Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Mendoro

Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Mendorong Swasembada Pangan

Di tengah krisis dan ketidakpedulian baik pemerintah maupun stakeholder, sektor
pertanian ternyata mampu tegar di tengah badai krisis, setidaknya dapat dilihat pada badai
krisis tahun 1997-1998. Kehidupan petani tetap kokoh meskipun serba kekurangan. Terpaan
krisis justru mampu mengangkat taraf hidup sebagian mereka karena dapat insentif dari harga
jual komoditas yang di panen.
Berikut adalah beberapa argumentasi mengenai mengapa bidang pertanian mampu
bertahan bahkan dapat menjadi penopang perekonomian disaat krisis. Pertama, adanya
kemungkinan peningkatan penghasilan yang tinggi dari ekspor yang disebabkan oleh
depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika dan oleh relatif rendahnya biaya produksi
pertanian. Kedua, pertanian banyak menyerap tenaga kerja dan sangat penting dalam
mengatasi masalah pengangguran di saat pemerintah merasa bahwa memelihara kondisi
pemerintahan yang stabil merupakan prioritas strategi utama. Ketiga, sama pentingnya dalam
upaya pemerintah untuk memelihara kestabilan, pertanian menyediakan pasokan komoditi
kebutuhan dasar. Keempat, produksi tanaman pertanian domestik yang jika tidak dihasilkan
sendiri harus diimpor tidak hanya mengurangi pengangguran dan memasok kebutuhan dasar,
tetapi juga memberikan kebebasan penggunaan cadangan mata uang asing yang langka untuk
dipakai bagi keperluan lainnya. Untuk berbagai alasan yang disebutkan di sini, sektor
pertanian tampaknya lebih baik dibandingkan perekonomian secara keseluruhan. Di banyak
negara kontribusi relatif sektor pertanian cenderung menurun seiring dengan perkembangan

ekonomi yang cepat, dan cenderung meningkat dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi
(Wiliam D. Sunderlin dkk, 2000).
Silih bergantinya pemerintahan di Indonesia kesemuanya menjanjikan kedaulatan
pangan atau biasa di sebut swasembada pangan. Namun kesemuanya ibarat janji manis di
masa kampanye kecuali di era pemerintahan orde baru yang di kemudian hari Presiden
Soeharto mendapatkan penghargaan dari Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO) pada tahun 1985. Kini pemerintahan baru di tahun 2014 pun juga
mencanangkan swasembada pangan, tentu mustahil jika program ini hanya di pikul oleh
pemerintah. Kerja keras petani tentu sebuah keniscayaan, lalu bagaimana dengan modal
untuk mewujudkan swasembada pangan tersebut?
Tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga
stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia
dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan

banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas
moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu
pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan
moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga
bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat

berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan
mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan.
Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih
merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia (BI 2013).
Bank menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 merupakan badan
usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat. Sebagai suatu lembaga keuangan, bank mempunyai kegiatan baik funding
maupun financing atau menghimpun dan menyalurkan dana. Jadi sebagai lembaga
intermediasi bank berperan menjadi perantara antara pihak yang kelebihan dana dan pihak
yang membutuhkan dana.
Sebelum lahirnya undang-undang tersebut, bank di sebut-sebut sebagai biang keladi
krisis karena banyaknya kelemahan sistemik. Mulai dari stok hutang luar negeri swasta yang
sangat besar dan berjangka waktu pendek dan beratnya persyaratan yang menciptakan
ketidakstabilan. Pinjaman luar negeri berupa dollar yang kemudian di salurkan dalam bentuk
rupiah memicu krisis saat rupiah terdepresiasi terhadap dollar. Sedangkan di sisi lain
pemerintah pada saat itu belum memiliki sistem pengendalian dan pengawasan yang efektif
terhadap hutang luar negeri sektor swasta di Indonesia (Ginanjar kartasasmita 2002).
Tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga
stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia

dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan
banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas
moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu
pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan
moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga
bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat

berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan
mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan.
Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih
merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia (BI 2013 www.bi.go.id).
Menurut Arsitektur Perbankan Indonesia (2006), Profitabilitas dan efisiensi
operasional bank yang tidak sustainable, tingkat profitabilitas pada umumnya bukan
merupakan profitabilitas dan efisiensi yang sustainable. Hal ini disebabkan oleh lemahnya
struktur aktiva produktif bank-bank. Berbagai permasalahan yang ada mengenai peran
perbankan sebagai lembaga intermediasi Kegiatan menghimpun dan menyalurkan kredit ini
hendaknya dilakukan secara optimal oleh bank, seperti kita ketahui suatu kebijakan yang
telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral bahwa hendaknya posisis Loans
Deposit Ratio (LDR) antara 78%- 100 % ( kebijakan BI 1 Maret 2011).

Kebijakan Bank Indonesia yang mengatur LDR secara umum dalam pelaksanaan
kepatuhan sudah tidak menjadi masalah pada perbankkan di Indonesia. Masalah yang ada
justru kesesuaian antara penyaluran kredit dengan kebutuhan perekonomian belum
menunjukkan dukungan yang memadai bagi sektor pertanian. Padahal pertanian masih
merupakan sektor primer bagi perekonomian nasional, hal tersebut dapat di lihat pada
kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) yang menduduki peringkat 2 di bawah industri
pengolahan sebesar 14,44% pada tahun 2012. Disisi lain jumlah penyaluran KMK bank
umum pada tahun yang sama pada sektor pertanian sebesar 5,26%.
Di sisi lain sifat kehati-hatian bank (prudential banking) merupakan keniscayaan bagi
dunia perbankan. Sedangkan corak pertanian di Indonesia masih tradisional, hal ini di tandai
dengan ketergantungan pada alam (cuaca ekstrim) sangat tinggi, kemudian juga komoditi
pertanian tidak tahan lama atau mudah busuk. Hal tersebut bisa jadi menjadikan sektor
pertanian kurang di minati perbankan di Indonesia.
Walaupun sektor pertanian di sebut tidak bankable nyatanya masih menjadi sektor
primer bagi perekonomian, kontribusinya masih besar juga pertumbuhannya tetap positif.
Walaupun dibayangi dengan penurunan harga komoditas pertanian di pasar internasional,
namun produktivitas yang tinggi dan kondisi cuaca yang cukup baik membuat produksi
pertanian relatif lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Masyarakat di sektor pertanian mendambakan perbankan yang tidak saja sehat dan
kuat, tapi juga berperan secara efektif dan efisien dalam pembiayaan perekonomian.

Terciptanya perbankan yang sehat dan kuat di satu sisi, dan perbankan yang dapat

menjalankan fungsi intermediasinya secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan
perekonomian di sisi lainnya, bukanlah dua hal yang dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua
sisi mata uang yang menjadi satu kesatuan.
Sumbangan Pertanian Dalam Pembanguna Ekonomi
Dewasa ini di sepakati bahwa pertanian dapat memberi sumbangan besar pada
pembangunan ekonomi Negara perkembang dengan alasan sebagai berikut:
1. Pertanian pada umumnya merupakan sektor dominan di Negara berkembang, dilihat
menurt proporsi PDB yang di hasilkan dalam sektor ini atau menurut sumbanganya
terhadap penyerapan tenaga kerja total.
2. Pertumbuhan sektor nonpertanian sangat tergantung pada peningkatan penyediaan
pangan yang mantap karena hal itu menyebabkan inflasi dan upah tetap rendah.
3. Sektor pertanian menyediakan tenaga kerja bagi sektor non pertanian. Transfer tenaga
kerja demikian menguntungkan kedua sektor yang mempunyai surplus tenaga kerja
pada saat produktivitas hasil tenaga kerja rendah.
4. Laju pemupukan modal di Negara berkembang dapat meningkat dengan adanya
kemajuan sektor pertanian. Proses pemupukan modal tersebut sangat di tentukan oleh
elastisitas pasokan pangan. Pertanian yang efisien di perlukan agar penawaran pangan
lebih elastis, mengurangi laju kenaikan upah dan biaya dan memperbesar margin laba

yang di perlukan untuk pemupukan modal.
5. Pertanian dapat memberi sumbangan yang bermanfaat kepada neraca pembayaran
dengan meningkatkan penerimaan suatu Negara dari ekspor atau dengan
meningkatkan hasil-hasil pengganti impor. Dengan demikian devisa dapat di dapat
saat ekspor atau di pertahankan saat meniadakan impor bahan pangan (Subrata Gatak
1992).
Ringkasnya menurut pandangan Kuznets (1961) kita dapat menyatakan bahwa
pertanian dapat memberikan sumbangan dengan 4 jenis, yaitu sumbangan “produk” misal
pangan dan bahan mentah, kedua “factor” misal tenaga kerja, ketiga “pasar” dengan
memperbesar permintaan dan terakhir sumbangan devisa.
Adalah bermanfaat bila kita menganalisa sifat dan komposisi lembaga keuangan
pedesaan di Negara berkembang untuk merumuskan kebijakan kredit yang tepat, guna
memajukan pembangunan daerah pedesaan. Pasar uang pedesaan lazimnya meliputi para
pelepas uang pinjaman (moneylenders), para pedagang, tuan tanah, koperasi perkreditan dan

bank desa. Permintaan akan kredit berasal dari kebutuhan konsumsi dan dari pengeluaran
untuk modal, tetapi suku bunga di pedesaan biasanya tinggi. Beberapa orang berpendapat
bahwa suku bunga di pedesaan tinggi karena kemampuan petani untuk membayar kembali
utang mereka rendah (sebagai akibat pendapatan yang rendah) dan karenanya pemberi
pinjaman mengenakan suku bunga yang tinggi utnuk mengimbangi risiko yang tinggi

tersebut.
Oleh karena itu untuk membantu para petani kecil perlu di buatkan rumusan kebijakan
finansial untuk meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan riil pertanian, menaikkan
kemampuan membayar kembali hutang, mengurangi suku bunga yang lebih tinggi karena
adanya risiko yang tinggi dan suku bunga pedesaan yang mencekik leher. Namun diperlukan
juga kita mengubah kerangka social ekonomi dan perundang-undangan yang membantu
melestarikan system penguasaan lahan yang seudah berlaku berabad-abad yang menimbulkan
ketidakadilan untuk menjangkau sumber daya, termasuk kredit. Land reform yang lebih
egaliter dapat meningkatkan kelaikan para petani miskin untuk menapat kredit dan lembaga
kredit yang teroganisir akan lebih bersedia memperluas kredit yang di perlukan. Pilihan
kebijakan lainya ialah menaikkan suku bunga deposito yang ditawarkan oleh lembaga
keuangan di pedesaan
Fungsi bank pada dasarnya adalah sebagai penghubung (intermidiary) antara para
penanam modal dan peminjam modal , sebagai penghubung bank melaksanakan kegiatan :
(1)

mencari

dan


mengumpulkan

dana,

(2)

menyalurkan/memberi

pinjaman,

(3)

memperkirakan resiko suku bunga (interst rate risk) karena harus menanggung resiko
perubahan suku bunga akibat penarikan dana oleh penanam modal (terutama dalam hal
deposito berjangka pendek untuk membiayai pinjaman berjangka panjang). Efisiensi kegiatan
perbankan tersebut biasanya diukur dengan tingkat keuntungan (Sunardji Daromi 1989).
Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan bank,
kepada bank Indonesia diberi wewenang untuk menetapkan peraturan dan perijinan bagi
kelembagaan dan kegiatan usaha bank serta mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tugas pengaturan Bank Indonesia antara lain

juga menetapkan prioritas penyaluran dana kepada pengusaha golongan ekonomi lemah dan
koperasi (Penjelasan Umum Undang-Undang No 32 Tahun 1999 Tentang BI).
Dukungan terhadap sektor pertanian sebagai public goods dalam konteks food
security dan landscape preservational masih dilakukan oleh negara-negara maju seperti
Norwegia. Untuk mengetahui instrumen kebijakan optimal maka hasil simulasi yang
dilakukan oleh Brunstad et al. (2005) menunjukkan bahwa dukungan terhadap sektor

pertanian masih layak untuk diberikan maksimal sebesar 40 persen. Ini merupakan batas
dukungan yang dapat dipertahankan dengan alasan sektor pertanian sebagai public goods
(Galih Permatasari, 2012).
Pada pasal 2 Peraturan Bank Indonesia No 16/11/PBI/2014 di jelaskan tugas BI
melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam rangka (a) mencegah dan
mengurangi risiko sistemik (b) mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan
berkualitas (c) meningkatkan efisiensi keuangan dan akses keuangan. Dari ke tiga tugas
tersebut menarik untuk di apresiai poin b yakni Bank Indonesia mendorong fungsi
intermediasi yang seimbang dan berkualitas artinya ada power untuk mengarahkan fungsi
intermediasi perbankan pada sector yang sangat penting di Indonesia yaitu sector pertanian.
Meningkatnya intensitas kredit pada sektor pertanian berupa modal kerja yang
menjadi input bagi ketersediaan benih dan bibit unggul, teknologi pertanian yang lebih maju
akan sangat signifikan perannya dalam mendorong kontribusi sektor pertanian pada PDB.

Dengan demikian dibutuhkan kebijakan untuk mendorong perbankan umum berkreasi
membuat produk kredit yang cocok dan bunga rendah pada sektor pertanian. Sehingga
pertumbuhan kredit pada sektor pertanian akan meningkat tanpa mengesampingkan sifat
kehati-hatian perbankan pada umumnya.
Peningkatan kredit pada sektor pertanian akan meningkatkan pasokan pangan, artinya
sektor pertanian sebagai sektor penyedia input bagi sektor lain akan dapat mudah terpenuhi.
Dengan perombakan system kelembagaan baik pada sektor perbankan maupun petani akan
merangsang ketahanan pangan bahkan surplus pangan.
Adalah ironis untuk membayangkan bahwa ditengah-tengah kontribusi pertanian yang
cukup besar pada PDB maupun PDRB di berbagai daerah di Indonesia, banyak petani yang
hidup bergelut dengan kemiskinan. Infrastruktur yang tak kunjung membaik, biaya kesehatan
yang tak terjangkau, pendidikan yang mahal membuat petani menjaminkan apa saja yang
mereka punya termasuk sawah ladang tempat mereka berproduksi pangan untuk menghidupi
seluruh wilayah bahkan satu Negara. Yang dengan itu semua para petani berusaha sangat
keras untuk memperbaiki kualitas pendidikan anak-anak mereka, sangat di sayangkan bahwa
menurut petani untuk meningkatkan taraf hidup tersebut dengan cara pindah ke sektor lain
(non pertanian).
Kebijakan makropudensial untuk mewujudkan perbankan yang kuat nampaknya akan
semakin memperlebar jurang ketidakmerataan (redistribusi) pendapatan pada masyarakat
antara mereka yang bekerja pada sektor pertanian dengan yang bekerja pada sektor lain.


Sehingga dibutuhkan dorongan untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan pada
sektor pertanian dengan syarat mudah dan bunga rendah. Di beberapa Negara lain baik maju
maupun berkembang suku bunga kredit hanya pada kisaran 4-6% untuk sektor pertanian yang
pada akhirnya menjadi sektor primer bagi pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Beberapa penelitian menunjukkan peranan penting yang dapat dimainkan oleh sektor
pertanian di Jawa Tengah maupun di daerah lain Indonesia. Dua sebab menurunnya
kontribusi sektor pertanian pada PDRB maupun PDB di berbagai wilayah Indonesia adalah
tidak tersedianya sarana informasi (pengetahuan pertanian) dan modal untuk mendapatkan
teknologi baru bagi sebagian besar petani di Indonesia. Kesimpulannya untuk memperbesar
kontribusi sektor pertanian pada PDRB maupun PDB dan meningkatkan pendapatan dan
pengeluaaran petani, adalah sebuah keniscayaan memperkecil kendala untuk mengakses,
mendapatkan dan menggunakan sarana kredit untuk memperbarui teknologi produksi,
pengolahan maupun pemanfaatan hasil pertanian. Dengan memperbarui teknologi petani akan
dapat mengubah sikap dan cara berfikir sehingga dapat merombak kelembagaankelembagaan yang ada agar mudah dan sesuai denga kebutuhan perekonomian. Sistem
distribusi pendapatan yang lebih merata dapat di capai setelah tercapainya peningkatan
produksi dan pendapatan dengan penerapan secara hati-hati kebijakan fungsi intermediasi
perbankan pada sektor pertanian.
Bank Indonesia dalam tugasnya mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan
berkualitas tentu menjadi bagian penting untuk menciptakan swasembada pangan. Jika
menilik presentase penyaluran kredit di sector pertanian khususnya pada bank umum di Jawa
Tengah besarannya tidak lebih dari 3% padahal sector pertanian merupakan sector terbesar
pertama atau kedua bagi PDRB. Artinya kewajiban BI untuk mendorong intermediasi
perbankan perlu di lakukan dengan serius tanpa mengurangi sifat kehati-hatian bank.

Daftar Bacaan
William D. Sunderlin, dkk. “Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani
Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa”, Journal of Occasional Papper No. 28
(I) Juni 2000
Ginanjar kartasasmita. “Krisis Ekonomi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia”
Makalah Kuliah Perdana Program MM Universitas Padjajaran, Januari 2002
----. “Kajian Ekonomi Regional Jawa Tengah TW IV” Bank Indonesia Perwakilan
Jawa Tengah, 2012
Ghatak, Subrata. “Pertanian dan Pembangunan Ekonomi” dalam Norman
Gemmell, Ilmu Ekonomi Pembangunan, Beberapa Survai LP3ES, 1992, hal 491535
Daromi ,Sunardji. “Manajemen Bank I”, Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, Hal.17
Penjelasan umum Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang BI
Cobb, C.W dan Douglass, P.H dalam artikelnya “A Theory of Production” dalam
majalah American Economic Review 18, halaman 139-165.
Permatasari, Galih. “Strategi Pengembangan Wilayah Melalui Analisis Sektor
Basis Terhadap Pertumbuhan Ekonomi” Journal of Economic Development Ed 21,
2012