Peranan Pos Bantuan Hukum dalam Membantu

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang
berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
(machstaat), dan pemerintah berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar),
bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Hal ini tertuang jelas
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) amandemen ketiga UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tiga prinsip dasar
wajib dijunjung oleh setiap warga negara, yaitu supremasi hukum,
kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara
yang tidak bertentangan dengan hukum.1
Setiap orang harus dapat dituntut di muka hukum, diinterogasi,
diselidiki, disidik, didakwa, dituntut, ditahan, dihukum, dipenjara, dan
segala perlakuan hukum yang dibenarkan secara hukum. Sebagai
pengakuan hak individu (individual right), prinsip persamaan di hadapan
hukum (equality before the law) dijamin dalam sistem hukum Indonesia.
Adanya


persamaan

kedudukan

setiap

orang

dalam

hukum

dan

pemerintahan diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik2.

1

Hero Samudra, 2014, Penerapan Hukum dan Keadilan di Indonesia, Rumah Belajar

Indonesia, Depok, Hlm. 117.
2
Mokhammad Najih, 2008, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, In-Trans Publishing,
Malang, Hlm.5.

1

2

Persamaan ini tidak mengenal pengecualian. Semua itu demi
tercapainya keadilan. Dengan demikian pengakuan dan jaminan terhadap
asas Equality Before the Law ini tidak saja sebatas pengakuan politik
negara saja. Akan tetapi lebih mengedepankan tindakan konkrit negara
dalam memberikan jaminan kepada masyarakat mendapatkan akses
terhadap keadilan guna terpenuhi hak-hak dasar manusia (HAM), bahkan
tindakan afirmatif juga harus dilakukan untuk menjamin terselenggaranya
kewajiban negara ini.
Dalam menghadapi situasi ini maka perlu adanya perombakan
strategi pembangunan hukum, karena hukum juga harus bersentuhan
dengan kebutuhan rakyat yang kurang mampu dalam arti bukan

membebaskan mereka dari aturan hukum, akan tetapi justru memperkuat
rakyat yang akan menentukan masa depan mereka. Ini perlu kembali
diefektifkan agar masalah-masalah yang muncul belakangan mendapat
penyelesaian, sebab apabila semua itu tidak ditindaklanjuti dalam bentuk
yang nyata maka konsep-konsep tersebut hanya akan menjadi huruf mati
yang tidak mempunyai efektifitas.3
Hak atas bantuan hukum merupakan hak asasi manusia. Hak tersebut
tegas dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 28 D ayat 1 yang menyatakan, “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di depan hukum”. Selain itu, banyak aturan hukum
yang mengisyaratkan mengenai pemberian bantuan hukum. Yaitu Pasal 56
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
3

Soerjono Sukanto, 1998, Pendekatan Sosiologi Hukum, Bina Aksara, Jakarta, Hlm. 10.

3

Kehakiman yang berbunyi “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak

memperoleh bantuan hukum”, lalu Pasal 54 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yaitu :
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Dengan derasnya laju pertumbuhan pembangunan dan politik di
Indonesia memunculkan permasalahan-permasalahan mendasar yang
meminggirkan bahkan mengabaikan hak-hak dasar manusia yang berujung
kepada kriminalisasi dan memposisikan rakyat untuk meminta hak atas
keadilan di pengadilan maupun di luar pengadilan guna mendapatkan
keadilan. Kalau orang mampu dapat menyewa advokat, maka orang
miskin pun harus dijamin dalam sistem hukum untuk untuk menunjuk
seorang advokat atau pembela umum secara cuma-cuma. Pembelaan
advokat diperlukan untuk memastikan hak dan kebebasan individu
dihormati dan diakui para penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim,
khususnya bagi orang miskin.4
             Untuk mewujudkan hal ini diperlukan keseimbangan, sehingga
seseorang yang tidak mampu menjalankan proses hukum tetap dapat
memperoleh pembela yang profesional. Jika tidak, maka akan sulit bagi

orang miskin yang berperkara menggapai keadilan. Dalam konteks inilah,

4

Qolby
Khoiri,
Bantuan
Hukum
Bagi
Terpidana
Tidak
Mampu,
https://qolby.wordpress.com/2012/07/31/bantuan-hukum-bagi-terpidana-yang-tidak-mampu/,
diakses pada 16 September 2016 pukul 08.22 WIB.

4

bantuan hukum untuk orang miskin menjadi kewajiban negara (state
obligation) dalam rangka memastikan prinsip-prinsip negara hukum
berjalan dengan baik. Kewajiban negara ini sesuai dengan International

Covenant on Civil and Political Rights Pasal 14 yang mengatur tentang
persamaan hak di pengadilan. Salah satu bentuk kewajiban negara ini
adalah pendanaan bantuan hukum yang sebagian besar harus bersumber
dari negara.
Dalam Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
tertulis bahwa
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka
yang tidak mampu yang diancam pidana dengan pidana lima
tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi
mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya
secara cuma-cuma.
Untuk mengimplementasikan tuntutan negara inilah dihadirkan
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, bantuan
hukum adalah hak konstitusional setiap warga. Lahirnya Undang-Undang

Bantuan Hukum seharusnya menjadi wujud nyata tanggung jawab negara
terhadap hak atas bantuan hukum sebagai akses keadilan bagi seluruh
masyarakat

Indonesia

yang

diharapkan

dapat

melindungi

hak

konstitusional setiap individu untuk mendapatkan bantuan hukum selain
itu juga diharapkan dapat mengakomodir perlindungan terhadap

5


masyarakat yang kurang mampu dalam menghadapi kasus-kasus hukum.
Undang-undang ini seolah memberikan penegasan bahwa bantuan hukum
bagi masyarakat tidak mampu merupakan tanggung jawab negara dan
merupakan hak konstitusional dan ini terimplikasi menjadi dibentuknya
Pos Bantuan Hukum pada Pengadilan Negeri.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menjadi tertarik untuk meneliti
dan mengkaji lebih lanjut mengenai Bantuan Hukum yang diberikan oleh
Pos Bantuan Hukum bagi masyarakat yang kurang mampu. Dari hal
tersebut, penulis mengangkat dua isu hukum yang dianggap penting untuk
dilakukan penelitian secara langsung sehingga untuk mengakomodirnya,
penulis menuangkannya dalam bentuk penulisan Skripsi dengan judul :
“PERANAN POS BANTUAN HUKUM DALAM MEMBANTU
MENYELESAIKAN

PERKARA

PIDANA

DI


PENGADILAN

NEGERI PALANGKA RAYA”.

1.2. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan
permasalahan dan batasan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peranan Pos Bantuan Hukum dalam membantu
menyelesaikan perkara pidana di Pengadilan Negeri Palangka
Raya ?
2. Apa faktor yang menghambat Pos Bantuan Hukum dalam
membantu menyelesaikan perkara pidana di Pengadilan Negeri
Palangka Raya ?

6

Adapun penulis memberikan batasan masalah dalam penulisan
Skripsi ini yaitu tentang peranan Pos Bantuan Hukum dalam membantu
menyelesaikan perkara pidana di Pengadilan Negeri Palangka Raya yang

terfokus pada salah satu Organisasi Bantuan Hukum di Pos Bantuan
Hukum Pengadilan Negeri Palangka Raya yaitu Perkumpulan Sahabat
Hukum.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian Skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui peranan Pos Bantuan Hukum dalam membantu
menyelesaikan perkara pidana di Pengadilan Negeri Palangka
Raya.
2. Untuk mengetahui faktor yang menghambat Pos Bantuan Hukum
dalam membantu menyelesaikan perkara pidana di Pengadilan
Negeri Palangka Raya.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian Skripsi ini adalah :
1. Secara teoritis, penulisan Skripsi ini diharapkan agar berguna bagi
kemajuan pendidikan ilmu hukum, agar dapat memberikan
sumbangsih pemikiran terhadap pemerintah maupun Pos Bantuan
Hukum di Pengadilan Negeri Palangka Raya dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya dalam menjaga ketertiban hukum.
2. Secara praktis, Skripsi ini diharapkan agar dapat menjadi suatu
kajian terhadap pembangunan ilmu hukum yang berkelanjutan


7

khususnya bagi Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya,
sehingga menjadi suatu pandangan terhadap upaya yang telah
diterapkan pemerintah serta Pos Bantuan Hukum dalam
membantu menyelesaikan perkara pidana di Pengadilan Negeri
Palangka Raya.
3. Bagi penulis, penulisan Skripsi ini merupakan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Palangka Raya.
1.5. Metodologi Penelitian
1.5.1. Metodologi Pendekatan/Jenis Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan Skripsi
ini adalah penelitian hukum empiris, data yang diperlukan adalah
data primer, sedangkan data sekunder hanya diperlukan sebagai
pendukung data primer. Data primer adalah data empiris yang
diperoleh langsung dari sumber data. Pengumpulan data primer
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan
data yaitu observasi, wawancara, dan kuesioner. Dalam hal ini,
Penulis terfokus pada pengumpulan data primer dengan cara
wawancara. Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan
jalan komunikasi, wawancara dilakukan dengan cara face to face,
artinya pewawancara berhadapan langsung dengan responden
untuk menanyakan secara lisan hal-hal yang diinginkan, dan
jawaban responden dicatat oleh pewawancara.5
1.5.2. Ruang Lingkup/Fokus Penelitian
5

Rianto Adi, 2004, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, Hlm. 72.

8

Dalam hal ini yang menjadi ruang lingkup/fokus penelitian
dalam penulisan Skripsi oleh penulis ini adalah meneliti peranan
pos bantuan hukum dalam membantu menyelesaikan perkara
pidana di Pengadilan Negeri Palangka Raya.
1.5.3. Lokasi Penelitian
Tempat lokasi penelitian oleh penulis yaitu di Kota Palangka
Raya, yang menjadi obyek penelitiannya yaitu Organisasi Sahabat
Hukum pada Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Palangka
Raya Jalan Diponegoro Nomor 21.
1.5.4. Jenis atau Sumber Data
a. Data Primer, adalah data empiris yang diperoleh langsung
dari sumber data yaitu lokasi penelitian, peristiwa hukum
yang terjadi di lokasi penelitian, dan responden yang
memberikan informasi kepada peneliti.
b. Data Sekunder, adalah data normatif terutama yang
bersumber dari perundang-undangan, yurisprudensi dan
buku literatur hukum atau bahan hukum tertulis lainnya
yang menjadi tolak ukur terapan.6
1.5.5. Instrumen Penelitian
1.5.5.1. Studi Pustaka
Dalam studi pustaka yaitu menggunakan data-data yang
diperoleh dari buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan
baik berupa artikel, jurnal dan bahan pustaka lainnya dan dari
peraturan

6

perundang-undangan,

laporan-laporan

yang

Abdul Kadir Muhammad, 2004,Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hlm. 151.

9

berhubungan dengan permasalahan yang akan ditulis oleh
penulis dalam penulisan Skripsi ini.
1.5.5.2.
Observasi/Pengamatan
Dalam hal observasi/pengamatan yang dilakukan
adalah bagaimana suatu cara untuk mendapatkan data dengan
secara langsung mendatangi pada objek yang akan diteliti pada
instansi-instansi yang terkait dalam penulisan Skripsi ini.
Sehinngga dengan adanya observasi/pengamatan memberikan
kemudahan selama masa penelitian dalam rangka untuk
memperoleh data maupun informasi yang akan diperlukan
guna kepentingan penelitian Skripsi ini.
1.5.5.3.Wawancara
Dalam hal wawancara yang dilakukan adalah dengan
melakukan

pertemuan

secara

langsung

terhadap

para

narasumber yang telah ditentukan sebagai objek penelitian.
1.5.5.4.Narasumber
Narasumber dalam penelitian Skripsi ini adalah pihak
yang terkait langsung dengan permasalahan yang penulis teliti
yaitu:
1. Bapak Erwantoni, S.H., M.H., selaku hakim pada
Pengadilan Negeri Palangka Raya.
2. Bapak Fachry Ahyani, S.H.,

selaku

Ketua

Organisasi Bantuan Hukum “Perkumpulan Sahabat

10

Hukum” di Pos Bantuan Hukum pada Pengadilan
Negeri Palangka Raya.
3. Bapak Panji Untung, S.H., selaku advokat anggota
Organisasi Bantuan Hukum “Perkumpulan Sahabat
Hukum” di Pos Bantuan Hukum pada Pengadilan
Negeri Palangka Raya.
4. Bapak Adi, S.H., selaku asisten advokat anggota
Organisasi Bantuan Hukum “Perkumpulan Sahabat
Hukum” di Pos Bantuan Hukum pada Pengadilan
Negeri Palangka Raya.
5. Ibu Talitha S. Satu, S.H., selaku advokat di Pos
Bantuan Hukum pada Pengadilan Negeri Palangka
Raya.
1.5.6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
Skripsi ini lebih menekankan pada data primer yaitu data empiris
yang

langsung

dari

sumber

yang

terfokus

pada

metode

pengumpulan data wawancara yang akan dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Analisis ini dilakukan pada data-data yang
tidak bisa dihitung, bersifat deskriptif dalam bentuk kata-kata atau
gambar. Yang didokumentasikan adalah bagaimana manusia
merasa, apa yang mereka tahu, bagaimana caranya mereka tahu,
serta kepercayaan, persepsi dan pengertian mereka.7
1.6. Sistematika Penulisan

7

Rianto Adi, Op. Cit. Hlm. 128.

11

Berikut ini dijelaskan secara sistematis dalam sebuah penulisan
Skripsi yang akan penulis lakukan, yang nantinya akan terbagi
menjadi 4 (empat) Bab sebagai berikut :
BAB I

PENDAHULUAN
Dalam Bab ini menjelaskan terkait latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian

terdiri

dari

(metode

pendekatan,

ruang

lingkup/fokus penelitian, lokasi penelitian, jenis/sumber data
yang terdiri dari data primer dan data sekunder, instrumen
penelitian

yang

terdiri

dari

studi

pustaka,

observasi/pengamatan, wawancara, teknik analisis data, dan
sistematika penulisan.
BAB II

LANDASAN TEORITIS TENTANG POS BANTUAN
HUKUM, PERKARA PIDANA, DAN PENGADILAN
NEGERI
Dalam Bab ini akan menjelaskan mengenai pengertian Pos
Bantuan Hukum, Perkara Pidana, serta Pengadilan Negeri.

BAB III

PEMBAHASAN TENTANG PERANAN POS BANTUAN
HUKUM SERTA FAKTOR YANG MENGHAMBATNYA
DALAM MEMBANTU MENYELESAIKAN PERKARA
PIDANA DI PENGADILAN NEGERI PALANGKA RAYA

12

Dalam Bab ini akan membahas mengenai peranan Pos Bantuan
Hukum dalam membantu menyelesaikan perkara pidana di
Pengadilan
menghambat

Negeri
Pos

Palangka
Bantuan

Raya
Hukum

dan

faktor

dalam

yang

membantu

menyelesaikan perkara pidana di Pengadilan Negeri Palangka
Raya.
BAB IV

PENUTUP
Dalam Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari penulis.

BAB II
LANDASAN TEORITIS TENTANG POS BANTUAN HUKUM,
PERKARA PIDANA, DAN PENGADILAN NEGERI
2.1. Pengertian Pos Bantuan Hukum

13

Pos Bantuan Hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (6) Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2014 (PERMA No.1 Tahun 2014) tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan adalah
layanan yang dibentuk oleh dan ada pada setiap Pengadilan tingkat pertama untuk
memberikan layanan hukum berupa informasi, konsultasi, dan advis hukum, serta
pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Umum,
Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, Pos Bantuan
Hukum sebagai Pemberi Bantuan Hukum harus memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu.
Bantuan hukum menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
Istilah bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah
yang berbeda yaitu legal aid dan legal assistance. Istilah legal aid biasanya
dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit
berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seorang yang terlibat dalam
suatu perkara secara cuma-cuma atau gratis khususnya bagi mereka yang kurang
mampu. Sedangkan pengertian legal assistance dipergunakan untuk menunjukkan
pengertian bantuan hukum oleh para advokat yang mempergunakan honorarium.8
Pemberi Bantuan Hukum dalam hal ini bisa berupa lembaga bantuan
hukum maupun organisasi kemasyarakatan
yang memberi bantuan hukum.
14
Namun tentunya ada perbedaan mendasar antara lembaga bantuan hukum dan pos
8

Abdurrahman, 1983, Aspek-Aspek Bantuan Hukum Di Indonesia, Cendana Press,
Yogyakarta, Hlm. 34.

14

bantuan hukum. Lembaga bantuan hukum adalah lembaga maupun yayasan yang
memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan tanpa menerima
pembayaran honorarium9. Sedangkan pos bantuan hukum adalah layanan yang
dibentuk oleh dan ada pada setiap Pengadilan tingkat pertama yang juga tentunya
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Jika lembaga bantuan hukum
berbentuk yayasan yang sifatnya independen, maupun dibentuk oleh organisasi
politik atau organisasi massa, adapula yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan,
sedangkan pos bantuan hukum dibentuk hanya oleh negara pada pengadilan
negeri.
Hak warga negara memperoleh bantuan hukum diakui secara
konstitusional. Secara normatif dibuktikan dengan Pasal 54 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yaitu :
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam
waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang ini.
Dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi:
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang
diancam pidana dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk
penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya secara cuma-cuma.
9

Amrie Hakim, Tentang Kantor Hukum, Lembaga Bantuan Hukum, dan Konsultan Hukum,
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4c656a99ed46f/tentang-kantor-hukum,-lembagabantuan-hukum,-dan-konsultan-hukum, diakses pada 24 januari 2017 pukul 16.28 WIB.

15

Akan tetapi, hak-hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada tahap
penyidikan masih dibatasi oleh ketentuan Pasal 115 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yaitu :
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan
dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum
dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar
pemeriksaan terhadap tersangka.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peran dan kehadiran penasihat
hukum dalam pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan adalah pasif.
Konsekuensi dari adanya 3 (tiga) pasal tersebut di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana memerlukan tindakan konkrit dari negara untuk
melaksanakan layanan bantuan hukum tersebut secara aktif melalui Pengadilan
yang menyediakan Pos Bantuan Hukum yang melayani pemberian informasi,
konsultasi, dan nasihat hukum atau membantu pembuatan dokumen hukum yang
dibutuhkan

serta

memberikan

referensi

mengenai

advokat

yang

akan

mendampingi Penerima Bantuan Hukum di persidangan dengan persyaratan
Penerima Bantuan Hukum menyiapkan salah satu dari dokumen Surat Keterangan
Tidak

Mampu,

Jamkesmas/Kartu

Raskin/Kartu

Program

Keluarga

Harapan/Bantuan Langsung Tunai/Kartu Perlindungan Sosial, maupun dokumen
lain yang memberikan keterangan tidak mampu secara ekonomi bagi Penerima
Bantuan Hukum.10

10
Hasil wawancara dengan Ibu Talitha S. Satu, S.H., selaku Advokat anggota Organisasi
Bantuan Hukum “Sahabat Hukum” di Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Palangka Raya,
Pada 29 September 2016, Pukul 13.46, di Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Palangka Raya.

16

Penyelenggaraan bantuan hukum berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah bertujuan untuk :
a. Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk
mendapatkan akses keadilan;
b. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan
prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan
secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
d. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Jenis Layanan Bantuan Hukum meliputi:
a. Bantuan Hukum Litigasi yakni bantuan hukum pada proses peradilan,
baik di tingkat Kepolisian, Kejaksaan maupun Persidangan yang
meliputi semua kasus baik Pidana, Perdata dan Tata Usaha Negara.
b. Bantuan Hukum Non Litigasi, berupa 9 jenis kegiatan:
1. Penyuluhan hukum, adalah salah satu kegiatan penyebarluasan
informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
norma hukum dan peraturan perundang-undangan dengan tujuan
untuk mewujudkan dan mengembangkan kesadaran hukum pada
masyarakat maupun pemerintah sehingga tercipta budaya hukum
dalam bentuk tertib dan taat atau patuh terhadap norma hukum dan
peraturan perundang-undangan;
2. Konsultasi hukum, adalah suatu bentuk hubungan tolong menolong
yang dilakukan oleh seorang profesional (dalam hal ini adalah
advokat) kepada seseorang dalam hubungannya menyelesaikan

17

masalah hukum;
3. Investigasi perkara baik secara elektronik maupun nonelektronik,
adalah proses upaya pembuktian, pencarian dan pengumpulan data,
informasi dan temuan lainnya;
4. Penelitian hukum, adalah suatu penelitian dengan hukum sebagai
obyeknya yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari gejala hukum tertentu
dengan menganalisis agar dapat diusahakan pemecahannya;
5. Mediasi, adalah upaya untuk menyelesaikan konflik. Dalam hal ini,
Pos Bantuan hukum merupakan pihak ketiga yang netral yang tidak
punya kewenangan untuk mengambil keputusan. Pos Bantuan
Hukum hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk
mencapai penyelesaian yang tentunya diterima oleh kedua belah
pihak;
6. Negosiasi, adalah bentuk interaksi atau bentuk persetujuan dengan
mana pihak yan bersengketa menyerahkan, menjaminkan atau
menjanjikan suatu barang yang tujuannya adalah untuk mengakhiri
perkara atau mencegah timbulnya perkara dengan Pos Bantuan
Hukum sebagai penengah;
7. Pemberdayaan masyarakat, adalah proses pembangunan sumber
daya manusia atau masyarakat dalam bentuk penggalian kemampuan
pribadi, kreatifitas, kompetensi dan daya pikir serta tindakan yang
lebih baik dari sebelumnya. Dalam hal ini, Pos Bantuan Hukum

18

berperan dalam meningkatkan kesadaran, ketaatan dan kepatuhan
masyarakat akan hukum sehingga tercipta sumber daya manusia
yang lebih baik;
8. Pendampingan di luar pengadilan; dan/atau
9. Drafting dokumen hukum, adalah membuat dan menyusun dokumen
hukum.
Pada prinsipnya setiap orang dapat memberikan bantuan hukum bilamana
ia mempunyai keahlian dalam bidang hukum, akan tetapi untuk tertibnya
pelaksanaan bantuan hukum diberikan beberapa batasan dan persyaratan dalam
berbagai peraturan. Pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu
hanya dapat dilakukan oleh advokat yang sudah terdaftar pada Pengadilan Tinggi
setempat. 11 Advokat berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat adalah orang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini.
Disamping itu, kegiatan bantuan hukum harus dilakukan secara lebih
terpadu dan transparan bersama kegiatan penyuluhan hukum. Hal ini perlu
disadari karena program bantuan hukum berdasarkan Instruksi Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.03-UM.06.02 Tahun 1999 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi Golongan Masyarakat
Kurang Mampu Melalui Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tata Usaha Negara,
yaitu :
11
Hasil wawancara dengan Ibu Talitha S. Satu, S.H., selaku Advokat anggota Organisasi
Bantuan Hukum “Sahabat Hukum” di Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Palangka Raya,
Pada 22 September 2016, Pukul 16.55, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Palangka Raya.

19

a. Tujuan Kemanusiaan
Program Bantuan Hukum diberikan dalam rangka meringankan beban
hidup golongan masyarakat yang kurang mampu, sehingga mereka juga
dapat menikmati kesempatan memperoleh keadilan dan perlindungan
hukum.
b. Tujuan Peningkatan Kesadaran Hukum
Program Bantuan Hukum diharapkan dapat mendidik masyarakat untuk
meningkatkan kadar kesadaran hukum, sehingga setiap anggota
masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai
warga negara dan warga masyarakat.
Agar bantuan hukum yang diberikan bermanfaat bagi seluruh masyarakat,
maka perlu dalam pelaksanaannya dilakukan secara merata dengan penyaluran
melalui berbagai institusi penegakan hukum yang ada seperti pengadilan,
kejaksaan, organisasi advokat, maupun organisasi-organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang bantuan hukum. Sebagaimana telah diketahui bahwa
pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan advokat dalam setiap
proses pendampingan hukum melainkan lebih dari hal tersebut adalah bagaimana
menjadikan masyarakat untuk mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk
hukum yang ada. Dan sebaiknya bantuan hukum tidak hanya dilihat dari
perspektif pelaksana pemberi bantuan hukum, melainkan dari kaca mata
masyarakat yang membutuhkannya, sehingga diharapkan materi pengaturan yang
tercakup di dalamnya akan tepat pada sasaran yang dituju12 .

12

Hendra Winata, 2000, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan,
Elex Media Komputindo, Jakarta, Hlm. 34.

20

Pemberian bantuan hukum dapat dilakukan melalui bantuan hukum yang
dilakukan oleh advokat secara perorangan dan bantuan hukum yang dilakukan
oleh advokat secara kelembagaan melalui Pos Bantuan Hukum setempat. Dalam
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga secara
jelas dinyatakan bahwa :
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentuan mengenai persyaratan dan
tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan yang termuat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 di atas dapat dimaknai sebagai sebuah sentuhan moral kepada advokat, agar
dapat menjalankan profesinya harus tetap memperhatikan kepentingan orangorang yang tidak mampu13. Ditambah lagi berdasarkan Kode Etik Advokat Pasal 4
poin f, advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian
yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa dan Pasal 7
poin h dimana tertera bahwa advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo) bagi orang yang tidak mampu.
Dengan demikian maka ini merupakan imbauan moral dan sekaligus mengasah
kepekaan sosial oleh karena itu profesi advokat tidak bisa dilepaskan dari kode
etik yang memiliki nilai moral di dalamnya.14
Kode etik adalah tatanan moral yang dibuat sendiri oleh kelompok profesi
tertentu khusus bagi anggotanya. Tatanan tersebut mengikat intern anggotanya. Di
dalamnya ada larangan-larangan moral profesi. Pelanggaran atasnya, akan dikenai

13
Supriadi, 2014, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, Hlm. 69-70.
14
I
Made
Somya
Putra,
Kode
Etik
Profesi
Advokat
Indonesia,
https://lawyersinbali.wordpress.com/2013/04/17/profesi-dan-kode-etik-profesi-advokat-indonesia/,
diakses pada 17 September 2016 pukul 18.37 WIB.

21

sanksi organisasi profesi tersebut setelah melalui persidangan yang diadakan
khusus untuk itu.15 Dalam hal ini adalah profesi advokat. Kode etik advokat ini
ditujukan sebagai acuan kontrol moral atau semacam pengawasan perilaku yang
sanksinya lebih dikonsentrasikan secara psikologis dan kelembagaan. Pelaku
profesi yang melanggar, selain dapat dipertanggungjawabkan oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku (kalau ada indikasi yang dapat menunjukkan
jenis dan modus pelanggarannya), juga dapat dipertanggungjawabkan secara
moral berdasarkan kode etik profesinya.
Karena itu, sehubungan dengan nilai-nilai dan kepentingan yang terlibat di
dalamnya, maka pengemban profesi advokat membutuhkan kawalan. Dan langkah
yang diperlukan untuk pengawasan profesi advokat adalah dibentuknya Dewan
Etika Profesi Advokat Nasional yang bertujuan untuk melakukan pengawasan
perilaku dan penegakan kode etik profesi advokat secara efektif, serta penindakan
terhadap advokat yang berasal dari organisasi manapun yang melanggar kode etik
profesi advokat.16
2.2. Perkara Pidana
Perkara pidana adalah suatu tindak pidana yang pelanggarnya telah diproses
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Perkara pidana berawal dari
terjadinya tindak pidana (delik) yang berupa kejahatan atau pelanggaran 17. Setelah
terjadi pelanggaran terhadap norma hukum pidana (delik atau tindak pidana),
15

H. Abdul Wahid dan H. Moh. Muhibbin, 2009, Etika Profesi Hukum Rekonstruksi Citra
Peradilan Di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, Hlm.112.
16
Angelina
Sinaga,
Pengawasan
Terhadap
Kode
Etik
Advokat,
https://angelinasinaga.wordpress.com/2014/04/10/pengawasan-terhadap-kode-etik-advokat/,
diakses pada 17 September 2016 pukul 19.05 WIB.
17
Boma,
Our
Law
Construction,
Proses
Penyelesaian
Perkara
Pidana,
http://bomalaw.blogspot.co.id/2009/12/proses-penyelesaian-perkara-pidana.html?m=1,
diakses
pada 20 September 2016 pukul 23.09 WIB.

22

maka alat-alat perlengkapan negara seperti polisi, jaksa dan hakim segera
bertindak. Pihak yang menjadi korban cukuplah melaporkan kepada yang
berwajib (polisi) tentang tindak pidana yang terjadi. Pihak yang melaporkan (yang
dirugikan) menjadi saksi dalam perkara itu, sedang yang menjadi Penggugat
adalah Penuntut Umum (Jaksa). Terhadap beberapa tindak pidana tertentu tidak
diambil tindakan oleh pihak yang berwajib, jika tidak diajukan pengaduan oleh
pihak yang dirugikan, misalnya perzinahan, perkosaan, pencurian dan keluarga.18
2.2.1. Proses Perkara Pidana
Proses perkara pidana meliputi :
a. Pemeriksaan perkara pidana, berawal dari terjadinya tindak
pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran yang diterima
oleh penyidik melalui tiga jalur yaitu laporan untuk tindak
pidana biasa, aduan untuk tindak pidana aduan, dan tertangkap
tangan;
b. Penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana;
c. Penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan
tersangkanya;
d. Penangkapan

yaitu

suatu

tindakan

penyidik

berupa

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
18

C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2014, Sejarah Hukum di Indonesia, PT. Suara
Harapan Bangsa, Jakarta, Hlm. 189.

23

terdakwa jika terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan;
e. Penahanan yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim;
f. Penggeledahan yaitu tindakan penyidik untuk memasuki
rumah tempat tinggal atau tempat tertutup lainnya atau
terhadap badan dan atau pakaian untuk tindakan pemeriksaan
atau penyitaan atau penangkapan;
g. Penyitaan yaitu serangkaian tindakan

penyidik

untuk

mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya
terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam proses
penyidikan, penuntutan, dan peradilan;
h. Pra penuntutan yaitu wewenang Penuntut Umum untuk
melengkapi berkas perkara hasil penyidikan dengan cara
memerintahkan kepada penyidik untuk melakukan penyidikan
tambahan berdasarkan petunjuk dari penuntut umum;
i. Penuntutan, dilakukan oleh Penuntut Umum dengan tugas
pokok menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan,
mengadakan pra penuntutan, membuat surat dakwaan,
melimpahkan perkara ke pengadilan, memanggil terdakwa atau
saksi untuk bersidang;
j. Proses persidangan, meliputi pemanggilan, pembacaan surat
dakwaan, eksepsi, pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli,
pemeriksaan terdakwa, penuntutan, pembelaan, replik, duplik,
dan putusan hakim.

24

Secara garis besar Hukum Acara Pidana dapat diartikan sebagai aturan
yang mengatur bagaimana caranya negara dengan perantaraan alat-alat
kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan
hukuman, dengan demikian ia memuat acara pidana yang berpedoman pada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)19. Landasan filosofis KUHAP
adalah berdasarkan Ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan landasan sila
Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun
tersangka atau terdakwa adalah sama-sama manusia yang dependen kepada
Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan, yang
kelahirannya di permukaan bumi semata-mata adalah kehendak dan rahmat
Tuhan. Mengandung arti :
a. Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia;
b. Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia

untuk

mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan
martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan;
c. Sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus
dilindungi tanpa kecuali;
d. Fungsi atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia,
hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan amanat
Tuhan Yang Maha Esa.20
Dan hal ini secara tidak langsung juga merujuk sebagai jaminan
ditegakannya Pasal 54 dan 56 KUHAP mengenai bantuan hukum itu
sendiri.
19
Reva
Vivi,
Definisi
Hukum
Acara
Pidana
Menurut
Para
Ahli,
http://topihukum.blogspot.co.id/2013/05/definisi-hukum-acara-pidana-menurut.html?m= 1, diakses pada 20 September 2016 pukul 00.17 WIB.
20
M. Yahya Harahap, 2004, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 20.

25

2.2.2. Pengertian Pidana
Hukum pidana mempunyai tempat dan peran penting dalam ruang
lingkup hukum publik. Hukum pidana sebagai seperangkat norma, dogma,
dan sistem aturan, menempatkan tingkah laku individu manusia sebagai
obyek sekaligus subyek utama dalam pengaturannya. Hal ini menunjukkan
bahwa hukum pidana memiliki fungsi mempertahankan ketertiban dan
memelihara keteraturan dalam tata pergaulan masyarakat yang apabila
dilanggar tentunya akan memberikan sanksi yang disebut pidana.21
Pidana adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap seseorang yang
terbukti bersalah melakukan delik berdasarkan keputusan hukum tetap22.
Pidana juga bisa diartikan sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.23
Pidana sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau
diberikan oleh negara pada sesorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas pebuatannya yang telah melanggar larangan
hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut
dengan tindak pidana.
2.2.3. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam
undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan
dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan pidana apabila ia

21
Mokhammad Najih, 2008, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, In-Trans Publishing,
Malang, Hlm.18.
22
Andi Hamzah, 1994, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 119.
23
Tri Andrisman, 2007, Hukum Pidana Azas-Azas dan Dasar Aturan Hukum Pidana
Indonesia, UNILA, Bandar Lampung, Hlm. 8.

26

mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada
waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.24
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu :
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana
terdiri dari kejahatan dan pelanggaran. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa Buku II adalah
merupakan delik-delik kejahatan dan Buku III adalah merupakan
delik pelanggaran.25
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana
formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah
tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan
itu adalah melakukan perbuatan tertentu.
c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi
tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak disengaja.
d. Menurut macam perbuatannya, yaitu tindak pidana aktif dan
tindak pidana pasif. Tindak pidana aktif yang juga disebut
perbuatan materil adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya
diisyaratkan

dengan

adanya

gerakan

tubuh

orang

yang

berbuat.sedangkan tindak pidana pasif, dibedakan menjadi tindak
pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni yaitu tindak
pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang
pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif. Tindak
pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya
24

Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana , Ghalia Indonesia,
Jakarta, Hlm. 22.
25
Sudut Hukum, Klasifikasi Tindak Pidana, http://www.suduthukum.com /2016 /12/
klasifik- -si-tindak-pidana.html?m=1, diakses pada 30 Januari 2017 pukul 18.41 WIB.

27

berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak

a.
b.
c.
d.
e.

aktif.
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana antara lain :
Kelakuan dan akibat (perbuatan);
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
Unsur melawan hukum yang obyektif;
Unsur melawan hukum yang subyektif.26

2.2.4. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada orang melakukan
perbuatan pidana. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk
menentukan

seorang

tersangka

atau

terdakwa

dapat

dimintakan

pertanggungjawaban atau tidak. Seseorang tidak dapat dipidana tanpa
adanya kesalahan. Untuk dapat disebut adanya kesalahan maka harus
memenuhi unsur :
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
b. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab;
c. Mempunyai bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan
kelalaian;
d. Tidak adanya alasan pemaaf.27
Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak
maka harus diperhatikan keadaan batin dari orang yang melakukan
perbuatan dan hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
2.3.

Pengertian Pengadilan Negeri
Pengertian Pengadilan Negeri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah badan peradilan pada tingkat pertama yang berkuasa mengadili semua
perkara penyelewengan hukum di daerah hukumnya. Pengadilan Negeri menurut
26
27

156.

Andi Hamzah, Op. Cit, Hlm. 25-27.
Bambang Poernomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm.

28

Undang-Undang berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum diartikan sebagai lembaga peradilan di lingkungan Peradilan
Umum yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan
Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Negeri dibentuk oleh Menteri
Kehakiman dengan persetujuan Mahkamah Agung yang mempunyai kekuasaan
hukum pengadilan meliputi satu kabupaten atau kota. Namun semenjak adanya
perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dalam Pasal 5
disebutkan bahwa pembentukkan Pengadilan Umum beserta fungsi dan
kewenangannya ada pada Mahkamah Agung.
Fungsi Pengadilan Negeri adalah memeriksa tentang sah atau tidaknya
suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau
kuasanya kepada Ketua Pengadilan dengan menyebutkan alasan-alasannya. Tugas
dan

wewenang

Pengadilan

Negeri

adalah

memeriksa,

memutus

dan

menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Hal lain yang
menjadi tugas dan kewenangannya antara lain :
a. Menyatakan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyelidikan atau penghentian tuntutan;
b. Tentang ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang
perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
c. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum
kepada instansi pemerintah di daerahnya apabila diminta;

29

d. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku
Hakim, Panitera, Sekretaris dan Juru Sita di daerah hukumnya;
e. Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan dan menjaga agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya;
f. Memberikan petunjuk, teguran dan peringatan yang dipandang perlu
dengan tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara;
g. Melakukan pengawasan atas pekerjaan notaris di daerah hukumnya
dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan
Tinggi, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri yang tugas dan
tanggungjawabnya meliputi jabatan notaris.28
Dalam hal perkara pidana, wewenang Pengadilan Negeri meliputi :
Pasal 84 KUHAP
(1)
Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara
mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
(2)
Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya
terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia
diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara
terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi
yang dipanggil lebih dekat pada Pengadilan Negeri itu daripada
tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang di dalam daerahnya
tindak pidana itu dilakukan.
(3)
Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak
pidana dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, maka
tiap Pengadilan Negeri itu masing-masing berwenang mengadili
perkara pidana itu.
(4)
Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada
sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum
pelbagai Pengadilan Negeri, diadili oleh masing-masing
Pengadilan Negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan
penggabungan perkara tersebut.

28
Angga Putra, Peran dan Fungsi Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri),
http://fakta-inspiratif.blogspot.co.id/2015/10/peran-dan-fungsi-pengadilan-tingkat-pertama.html?
m=1, diakses pada 21 September 2016 pukul 13.22 WIB.

30

BAB III
PERANAN POS BANTUAN HUKUM SERTA FAKTOR YANG
MENGHAMBATNYA DALAM MEMBANTU MENYELESAIKAN
PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI
PALANGKA RAYA
3.1. Peranan Pos Bantuan Hukum dalam Membantu Menyelesaikan Perkara
Pidana di Pengadilan Negeri Palangka Raya
Seluruh aspek kehidupan manusia diatur dalam tatanan hukum, sehingga
hukum yang berlaku sangatlah banyak. Karena itu, sangat tidak mungkin setiap
warga negara mengetahui maupun memahami semua aturan hukum tersebut.
Pembicaraan tentang bantuan hukum, hak asasi manusia dan atau negara hukum
dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum menjadi penting artinya manakala
kita mengingat dalam membangun negara hukum melekat ciri-ciri yang mendasar
yaitu :
a. Pengakuan dan perlindungan

atas

hak-hak asasi manusia

yang

mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural, dan
pendidikan;
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuasaan lain apapun;
c. Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.
Oleh karena itu, suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum
apabila negara yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Negara Indonesia selaku negara hukum
tentunya memberlakukan aturan hukum bagi semua orang. Tidak ada alasan, atau
tidak dapat dibenarkan jika seseorang dapat atau melanggar hukum karena ia
33
belum mengerti hukum. Karena itu diperlukan
orang yang secara khusus
mendalami aturan hukum dan dapat memberi pemahaman tentang
tersebut bagi masyarakat, terutama masyarakat yang tidak mampu.

hukum

31

Hak untuk mendapat jaminan hak atas bantuan hukum bagi fakir miskin
maupun masyarakat marginal tersirat dalam konstitusi. Jaminan ini memerlukan
tindakan konkrit dari negara yang menitikberatkan pada kewajiban dan tanggung
jawab negara melalui Kementerian Hukum dan HAM, namun dalam teknis
pelaksanaannya diserahkan pada Lembaga Bantuan Hukum maupun Pos Bantuan
Hukum yang telah memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang atau peraturanperaturan di bawahnya. Oleh karenanya setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa membedakan status sosial, budaya,
ekonomi, maupun agama. Hak mendapat bantuan hukum ini sejatinya merupakan
hak asasi manusia dan tegas dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D ayat 1 yang menyatakan, “setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”. Hal senada juga dinyatakan
dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Setiap orang yang tersangkut perkara
berhak memperoleh bantuan hukum”, lalu Pasal 54 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yaitu :
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut
tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Dan dipertegas lagi dengan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yang berbunyi :

32

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang
tidak mampu yang diancam pidana dengan pidana lima tahun atau
lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat
yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya
secara cuma-cuma.
Semangat kenormatifan inilah yang harus ditindaklanjuti dalam bentuk
yang nyata agar konsep-konsep tersebut tidak hanya akan menjadi huruf mati
yang tidak mempunyai efektifitas tapi juga diperlukan tindakan langsung secara
empirik. Karena tentunya apabila hak tersangka atau terdakwa untuk mendapat
bantuan hukum dalam pasal tersebut dipinggirkan maka akan menyebabkan
terpinggirkannya juga hak tersangka atau terdakwa tersebut untuk mendapatkan
haknya sebagai subyek hukum, kesulitan untuk menyampaikan aspirasi maupun
pemanggilan saksi yang meringankan, sampai kepada ketidakmampuan tersangka
atau terdakwa untuk menguraikan fakta hukum karena keterbatasannya dalam
mengkritisi produk hukum.
Sebelum adanya Pos Bantuan Hukum pada pengadilan negeri, bagi majelis
hakim yang menangani perkara pidana dengan ancaman pidana mati atau
ancaman pidana 15 (lima belas) tahun atau lebih atau bagi orang tidak mampu
yang diancam pidana 5 (lima tahun) atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri, akan meminta kepada organisasi profesi advokat untuk melakukan
pendampingan kepada terdakwa. Dulunya majelis hakim bisa meminta kepada
IPHI (Ikatan Penasihat Hukum Indonesia) atau dikenal juga dengan DPD IPHI
Kalteng (Dewan Pengurus Daerah Ikatan Penasihat Hukum Indonesia Provinsi

33

Kalimantan Tengah), maupun IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) dengan cara
pengadilan melalui majelis hakim meminta baik secara lisan maupun tertulis
untuk menunjuk advokat dari organisasi-organisasi tersebut untuk mendampingi
terdakwa. Setelah hadirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 yang
diperjelas dalam Pasal 22 bahwa :
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentuan mengenai persyaratan dan
tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Dan dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum, maka pengadilan negeri menyediakan ruangan khusus untuk Pos
Bantuan Hukum. Pos Bantuan Hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (6) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan
Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan adalah tempat atau
ruangan advokat (Pemberi Bantuan Hukum) piket yang memberikan layanan yang
dibentuk oleh dan ada pada setiap pengadilan tingkat pertama untuk memberikan
layanan hukum berupa informasi, konsultasi, dan advis hukum, serta pembuatan
dokumen hukum yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara untuk Penerima Bantuan Hukum.
Di dalam Pos Bantuan Hukum, pelayanan yang diberikan berasal dari
advokat piket yang dibawahi oleh organisasi bantuan hukum, paralegal (untuk non
litigasi), baik yang langsung dibawahi oleh organisasi bantuan hukum maupun
organisasi profesi advokat. Pada Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Palangka

34

Raya terdapat 4 (empat) Organisasi Bantuan Hukum piket berdasarkan jadwal
setiap harinya, yaitu :
a. Untuk hari senin diisi oleh advokat piket dari Organisasi Bantuan
Hukum Habaring Hurung;
b. Untuk hari selasa diisi oleh advokat piket dari Dewan Pimpinan Cabang
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI);
c. Untuk hari rabu diisi oleh advokat piket dari Kongres Advokat
Indonesia (KAI);
d. Untuk hari kamis diisi oleh advokat piket dari Perkumpulan Sahabat
Hukum; dan
e. Untuk hari jumat diisi oleh advokat dari ke-4 Organisasi Bantuan
Hukum tersebut.29
Agar mendapat bantuan hukum dengan pembiayaan oleh n