Skripsi Heri Bab 1 2 3

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah
Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap
keterbatasannya, pasti akan dialami oleh seseorang bila ia panjang umur. Di
Indonesia, istilah untuk kelompok usia ini belum baku, orang memiliki
sebutan yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah usia lanjut ada
pula lanjut usia atau jompo dengan padanan kata dalam bahasa Inggris biasa
disebut the aged, the elders, older adult, serta senior citizen. Dalam uraian
selanjutnya, akan digunakan istilah usia lanjut atau yang lebih dikenal dengan
nama lansia ( Maryam,2008 ).
Menurut WHO, ada batasan-batasan pada lansia dibagi menjadi empat
bagian yaitu: usia pertengahan ( middle age ) usia antara 45-59 tahun, lanjut
usia ( ederly ) usia antara 60-74 tahun, lanjut usia lanjut ( old ) usia antara 7590 tahun, usia sangat tua ( very old ) usia 90 tahun keatas.
Di Indonesia, batasan mengenai lanjut usia seseorang yang mencapai
umur 60 tahun ke atas ( Nugroho, 2000 dikutip dari Undang-Undang No.13
Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 ).


1

Untuk mendukung stabilitas kesehatan pada lansia dapat diupayakan
antara lain dengan nutrisi, olahraga, istirahat, lingkungan yang aman dan
nyaman. Sehingga dari dukungan tersebut, diharapkan usia harapan hidup
lansia meningkat.
Salah satu tolak ukur kemajuan pembangunan Nasional pada suatu
negara yang sedang berkembang adalah semakin meningkatnya umur harapan
hidup. Dengan semakin meningkatnya harapan hidup meyebabkan jumlah
penduduk lansia meningkat. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan
masyarakat adil dan makmur, yang telah menghasilkan kondisi sosial
masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
Di negara berkembang, jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas
diperkirakan meningkat menjadi 20% antara tahun 2015-2050. Sementara
Indonesia berada di urutan ke empat, setelah Negara China,India dan Jepang
( WHO, 2010 ).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statisk pada tahun 2012 jumlah
penduduk lanjut usia di Indonesia sebanyak ( 18.584.905 jiwa ) dengan umur
harapan 60 tahun keatas, diperkirakan tahun 2013 jumlah lanjut usia di

Indonesia sebanyak ( 18.861.820 jiwa ),

pada tahun 2014 diperkirakan

jumlah lanjut usia di Indonesia sebanyak ( 19.142.861 jiwa ) dan pada tahun
2020 akan meningkat diperkirakan sebanyak ( 29.120.000 jiwa ).

2

Dengan meningkatnya jumlah penduduk lansia dan makin panjangnya
usia harapan hidup sebagai akibat yang telah dicapai dalam pembangunan
Nasional selama ini, maka mereka yang memiliki pengalaman , keahlian, dan
kearifan perlu diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan.
Kesejahteraan penduduk lansia yang karena kondisi fisik dan mentalnya tidak
memungkinkan lagi berperan dalam pembangunan, maka lansia perlu
mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat ( GBHN, 1993 ).
Siklus perkembangan pada manusia diawali dengan proses pembuahan
yaitu pertemuan antara sel telur dari perempuan dengan sel sperma yang
berasal dari ayah. Lalu perkembangan janin kemudian menjadi bayi, anakanak ,remaja, dewasa dan tua . Dalam perkembangannya, baik fisiologis,
biologis, psikologis maupun psikososial bila seseorang bertambah tua,

kemampuan fisik dan mental hidupnya pun akan perlahan-lahan menurun.
Proses menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi
didalam kehidupan manusia. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui tahapan yang berbeda, baik secara biologi
maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran fisik
yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, daya ingat
kurang, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin
memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional
( Fatmah, 2010 ).

3

Dampak dari perubahan tersebut, lansia akan mengakibatkan aktifitas
lansia menjadi menurun. Perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan
bergerak, langkah menjadi pendek-pendek, penurunan irama, kaki tidak dapat
menapak dengan kuat dan cenderung gampang terpeleset atau tersandung
sehingga lansia mudah terjatuh ( Nugroho, 2000 ).
Jatuh dan kecelakaan pada lansia merupakan penyebab kecacatan yang
utama ( Gallo, Reucell & Anderson, 1998 ). Jatuh secara singkat bisa
diartikan sebagai “ a person coming to rest on the ground or another lower

level” atau dengan kata lain suatu kejadian yang menyebabkan seseorang
mendadak terbaring atau terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah
dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka ( Reuben, 1996 ).
Insiden jatuh dimasyarakat Amerika Serikat pada umur lebih dari 65
tahun berkisar 1/3 populasi lansia setiap tahun, dengan rata rata jatuh 0,6/
orang ( Reuben, 1996 ). Berdasarkan survei masyarakat Amerika Serikat
terdapat sekitar 30% lansia berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya.
Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang ( Tinetti, 1992 ).
Angka kejadian jatuh pada fasilitas perawatan di Amerika Serikat berkisar
40% dari penghuninya pernah jatuh ( Leueckenotte, 2000 dikutip dari
teideksaar, 1998 ).
Hasil penelitian di Kanada mengemukakan bahwa kira-kira 30% orang
yang berumur lebih dari 65 tahun mengalami jatuh paling sedikit satu kali

4

dalam setahun dan jatuh merupakan salah satu kejadian yang memungkinkan
terjadinya patah tulang pada seseorang, demikian juga terhadap lansia
( Clemson, 2005).
The Canadian physiotherapy association ( 2008 ), menyimpulkan hasil

penelitiannya di Kanada bahwa 30% lansia dengan usia diatas 65 tahun dan
50% lansia dengan usia 80 tahun mengalami jatuh setiap tahun, 12% dari
seluruh populasi mengalami trauma dan 30% meninggal dunia.
Kejadian jatuh pada lansia dapat dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan
ekstrinsik ( Darmojo, 2011 dikutip dari Kane 1994 ). Adapun faktor instrinsik
antara lain sistem syaraf pusat, demensia, gangguan sistem sensorik,
gangguan sistem kardiovaskuler, gangguan metabolisme dan gangguan gaya
berjalan sedangkan faktor ekstrinsik meliputi lingkungan, aktifitas dan obatobatan.
Fakta ini sebetulnya memudahkan bagi pengelola Panti Sosial Tresna
Werda Budi Darma dan petugas kesehatan untuk mencari tahu penyebab
mengapa lansia mengalami kejadian jatuh. Dengan cara pencegahan
terjadinya jatuh menimalisir resiko kejadian jatuh khususnya pada lansia.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan oleh peneliti dipanti Sosial Tresna
Werda Budi Darma, Bekasi pada tanggal 5 Oktober 2012 - 6 Oktober 2012
dengan mewawancarai 10 orang. Hasil wawancara dari 4 orang pernah
mengalami jatuh karena gangguan gaya berjalan, 2 orang terjatuh dikamar

5

mandi karena faktor lingkungan yang tidak mendukung, 1 orang terjatuh

setelah beberapa waktu mengkomsumsi obat yang diminum akibat dari efek
samping

dan 1 orang mengalami demensia yang mengakibatkan

keseimbangan tubuh sehingga terjatuh. Lansia dipanti Sosial Tresna Wherda
Budi Darma memiliki sikap yang negatif terhadap pencegahan cidera artinya
ada kecenderungan dengan sikap yang negatif diikuti dengan praktik yang
kurang baik.
Dari data sekunder yang peneliti dapatkan dipanti Sosial Tresna Werda
Budi Darma, Bekasi bulan Oktober 2012 sebanyak 100 lansia penghuni
panti. Jumlah laki-laki sebanyak 32 orang dan wanita 68 orang.
Hal ini mendasari penulis untuk meneliti lebih jauh mengenai
penelitian tentang “ Faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian jatuh
pada lansia di panti Sosial Tresna Werda Budi Darma, di Bekasi tahun 2012”.

.

6


B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
penelitian yaitu tentang Faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian
jatuh pada lansia di panti sosial Tresna Wherda Budi Darma, di Bekasi tahun
2012.
C. Tujuan Penelitian
1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian jatuh
pada lansia dipanti sosial Tresna Wherda Budi Darma ,di Bekasi tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
1.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian jatuh pada lansia di
panti sosial Tresna Wherda Budi Darma Bekasi tahun 2013.

2.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi gangguan gaya berjalan pada
lansia di panti sosial Tresna Wherda Budi Darma Bekasi tahun 2013.


3.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi demensia pada lansia di panti
sosial Tresna Wherda Budi Darma Bekasi tahun 2013.

4.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi obat –obatan pada lansia di
panti sosial Tresna Wheda Budi Darma Bekasi tahun 2013.

5.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi lingkungan pada lansia di panti
sosial Tresna Wherda Budi Darma Bekasi tahun 2013.

6.

Untuk mengetahui hubungan gangguan gaya berjalan dengan kejadian
jatuh pada lansia di panti sosial Tresna Wherda Budi Darma Bekasi
tahun 2013.


7

7.

Untuk mengetahui hubungan demensia dengan kejadian jatuh pada
lansia di panti sosial Tresna Wherda Budi Darma Bekasi tahun 2013.

8.

Untuk mengetahui hubungan lingkungan dengan kejadian jatuh pada
lansia di panti sosial Tresna Wherda Budi Darma Bekasi tahun 2013.

9.

Untuk mengetahui hubungan obat-obatan dengan kejadian jatuh pada
lansia di panti sosial Tresna Wherda Budi Darma Bekasi tahun 2013.

8


D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktik dan
teoritis sebagai berikut :
1.

Manfaat Bagi Lansia
Diharapkan lansia terhindar dari resiko jatuh dan dapat
meningkatkan status kesehatannya.

2.

Manfaat Bagi Institusi Pendidikan STIKes Medistra Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam
mengaplikasikan ilmu keperawatan gerontik yang didapat dari
perkuliahan ke tahap operasional dilahan praktik

3.

Manfaat Bagi Petugas Kesehatan Panti wherda
Sebagai acuan bagi petugas kesehatan untuk menentukan

strategi pencegahan kejadian jatuh pada lansia, sehingga kejadian
jatuh dapat dikurangi seminimal mungkin.

4.

Manfaat Bagi Peneliti
Dari hasil penelitian ini peneliti berharap dapat bermanfaat
untuk memberikan saran, masukan, serta tambahan informasi bagi
petugas kesehatan maupun lansia dalam pemecahan masalah dan
mencari solusi untuk insiden kejadian jatuh.

5.

Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini di diharapkan dapat dijadikan data
pembanding bagi penelitian pada lansia yang berhubungan dengan
kejadian jatuh pada lansia dimasa mendatang sehingga dapat menjadi
referensi bagi peneliti selanjutnya.

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lansia
1. Definisi Lansia
Menurut WHO Lanjut usia pertengahan yakni kelompok usia
45 tahun sampai 59 tahun, lanjut usia ( Elderly ) yakni antara usia 60
sa,api 74 tahun, usia lanjut tua ( Old ) yaitu antara usia 75 sampai 90
tahun, dan usia sangat tua ( very old ) yaitu usia 90 tahun.
Menurut Undang –undang nomor 13 tahun 1998, menjelaskan
tentang kesejahteraan lanjut usia yang termasuk dalam BAB I pasal 1
ayat 2 yaitu bahwa : lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia
60 tahun keatas”.
Menurut Koesoemato Setyonegoro, pengelompokan lanjut
usia meliputi : usia dewasa muda ( ederly adulthood ) yaitu usia 18
atau 20-25 tahun, usia dewasa penuh ( middle years ) atau maturitas
yaitu usia 25-65 atau 65 tahun, lanjut usia ( geriatric age ) yaitu usia
lebih dari 65 atau 70 tahun, usia 70-75 ( young old ), usia 75-80 tahun
( old ), dan lebih dari 80 tahun ( very old ) dalam Nugroho, 2000 ).
2. Teori Proses Penuaan
Penuaan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari
oleh setiap manusia. Walaupun proses penuaan merupakan sesuatu

10

yang normal, akan tetapi pada kenyataannya proses ini lebih menjadi
beban. Hal ini secara keseluruhan tidak bisa dipungkiri oleh beberapa
orang yang merasa lebih menderita karena pengaruh penuaan ini.
Proses penuaan ini mempunyai konsekuensi terhadap aspek biologis,
psikologis, dan sosial ( Watson, 2003 ).
Teori – teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa
penuaan terjadi biasanya dikelompokan ke dalam dua kelompok besar
yaitu teori biologis dan teori psikososial. Penelitian yang terlibat
dengan jalur biologis telah memusatkan perhatian pada indikator yang
dapat dilihat dengan jelas pada proses penuaan, banyak pada tingkat
seluler, sedangkan ahli teori psikososial mencoba untuk menjelaskan
bagaimana

proses

tersebut

dipandang

dalam

kaitan

dengan

kepribadian dan prilaku.
Proses menua bersifat individual :
1. Tahap proses menua menjadi pada orang dengan usia berbeda
2. Setiap lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda
3. Tidak ada satu faktor pun dapat mecegah proses menua
Teori menua menurut ( Stanley, 2006 ) Terdiri dari :
1. Teori Biologis
Teori Genetik

11

Teori Genetik Clock. Teori ini merupakan teori
instrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh terdapat
jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses
penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua ini terprogram
secara genetic untuk spesies tertentu.
Teori Mutasi Somatik
Menurut teori ini, penuan terjadi karena mutasi
somatic akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Setiap sel
pada saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh yang
khas adalah mutasi sel kelamin sehingga terjadi penurunan
kemampuan fungsi sel.
2. Teori Non Genetik
a. Teori penurunan sistem imun tubuh ( auto-immune
theory ). Mutasi yang berulang dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan system imun mengenali dirinya
sendiri ( self recognition ).
b. Teori kerusakan akibat radikal bebas ( free radical
theory ). Dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam
tubuh karena adanya proses metabolism atau proses
pernapasan

di

dalam

mitokondria.

Radikal

bebas

merupakan suatu atom atau molekul yang tidak stabil

12

karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan
sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul lain
yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan
dalam tubuh. Radikal bebas terdapat di lingungan seperti :
asap kendaraan, asap rokok,

zat pengawet makanan,

radiasi, sinar ultraviolet.
c. Teori menua akibat metabolisme. Telah dibuktikan dalam
berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan
kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori
yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek
umur.
d. Teori Rantai silang ( Cross link teory ). Teori ini
menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak,
protein, karbohidrat, dan asam nukleat ( molekul kolagen )
bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi
jaringan yang menyebabkan perubahan pada membrane
plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan kaku,
kurang elastik, dan hilang pada proses menua.

13

3. Teori aktivitas atau kegiatan
a. Ketentuan tentang semakin menurunnya jumlah kegiatan
secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia
yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikur
serta dalam kegiatan sosial.
b. Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat
melakukan

aktifitas

dan

mempertahankan

aktivitas

tersebut selama mungkin.
c. Ukuran optimum ( pola hidup ) dilanjutkan pada cara
hidup lanjut usia.
d. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan
individu agar tetap stabil dai usia pertengahan sampai
lanjut usia.
4. Teori Sosiologi
Teori sosilogi tentang proses menua yang dianut
selama ini antara lain :
1. Aktivitas atau kegiatan ( activity theory )
Ketentuan akan meningkatkan pada penurunan jumlah
kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia

14

lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut
banyak dalam kegiatan sosial.
Ukuran optimum ( pola hidup ) dilanjutkan pada cara
hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara
system sosial dan individu agar tetap stabil dari usia
pertengahan ke lanjut usia.
2. Kepribadian berlanjut ( continuity theory )
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah
pada lanjut usia. Teori ini menyatakan gabungan dari teori
diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang
terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi
oleh tipe personality yang dimilki.
Teori interaksi sosial
Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi
sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya
berdasarkan kemampuannya bersosialisasi.
3. Teori pembebasan atau penarikan diri ( disengagement
theory )
Teori menyatakan bahwa dengan bertambahnya lanjutnya
usia, apalagi ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut
usia secara berangsur –angsur mulai melepaskan diri dari

15

kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan
sekitarnya. Keadaaan ini mengakibatkan interaksi sosial
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga
sering lanjut usia mengalami kehilangan ganda ( triple
loss) :
a. Kehilangan peran ( loss of role )
b. Hambatan kontak sosial ( restriction of contact and
relationship )
c. Berkurangnya komitmen ( reduced commitemen to
social mores and values ).
3.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia
a. Perubahan-perubahan fisik
1. Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya.
2. Sistem persyarafan terjadi berat otak menurun 10 – 20, lambat
dalam respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya saraf
panca indera yang menyebabkan berkurangnya penglihatan,
hilangnya

pendengaran,

menurunnya

sensasi

perasa

dan

penciuman.
3. Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya kemampuan
daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi
atau suara nada tinggi.

16

4. Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap
sinar, kornea lebih berbentuk sferis, serta hilangnya daya
akomodasi.
5. Sistem kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta
menurun, kemampuan jantung memompa darah menurun dan
kehilangan elastisitas pembuluh darah.
6. Sistem respirasi terjadi perubahan pada otot-otot pernafasan
kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, paru-paru kehilangan
elastisitas.
7. Sistem gastrointensial terjadi perubahan kehilangan gigi, indra
pengecap menurun, rasa lapar menurun, perilastik lemah dan
biasanya timbul konstipasi.
8. Sistem genitourinaria terjadi perubahan nefron menjadi atrofi,
aliran darah ke ginjal menurun, dan otot –otot vesika urinaria
lemah.
9. Sistem endoktrin terjadi perubahan produksi hampir semua
hormone menurun seperti Adrenokortikotropin hormon ( ACTH ),
Follicle-stimulating hormone ( FSH ),Thyroid stimulating
hormone ( TSH ) dan Luteinzing hormone ( LH ) ( Brunner &
Suddart, 2002 ).

17

10. Sistem intugumen terjadi perubahan elastisitas sehingga menjadi
keriput, permukaan kulit bersisik dan kasar.
11. Sistem muskuloskeletal terjadi perubahan berupa tulang semakin
rapuh, terjadi kifosis, pesendian kaku dan atrofi serabut otot.
B. Jatuh
1. Definisi Jatuh
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan atau saksi mata yang
melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk
di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka ( Darmojo, 2004 ).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subjek yang
sadar menjadi berada di permukaan tanpa disengaja dan tidak termasuk jatuh
akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh
tersebut adalah dari penyebab yang spesifik yang jenis lain dan
konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami
jatuh ( Stanley, 2006 ).
2. Faktor Resiko
a. Faktor instrinsik
Faktor instrinsik adalah

variabel – variabel yang menentukan

mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam
kondisi yang sama mungkin tidak jatuh ( Stanley, 2006 ). Faktor instrinsik

18

tersebut antara lain adalah gangguan muskuloskeletal misalnya menyebabkan
gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstermitas bawah, kekakuan sendi,
sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba – tiba yang disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap,
keringat dingin, pucat dan pusing ( Lumbantobing, 2004 ).
b. Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar ( lingkungan sekitarnya )
diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung
benda – benda ( Nugroho,2000 ).
Faktor faktor ekstrinsik antara lain lingkungan yang tidak mendukung
meliputi cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tempat
berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak dibawah, tempat
tidur atau WC yang rendah atau jongkok dibawah, obat – obatan yang
diminum dan alat – alat bantu berjalan ( Darmojo, 2004 ).
3. Manifestasi klinis
Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan
psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah
patah tulang panggul. Jenis fraktur lain sering terjadi akibat jatuh adalah
fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan
lunak. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok
setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak

19

konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, perbatasan dalam
aktivitas sehari- hari, falafobia atau fobia jatuh ( Stanley,2006 ).
4. Komplikasi
Menurut kane ( 1996 ) yang dapat dikutip oleh Darmojo ( 2004 ),
komplikasi-komplikasi jatuh adalah :
a. Perlukaan ( injury )
Perlukaan ( injury ) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang
terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri
atau vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus,
lengan bawah, tungkai atas.
b. Disabilitas
Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan
dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan
kepercayaan diri dan pembatasan gerak.
c. Kematian

5. Penatalaksaan
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap
kasus karena perbedaan faktor- faktor yang bekerjasama mengakibatkan
jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut penanggulangannya menjadi
lebih mudah, lebih sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab

20

jatuh secara efektif. Tetapi lebih banyak pasien karena kondisi kronik,
multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat,rehabilitasi,
perbaikkan lingkungan dan perbaikkan kebiasaan lanjut usia itu. Pada kasus
lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya
pembatasan berpergian atau aktivitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.
Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstermitas bawah

dan

penurunan fungsional terapi difokuskan untuk meningkatan kekuatan dan
kelemahan otot sehingga memperbaiki fungsionalnya. Sering terjadi
kesalahan, terapi rehabilitas hanya diberikan sesaat sewaktu penderita
mengalami jatuh. Padahal terapi ini diperlukan secara terus menerus sampai
terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fungsional.
Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan
difokuskan

untuk

mengatasi

penyebab

atau

faktor

yang

mendasarinya.Penderita dimasukkan dalam program gait trainning dan
pemberian alat bantu berjalan. Biasanya program rehabilitas ini dipimpin
oleh fisioterapis.
Penderita dengan dizzness syndrom,terapi ditunjukkan pada penyakit
kardiovaskuler
menyebabkan

yang

mendasari,

hipotensi

postural

menghentikan
seperti

beta

obatbloker,

obatan
diuretic

yang
dan

antidepresan. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki

21

lingkungan rumah atau tempat kegiatan lanjut usia pencegahan jatuh
( Darmojo, 2004 ).
6. Pencegahan
Menurut Tinetti ( 1992 ), yang dikutip dari Darmojo ( 2004 ), ada 3
usaha pokok untuk pencegahan jatuh yaitu :
a. Identifikasi faktor resiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari
faktor instrinsik resiko jatuh, perlu dilakukan assesment keadaan sensorik,
neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering menyebabkan
jatuh.
Keadaan lingkungan rumah atau instansi kelompok para lansia yang
berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan
harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai datar, tidak licin, bersih dari
benda- benda kecil yang sulit dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah
tidak aman ( lapuk, dapat bergeser sendiri ) sebaiknya diganti,peralatan
rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehinnga tidak mengganggu
jalan atau tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin
sebaiknnya diberi pegangan pada dindingnya, pintuyang mudah dibuka. WC
sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.
b. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan ( gait )

22

Setiap lanjut usia harus dievaluasi

bagaimana keseimbangan

badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi.Bila
goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan
latihan oleh rehabilitas medis.Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan
dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah,
apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah
kekuatan bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan, harus
dikoreksi bila terdapat kelainan atau penurunan.
c. Mengatur atau mengawasi faktor situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut
usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara
periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan
mengusahakan perbaikan lingkungan, faktor situasional yang berupa aktivitas
fisik dapat diabatsi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktivitas
tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai
hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka dianjurkan lanjut usia tidak melakukan
aktivitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadi jatuh.

C. Faktor – faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Jatuh Pada Lansia

23

1. Gangguan Gaya Berjalan
Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola
jalan.

Keseimbangan,

kekuatan

dan

fleksibelitas

diperlukan

untuk

mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga elemen itu merupakan dasar
untuk mewujudkan pola jalan yang baik setiap individu.
Gangguan

gaya

berjalan

dapat

disebabkan

oleh

gangguan

muskuloskeletal dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai pergerakan
normal yaitu :
a. Penyokong anti gravitasi pada posisi tegak, kontrol keseimbangan
dan pergerakan melangkah ke depan.
b. Posisi tegak karena pusat gravitasi berada di vertebra sakral 2
anterosuperior.
c. Posisi tegak membutuhkan sedikit energi untuk menjaga
keseimbangan saat berdiri. Stabilitas mekanik dipertahankan
sepanjang jalur gravitasi yang melewati dasar penyangga diantara
kedua kaki.
Selain pergerakan normal, juga harus diperhatikan terkait dengan
mekanisme pergerakan maju ( Darmojo, 2004 ) yaitu :
a. Berhubungan dengan fiksasi dan elevasi dari pelvis otot abduktor
paha.

24

b. Badan dimiringkan ke depan.
c. Kaki yang berayun dan fleksi serta panggul sedikit berputar
keluar, lutut fleksi dan kaki dorso fleksi.
d. Tumit menyentuh lantai.
e. Rotasi eksternal dan dorsofleksi tungkai yang bergeser ke pusat
gravitasi di depan.
f. Rotasi lengan dan bahu berguna untuk keseimbangan gerakan
pelvis dan ekstermitas bawah.
Dampak dari pergerakan maju akan menghasilkan pola jalan. Pada
lansia ada beberapa perubahan yang mungkin menjadi, diantaranya sebagai
berikut :
a. Kecepatan berjalan tetap stabil sampai umur 70 tahun, kemudian
dalam tiap dekade menurun kecepatan menurun 15 % untuk
kecepatan berjalan biasa dan 20% untuk kecepatan berjalan
maksimal. Uniknya, dari penelitian tidak adanya perubahan
cadence ( ritme berjalan ) walaupun menurun kecepatan iramanya.
b. Peningkatan waktu fase berdiri dengan dua kaki ( double stance
phase ) sehingga menurunkan momentum pada fase mengayun
kaki dan berakibat langkah menjadi pendek.
c. Berjalan dengan ibu jari kaki deviasi ke arah lateral sekitar 5%,
Merupakan adaptasi tubuh agar didapati keseimbangan lateral atau

25

dicurigai adanya kelemahan pada otot panggul yang bertugas
melakukan rotasi interna.
d. Pergerakan sendi berubah seiring dengan umur, contohnya ankle
plantar fleksor menurun walaupun kemampuan maksimal dari
ankle plantar dorsofleksi tidak berubah.
e. Panjang langkah berkurang pada orang tua, mungkin otot betis
pada lansia yang berkurang kekuatannya dan tidak bisa
menghasilkan plantar fleksi yang optimal, bisa juga disebabkan
karena berkurangnya keseimbangan dan kontrol tubuh yang jelek
pada fase single stance. Bisa juga karena rasa aman yang didapat
ketika berjalan dengan langkah pendek.
f. Sedikit adanya rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota
gerak atas lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang
apabila tubuh bergerak.
g. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang,
seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.
h. Penurunan rotasi badan, terjadi karena efek sekunder kekakuan
sendi.
i. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun.
j. Penurunan sudut antara tumit dan lantai, itu mungkin disebabkan
lemahnya fleksibilitas plantar flekstor.

26

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak langkah
yang pendek dan penurunan irama. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat
dan lebih cenderung gampang goyang ( postural sway ). Perlambatan reaksi
mengakibatkan lansia susah atau terhambat mengantisipasi bila terjadi
gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba – tiba sehingga
memudahkan jatuh. Ada beberapa gaya berjalan yang sering ditemukan pada
lansia ( Darmojo, 2004 ) :
a. Gangguan gaya berjalan hemiplegic ( Hemiplegic gait )
Pada hemiplatik terdapat kelemahan dan spasstitas ekstermitas
unilateral dengan fleksi pada ekstermitas atas dan ekstermitas bawah dalam
keadaan ekstensi. Ekstermitas bawah dalam ekstensi sehingga mengakibatkan
kaki “ memanjang”. Pasien harus menganyunkan sambil memutar kakinya
untuk melangka ke depan. Jenis gangguan berjalan ini ditemukan pada tipe
Upper Motor Neuron ( UMN ).
b. Gangguan gaya berjalan diplegik ( Diplegic Gait )
Terdapat spastisitas ekstermitas bawah lebih berat disbanding
ekstermitas atas. Pangkal paha dan atas lutut dalam keadaan fleksi dan
adduksi dengan pergelangan kaki dalam keadaan ekstensi dan rotasi interna.
Jika lansia berjalan kedua ekstermitas bawah dalam keadaan melingkar. Jenis
gangguan berjalan ini biasanya dijumpai pada lest periventrikular bilateral.

27

Ekstermitas bawah lebih lumpuh dibanding dengan ekstermitas bawah
letaknya dekat ventrikel otak.
c. Gangguan gaya berjalan neuropathy ( Neuropathic Gait )
Ganggan gaya berjalan jenis ini biasanya ditemukan di penyakit saraf
perifer. Karena terjadi kelemahan dalam dorsofleksi kaki, maka pasien harus
mengangkat kakinya lebih tinggi untuk menghindari pergesaran ujung jari
kaki dengan kaki.
d. Gangguan gaya berjalan Miopathy ( Myopathic Gait )
Dengan adanya gangguan otot, otot – otot proxsimal pelvic grildle
( tulang pelvis yang menyokong pergerakan ekstermitas bawah ) menjadi
lemah. Oleh karena itu, terjadi ketidakseimbangan pelvis bila melangkah ke
depan, sehingga pelvis miring ke kaki sebelahnya, akibatnya terjadi gangguan
dalam berjalan.
e. Gangguan gaya berjalan Parkinson ( Parkinson Gait )
Terjadi rigiditas dan bradikinesia dalam berjalan akibat gangguan di
ganglia basalis. Tubuh membungkuk ke depan, langkah memendek, lamban
dan terseret disertai dengan ekspresi wajah seperti topeng.

f. Gangguan gaya berjalan ataxia ( Ataxia Gait )

28

Langkah berjalan menjadi lebar, tidak stabil dan mendadak, akibatnya
badan memutar ke samping dan jika berat badan pasien akan jatuh. Jenis
gangguan berjalan ini dijumpai pada gangguan cerebellum.
2. Demensia
Demensia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan atau sedemikian berat sehingga menyebabkan
disfungsi hidup sehari – hari ( Darmojo, 2004 ).
Demensia adalah keadaan ketika seseorang mengalami kemunduran
kognitif yang sedemikian beratnya sehingga menggangu aktifitas hidup
sehari – hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif pada demensia
biasanya diawali dengan kemunduran memori atau daya ingat. Demensia
terutama yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer berkaitan erat dengan
usia lanjut ( Nugroho, 2008 ).
Pada umumnya , angka kejadian penyakit Alzheimer sangat berkitan
dengan usia. Semakin tua populasinya, semakin tinggi angka kejadiannya.
Angka prevalansi akan bertambah dua kali lipat pada setiap pertumbahan
lima tahun setelah usia 65 tahun. 5 % dari seluruh populasi usia 65 tahun
di negara barat adalah penderita penyakit Alzheimer, 16 % terdapat pada
kelompok usia 85 tahun, dan 32 % terdapat pada kelompok usia 90 tahun
( Nugroho, 2008 ).

29

Stadium demensia Alzheimer, dapat berlangsung dalam tiga stadium :
a. Stadium awal
Gejala stadium awal sering diabaikan dan disalahartikan sebagai usia
lanjut sebagi bagian normal dari proses otak menua, oleh para professional,
anggota keluarga dan orang terdekat penyandang demensia. Karena proses
penyakit berjalan lambat, sulit sekali untuk menentukan kapan proses ini
dimulai. Klien menunjukan gejala sebagai berikut :
1. Kesulitan dalam berbahasa
2. Mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna
3. Disorientasi waktu dan tempat
4. Sering tersesat di tempat yang biasa dikenal
5. Kesulitan membuat keputusan
6. Kehilangan inisiatif dan motivasi
7. Menunjukan gejala, depresi dan agitasi
8. Kehilangan minat dalam hobi dan aktifitas
b. Stadium Menengah
Proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin
nyata.Pada stadium ini, kliem mengalami kesulitan melakukan
aktifitas kehidupan sehari- hari dan menunjukan gejala seperti
berikut :

30

1. Sangat mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru dan nama
orang
2. Tidak dapat mengelola kehidupan sendiri tanpa timbul masalah
3. Tidak dapat memasak, membersihkan rumah, ataupun berbelanja.
4. Sangat bergantung pada orang lain
5. Semakin sulit berbicara
6. Membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri ( ke toilet, mandi,
dan berpakaian ).
7. Senang mengembara atau ‘ngeluyur’ tanpa tujuan. Ngeluyur ini
bisa berupa :
a.Cheking : berulang kali mencari pemberi asuhan
b.Trailing : terus membuntuti pemberi asuhan
c.Pottering : terus berkeliling rumah
8. Terjadi perubahan pelaku
9. Adanya gangguan kepribadian
10. Sering tersesat walaupun jalan tersebut telah dikenal
11. Dapat juga menunjukkan adanya halusinasi

c. Stadium Lanjut
Pada stadium ini terjadi :
1. Ketidakmandirian dan inaktif yang total

31

2. Tidak mengenali lagi anggota keluarga
3. Sukar memahami dan menilai masalah
4. Tidak mampu menemukan jalan disekitar rumah sendiri
5. Kesulitan berjalan
6. Mengalami inkontinesia
7. Menunjukkan prilaku tidak wajar di masyarakat
8. Akhirnya bergantung pada kursi roda atau tempat tidur.
3. Lingkungan
Lingkungan merupakan suatu keadaan atau kondisi baik
bersifat mendukung atau berbahaya yang dapat mempengaruhi jatuh
pada lansia. Faktor lingkungan yang belum dikenal mempunyai risiko
terhadap roboh sebesar 22% ( Probosuseno,2006 ).
Lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada
lansia antara lain alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang
sudah tua atau tergeletak di bawah, tempat tidur tidak stabil atau
kamar mandi yang rendah dan licin, tempat berpegangan yang tidak
kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tidak datar licin atau menurun,
karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal atau menekuk
pinggirnya, dan benda benda alas lantai yang licin mudah tergeser,
lantai licin atau basah, penerangan yang tidak baik ( kurang atau

32

menyilaukan ) alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun
cara penggunannya.
Kejadian jatuh pada lansia sekitar 10% terjadi ditangga
dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat
naik, yang lainnya terjadi karena tersandung atau menabrak benda
perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin atau tidak rata dan
penerangan yang kurang.
4. Obat – obatan
Obat merupakan zat kimia yang dikonsumsi oleh tubuh.
Kelompok dewasa berusia diatas 65 tahun merupakan pengguna obatobatan yang terbanyak, terhitung hampir 40% dari semua obat yang
diresepkan ( perry & potter, 2001 dikutip dari hostel,1992 ). Obatobatan juga meningkatkan insiden jatuh terutama obat-obatan yang
menyebabkan samnolen ( obat hipnotik ), postural hypotension
( diuretik, nitrat, obat anti hipertensi dan antidepresan trisiklik ) dan
kebingungan ( simetidine dan digitalis). Adapun efek samping obat
anti hipertensi antara lain adalah vertigo dan sakit kepala
( Katzung,1994 ).
Kadar obat dalam serum tidak stabil karena perubahan
farmakokinetik akibat proses menua dan penyakit juga sering
menyebabkan intoksikasi obat pada lansia. Disamping itu, obat yang

33

diresepkan dapat menyebabkan konfusi, pusing, mengantuk yang
dapat mempengaruhi keseimbangan dan mobilitas ( Perry dan Potter,
2001 ).

34

D. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi
hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau
antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin
diteliti ( Notoatmodjo,2010 ).
Kerangka konsep penelitian tentang faktor –faktor yang berhubungan
dengan kejadian jatuh pada lansia dipanti wherda Bekasi tahun 2013 adalah
sebagai berikut :

Kerangka Konsep Penelitian

FAKTOR INTERNAL :
1. Gangguan gaya berjalan
2. Demensia

Kejadian Jatuh
Pada Lansia

FAKTOR EKSTERNAL :
1.Obat -obatan
2. Lingkungan
Variabel Independent

Variabel Dependen

35

E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian adalah suatu asumsi pernyataan tentang
hubungan atau pengaruh antara dau atau lebih variabel yang diharapkan bisa
menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian ( Zaluchu, 2006 ).
Dari kerangka konsep diatas, maka dapat hipotesis yang dapat
diajukan adalah sebagai berikut :
Hipotesis Penelitian ( H0 )
a. Tidak ada hubungan gangguan gaya berjalan dengan kejadian
jatuh pada lansia di panti wherda Bekasi tahun 2013.
b. Tidak ada hubungan demensia dengan kejadian jatuh pada lansia
di panti wherda Bekasi tahun 2013.
c. Tidak ada hubungan obat-obatan dengan kejadian jatuh pada
lansia di panti wherda Bekasi tahun 2013.
d. Tidak ada hubungan lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia
di panti wherda Bekasi tahun 2013.
Hipotesis Penelitian ( H1 )
a. Ada hubungan gangguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh
pada lansia di panti wherda Bekasi tahun 2013.
b. Ada hubungan demensia dengan kejadian jatuh pada lansia di
panti wherda Bekasi tahun 2013.

36

c. Ada hubungan obat- obatan dengan kejadian jatuh pada lansia di
panti wherda Bekasi tahun 2013.
d. Ada hubungan lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia di
panti wherda Bekasi tahun 2013.

37

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan desain diskriptif analitik yaitu
mendiskripsikan variabel independen dan dependen, kemudian melakukan
analisis korelasi antara kedua variabel independen terhadap dependen .
Desain ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu pengukuran
variabel independen dan variabel dependen hanya satu kali pada satu saat
( Notoatmodjo, 2002 ).
B. Lokasi dan Waktu penelitian
Penelitian dilakukan di bulan Februari 2013. Adapun lokasi yang
dijadikan penelitian adalah Panti Wherda Bekasi dengan alasan banyaknya
ditemukan data dan fakta yang mengarah pada kejadian jatuh pada lansia
dengan beberapa faktor tertentu.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang diteliti. Objek
tersebut dapat berupa manusia atau yang lain termasuk gejala yang ada di

38

masyarakat ( Notoatmodjo, 2002 ). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh lansia dipanti wherda Bekasi.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang dapat
dipergunakan sebagai subjek penelitian sampling ( Nursalam, 2003 ). Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling, karena
dilakukan secara acak dan tanpa memperhatikan adanya strata.Dalam
penelitian ini jumlah sampel yang digunakan sejumlah 30, hal ini terkait
dengan adanya kriteria inklusi dan ekslusi yang peneliti tetapkan, dengan
jumlah sampel terendah 30 ( Arikunto, 2002).
Adapun ketentuan atau kriteria sampel tersebut layak atau tidak untuk
digunakan agar sesuai dengan tujuan penelitian :
1. Kriteria inklusi
a. Lanjut usia yang berusia 60 tahun keatas
b. Lanjut usia yang pernah mengalami jatuh dan tinggal dipanti
wherda Bekasi.
c. Lanjut usia yang tidak mengalami tuna rungu maupun tuna
wicara karena instrumen yang digunakan adalah kuesioner
wawancara sehingga apabila lansia mengalami masalah
tersebut maka dimungkinkan jawaban akan menjadi bias.

39

d. Bersedia menjadi sampel atau responden penelitian yang
dibuktikan dengan tanda persetujuan.

D. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data berupa
kuesioner yang teah dibuat peneliti dengan mengacu pada
kepustakaan yang terdiri dari beberapa pertanyaan yang berhubungan
dengan faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian jatuh pada
lansia.
Variabel dependen kejadian jatuh diukur dengan menggunakan
alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari 3 pertanyaan.Variabel
gangguan gaya berjalan terdiri dari 5 pertanyaan, variabel demensia
terdiri dari 5 pertanyaan, variabel lingkungan terdiri dari 5 pertanyan
dan variabel obat-obatan terdiri dari 5 pertanyaan.Variabel tersebut
menggunakan skala Guttman

( 2003 ), dengan penilaian 2 jika ya

dan 1 jika tidak.
E. Uji Instrumen
Tujuan uji coba intrumen ini yaitu memastikan apakah
instrument yang dipakai benar-benar mengukur hal yang seharusnya
diukur ( Valid ) dan konsistensinya jika dilakukan beberapa kali
( Reliabel ).

40

1.

Uji Validitas
Semua instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur
apa yang seharusnya diukur ( Setiadi,2007 ).Sebuah instrumen
dikatakan valid jika instrumen mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu. Untuk
mengukur korelasi tiap-tiap pertanyaan digunakan rumus korelasi
product moment.Suatu item pertanyaan dikatakan valid dan dapat
mengukur variabel penelitian yang dimaksud jika nilai koefisien
validitas lebih dari atau sama dengan variabel nilai tabel. Dasar
pengambilan keputusan :
- Jika r positif,serta r ≥ nilai tabel, maka item pertanyaan
tersebut valid
- Jika r tidak positif, serta r

< nilai tabel, maka item

pertanyaan tersebut tidak valid. Pengolahan uji validitas ini secara
komputerisasi dengan menggunakan program SPSS 17 for windows.
2.

Uji Relibilitas
Relibilitas menunjukan pada pengertian sejauh mana sebuah
instrumen hasil pengukurannya dapat dipercaya dari waktu ke waktu.
Untuk menguji relibilitas instrumen, digunakan formulasi Alpa
Cronbnch ( Notoatmodjo,2010 ). Instrumen reliable jika Koefisien
Relibilitas Alpha Cronbach berharga ≥ nilai tabel.

41

Uji relibilitas dilakukan jika seluruh item valid dan yang
invalid disisihkan. Pengolahan uji relibilitas secara komputerisasi
dengan mengunakan program SPSS 17 for windows.

42

F. Definisi Operasional Variabel

Definisi Operasional variabel adalah sebuah batasan –
batasan yang diberikan peneliti terhadap variabel penelitiannya
sendiri sehingga variable penelitiannya dapat diukur ( Zaluchu,
2006 ).
Definisi operasional variabel dari penelitian faktor faktor
yang berhubungan dengan kejadian jatuh pada lansia dip anti
wherda di Bekasi tahun 2013 adalah sebagai berikut :

No

Variabel

Definisi

Alat ukur

Hasil ukur

Skala

Operasional
1.

Variabel

Suatu kejadian

Kuesioner

Dependen

yangmenyebabkan

yang terdiri

Jatuh

seseorang

dari 2

mendadak

pertanyaan

terbaring atau

dengan

terduduk dilantai

criteria skor

atau tempat yang

ya ( 2 ) dan

lebih rendah

tidak ( 1 ).

dengan atau tanpa

43

Ya :
3-4
Tidak :
1-2

Ordinal

kesadaran atau
luka, selama
dipanti dalam
waktu kurun waktu
1 bulan terakhir.

2.

Variabel

Gangguan yang

Observasi

berhubungan

terdiri dari 5

Gangguan gaya

dengan perubahan

peryataan

bejalan

pada masa tulang,

dengan

otot dan sistem

criteria skor

syaraf sehingga

ya ( 2 ) dan

terjadi gangguan

tidak ( 1 ).

Ada gangguan
Ordinal

Independen

:
6-10
Tidak ada
gangguan :
1-5

dalam berjalan.

3.

Variabel
Independen

Suatu sindrom

Kuesioner

Tidak

klinik yang

yang terdiri

demensia :

44

Demensia

meliputi hilangnya

dari 5

fungsi intelektual

pertanyaan

dan ingatan atau

dengan

memori

kriteria skor

sedemikian berat

ya ( 2 ) dan

sehingga

tidak ( 1 )

6-10
Demensia :
1-5

Ordinal

menyebabkan
disfungsi hidup
sehari- hari.

4.

Variabel

Suatu kondisi yang

Observasi

Independen

bersifat

terdiri dari 5

Lingkungan

mendukung atau

pernyataan

berbahaya antara

dengan

lain penerangan

criteria skor

yang kurang,benda

ya ( 2 ) dan

benda di latai.

tidak ( 1)

Variabel

Reaksi atau efek

Kuesioner

Independen

obat yang dapat

terdiri dari 5

Mendukung :
6-10
Tidak
mendukung :
1-5

Ordinal

5.

45

Obat berefek :
6-10
Ordinal
Tidak berefek:

menyebabkan

pertanyaan

konfusi,

dengan

pusing,sakit

kriteria skor

kepala,mengantuk.

ya ( 2 ) dan
tidak ( 1 )

1-5

Obat- obatan

G. Teknik Pengumpulan Data
1. Tahap Persiapan
a. Melakukan observasi dilokasi penelitian.
b. Merancang dan membuat kuesioner dengan

membuat daftar

pertanyaan yang berkaitan dengan judul, menyusun pertanyaan
dengan secara sistematis dan mengoreksi kuesioner sebelum
digunakan.
c. Menentukan populasi dan sampel yang akan dijadikan subjek untuk
pengambilan data.
2. Teknik Pengumpulan Data

46

Teknik pengumpulan data diperoleh dari data pendukung yang di
dapatkan dari data panti wherda Bekasi, Literatur, dan tulisan ilmiah yang
relevan dengan topik penelitian yang dilakukan.
a. Data primer
Untuk mendapatkan data primer yang diperlukan, peneliti
melakukan

wawancara

langsung

dengan

responden

dan

menggunakan kuesioner terhadap 30 orang lansia dipanti wherda
Bekasi

dan

mengobservasi

gangguan

gaya

berjalan

dan

lingkungan fisik di Panti Wherda Bekasi.

b. Data Sekunder
Data sekunder diambil dengan menggunakan studi pustaka, yaitu
mengambil data yang diperoleh dari literatur dan data di Panti
Wherda Bekasi.

H. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Data yang terkumpul melalui observasi, wawancara, dan kusioner,
kemudian pengolahan data yang melalui beberapa tahapan, kegiatan dalam
proses pengolahan data meliputi :

47

a. Pemeriksaan Data ( Editing )
Editing adalah memeriksa data yang telah dikumpulkan baik
berupa daftar pertanyaan dari kuesioner yang telah dibagikan
kepada sampel.Jika ada yang belum lengkap maka responden
diminta untuk melengkapinya.
b. Memberi Kode ( Coding )
Coding adalah pengklasifikasian jawaban responden dan
pemberian kode.Variabel jatuh, bila terjawab ya diberi kode 2 dan
tidak jatuh diberi kode 1.Variabel gangguan gaya berjalan, bila
ada gangguan diberi kode 2 dan tidak ada gangguan diberi
1.Variabel demensia,bila demensia diberi kode 2 dan tidak
demensia diberi 1.Variabel lingkungan, jika mendukung diberi
kode 2 dan tidak mendukung jatuh diberi kode 1.Variabel obatobatan, jika berefek diberi kode 2 dan tidak berefek diberi kode 1.
c. Processing
Merupakan kegiatan memproses data yang didapat dari
kuesioner kemudian dianalisis dengan cara memasukkan data
tersebut ke paket program SPSS17for windows.
d. Menyusun Data ( Tabulating )

48

Tabulating merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa
agar dengan mudah di jumlah, disusun dan dicatat untuk disajikan
dan dianalisis.

2. Analisa Data
Analisa data adalah mengelompokaan, membuat suatu urutan,
sehingga mudah untuk dibaca ( Notoatmodjo, 2005 ). Penelitian ini
menggunakan data secara univariat dan bivariat.
a. Analisa Univariat
Analisa Univariat adalah analisa yang dilakukan terhadap
setiap variabel dari hasil penelitian yang akan menghasilkan
distribusi dan presentase dari tiap variabel ( Notoatmodjo, 2005 ).
Dalam penelitian ini analisa univariat digunakan untuk
menganalisis distribusi tiap variabel faktor – faktor kejadian jatuh
pada lansia dan variabel kejadian jatuh pada lansia dipanti Wherda
Bekasi tahun 2013, analisa ini dilakukan secara komputerisasi
dengan program SPSS 17 for windows.
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang digunakan terhadap dua
variabel

yang

diduga

( Notoadmodjo,2005 ).

49

berhubungan

atau

berkorelasi

Dalam penelitian ini, analisa bivariat digunakan untuk
menganalisis hubungan faktor-faktor kejadian jatuh pada lansian dip
anti wherda Bekasi tahun 2013 dengan nilai alpha ( 0,05 ) bila nilai p
value

<

dari

nilai

alpha

maka

dapat

disimpulkan

ada

hubungan.Analisa ini dilakukan secara komputerisasi dengan program
SPSS 17 for windows.

I. Penyajian Data
Data yang disajikan dalam bentuk tekstular tabular, dan table
berdasarka variabel yang diteliti. Teknik data ini merupakan cara penyajian
data yang baik dan mudah dipahami.
J. Etika Penelitian
1. Informed Consent
Informed consent diberikan sebelum melakukan penelitian, informed
consent ini berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden,
tujuannnya agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Jika

50

subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan
dan jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak
responden.
2. Anonimity
Anominity menjelaskan bentuk kuesioner dengan tidak perlu
mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data lembar, hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
3. Confidentiality
Confidentialty menjelaskan masalah- masalah responden yang harus
dirahasiakan dalam penelitian. Kerahasian informasi yang telah
dkumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian ( Hidayat, 2010 ).

51