Sabtu 04 April 2009 MODEL PEMBELAJARAN M

Sabtu, 04 April 2009
MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM IMPLEMENTASI
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun
dan dirancang oleh masing-masing satuan pendidikan. Di dalam KTSP terdapat standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Kompeten merupakan hasil belajar (outcomes) yang
diwujudkan pada peserta didik setelah melalui pendalaman kompetensi. Kompetensi
mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dasar dinyatakan pada setiap jenjang dan
tingkatan dalam setiap mata pelajaran atau bidang studi.
2. Profesi dan Profesional
Profession dalam bahasa Inggris berarti accupation sebagai kata sifat kepemilikan
atau berhubungan dengan suatu profesi, memiliki atau menunjukkan keterampilan
seorang profesional, berhubungan dengan aktivitas tertentu sebagai one’s man paid
accupation (dibedakan dengan amatir). Professional juga dapat berarti orang yang
profesional (n professional person).
3. Cara Mencapainya
Kompetensi maupun profesional dapat dicapai melalui suatu upaya dan dirancang
dalam program tertentu yang terbuka dan diketahui banyak orang. Pada KTSP, prinsipprinsip kegiatan belajar mengajar (KBM), menekankan pada belajar yang berpusat pada

peserta didik. Belajar dengan melakukan, mengembangkan, kemampuan sosial,
mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah berTuhan. Mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah, mengembangkan kreativitas siswa, mengembangkan
kemampuan ilmu dan teknologi, menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang
baik, belajar sepanjang hayat, perpaduan kompetensi, kerja sama dan solidaritas. Untuk
memotivasi peserta didik disarankan strategi pembelajaran menggunakan prinsip-prinsip
kebermaknaan, pengetahuan dan keterampilan bersyarat, pemodelan, komunikasi terbuka,
keaslian dan tugas yang menantang, latihan yang tepat dan aktif, penilaian tugas, kondisi
dan frekuensi yang menyenangkan, keragaman pendekatan, mengembangkan beragam
kemampuan, melibatkan sebanyak mungkin indera. Keseimbangan pengaturan
pengalaman belajar (termasuk refleksi dan pemberian waktu yang cukup untuk berpikir,
dan memberikan kesempatan untuk membangun sendiri gagasannya).
B. Model Pembelajaran Matematika
1. Perlunya Model Pembelajaran

Untuk menciptakan komunitas peserta didik yang mahir (creating communities of
expert learners), kita perlu memulai pencarian pengetahuan dan hakekat pembelajaran.
Model pembelajaran membantu peserta didik mencari informasi, gagasan, keterampilan,
nilai-nilai, cara berpikir, dan makna atau cara mengekspresikan diri mereka, juga
membekali mereka cara belajar. Guru-guru yang sukses bukanlah sekedar penyaji yang

karismatik dan persuasif. Peran utama dalam pembelajaran adalah menciptakan
pembelajar yang berdaya guna (powerful learneras). Model-model pembelajaran
dipersiapkan oleh para tokoh pendidikan sebagai contoh dan alternatif yang lebih konkret
yang diperkirakan sesuai dengan hakikat pembelajaran bidang studi tertentu dan tingkat
perkembangan intelektual peserta didik.
2. Model Pembelajaran Matematika
Menurut Dewey (Joyce, et.al, 2000: 13), inti dari proses belajar adalah pengaturan
lingkungan tempat peserta didik berinteraksi dan bagaimana belajar. Sebuah model
mengajar atau model pembelajaran merupakan deskripsi dari suatu lingkungan belajar.
Deskripsi tersebut memiliki beberapa manfaat, beranjak dari perancangan kurikulum mata
pelajaran, hingga desain pembelajaran, bahan ajar, lembar kerja siswa, dan program
lainnya. Berikut skema penjenjangan pada pembelajaran di kelas.
Teknik
Metode
Pendekatan
Strategi
Model

Dalam kegiatan pembelajaran di kelas terdapat beberapa istilah tentang cara
mengajar seperti model, strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran. Strategi

adalah merupakan siasat dalam pembelajaran contohnya seperti mengaktifkan peserta
didik. Dalam strategi terdapat pendekatan. Pendekatan adalah suatu arah atau
kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan
pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pengajaran
itu, umum atau khusus dikelola. Metode merupakan cara mengajar yang sifatnya umum
dan dapat dilakukan pada semua mata pelajaran. Teknik merupakan cara mengajar yang
bersifat khusus sesuai dengan karakter materi pelajaran, peserta didik, atau keterampilan
guru. Jadi model pembelajaran merupakan suatu konsepsi untuk mengajar suatu materi

dalam mencapai tujuan tertentu. Model pembelajaran mencakup strategi, pendekatan,
metode dan teknik. Contoh model pembelajaran matematika adalah model pembelajaran
kooperatif, model pembelajaran kontekstual, model pembelajaran berbasis masalah,
model pembelajaran langsung, model pembelajaran konstruktivisme, model pembelajaran
Matematika realistik dan lain-lain.
3. Beberapa Pendekatan dalam Pembelajaran Matematika
Jika seorang guru menggunakan model pembelajaran, di dalamnya terdapat
pendekatan-pendekatan mengajar. Beberapa pendekatan yang diduga dapat digunakan
agar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran, di antaranya menurut Kusumah, Yaya S.
(2005:1-10)
a. Pendekatan Pemecahan Masalah

Masalah dapat didefinisikan sebagai suatu situasi, saat seseorang diminta
menyelesaikan persoalan yang belum pernah dikerjakannya, dan cara pemecahannya
belum diketahuinya. Persoalan yang dihadapinya itu termasuk masalah jika tergolong
baru baginya meskipun dia memiliki pengetahuan atau pengalaman yang dapat
diterapkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Masalah dihadapi seseorang jika
dia belum memiliki suatu prosedur untuk mencari jalan keluarnya, masalah tersebut
dianggapnya sebagai tantangan, dan ada keinginan dari dirinya untuk keluar dari
permasalahan tersebut. Hoffer (dalam Ubayanti, 1997: 7) menjelaskan suatu persoalan
yang tidak dapat langsung dipecahkan karena belum ada fakta atau algoritma yang
pasti untuk dapat menyelesaikannya
Masalah terbagi atas dua macam, yaitu masalah menemukan (problem to find)
dan masalah membuktikan (problem to solve) (Polya, 1962: 119). Pada masalah
menemukan, tujuan pemecahannya adalah menyusun konstruksi, menghasilkan,
memperoleh, dan menggunakan suatu objek masalah yang kita ketahui.
Adanya masalah artinya adanya kesenjangan antara di mana seseorang
sekarang berada dan di mana seharusnya dia berada sekarang. Upaya penyelesaiannya
dapat dilakukan dengan (1) menyadari adanya kesenjangan itu, dan (2) menentukan
cara-cara penyelesaian untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Dalam matematika, sesuatu dianggap sebagai masalah jika pemecahannya
memerlukan adanya pemikiran, kreativitas, imajinasi, atau penalaran. Masalah bagi

seseorang belum tentu merupakan masalah bagi orang lain. Sesuatu yang sifatnya
rutin bagi seseorang, mungkin termasuk hal-hal yang biasa saja bagi yang dia, namun
mungkin sebaliknya tidak berlaku; hal-hal yang rutin mungkin merupakan sesuatu
yang sulit bagi orang lain.
Ruseffendi, E.T. (1991) menyatakan bahwa suatu persoalan merupakan
masalah bagi seseorang bila persoalan itu tidak dikenalnya, dan orang tersebut
mempunyai keinginan untuk menyelesaikannya, terlepas apakah pada gilirannya dia
mampu mencari jawabannya atau tidak. Persoalan akan menjadi suatu permasalahan
bagi seorang siswa; pertama, bila siswa tersebut belum mempunyai prosedur atau
algoritma tertentu untuk menyelesaikannya, tapi dia diharuskan memiliki kemampuan
untuk menyelesaikannya; kedua, siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma

tertentu untuk menyelesaikannya; ketiga, bila ada keinginan atau tekad untuk
menyelesaikannya. Jika dari ketiga syarat tersebut ada yang tidak dipenuhi, maka
persoalan tersebut bukanlah suatu masalah.
Dalam matematika suatu soal atau persoalan termasuk masalah apabila tidak
terdapat aturan/hukum tertentu yang segera dapat digunakan untuk menyelesaikannya
(Hudoyo, 1988). Bell (1978) menyatakan bahwa suatu situasi merupakan masalah
bagi seseorang bila ia menyadari adanya situasi itu, mengakui bahwa situasi itu
memerlukan tindakan, tetapi tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan

terhadap situasi itu.
Pemecahan masalah merupakan kegiatan yang sangat penting dalam
pembelajaran matematika karena prosedur pemecahan dapat melatih kemampuan
analisis siswa yang diperlukan untuk menghadapi masalah-masalah yang ditemuinya
dalam kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah dalam pemecahan masalah dapat pula
membantu siswa memahami fakta-fakta, konsep, atau prinsip matematika dengan
menyajikan ilustrasi dan realisasinya. Pemecahan masalah matematika membantu
siswa dalam meningkatkan kecepatan, pemahaman, penyusunan, perincian, dan
penemuan secara logis dalam matematika.
Polya (1985) membagi tahapan pendekatan pemecahan masalah, dalam empat
tahap, yaitu:
1) Memahami masalah (understanding the problem).
2) Merencanakan penyelesaian (devising a plan).
3) Melaksanakan perhitungan (carrying out the plan).
4) Memeriksa kembali proses atau hasil (looking back).
Dalam langkah pertama, siswa perlu merumuskan apa sebenarnya yang belum
diketahuinya, apa yang diketahuinya, dan apakah informasi yang diketahuinya
dianggap cukup. Langkah ini dilanjutkan dengan merumuskan upaya-upaya apa yang
dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah langkah-langkah
penyelesaian ditetapkan, proses perhitungan dilaksanakan yang diikuti dengan proses

pengecekan kembali setiap langkah penyelesaian yang telah dikerjakan.
b. Pendekatan Open-Ended
Masalah konvensional yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dasar
dan sekolah menengah umumnya memiliki sifat yang sama, yaitu jawabannya tunggal
dan sudah ditetapkan sebelumnya. Masalahnya juga sudah dirumuskan, sehingga
jawabannya hanya terdiri atas dua kemungkinan: benar atau salah, atau bahkan
jawaban yang benarnya pun unik (tunggal). Masalah seperti ini dinamakan masalah
yang tertutup.
Dalam perkembangan pembelajaran yang dimunculkan Shimada (1977), telah
dikembangkan masalah-masalah terbuka (open ended) atau masalah tak lengkap

(incomplete problem). Masalah-masalah seperti ini memiliki banyak jawaban yang
benar, yang juga mengandung banyak cara atau pendekatan.
Pendekatan open-ended, sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran
matematika, berawal dari kerja penelitian Shigeru Shimada, Toshio Sawada, Yoshiko
Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda, 2000). Pendekatan ini merupakan jawaban
atas permasalahan pendidikan matematika sekolah dasar yang aktivitasnya kerap kali
bersifat “frontal teaching”, yang menjelaskan konsep baru di depan kelas kepada para
siswa, dan dilanjutkan dengan pemberian contoh penyelesaian beberapa soal.
Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan open-ended suatu masalah

yang tak lengkap terlebih dahulu dikemukakan pada siswa. Berikutnya beberapa
jawaban yang benar dikemukakan sebagai jawaban terhadap masalah yang diberikan
untuk memberikan pengalaman pada siswa tentang bagaimana menentukan sesuatu
yang baru dalam proses yang berlangsung. Langkah ini dilakukan dengan memadukan
pengetahuan, keterampilan dan cara berpikir siswa yang telah diperoleh sebelumnya.
Jawaban dari suatu tugas atau pertanyaan yang sifatnya open-ended tidaklah
mutlak tunggal, melainkan bisa terdiri dari berbagai jawaban. Ini berbeda dari
pertanyaan tertutup yang hanya memiliki sebuah jawaban tunggal. Kedua jenis
pertanyaan ini (tertutup dan terbuka) amat berguna dalam pembelajaran. Di saat siswa
bekerja dalam kelompok, pertanyaan tertutup bisa mendorong mereka untuk
mendiskusikan lebih jauh untuk memperoleh jawaban yang benar. Namun, pertanyaan
yang terbuka juga sangat penting, karena siswa biasanya mampu menjawab sesuai
dengan tingkat kemampuannya, karena tak ada jawaban tunggal yang benar.
Pertanyaan terbuka memungkinkan keterlibatan siswa lebih banyak karena
siswa diminta memberi kontribusi yang lebih dari gagasan pribadinya. Ini berarti hasil
dari kerja kelas akan lebih kaya lagi, dan akan muncul berbagai ide yang
diekspresikan siswa, yang dapat dibandingkan dan didiskusikan. Dengan cara ini
otonomi siswa memungkinkan guru memperoleh ide yang baik tentang apa yang
mampu dihasilkan siswa.
Pertanyaan-pertanyaan open-ended merupakan alat yang mengagumkan yang

mampu meningkatkan pikiran kreatif siswa, keterampilan pemecahan masalah, dan
pertumbuhan kognitif mereka.
Nohda (2000: 1-39) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan
open-ended didasarkan pada tiga prinsip:
1) Berkaitan dengan prinsip otonomi kegiatan siswa. Ini menunjukkan bahwa kita
harus menghargai nilai kegiatan-kegiatan siswa.
2) Berkaitan dengan hakikat terpadu dan evolusioner dari pengetahuan
matematika. Materi matematika sifatnya teoritis dan sistematis. Makin penting
esensi suatu pengetahuan, makin komprehensif pula pengetahuan analogi,
pengetahuan khusus dan pengetahuan umum yang dikandungnya.
3) Berkaitan dengan keputusan yang diambil guru di dalam kelas. Di dalam kelas
sering kali guru menemukan adanya ide-ide siswa yang di luar dugaan. Ini

berarti guru perlu berperan aktif dalam menampilkan ide siswa tersebut secara
utuh, dan memberi kesempatan pada siswa lainnya untuk memahami ide-ide
yang tak terduga itu.
Permasalahan yang dikemukakan dalam pendekatan open-ended adalah
masalah non rutin yang sifatnya terbuka. Pengertian terbuka ini bukan hanya dalam
prosesnya, hasilnya, namun juga pada cara-cara pengembangannya. Proses terbuka
artinya tipe soalnya membuat cara-cara penyelesaiannya terbuka, sedangkan hasil

akhir yang terbuka mengandung arti bahwa jawaban soal adalah bersifat multiple
(banyak jawaban). Cara pengembangan lanjutan terbuka berarti ketika siswa telah
selesai mengerjakan penyelesaian masalahnya, mereka dapat mengembangkan
masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli). Ini
menunjukkan bahwa pendekatan ini menyelesaikan masalah dan juga memunculkan
masalah baru (from problem to problem).
Situasi dalam pembelajaran open-ended dapat digambarkan sebagai berikut:
Situasi B
Situasi A
Situasi C
Memformulasi masalah secara matematik problem mathematically
Mengajukan masalah lanjutan
Menyelidiki berbagai pende-katan pemecahan masalah yang diformulasikan
Problem Awal
Kegiatan Penyelesaian Masalah 1
Kegiatan Penyelesaian Masalah 3
Kegiatan Penyelesaian Masalah 2
Masalah Baru 2
Masalah Baru 3
Masalah Baru 1


Untuk mengimplementasikan pembelajaran dengan pendekatan open-ended
terdapat aspek yang perlu diperhatikan, yaitu “menerima” (accepting) dan
“menantang” (challenge)(Brown dan Walter, 2003). Menerima (accepting) berkaitan
dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi
yang sudah ditentukan, sementara menantang (challenge) berkaitan dengan sejauh
mana siswa merasa tertantang untuk situasi yang diberikan, sehingga melahirkan
kemampuan untuk mengajukan masalah matematika.
c. Pendekatan Berbasiskan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah landasan berpikir dalam pembelajaran yang menyatakan
bahwa konstruksi pengetahuan dilakukan oleh siswa sendiri, dengan guru sebagai
fasilitator yang berupa menciptakan iklim pembelajaran yang mendukung. Materi
pembelajaran yang disampaikan disusun dalam suatu bentuk tertentu sehingga siswa
tidak menjadi penerima informasi, melainkan membangun sendiri pengetahuan
dengan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Melalui cara seperti ini siswa
sampai pada pemahaman konsep atau rumusan matematika yang telah ditetapkan
dalam tujuan instruksional.
Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah proses mengonstruksi
pengetahuan dari abstraksi pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun
pengalaman sosial. Dalam paham ini kegiatan pembelajaran tidak diartikan sebagai
pemindahan pengetahuan guru kepada siswanya (transfer of knowledge) semata,
namun kegiatan ini harus mampu memberi kesempatan pada siswa membangun
sendiri pengetahuannya, membuat materi yang dibangunnya menjadi bermakna,
memiliki sifat penasaran (curiosity) yang tinggi, dan mampu berpikir kritis. Peran
guru dalam proses pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktivisme adalah
mengarahkan siswa sehingga siswa mau berpikir, menyampaikan ide, konsep atau
gagasannya, dan secara kritis mau menganalisis sendiri apa yang disampaikannya itu.
Dengan demikian, dalam pendekatan konstruktivisme keaktifan siswa sangat
diutamakan.

Saat siswa menyerap pengetahuan dan menyimpannya dalam memorinya,
terjadi dua kegiatan dalam struktur mental anak, yaitu kegiatan asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi artinya penyerapan pengalaman dan informasi baru, sedangkan
akomodasi adalah penyusunan kembali konsep dalam pikiran akibat masuknya
pengalaman dan informasi baru. Dalam proses asimilasi siswa menggunakan konsepkonsep yang telah mereka punyai untuk menghadapi fenomena-fenomena yang baru.
Pada kegiatan akomodasi siswa melakukan perubahan terhadap konsep dan prinsip
yang bertentangan dengan fenomena baru yang dihadapinya.
d. Pendekatan Matematika Realistik
Konstruktivisme berasal dari kata “to construct” yang artinya menyusun, mengajukan,
membentuk, atau membangun. Teori konstruktivisme merupakan teori belajar yang
menekankan bahwa para siswa yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran tidak begitu
saja menerima pengetahuan, tapi mereka secara aktif membangun pengetahuannya
secara individual.
Pembelajaran matematika realistik (realistic mathematics education) adalah
paradigma baru dalam pembelajaran yang dikembangkan di Belanda beberapa tahun
yang lalu. Melalui pendekatan ini, pembelajaran matematika diawali dengan hal-hal
yang tidak formal yang dikenal siswa dalam kehidupan sehari-harinya, atau didasari
konsep sebelumnya yang sudah dikenal siswa.
Pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan
pembelajaran yang didasarkan atas prinsip bahwa matematika pada hakikatnya
merupakan kegiatan manusia (human activities), sehingga tiap-tiap kegiatan di
dalamnya harus mencerminkan kegiatan siswa yang membuat siswa senang belajar,
dengan melibatkan sebanyak mungkin contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang
berkaitan erat dengan konsep yang dipelajarinya. Siswa, melalui contoh konkret
kehidupan sehari-hari, melakukan penelaahan suatu konsep, pola, keteraturan,
prosedur (algoritma), teorema, atau dalil dengan bantuan guru sebagai pengarah atau
fasilitator. Hasil penelaahan siswa itu bermuara pada hasil dalam bentuk penemuan
kembali di bawah bimbingan guru (guided reinvention).
Pembelajaran dengan pendekatan realistik menerapkan masalah-masalah konteks
yang dijadikan sebagai sumber ide, dan konsep matematika yang dijadikan sebagai
landasan konsep berikutnya, dan sebagai aplikasi konsep matematika pada bidangbidang lainnya. Siswa diberi kesempatan untuk melatih dirinya dalam merumuskan
model dari situasi yang terjadi, mengekspresikannya dalam diagram secara skematis
dengan bantuan simbol-simbol matematika yang diperlukan. Melalui proses kreatif ini
siswa didorong untuk menyumbangkan pemikirannya secara lisan atau tulisan dalam
bentuk gagasan yang konstruktif dan produktif. Siswa mengemukakan gagasannya
dalam bentuk prosedur penyelesaian, dasar pemikiran atau alasan pembuktian yang
digunakannya, mulai dari tingkatan informal hingga tingkatan formal-deduktif. Dalam
pembelajaran realistik keterkaitan antar topik atau materi yang diberikan sangat
diperhatikan.
Di awal pembelajaran ini pertama-tama diungkapkan suatu masalah yang dianalisis
dengan cara menyatakannya dalam bentuk visual, misalnya skema atau diagram,
kemudian dicari pola-pola keteraturan atau keterkaitan antar unsur-unsurnya.

Selanjutnya keteraturan itu dirumuskan dalam sebuah bentuk ekspresi yang mengarah
ke matematika formal.
Fungsi guru dalam proses pembelajaran dengan pendekatan ini adalah sebagai
pembimbing siswa yang mengantar siswa dari aspek-aspek informal menuju aspekaspek formal, menciptakan jembatan pemahaman sehingga siswa sampai pada
tahapan formal dengan penuh makna dan didasari apa yang telah diperolehnya.
Transfer inilah yang menjadi tugas guru yang berfungsi sebagai fasilitator.
Proses dari aspek informal menuju aspek formal atau matematika informal
(horizontal mathematization) menuju matematika formal (vertical mathematization)
merupakan dua proses pematematikaan (matematisasi) yang amat berlainan. Dalam
aspek yang disebut pertama siswa mampu mengenali permasalahan di sekelilingnya
atau ide dan konsep yang pernah dipelajarinya yang berkaitan dengan materi yang
akan dipelajarinya. Dalam aspek kedua siswa melakukan upaya pengonstruksian
dalam bentuk rumusan secara umum, atau ekspresi matematik dalam bentuk
generalisasi yang sifatnya berlaku umum, meskipun mungkin mereka belum mampu
membuktikan apakah generalisasi yang disusunnya itu dapat dibuktikan kembali
secara deduktif.
e. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan yang mengaitkan materi pelajaran
dengan situasi dunia nyata (real world problem), dan bertujuan untuk mendorong
siswa mencari hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan seharihari. Diharapkan melalui cara pembelajaran ini konsep yang diajarkan lebih bermakna
(meaningful) bagi siswa.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual siswa diajak belajar secara
alamiah dalam bentuk proses aktivitas yang membuat siswa bekerja, mengalami
sendiri, sehingga pembelajaran bukan sekedar pengalihan pengetahuan dari guru pada
siswa (transfer of knowledge), yang hanya mementingkan hasil daripada proses. Guru
berperan sebagai pengarah dan pembimbing yang membantu siswa mencapai
tujuannya. Ini berarti guru lebih memfokuskan diri pada metode dan strategi
pembelajaran pada saat membantu siswanya dalam belajar dan tidak terlalu
mendominasi kegiatan belajar dengan mentransfer informasi pada siswa.
Prinsip utama yang melandasi pembelajaran kontekstual adalah paham
konstruktivisme, yang mengondisikan adanya proses konstruksi konsep pada diri
siswa. Menurut Zahorik (1995), pengetahuan dibangun oleh manusia. Pengetahuan
bukanlah sekedar fakta-fakta, konsep, atau hukum yang perlu ditemukan. Manusia
menciptakan atau mengonstruk pengetahuan di saat mereka berusaha memaknai
pengalamannya.
Dalam pembelajaran kontekstual, menurut Zahorik (1995), perlu diperhatikan 5 unsur
belajar: mengaktifkan pengetahuan (activating knowledge); memperoleh pengetahuan
(acquiring knowledge); memahami pengetahuan (understanding knowledge);
menerapkan pengetahuan (applying knwoledge); dan melakukan refleksi pengetahuan
(reflecting knowledge).

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual mengandung 7 komponen yaitu:
konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning),
masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection),
dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Melalui ketujuh komponen ini pembelajaran matematika yang dilaksanakan
hendaknya difokuskan pada pengembangan kegiatan siswa, sehingga siswa
menemukan sendiri dan mengonstruksi pengetahuan melalui kegiatan inkuiri. Siswa
didorong sifat keingintahuannya, dengan aktif bekerja dalam kelompok sehingga
tercipta iklim masyarakat belajar. Guru mengarahkan siswa sehingga mereka
memperoleh kemampuan dan keterampilan dalam pemodelan, di samping mengajak
siswanya melakukan refleksi di akhir kegiatan pembelajaran. Seluruh rangkaian
kegiatan hendaknya tak lepas dari proses penilaian yang terus menerus melalui
penilaian otentik (authentic assessment).
f. Pendekatan Problem Posing
Problem posing (pendekatan pengajuan masalah) merupakan salah satu proses
pembelajaran yang berbasiskan konstruktivisme. Penekanan teori ini adalah bahwa
siswa sebagai pelajar tidak hanya menerima pengetahuan tapi secara aktif
mengonstruknya secara individual. Berbagai pendekatan problem posing sudah
diterapkan dalam subyek matematika (Najoan, 1999).
Dalam proses pembelajaran, khususnya matematika, pengajuan masalah
(problem posing) dapat dianggap sebagai pendekatan, namun bisa pula dijadikan
sebagai tujuan. Sebagai pendekatan, pengajuan masalah berkaitan dengan alat yang
perlu dimiliki guru sehingga mampu mendorong dan melatih siswa dalam
merumuskan pertanyaan matematik dan kemudian menentukan penyelesaiannya.
Dalam posisinya sebagai tujuan, pengajuan masalah erat kaitannya dengan tingkat
kesulitan dan kualitas masalah matematik yang diajukan oleh siswa sesuai dengan
rumusan situasi yang diberikan guru. Sebagai tujuan, pengajuan masalah merupakan
sekumpulan kemampuan yang harus dimiliki siswa melalui serangkaian latihan yang
diberikan guru.
Pendekatan problem posing (pembentukan soal) lebih ditekankan pada
kegiatan membentuk soal yang dilakukan oleh siswa sendiri. Kegiatan pembentukan
soal ini memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengonstruk
pengetahuan sesuai dengan perkembangan kemampuan berpikirnya.
Dalam pembelajaran matematika, pengajuan masalah matematika diartikan sebagai
perumusan ulang serangkaian masalah matematika dari situasi yang dirancang secara
khusus (Shukkwan, 1993; Duncer (dalam Stoyanova dan Ellerton, 1996)), problem
finding, yaitu sebagai proses berpikir yang dihasilkan dalam bentuk pertanyaan
matematika dari situasi yang diberikan untuk diselesaikan (Dillon, 1992), usaha
mengajukan masalah baru dari situasi atau pengalaman yang telah dimiliki siswa
sebelumnya (Silver, 1993, 1995), proses pengajuan interpretasi yang disusun siswa
dengan berdasarkan pada pengalaman matematik dan memformulasikannya menjadi
masalah matematik yang bermakna (Stoyanova dan Ellerton, 1996), tindak lanjut
kegiatan pemecahan masalah matematik yang memunculkan masalah atau pertanyaan
baru (Mamona, 1993). Pengajuan masalah itu sendiri, dalam matematika, dapat

disajikan melalui gambar, obyek simulasi, permainan, konjektur, konsep, alat peraga,
soal atau penyelesaian dari soal itu sendiri (Brown dan Walter, 1993).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pada dasarnya dalam proses pembelajaran
matematika terdapat 3 pengertian tentang pengajuan masalah matematika, yaitu: (1)
perumusan masalah matematika sederhana atau perumusan ulang masalah yang
pernah diberikan dengan beberapa cara dalam rangka menyelesaikan masalah yang
rumit; (2) perumusan masalah matematika yang berkaitan erat dengan syarat-syarat
pada masalah yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan yang
relevan; (3) perumusan atau pengajuan pertanyaan matematik dari situasi yang
diberikan, baik diajukan sebelum, di saat, ataupun sesudah kegiatan pemecahan
masalah.
Dalam proses pembelajaran berbasiskan pengajuan masalah terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan guru dalam pelaksanaannya. Guru perlu memposisikan
dirinya sebagai fasilitator dalam situasi belajar siswa, yang membantu siswa dalam
memahami konsep, dengan mempersiapkan situasi dalam konteks pokok bahasan
yang sedang dibicarakan, dan membimbing siswa dalam mengonstruk beberapa
masalah matematika yang mungkin dikemukakan, untuk kemudian diselesaikan.
Siswa perlu diarahkan pada upaya pengkajian situasi masalah dengan diberikan
berbagai sumber informasi yang relevan, sehingga siswa memiliki keluasan wawasan
dan pengetahuan dalam pengajuan masalah. Situasi-situasi yang beragam, yang perlu
dikondisikan, bisa berupa diagram, gambar, benda tiruan, atau informasi tertulis.
Berdasarkan situasi yang diberikan pada siswa, guru membimbing dan melatih siswa
cara-cara mengajukan masalah melalui berbagai contoh yang bervariasi, melalui jenisjenis pertanyaan yang sifatnya open ended, dengan tingkat kesulitan yang berbedabeda, baik kesulitan dari aspek konsep, maupun aspek kebahasaan.
Pengajuan masalah yang diuraikan di atas lebih terfokus pada pengajuan masalah
sebagai alat atau pendekatan, yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu. Namun pengajuan masalah bisa juga dijadikan sebagai target, atau tujuan
yang hendak dicapai. Dalam hal ini pengajuan masalah merupakan suatu kemampuan
yang ingin dicapai, yang diharapkan dimiliki siswa, setelah mereka mendapatkan
suatu proses latihan atau pembelajaran dengan pendekatan tertentu. Untuk melihat
apakah siswa memiliki pemahaman matematik yang baik, misalnya, dapat dilihat dari
kemampuannya dalam mengajukan masalah.
Respon siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (dalam bentuk situasi dalam
matematika) bisa beragam. Namun secara umum, respon tersebut dapat dikategorikan
dalam 3 kemungkinan: pertanyaan matematika, pertanyaan non-matematika, atau
pernyataan.
Respon siswa dalam bentuk pertanyaan matematik yang diajukan mengandung
masalah matematik yang berkaitan dengan situasi yang diberikan. Pertanyaan yang
muncul mungkin dapat diselesaikan, tapi bisa juga tidak dapat diselesaikan.
Berbeda dengan pertanyaan matematik, pertanyaan non-matematik tidak mengandung
masalah matematik atau tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang terkandung
dalam situasi yang diberikan.

Jika respon yang diberikan siswa berbentuk pernyataan, artinya respon tersebut tidak
mengandung pertanyaan dalam matematika, ataupun persoalan non-matematik.
Namun, bisa saja pernyataan yang dimunculkan termasuk jenis konjektur, yakni suatu
pernyataan yang kebenarannya harus diperiksa.
Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan problem posing, sesuai
dengan pemikiran di atas, adalah sebagai berikut:
1) Membuka proses pembelajaran.
2) Menjelaskan tujuan pembelajaran.
3) Menjelaskan materi pelajaran.
4) Memberikan contoh-contoh soal dan cara-cara penyelesaiannya.
5) Mendorong siswa untuk aktif bertanya.
6) Meminta siswa menuliskan soal dari suatu situasi yang diberikan dan
menyajikannya.
7) Memberi kesempatan pada siswa untuk menentukan penyelesaiannya.
8) Mengulangi langkah (6) dan (7) beberapa kali.
9)

Meminta siswa untuk
menyelesaikannya.

saling

bertukar

soal,

kemudian

berusaha

10) Memberi kesempatan pada siswa untuk membuat kesimpulan.
11) Merangkum kesimpulan buatan siswa dan meluruskan kesimpulan yang keliru.
12) Menutup proses pembelajaran.
g. Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan berbasis masalah, belajar tidak
dipandang hanya sebagai menerima informasi untuk disimpan dalam memori siswa,
namun belajar dilakukan dengan mendekati setiap persoalan/tugas baru dengan
pengetahuan yang telah dimiliki (prior knowledge), serta melakukan asimilasi dan
akomodasi terhadap informasi yang baru diterima. Prinsip ini sesuai dengan 4 pilar
pendidikan yang diketengahkan UNESCO, yaitu belajar memahami (learning to
know), belajar melakukan atau melaksanakan (learning to do), belajar menjadi diri
sendiri (learning to be), belajar bekerja sama atau hidup dalam kebersamaan
(learning to live together). Pada tahun 1997, APNIEVE (Asia Pacific Network for
International Education and Values Education) melengkapinya, sehingga pilar
keempat menjadi learning to live together in peace and harmony.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pengembangan implementasi
kurikulum dan strategi pembelajaran yang dimulai dengan memberi siswa dengan

masalah nyata atau simulasi masalah, kemudian meminta mereka bekerja sama dalam
suatu kelompok untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, dan
menyajikannya di depan kelas, sehingga mereka menjadi siswa yang mampu mandiri
(Ngeow, et al. 2001).
Pembelajaran berbasis masalah awalnya dikembangkan oleh Howard Barrows dengan
mengikuti ajaran John Dewey, yang menyatakan bahwa guru harus mengajar sesuai
dengan insting alami (natural instinct) untuk menyelidiki dan menciptakan sesuatu,
guru harus menciptakan di dalam lingkungan belajarnya suatu sistem sosial yang
dicirikan dengan prosedur demokrasi dan proses ilmiah, di samping upaya pemecahan
masalah dalam kelompok kecil.
Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam berfikir tingkat tinggi dan
pemecahan masalah dengan segmen-segmen yang mencakup keberperanan atau
keterlibatan (engagement), inkuiri, investigasi, kinerja (performance), dan pemaknaan
(debriefing).
Keterlibatan (engagement) meliputi upaya-upaya persiapan siswa untuk berperan
sebagai pribadi yang mandiri dalam pemecahan masalah yang mampu berkolaborasi
dengan pihak lain; menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mendorong siswa
menyelesaikan masalahnya; dan mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dengan mengajukan konjektur, dugaan serta rencana penyelesaian.
Dalam inkuiri dan investigasi terdapat kegiatan-kegiatan eksplorasi berbagai cara
menjelaskan kejadian serta implikasinya, dan mengumpulkan serta mendistribusikan
informasi-informasi. Kinerja merupakan kegiatan pengajuan temuan-temuan,
sedangkan debriefing meliputi kegiatan-kegiatan pengujian kelemahan dan
keunggulan penyelesaian yang dihasilkan, dan melakukan refleksi atas efektivitas
seluruh pendekatan yang telah digunakan dalam penyelesaian masalah.
Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa berperan aktif sebagai problem solver,
decision makers, dan meaning makers, sedangkan guru berperan dalam
mengembangkan aspek kognitif dan metakognitif siswa, dan tidak berperan sebagai
sumber pengetahuan dan informasi.
Langkah-langkah penerapan model pembelajaran masalah adalah sebagai berikut:

Fase ke-

Indikator

Tingkah laku

1

Orientasi pada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
dan memotivasi siswa dalam pemecahan
masalah.

2

Mengorganisir siswa
untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisir tugas-tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.

3

Membimbing
penyelidikan individual
maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen, untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah.

4

Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan, dan membantu
mereka untuk berbagi tugas dengan
temannya.

5

Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dalam proses yang mereka
gunakan.

h. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Langkah-langkah pembelajaran model belajar kooperatif menurut Ibrahim,
Muslimin, et. al. (2000:10) adalah sebagai berikut:
Fase

Tingkah Laku Guru

Fase-1

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang
ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi.

Menyampaikan
tujuan dan motivasi
Fase-2

Guru menyampaikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat bacaan.

Menyajikan
informasi
Fase-3
Mengorganisasikan
siswa dalam
kelompokkelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efisien

Fase-4
Membimbing
kelompok bekerja
dan belajar
Fase-5
Evaluasi
Fase-6
Memberikan
penghargaan

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar
pada saat mereka mengerjakan tugas-tugas
mereka

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang yang
telah dipelajari atau masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik
upaya maupun hasil belajar individu dan
kelompok.

Sumber : Ibrahim, Muslimin, et. al. (2000:10)
Roger dan Johnson (Lie, Anita, 2003:31) menyatakan bahwa ada lima unsur
model pembelajaran kerja sama yang harus diterapkan yaitu:
1) Saling ketergantungan positif
Dalam interaksi kooperatif ini, guru memberikan motivasi kepada siswa
untuk menciptakan suasana belajar yang saling membutuhkan. Adanya interaksi
yang saling membutuhkan ini disebut saling ketergantungan positif.
2) Tanggung jawab perseorangan
Jika setiap tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model
pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab
untuk melakukan yang terbaik. Pengajaran yang efektif dalam model
pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas
sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan
tanggung jawabnya sendiri-sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa
dilaksanakan.
3) Tatap muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi adalah
menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan
masing-masing.
4) Komunikasi antar anggota

Unsur ini juga menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok,
pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap siswa
mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok
juga tergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka.
5) Evaluasi proses kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Selanjutnya untuk memudahkan guru dalam pembentukan kelompok kooperatif
Lie, Anita (2003:41) menjelaskan tentang prosedur pembagian kelompok, yakni:
Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman
gender, latar belakang sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis.
Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran Cooperative
Learning biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua
orang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan
akademis kurang.
Stahl, R. J. (1994:174) memberikan petunjuk perhitungan skor perkembangan
individu seperti pada tabel berikut ini.

Skor Kuis Individu

Skor
Perkembangan

Lebih dari 10 poin di bawah skor awal

0 poin

Antara 10 poin di bawah skor awal sampai skor awal

10 poin

1 sampai 10 poin di atas skor awal

20 poin

Lebih dari 10 poin di atas skor awal

30 poin

Nilai sempurna

40 poin

Selanjutnya untuk lebih memotivasi siswa dalam setiap pembelajaran, maka
dalam pembelajaran kooperatif setelah guru memberi penilaian kepada setiap siswa
dalam kelompok kooperatif, guru hendaknya memberikan penghargaan kepada

kelompok-kelompok yang memiliki nilai sumbangan kelompoknya memenuhi
kriteria. Kriteria yang digunakan untuk menentukan pemberian penghargaan terhadap
kelompok dikemukakan oleh Slavin, R.E. (1995:80) pada tabel berikut ini.
Rata-rata kelompok

Penghargaan

15 Poin

Good Team

20 Poin

Great Team

25 Poin

Super Team

Model belajar kooperatif tipe Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai
metode cooperative learning. Kegiatan belajar kooperatif tipe Jigsaw diungkapkan
oleh Lie, Anita (2003:68) “Teknik mengajar cooperative learning menggabungkan
kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara.” Hal tersebut di jelaskan
pula oleh Slavin, R.E. (1995) bahwa aktivitas-aktivitas Jigsaw meliputi :
1) Membaca, siswa memperoleh topik-topik permasalahan untuk dibaca sehingga
mendapatkan informasi dari permasalahan tersebut.
2) Diskusi kelompok ahli, siswa yang telah mendapatkan topik permasalahan
yang sama bertemu dalam satu kelompok (kelompok ahli) untuk
mendiskusikan topik permasalahan tersebut.
3) Laporan kelompok, ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan hasil
diskusinya kepada anggota kelompoknya masing-masing.
4) Kuis, siswa memperoleh kuis individu/perorangan yang mencakup semua topik
permasalahan.
5) Perhitungan skor kelompok dan menentukan perhargaan kelompok.
Model belajar kooperatif tipe Jigsaw memberikan kesempatan kepada siswa untuk
dapat melakukan kerja sama dengan anggota kelompoknya dalam menghadapi segala
persoalan yang dihadapi. Dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw siswa didorong
untuk lebih aktif dan setiap pembelajaran yang dilakukannya pun akan lebih
bermakna. Hal ini juga dikemukakan oleh Lie, Anita (2003:68)
Dalam teknik mengajar Jigsaw, guru memperhatikan skemata atau latar
belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini
agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan
sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan
untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memiliki beberapa tahap.
Tahap pertama, guru mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil
yang heterogen. Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan
oleh guru berdasarkan pertimbangan tertentu, seperti kemampuan akademis siswa
maupun karakteristik lainnya.
Tahap kedua, setelah siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, maka
di dalam Jigsaw ini setiap anggota kelompok diberi tugas untuk mempelajari suatu
materi matematika tertentu. Kemudian siswa–siswa atau perwakilan dari
kelompoknya masing-masing yang mempelajari suatu materi yang sama bertemu
dengan anggota-anggota dari kelompok lain dalam kelompok ahli. Materi tersebut
didiskusikan sehingga masing-masing perwakilan tersebut dapat memahami dan
menguasai materi tersebut.
Tahap ketiga, masing-masing perwakilan kelompok kembali ke kelompok
asalnya untuk menjelaskan pada teman satu kelompoknya mengenai materi yang telah
didiskusikan pada kelompok ahli, sehingga semua anggota kelompoknya dapat
memahami materi yang ditugaskan oleh guru.
Tahap selanjutnya, siswa diberi tes/kuis oleh guru dengan tujuan untuk
mengetahui kemampuan yang telah dimiliki siswa dalam memahami suatu materi
dengan metode belajar kooperatif tipe Jigsaw. Kemudian setelah kuis selesai maka
dilakukan perhitungan skor perkembangan individu dan skor kelompok serta
menentukan tingkat penghargaan pada kelompok.
Berdasarkan uraian di atas, secara umum pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
dapat melibatkan siswa secara aktif dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilannya dalam suasana belajar mengajar yang bersifat terbuka dan
demokratis। Selain itu siswa dilatih untuk saling bekerja sama dalam kelompoknya,
sehingga mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa dalam memahami dan
menyelesaikannya secara kelompok.
Oleh : Dra. Hj. Dedeh Widaningsih, M.Pd
Diposkan oleh EnZi di 11:47
Dia kses 15 feb 2012-02-15
http://onengdalilah.blogspot.com/2009/04/model-pembelajaran-matematika-dalam.html

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

MODEL KONSELING TRAIT AND FACTOR

0 2 9

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

ANALISIS PUTUSAN NO : 1270 / Pid.B / 2009 / PN.TK PADA BPR TRIPANCA SETIADANA

2 45 21

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62