Chapter II Spekulasi Tanah Dalam Pembangunan CBD (Central Bussiness District) di Kota Medan (Studi Deskriptif di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Kekuasaan
Dahrendorf menyatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas,
sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi Marx sebagai dasar
perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf, hubungan-hubungan kekuasaan yang
menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas.
Terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Maka dengan
kata lain, beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam
kelompok, sedang yang lain tidak, atau beberapa beberapa orang memiliki
kekuasaan sedang yang lain tidak. Dahrendorf (1959: 173), mengakui terdapat
perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan.
Perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat dan selalu sangat besar. Tetapi pada
dasarnya, tetap terdapat dua sistem kelas sosial (dalam perkumpulan khusus)
yaitu, mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan
dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas yang
dibahas oleh Dahrendorf lebih berdasarkan kepada kekuasaan daripada pemilikan
sarana-sarana produksi.
Dahrendorf menyatakan bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh
pertentangan terdapat ketegangan di antara mereka yang ikut dalam struktur

kekuasaan, dan yang tunduk pada struktur itu. Maka kepentingan yang dimaksud
oleh Dahrendorf mungkin bersifat manifes (disadari) atau bersifat laten
(kepentingan potensial). Kepentingan laten disini adalah tingkah laku potensil

22

(undercurrents behavior), yang telah ditentukan bagi seseorang karena dia
menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari. Menurut Dahrendorf
(1959: 206), pertentangan kelas harus dilihat sebagai kelompok-kelompok
pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi yang
terkoordinir secara pasti. Kelompok-kelompok yang bertentangan itu, sekali
mereka ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, maka akan terlibat dalam
pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur sosial.
Begitu juga Dahrendorf menjelaskan bahwa teori konfliknya, merupakan
model pluralistis yang berbeda dengan model dua kelas yang sederhana dari
Marx. Marx menggunakan seluruh masyarakat sebagai unit analisa, dengan orangorang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau
orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian. Manusia dibagi ke dalam
kelompok yang punya dan yang tidak. Dalam menggantikan hubungan-hubungan
kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, maka
Dahrendorf (1959: 213) menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat

diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi-asosiasi
tertentu yang ada dalam masyarakat.
Dahrendorf mengakui bahwa penyebaran kelompok-kelompok yang
ekstrim serta pertentangan-pertentangan tersebut jarang sekali terjadi dalam
kenyataan. Biasanya dalam masyarakat historis tertentu pertentangan yang
berbeda saling tumpang tindih, jadi dalam kenyataannya medan pertentangan itu
berada di beberapa area yang dominan saja. Dahrendorf juga berpendapat bahwa
kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, walau bukan merupakan determinan
kelas, demikian menurut istilah yang ia pergunakan benar-benar dapat

23

mempengaruhi intensitas pertentangan. Ia mengetengahkan proposisi yang
mengatakan bahwa semakin rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan
aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya, maka semakin rendah intensitas
pertentangan kelas dan sebaliknya (1959: 218). Dengan kata lain, kelompokkelompok yang menikmati status ekonomi relatif tinggi memiliki kemungkinan
yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan
daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.
Selain itu, adanya gagasan dari Foucault tentang kekuasaan lebih orisinal
dan realistis. Dengan latar belakang sebagai seorang sejarawan, Foucault sama

sekali tidak mendefenisikan secara konseptual apa itu kekuasaan tetapi lebih
menekankan bagaimana kekuasaan itu dipraktikan, diterima dan dilihat sebagai
kebenaran dan berfungsi dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam arti inilah,
kekuasaan tidak hanya disempitkan dalam ruang lingkup tertentu atau menjadi
milik orang atau intitusi tertentu seperti pandangan umum bahwa kekuasan itu
selalu dikaitkan dengan negara atau institusi pemerintah tertentu. Atau dalam
konteks Indonesia, kekuasaan tidak hanya menjadi milik institusi pemerintahan
saja dan sebagainya tetapi kekuasaan menyangkut relasi antara subyek dan peran
dari lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat.
Sumbangan kekuatan dari setiap subyek dan lembaga-lembaga yang menjalankan
peran sebaik-baiknya, itulah yang menunjukan arti kekuasaan.
Pemahaman kekuasaan diatas, jelas bertolak belakang dengan pemahaman
Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyakat kelas atas saja.
Dominasi dan monopoli kaum borjuis menentukan kehidupan seluruh masyarakat.
Atau juga bertentangan dengan gagasan Thomas Hobbes yang mengartikan

24

kekuasaan hanya menjadi milik lembaga yang disebut negara dan negara memiliki
kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat. Berdasarkan kedua

gagasan ini, apa yang dikatakan Foucault dimana kekuasaan tidak hanya menjadi
milik pemimpin atau entitas yang berpengaruh dalam masyarakat tetapi kekuasaan
berawal dari kekuatan dan sumbangan pemikiran setiap subjek. Di dalamnya ada
saling percaya dan menopang satu terhadap yang lain, ada pengakuan kekuatan
dan kecerdasaan setiap pribadi sebagai sumbangan untuk hidup bersama. Bahwa
pemahaman Foucault tentang kekuasaan memberi inspirasi yang kuat bagi
munculnya paham demokrasi. Karena dilihat dari gagasan umum demokrasi yang
menjunjung tinggi kreatifitas dan sikap kritis setiap subyek atau dengan kata lain
adanya pengakuan kekuasaan setiap pribadi.
Konsekuensi dari paham kekuasaan Marxian yakni tidak adanya relasi
kekuasaan antara subyek, yang ada hanya monopoli kaum kelas atas dan
perampasan segala hak milik kaum kecil. Akibat dari paham kekuasaan Thomas
Hobbes ialah adanya tindakan represif yang tiada hentinya, kekerasaan, otoriter
dan sebagainya. Kondisi seperti ini yang menodai makna kekuasaan itu sendiri.
Mungkin berangkat dari keprihatinan seperti ini, Foucault akhirnya mengkritisi
makna kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan lebih menunjuk pada mekanisme dan
strategi dalam mengatur hidup bersama. Dalam arti ini kekuasan mengasalkan diri
dari berbagai sumber dan memiliki keterkaitan satu terhadap yang lain. Adanya
pengakuan struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur
itulah kekuasaan mengasalkan dirinya. Dari gagasan kekuasaan sebagai suatu

strategi dan mekanisme; ada beberapa metodologis kekuasaan yang menjadi fokus
perhatian Foucault.

25

Pertama; peran hukum dan aturan-aturan. Foucault mengatakan “kuasa
tidak selalu bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa
bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi”. Segala aturan dan hukum pertama
tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan pemimpin atau institusi tertentu tetapi
sebagai sintesis dari kekuasaan setiap orang yang lahir karena perjanjian. Segala
aturan yang lahir karena konsensus bersama memiliki kekuatan yang lebih dalam
hidup bersama. Kedua, tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme
kekuasaan ialah membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin
diri agar menjadi pribadi yang produktif. Setiap orang diberi ruang untuk berpikir,
berkembang dan dengan bebas menyampaikan aspirasinya demi kemajuan
bersama.
Ketiga, Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana.
Kesadaran akan kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya
dari para pemimpin tetapi atas kerjasama setiap pribadi dan lembaga yang
memiliki orientasi produktif. Misalnya, dengan adanya ruang komunikasi antara

pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana dialogis dan mengarah
kepada cita-cita bersama. Keempat, kekuasaan yang mengarah ke atas. Dalam arti
ini, kekuasaan setiap orang dan lembaga dikomunikasikan sedemikian rupa
sehingga membentuk konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari proses
komunikasi kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama atau
dalam bahasa, Thomas Kuhn, adanya paradigma bersama. Kelima, kombinasi
antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap anggota dalam masyarakat kurang lebih
memiliki impian yang sama yaitu adanya pengakuan hal setiap orang yang terarah
pada kesejahteraan bersama. Harapan ini harus berjalan bersama dengan

26

kekuasaan bersama. Segala hukum dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan
tersebut.
Dari kelima point di atas, kita melihat dengan jelas adanya perbedaan yang
sangat jelas antara gagasan Foucault dengan para pemikir abad modern. Misalnya,
Machiavelli yang melihat kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus
bersama tetapi oleh penguasa. Machievelli mengatakan “Orientasi kekuasaan
tertuju kepada apa yang dinamakan penguasa artinya merujuk pada pemimpin
negara. Dimana dikatakan bahwa seorang penguasa harus bisa membentuk opini

umum dalam mengendalikan tingkah laku warganya. Dalam arti ini, penguasa
memiliki kuasa mutlak untuk mengatur negara. Tidak ada aturan dan hukun yang
muncul sebagai akibat perjanjian setiap subyek. Dengan membandingkan kedua
gagasan ini, kita dapat melihat bahwa arti kekuasaan dan jiwa yang menggerakan
hidup bersama memiliki titik tolak yang berbeda. Bagi Foucault menjunjung
tinggi pada proses kreatif dan kritis setiap orang dalam membangun ideologi
bersama. (http://id.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault, 9 mei 2010).
Pemikiran Foucault memberi sumbangan besar dalam alam pemikiran
filsafat khususnya dalam menelitik gagasan tentang kekuasaan. Kekuasaan
pertama-tama bukan merujuk pada kepemilikan tetapi lebih dilihat sebagai
mekanisme dan strategi kekuasaan. Itu berarti Foucault melihat kekuasaan bukan
semata konsep tetapi kekuasaan itu ada di mana-mana dan dipraktikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan menunjukkan keterkaitan antara pengetahuan dan
kekuasaan, pemikiran Foucault memberikan pengaruh bagi pemikir-pemikir
sejamannya seperti Roland Barthes, Louis Althusser. Karena ketajamannya
berpikir, Foucault kemudian digolongkan sebagai filosof strukturalisme. Tetapi

27

Foucault sendiri menepis tuduhan tersebut, dia ingin terus mengalami proses

kreatif dan kritis dalam berpikir sehingga pemikirannya bisa berubah sesuai
dengan fakta dan kebenaran yang berkata-kata. Dengan gagasan-gagasannya,
Foucault telah memberi sumbangan besar bagi dunia dalam memahami pengertian
kekuasaan yang lebih orisinal. (http://id.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault, 9
mei 2010).
Menurut Foucault bahwa kekuasaan itu harus dipraktekkan seperti pada
kasus di atas, tetapi harus disadari bahwa tidak semua kekuasaan bisa dipraktikan
dalam kehidupan bersama yang heterogen. Selain itu, terminologi kekuasaan
sebagai kepemilikan tetapi di aktualkan kepada pemimpin, konstitusi dan aparatur
negara hanya saja kepemilikan semacam itu di lihat sebagai sintesis dari
kekuasaan setiap subyek atau lembaga yang ada dalam negara tersebut. Paham
demokrasi lebih memilih gagasan demikian untuk menghindari penyelewengan
yang terjadi oleh karena ulah para koruptor, pemberontak yang mensalahartikan
kekuasaan.
Gagasan tentang kekuasaan sebagai mekanisme dan strategis serentak
menguburkan sistem pemerintahan negara tirani dan otoriter karena di dalam
kekuasaan sebagai mekanisme, kekuasaan pertama-tama ada dalam diri setiap
subyek dan lembaga-lembaga yang terbentuk. Kekuasaan negara dilihat sebagai
sintesis dari kekuasaan setiap subyek tersebut. Ada slogan terkenal, pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam arti negara hak, kreatifitas,

tuntutan kesejahteraan hidup setiap subyek dijunjung tinggi.
Bangsa Indonesia sendiri sedang dalam proses menata strategi dan
mekanisme kekuasaan yang lebih solid setelah sekian lama secara tidak sadar

28

dimanipulasi oleh kekuasaan dalam arti “milik”. Kasus korupsi, terorisme,
perdagangan perempuan perlahan-lahan mulai dibasmi. Sistem pemerintah dan
perundang-undangan mulai dibenah, otonimitas dan kreatifitas setiap lembaga
pemerintahan baik sosial, ekonomi mapun politik mulai digalakkan. Inilah tandatanda kesadaran akan penting kekuasaan sebagai suatu strategi dan mekanisme.
Akhirnya, tema tentang kekuasaan menurut Foucault tidak pernah selesai
untuk dikatakan karena aktualisasi pemahaman ini sedemikian efektif dan
membawa setiap masyarakat kepada kemajuan yang tiada hentinya. Sistem
pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila adanya saling percaya dan
kerjasama antara subyek dalam masyarakat.


Cara-Cara Mempertahankan Kekuasaan adalah sebagai berikut :
-


Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama,
terutama dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa,
dimana

peraturan-peraturan

tersebut

akan

digantikan

dengan

peraturan-peraturan baru yang akan menguntungkan penguasa,
keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu ada pergantian
kekuasaan dari seseorang penguasa kepada penguasa lain (yang baru).
-

Mengada


kan

sistem-sistem

kepercayaan

yang

akan

dapat

memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya, yang meliputi
agama, ideologi, dan seterusnya.
-

Pelaksanaan administrasi konsolidasi horizontal dan vertikal.

29



Sifat dan Hakikat Kekuasaan
1. Simetris
-

Hubungan persahabatan

-

Hubungan sehari-hari

-

Hubungan yang bersifat ambivalen

-

Pertentangan antara mereka yang sejajar kedudukannya.

2. Asimetris
-

Popularitas

-

Peniruan

-

Mengikuti Perintah

-

Tunduk pada pemimpin formal atau informal

-

Tunduk pada seorang ahli

-

Pertentangan antara mereka yang sejajar kedudukannya.

-

Hubungan sehari-hari

2.2 Konsep dan Fungsi Nilai Tanah
Tanah dapat diartikan sebagai benda milik umum maupun pribadi , tanah
merupakan persediaan yang permanen dan kurang lebih bersifat baku. Nilai
harganya lebih bergantung pada ketentuan bersama atau ketentuan sosial daripada
ketentuan tindakan dan kebiasaan seseorang. Tanah juga dapat diartikan bisa
berarti investasi, sumber keuntungan ekonomis, dan lain sebagainya. Tanah dapat
memberikan warna tersendiri bagi struktur masyarakat di kebanyakan negara
dunia ketiga, termasuk pada negara Indonesia yang merupakan negara agraris.
Tanah juga merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia yang

30

telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber
penghidupan maupun sebagai tempat berpijak manusia dalam kelangsungan
kehidupan sehari-hari. Tanah sangat erat hubungannya dengan manusia, karena
tanah mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia dalam
rangka menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Tanah dapat diartikan dalam beberapa pengertian, diantaranya adalah
sebagai berikut (Dalam Rizky : 2004) :


Tanah mempunyai hubungan erat dengan rumah, bangunan, atau tanaman
yang berdiri di atasnya, sehingga pada hakekatnya benda-benda yang
berdiri di atasnya merupakan kesatuan dari tanah tersebut. (Menurut
Kurdinanto 2004).



Tanah

tidak

bergerak

sehingga

secara

fisik

tidak

dapat

diserahkan/dipindah atau dibawa. Selain itu, tanah juga bersifat abadi.
Tanah tidak dapat dirubah dalam tingkatnya sebagai bagian dari bumi itu
sendiri, juga tidak dapat ditambah/dikurangi sebagaimana halnya dengan
bentuk-bentuk kekayaan yang lainnya. (S. Rowton Simpson).


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian tanah adalah
permukaan bumi atau lapisan bumi atas sekali, keadaan bumi di suatu
tempat, permukaan bumi yang diberi batas, bahan-bahan dari bumi, bumi
sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal, dan sebagainya).



Dalam hukum, tanah dalam arti yuridis adalah sebagai suatu pengertian
yang telah diberikan batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria

31

(UUPA), dengan demikian pengertian tanah dalam arti yuridis adalah
permukaan bumi.


Tanah merupakan sumber daya alam yang memiliki peranan dalam
berbagai segi kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat dan ruang untuk
hidup dan berusaha, untuk mendukung vegetasi alam yang manfaatnya
sangat diperlukan oleh manusia dan sebagai wadah bahan mineral, logam,
bahan bakar fosil dan sebagainya untuk keperluan manusia (Soemadi 1994
dalam Ely 2006).

Manusia selalu berlomba-lomba untuk menguasai dan memiliki bidang
tanah yang diinginkan, oleh karena itu tidak mengherankan kalau setiap manusia
yang ingin memiliki dan menguasainya menimbulkan masalah-masalah tanah,
seperti dalam pendayagunaan tanah. Manusia dalam mendayagunakan tanah tidak
seimbang dengan keadaan tanah, hal ini dapat memicu terjadinya perselisihan
antara sesama manusia seperti perebutan hak, timbulnya masalah kerusakankerusakan tanah dan gangguan terhadap kelestariannya. Dalam rangka mengatur
dan menertibkan masalah pertanahan telah dikeluarkan berbagai peraturan hukum
pertanahan yang merupakan pelaksanaan dari UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) sebagai Hukum Tanah Nasional.

Maka secara umum UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dapat
membedakan tanah menjadi:

32

1. Tanah Hak
Tanah hak adalah tanah yang telah dibebani sesuatu hak diatasnya, tanah hak
juga dikuasai oleh negara tetapi penggunaannya tidak langsung sebab ada hak
pihak tertentu diatasnya.
2. Tanah Negara
Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai negara. Langsung dikuasai
artinya tidak ada pihak lain diatas tanah itu, tanah itu disebut juga tanah negara
bebas.
Landasan dasar bagi pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menyusun
politik hukum serta kebijaksanaan dibidang pertanahan telah tertuang dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan

untuk

sebesar-besarnya

kemakmuran

rakyat”.

Berdasarkan

ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) makna dikuasai
oleh negara bukan berarti bahwa tanah tersebut harus dimiliki secara keseluruhan
oleh negara, tetapi pengertian dikuasai itu memberi wewenang kepada negara
sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk tingkatan yang tertinggi
untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

33

Hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan hak-hak atas tanah seperti
Hak Milik dan Hak Guna Bangunan diatur dalam Bagian III dan Bagian V UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam
kaitan ini, Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) hanya memberikan hak kepada
pemegangnya memanfaatkan tanah untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang
bukan miliknya, karena kepemilikan tanah tersebut dipegang oleh Negara, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir,
SHGB dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Bila lewat dari waktu yang
ditentukan maka hak atas tanah tersebut hapus karena hukum dan tanahnya
sepenuhnya dikuasai langsung oleh negara.
Berbeda dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), pemegang haknya
mempunyai kepemilikan yang penuh atas tanah dan merupakan hak turun temurun
yang terkuat dari hak-hak atas tanah lainnya yang dikenal dalam UUPA. Hanya
warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Sedangkan,
perusahaan-perusahaan swasta, seperti misalnya developer atau perusahaan
pengembang perumahan tidak dapat mempunyai tanah dengan status Hak Milik.
Mereka hanya diperbolehkan sebagai pemegang SHGB. Dalam hal developer
membeli tanah penduduk yang semula berstatus tanah-tanah hak milik, maka
dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN)
akan menurunkan status tanah-tanah yang dimiliki developer tersebut dari
penduduk, menjadi berstatus Hak Guna Bangunan, yaitu hanya bangunan–
bangunan yang dapat dimiliki oleh developer. Sedangkan, tanahnya menjadi milik
negara, sehingga sertifikat yang dikeluarkan adalah dalam bentuk SHGB. Hal ini
diatur secara tegas dalam Pasal 36 UUPA.

34

Namun, pemegang SHGB tidak perlu khawatir karena berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6
Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal,
tanah dengan status SHGB dapat diubah menjadi tanah bersertifikat Hak Milik,
dengan cara melakukan pengurusan pada kantor BPN setempat di wilayah tanah
tersebut berada. Pengurusan dapat dilakukan oleh si pemegang SHGB yang
berkewarganegaraan Indonesia ataupun menggunakan jasa Notaris/PPAT. Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut, yaitu:

1.

SHGB asli

2.

copy IMB

3.

copy SPPT PBB tahun terakhir

4.

identitas diri

5.

Surat Pernyataan tidak memiliki tanah lebih dari 5 (lima) bidang yang
luasnya kurang dari 5000 (lima ribu) meter persegi,

6.

membayar uang pemasukan kepada Negara

(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1322/prosedur-mengurus-hakmilik-atas-tanah-untuk-rumah-tinggal)

35

2.3 Spekulasi Tanah
Spekulasi tanah dapat diartikan sebagai suatu teknik investasi membeli
tanah unimproved dengan harapan pertumbuhan cepat dalam harga. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka spekulasi tanah juga dapat diartikan
sebagai suatu resiko pembelian suatu harta yang harganya diperkirakan naik pada
saat yang akan datang dan dapat dijual kembali untuk memperoleh laba, dan
sebaliknya penjualan suatu barang yang diperkirakan harganya akan turun pada
saat yang akan datang dan dapat dibeli kembali dengan harga yang lebih murah
untuk memperoleh keuntungan, biasanya hal ini digunakan dalam pasar uang,
saham, komoditas, dan lain sebagainya.
Dalam proses spekulasi tanah ini, suatu elit kota pemilik tanah akan
berusaha menjangkau daerah pinggiran kota dan bahkan akan lebih jauh lagi.
Tetapi tidak hanya terdapat peningkatan pemilikan tanah dan bertambahnya
penguasaan kota atas pedalaman saja, tetapi sementara itu berlangsung pula suatu
perubahan budaya di bidang norma-norma hukum yang mengatur soal pemilikan
tanah. Proses perluasan kota dan meluasnya secara fisik wilayah-wilayah yang
dibangun, selama ini telah dianalisa dalam pengertian meningkatnya pembagian
tanah di daerah pinggiran kota dan perluasan wilayah kekuasaan elit kota pemilik
tanah.
Di masa permulaan meningkatnya spekulasi, transaksi tanah cenderung
lebih merupakan lembaga, yaitu antara para spekulator daripada sambungan saja
antara spekulan dan penduduk kota. Pelembagaan spekulasi tanah mengurangi
kemampuan para pendatang miskin membeli tanah untuk tempat tinggal di
pinggiran desa dan kota, karena daerah-daerah ini cenderung menjadi objek dari

36

adanya spekulasi tanah, dan bukannya objek perluasan serta pembangunan kota.
Hal ini antara lain dapat mengakibatkan berlebihnya kepadatan penduduk di pusat
kota, dan terbentangnya daerah-daerah miskin dengan kelas pekerja (Sargent,
1972: 368). Akibat lain dari adanya spekulasi tanah dan peningkatan harga tanah
mungkin adalah adanya perluasan daerah liar, yaitu dimana norma-norma
pemilikan tanah sudah tidak lagi ditegakkan.
Pada sekarang ini masih saja kita lihat bahwa masih banyaknya spekulasi
tanah dalam pembangunan CBD (Central Business District) di Kota Medan.
Pembangunan yang terjadi di pusat-pusat kota kebanyakannya mengalami
peningkatan dalam hal spekulasi tanah. Hal ini dapat memperkaya elit kota
pemilik tanah, juga dapat meningkatkan pemilikan tanah di sekitar kota, dan juga
dapat menimbulkan ketergantungan sosial dan ekonomi yang semakin hari
semakin besar dari daerah-daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Sehingga
spekulasi tanah yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya konflik dalam hal lahan tempat tinggal ataupun tanah.
Yang mana konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang
mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis. Salah
satu kegiatan dalam program strategis Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Republik Indonesia lainnya adalah percepatan penyelesaian kasus pertanahan.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional)
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan, maka kasus pertanahan adalah sengketa, konflik
dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional

37

Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai
peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional. Konflik
adalah gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat dalam kehidupan
setiap masyarakat, dan karena itu tidak mungkin dilenyapkan (Nasikun, 2003).
Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan setiap
masyarakat, ia hanya akan lenyap bersama lenyapnya masyarakat itu sendiri. Oleh
karena itu, konflik yang terjadi hanya dapat dikendalikan agar tidak terwujud
dalam bentuk kekerasan atau violence (Nasikun, 2003).
Biasanya tipologi kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan
atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh
Badan Pertanahan Nasional, maka secara garis besar dikelompokkan menjadi :
1. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak
atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak
oleh pihak tertentu.
2. Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai
letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah
ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun
yang masih dalam proses penetapan batas.
3. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari
warisan.

38

4. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang
diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
5. Sertifikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki
sertipikat hak atas tanah lebih dari satu.
6. Sertifikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan
sertipikat hak atas tanah pengganti.
7. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta
Jual Beli palsu.
8. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang
teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
berdasarkan penunjukan batas yang salah.
9. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai
letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena
terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.
10. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan
subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak
atas tanah tertentu

39

Konflik sosial biasanya terjadi karena adanya satu pihak atau kelompok
yang merasa kepentingan atau haknya dirampas dan diambil oleh pihak atau
kelompok lain dengan cara- cara yang tidak adil. Yang oleh Karl Marx di kenal
dengan surplus value (Susetiawan, 2000 dan Johnson, 1986). Konflik ini dapat
terjadi secara horizontal maupun vertikal (Nasikun, 2003). Konflik horizontal
terjadi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, yang dibedakan
oleh agama, suku, bangsa, dan lain-lain. Sedangkan konflik vertikal biasanya
terjadi antara suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau lapisan bawah
dengan lapisan atas atau penguasa (Scott, 2000 dan Sangaji, 2000).
Dilihat dari asal usul terjadinya konflik, Soekanto (1986) menyatakan
bahwa konflik mencakup suatu proses dimana bermula dari pertentangan hak atau
kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya di mana salah satu pihak
berusaha menghancurkan pihak yang lain. Sementara K. Sanderson (1995) lebih
menekankan pada bentuk-bentuk konflik: “konflik” adalah pertentangan
kepentingan antara individu dan kalangan berbagai individu dan kelompok sosial,
baik yang mungkin terlihat secara gamblang ataupun tidak, baik yang mungkin
pecah menjadi pertentangan terbuka atau kekerasan fisik ataupun tidak”.
Baik Smelser (Muchtar, Usman dan Trijono, 2001) maupun Dahrendorf
(Johnson, 1986) menyatakan bahwa konflik sosial terjadi antara dua kelompok
yang berbeda kepentingan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik yang
ada. Satu kelompok berusaha untuk mengendalikan kelompok yang lainnya.
Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain dengan berbagai
cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang terjadi adalah
dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok

40

lainnya. Kelompok yang menguasai disebut sebagai superdinat dan kelompok
yang dik uasai sebagai subordinat.
Pembangunan yang terjadi di pusat-pusat kota kebanyakannya mengalami
meningkatnya spekulasi tanah. Hal ini dapat memperkaya elit kota pemilik tanah,
juga dapat meningkatkan pemilikan tanah di sekitar kota, dan juga dapat
menimbulkan ketergantungan sosial dan ekonomi yang semakin hari semakin
besar dari daerah-daerah pedesaan ke daerah perkotaan.

2.4 CBD (Central Business District)
Dalam pemerintahan yang mengatur keuangannya sendiri, kota-kota di
Indonesia banyak melakukan pembenahan, salah satu caranya yaitu dengan
memacu pertumbuhan bisnis di Indonesia khususnya di Kota Medan dengan
pembangunan kawasan pusat bisnis atau Central Business District (CBD), sebagai
pusat kawasan perdagangan dan jasa. CBD merupakan simbol kekuatan
kehidupan sosial ekonomi suatu kota yang menunjukan tingkat intensitas interaksi
antara orang dan aktivitasnya pada suatu kawasan tertentu yang relatif kecil, tetapi
dapat menciptakan suatu kondisi yang dinamis. Pada umumnya CBD terletak
pada pusat kota yang merupakan kawasan tertua dari pusat kota.
Sebagai wadah kegiatan ekonomi CBD berkaitan dengan fungsi-fungsi
sebagai berikut :




Tempat pelaksanaan transaksi atau lingkungan kerja.
Pasar tenaga kerja, sejumlah besar tenaga kerja dengan keahlian yang
berbeda-beda dapat dijumpai di pusat keuangan pasar kredit.

41



Fasilitas perbelanjaan skala tinggi merupakan lain dari prasarana yang
tersedia di pusat kota.

CBD (Central Business District) atau disebut juga dengan DPK (Daerah
Pusat Kegiatan), adalah bagian kecil dari kota yang merupakan pusat dari segala
kegiatan politik, sosial budaya, ekonomi, dan teknologi. CBD (Central Business
District) memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari bagian kota yang lain.
Adapun ciri-ciri tersebut adalah :








Adanya pusat perdagangan, terutama sektor retail.
Banyak kantor-kantor institusi perkotaan.
Tidak dijumpai adanya industri berat/manufaktur.
Permukiman jarang, dan kalau pun ada merupakan permukiman mewah
(apartemen) sehingga populasinya jarang.



Ditandai adanya zonasi vertikal, yaitu banyak bangunan bertingkat yang
memiliki diferensiasi fungsi.



Adanya pedestrian, yaitu suatu zona yang dikhususkan untuk pejalan kaki
karena sering terjadi kemacetan lalu lintas. Tetapi zona ini baru ada di
negara-negara maju.



Sering terjadi masalah penggusuran untuk redevelopment/renovasi
bangunan.

42

CBD (Central Business District) ini terdiri dari dua bagian yaitu :
1. Bagian Paling Inti (The Heart of The Area)
Dapat juga disebut RBD (Retail Business District). Dominasi
kegiatan pada bagian ini adalah department stores, smartshops, office
building, clubs, banks, hotels theatres and headquarters of economic,
social, civic, and political life. Pada kota-kota yang kecil fungsi-fungsi
tersebut berbaur satu sama lain, namun untuk kota besar fungsi-fungsi
tersebut menunjukkan diferensiasi yang nyata.
2. Bagian di Luarnya yang Disebut WBD (Wholesale Business District)
Daerah ini ditempati bangunan yang digunakan untuk kegiatan
ekonomi dalam jumlah

yang besar seperti

pasar, pergudangan,

(warehouse), gedung penyimpanan barang supaya tahan lebih lama
(storage building).

43

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25