Geologi dalam Karya Sastra sebuah apresi

Geologi dalam Karya Sastra: sebuah apresiasi terhadap
novel “Di Kaki Bukit Cibalak” karya Ahmad Tohari
dan novel “Romo Rahadi” karya Y.B. Mangunwijaya
Salahuddin Husein
Dosen Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281
email: shddin@gmail.com

Sari
Sastrawan Ahmad Tohari dikenal oleh dunia internasional melalui karyanya yang fenomenal, yaitu
trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”, “Lintang Kemukus Dini Hari” dan “Jentera Bianglala”, sering
dianggap memiliki sentuhan khas dalam mendeskripsi alam secara detil dan menyentuh. Demikian
pula sastrawan Y.B. Mangunwijaya yang dikenal oleh dunia internasional melalui “Burungburung Manyar”, adalah seorang humanis yang mampu menggambarkan karakter batin para
tokoh secara ringan dan mengalir.
Di dalam novel “Di Kaki Bukit Cibalak” karya Ahmad Tohari dan novel “Romo Rahadi” karya
Romo Mangun, kedua sastrawan kawakan tersebut memasukkan pengetahuan ilmu kebumian
(geologi) dalam mengilustrasikan alam sekitar. Keduanya mampu dengan sangat baik
menggambarkan proses endogenik yang menyebabkan terbentuknya pegunungan, daratan dan
lautan, serta proses eksogenik yang terjadi di atas permukaan bumi, berupa perubahan dan
perpindahan material batuan oleh air, angin dan es. Meski keduanya tidak memiliki latar belakang
pendidikan ilmu kebumian secara khusus, mereka berjasa memasyarakatkan ilmu kebumian
kepada khalayak pecinta sastra. Maksud tulisan ini adalah untuk memberikan apresiasi yang

setinggi-tingginya terhadap kedua sastrawan kawakan Indonesia tersebut.

Pendahuluan
Ahmad Tohari dikenal sebagai sastrawan kawakan yang memiliki sentuhan khas dalam
mendeskripsi alam secara detil dan menyentuh. Karyanya yang fenomenal dan telah
diterjemahkan ke dalam 6 bahasa adalah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang
Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Peraih penghargaan The
Southeast Asian Writers Award 1995 ini lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa
Tengah, pada tanggal 13 Juni 1948. Seusai menamatkan SMA di Purwokerto, Ahmad
Tohari melanglang kuliah di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (19671970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas
Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976).
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, seringpula disebut sebagai Romo Mangun, adalah seorang
humanis yang juga memiliki nama dalam dunia sastra internasional. Ciri khas tulisan
beliau adalah penggambaran karakter batin para tokoh yang dilukiskan secara ringan dan
mengalir. Salah satu karyanya yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa adalah
Burung-burung Manyar (1981), yang memperoleh hadiah dari Ratu Thailand Sirikit lewat
ajang The Southeast Asian Writers Award 1983. Budayawan kelahiran Ambarawa, 6 Mei
1929, pernah bergabung dengan Tentara Pelajar ketika menempuh pendidikan SMP di
Yogyakarta dan sempat menjadi Komandan Seksi Tentara Pelajar Brigade XVII (19471948). Selepas menempuh pendidikan seminari di Yogyakarta dan Magelang hingga
ditahbiskan menjadi Pastor Projo di tahun 1959, Romo Mangun mengejar cita-citanya

Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional”
15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta

E7-1

semenjak kecil, yaitu menjadi seorang arsitek. Diawali dengan studi arsitektur di ITB dan
berlanjut ke Sekolah Teknik Tinggi Rhein, Westfalen, Aachen, Jerman, hingga tamat pada
tahun 1966. Beberapa karya arsitekturalnya mendapat penghargaan Ikatan Arsitek
Indonesia Awards pada tahun 1991 dan 1993, The Aga Khan Award for Architecture pada
tahun 1992, dan The Ruth and Ralph Erskine Fellowship Award pada tahun 1995.
Makalah ini tidak dimaksudkan untuk menganalisa atau mengkritisi suatu karya sastra,
sebab sejujurnya penulis merasa tidak memiliki kemampuan dan kepantasan untuk itu.
Bahkan tulisan ini muncul karena kekaguman penulis terhadap karya-karya kedua
sastrawan tersebut. Di dalam novel “Di Kaki Bukit Cibalak” karya Ahmad Tohari (1977)
dan “Romo Rahadi” karya Romo Mangun (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya;
1981), kedua sastrawan tersebut memasukkan pengetahuan ilmu kebumian (geologi) dalam
mengilustrasikan alam sekitar. Selaku orang yang tengah aktif dalam pengajaran dan
pendidikan ilmu kebumian, penulis memiliki obsesi mengenai penyampaian pengetahuan
geologi dalam bahasa awam. Tampaknya harapan penulis itu telah dicontohkan oleh kedua
sastrawan tersebut, meski (dan ini yang mengagumkan) keduanya tidak memiliki latar

belakang pendidikan ilmu kebumian secara khusus. Sehingga penulis menyebut tulisan ini
sebagai sebuah apresiasi, sebuah penghargaan, terhadap orang-orang yang telah berjasa
memasyarakatkan ilmu yang penulis geluti.
Geologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu tentang bumi, terutama
dari permukaan hingga ke bagian dalam planet ini. Sisi unik geologi yang membedakannya
dengan ilmu-ilmu kebumian lainnya adalah perhatian ilmu ini yang sangat besar terhadap
sejarah, yaitu sejarah pembentukan bumi dan segala material penyusunnya. Secara umum,
proses-proses alam yang ada di bumi ini terbagi menjadi dua. Pertama adalah proses
endogenik yang berlangsung di bawah permukaan bumi, menyebabkan terbentuknya
pegunungan, daratan dan lautan. Kedua adalah proses eksogenik yang terjadi di atas
permukaan bumi, berupa perubahan dan perpindahan material batuan oleh air, angin dan
es. Berikut ini akan dipaparkan kemampuan kedua sastrawan tersebut dalam menjelaskan
proses-proses alam dalam perspektif geologi tersebut.

Novel “Di Kaki Bukit Cibalak”
Novel ini menceritakan perjuangan Pambudi, seorang pemuda desa idealis, dalam
menghadapi penyelewengan kekuasaan di desanya. Pada novel ini, persentuhan Ahmad
Tohari dengan informasi geologi ada pada halaman 74-77. Dengan kekuatannya sebagai
penulis yang mampu mempersonifikasi alam, Ahmad Tohari merangkumkan proses
terbentuknya Bukit Cibalak hingga pada kondisinya saat ini. Bukit Cibalak sendiri adalah

panggung utama (setting) di mana sebagian besar cerita berputar bersama tokoh-tokohnya.
Penggambaran pembentukan Bukit Cibalak yang merupakan bukit kapur di selatan Jawa
Tengah dimulai dengan pernyataan adanya upaya manusia untuk memahami alam secara
ilmiah, dengan suatu kalimat yang merangsang jiwa para pembaca untuk mempelajari
alam.
Bukit Cibalak. Daya pikir manusia dapat membuktikan bahwa dulu, bukit itu
adalah lapisan kerak bumi yang berada di dasar laut.
Pada kalimat selanjutnya, Ahmad Tohari yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren
juga dikenal sebagai sastrawan yang religius, memasukkan personifikasi kekuatan alam
dalam proses pembentukan Bukit Cibalak.
E7-2
Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional”
15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta

Alam yang perkasa, dengan kekuatan tektonis mengangkat lapisan kerak bumi
itu ke atas permukaan laut dan lebih tinggi lagi. Sisa-sisa koloni binatang
karang yang dulu hidup subur di bawah air laut, memberi bahan dasar bagi
terbentuknya lapisan kapur yang mewarnai Bukit Cibalak.
Kekuatan tektonis adalah kekuatan yang berasal dari energi dalam panas bumi yang
menggerakkan lempeng-lempeng kerak bumi, merupakan gaya utama yang membentuk

permukaan planet ini.
Dalam kajian geologi, setiap batuan yang berada di permukaan bumi mesti akan
mengalami proses eksogenik, yaitu interaksi dengan udara, air dan tetumbuhan yang
mengakibatkan adanya pelapukan. Proses eksogenik ini lah yang akan mengubah bentuk
permukaan bumi menjadi bentuknya saat ini. Ahmad Tohari menggambarkannya dengan
memasukkan peran tetumbuhan sebagai yang dominan.
Setelah melewati masa berjuta-juta tahun, datanglah lumut kerak yang
membuat kulit tipis di sekujur tubuh Bukit Cibalak. Tanaman pionir ini
memungkinkan tumbuhnya lumut, kemudian bangsa pakis. Masing-masing
memerlukan waktu jutaan tahun. Hutan pakis yang menutupi Bukit Cibalak
beribu-ribu abad lamanya meninggalkan lapisan humus yang tebal, tempat
tanaman yang lebih tinggi tingkatannya menancapkan akar.
Salah satu kesulitan pemahaman manusia terhadap proses-proses alam dalam perspektif
geologi adalah skala waktu, di mana proses endogenik dan eksogenik berlangsung dalam
jangka waktu ribuan hingga jutaan tahun, jauh melebihi skala waktu dalam sejarah hidup
manusia dan kebudayaannya. Untuk menggambarkan skala waktu geologi tersebut, Ahmad
Tohari dalam rangkaian kutipan di atas mengulanginya hingga tiga kali. Dalam kalimat
pertama untuk menjelaskan upaya tumbuhnya lumut kerak di atas batuan yang gersang.
Dalam kalimat ketiga, dijelaskan kurun waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan
lumut kerak dan pakis untuk menjadi dominan. Pada kalimat terakhir digambarkan rentang

waktu untuk proses terbentuknya humus.
Kehadiran manusia, seringkali membuat masalah bagi lingkungannya. Tak terkecuali
dalam karya Ahmad Tohari ini. Pada perkembangan ekologisnya, Bukit Cibalak
merupakan tempat yang subur bagi pepohonan jati yang dikembangkan oleh Belanda.
Jaman Jepang dan Republik yang menyusulnya membuat pepohonan jati tersebut
ditebangi, membuat Bukit Cibalak menjadi gundul. Pada akhirnya kondisi ini sangat
merugikan bagi ekosistem itu sendiri. Ahmad Tohari menyajikannya dengan menawan.
Warisan si perkasa alam, mati. Tinggal gumpalan batu kapur dan batu cadas di
sana. Cibalak kembali seperti ketika ia baru muncul dari dasar laut jutaan
tahun yang lalu. Tak ada tanaman, satwa, bahkan air.

Novel “Romo Rahadi”
Novel ini bertutur tentang pergulatan batin Romo Rahadi, seorang pastor muda di
pedalaman Irian Jaya (kini bernama Papua), dalam memilih antara panggilan tugas sebagai
seorang pastor yang telah menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan dan panggilan hati
kepada cintanya saat kanak-kanak pada seorang gadis. Romo Mangun membangun cerita
tersebut dengan latar belakang alam Papua yang menawan dengan pegunungannya yang
perkasa. Pada halaman 91-92, Romo Mangun dalam kematangan rohani dan kepiawaian
dalam merangkai kata untuk melukiskan suara batin, mengambil perlambang gejala
geologis dalam pembentukan pegunungan bagi gelisahnya jiwa sang tokoh cerita.


Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional”
15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta

E7-3

Romo Mangun memulai dengan menggambarkan kondisi samudera yang sesungguhnya.
Ah, apa arti waktu bagi hati yang mendamba dalam pergulatan di bawah
permukaan air? Arus apa yang mengalir seribu meter di bawah permukaan
samudera? Hanya manusia berhati batu yang tidak mampu mendengar ratap
dan nyanyian tanpa suara yang melintasi lapisan-lapisan air laut yang tak
pernah terkena sinar matahari.
Fakta ilmiah bahwa air laut pun ternyata terbagi menjadi beberapa lapisan dengan masingmasing arus yang mengalir ke berbagai arah yang berbeda dengan arus di permukaan.
Pembagian lapisan-lapisan tersebut ditentukan oleh kadar garam dan berat jenis, serta
mengatur pula pola kehidupan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. Arus-arus air di
berbagai lapisan itu pula yang membuat rejeki berupa ikan-ikan di samudera tersebar ke
berbagai tempat, memberikan manfaat ekonomi kepada kehidupan manusia.
Dengan berpijak pada fakta tentang samudera di atas, Romo Mangun kemudian bertutur
tentang proses geologis yang dialami oleh Pegunungan Jayawijaya yang gagah. Romo
Mangun mencoba memberikan detil proses geologi dengan bahasa yang “sunyi”, untuk

menggambarkan kesunyian hati sang tokoh.
Irian ini pun sekian juta tahun yang lalu adalah dasar samudera. Perlahanlahan ia diangkat oleh Maha Kebesaran Illahi dalam evolusi geologis.
Mungkin hanya satu milimeter dalam setiap seratus tahun. Perlahan-lahan,
tanpa suara, tanpa menghitung waktu. Akhirnya ia muncul, ia muncul, tanpa
berbisik, diam ia muncul di atas permukaan laut. Sekarang setinggi
pegunungan Jayawijaya yang begitu memuncak hingga diselimuti salju abadi.
Bukti-bukti fosil binatang laut masih banyak terdapat di puncak-puncak gunung
pulau misterius ini. Padahal dulu itu cuma karang-karang laut belaka. Muncul
dari bawah dasar samudera gelap. Apalagi manusia. Ah, apa arti saat sumpah
janjiku ketika itu? Berdosakah manusia bila ia berubah dan berpemandangan
lain dari dulu? Sedangkan dasar lautan pun meninggalkan biara
kesemadiannya untuk melihat bulan dan mengagumi bintang-bintang yang
berkedip cantik-cantik.
Pada kalimat pertama di atas, Romo Mangun mencoba membangun skala waktu geologi
dalam proses geologi yang digambarkannya. Proses yang berjalan begitu lambat, hanya
dalam “satu milimeter dalam setiap seratus tahun” dianggap “tanpa suara, tanpa
menghitung waktu”. Sungguh suatu pemilihan kata-kata yang luar biasa, sebab
demikianlah yang kita rasakan bila skala waktu geologi yang serba lambat dimasukkan ke
dalam skala waktu kehidupan manusia yang serba cepat.
Sebagai seorang teolog, Romo Mangun mengajarkan pula kepada kita untuk senantiasa

mengingat “Tangan-Nya” dalam proses alam yang berlangsung. Dalam wacana
pertentangan ilmiah sepanjang jaman antara “pendukung penciptaan (kreatonis)” dan
“pendukung evolusi”, kalimat “Maha Kebesaran Illahi dalam evolusi geologis”,
sebagaimana yang tertulis pada kalimat kedua dalam cuplikan di atas, memberikan jalan
tengah yang melapangkan. Kalimat tersebut mencerminkan keyakinan Romo Mangun
bahwa evolusi memang ada dan berlangsung di alam semesta ini, tetapi semuanya
hanyalah tahapan-tahapan penciptaan yang dikendalikan-Nya.
Bagaimana para ahli geologi mengetahui asal-usul geologi suatu daerah serta usia yang
telah dilaluinya? Cara yang paling klasik adalah dengan mempelajari fosil-fosil yang
dijumpai dalam tubuh batuan. Bagaimana Pegunungan Jayawijaya yang merupakan daerah
tertinggi di Indonesia diketahui berasal dari dasar lautan dan bagaimana menghitung
E7-4
Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional”
15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta

usianya dapat dikaji melalui kandungan fosil-fosilnya. Bila usia batuan yang ada telah
diketahui, maka selanjutnya dapat diketahui berapa kecepatan batuan tersebut mengalami
pengangkatan dari dasar samudera ke ketinggiannya berada saat ini. Bukti pengkajian
ilmiah ini diungkapkan pula Romo Mangun dalam kalimat-kalimat:
Bukti-bukti fosil binatang laut masih banyak terdapat di puncak-puncak gunung

pulau misterius ini. Padahal dulu itu cuma karang-karang laut belaka. Muncul
dari bawah dasar samudera gelap.

Penutup
Kedua karya tersebut membuktikan bahwa ilmu geologi bukanlah ilmu yang membuat
kening berkerut karena sulit dipahami, dan terutama, sulit disampaikan. Kedua sastrawan
dengan kehalusan jiwanya dapat memberi pengetahuan kepada para pembaca karyanya
tentang penjelasan suatu proses geologi yang biasanya tampil kaku dalam kertas kerja para
mahasiswa dan dosen.
Sungguh menarik hati bila kedua novel tersebut dapat dijadikan “bacaan wajib” bagi para
mahasiswa Teknik Geologi. Karena melalui kedua buku tersebut mereka dapat mengasah
rasa bahasa, sebagaimana maksud dari pengajaran sastra pada umumnya, selain dapat
meningkatkan kemampuan mendeskripsikan elemen dan proses alam dalam rangkaian
kalimat yang tertata rapi.

Referensi
Mangunwijaya, Y.B. (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya; 1981) Romo Rahadi,
Pustaka Jaya, Jakarta, 377 hal.
Tohari, A. (1977) Di Kaki Bukit Cibalak, Pustaka Jaya, Jakarta, 191 hal.


Seminar Nasional Ilmu Kebumian “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional”
15 Februari 2008 - Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta

E7-5