yaitu bekerja dengan cara langsung membunuh cacing.

  2. Mekanisme anthelmintika

  Siswandono dan Sukarjo (1995) mengelompokkan mekanisme reaksi anthelmintika sebagai berikut : a. Anthelmintika yang menyebabkan paralisis atau kematian cacing, contoh : levamisol, pirantel pamoat, dan piperazin.

  b. Anthelmintika yang mengiritasi dan merusak jaringan cacing, contoh : heksilresorsinol.

  c. Anthelmintika yang menyebabkan kekacauan cacing, terjadi perpindahan dan kehancuran cacing yang disebabkan oleh fagositosis, contoh : tiabendazol, mebendazol.

  16

  d. Anthelmintika yang menghambat enzim tertentu, contoh : levamisol, pirantel pamoat.

  Anthelmintika dari bahan alam yang sudah pernah diteliti memiliki mekanisme kerja yang beragam pula, antara lain tannin dan flavonoid yang bekerja dengan mempengaruhi metabolisme glikogen cacing sehingga tidak mampu berkembang menjadi dewasa. Disebutkan pula bahwa flavonoid secara sistemik dapat bertindak sebagai imunostimulator yang dapat meningkatkan respon tubuh hospes terhadap parasit melalui mekanisme peningkatan konsentrasi IgG, sehingga membuat eosinofil bekerja lebih optimal sebagai antiparasit (Ridwan, Satrija, Darusman, dan Handharyani, 2010). Senyawa terpen alkaloid juga disebutkan memiliki daya anthelmintika dengan mekanisme toksisitas akut pada cacing dan juga menghambat perkembangan telur cacing (Tarmudji, 2004).

E. Piperazin

  Piperazin terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Juga didapat sebagai garam sitrat, kalsium edetat, dan tatrat. Garam-garam ini bersifat stabil non higroskopik, berupa kristal putih yang larut dalam air, larutannya bersifat sedikit asam (Sukarban & Santoso, 1995).

  Pengalaman klinis menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali terhadap A.

  lumbricoides

  dan Enterobius vermicularis. Piperazin menyebabkan blokade respons otot cacing terhadap asetilkolin sehingga terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan

  17

  dan tidak diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing itu. Cara kerja piperazin diduga pada otot cacing dengan menggangu permeabilitas membran sel terhadap ion- ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis (Ganiswarna, Setiabudi, Sjamsudin, dan Bustami, 1987).

  Penyerapan piperazin melalui saluran cerna cukup baik. Sebagian obat yang diserap mengalami metabolisme, sisanya diekskresi melalui urin (Beckman,1961).

  Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Dosis terapi pada umumnya tidak menyebabkan efek, kecuali kadang-kadang nausea, vomitus, diare dan alergi.

  Piperazin dapat memperkuat efek kejang pada penderita epilepsi dan pada penderita gangguan faal ginjal dapat menyebabkan inkoordinasi otot atau kelemahan otot. Oleh karena itu, piperazin tidak boleh diberikan kepada penderita penyakit epilepsi. (Ganiswarna dkk., 1987).

  Dosis piperazin untuk dewasa terhadap Ascaris adalah 75 mg/kg berat badan atau dosis tunggal dari 3 gram selama 2 hari. Untuk anak-anak terhadap Ascaris, yaitu 50 mg/kg berat badan, yakni 1-2 tahun sebanyak 1 gram, 3-5 tahun sebanyak 2 gram dan di atas 6 tahun 3 gram sekaligus (Tan & Rahardja, 2002).

F. Toksisitas

  Toksisitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk menimbulkan kerusakan. Uji toksisitas akut berupa pemberian suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat dan bertujuan untuk menentukan suatu gejala sebagai akibat pemberian

  18