BAB IV PERUBAHAN SOSIAL DALAM TRADISI MANEKAT 4.1 Makna dan Nilai Yang Terkandung Dalam Tradisi Manekat - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi Manekat: Studi Sosiologis terhadap Perubahan Sosial dalam Manekat di Jemaat GMI

BAB IV
PERUBAHAN SOSIAL DALAM TRADISI MANEKAT

4.1 Makna dan Nilai Yang Terkandung Dalam Tradisi Manekat
Dalam setiap tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat, ada makna dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya, di mana dari makna dan nilai-nilai tersebut terdapat ajaran-ajaran
sosial dan aturan-aturan perilaku. Dari makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah
tradisi juga, kita bisa menemukan jati diri dari masyarakat yang menganutnya. Termasuk dalam
tradisi manekat. Manekat adalah salah satu tradisi orang Timor yang lahir dari kesadaran akan
hidup sosial. Di mana orang Timor menyadari bahwa sebagai makhluk sosial, mereka tidak bisa
hidup tanpa orang lain. saling menghargai, saling menolong, dan saling menanggung beban
tercermin dalam falsahah hidup orang Timor yang berbunyi “tok tabuah, tamolok tabuah” yang
berarti kita duduk bersama, saling terbuka dan saling membantu. Sikap duduk bersama dan
saling menolong ini bagi marsel mauss memiliki fungsi untuk mempertinggi kesadaran kolektif
dan mempererat solidaritas sosial. Bagi masyarakat Timor khususnya anggota jemaat Immanuel
Kesetnana, manekat tidak hanya sebagai sebuah tradisi untuk saling menolong, tapi manekat
mempersatukan dan mempererat hubungan kekeluargaan. Kekeluargaan bagi orang Kesetnana,
sekarang ini tidak hanya terbatas pada hubungan secara genealogi, tetapi karena adanya
perubahan kependudukan, mereka yang berasal dari suku dan daerah yang berbeda pun sudah
dianggap sebagai keluarga. Ini berarti bahwa konsep keluarga ume mese, lopo mese telah
berubah menjadi ume teta, lopo teta


yang bermakna hubungan keluarga dari rumah yang

berbeda. Manekat selalu ada dalam setiap moment kehidupan orang Timor, ketika ada anggota

57 | P a g e

keluarga yang hendak mengadakan sebuah hajatan atau pesta maupun ketika ada anggota
keluarga yang mengalami kedukaan, tradisi manekat selalu dilakukan, baik diminta maupun
tanpa diminta, secara spontanitas para anggota keluarga maupun kerabat akan memberikan
manekatnya. Sebagai pemberian sukacita, tanda kasih dan ungkapan hati, maka apapun yang
diberikan, akan diterima dengan sukacita. Tidak ada penentuan jenis dan besar kecilnya manekat.
Mengapa manekat diberikan dan diterima dengan sukacita tanpa mengharapkan imbalan?
Marcel Mauss dalam teori pemberiannya mengatakan bahwa dalam kehidupan sosial, ada tiga
kewajiban yang harus dilakukan, yang pertama ialah memberi sesuatu atau hadiah sebagai
langkah pertama untuk menjalin hubungan sosial.Ini berarti bagi Mauss, untuk menarik simpati
atau mendapatkan perhatian dari orang lain, maka memberikan sesuatu hadiah merupakan salah
satu langkah untuk membangun keakraban. Setiap orang umumnya akan senang saling bertukar
pemberian atau hadiah. Sang penerima senang karena mendapatkan kejutan yang tidak disangkasangkanya dan sang pemberi merasa senang karena pemberiannya bermanfaat serta diterima
dengan senang hati. Perasaan senang inilah yang membuat sebuah pemberian sekecil apapun

bentuknya dan berapapun harganya menjadi sesuatu yang spesial serta mengakrabkan hubungan
penerima dan pemberi. Penulis melihat bahwa hal demikian juga terjadi dalam tradisi manekat.
Ketika ada warga baru yang masuk tinggal menetap dalam sebuah lingkungan/wilayah, maka
para anggota warga dalam lingkungan tersebut akan menyambut kedatangan sang warga baru
dengan memberikan makanan sebagai tanda bahwa mereka menerima kedatangannya dan
menganggap warga baru tersebut sebagai bagian dari sistem kekeluargaan wilayah. 1 Selain itu,
jika dilihat dari hasil penelitian, manekat juga diberikan sebagai bentuk aktualisasi diri, artinya
bahwa ketika seseorang memberikan manekat, hendak menunjukan bahwa dia adalah bagian dari

1

Lihat Bab 3 hal 15.

58 | P a g e

anggota keluarga dan dengan memberikan manekat, seseorang berharap akan diserap masuk
dalam lingkungan keluarga atau dengan kata lain manekat diberikan untuk mendapatkan
pengakuan.
Yang kedua adalah menerima pemberian sebagai penerimaan ikatan sosial. Hal ini berarti
bahwa ketika seseorang menerima pemberian, menandakan bahwa dia tidak hanya menerima

pemberian tersebut tetapi juga menerima keberadaan sang pemberi untuk menjalin sebuah relasi
maupun untuk mempertahankan relasi yang sudah dibina. Ketika seseorang menerima manekat,
ini berarti bahwa dia mengakui bahwa sang pemberi manekat merupakan bagian dari anggota
keluarganya.
Yang ketiga adalah membalas atau membayar kembali pemberian dengan nilai yang sama
bahkan lebih tinggi untuk menunjukan integritas sosial. Mauss mengatakan bahwa bila seseorang
diberikan sesuatu atau hadiah, maka ia memiliki kewajiban moral untuk membalas pemberian
tersebut dengan nilai setara bahkan lebih sebagai ungkapan penghargaan dan aktualisasi diri.
Lebih lanjut Mauss mengatakan bahwa kegagalan seseorang dalam membalas pemberian atau
membayar kembali pemberian berarti dia telah kehilangan harga dirinya, apalagi jika pembalasan
pemberian itu lebih kecil dari pemberian yang telah diterima.2Hal ini berarti bahwa membalas
pemberian tidak dilihat sebagai bentuk membangun hubungan sosial tetapi lebih kepada cara
untuk menunjukan prestise diri. Penulis melihat bahwa ada ketidaksinambungan antara
kewajiban yang pertama dan kewajiban ketiga. Sekalipun ingin membalas pemberian, hendaknya
pemberian tersebut tidak diukur dari besar kecilnya atau harus setara dengan pemberian yang
telah diterima. Demikian halnya juga dengan hakikat dari manekat, memberi tanpa
mengharapkan adanya pembayaran kembali atau imbalan, serta si penerima manekat tidak
2

LihatBab 2 hal 19.


59 | P a g e

dituntut untuk wajib membalas pemberian tersebut. Kalaupun nantinya ada pemberian manekat
dari si penerima kepada si pemberi, tidak diwajibkan harus setara atau bahkan lebih dari
pemberian yang telah diterima.
Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa pelaksanaan manekat sekarang ini telah
berubah menjadi kewajiban yang ketiga. Pemberian manekat selalu diikuti dengan pembalasan
kembali manekat melalui cara yang sama. Tradisi manekat sekarang ini dijadikan sebagai ajang
balas jasa, balas utang dan ajang pertunjukan prestise. Dari hasil penelitian penulis menemukan
fakta bahwa manekat yang dulunya sebagai pemberian tanda kasih, pemberian tanda ungkapan
hati yang diberikan tanpa ada unsur paksaan dan tanpa adanya penentuan besar kecilnya
manekat, sekarang ini dengan adanya sistem catat buku, telah menjadi paksaan bagi masyarakat
untuk mau tidak mau harus hadir dalam acara kumpul keluarga dan membawa manekat sesuai
dengan bahkan lebih dari jumlah manekat yang pernah diterima. Pemberian manekat dengan
sistem balas utang seperti ini, mensiratkan tidak adanya ketulusan di dalamnya. Manekat
diberikan sebagai balasan akan manekat yang pernah diterimanya, dan bahkan manekat diberikan
dengan motivasi agar si pemberi manekat akan mendapatkan manekat juga pada saatnya nanti.
Selain itu, penulis melihat bahwa pelaksanaan manekat dengan sistem catat buku, berdampak
pada adanya persaingan prestise. Ketika seseorang memberikan manekat dalam jumlah besar

bahkan jauh melebihi jumlah manekat yang pernah diterimanya, hendak menunjukan bahwa dia
seseorang yang berkelebihan materi dan ingin menunjukan bahwa dia adalah orang yang sukses.
Tentunya situasi demikian akan membuat pihak-pihak yang merasa tersaingin untuk berlombalomba memberikan manekat yang jauh lebih besar. Pemberian manekat dalam jumlah besar
tersebut, bagi si pemberi manekat tentunya tidak ada masalah. Tetapi bagi si penerima, hal
tersebut justru menjadi masalah bagi dia sebab secara tidak langsung ada beban yang

60 | P a g e

dirasakannya bahwa mau tidak mau suatu hari nanti, dia harus membayar kembali manekat
tersebut dengan jumlah yang sama besarnya. Inilah yang dikatakan Mauss sebagai perang
prestise, di mana unsur kedudukan dan harta milik dipertaruhkan dalam sistem pembayaran
kembali tersebut.
Sistem catat buku berdampak pada pemaksaan bagi masyarakat untuk memberikan
manekat. Makna memberikan manekat dengan sukacita sebagai tanda ungkapan hati menjadi
hilang karena adanya unsur paksaan. Kenyataan seperti ini menurut Durkheim dalam teori fakta
sosialnya digolongkan dalam fakta sosial yang bersifat memaksa, artinya bahwa fakta ini
memiliki

kekuatan untuk


menekan dan

memaksa seseorang untuk menerima dan

melaksanakannya. Seseorang dipaksa untuk tunduk pada aturan-aturan, norma, nilai dan tradisi
yang berlaku di mana ia tinggal.3 Hal ini berarti bahwa seseorang jika ingin tetap hidup dalam
lingkungannya serta berinteraksi dengan sesamanya, maka ia tidak boleh mengabaikan apalagi
melanggar aturan-aturan serta tradisi-tradisi yang berlaku. Bagaimana jika seseorang
mengabaikan bahkan melanggar tradisi yang ada? Tentunya ada hukuman yang dirasakannya.
Diasingkan bahkan diusir dari lingkungannya. Dalam penelitian di jemaat Immanuel Kesetnana,
penulis juga menemukan konsekuensi yang harus ditanggung oleh orang yang tidak memberikan
manekatnya, yaitu ia pun tidak akan menerima manekat ketika nantinya ia mengadakan hajatan
ataupun ketika ia dilanda dukacita.
Dari tiga kewajiban yang dikemukakan Marcel Mauss di atas, penulis menyimpulkan
bahwa konsep memberi dan menerima ada dalam tradisi manekat. Manekat diberikan sebagai
tanda kekeluargaan dan manekat diterima sebagai tanda penerimaan ikatan sosial. Namun
kewajiban untuk membalas atau membayar kembali manekat dengan jumlah yang setara bahkan
3

Doyle Paull Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 2009), 177-178.


61 | P a g e

lebih tinggi, tidak termasuk dalam hakikat manekat. Manekat harus bersifat tulus, tanpa paksaan
dan tanpa mengharapkan adanya imbalan.Memang Mauss mengemukakan bahwa
Selain makna memberi dan menerima di atas, dalam manekat juga tersirat beberapa makna
yang di dalam makna dan nilai tersebut, kita bisa menemukan jati diri orang Timor. Adapun
makna dan nilai tersebut, antara lain:
1. Makna kekeluargaan dan kekerabatan
Kekeluargaan dan kekerabatan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling
bergantung antara satu dengan lainnya. Keluarga merupakan dasar terbentuknya suatu
masyarakat di mana keluarga itu sendiri terbentuk oleh sebuah ikatan pernikahan antara
pria dan wanita. Kerabat merupakan hubungan antara satu keluarga dengan keluarga
lainnya yang dihubungkan dengan garis keturunan. Hubungan keluarga dan kerabat
menjadi penting karena pada dasarnya keluarga dan kerabat menentukan posisi seseorang
dalam suatu masyarakat yang menentukan bagaimana seseorang harus berprilaku antara
satu dengan lainnya.
Bagi masyarakat Timor, Manekat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dalam
kehidupan kekerabatan. Di dalam tradisi manekat ada nilai kekeluargaan yang
mempersatukan hubungan individu yang satu dengan individu lainnya. Manekat dapat

dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan kekerabatan. Tradisi manekat yang masih
dilakukan hingga sekarang ini juga sebagai salah satu bukti bahwa sistem kekerabatan
masih sangat penting dalam kehidupan orang Timor. Melalui manekat, anggota-anggota
keluarga diingatkan untuk terus menjalin hubungan persaudaraan. Melaui manekat,
anggota-anggota keluarga yang terpisah karena jarak dan kesibukan dapat dipertemukan.

62 | P a g e

1) Makna gotong royong dan solidaritas
Gotong Royong berasal dari istilah gotong yang berarti “bekerja” dan royong berarti
“bersama“. Secara harfiah, gotong royong berarti mengangkat bersama-sama atau
mengerjakan sesuatu bersama-sama. Gotong royong juga dapat diartikan sebagai
partisipan aktif setiap individu masyarakat yang ikut terlibat dan mendapatkan nilai
positif setiap objek, permasalahan, atau kebutuhan orang disekelilingnya. Partisipasi aktif
tersebut dapat berupa tenaga, materi, mental, keterampilan atau lain sebagainya. Gotong
royong juga dapat diartikan sebagai bentuk kerja sama antara sejumlah orang atau warga
masyarakat dalam kehidupan sosial dalam menyelesaikan sesuatu atau pekerjaan tertentu
yang dianggap berguna untuk kepentingan bersama. Dalam ilmu sosial, gotong royong
diartikan sebagai salah satu bentuk prinsip kerja sama, saling membantu tanpa imbalan
langsung yang diterima namun yang dihasil untuk kepentingan bersama atau kepentingan

umum.4
Dalam manekat ada gotong royong, dimana keluarga dan kerabat saling bekerja sama dan
saling membantu untuk meringankan beban anggota keluarga yang akan mengadakan
pesta maupun yang sedang berduka. Bekerja sama dan saling membantu tanpa
mengharapkan adanya imbalan untuk kepentingan bersama.
Selain itu, ada solidaritas yang dibangun dalam tradisi manekat. Solidaritas sendiri dapat
diartikan adanya kesatuan kepentingan, simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas
yang sama. Solidaritas adalah integrasi, tingkat dan jenis integrasi ditunjukan oleh
masyarakat atau kelompok dengan orang dan tetangga mereka.5 Hal ini mengacu pada

4

http://www.pelajaran.co.id/2017/10/pengertian-gotong-royong-manfaat-nilai-dan-contoh-bentukgotong-royong.html diakses pada tanggal 10 November 2017, pukul 02.20.
5
http://definisidanpengertian.blogspot.co.id/2011/02/pengertian-solidaritas.html diakses pada tanggal 10
November 2017, pukul 11.00.

63 | P a g e

hubungan dalam masyarakat. Yang membentuk solidaritas, dalam masyarakat sederhana

mungkin terutama berbasis di sekitar nilai-nilai kekerabatan dan berbagi.
2) Makna dan nilai religius
Ketika berbicara tentang nilai religius, tidak akan terlepas dari kehidupan rohani
seseorang. Tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya dan Hubungan
manusia dengan sesamanya. Bagaimana kita sebagai manusia menjalankan perintah
Tuhan dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan bersama. Kehidupan orang Kristen
harus dimotivasi oleh kasih. Malcolm Brownlee mengemukakan empat unsur dalam
kasih Kristus yang mempengaruhi pekerjaan orang Kristen dalam masyarakat. yang
pertama ialah kasih berarti penghargaan pada kehidupan setiap orang, karena itu kasih
tidak bergantung pada jasa, kelas sosial, sikap atau kerja orang yang dikasihi. Dan kasih
juga tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lahiriah seperti kekayaan atau kedudukan
sosial.Yang kedua ialah kasih bukan hanya sikap batin, tetapi kasih perlu diwujudkan
dalam perbuatan yang konkret. Yang ketiga ialah kasih berarti kepekaan kepada
kebutuhan dan penderitaan sesama kita atau dengan kata lain kasih berarti solider dengan
orang lain. yang keempatialah kasih tidak terbatas pada kaum kerabat atau kawan-kawan
kita saja. Hal ini berarti bahwa kasih tidak terbatas pada kalangan tertentu.6
Manekat adalah pemberian tanda kasih. Dalam manekat terdapat kasih sebagai dasar
hidup orang beriman. Kasih/mengasihi adalah perintah Tuhan yang pertama dan yang
utama seperti yang terdapat dalam Firman Tuhan “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan
segenap hatimu dan Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”. Ketika kita melakukan

kasih terhadap sesama kita, berarti kita telah melakukannya untuk Tuhan. Memberikan
tanpa mengharapkan adanya imbalan juga menandakan bahwa seseorang mensyukuri
6

Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 62-64.

64 | P a g e

berkat-berkat yang telah diterimanya, salah satu bentuk ungkapan syukurnya ialah
dengan kembali membagikan berkat-berkat tersebut kepada sesama yang membutuhkan.
4.2

Analisis

Terhadap

Faktor-Faktor

Penyebab

Terjadinya

Perubahan

Dalam

ManekatSerta Dampaknya Bagi Kehidupan Masyarakat
4.2.1 Faktor kependudukandan perkembangan zaman
Di dalam setiap perubahan yang terjadi tentunya ada faktor-faktor penyebab yang
melatarbelakangi munculnya sebuah perubahan. Dalam teori perubahan sosial disebutkan bahwa
faktor-faktor penyebab suatu perubahan berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dan dari luar
masyarakat. Faktor-faktor tersebut antara lain karena masalah kependudukan, dalam hal ini
adanya perpindahan penduduk baik itu urbanisasi maupun transmigrasi. Perubahan penduduk ini
berdampak pada perubahan struktur masyarakat, dalam hal ini masyarakat dalam suatu wilayah
keluar dari daerah tersebut ke daerah/negara lain untuk mencari pekerjaan ataupun karena proses
kawin mawin dengan masyarakat luar, begitu juga dengan masyarakat dari daerah lain masuk ke
wilayah yang telah ditinggalkan tersebut karena tuntutan pekerjaan kedinasan maupun karena
kepentingan perdagangan. Masuknya masyarakat baru tersebut dengan membawa pengalaman
hidup yang berbeda, perlahan demi perlahan meresap masuk dalam kehidupan masyarakat
setempat dan mempengaruhi pola kehidupan masyarakat dalam wilayah tersebut. Adapun
pengamalam-pengamalam hidup seperti nilai, norma, kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda.
Kependudukan yang berubah juga merubah pola masyarakat dari homogen ke heterogen.
Seperti yang terjadi dalam Jemaat Imanuel Kesetnana. Awalnya jemaat yang mendiami desa
Kesetnana adalah masyarakat Timor sub Mollo, yang mana mereka berasal dari satu rumpun
keluarga yang masih memiliki hubungan darah. Karena mereka dalam hubungan satu darah ini

65 | P a g e

maka semua bentuk harta benda yang ada dalam desa tersebut dijadikan milik bersama, tetapi
karena adanya pertambahan penduduk, transmigrasi dan urbanisasi, masyarakat yang ada dalam
desa Kesetnana telah bercampur baur, bukan hanya dihuni oleh marga Mella, Ufi, Taesekeb,
Sanam, Opat, tetapi juga ada orang Timor bermarga Fay, Tahun, Nubatonis, Amnifu, Faot yang
berasal dari sub Amanatun, Amarasi dan Amanuban, bahkan masyarakat dari suku Rote, Alor,
Sumba, Sabu dan Flores pun tinggal menetap di desa Kesetnana. Segala harta benda bukan milik
bersama lagi. Tanah dan hewan ternak telah dibagi-bagi atau dijual ke penduduk yang baru. Hal
ini menurut penulis berdampak juga pada pemberian manekat. Jika dulu harta benda adalah milik
bersama, maka setiap manekat tidak akan diperhitungkan apalagi dicatat sebab semuanya milik
bersama, tetapi karena harta benda bukan lagi milik bersama, setiap pemberian manekat
diperhitungkan dan dicatat.
* Perubahan pola kependudukan dan kekeluargaan dalam desa Kesetnana
Desa Kesetnana

66 | P a g e

*keterangan gambar (bandingkan dengan gambar pada Bab 3 halaman 46):
Gambar tersebut memperlihatkan tentang perubahan pola kependudukan dan hubungan
kekeluargaan di desa Kesetnana. Awalnya dalam desa Kesetnana hanya dihuni oleh 6 marga yang
berasal dari rumpun keluarga kerajaan Bijoba, namun karena adanya perubahan kependudukan, di desa
Kesetnana sudah ada banyak marga keluarga dan dengan demikian seluruh harta benda yang ada dalam
desa Kesetnana bukan lagi milik bersama rumpun keluarga Bijoba, tapi telah terbagi pada keluargakeluarga lain yang tinggal menetap di desa Kesetnana.

Selain itu, perubahan kependudukan juga mempengaruhi sikap masyarakat. Pola hidup
kolektif berubah menjadi individualis. Artinya bahwa masyarakat yang dulunya hidup bersama,
saling membantu dan suka bekerja sama tanpa adanya kepentingan-kepentingan pribadi, kini
berubah menjadi masyarakat yang individualis, yang acuh tak acuh dengan kehidupan bersama,
yang mengerjakan sesuatu dengan motivasi untuk kepentingan/keuntungan pribadi. Seperti yang
dikemukakan Durkheim dalam teori solidaritas sosialnya yang mengatakan bahwa masyarakat
yang homogen atau yang disebut solidaritas mekanik adalah masyarakat yang mengutamakan
kepentingan bersama. Segala sesuatu yang dikerjakan bersifat gotong royong. Sedangkan
masyarakat heterogen atau yang disebut solidaritas organik adalah masyarakat yang
mengutamakan kepentingan pribadi, dalam hal ini individualis.7 Melakukan sesuatu dengan
motivasi apa yang harus dan akan didapatkan. Demikian hal juga dengan yang terjadi dalam
tradisi manekat sekarang ini. Manekat diberikan dengan motivasi untuk mendapakan imbalan
yang sama bahkan yang lebih besar. Kumpul keluarga diadakan sekarang ini bukan lagi dengan
tujuan untuk mempererat hubungan kekeluargaan, tetapi kumpul keluarga diadakan dengan
harapan akan mendapatkan manekat yang banyak. Semakin banyak orang yang hadir dalam
acara kumpul keluarga, maka diharapkan manekat yang terkumpul pun akan semakin banyak.

7

Emile Durkheim, The Divison of Labor In Society, terj. W.D. Halls (New York: Free Press, 2014), 57.

67 | P a g e

Selain itu, penulis melihat bahwa perkembangan zaman juga turut mempengaruhi
terjadinya perubahan dalam tradisi manekat ini. Perkembangan zaman yang dimaksud di sini
ialah peralihan pemikiran dan pola kehidupan manusia dari yang tradisional atau primitif
menjadi manusia modern. Van Peursen mengatakan bahwa ada 3 tahap perkembangan pemikiran
hidup manusia, yaitu tahap mistis, tahap ontologis dan tahap fungsional. Yang pertama, tahap
mistis yaitu tingkah laku manusia yang secara langsung melibatkan dirinya dengan kekuatankekuatan alam yang misterius.8 Pada tahap ini, manusia disebut sebagai manusia primitif yang
masih sangat sederhana, dan hidup hanya dengan mengikuti hukum-hukum alam. Karena itu,
kehidupan mereka statis, tidak perubahan dan perkembangan. Tetapi jika diamati lebih cermat,
sebenarnya tidaklah begitu sederhana. Di dalamnya telah ada kaidah-kaidah yang dipakai sebagai
pedoman bertingkahlaku sosial. Nilai-nilai dan norma-norma seolah-olah merupakan polisi lalu
lintas yang mengatur masyarakat.9Dalam tahap mistis ini, manusia dikuasai oleh daya-daya
pertalian dengan marganya dan dengan alam sekitarnya. Masyarakat sangatberpegang pada
tradisi turun menurun dan mempercayai hal itu sebagai kebenaran mutlak yang wajib
dipatuhi.Yang kedua, tahap ontologis yaitu sikap manusia yang sudah mampu melepaskan diri
dari ikatan mistis dan secara bebas ingin meneliti segala sesuatu yang ada disekitarnya dengan
memakai akal budi. Dan yang ketiga yaitu tahap fungsional di mana dalam tahap ini hubungan
dan relasi bersifat fungsional. Segala yang ada diukur dari nilai fungsionalnya, di mana hal ini
merupakan ciri dari masyarakat modern.10 Hal ini berarti bahwa sesuatu itu bernilai kalau ada
fungsinya, dan sebaliknya sesuatu itu berfungsi kalau ada nilainya. Manusia lebih menekankan
fungsi dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ketika desa Kesetnana belum tersentuh oleh
modernitas, dalam arti bahwa masyarakat masih tradisional, kehidupannya masih banyak
8

C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 34.
C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan...., 48.
10
C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan...., 85.
9

68 | P a g e

dikuasai oleh adat istiadat lama.melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau
kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum
terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Hal
ini berarti bahwa peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka. Tradisi
manekat dilakukan dan dijalankan sebagaimana mestinya. Namun, kini ketika masyarakat telah
tersentuh oleh modernitas dan mengalami perubahan, kehidupan masyarakat pun berlangsung
atas dasar fungsi dari segala sesuatu. Saya memberi manekat, maka saya pun harus mendapatkan
manekat, dan ketika saya telah menerima manekat, saya pun harus memberi manekat.
4.2.2 Pengaruh kebudayaan lain
Perkembangan globalisasi dewasa ini tidak dapat dibendung lagi. Globalisasi telah masuk
ke semua bidang kehidupan, Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan.
Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab,
dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Ada berbagai
dampak yang ditimbulkan dari globalisasi. Ketika masyarakat siap untuk menerima globalisasi,
maka akan membawa pengaruh positif dalam kehidupan. Tetapi jika arus globalisasi tidak
diimbangi oleh kesiapan masyarakat dalam menghadapinya, maka globalisasi justru berdampak
negatif bagi kehidupan. Dalam perkembangannya globalisasi menimbulkan berbagai masalah
dalam bidang kebudayaan,misalnya hilangnya budaya asli suatu daerah atau suatu negara,
terjadinya erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme, hilangnya
sifat kekeluargaan dan gotong royong, kehilangan kepercayaan diri, dan gaya hidup yang
berlebihan. Penulis melihat bahwa arus globalisasi jugaturut menjadi salah satu faktor perubahan
yang terjadi dalam tradisi manekat, yaitu karena adanya percampuran budaya.

69 | P a g e

Bercampurnya suatu budaya daerah yang berbeda dapat menghasilkan budaya baru.
Artinya bahwa masuknya budaya luar ke dalam suatu wilayah dapat mempengaruhi kebudayaan
yang sudah ada dalam wilayah tersebut, seperti halnya yang terjadi dalam tradisi manekat.
Berdasarkan penelitian, penulis menemukan bahwa ada salah satu tradisi dari daerah Rote yang
sangat mempengaruhi perubahan dalam manekat, yaitu tradisi Tu’u Belis.11Di mana tradisi Tu’u
Belis ini merupakan salah satu budaya khas masyarakat suku Rote yang secara turun temurun
telah diwariskan dari generasi ke generasi sampai sekarang ini. Pada prakteknya tradisi Tu’u
Belis merupakan suatu budaya gotong royong atau sistem kerja sama antar anggota masyarakat
dalam acara pengumpulan dana untuk proses perkawinan yang ada di pulau Rote. Bagi
masyarakat Rote,Tu’u Belis melambangkan sikap untuk saling membantu dalam meringankan
biaya dalam urusan perkawinan bagi anggota masyarakat dan menjadi acara untuk mempererat
jalinan hubungan persaudaraan. Dalam pengumpulan dana ini, sudah ada standar yang
ditentukan berapa besar dana yang harus dikumpulkan oleh masing-masing kerabat yang terlibat
di dalamnya. Penulis melihat bahwa orang Timor khususnya masyarakat desa Kesetnana
terpengaruh oleh budaya Tu’u Belis ini. Mereka mengadopsi tradisi ini namun mereka
melupakan hal yang paling prinsip dari manekat, yaitu memberi dengan sukacita tanpa
mengharapkan adanya balasan atau imbalan. Penulis menilai bahwa masyarakat tidak mampu
menahan berbagai pengaruh kebudayaan yang datang dari luar sehingga mengakibatkan
terjadinya ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Ada penyerapan unsur-unsur
budaya luar secara cepat yang tidak melalui suatu proses internalisasi, yang pada akhirnya
menyebabkan ketimpangan budaya.

11

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ayub Tunliu dan pengamatan langsung penulis ketika salah
satu anggota jemaat yang berasal dari suku Rote mengadakan tradisi Tu’u Belis

70 | P a g e

4.2.3 Faktor Ekonomi
Masalah ekonomi merupakan salah satu masalah yang menjadi permasalahan utama di
dunia sekarang ini. Berbagai persoalan dan masalah-masalah sosial yang terjadi, hampir bisa
dipastikan semuanya dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi, seperti angka kemiskinan yang
kian meningkat, berbagai macam kekerasan, human traficking, dan gaya hidup modern yang
tidak sesuai dengan daya beli masyarakat.Penulis melihat bahwa faktor ekonomi turut menjadi
penyebab terjadinya perubahan dalam manekat. Salah satunya adalah gaya hidup. Perilaku hidup
mewah ini tercermin dalam kehidupan warga desa Kesetnana yang hidup dalam pesta pora.
Seperti yang dijelaskan dalam bab 3 bahwa hampir dalam setiap acara hajatan seperti
pernikahan, ulang tahun, syukuran baptisan, syukuran sidi baru maupun syukuran wisuda
dilaksanakan dalam pesta pora. Di mana pesta pora tersebut membutuhkan biaya yang besar dan
berlangsung berhari-hari. Penulis melihat bahwa kata syukuran justru sekarang ini hanya sebagai
label untuk melegalkan keinginan masyarakat dalam mengadakan pesta pora. Darimana sumber
dana untuk melaksanakan pesta pora? Salah satunya dari acara kumpul keluarga yang di
dalamnya ada tradisi manekat. Secara tidak langsung tradisi manekat dilakukan hanya untuk
memenuhi keinginan hidup mewah. Sekarang ini uang menjadi segalanya dalam kehidupan
manusia. Segala sesuatu memerlukan uang. Keinginan untuk hidup bergaya modern ternyata
tidak seimbang dengan tingkat pendapatan masyarakat desa Kesetnana. Penulis melihat bahwa
masyarakat terlalu memaksakan untuk hidup dalam pesta pora. Dalam penelitian, penulis
menemukan fakta dari beberapa anak muda yang mengatakan bahwa sekarang ini mereka takut
untuk menikah. Alasannya karena menikah sekarang ini membutuhkan biaya yang sangat mahal,
kalaupun mereka harus menikah setidaknya mereka sudah memiliki modal untuk menggelar
sebuah pesta. Akibatnya mereka terpaksa harus mengambil utang untuk persiapan pernikahan.

71 | P a g e

Kalau mereka tidak memiliki modal untuk menggelar sebuah pesta, sudah dipastikan semua
biaya pesta tersebut di dapat dari hasil kumpul keluarga yang di dalamnya ada tradisi manekat.
Hal ini bagi mereka tentunya akan memberatkan karena secara tidak langsung mereka sudah
terjebak dalam lilitan utang keluarga. Ada saatnya nanti, mau tidak mau mereka harus membalas
jasa keluarga-keluarga yang turut terlibat dalam pergelaran pesta tersebut, termasuk membalas
manekat. Dari sini, penulis bisa menyimpulkan bahwa keinginan masyarakat untuk bergaya
mewah tidak sebanding dengan tingkat ekonominya.
Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan dalam manekat, maka penulis
juga melihat bahwa dalam setiap perubahan yang terjadi, tentunya disertai dengan dampakdampaknya. Ketika perubahan tersebut diterima dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku,
akan berdampak positif bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang menganutnya. Tetapi
ketika perubahan terjadi dan masyarakat tidak siap untuk menerimanya serta bertentangan
dengan ada istiadat dan norma-norma yang berlaku, maka perubahan itu justru akan berdampak
negatif dalam kehidupan sosial masyarakat.
Perubahan makna dan nilai dalam manekat sekarang ini pun berdampak pada kehidupan
sosial masyarakat Timor, khususnya anggota jemaat Immanuel Kesetnana. Beberapa dampak
negatif dari adanya perubahan yang penulis dapati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.2.4 Bergesernya Ikatan Kekeluargaan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa manekat bagi orang Timor tidak hanya sebagai
pemberian tanda sukacita untuk saling tolong menolong dalam menangung beban, tapi di dalam
tradisi manekat ada nilai dan makna kekeluargaan. Melalui Tradisi manekat, anggota keluarga
kembali diingatkan akan rasa solidaritas dan terus menjaga hubungan kekeluargaan yang telah

72 | P a g e

dibina. Dengan adanya tradisi manekat, menyatukan keluarga-keluarga yang terpisah karena
jarak maupun kesibukan. Namun sekarang ini dengan sistem manekat yang memakai catatan,
dimana setiap manekat yang diberikan harus dicatat dan adanya balasan atau pembayaran
kembali, membuat rasa kekeluargaan memudar bahkan hilang sama sekali. Mengapa? Karena
sistem catat buku dan bayar utang tadi mensiratkan bahwa tidak adanya kepercayaan diantara
sesama keluarga. Salah satu akibat dari perubahan di atas adalah merenggangnya hubungan
kekeluargaan, baik dalam keluarga kecil maupun keluarga dalam arti luas. Selain itu solidaritas
kekeluargaan yang dibangun bukan lagi berdasarkan kepentingan bersama tetapi atas dasar
untung dan rugi. Memberikan manekat dengan harapan akan mendapatkan balasan yang lebih
besar. Sistem catat buku juga seolah menjadi pemaksaan bagi anggota keluarga untuk
memberikan manekat jika masih mau dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga. Jika tidak
memberikan manekat dalam acara kumpul keluarga, maka keluarga yang tidak memberikan
manekat tersebut akan dijadikan bahan cibiran, dikucilkan bahkan diasingkan dari keluarga.
Dengan adanya sistem catat buku juga membuat hubungan keluarga semakin jauh. Tidak hadir
dalam acara kumpul keluarga tidak menjadi masalah, yang penting manekatnya diberikan dan
dicatat.
4.2.5 Masyarakat menjadi Individualis
Dalam tradisi manekat ada nilai gotong royong dan tersirat nilai sosial yang tinggi. Para
anggota keluarga dan kerabat memiliki satu visi yang sama yaitu saling mendukung dan saling
menanggung beban. Kata saling disini tidak hanya berarti sebagai tindakan responsif atau
tindakan dua arah, tetapi kata saling disini mensiratkan adanya bentuk kerjasama. Tidak bekerja
sendiri-sendiri tapi saling bekerja sama untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama.
Namun, dengan adanya perubahan dalam manekat sekarang ini menyebabkan masyarakat
73 | P a g e

menjadi individualis. Masyarakat yang dulunya saling berhubungan erat satu dengan yang lain
atas dasar kekeluargaan, kini lebih mementingkan diri sendiri. Mereka yang bersikap
individualisme selalu mementingkan dirinya sendiri, mereka tidak memperdulikan orang lain dan
hanya peduli terhadap urusannya masing-masing. Pemberian manekat pun tidak lagi atas dasar
kekeluargaan tapi atas dasar keuntungan pribadi. Seseorang hanya akan memberikan manekatnya
jika dia telah mendapatkan manekat sebelumnya.
4.2.6 Munculnya konflik sosial dan kesenjangan sosial
Konflik sosial seringkali disebabkan karena adanya perbedan sikap dan kepentingan
dalam menghadapi suatu perubahan. Tentunya dalam setiap perubahan ada pro dan kontra. Ada
pihak-pihak yang mendukung terjadinya perubahan tersebut dan ada pihak-pihak yang
menentang adanya perubahan. Contohnya, perubahan yang terjadi menimbulkan kesenjangan
sosial atau perubahan menghilangkan norma-norma adat istiadat. Tidak adanya rasa toleransi dan
perasaan saling mengerti akan kebutuhan individu masing-masing juga terkadang menjadi
pemicu adanya konflik sosial.
Manekat dengan menggunakan sistem catat buku apalagi dengan adanya penentuan
jumlah manekat yang harus diberikan dapat menimbulkan konflik sosial. Seperti yang penulis
kemukakan dalam penelitian bahwa ada sebagian rayon dalam jemaat Immanuel Kesetnana yang
memberikan standarisasi dalam memberikan manekat.12 Dan standarisasi itu harus dipenuhi dan
dijalankan oleh semua anggota rayon. Bila ada anggota rayon yang tidak memberikan
manekatnya, maka ada konsekuensi yang harus ia tanggung dan justru hal ini didukung oleh tua
adat setempat. Mengapa standarisasi manekat ini dapat menyebabkan konflik? Karena ketika ada
anggota rayon yang tidak memberikan manekatnya, akan menimbulkan pertentangan diantara
12

Lihat Bab 3 hal 21

74 | P a g e

mereka. Merasa tidak dihargai dan merasa dilecehkan. Dalam penelitian juga, penulis
mendapatkan pengeluhan dari beberapa anggota jemaat yang merasa terbeban dengan adanya
sistem catat buku dan standarisasi manekat. Para anggota jemaat tersebut adalah para janda yang
tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka merasa bahwa standarisasi manekat justru membawa
beban dalam kehidupan mereka sendiri. Mereka harus memberikan manekat sebesar Rp.50.000
padahal untuk mendapatkan uang sebesar itu saja mereka harus mencarinya dengan susah payah,
apalagi jika dalam seminggu atau sebulan mereka harus memberikan manekat lebih dari 1 kali.
Adanya standarisasi tersebut berdasarkan kesepakatan bersama antara anggota rayon, majelis
jemaat serta para tokoh adat dan tokoh masyarakat. Tetapi disini penulis melihat bahwa
kesepakatan tersebut tidak seimbang karena ternyata masih ada anggota jemaat yang
mengeluhkan standarisasi tersebut. Penulis menilai bahwa kesepakatan tersebut dibuat hanya
oleh mayoritas suara terbanyak yang di mana mereka adalah orang-orang yang punya status
sosial tinggi, sedangkan mereka yang tidak memiliki apa-apa seperti para janda terpaksa harus
tunduk pada hasil kesepakatan. Tentunya hal ini secara tidak langsung memicu terjadinya konflik
sosial antara mereka yang memiliki status sosial tinggi dan mereka yang berstatus sosial rendah.
Ketika konflik muncul, tentunya mereka yang berstatus sosial rendah hanya bisa pasrah. Dan hal
ini menimbulkan adanya kesenjangan sosial. Mereka yang berkuasa seolah-olah menindas yang
lemah. Sementara mereka yang lemah harus tunduk terhadap setiap keputusan yang diambil oleh
para penguasa.
Berbicara tentang pengambilan keputusan atas kesepakatan bersama, sebagaimana yang
terjadi dalam penentuan/standarisasi jumlah manekat, berdasarkan hasil peneliatian penulis
melihat ada sebuah kontradiksi dalam kesepakatan tersebut. Penulis menilai bahwa Kesepakatan
yang dibuat tidak mempertimbangkan kesanggupan dari semua pihak. Apakah semua mampu

75 | P a g e

untuk membayar manekat sesuai kesepakatan atau tidak. Sebab kenyataannya banyak anggota
jemaat yang mengeluhkan keputusan tersebut. Dari sini penulis melihat bahwa pihak-pihak yang
membuat kesepakatan dan keputusan tersebut tidak menjalankan tugas dan fungsinya
sebagaiman mestinya. Yang pertama adalah para tokoh adat dan tokoh masyarakat seharusnya
dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai orang yang dihormati dan dipertuankan. Sebagai
seorang yang dipertuan, memiliki kewajiban untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya.
Dalam setiap pengambilan keputusan, para tokoh adat dan tokoh masyarakat ini seharusnya
memperhatikan akibat dan dampak yang ditimbulkan dari keputusan-keputusan tersebut, apakah
membawa pengaruh positif bagi masyarakat ataukah justru menjadi beban bagi masyarakat.
Terlebih lagi mereka harus berpihak pada masyarakat kecil, sebagai masyarakat yang akan
paling merasakan setiap dampak yang ditimbulkan dari setiap keputusan yang dibuat. Tetapi
dalam penentuan standarisasi manekat ini, para tokoh adat dan tokoh masyarakat mengalami
kegagalan dalam menjalankan peran dan fungsinya. Mereka tidak berpihak pada masyarakat
kecil. Yang kedua adalah para majelis gereja yang terlibat dalam kesepakatan tersebut pun
menurut penulis gagal dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelayan umat. Di sini
penulis melihat dua faktor yang menjadi penyebab para majelis jemaat ini tidak menjalankan
fungsinya untuk melayani dengan kasih. Pertama ialah karena para majelis tersebut juga adalah
para tokoh adat dan tokoh masyarakat dan kedua ialah karena adanya ketakutan untuk melawan
para penguasa atau mereka yang mempunyai status sosial tinggi.
Dari ketiga dampak negatif di atas, penulis juga melihat bahwa ada dampak positif dari
manekat dengan sistem catat buku ini. Kebiasaan orang Timor setelah seseorang menikah ialah
pasangan suami istri baru itu harus memberi ucapan terimakasih kepada para keluarga dan
kerabat yang telah membantu dalam semua proses pernikahan tersebut. Caranya ialah dengan

76 | P a g e

berkunjung ke rumah-rumah keluarga tersebut. Dengan adanya sistem catat buku, setidaknya
pasangan suami istri baru tersebut tidak melewatkan atau melupakan para keluarga dan kerabat
dalam memberi ucapan terimakasih. Selain itu, penulis melihat bahwa dengan sistem catat buku
juga memberi tanggung jawab moral kepada pasangan suami istri baru tersebut, bila suatu ketika
ada pertikaian dalam rumah tangga dan harus berujung pada perceraian, buku yang berisi namanama keluarga yang memberi manekat akan menjadi pertimbangan bagi pasangan suami istri
tersebut untuk bercerai. Begitu banyak anggota keluarga dan kerabat yang berpartisipasi dalam
proses pernikahan, dan tentu saja hal tersebut menjadi tanggung jawab moral bagi pasangan
suami istri untuk menghargai semua bentuk pastisipasi keluarga yang telah diberikan.
4.3 Sikap Gereja Terhadap Perubahan dalam Manekat
Gereja adalah institusi sosial, di mana gereja merupakan bagian masyarakat dan
masyarakat merupakan bagian penting Gereja. Keduanya saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi. Gereja telah hadir di hampir semua masyarakat. Pengaruh gereja pada
masyarakat dapat dirasakan di semua bidang kehidupan, baik dalam politik, ekonomi, seni,
budaya maupun pemikiran (idiologi). Gereja dan masyarakat saling mempengaruhi, membentuk
dan menuntun. Ada interaksi kompleks antara gereja dan masyarakat. Sebagai bagaian dari
masyarakat, tentunya gereja juga turut berperan aktif dalam setiap tantangan dan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Termasuk di dalamnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Gereja yang hidup adalah gereja yang selalu mempertanyakan makna kehadirannya
di tengah masyarakat dan lingkungannya. Perubahan sosial yang tengah terjadi di masyarakat
memberikan tantangan pelayanan dan tantangan kehidupan yang harus dijawab oleh gereja. Dan
gereja menjawabnya dalam bentuk partisipasi yang aktif melalui aktifitas pelayanan dan
kesaksian yang kontekstual dan tulus.
77 | P a g e

Gereja harus mampu membaca perubahan-perubahan yang tengah terjadi di masyarakat.
Gereja jangan mengambil sikap bermusuhan dengan perubahan yang ada atau turut terbawa arus
perubahan yang ada. Dalam mengambil sikap atas setiap perubahan dan permasalahan yang
terjadi, gereja harus independendalam artian bahwa gereja tidak boleh memihak. Terkadang
gereja takut untuk mengambil resiko dalam berperan aktif terhadap perubahan sosial, takut akan
kehilangan anggota jemaat. Kesiapan gereja dalam menghadapai perubahan sosial juga
terkadang membuat gereja tidak mampu untuk menjalankan perannya sebagai institusi sosial.
Peran Gereja di tengah masyarakat yang berubah adalah menjadi krusial saat ini. Persoalannya
adalah apakah setiap Gereja memahami akan perannya ? Jika di kaji lebih mendalam sebetulnya
tidak ada pilihan lain bagi gereja, sebab gereja adalah bagian dari masyarakat, apa yang terjadi di
masyarakat akan mempengaruhi gereja, begitu juga apa yang terjadi di gereja akan berdampak
juga ke masyarakat.
Dalam penelitian terhadap perubahan Sosial dalam tradisi manekat di jemaat Immanuel
Kesetnana, penulis melihat bahwa gereja berupaya untuk menyadarkan jemaat akan pentingnya
menjaga nilai-nilai kasih dalam hidup bersama. Melalui khotbah-khotbah dan suara gembala,
gereja terus menyuarakan akan pentingnya hidup bersama. Namun di lain pihak, penulis melihat
bahwa gereja sebenarnya kurang berperan aktif dalam menghadapi perubahan dalam tradisi
manekat ini. Mengapa? Karena justru mereka yang memiliki jabatan struktural, dalam hal ini
majelis jemaat dalam gerejalah yang turut memainkan bahkan melegalkan perubahan yang
terjadi dalam manekat. Penulis melihat juga bahwa hal ini terjadi karena kurang adanya
komunikasi diantara para pemimpin gereja. Di lain pihak gereja dalam hal ini Pendeta terus
menyuarakan tentang nilai-nilai kasih, namun kenyataannya para majelislah yang tidak
mempraktekan nilai-nilai kasih tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Ini berarti bahwa

78 | P a g e

belum ada sikap dari gereja atas perubahan yang terjadi dalam tradisi manekat. Gereja belum
serius menghadapi masalah-masalah sosial.
Mengapa gereja harus berperan aktif, tidak saja hanya dengan berkhotbah tapi juga harus
menjadi contoh melalui tindakan dalam menghadapi perubahan dalam manekat ini? Penulis
beranggapan bahwa gereja menjadi benteng terakhir untuk meluruskan bahwa hidup harus
mempunyai dampak positif bagi sesamanya. Ketika lembaga-lembaga adat dan pemerintah tidak
mampu lagi menangani perubahan yang terjadi yang menyebabkan adanya konflik sosial dan
hilangnya nilai-nilai hidup, maka gereja harus mampu menjadi agen perubahan. Gereja harus
mampu membawa kembali masyarakat untuk terus melakukan kebaikan, kebenaran dan
mempraktekan nilai-nilai kasih sebagaimana mestinya.

79 | P a g e