Penggunaan Multimedia dalam Pengajaran M

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

PENGGUNAAN MULTIMEDIA DALAM PENGAJARAN MUATAN
LOKAL BAHASA DAERAH
Iqbal Nurul Azhar1

Abstraksi: Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2005, sebanyak 10
bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedang puluhan hingga ratusan bahasa
daerah lainnya saat ini juga terancam punah. Untuk mengatasi ini pemerintah memasukkan
bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran resmi yang berbentuk muatan lokal. Namun
sayangnya, banyak dijumpai kelemahan dalam pengajaran muatan lokal ini, salah satunya
adalah masih monotonnya sistem pengajaran bahasa daerah di kelas. Penerapan metode
mengajar yang beragam yang disertai dengan penggunaan multimedia yang bervariasi
diyakini mampu menutupi kelemahan ini. Artikel ini mencoba mengulas tuntas hal tersebut.

Kata-kata kunci: muatan lokal, Bahasa daerah, multimedia, kelas

Abstract: Based on a research conducted in 2005, it was found that 10 local languages had
already been extinct, and another hundred languages were endangered. To solve this
problem, our government placed local languages subject in the group of the official subjects
that had to be studied in schools. Unfortunately, there are so many weaknesses can be found

related to the teaching processes of the subject in classrooms. The monotonousness of
teaching and learning activities is one of the weaknesses. The implementation of various
teaching methods accompanied by the usage of multimedia in classrooms, are considered to
be the best solution to solve the problem. This article discusses all about this matter.

Keywords: schools’ subject, local languages, multimedia, classroom activities.

1

Iqbal Nurul Azhar adalah pengamat pendidikan, praktisi etnolinguistik dan dosen
Universitas Negeri Trunojoyo

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

A. PENDAHULUAN
Bahasa daerah adalah bahasa komunikasi sehari-hari yang dipakai oleh
masyarakat lokal. Bahasa ini telah bertahan melewati berbagai macam perubahan zaman
dan telah sering bersinggungan dengan bahasa lain seperti bahasa daerah lain, bahasa
asing maupun bahasa Indonesia. Akibat dari berinteraksinya bahasa ini dengan berbagai
macam kondisi dan stuasi, maka muncullah berbagai macam jenis dialek dan logat yang

berbeda. Akibatnya, bahasa daerah yang di ucapkan oleh satu masyarakat, meskipun
secara akar dan rumpun sama, tetapi dalam prakteknya memiliki perbedaan dengan
bahasa daerah yang diucapkan oleh masyarakat daerah lain. Kita ambil contoh yaitu
bahasa Jawa Solo. Meskipun secara rumpun sama, namun dalam beberapa aspek, jelas
berbeda dengan bahasa Jawa Banyuwangi. Demikian pula yang terjadi di Madura.
Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Madura, orang Madura akan dapat terlihat
jelas apakah dia berasal dari Bangkalan atau Sumenep ketika mereka berbicara.
Perbedaan ini bisa dilihat dari perbedaan aksen dan intonasi yang diucapkan oleh dua
masyarakat yang berbeda tapi sama tersebut.
Meskipun berbeda, bahasa daerah ini memiliki kesamaan yang tidak dapat
dibantahkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan sastra. Peribahasa adalah
contoh nyata dari hal ini. Antara masyarakat Malang maupun masyarakat Yogyakarta
pasti tidak akan berbeda pendapat untuk mengartikan Tut Wuri Handayani yang
memiliki makna dari belakang memberikan motivasi untuk maju. Demikian juga
peribahasa Madura Akantha belling kaojanan, yang memiliki makna seseorang yang
tidak mempan untuk dinasehati, pastilah orang Madura Sampang maupun Madura
Jember tidak akan berbeda persepsi untuk mengartikannya. Ada puluhan atau ratusan
bahasa sastra dan peribahasa yang ada di masyarakat daerah yang mungkin akan sayang
sekali apabila bahasa ini hilang hanya karena masyarakat daerah tidak menggunakan
atau bahkan mungkin tidak mempelajarinya sama sekali.

Kekhawatiran ini memang cukup berasalan. Sebuah temuan mengejutkan yang
didapat dari hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi
menjelaskan bahwa sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah,
sedang puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini juga terancam punah
(www. tempointeractive.com). Pada tahun 2005, berdasarkan penelitian Pusat Bahasa
Depdiknas RI, bahasa daerah di Indonesia berjumlah 731 bahasa. Pada 2007 tinggal 726

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

bahasa,

karena

5

bahasa

diantaranya

mati


(www.elbud.or.id.htm).

Untuk

menyelamatkan bahasa daerah dari kebinasaan inilah, maka Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Menengah mencantumkan Bahasa Daerah sebagai muatan lokal yang harus
dan wajib dipelajari.
Dalam sejarah pengajaran bahasa daerah, seperti survei tahun 1999 (Rusyana
dalam Rosidi ‘ed.’, 1999: 72-75), bahasa daerah diajarkan di lima belas propinsi, yaitu
Aceh, Sumatra Utara, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa
Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Bali. Propinsi lain

yang menyusul

mengajarkannya, yaitu Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jakarta, Iirian Jaya, dan Nusa
Tenggara Timur. Bahasa daerah yang diajarkan adalah bahasa Aceh, Gayo, Batak
Mandaliling, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Melayu, Rejang,
Lampung, Sunda, Cirebon, Madura, Dayak Simpang, Dayak Kanayatan, Banjar, Kutai,

Tombulu, Tonsawang, Mongondow, Bugis, Makasar, Mandar, Toraja, Tolaki. Muna,
Wolio, dan Bali. Bahasa-bahasa daerah itu diajarkan di semua SD dan SLTP. Untuk
tingkat SLTA, seperti bahasa Jawa baru diajarkan di sekolah guru dan SMU Bahasa.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang pada substansinya adalah
kurikulum berbasis kompetensi, menawarkan setitik asa terhadap peningkatan kualitas
pembelajaran bahasa daerah sebagai salah satu muatan lokal. Bahasa daerah yang
dulunya posisinya masih belum pasti karena tidak ada aturan jelas tentang tata laksanya,
kini mulai mendapatkan perhatian. Perhatian ini setidaknya akan meminimalisir
bervariasinya perlakuan daerah terhadap mata pelajaran ini.
KTSP (Depdiknas, 2006) memberikan arahan tentang posisi bahasa daerah
dalam proses pembelajaran di sekolah. Mata pelajaran ini merupakan kegiatan kurikuler
untuk mengembangkan kompetensi siswa yang disesuaikan dengan potensi daerah
beserta ciri khasnya, termasuk di dalamnya keunggulan daerah, corak kehidupan lokal
daerah tersebut yang kesemuanya dikelompokkan ke dalam topik atau subtopik yang
bervariasi. Inti dari mata pelajaran bahasa daerah ini ditentukan oleh Satuan Pendidikan.
Keberadaan mata pelajaran bahasa daerah merupakan bentuk penyelenggaraan
pendidikan yang tidak terpusat. Inilah wujud nyata desentralisasi pendidikan yang
berakar kuat pada kearifan terhadap keadaan dan kebutuhan lokal.

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009


Muatan lokal (mulok) sebagai salah satu unsur muatan Kurikulum 1994 mulai
diterapkan sejak tahun 1994. Status mulok sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib
diajarkan di sekolah (dasar dan menengah) kemudian diperkuat posisinya dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
disahkan pada tanggal 8 Juli 2003 (pos kupang.com). Sayangnya, meskipun sudah lama
diterapkan, hasilnya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal mendasar
yang mungkin dapat dijadikan alasan adalah bahwa bahasa daerah adalah bukan bahasa
official/resmi yang wajib dipakai di dalam segala kegiatan formal. Bahasa daerah
hanyalah bahasa komunikasi sehari-hari yang ketika dipakaipun kadang kurang
memenuhi standard penggunaannya karena sering dicampur adukkan dengan bahasa
lain. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi negara Indonesia dipakai sebagai
bahasa formal yang kegunaannya akhir-akhir ini menjadi “trend” dan mampu
“mengalahkan” penggunaan bahasa daerah dalam masyarakat.
Sebagai bukti nyata ada dalam pelaksanaan Festival Duta Wisata di Madura. Dari
hasi pengamatan penulis2, tidak kurang dari 40 persen peserta festival tidak bisa
berbahasa daerah, 60 persen sisanya bisa berbahasa daerah dengan catatan bahasa yang
mereka pakai adalah bahasa kasar3. Hanya 3 persen dari keseluruhan peserta festival
tersebut yang mampu secara lancar mengungkapkan idenya dengan menggunakan
bahasa halus secara tepat dan lancar. Fenomena ini dapat menjadi pukulan telak

terhadap masyarakat Madura, karena para calon duta wisata yang diharapkan mampu
mewakili nama baik kota tempat kelahiran mereka ternyata memiliki kelemahan yang
mungkin bagi sebagian masyarakat yang masih memegang teguh budaya sebagai cacat
yang tidak termaafkan. Berkaca dari pengalaman tersebut, maka timbul sebuah
pertanyaan yang perlu kita kaji secara mendalam. Mengapa semua itu bisa terjadi?
Secara logis, satu pertanyaan tersebut muaranya berasal dari dua hal. Yang
pertama adalah dari faktor keluarga sebagai basis pendidikan terkecil dari masyarakat,
dan yang kedua adalah dari tempat mereka menimba ilmu yaitu sekolah. Dan andaipun
kita diminta untuk membandingkan keduanya, lebih besar manakah pengaruh keluarga
dan sekolah yang menyebabkan fenomena ini mampu terjadi, maka kita dengan yakin
dapat menunjuk sekolah sebagai bagian yang menyumbang tangan terhadap adanya
2
3

Penulis pernah menjadi juri Story Telling dalam Festival Kacong-Jebbing Bangkalan
Bahasa Madura memiliki tiga tingkatan, Enja’-Iyah (kasar), Enggi-Enten (menengah), EnggiBunten (halus)

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

fenomena ini terjadi. Mengapa Sekolah? Karena jelas lembaga ini memiliki perangkat

formal yang sebenarnya sangat mampu menanggulangi masalah tersebut. Perangkat
pertama adalah sistem, yang kedua adalah kurikulum. Sistem dapat memaksa anak-anak
untuk belajar bahasa daerah dengan baik dan benar melalui pelaksanaan pembelajaran
formal sehari-hari yang kemudian secara formal pula dikhiri dengan ujian, sedangkan
kurikulum adalah kerangka dan pedoman nyata akan kemana mata pelajaran muatan
lokal ini diarahkan.
Sistem dan kurikulum ini memang telah diimplementasikan oleh sekolah-sekolah
yang mengajarkan muatan lokal bahasa daerah. Namun sayangnya ada banyak sekali
kelemahan yang dijumpai, diantara lain: (1) materi pengajaran bahasa daerah lebih
banyak menekankan pada pembahasan peribahasa, arti kosakata, isi dari sebuah teks,
perubahan bahasa kasar ke bahasa halus, dan bagaimana menulis dengan huruf kuno
(honocoroko, hanacaraka), sedang pembahasan tentang tata bahasa daerah yang baik
dan bagaimana mengucapkan satu kata lewat metode menyimak, jarang dilaksanakan.
Padahal tidak semua siswa di sekolah tersebut adalah

asli orang daerah tersebut.

Mereka butuh kaset atau media lainnya yang bisa mereka pelajari di rumah yang berisi
kosakata dan bagaimana cara mengucapkannya. (2) kegiatan pembelajaran masih
menggunakan gaya lama, yaitu ceramah dan jarang melibatkan kegiatan praktek seperti

presentasi menggunakan bahasa daerah halus, atau memberikan sambutan dengan
menggunakan bahasa daerah. (3) Guru jarang atau bahkan mungkin tidak pernah
memakai peralatan multimedia seperti tape, dan TV untuk mengajarkan bahasa daerah
di kelas. Padahal sumber belajar anak-anak tidak hanya ada di buku diktat mereka saja.
Kelemahan yang dipaparkan di atas menyebabkan pengajaran bahasa daerah
terkesan monoton dan membosankan, sehingga banyak diantara siswa yang malas untuk
belajar dengan sungguh-sungguh ketika pengajaran bahasa ini dilaksanakan.
Dari apa yang telah disebutkan di atas, maka tulisan ini mencoba menawarkan
konsep pengajaran muatan lokal bahasa daerah dengan memanfaatkan multimedia
sebagai salah satu sarana untuk menarik minat siswa untuk lebih tekun belajar bahasa
daerah mereka sendiri. Fokus diskusi dari konsep yang ditawarkan dalam artikel ini
akan dibagi ke dalam empat poin penting yaitu; (a) bagaimana membuat pembelajaran
bahasa daerah bermakna dan menarik (b) manfaat media dalam pengajaran bahasa
daerah (c) sarana multimedia yang bisa dipakai dalam pengajaran bahasa daerah

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

(d) bagaimana memanfaatkan sarana belajar multimedia dalam pengajaran bahasa
daerah.


B. MEMBUAT PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH BERMAKNA DAN
MENARIK
Pembelajaran bahasa daerah hendaknya berlangsung tidak sekedar meaning
getting, tetapi berupa proses meaning making, sehingga akan terjadi internalisasi nilainilai dalam diri siswa. (wibawa, sutrisna, 2007). Dengan pola ini, siswa tidak dipaksa
bekerja keras menggunakan aspek kognitif mereka untuk memahami seperangkat
kaidah. Energi mereka lebih diarahkan kepada pengembangan aspek afektif, sesuai
dengan sifat bahasa daerah itu sendiri yang sebagian besar bersubstansikan nuansa
afektif. Konsep pembelajaran seperti ini akan dapat diimplementasikan dengan baik
pada semua pengajaran bahasa daerah di daerah manapun, karena pada dasarnnya
bahasa-bahasa daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang sama, yaitu penuh
dengan substansi afektif.
Belajar dari pelaksanaan pembelajaran muatan lokal kurikulum 1994, guru
sebagai manajer, team leader, pendidik dan sutradara kegiatan kelas terkesan kurang
memahami apa yang ditulis dalam GBPP mereka. Tanpa pemahaman penuh terhadap
apa yang tertulis dalam GBPP tersebut, mereka melaksanakan kegiatan belajarmengajar. Dengan penuh ketidakyakinan, mereka menjelaskan apa saja yang mereka
ketahui. Kesulitan ini menyebabkan guru kehilangan fokus karena perhatian mereka
terpecah. Selain guru harus dapat memahami GBPP, guru juga harus dapat menyiapkan
skenario pembelajaran yang baik. Karena masalah inilah, guru hanya menjelaskan saja
kepada siswa beberapa teori verbalistik (aspek kognitif saja) dan bukan berusaha
membuat mereka memahami dan mengarahkan mereka kepada mencintai (salah satu

aspek afektif).

Tentu keadaan ini dapat dijadikan sebagai cermin berharga untuk

berkaca terhadap kelemahan pembelajaran bahasa daerah saat ini yang dapat digunakan
untuk pembenahan pembelajaran bahasa daerah di tahun-tahun yang akan datang.
Pola pembelajaran bahasa daerah dengan KBK didasarkan atas pendekatan
kontekstual atau yang dikenal dengan pola pembelajaran CTL (Contextual Teaching and
Learning). Pembelajaran kontekstual sebagai dijelaskan dalam KTSP (Depdiknas,
2006) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru mengkorelasikan antara materi

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

atau topik yang diajarkannya dengan keadaan di kehidupan nyata dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran
efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan
(inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi
(reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Dengan konsep itu, hasil
pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung
alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer
pengetahuan dari guru ke siswa.
Untuk pelaksanaan pembelajaran, dapat digunakan pendekatan “penyatukaitan
diri dengan yang dipelajari” (immerison, mencelupkan diri ke dalamnya) (wibawa,
sutrisna, 2007). Penerapan dari pendekatan ini, dalam pembelajaran bahasa daerah,
siswa harus dibawa secara langsung dengan cara melibatkan diri mereka ke dalam
pembelajaran bahasa tersebut secara utuh. Siswa diajak menggunakan bahasa daerah
secara langsung untuk menulis atau mengarang, berbicara, membaca, dan menyimak.
Kebiasaan guru menguasai kelas dengan ceramahnya yang panjang lebar tentang bahasa
daerah hendaknya perlu dikurangi atau bahkan mungkin dihindari. Yang diperlukan
guru di dalam kelas hanyalah memberikan instruksi seperlunya untuk mengarahkan
siswa bagaimana seharusnya mereka belajar bahasa daerah di kelas tersebut.
Selebihnya, diserahkan kepada siswa karena merekalah sebenarnya pusat pembelajaran.
Namun apabila diperlukan, guru dapat tetap menggunakan metode lama yaitu ceramah,
dan itupun hanya dilaksanakan ketika benar-benar dibutuhkan, seperti ketika guru
menjumpai sebuah pertanyaan yang tidak mungkin dijawab tanpa melakukan penjelasan
secara klasikal di depan kelas.
Proses immersion ini dapat diimplementasikan ke dalam berbagai macam
kegiatan kelas. Kita ambil contoh dalam pembelajaran berbicara, siswa secara langsung
belajar untuk berbicara (berkomunikasi dengan orang lain, berpidato, bercerita, dan
menyanyi). Mereka diberi kesempatan untuk berekspresi menggunakan bahasa daerah
mereka. Tugas guru hanyalah membetulkan jika ada kesalahan penggunaan kata dan
tata bahasa. Pembelajaran menulis juga demikian. Siswa diajak menulis atau mengarang
secara langsung (mengarang puisi, cerita pendek, cerita bebas, atau lainnya). Dalam
pembelajaran menyimak, guru dapat menggunakan fasilitas multimedia (audio visual)

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

untuk membangkitkan semangat siswa dalam belajar. Multimedia ini digunakan untuk
menampilkan penggunaan bahasa secara langsung yang ada di masyarakat seperti
tayangan ketoprak, ludruk, lagu-lagu campur sari, pentas wayang, panembrama,
karawitan, dan lomba puisi berbahasa daerah.
Menggunakan permainan individu atau kelompok dalam pengajaran bahasa
daerah juga dianjurkan. Selain menghindari pembelajaran yang monoton, permainan
juga dipakai untuk melatih kreatifitas mereka. Semakin dini kreatifitas ini diasah,
semakin bagus dan jelas hasilnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah penggunaan media. Raharjo (1991
menyatakan bahwa visualisasi mempermudah orang untuk memahami suatu pengertian.
Sebuah pemeo mengatakan bahwa sebuah gambar “berbicara“ seribu kali dari yang
dibicarakan melalui kata-kata (a picture is worth a thousand words). Hal ini tidaklah
berlebihan karena sebuah wayang atau gambarnya akan lebih menjelaskan barangnya
(atau pengertiannya) daripada definisi atau penjelasan dengan seribu kata kepada orang
yang belum pernah mengenalnya.
Media pembelajaran sebagai faktor eksternal dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan efisiensi belajar karena mempunyai potensi atau kemampuan untuk
merangsang terjadinya proses belajar. Misalnya, (a) menghadirkan obyek langka:
seperti kereta kencana, jenis-jening tembang (b) konsep yang abstrak menjadi konkrit:
peribahasa, sistem masyarakat, (c) mengatasi hambatan waktu, tempat, jumlah dan
jarak: siaran radio atau televisi pendidikan, (d) menyajikan ulangan informasi secara
benar dan taat asas tanpa pernah jemu: buku teks, modul, program video atau film
pendidikan berbahasa daerah,. (e) memberikan suasana belajar yang santai, menarik,
dan mengurangi formalitas.

C. MANFAAT MEDIA DALAM PENGAJARAN BAHASA DAERAH.
Multimedia dalam pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakan
komunikasi audio visual. Media ini semula dilihat sebagai teknologi peralatan, yang
berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan atau dengan kata lain mengajar dengan alat bantu audio-visual. Multimedia
pembelajaran merupakan gabungan dari tiga aliran yang saling berkepentingan, yaitu

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

media dalam pendidikan, psikologi pembelajaran dan pendekatan sistem dalam
pendidikan.
Media memiliki multimakna, baik dilihat secara terbatas maupun secara luas.
Munculnya berbagai macam definisi disebabkan adanya perbedaan dalam sudut
pandang, maksud, dan tujuannya (www. didikwirasamodra.wordpress.com). NEA
(National Education Association) dalam mustolih (2008) memaknai media sebagai
segala benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca, atau dibincangkan
beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut.
Raharjo dalam dickywirasamodra (2008) menyimpulkan beberapa pandangan
tentang media. Raharjo menempatkan media sebagai komponen sumber, dan
mendefinisikannya sebagai “komponen sumber belajar di lingkungan peserta didik yang
dapat merangsangnya untuk belajar.” Dari definisi ini kita dapat melihat bahwa media
dalam peroses pengajaran bahasa daerah dapat digunakan untuk merangsang
minat belajar siswa.
Dalam definisi yang lain, Rahardjo menyatakan bahwa media dalam arti yang
terbatas,

adalah

sebagai

alat

bantu

proses

kegiatan

pembelajaran.

(www. didikwirasamodra.wordpress.com). Hal ini berarti bahwa media sebagai alat
bantu, dapat digunakan guru bahasa daerah untuk memotivasi belajar peserta
didik, memperjelas informasi/pesan pengajaran, serta memberikan tekanan pada
bagian-bagian yang penting, memberi variasi pengajaran dan memperjelas
struktur pengajaran. Di sini media memiliki fungsi yang jelas yaitu memperjelas,
memudahkan dan membuat menarik pesan kurikulum yang akan disampaikan oleh guru
kepada peserta didik sehingga dapat memotivasi belajarnya dan mengefisienkan proses
belajar. Di samping itu dikemukakan bahwa kita hanya dapat mengingat 20% dari apa
yang kita dengar, namun dapat mengingat 50% dari apa yang dilihat dan didengar.
Karenanya, penggunaan multimedia, yaitu media yang melibatkan indera pendengaran
atau penglihatan sangat berperan penting dalam proses pembelajaran bahasa daerah.

D. PEMILIHAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH
D.1. Kriteria Memilih Media
Tiap jenis media mempunyai karakteristik atau sifat-sifat khas tersendiri.
Artinya, satu media mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Dalam

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

menentukan media yang akan dipakai, seorang guru akan mempertimbangkan banyak
hal sebelum menggunakan media tersebut. Terdapat 6 hal yang biasanya dijadikan
pertimbangan oleh guru dalam memilih media, antara lain: jangkauan, keluwesan,
ketergantungan, kendali/kontrol, atribut, dan biaya operasional penggunaan media
tersebut. (www. didikwirasamodra.wordpress.com).
1. Jangkauan
Beberapa media tertentu lebih sesuai untuk pengajaran individual misalnya buku teks,
modul, program rekaman interaktif (audio, video, dan program komputer). Jenis yang
lain lebih sesuai untuk pengajaran kelompok di kelas, misalnya media proyeksi
(OHT, Slide, Film) dan juga program rekaman (audio dan video). Ada juga yang
lebih sesuai untuk pengajaran massal , misalnya program siaran ( radio, televisi, dan
konferensi jarak jauh dengan audio).

2. Keluwesan :
Dari segi keluwesan, media ada yang praktis mudah dibawa kemana-mana,
digunakan kapan saja, dan oleh siapa saja, misalnya media cetak seperti buku teks,
modul , diktat , dll.
3. Ketergantungan Media :
Beberapa media tergantung pemakaianya pada sarana/fasilitas tertentu atau hadirnya
seorang penyaji/guru.
4. Kendali / control :
Kadang-kadang dirasa perlu agar kontrol belajar ada pada peserta didik sendiri
(pelajar individu), pada guru (pelajaran klasikal), atau peralatan.
5. Atribut :
Penggunaan media juga dapat dirasakan pada kemampuanya memberikan rangsangan
suara, visual, warna maupun gerak.
6. Biaya :
Alasan lain untuk menggunakan jenis media tertentu ialah karena murah biaya
pengadaan atau pembuatanya. Media transparansi (OHT ) adalah sarana visual berupa
huruf, lambang, gambar, grafis maupun gabungannya yang dibuat pada bahan tembus
pandang atau transparan untuk diproyeksikan pada sebuah layar atau dinding dengan

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

menggunakan alat yang disebut “overhead projector “ atau OHP. Sebagaimana halnya
dengan semua jenis media proyeksi, OHT mempunyai kemampuan untuk
membesarkan bayanganya di layar atau didinding sejauh kekuatan lensa dan sinar
proyeksinya dapat mendukung. Oleh sebab itu, OHT sangat sesuai untuk kegiatan
seminar, lokakarya, pengajaran maupun latihan yang melibatkan kelompok sasaran
yang cukup besarnya sampai efektif 60 orang.
D.2. Jenis-Jenis Multimedia
Untuk mengemas pembelajaran agar lebih menarik dan tidak membosankan,
guru dapat memanfaatkan sarana teknologi yang ada disekitar. Pemanfaatan teknologi
ini selain membantu guru untuk menyampaikan materi dapat juga meningkatkan
konsentrasi, perasaan ingin tahu dan kreatifitas anak.
Media cukup banyak macamnya, Raharjo (1991) menyatakan bahwa ada media
yang hanya dapat dimanfaatkan bila ada alat untuk menampilkannya. Ada pula yang
penggunaannya tergantung pada hadirnya seorang guru, tutor atau pembimbing (teacher
independent). Media yang tidak harus tergantung pada hadirnya guru lazim tersebut
media instruksional dan bersifat “self contained”, maknanya: informasi belajar, contoh,
tugas dan latihan serta umpan balik yang diperlakukan telah diprogramkan secara
terintegrasi.
Dari berbagai ragam dan bentuk dari media pengajaran, pengelompokan atas
media dan sumber belajar ekonomi dapat juga ditinjau dari jenisnya, yaitu dibedakan
menjadi media audio, media visual, media audio-visual, dan media serba neka.
1. Media Audio: radio, piringan hitam, pita audio, tape recorder, dan telepon .
2. Media Visual
a. Media visual diam : foto, buku, ansiklopedia, majalah, surat kabar, buku referensi
dan barang hasil cetakan lain, gambar, ilustrasi, kliping, film bingkai/slide, film
rangkai (film stip) , transparansi, mikrofis, overhead proyektor, grafik, bagan,
diagram, sketsa, poster, gambar kartun, peta, dan globe.
b. Media visual gerak : film bisu .
3. Media Audio-visual
a. Media audiovisual diam : televisi diam, slide dan suara, film rangkai dan suara ,
buku dan suara.

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

b. Media audiovisual gerak : video, CD, film rangkai dan suara, televisi, gambar dan
suara. .
4. Media Lain
a. Papan dan display : papan tulis, papan pamer/pengumuman/majalah dinding,
papan magnetic, white board, mesin pangganda.
b. Media tiga dimensi : realia, sampel, artifact, model, diorama, display.
c. Media teknik dramatisasi : drama, pantomim, bermain peran, demonstrasi,
pawai/karnaval, pedalangan/panggung boneka, simulasi.
d. Sumber belajar pada masyarakat : kerja lapangan, studi wisata, perkemahan.
e. Komputer
D.3. Multimedia Yang Cocok Dipakai Dalam Pembelajaran Bahasa Daerah
Semua media yang disebutkan di atas sebenarnya dapat dipakai dalam
pembelajaran bahasa daerah. Tergantung dari sekreatif apa guru pengajar muatan lokal
tersebut. Semakin kreatif seorang guru, maka media yang digunakan selama proses
belajar akan semakin bervariasi. Tidak ada batasan berapa jumlah maksimal media yang
dapat dipakai di dalam kelas. Asalkan memiliki keterkaitan kuat dengan tujuan
pembelajaran, dan tujuan pembelajaran tersebut tercapai maka berapapun jumlahnya,
media tersebut dapat diterima
Beberapa media yang sangat bermanfaat untuk digunakan di dalam kelas namun
jarang dipakai oleh guru pengajar muatan bahasa daerah adalah:
a. Media alat elektronik seperti VCD/DVD atau video berisi berbagai program bahasa,
sastra, dan budaya daerah seperti pertunjukan wayang, berbagai upacara tradisional,
lagu-lagu daerah (tembang, campur sari, karawitan) dapat dipakai di dalam kelas.
Pemanfaatan alat elektronik sangat membantu anak-anak terutama yang memiliki
gaya belajar Auditory dan Visual. Apabila materi yang ditayangkan dalam media
tersebut kemudian di evaluasi dengan menggunakan evaluasi yang berwujud
product atau performance, maka anak-anak yang memiliki gaya belajar Kinestetik
akan terbantu.
b. pemanfaatan program komputer dalam bentuk software yang berhubungan dengan
bahasa dapat juga dipakai di dalam kelas atau sebagai sahabat siswa ketika mereka
belajar mandiri. Untuk membaca dan menulis aksara Jawa, Dinas Kebudayaan

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

Propinsi DIY telah menghasilkan program komputer hanacaraka

yang dapat

digunakan untuk pembelajaran membaca dan menulis Aksara Jawa.
c. Model pembelajaran
seperti

wayang

bahasa daerah

atau

dengan memanfaatkan media pertunjukan

pertunjukan

tradisional

lainnya

kiranya

dapat

direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran bahasa daerah di
sekolah.
d. Kegiatan ekstrakurikuler

untuk mendukung kegiatan kurikuler juga perlu

digalakkan, misalnya majalah dinding yang memuat karya siswa, sanggar sastra,
karawitan, dan berbagai lomba bahasa, sastra, dan kesenian daerah. Kegiatan
menggunakan bahasa daerah dalam waktu-waktu khusus juga perlu digalakkan,
misalnya kegiatan sehari berbahasa Jawa (hari bahasa Jawa) di beberapa sekolah di
DIY perlu diperluas ke sekolah-sekolah lain. Kegiatan pemerintahan yang
menerapkan kegiatan hari bahasa Jawa juga perlu didukung dan perlu diperluas ke
daerah-daerah lain.
e. pemanfaatan internet (apabila ada) sangat dianjurkan di sekolah. Internet adalah
gudang informasi. Melalui internet, jutaan informasi yang berhubungan dengan
bahasa daerah dapat diakses dengan cepat. Beberapa website berbahasa daerah
(utamanya Jawa) juga dapat digunakan untuk media pembelajaran. Situs-situs itu,
antara lain:
1. www.familiazam.com/bahasa_jawa.htm
2. www.geocities.com/mohdsabilan/
3. www.jawapalac.org/subsastra.htm/
4. http://jv.wikipedia.org/wiki/Kaca_Utama
5. http://jonggringsaloka.org
6. http://padhang-mbulan.blogspot.com
7. www.seasite.niu.edu/Indonesian/jawa/unit1jawa.htm

E. MEMANFAATKAN MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
DAERAH DI KELAS.
Esensi pembelajaran muatan lokal diarahkan pada realitas penggunaan bahasa
daerah dengan ragam dan laras selengkapnya yang didasarkan indeks postur batin
penuturnya seperti (1) kaidah struktur, (2) contoh pemakaian bahasa yang sahih, (3)

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

contoh kegagalan DVC (diksi, verbositas, gramatika) yang harus dihindari, (4)
antisipasi perkembangan kosakata dan (5) istilah bidang iptek. (Sunoto, 2008)
Gagasan yang mengacu pada pendekatan komunikatif tersebut tersaji dalam
bentuk Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang disesuaikan dengan kebutuhan
daerah. Secara utuh, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang diharapkan dapat
dicapai lewat pembelajaran ini dirumuskan dalam bentuk kemampuan untuk
mendengaran dan memehami, berbicara, membaca dan memahami, memberikan respon
secara tulisan berbagai bentuk wacana non sastra maupun sastra baik lisan maupun
tulisan, dan yang terakhir adalah mampu mengapresiasi sastra daerah tersebut dalam
bentuk yang lebih konkret yaitu mencintai karya sastra daerah. Dari gambaran ini kita
dapat membedakan subsatansi pengajaran bahasa daerah ke dalam dua siklus besar yaitu
siklus lisan dan tulisan. Dengan pemetaan ini maka kita dapat menentukan jenis
multimedia pembelajaran yang akan dipakai guru di dalam kelas.

E.1 Pemakaian Multi Media Elektronik dalam Siklus Lisan dan Tulisan
a. Siklus Lisan
Siklus lisan terbagi dalam dua ranah yaitu ranah menyimak dan berbicara.
Ketika materi belajar telah sampai pada ranah ini maka multimedia yang cocok adalah
multimedia yang mampu memaksimalkan kemampuan audio dan visual siswa yaitu
mata dan pendengaran mereka. Tidak hanya itu, andaikata memungkinkan, kemampuan
psikomotorik mereka harus juga bisa dioptimalkan melalui kegiatan yang melibatkan
pergerakan tubuh siswa, minimal gerak otot lidah dan mulut dalam bentuk pelafalan.
Misalnya pada mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa, ketika materi telah
masuk pada topik Kareman (hobby) seperti sepedhahan (bersepeda), maka sebaiknya
guru tidak memulai membuka kelas dengan meminta siswa membaca teks, karena
kegiatan membaca teks tidak berada dalam ranah lisan. Sebaiknya guru memulai
membuka kelas dengan cara memberikan informasi-informasi pengantar yang
berhubungan dengan topic (Building Knowledge of the Topic) seperti menanyakan
kepada mereka apakah mereka punya sepeda, sepeda apa yang mereka punya, kapan
mereka biasanya bersepada, dan bagaimana perasaan mereka ketika bersepeda. Guru

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

juga dapat membuka kelas dengan memutarkan kaset yang di dalamnya terdapat teks
yang dibacakan dengan menggunakan narasi bahasa jawa, atau guru juga dapat
memutarkan film yang berhubungan dengan hobby bersepeda dan alangkah lebih
baiknya kalau hobi tersebut berhubungan dengan sepeda kuno karena lebih bernuansa
tradisional.
Disini akan terlihat betapa besar peranan multimedia. Selain karena siswa akan
dapat mendengar dan melihat secara langsung apa sepeda itu, bagian-bagiannya seperti
apa, dan cara bersepeda yang sehat itu bagaimana, perhatian mereka akan sepenuhnya
tersita untuk mendengar dan melihat media yang diputar.
Perhatian dari mereka inilah yang sangat penting didapatkan dalam proses
belajar mengajar. Tingkat perhatian mereka dapat diukur dari hasil respon mereka
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh guru yang berkaitan dengan topik. Semakin
besar perhatian terhadap media, maka semakin besar pula tingkat kebenaran jawaban
mereka terhadap pertanyaan.
Karena aktifitas yang dilaksanakan berada dalam siklus lisan, maka selain
kegiatan menyimak, terdapat pula kegiatan berbicara. Guru dapat mensetting kegiatan
ini dalam bentuk kegiatan presentasi perorangan tentang hobby bersepeda, atau
andaikata guru ingin kegiatan tersebut lebih menantang lagi, guru dapat membuat
kegiatan roleplay seperti seminar tentang sepeda, atau kegiatan pidato individu dengan
topik budayakan hidup sehat dengan sepeda. Kegiatan presentasi ini jelas melibatkan
aspek psikomotorik yaitu kegiatan menggerakkan mulut dan bagian-bagian tubuh
lainnya. Ketika siswa presentasi, guru dapat menggunakan media seperti pengeras suara
WA (Wireless Amplifier) untuk membantu siswa presentasi dan untuk merekam
presentasi tersebut. Guru dapat memberikan penjelasan bahwa hasil pidato tersebut akan
diputar di kelas sebelah, sehingga dengan adanya penjelasan ini, para siswa akan lebih
bersungguh-sungguh mempersiapkan pidato bahasa daerah mereka. Hasil rekaman
tersebut dapat bermanfaat banyak untuk pembelajaran bahasa daerah tersebut di masa
depan. Selain dapat dijadikan model tentang pidato, hasil pidato tersebut dapat dijadikan
bahan pengajaran yang berhubungan dengan tata ukara maupun kosakata. Kesalahankesalahan kosakata maupun tata bahasa yang ada di dalam pidato dapat ditampilkan dan
dijadikan bahan untuk evaluasi agar tidak diulang untuk dilakukan lagi oleh siswa
tahun-tahun selanjutnya.

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

Andaikata

guru

bermaksud

untuk

melanjutkan

topik

tersebut

dan

mengarahkannya pada pembahasan tata ukara (tata bahasa), misalnya tentang pola
jejer-wasesa (Subjek-Predikat) maka guru dapat melakukan penjelasan itu dengan
menggunakan slides yang ditampilkan melalui LCD ataupun lewat OHP. Penggunaan
LCD maupun OHP jauh lebih efektif dari pada hanya menggunakan media tulisan di
papan tulis. Selain karena menghemat waktu karena guru tidak perlu menuliskannya di
papan tulis, slide yang ditampilkan dapat jauh lebih menarik karena penuh warna dan
gambar. Di dalam slide juga dapat ditampilkan suara-suara unik yang mampu
mengundang perhatian siswa. Andaikata guru mampu, guru dapat menambahkan slide
dengan informasi tentang contoh pemakaian kata yang benar dalam kalimat, serta
bagaimana intonasi yang bener cara mengucapkan kalimat tersebut.
Media seperti yang sudah disebutkan di atas besar sekali peranannya dalam
menumbuhkan rasa senang dan cinta terhadap bahasa daerah melalui kegiatan apresiatif
dan rekreatif. Selain dengan mendengarkan berita seputar topik, siswa bisa diajak untuk
menikmati lagu-lagu campursari, keroncong, dan langgam Jawa (bahasa Jawa) serta
memahami makna syairnya. Menikmati acara ketoprak humor, ketoprak jampi stres, dan
ludruk humor yang telah direkam dari siaran televisi sangat baik untuk dilaksanakan
dalam siklus lisan ini asalkan sesuai dengan Tujuan Pembelajaran.
Guru juga dapat memprogramkan kegiatan ektrakulikuler yang berhubungan
dengan bahasa daerah dengan cara mengajak mereka secara langsung menikmati
wayang kulit hasil garapan baru seperti yang dipentaskan oleh Ki Enthus Susmono, Ki
Joko Hadiwijoyo ("dalang edan'') sampai ke wayang serius oleh Ki Anom Suroto dan Ki
Manteb Soedharsono. Kegiatan melihat dan menikmati secara langsung ini sangat
sesuai dengan apa yang disebutkan sutrina wibaya sebagai immersion “penyatukaitan
diri dengan yang dipelajari” (wibawa, sutrisna, 2007).

b. Siklus Tulisan
Siklus tulisan sebagai siklus kedua terbagi dalam dua ranah yaitu ranah
membaca dan menulis. Pada dua ranah ini multimedia yang cocok adalah multimedia
yang mampu memaksimalkan kemampuan visual-kognitif dan psikomotorik siswa yaitu
mata dan kemampuan gerak tangan mereka. Karena fokus dari siklus ini adalah
membaca dan menulis, maka alat bantu mengajar yang paling dominant yang dipakai di

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

dalam kelas adalah teks. Karena melibatkan teks tulis, maka penggunaan LCD, buku
modul, komputer, internet, dan alat tulis sangatlah optimal dalam siklus ini.
Untuk membuka siklus ini guru dapat bermain-main dalam fase Building
Knowledge of the Topic (memberikan pengantar informasi yang berhubungan dengan
topic). Kita ambil contoh misalnya dalam pengajaran bahasa Madura. Topik yang akan
diangkat adalah Namen Salak (menanam salak). Guru dapat menggunakan LCD untuk
menampilkan gambar salak dan mengundang mereka untuk membuat kalimat satu saja
di papan tulis yang berhubungan dengan salak. Yang dikoreksi bukan isi dari tulisan itu,
tapi bagaimana bentuk tulisan tersebut, apakah terdapat kesalahan kosa kata atau salah
tata bahasa. Tulisan anak-anak kemudian diberikan koreksi seperlunya. Tidak perlu
terlalu detail, karena focus pembahasan bukan pada tata bahasa, tetapi pada membaca.
Menuliskan satu kalimat hanya pengantar saja sebelum masuk pada materi.
Setelah pengantar, guru masuk pada inti materi yaitu membaca. Ada banyak cara
untuk melaksanakan kegiatan ini. Guru bisa menyuruh siswa membuka buku mereka
dan membacanya jika memang guru siswa punya, atau guru memberikan foto kopi teks
membaca tersebut satu persatu, atau guru bisa menampilkan teks tersebut lewat LCD
atau OHP. Teks yang ada pada buku maupun slide berfungsi sebagai model bacaan bagi
mereka. Model ini yang akan menjadi contoh ketika mereka akan masuk pada fase
menulis.
Jika guru ingin kelas menjadi lebih meriah, siswa dibagi kedalam kelompokkelompok kecil dan tiap kelompok itu diberikan amplop yang di dalamnya terdapat
kertas-kertas yang berisi sebuah teks yang di potong-potong tiap paragraph. Teks
tersebut berisi segala hal yang berhubungan dengan Namen Salak. Kelompok tersebut
kemudian diminta menyusun potongan paragraph menjadi sebuah teks lengkap.
Kelompok yang tercepatlah yang menang.
Jika jumlah siswa di kelas tidak terlalu banyak, guru dapat memainkan game
running dictation, yaitu permainan perkelompok yang tujuannya adalah untuk
memindahkan teks ke dalam selembar kertas tulis. Untuk memainkan permainan ini,
guru hanya cukup menyiapkan kertas model yang jumlahnya sesuai dengan jumlah
kelompok. Kertas tersebut kemudian ditempelkan di luar kelas. Satu perwakilan siswa
dari tiap kelompok dimainta keluar untuk membaca teks tersebut dan menceritakan apa
yang telah dibaca dan diingatnya tentang isi teks kepada anggota kelompok yang lain.

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

Perwakilan tersebut kemudian digantikan oleh yang lain secara bergiliran untuk
mendapatkan keseluruhan isi teks. Kelompok yang telah dapat menyusun dengan tepat
dan tercepat dari teks yang ditempelkan di luar kelas, kelompok itulah yang menang.
Untuk meningkatkan semangat berkompetisi yang sehat, guru dapat menyiapkan
hadiah yang menarik yang bisa dinikmati bersama-sama oleh anggota kelompok yang
telah memenangkan lomba. Hadiahnya cukup yang murah saja, seperti buku atau
camilan. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan antusiasme siswa dan mempererat
kekerabatan diantara mereka, dapat pula meningkatkan jiwa sportivitas mereka.
Untuk mengoptimalkan kemampuan psikomotorik mereka terutama dalam hal
menulis, guru juga dapat memberikan tugas menulis apa saja tentang salak dengan
menggunakan bahasa daerah. Siswa diberikan keleluasaan untuk mendapatkan inspirasi
dengan mengajak mereka ke lab komputer dan memberikan kesempatan kepada mereka
untuk browsing di internet mencari informasi tambahan tentang salak. Apabila waktu
tidak mencukupi, tugas mereka menulis dapat dibawa pulang sebagai PR.
Dari pembelajaran yang melibatkan kegiatan membaca dan menulis dengan
topik namen salak ini, kita bisa menghitung berapa banyak media yang dipakai. Ada
lebih dari 7 media yang digunakan dalam kegiatan ini, dan semua media yang
digunakan berfungsi untuk mendukung kegiatan pembelajaran agar lebih menarik.

F. SIMPULAN
Dari paparan tentang penggunaan multimedia dalam pengajaran muatan lokal
bahasa daerah di sekolah, dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Bahasa daerah berada dalam situasi yang memprihatinkan, karena banyak
penggunanya yang telah meninggalkan bahasa ini. Untuk mengatasi bertambahnya
bahasa daerah yang mati, maka pemerintah memberlakukan bahasa daerah sebagai
muatan lokal yang dipelajari di sekolah.
2. Meskipun menjadi muatan lokal dan diajarkan di sekolah, mata pelajaran bahasa
daerah masih kurang diminati siswa. Hal ini disebabkan mata pelajaran bahasa
daerah diajarkan dengan cara monoton dan klasikal.
3. Untuk mengatasi masalah ini, metode pengajaran bahasa daerah perlu
dikembangkan, pengembangan ini bias lewat penerapan metode CTL, dan
immersion, yaitu menyatukan diri dengan matapelajaran mereka.

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009

4. Penggunaan multimedia juga berperan penting. Selain untuk menumbuhkan
semangat belajar pada siswa, penggunaan media yang bervariasi dapat membantu
dan melayani siswa dengan gaya belajar yang berbeda, Audio, Visual dan
Konestetik.
5. Berbagai macam permainan dapat dimainkan dalam proses belajar siswa. Permainan
ini jika di dukung oleh multimedia akan menghasilkan hasil yang luar biasa.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional RI, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP): Bahan Sosialaisasi. htpp//:www.depdiknas.id.org.
Rosidi, Ajip (editor). 1999. Bahasa Nusantara suatu Pemetaan Awal. Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya
Sunoto, L. Daya Tarik Pelajaran Bahasa Jawa. http://groups.yahoo.com.
Wibawa, Sutrisna. 2007. Implementasi Pembelajaran Bahasa Daerah Sebagai
Muatan Lokal. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya Yogyakarta, 8 September
2007
www. didikwirasamodra.wordpress.com. Multimedia Dalam Pembelajaran. Diakses
Jumat, 12 September 2008
www. elbud.or.id.htm. Memperbicangkan Nasib Bahasa Madura. Diakses Kamis, 11
September 2008
www. mustolihbrs.blogspot.com. Multi Media dalam Pembelajaran. Diakses Jumat, 12
September 2008
www.pos kupang.com. Kurikulum Mulok Masih Terseok-seok. Diakses Kamis, 18
September 2008
www. tempointeractive.com. 10 Bahasa Daerah Punah, 700 Lainnya Terancam
Diakses Jumat, 12 September 2008

Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009