Konferensi Internasional Budaya Sunda II

Spirit Sunda dalam Arsitektur Modern
Purnama Salura dan Rivani Chandra

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

1

ABSTRAK
kata kunci : arsitektur, sintesis, lokal,

Arsitektur sebagai salah satu hasil kebudayaan acap kali bersinggungan dan sering kali dihadapkan secara
berseberangan dengan kemajuan budaya modern. Ditengarai dalam kecenderungan dunia yang semakin
menyejagat menjadi modern, justru spirit lokal menjadi hal penting yang harus dikedepankan.
Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana sintesis antara aspek lokal dan teknologi modern pada Aula
Barat ITB dan Gedung Sate di Bandung berhasil menampilkan spirit lokal pada tampilan arsitektur modern. Sejak
mulai dibangun pada era 1900-an sampai sekarang kedua bangunan ini masih berfungsi dengan baik. Elemenelemen bangunannyapun masih lengkap sehingga ekspresi bangunan secara keseluruhan relatif tidak berubah.
Lewat penelusuran anatomi bangunan, elemen yang menampilkan ikon (tanda) Sunda dapat dilokalisir dari
tanda-tanda lain (elemen arsitektur modern) yang ada.
Makalah ini diangkat dari hasil penelitian sepanjang tahun 2010 yang berlandaskan pada gabungan pendekatan
sistem ekspresi (komunikasi-tanda arsitektur Sunda) dengan relasi Fungsi-Bentuk-Makna dalam arsitektur. Agar
lebih obyektif diintegrasikan juga hasil kuesioner triangulasi (responden : awam, pengguna, dan pakar) kedalam

analisis. Hasil analisis tentang ekspresi tanda dengan wujud arsitektur menunjukkan Aula Barat ITB dan Gedung
Sate tetap menampilkan spirit Sunda walaupun menggunakan teknologi modern. Elemen yang menampilkan
spirit ini kemudian diklasifikasi dan dielaborasi agar dapat dijadikan acuan sekaligus menjadi wacana lanjut.

SINTESIS ARSITEKTUR
Literatur arsitektur Sunda langka keberadaannya. Jika adapun tajuk besarnya seringnya
didominasi oleh kajian ilmu bahasa, antropologi ataupun geografi. Kalaupun ada kajian tentang
arsitektur umumnya hanya merupakan bagian kecil sebagai pengisi dari seluruh tulisan. Kesulitan
inilah yang dihadapi ketika mencoba menelusuri seperti apa arsitektur Sunda itu (Salura,2000).
Selain literatur yang sulit ditemukan, jejak empiris keraton Sunda yang biasanya dianggap
sebagai panutanpun nyaris tak teragakan bentuknya. Rekonstruksi arkeologipun tak pernah ada
atau mungkin belum ada. Mau tak mau penelusuran harus bertolak dari kondisi kehidupan
berarsitektur masyarakat Sunda yang nyata. Akhirnya Studi difokuskan pada kampung-kampung
adat Sunda serta kampung-kampung “tua” yang keberadaannya masih berlangsung sampai
sekarang. Berdasar penelusuran ini, sulit untuk mendefinisikan seperti apa bentuk arsitektur
Sunda secara umum. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat dinamika bentuk dan makna
arsitektur pada masyarakat Sunda di beberapa kampung di Tatar Priangan. Walaupun bentuknya
dinamis, pola-dasar yang menjadi struktur-dalam rumah dan kampung ditemukan tidak berubah.
(Salura,2005).


Dalam konteks praktek berarsitektur sekarang, pertanyaan penting yang sering dihadapi adalah
bagaimana merancang bangunan modern dengan fungsi publik yang tetap mempunyai identitas
Sunda? Menggambarkan suatu bentuk pasti yang dapat mewakili identitas arsitektur Sunda
bukan pekerjaan mudah. Selain sulit untuk mempertanggung-jawabkan secara akademis,
rasanya sia-sia membekukan identitas ke dalam suatu bentuk yang statis. Budaya masyarakat

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

2

Sunda tak pernah statis, selalu bertumbuh-kembang sejalan dengan perubahan kehidupan.
Demikian pula halnya dengan bentuk arsitekturnya. Dengan demikian, sintesis arsitektural
menjadi isu yang penting untuk diangkat.

Merancang bangunan dengan mengadopsi bentuk rumah tinggal masyarakat Sunda yang ada
lalu mengisikannya dengan fungsi publik sering menjadi pilihan para arsitek. Bentuk bangunan
masih serupa dengan rumah tinggal, lalu skala dan penggunaan material disesuaikan agar dapat
mengakomodasi fungsi non rumah tinggal. Pilihan jenis sintesis ini mengabaikan relasi yang ada
antara bentuk dan makna awalnya. Mengadopsi bentuk arsitektur dari luar Tatar Sunda
kemudian memodifikasi agar sesuai dengan iklim di Tatar sunda, juga kerap dilakukan. Beberapa

istilah yang sering dialamatkan pada sintesis ini adalah “Paris van Java, Swiss van Java, Barat
yang tropis, Jawa yang di Sundakan. Sejarah juga menunjukkan bahwa percampuran seperti ini
telah dilakukan sejak dahulu.

Tulisan ini menganalisis sintesis arsitektural pada bangunan Aula Barat ITB dan Gedung Sate di
Bandung. Pemilihan kedua bangunan ini berlandas pada : Pertama, karena kedua bangunan ini
secara sadar dirancang dengan napas sintesis arsitektur oleh kelompok arsitektur-Indis. Kedua,
bentuk bangunan-bangunan ini sering sekali dijadikan ikon Jawa Barat. Ketiga, baik Aula barat
ITB maupun Gedung Sate sejak dahulu sampai sekarang masih berfungsi sebagai bangunan
publik dengan konteks dimana kedua bangunan tetap memiliki kekhususan dan berkelanjutan
dalam menghadapi perubahan kehidupan berarsitektur. Keempat, kedua bangunan ini berada di
kota Bandung, Jawa Barat yang merupakan tatar Sunda.

AULA BARAT ITB DAN GEDUNG SATE
Dalam rentang tahun 1800-1900 (Nix,1942) gaya bangunan yang dibawa oleh para perancang
Belanda adalah gaya Indische Empire Stijl. Gaya yang awalnya berkembang di negeri Perancis
ini banyak ditiru di seluruh benua Eropa, termasuk juga Belanda. Di Perancis jugalah sekolah
formal arsitektur pertama Ecoles des BeauxArts didirikan (Ching,2007). Produk bangunan dari
sekolah ini yang sarat dipengaruhi oleh doktrin Renaissance, lalu menjadi gaya yang digemari
oleh arsitek Belanda. Tidak heran jika pada masa ini bangunan gaya Empire bertebaran di Hindia

Belanda terutama di pulau Jawa. Inspirasi bentuk bangunan yang ada kala itu, nyaris tak
berbeda dengan yang ada di Belanda, hanya saja materialnya disesuaikan dengan material yang
tersedia yang tahan dengan cuaca Hindia Belanda.

Setelah era di atas, para arsitek Belanda mulai gemar meniru gaya Romantik. Dinding tinggi
pada muka bangunan (fasad) yang diberi berbagai ornamen mulai menggantikan tiang-tiang
Yunani yang biasanya menghiasi muka bangunan. Pada tahun 1923 Hendrik Petrus Berlage
seorang arsitek kenamaan Belanda berkunjung ke Hindia Belanda. Setelah berkeliling meninjau,

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

3

dalam pidatonya di depan para arsitek Belanda yang tinggal di Hindia Belanda ia melontarkan
kekecewaan tentang bentuk arsitektur yang ada saat itu (Molenaar,1995).Ia menyarankan untuk
lebih mengangkat nilai-nilai arsitektur tradisional setempat yang dianggapnya mempunyai bentuk
yang baik. Sejalan dengan itu, mulai mengemuka politik-etis di negara Belanda. Dorongan yang
bertubi-tubi inilah yang ditengarai memunculkan era arsitektur-Indis di Hindia Belanda.

Pada era arsitektur Indis ini Aula Barat ITB serta Gedung Sate dibangun. Aula Barat ITB

merupakan salah satu bangunan untuk sekolah tinggi (Technische Hogeschool) yang didirikan
dalam rangka menyiapkan tenaga-tenaga teknik yang dapat membantu proses pembangunan
pemerintahan Belanda. Henri Maclaine Pont seorang arsitek dari Belanda ditugaskan untuk
merancang fasilitas ini. Berdasar hasil karya-karyanya seperti Gereja Pohsarang di Kediri, Kantor
kereta api di Tegal, dapat disimpulkan bahwa ia merupakan arsitek yang selalu mencoba
melakukan sintesis antara ikon setempat dengan teknik modern. Aula Barat ITB mulai dibangun
tahun 1918 dan mulai diresmikan pada tahun 1920. Berikut ini disajikan gambar Aula Barat ITB.

Gambar 1.Gedung Aula Barat ITB asli (kiri) dan yang sudahdigambarkanulangsecara 3
dimensi (kanan) bersebelahan.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

4

Gedung sate mula dibangun pada tahun 1920 dan mulai digunakan pada tahun 1921. Di bawah
ini adalah gambar Gedung Sate.

Gambar 2.Gedung Sate asli (kiri) dan yang sudahdigambarkanulangsecara 3 dimensi (kanan)
bersebelahan.


ARSITEKTUR DAN KOMUNIKASI
Bagaimana cara melihat dan membaca arsitektur? Membaca uraian tentang efektivitas, efisiensi
fungsi serta kualitas ekspresi sebuah bangunan lewat tulisan memang bukan hal yang mudah.
Karena diperlukan kemampuan lebih untuk mengubah narasi menjadi gambaran tiga dimensi.
Berbeda jika melihat gambar bangunan tersebut secara keseluruhan (denah, tampak, potongan,
perspektif). Ekspresi yang ditangkap pengamat tentu akan lebih mudah dan lengkap. Apalagi jika
melihat dan mengalami bangunan tersebut secara langsung. Seluruh indera bisa ikut bereaksi.

Pada dasarnya solusi penciptaan sebuah bangunan didorong oleh adanya kebutuhan aktivitas
serta sekaligus menjadi medium untuk mengekspresikan pesan tertentu. Dari sini dapat dipahami
bahwa kuantitas dan kualitas ruang dalam bangunan serta tampilan visual bangunan menjadi
penting untuk dikuasai. Agar pesan tentang ruang kegiatan yang diakomodasi oleh tampilan
bangunan dapat diterima dengan baik oleh pengamat dan penggunanya, seorang perancang
bangunan harus mempelajari pengetahuan komunikasi. Dalam percakapan lisan, pertukaran
pesan dapat terjalin dua arah secara langsung. Pengirim pesan dapat langsung mengetahui
apakah pesan dapat diterima dengan baik atau sebaliknya. Berbeda halnya dengan
menempelkan pesan pada sebuah bangunan yang merupakan sebuah benda mati. Pengguna
dan pengamat akan membaca tujuan dan pesan yang ingin disampaikan lewat tanda yang
tertempel pada bangunan. Sesudah itu barulah pengguna dan pengamat mengiterpretasikan

pesan atau tanda tersebut dengan mengacu pada simpanan perbendaharaan yang dimilikinya.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

5

Proses di atas menyiratkan bahwa bangunan harus dapat dilihat sebagai tanda. Tampilan
bangunan secara keseluruhan dari jarak jauh sampai pada tampilan detail bangunan dari jarak
dekat, haruslah dapat dilihat sebagai tanda. Tanda yang menempel pada bangunan tentu akan
banyak jenisnya. Walaupun demikian tentu ada tanda yang dominan ditangkap oleh pengguna
dan pengamat. Ilmu tentang tanda membagi tiga jenis tanda (Buchler,1940). Pertama, tanda
yang berdasar sebab akibat. Misalnya pada sebuah sisi bangunan ada dua coakan atau lubang
berbentuk kotak. Dimensi coakan yang satu tingginya mulai dari tanah sampai tengah bangunan.
Sedangkan yang lainnya tidak.

Gambar 3.Ilustrasitandapadabangunan

Tanda pertama dapat dibaca sebagai pintu untuk masuk ke dalam bangunan. Sedangkan tanda
kedua diinterpretasikan sebagai jendela. Kedua, tanda berdasar pada keserupaan dengan benda
lain. Sebuah bangunan yang menyerupai bentuk bebek misalnya akan diinterpretasikan sebagai

bangunan yang ada hubungannya dengan bebek. Ketiga, tanda yang berdasar pada
kesepakatan komunitasnya. Sebuah bentukan bulan dan bintang atau pun sebuah bentukan
salib dengan jenis material apapun, akan diinterpretasi sebagai lambang yang berhubungan
dengan agama tertentu.

Berikut ini digambarkan sebuah diagram yang memetakan relasi antara tiga aspek utama dalam
bangunan atau arsitektur. Diagram ini lalu digunakan untuk membaca bangunan Aula Barat dan
Gedung Sate secara keseluruhan (Salura, 2010)
Aspek Kegiatan
Perputaran proses berarsitektur dimulai dari adanya kebutuhan ruang untuk menjalankan suatu
aktivitas tertentu. Setiap aktivitas tentu mempunyai gerak dasar. Ada yang cenderung bergerak
dengan pola memusat dan ada yang bergerak memanjang. Sekumpulan orang menghangatkan
diri di api unggun, tentu pergerakan kegiatannya akan berpola memusat. Sedangkan jika
sekumpulan orang tadi ingin melihat pemandangan di laut lepas, pergerakan kegiatannya akan

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

6

cenderung berpola memanjang. Gerak alamiah pola kegiatan ini melahirkan susunan atau pola

tertentu.
Aspek Pelingkup
Kegiatan tertentu di atas lalu membutuhkan ruang yang dijamin dapat membuat kegiatan itu
berlangsung dengan efisien, efektif serta nyaman. Pada tahap ini mulailah dibentuk pelingkup
ruang nyata secara fisik. Di mana pelingkup ruang ini sejalan dengan kriteria kenyamanan
kegiatan tertentu di atas. Karena sebuah bangunan selalu berada dan berdiri pada sebuah
tempat tertentu, maka pelingkup ruang tadi terdiri tiga sisi. Pelingkup daerah bawah merupakan
elemen yang berhubungan dengan tanah. Pelingkup daerah sekeliling kegiatan merupakan
elemen yang berhubungan dengan seluruh isi alam dan manusia lainnya secara horisontal.
Sedangkan pelingkup daerah atas merupakan elemen yang berhubungan dengan alam secara
vertikal. Agar bangunan dapat berdiri dengan baik dalam bentuk tiga dimensinya, pelingkup ini
membutuhkan struktur yang membentuk kaitan satu sama lain. Ketika ketiga pelingkup tadi
ditautkan satu sama lain, jadilah sebuah bangunan yang di dalamnya dapat menampung
kegiatan tertentu.
Aspek Interpretasi
Setelah bangunan ini muncul suka atau tidak suka, tampilan bangunan ini akan diinterpretasi
oleh penggunanya dan sekaligus oleh sekumpulan orang lain sebagai pengamatnya. Pengguna
dapat menginterpretasi apakah tampilan ruang kegiatan yang di strukturkan menjadi bentuk
bangunan ini efektif, efisien serta nyaman dipakai dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan
pengamat hanya menginterpretasi berdasar tampilan bentuk bangunan dari luar, serta ekspresi

sifat yang melekat pada materialnya. Jika pengamat dapat mengiterpretasi garis besar tipe ruang
kegiatan yang ada di dalamnya, berarti bangunan ini dapat berkomunikasi dengan baik.
Interpretasi ini kemudian dapat menjadi perbendaharaan bagi pengamat dan pengguna. Jika ada
kebutuhan ruang kegiatan serta tempat yang mempunyai karakter serupa dengan yang telah
diuraikan di atas, betuk bangunan diatas pasti akan menjadi konteks acuan mereka.

Putaran relasi ketiga aspek utama dalam proses arsitektur di atas membuat sebuah bangunan
menjadi utuh sebagai sebuah tanda. Dalam pengetahuan arsitektur sekumpulan kegiatan sering
juga disebut dengan fungsi. Di mana pola fungsi ini selalu berhubungan dengan konteks
interpretasi tentang fungsi lain serta tempatnya. Sedangkan aspek pelingkup tadi sering disebut
sebagai bentuk. Dimana bentuk ini selalu terkait dengan struktur yang sejalan dengan bentuknya.
Sementara aspek interpretasi akan menghasilkan arti atau makna. Di mana makna yang
dipahami akan sangat tergantung pada tampilan bangunannya. Jadi ketiga aspek tadi dapat juga
dibaca sebagai aspek Fungsi-Bentuk-Makna.

Relasi perputaran ketiga aspek utama dalam bangunan di atas lalu digunakan untuk membaca
bangunan Aula Barat dan Gedung Sate yang telah diurai berdasar anatomi arsitektur

Konferensi Internasional Budaya Sunda II


7

sebelumnya. Dengan demikian seluruh tanda serta tanda dominan yang ada dapat ditelusuri.
Setelah itu tanda dominan tadi diidentifikasi tingkat kelokalannya. Semakin dekat dengan kondisi
alamnya tanda tersebut akan dinterpretasi sebagai tanda lokal. Demikian juga semakin dekat
dengan ikon yang ada pada konteks budaya lokal, tanda akan diinterpretasi semakin mempunyai
nilai kelokalan yang tinggi. Berdasar penelusuran ini akan dapat ditentukan apakah interpretasi
tampilan tanda yang dominan pada bangunan mempunyai nilai lokal yang tinggi atau sebaliknya.
Interpretasi ini sekaligus dapat juga menentukan elemen arsitektur apa yang menyebabkan
tampilan bangunan diinterpretasikan sebagai lokal atau sebaliknya.

TANDA DAN MAKNA YANG DOMINAN PADA AULA BARAT ITB DAN GEDUNG
SATE
Cara membaca arsitektur di atas, kemudian diintegrasikan dengan hasil pendapat yang diperoleh
dari kuesioner yang ditanyakan pada responden pengguna, pengamat serta arsitek. Berdasar
elaborasi cara baca ini dapat disimpulkan bahwa tampilan yang dominan pada bangunan Aula
barat ITB lebih kuat mengkomunikasikan ekspresi lokal. Demikian juga halnya dengan tampilan
bangunan Gedung Sate.
Aula Barat ITB
Kesimpulan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap berkomunikasi dengan tampilan
bentuk bangunan dari jauh, tanda dominan yang terbaca adalah atapnya. Ketika diidentifikasi
lebih lanjut, bentuk atap tersebut merupakan sebuah tanda keserupaan yang mengacu pada
bentuk atap yang terdapat pada atap rumah di kampung-kampung di Kabupaten Garut dan
Tasikmalaya pada tahun 1900-an (Garoet,1920).

Gambar 4.Kampung Naga - Tasikmalaya

Kesimpulan ini berbeda dengan pendapat Helen Jessup seorang peneliti karya-karya Maclaine
Pont berkebangsaan Amerika. Ia berpendapat bahwa atap tersebut serupa dengan atap
Minangkabau. Tetapi ketika atap Minangkabau dan atap Aula barat ITB diurai, kemudian

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

8

dilepaskan konstruksinya secara mendetail, karakter yang ditemukan pada keduanya sangat
berbeda. Atap Minangkabau berbentuk pelana dengan kuda-kuda miring pada bagian ujungnya.
Atap Aula Barat ITB berbentuk perisai dengan kuda-kuda gabungan konsruksi lamella dengan
konstruksi atap Sunda sederhana.

Gambar 5.Sistemstruktur lamella dankudakudasederhanaJawapada Aula Barat ITB

Pada tampilan jarak dekat ketika mendekati pintu masuk utama, susunan batu kali pada bagian
dasarnya mendominasi pandangan. Sedangkan tampilan rangkaian kolom bulat dari batu kali
mendominasi tampak sampingnya. Seluruh material ini merupakan material yang banyak ditemui
dikampung-kampung adat Sunda. Hanya saja bentuk kolom bulat nyaris tidak pernah ditemui
diseluruh kampung Sunda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bentuk yang ada
mengacu pada teknik konstruksi modern. Walaupun demikian, ekspresi tampilan masih
didominasi oleh sifat material batu yang serupa dengan kondisi di kampung-kampung Sunda.

Gambar 6.Susunanbatu kali
padabagiandasarbangunan Aula Barat ITB

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

Gambar 7.Kolombulat yang terbuatdaribatu kali
sekelilingbangunan Aula Barat ITB

9

Pada bagian dalam bangunan, tergelar konstruksi lamella dari bahan kayu (konstruksi dari
Belanda) dengan bentang lebar. Konstruksi ini tidak pernah ditemukan di daerah Tatar Sunda.
Konstruksi ini merupakan tanda yang paling dominan ketika pengamat berada di dalam ruangan.
Ekspresi material konstruksi atap pada bagian dalam terbuat dari kayu serta detail-detailnya yang
mengingatkan akan bangunan-bangunan kayu di Amerika dan Eropa era 1900-an. Hasil analasis
tanda dan jawaban kuesioner menunjukkan bahwa bagian dalam bangunan mempunyai tampilan
yang mengacu pada gaya arsitektur modern.
Gedung Sate
Ketika mengamati Gedung Sate dari kejauhan (jalan Diponegoro) ada tiga tanda besar yang
tampil. Pertama, dinding masif yang dicoak lubang-lubang kecil yang menyiratkan sifat
ketertutupan yang tinggi. Proporsi dinding ini merupakan bagian yang terbesar dari tampilan
muka bangunan. Kedua, dua buah masa atap bertengger di atas dua dinding masif, sebuah
masa atap panjang yang dibelah oleh dinding menjulang tinggi pada bagian tengah, masa atap di
atas daerah pintu masuk, tiga susun atap kecil dengan tipe yang sama bertengger di atas dinding
yang menjulang. Ketiga, alas bangunan tergelar memanjang menopang dinding masif.
Walaupun tampilan porsi dinding jauh lebih besar dari luasan atap dan alas bangunan, tetapi
atap tetap menjadi tanda yang dominan dari sekeluruhan tampilan dari jauh. Hal ini disebabkan
komposisi atap menguasai dinding. Jika seluruh atap dihilangkan, dinding hanya akan tampil
sebagai benteng masif. Atap menjadi tanda penunjuk yang mengkomunikasikan ada kegiatan
didalam dinding lain selain sebagai pembatas. Elemen atap yang dominan pada tampak ini selain
menjadi tanda penunjuk juga sekaligus menjadi tanda keserupaan. Atap perisai memanjang
menyerupai elemen lokal atap yang terdapat pada rumah-rumah di daerah kampung Kuta,
Ciamis Jawa Barat.

Gambar 8.GambarulangGedung Sate, yang
dipisahkanantaraatapdantembokbangunannya

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

10

Dengan demikian pada tampilan tiga dimensi bangunan aspek lokal mendominasi tampilannya.
Pada tampilan jarak dekat ketika mendekati pintu masuk utama, alas bangunan setinggi satu
meter terbuat dari batu kali yang dipapas halus mendominasi tampilan. Ekspresi batu ini berbeda
dengan batu kali yang ada pada Aula Barat. Jika pada Aula Barat mengingatkan akan turap pada
kampung tradisional Sunda, alas bangunan pada Gedung Sate mengingatkan akan ekspresi alas
candi Cangkuang di Leles Garut. Pada jarak dekat tampilan dinding tebal dengan bukaan
(jendela dan pintu) yang masuk pada coakan sedalam 2 meter dihiasi dengan kolom-kolom yang
serupa dengan kolom-kolom Yunani.
Pada ruang tengah bagian dalam bangunan barulah terlihat bahwa struktur penyangga atap
adalah tiang-tiang beton. Jadi berbeda dengan ekspresi pada luar bangunan seakan-akan
dinding masif itulah struktur penyangga atapnya. Pada prinsipnya pada bagian dalam didominasi
dengan ornamen-ornamen tiang, langit-langit dan pola susunan lantai. Tanda arsitektural yang
mendominasi ini lebih kearah ekspresi bangunan yang ada di Belanda (Eropa). Sedangkan pada
bagian atap, konstruksi yang digunakan adalah kuda-kuda dari baja ringan teknologi Belanda.

Garis besar uraian di atas menyiratkan bahwa pada jarak pandang tiga dimensi secara utuh
(jauh) baik Aula Barat maupun Gedung Sate dominan mengkomunikasikan spirit lokal (memiliki
keserupaan dengan ikon bangunan yang ada di Tatar Sunda). Walaupun pada jarak dekat, pada
pintu masuk, ruang dalam bangunan, ornamen, serta stuktur dan konstruksi ditemukan ekspresi
bangunan Belanda.

WACANA LANJUT TANDA SUNDA PADA ARSITEKTUR
Dari telaah di atas, ada dua pokok penting yang dapat dielaborasi untuk wacana lanjut.
Pertama, secara umum sintesis arsitektur menjadi strategi penting untuk dikedepankan dalam
rangka survival arsitektur lokal. Karena banyak fungsi-fungsi baru yang muncul dalam kehidupan
yang semakin kompleks ini, maka arsitektur lokal harus dapat ikut berperan dalam perubahan
kehidupan. Hubungan yang statis antara fungsi tradisional dengan bentuk dan maknanya harus
diurai kembali agar didapat hubungan yang lebih fleksibel dan dinamis. Dengan demikian aspek
tampilan spirit arsitektur baik dari skala kejauhan maupun skala ruang-dalam memegang peran
yang penting. Dalam konteks arsitektur Sunda, strategi sintesis arsitektur yang sebaiknya
dilakukan adalah sinergi antara ikon arsitektur Sunda dengan teknologi yang modern.
Kedua, pencarian dan pembentukan terus menerus ikon arsitektur Sunda harus rajin dilakukan
dalam tataran teoritik maupun praksis. Demikian juga dengan tindakan melakukan sosialisasi
ikon arsitektur Sunda yang ada dan yang baru ditemukan harus lebih kerap. Dengan demikian

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

11

kebertahanan tampilan spirit arsitektur Sunda akan tetap ada dan sekaligus dapat
mengakomodasikan fungsi-fungsi modern baru yang mucul.

BUKU ACUAN :
Adimihardja, Kusnaka dan Purnama salura (2004), Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan,
Bandung : Foris Publishing
Bonta Juan pablo (1979), Architecture and Its Interpreatation, NewYork : Rizzoli
Buchler, Ed (1940), The Philosophy of Peirce : Selected Writings, NewYork : Hartcourt
D K Ching, mark Jarzombek, Vikramadityia Prakash (2007), A Global History of Architecture,
New Jersey : John Willey & Sons
Molenaar, Joris (1995), Introduksi De Indische Reis van HP Berlage, Roterdam : Nederlands Architectuurinstituut
Nix, thomas (2010), Bydrage not de Vormler van de Stedebouw in het Byzonder voor Indonesia,
Unpublish disertation
Pursal (2010), Arsitektur yang Membodohkan, Bandung : CSSPublish
Salura, Purnama (2008), Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda, Bandung : CSSPublish
Soekiman, Djoko (2011), Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi,
Jakarta : Komunitas Bambu
Suryalaga, Hidayat (2009), Kasundaan Rawayan Jati, Bandung : Yayasan Nur Hidayah
Van Dijk, J Z (1922), Garoet, Batavia G : Kolff& Co
Van Leerdam, Ben F (1988), Henri Maclaine Pont, Architect Tussen Twee Werelden, Delft :
Delftse Universitaire Pers.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

12