PERAN HUKUM DIPLOMATIK TERHADAP WNI YANG

PERAN HUKUM DIPLOMATIK TERHADAP WNI YANG
MENDAPATKAN KEKERASAN DI LUAR NEGERI

Disusun oleh :
Muhammad Nurrendy S (12410444)

Dosen Pembimbing : Dr. Sefriani S.H., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
TAHUN 2013/2014

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah “Hukum dan Hubungan Internasional”. Kemudian shalawat beserta salam kita
sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup
yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Hukum dan Hubungan Internasional di
program studi ilmu hukum Fakultas Hukum pada Universitas Islam Indonesia, yan dimana

merupakan kelanjutan dari makalah tugas Hukum Internasional mengenai topik perwakilan
diplomatik. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu
Sefriani selaku dosen pembimbing mata kuliah Hukum dan Hubungan Internasional dan
kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan
makalah ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 16 Juli 2014

Penulis

Contents
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
A.


Latar Belakang...........................................................................................................................4

B.

Rumusan Masalah......................................................................................................................5

C.

Studi Kasus................................................................................................................................5

BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
A.

Pengertian Hukum Diplomatik..................................................................................................6

B.

Konvensi Wina Mengenai Hukum Diplomatik..........................................................................7


C.

Fungsi Perwakilan Diplomatik..................................................................................................8

D.

Peran Diplomat Indonesia dalam Mengatasi Kasus WNI di luar negeri....................................9

E.

Peran Jerman dan Arab Saudi..................................................................................................10

BAB III................................................................................................................................................12
PENUTUP...........................................................................................................................................12
A.

Kesimpulan..............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................13


BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Hubungan antar negara telah terjadi sejak dahulu yang menghasilkan sebuah kerjasama
dengan mengirimkan perwakilan ke negara lain untuk mengurus segala aspek yang
berhubungan dengan negara pengirim di negara penerima perwakilan negara tersebut.
Perwakilan diplomatik sebagai perwakilan dari negara pengirim memiliki kedudukan yang
sama dengan kedudukan kepala negara di negara penerima. Implikasinya untuk
memperlancar tugas serta fungsi perwakilan diplomasi, maka negara penerima harus
memberikan kekebalan dan keistimewaan agar dapat melakanakan tugas seluas – luasnya
tanpa ada gangguan. Akan tetapi kebebasan dan keistimewaan tersebut tetap berada pada
aturan – aturan hukum kebiasaan internasional yang sudah berlaku pada praktek – praktek
negara serta dalam perjanjian – perjanjian menyangkut hubungan antar negara.
Seorang pejabat diplomatik di Negara lain melaksanakan tugasnya, Ia dianggap tidak
berada di wilayah Negara penerima walaupun sebenarnya Ia barada di wilayah penerima.
Tetapi ia tunduk dan dikuasai hukum pada hukum Negara pengirim, termasuk didalamnya
gedung perwakilan atau tempat kediamannya merupakan perluasan dari wilayah Negara

pengirim (Extraterritorialiteit).
Kekebalan yang dimiliki pejabat diplomatik tidak bersifat mutlak tetapi terbatas
maksudnya bahwa kekebalan tersebut tidak bersifat pribadi, bukan untuk kepentingan pribadi
pejabat yang bersangkutan melainkan bersifat fungsional dalam hal menjalankan tugas
diplomatiknya saja.Kekebalan diplomatik termasuk didalamnya kekebalan terhadap alat-alat
kekuasaan dari Negara penerima dan kekebalan terhadap gangguan yang merugikan.
Sehingga mengandung arti bahwa seorang pejabat diplomatik memiliki hak untuk mendapat
perlindungan dari alat- alat Negara penerima. Pejabat diplomatik dianggap kebal baik
terhadap Yurisdiksi pidana, perdata maupun administrasi Negara penerima.
Meskipun demikian kekebalan diplomatik tersebut juga dapat ditanggalkan atau
dihapus. Hal ini dapat saja terjadi apabila dalam hubungan diplomatik tersebut diwarnai
adanya ketegangan yang timbul antara Negara penerima dan Negara pengirim. Kemungkinan
dikarenakan adanya penyalahgunaaan kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki oleh
pejabat diplomatik. Hak untuk menegakkan kekebalan diplomatik adalah nagara pegirim
tetapi biasanya terlebih dahulu diajukan permohonan yang dilakukan oleh Negara penerima.
Baik itu dengan adanya pengesahan khusus dari Negara pengirim atau hanya diwakilkan
kepala perwakilan diplomatik.

B.


Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Hukum Diplomatik?
2. Apa peran Pemerintah Indonesia, Jerman dan Arab Saudi terhadap studi kasus ?

C.

Studi Kasus

Ada TKI Disiksa Keluarga Diplomat Arab Saudi di Berlin
Eddi Santosa - detikNews
Berlin - Sejak April 2009, Dewi Ratnasari (bukan nama sebenarnya) menjalani hari-harinya
bak neraka. Ia diharuskan bekerja 7 hari dalam sepekan, dari pagi hingga tengah malam.
Gajinya tak pernah dibayar.
Keluarga diplomat Arab Saudi ini tinggal di sebuah blok apartemen bercat putih biru di ruas
Boca Raton Strasse, barat laut Berlin.
Untuk mencapainya, perlu sekitar 1 jam dari stasiun kereta utama Berlin, dengan bergantiganti kendaraan umum. Bis nomer 139 berhenti tak jauh dari blok rumah susun itu.
Beban fisik dan psikis Dewi semakin berat, sebab selain waktu kerja dengan tuntutan tinggi
dan istirahat tidak manusiawi, juga ternyata istri sang diplomat menderita lumpuh,
mempunyai 5 orang anak, terdiri 4 perempuan dan 1 laki-laki.
Dewi juga tidur di lantai beralas kasur tipis di kamar anak-anak perempuan, demikian

berdasarkan pengakuan Dewi pada organisasi perlindungan pekerja perempuan di Jerman,
Ban Ying, yang diperoleh detikcom melalui kontak Miranti Hirschmann, Sabtu (9/7/2011).
Seperti umum dialami TKI, paspor Dewi ditahan. Dia tak dibekali pakaian hangat dan gajinya
tak pernah dibayar. Satu-satunya pemberian yang pernah dia terima adalah hadiah Hari Raya
lampau sebesar EUR150.
Dewi juga sering menerima siksaan berupa pukulan dengan tongkat atau dengan tangan dan
dilarang keluar rumah. Terakhir dia dilempar dengan botol parfum yang melukai kepalanya.
Nasib getir yang dialami seorang warga negara Indonesia di Jerman ini mendapat perhatian di
media massa setempat, antara lain Der Spiegel Online dan Deutsche Welle.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Hukum Diplomatik

Hukum Diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum
internasional yang mengatur hubungan diplomatik antarnegara yang dilakukan atas dasar
permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut yang dituangkan di dalam
instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan

pengembangan kemajuan hukum internasional. Dalam perkembangannya, ruang lingkup
hukum diplomatik berkembang menjadi lebih luas lagi, seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi global, tidak hanya mencakup hubungan diplomatik antarnegara,
tetapi juga hubungan konsuler dan keterwakilan negara dalam hubungannya dengan
organisasi-organisasi internasional.
Pada dasarnya, jika membicarakan mengenai sumber hukum diplomatik, maka sama
sekali tidak dapat dipisahkan dari sumber-sumber hukum internasional, karena seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian Hukum Diplomatik itu sendiri pada
hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur
hubungan diplomatik antarnegara dan merupakan bagian dari hukum internasional. Dalam
membahas mengenai sumber-sumber hukum internasional tersebut maka harus mengacu pada
apa yang ditentukan dalam Pasal 38 dari Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:
1. International convention, whether general or particular, establishing rules expressly
recognized by the contesting states;
2. International customs, as evidence of a general practice accepted as law;
3. The general principles of law recognized by civilized nations;
4. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the
most highly qualified publicists of the varios nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law.
Untuk kodifikasi hukum diplomatik sendiri, terdapat beberapa konvensi-konvensi yang utama

mengenai hukum diplomatik dan menjadi sumber hukum diplomatik hingga saat ini, antara
lain:
a) The Final Act of the Congress of Vienna (1815) on Diplomatic Ranks;
b) Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocols (1961);
c) Vienna Convention on Diplomatic Relations;
d) Optional Protocol concerning Acquisition of Nationality;

e) Optional Protocol concerning the Compulsory Settlement of Disputes;
f) Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocols (1963);
g) Vienna Convention on Consular Relations;
h) Optional Protocol concerning Acquisition of Nationality;
i) Optional Protocol concerning the Compulsory Settlement of Disputes;
j) Convention on Special Missions and Optional Protocol (1969);
k) Convention on Special Missions;
l) Optional Protocol concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
m)Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationality
Protected Persons, including Diplomatic Agents (1973);
n) Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International
Organizations of a Universal Character (1975).


B.

Konvensi Wina Mengenai Hukum Diplomatik
Dimulai sejak PBB berdiri pada tahun 1945, sejak saat itu pula hukum diplomatik telah

dimulai pada tahun 1949 oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai kekebalan
dan pergaulan diplomatik yang telah secara rinci digariskan. Konvesi Wina ini terdiri dari 53
pasal yang isinya hampir semua aspek dari hubungan diplomatik. Ada pula isnya mengenai
kewarganegaraan dan menyelesaikan sengketa yang terdiri dari 8 – 10 pasal. Konvensi Wina
1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964
hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi
tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan
kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang
keharusan untuk menyelesaikan sengketa.
Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak
dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala
Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi
misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36
adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan


keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan
pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi
dan mulai berlakunya Konvensi itu.
Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsuler. Untuk pertama kalinya usaha guna
mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul telah dilakukan dalam
Konverensi negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana, Kuba, di mana dalam tahun itu
telah disetujui Convention on Consular Agents. Setelah itu, dirasakan belum ada suatu usaha
yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan
tentang hubungan konsuler kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi
Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai masalah tersebut.
Konvensi ini Wina tahun 1961 dan 1963 telah mengutamakan kodifikasi dari hukum
kebiasaan yang ada, sementara konvensi ini bertujuan untuk memberi peraturan yang lebih
mengatur mengenai misi-misi khusus yang memiliki tujuan terbatas yang berbeda dengan
misi diplomatik yang sifatnya permanen.
Konvensi New York mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang
-

orang

yang

menurut

hukum

internasional

termasuk

para

diplomat

Pada tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika telah menyetujui suatu konvensi
tentang masalah tersebutpada siding ke-24. Konvensi mengenai pencegahan dan
penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi
secara hukum internasional akhirnya disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada
tanggal 14 Desember 1973 dengan rseolusi 3166(XXVII).

Dalam mukadimahnya,

ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh
diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut
hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara dalam
menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York 1973 ini terdiri dari 20 pasal dan
walaupun hanya beberapa ketentuan tetapi cukup untuk mencakup berbagai aspek yang
berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggaran.
Konvensi Wina 1975 mengenai keterwakilan negara dalam hubungannya dengan
Organisasi Internasional yang bersifat universal.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, ada permasalahan dalam persidangan tahun
1971 yang mengajukan tiga masalah, yaitu :Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan
yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan, tidak adanya putusan, hubungan diplomatik
dan konsuler atau adanya pertikaian senjata di antara anggota-anggota organisasi

internasional itu sendiri, Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa, Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.

C.

Fungsi Perwakilan Diplomatik
1. Mewakili negara pengirim di dalam negara Penerima
Disini perwakilan diplomatik berfungsi sebagai penghubung antara negara pengirim
dan negera penerima
2. Proteksi
Badan perwakilan berfungsi untuk melindungi kepentingan negara pengirim dan warga
negaranya di negara penerima.
3. Negosiasi (Perundingan)
Pejabat diplomatik dapat melakukan perundingan dengan negara penerima terkait
dengan masalah – masalah teknis antara dua negara.
4. Memberikan Laporan
Pejabat diplomat wajib memberikan laporan kepada negara pengirim mengenai hal –
hal yang berkaitan dengan kinerjanya di negara penerima.
5. Meningkatkan hubungan antar negara
Untuk memajukan hubungan antara dua negara dalam hal ini meliputi kerjasama di
bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik.

D.

Peran Diplomat Indonesia dalam Mengatasi Kasus WNI di luar negeri
Sesuai dengan fungsi dari perwakilan diplomatik yang tertuang dalam konvensi WIna

1961 disebutkan bahwa salah satu fungsinya untuk proteksi atau melindungi. Peran Diplomat
Indonesia dalam menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap TKI yang dianiaya oleh
majikannya yang seorang diplomat Arab Saudi tersebut dengan menjalankan tugasnya yakni
dalam fungsi representative (mewakili Negara pengirim di Negara penerima) untuk
menjalankan fungsi yang lain yakni fungsi proteksi atau perlindungan yang mana melindungi
kepentingan Negara pengirim dan warga negaranya dalam batas yang diperbolehkan hukum
internasional dalam hal ini melindungi TKI tersebut dengan bantuan hukum yang dapat
dilakukan oleh diplomat Indonesia dengan melakukan perundingan atau negosiasi yang

digunakan untuk pembelaan dan dapat mengupayakan dana untuk proses hukum yang akan
dilakukan. Kasus tersebut berada di luar negeri sehingga penyelesainnya dapat dilakukan oleh
perwakilan diplomatik Indonesia yang berada di negara Jerman. Hal tersebut menyangkut
tugas-tugas diplomatik yang telah diatur dalam pasal 3 ayat (1) Konvensi Wina 1961.
Lalu pemerintah Indonesia dapat melakukan negosiasi seperti yang tertuang dalam
fungsi perwakilan iplomatik. Dimana diplomat Indonesia harus melakukan negosiasi dengan
Pemerintah Arab Saudi untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan membawa diplomat
tersebut ke dalam Pengadilan Arab Saudi. Jika Pemerintah Arab Saudi menolak untuk
melakukan perundingan atau negosiasi dengan Pemerintah Indonesia, maka disini kita dapat
meminta bantuan terhadap Pemerintah Jerman, teapi posisinya sebagai mediator atau orang
ketiga saja.
Karena penyelesaiaan kasus ini tidak dapat di lakukan melalui pengadilan maka kasus
ini di selesaikan di luar pengadilan dimana diplomat Indonesia dapat melakukan negosiasi
dengan negara Arab Saudi dalam penyelesaiaan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh
perwakilan diplomatik asal Arab Saudi tersebut untuk dapat diadili di Indonesia atau di
negara Arab Saudi. Atas kesepakatan dari negosiasi yang dilakukan maka kasus tersebut
dapat di usut dan pelaku penganiayaan dalan hal ini perwakilan diplomatik asal Arab Saudi.
Namun, karena kasus penganiayaan tersebut dilakukan di negara Jerman maka penyelesaiaan
kasus ini dapat di selesaikan melalui mediasi dimana pihak ketiga yang dapat membantu
penyelesaiaan kasus ini adalah negara Jerman karena kasus tersebut terjadi di negara tersebut.

E.

Peran Jerman dan Arab Saudi
Diplomat Arab Saudi di Jerman yang telah melakukan penyiksaan terhadap Dewi

Ratnasari memang mempunyai kekebalan atas rumah kediamannya beserta keluarganya
(Konvensi Wina Pasal 29,30,31,37). Namun, dalam hal ini diplomat tersebut telah melakukan
pelanggaran HAM atas pelayan pribadi (private servant). Dalam hal ini maka yang dapat
dilakukan adalah mengembailkan diplomat tersebut ke negaranya (Arab Saudi). Ketentuan
selanjutnya adalah tergantung kebijakan dari Negara Arab Saudi tersebut, bisa diladili di
negaranya sendiri ataupun di Negara Jerman. Akan tetapi biasanya setelah dikembalikan di
negaranya, maka yang berwenang untuk mengadili adalah pengadilan Arab Saudi.
Sehingga, diplomat Arab Saudi di Jerman yang telah melakukan penyiksaan terhadap
TKI tersebut dapat dihukum atau tidaknya dengan Hukum Negara Jerman tergantung dari

negoisasi negara-negara terkait, yang mana diplomat Arab Saudi yang telah melakukan
pelanggaran memiliki kekebalan hukum sehingga tanpa adanya penyerahan kewenangan
Arab Saudi untuk menghukum diplomatnya maka berlaku Kekebalan terhadap jurisdiksi
pengadilan negara penerima diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961. Jika penyerahan
kewenangan diberikan kepada Negara Jerman maka Negara Arab Saudi harus menanggalkan
kekebalan utusan diplomatiknya terlebih dahulu, baru kemudian negara penerima Jerman
berhak menerapkan hukum atas utusan itu terkait dengan peraturan yang ada di Negara
tersebut. Jika pejabat diplomatik yang melanggar hukum itu tidak diadili oleh negara
penerima, bukan berarti bebas begitu saja dari segala tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan
dijatuhi hukuman oleh peradilan negaranya. Apalagi hukum pidana kebanyakan negara
memberikan wewenang kepada peradilan-peradilannya untuk mengadili dan menghukum
kejahatan-kejahatan yang dilakukan warga negaranya di luar negeri. Oleh karena itu, hal
tersebut sangatlah penting adanya fungsi diplomatik yang mengenai adanya perundinganperundingan dengan Negara pemerintah untuk melndungi kepentingan-kepentingan Negara
pengirim dan warga negaranya di Negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan
oleh hukum internasional.
Alternatif lainnya adalah diplomat arab saudi memiliki kekebalan hukum di Jerman
sehingga pengadilan dan penghukuman atasnya harus atas persetujuan dan tergantung oleh
kepala negaranya. Negara pengirim (Arab Saudi) harus menanggalkan kekebalan utusan
diplomatiknya terlebih dahulu, baru kemudian negara penerima (Jerman) berhak menerapkan
hukum atas utusan itu.Tentu saja, meskipun pejabat diplomatik yang melanggar hukum itu
tidak diadili oleh negara penerima, bukan berarti ia bebas begitu saja dari segala tuntutan
hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan negaranya. Apalagi hukum
pidana kebanyakan negara memberikan wewenang kepada peradilan-peradilannya untuk
mengadili dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dilakukan warganegaranya di luar
negeri.

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian masalah dan isi diatas dapat disimpulkan bahwa Diplomat
Indonesia hendaknya melakukan negosiasi terkait dengan kasus penganiayaan terhadap TKI
di Jerman dengan pelakunya adalah duta besar Arab Saudi. Dalam melakukan negosiasi antar
diplomat Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi apabila diperlukan dapat dimasukan negara
Jerman sebagai pihak ketiga atau mediator. Negara Jerman tidak bisa ikut campur maupun
menghukum diplomat Arab Saudi tersebut. Akan tetapi, negara Jerman berkewajiban untuk
memulangkan duta besar tersebut lalu diserahkan kepada negara pengirim yaitu Arab Saudi.
Negara Jerman berhak untuk menghukum duta besar Arab Saudi sesuai dengan kesepakatan
yang telah dilakukan oleh negara Jerman dan negara Arab Saudi.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.tatanusa.co.id/index.php/produk-buku/buku-referensi/163-hukum-diplomatikdan-konsuler.html
2. http://news.detik.com/read/2011/07/09/184212/1678025/10/ada-tki-disiksa-keluargadiplomat-arab-saudi-di-berlin?n991103605
3. http://www.antaranews.com/berita/234173/perlindungan-diplomatik-atas-kasus-sumiati