Nella Kredibilitas kebijakan fiskal terh

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

DAMPAK KREDIBILITAS KEBIJAKAN FISKAL PADA INFLASI DI INDONESIA

Nella Damayanti Hutauruk
Haryo Kuncoro
K. Dianta Sebayang
Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
Nella_damayanti@yahoo.com

Abstract
This research show us how credibility of the fiscal policy have an impact with inflation,
with quarterly data from BPS and central bank of Indonesia in 2001 until 2013. With Eviews, the
data shows the result that fiscal policy still lack credible in the inflation situation because only a
little variable that are significant for explaining the inflation. For example, variable Z1 that are
show us data when deficit rule policy and Z3 which use data with dicre policy are not have a
good credibility to explain inflation in significant, this happens because Indonesia is lack of
disicpiline with the deficit rule that they used. But for variable Z2AR that stand for debt rule and
Z4 for Openness policy are variable that significant for explaining inflation with the government
debt and foreign investment and also export with the overseas countries.
Keyword : fiscal rules, deficit rule, debt rule, discretonary rule, openness, inflasi

JEL Classification : E31 , H62, H63
1. Pendahuluan
Dalam tiga dekade terakhir, minat terhadap kebijakan ekonomi makro yang berdasarkan atas
aturan (rule-based policy) makin mengalami peningkatan. Diarea ekonomi moneter, sejak
diperkenalkan di Selandia Baru, Kanada, Inggris, Swedia, dan Australia pada awal tahun 1990-an,
penargetan inflasi (inflation targeting) telah diangkat di banyak negara. Sampai saat ini, tercatat
32 negara di seluruh dunia yang mengangkat penargetan inflasi dalam kerangka kerja kebijakan
moneter (Scott, 2010; Gill, 2011).
Sejalan dengan kecenderungan di atas, di bidang ekonomi publik, aturan fiskal (fiscal
rule) mendapat popularitas yang cukup besar di berbagai belahan dunia. Dalam pengelolaan
stabilitas makroekonomi, kebijakan fiskal akan berinteraksi dengan kebijakan moneter. Awalnya
kebijakan fiscal ini didorong oleh defisit anggaran yang tinggi di tahun 1970-an, dimana saat ini
sudah sebanyak 87 negara memberlakukan aturan fiskal (IMF, 2013), yang memiliki satu tujuan,
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 1

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

yaitu berusaha untuk memberikan kredibilitas terhadap pelaksanaan kebijakan ekonomi makro

dengan menghapus intervensi yang bersifat diskresioner (Kopits, 2001).
Tiga fungsi utama dalam kebijakan ini, yaitu fungsi alokasi anggaran untuk tujuan
pembangunan, fungsi distribusi pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan kesejahteraan
rakyat, dan fungsi stabilisasi ekonomi makro di dalam upaya peningkatan partumbuhan ekonomi.
Sebagai stabilisator ekonomi, APBN merupakan instrument kebijakan fiskal, yang diupayakan
dapat berfungsi secara optimal untuk meredam siklus bisnis atau fluktuasi ekonomi, atau dengan
kata lain bersifat kontrasiklis (countercyclical). Hal tersebut berarti bahwa dalam kondisi
perekonomian yang lesu, pengeluaran pemerintah yang bersifat autonomous, khususnya belanja
barang dan jasa serta belanja modal, dapat memberikan stimulasi kepada perekonomian untuk
tumbuh lebih tinggi. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian yang tengah memanas akibat terlalu
tingginya permintaan agregat, kebijakan fiskal dapat didayagunakan untuk mendinginkan roda
kegiatan ekonomi, dengan menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumber-sumber
perekonomian melalui dampak kontraksi APBN.
Krisis keuangan global yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 memberikan tantangan
tersendiri terhadap aturan kebijakan tersebut. Fakta menunjukkan bahwa banyak negara
berkembang dan negara maju mengalami defisit anggaran yang tinggi dan utang publik tidak
berkelanjutan. Posisi fiskal yang tidak berkelanjutan memiliki dampak negatif pada tingkat bunga
pasar sehingga dampak berikutnya adalah kenaikan ekspektasi inflasi dan, pada akhirnya
berpengaruh kepada tingkat inflasi itu sendiri (Mankiw, 2013).
Cara membiayai defisit anggaran yang tinggi salah satunya dengan melakukan

pencetakan uang, namun pencetakan uang pada tingkat yang melebihi permintaan pada tingkat
harga saat ini menciptakan kelebihan saldo kas (uang beredar) di tangan masyarakat yang dapat
menimbulkan tingkat inflasi tinggi. Upaya masyarakat untuk mengurangi kepemilikan atas
kelebihan uang tunai tersebut pada akhirnya akan menaikkan tingkat harga secara keseluruhan.
Tentu saja, sebab dan akibatnya tidak selalu langsung terjadi pada saat itu. Misalnya, sebuah
peningkatan stok uang riil dapat mengurangi tingkat suku bunga, terutama dalam ekonomi rendah
inflasi. Sehingga pada saat ini di Indonesia cara membiayai defisit anggaran melalui pencetakan

Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 2

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

uang tidak di perkenankan hal ini menjadi suatu pertanyaan apakah kebijakan fiskal melalui
pencetakan uang memiliki kredibilitas dalam stabilisasi inflasi atau tidak.
Dalam undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, presiden selaku kepala
pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan Negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintah. Pada setiap awal tahun anggaran, dalam pidatonya presiden menyampaikan Nota
Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk satu tahun

yang akan datang di depan sidang MPR/DPR. Salah satu materi penting yang disampaikan adalah
besaran belanja pegawai pemerintah dalam RAPBN, karena menyangkut hajat hidup para Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di Indonesia Gaji PNS ini merupakan representasi dari belanja pegawai
pemerintah yang tertuang didalam RAPBN. Namun, tujuan utama pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan PNS dengan menaikkan gajinya terkadang menjadi bumerang.
kenaikan gaji pegawai membawa dampak announcement effect dimana harga-harga barang sudah
merangkak duluan sebelum kenaikan gaji diumumkan. Kenaikan harga-harga tersebut terkadang
lebih besar daripada rencana kenaikan gaji pegawai. Kenaikan seluruh harga barang atau yang
disebut sebagai inflasi ini merupakan salah satu indikator dalam ekonomi makro yang dapat di
kendalikan dengan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Sebagai contoh peningkatan angka inflasi di Amerika Serikat sebesar empat persen selama
beberapa tahun terakhir mengalami krisis, misalnya, secara signifikan membantu proses
pengurangan (deleveraging) utang publik maupun swasta (Rogoff, 2008). Di sisi lain, kenaikan
angka inflasi memaksa kebijakan moneter merevisi tingkat inflasi yang ditargetkan yang diikuti
oleh kenaikan suku bunga. Hal demikian akan menetralisasi kemungkinan dampak kontraktif dari
konsolidasi fiskal. Banyak literatur ekonomi Klasik menyarankan bahwa inflasi adalah masalah
moneter sehingga penanggulangannya ditempuh melalui kebijakan moneter. Dalam kasus krisis
finansial global, kebijakan moneter dengan menetapkan suku bunga rendah (zero lower bound)
ternyata tidak menyelesaikan masalah inflasi (Christiano et al., 2011).
Secara teori, penargetan inflasi mensyaratkan adanya sistem kurs bebas. Dalam perekonomian

dengan pergerakan modal yang bebas, gejolak kurs menjadi harga yang harus dibayar (Sek dan
Ooi, 2012). Melihat kenyataan tersebut, masalah inflasi akan lebih banyak dibebankan pada
kebijakan fiskal. Namun demikian, dalam lingkungan inflasi tinggi, belanja fiskal meningkatkan
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 3

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

ekspektasi inflasi dan biaya pinjaman, yang mempengaruhi efektivitas kebijakan fiskal. Dalam
ketidakpastian tersebut, efek kepercayaan cenderung menjadi lebih penting dan bagaimana agen
dalam merespon akan sangat tergantung pada kebijakan pemerintah dan kredibilitasnya (Tang et
al., 2010). Namun kredibilitas kebijakan fiscal di Indonesia masih kurang, bahkan yang
berpengaruh besar dalam inflasi adalah kebijakan moneter/inflation targeting yang di buat oleh
bank Indonesia.
Bedasarkan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk meneliti dampak
kredibilitas kebijakan fiscal terhadap inflasi. Penelitian ini sangat penting untuk di teliti karena
untuk mengetahui sejauh mana kredibilitas kebijakan fiscal mempengaruhi masalah dalam makro
ekonomi dalam hal ini adalah inflasi. Dengan tujuan mengamati tingkat kredibilitas itu yang
mencakup sisi deficit anggaran, serta mengidentifikasi sejauh mana kredibilitas kebijakan fiskal

berpengaruh pada inflasi

2.

Tinjauan Kepustakaan
Dalam setting perekonomian secara umum, fungsi bank sentral adalah untuk

mengendalikan tingkat harga. Hal ini terkait dengan adanya teori quantity of money oleh Milton
Friedman yang menyatakan bahwa “inflation is always and everywhere a monetary
phenomenon.” Namun demikian pandangan tradisional ini mendapat tantangan dari fiskal theory
of the price level (FTPL) yang dikembangkan oleh Leeper (1991), (Woodford (1994,1995), dan
Sims (1994), yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam
penentuan harga melalui budget constraint yang terkait dengan pencetakan uang, utang
pemerintah, APBN dan perpajakan. Para pelaku ekonomi pada dasarnya akan memberikan
respons yang positif terhadap kebijakan yang kredibel dan konsisten, Kredibilitas yang
diharapkan ini berupa kebijakan yang mampu memberikan kualitas, kapabilitas, atau kekuatan
untuk menimbulkan kepercayaan. Tavares (2004) mengatakan bahwa kredibilitas berarti
kegigihan, keberhasilan penyesuaian dalam kebijakan fiskal. Menurut definisi kredibilitas yang
dikemukakan oleh Baxter (1985) dan Hauner et al. (2007), kredibilitas adalah ide yang tinggal
dalam pelaku pasar tentang seberapa dekat hasil kebijakan akan kebijakan yang diumumkan. Hal

ini dapat mengajarkan kita sesuatu tentang kredibilitas kebijakan fiskal.
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 4

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

Dampak kebijakan fiskal dikelompokan menjadi dua yaitu dampak terhadap sisi
permintaan (demand side effect) dan dampak terhadap sisi penawaran (supply side effect).
Dampak kebijakan fiskal terhadap sisi penawaran mempunyai implikasi jangka panjang.
Kebijakan fiskal yang berorientasi untuk meningkatkan supply side dapat mengatasi masalah
keterbatasan kapasitas produksi dan karena itu dampaknya lebih bersifat jangka panjang. Dampak
kebijakan fiskal terhadap perekonomian melalui pendekatan permintaan agregat diterangkan
melalui pendekatan Keynes, dimana terdapat peran pemerintah di dalam pengendalian
perekonomian suatu negara.
Teori permintaan dan penawaran agregat Keynes dapat menjelaskan terjadinya inflasi.
Inflasi yang disebabkan oleh kelebihan permintaan terhadap penawaran barang dan jasa atau
disebut dengan demand pull inflation. Inflasi ini terjadi karena naiknya tingkat pendapatan
masyarakat sehingga cenderung membeli barang dan jasa lebih banyak dari yang biasanya mereka
konsumsi. Kebijakan fiskal ekspansif, kenaikan belanja negara menstimulus peningkatan

konsumsi negara sedangkan disatu sisi kenaikan kapasitas produksi perusahaan terbatas dalam
menghasilkan barang dan jasa sehingga menyebabkan kenaikan harga barang-barang.
Teori kedua yang menjelaskan hubungan instrumen fiskal dengan inflasi adalah cosh
push inflation, yaitu kenaikan harga barang-barang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi
akibat adanya kenaikan dari faktor-faktor produksi itu sendiri. Kebijakan fiskal seperti kenaikan
tarif pajak tinggi sangat membebankan kegiatan produksi, akibatnya dunia usaha mengurangi
output produksinya.Berkurangnya penawaran sedangkan permintaan tetap pada akhirnya menjadi
dasar terciptanya inflasi. Sujai (2011) menjelaskan kebijakan pengurangan pajak merupakan
kebijakan fiskal yang efektif untuk jangka pendek dalam menstabilkan harga komoditas pangan.
Pentingnya volatilitas inflasi telah menjadi aspek penting dalam literatur yang membahas
mengenai inflasi. Di dunia akademis secara umum berlaku pandangan bahwa inflasi dan volatilitas
inflasi yang tinggi berdampak buruk bagi pertumbuhan. Judson & Orphanides (1999) menemukan
bukti bahwa volatilitas inflasi, yang dihitung dengan standar deviasi dari laju inflasi (intra year),
berkontribusi signifikan dalam menurunkan pertumbuhan ekonomi di studi panel yang
dilakukannya. Temuan ini mendukung teori Friedman (1977) bahwa dampak negatif dari inflasi
terhadap pertumbuhan berasal dari volatilitas inflasi. Temuan serupa diperoleh Al-Marhubi (1998)
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 5


Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

yang juga menemukan adanya hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan volatilitas
inflasi berdasarkan penelitian bahwa dari 78 negara.
Berdasarkan Pendekatan empiris langsung bahwa tingkat defisit pemerintah dan utang
pemerintah dapat berpengaruh terhadap kinerja inflasi Sebagai contoh Fischer, Sahay dan Vegh
(2002) menemukan hubungan yang kuat dalam sampel di beberapa Negara antara defisit fiskal dan
inflasi yang tinggi. Demikian pula, Cottarelli et al. (1998) menemukan dampak yang kuat dari
defisit fiskal pada inflasi di negara-negara di mana pasar efek yang tidak kuat dikembangkan.
Penafsiran ini didukung oleh temuan Catao dan Terrones (2001) yang melaporkan hubungan
positif defisit inflasi yang kuat untuk panel di 23 negara emerging market yang menggunakan
estimasi panel dinamis. Serta point utama menurut Sargent and Wallace (1981) hubungan antara
deficit fiskal dan inflasi adalah dinamis. Hingga pada akhirnya selama sepuluh negara aksesi
Arratibel et al. (2002) memberikan bukti dampak yang signifikan dari defisit fiskal terhadap
inflasi. Namun bedasarkan literature diatas belum ada studi yang mengkaji tentang kredibilitas
kebijakan fiskal dan hal ini dapat membawa kita kembali ke masalah kredibilitas kebijakan fiskal
tersebut. Pada bagian berikutnya, akan diuji secara empiris apakah kredibilitas kebijakan fiskal
melalui anggaran defisit, anggaran utang, diskresi dan keterbukaan secara signifikan berpengaruh
pada inflasi.


3. Metode Penelitian
Sebagaimana dicatat oleh Naert dan Goeminne (2011) menilai kualitas perkiraan dapat
dilakukan dengan menggunakan banyak teknik. Untuk hasil awal pertama kami memilih untuk
memberikan indikasi kualitatif akurasi perkiraan dengan menghadirkan beberapa statistik
deskriptif dan Metode ini memiliki keuntungan yaitu mudah. Dalam tulisan ini, kita
mengasumsikan bahwa proyeksi anggaran harus dianggap sebagai pengumuman dari target
politik. Analog ke Annett (2006) dan Pina dan Venes (2011) kredibilitas kebijakan fiskal (Et)
diukur sebagai selisih antara saldo yang sebenarnya anggaran pada tahun t (At), dan target yang
terbaru untuk keseimbangan anggaran untuk tahun t dalam t-1 (Pt), atau dengan demikian:
Et = At – Pt

Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

(1)

Page 6

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

Nilai positif Et berarti nilai realisasi fiskal lebih tinggi dari pada nilai anggaran yang

direncanakan, dan akan menghasilkan surplus yang lebih besar atau defisit yang lebih kecil. Nilai
yang negatif mengindikasikan hasil yang dicapai pemerintah lebih kecil dari proyeksi hal ini dapat
disebabkan karena pemerintah terlalu optimistis, underestimasi terhadap defisit, atau overestimasi
terhadap surplus.
Dengan logika yang sama atas (1), indeks kredibilitas kebijakan fiskal (CI) dapat dibangun
sebagai berikut:
CI =

x 100 %

(2)

Berdasarkan formula (2) ini, akurasi kebijakan fiskal ditunjukkan dengan skor 100 persen.
Jika realisasi anggaran yang kurang dari apa yang telah ditargetkan sebelumnya, indeks
kredibilitas akan menunjukkan kurang dari 100 persen. Sementara itu, jika realisasi anggaran
melebihi angka proyeksi, maka indeks akan lebih besar dari 100 persen.
Metode di atas hanya berdasarkan pada anggaran yang direncanakan yang biasanya sudah
ditentukan sebelumnya pada tahun sebelumnya. Pada kenyataannya, sebenarnya ada banyak
penyesuaian pada periode berjalan seperti Anggaran Perubahan pada tengah tahun yang sedang
berjalan. Untuk menampung penyesuaian ini, perkiraan anggaran yang sebenarnya didekati
dengan menggunakan variabel kunci (X) ekonomi makro dalam hal ini adalah inflasi.
Sebuah model regresi yang menghubungkan dua variabel diatas perlu dibangun. Mengikuti
metodologi yang digunakan oleh Akitoby et al. (2006), diasumsikan ada hubungan jangka panjang
antara besaran fiskal aktual (F) dan variabel kunci ekonomi makro (X) dan yang paling penting
kebijakan fiskal yang berada di tangan pemerintah adalah konsumsi dari pemerintah. Dan hal ini
akan bermanfaat untuk melihat bagaimana perubahan dampak konsumsi pemerintah dalam hasil
akhir perekonomian. Setelah metodologi yang digunakan oleh Akitoby et al. (2006), kami kira ada
keadaan stabil yang berhubungan antara pengeluaran pemerintah dan output yang diberikan oleh:
(3)
G merupakan pengeluaran pemerintah dan Y berarti output. Persamaan (3) juga dapat
ditulis dalam bentuk perbedaan logaritmik-linear dari:
(4)
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 7

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

di mana ∆ adalah operator perbedaan, a = log (A) dan
diestimasi, dan

adalah parameter yang akan

adalah istilah gangguan sistematis.

Setelah Fatas dan Mihov (2003; 2006) serta Afonso et al. (2010), persamaan (4) dapat
ditambahkan oleh variabel tertinggal untuk mengakomodasi persistensi
(5)
dimana P menunjukkan tingkat persistensi dan (1-P) adalah koefisien penyesuaian parsial.
Derivasi diatas menjelaskan asumsi yang mendasari bahwa ada hubungan elastisitas antara
keduanya, sedangkan penyimpangan sementara yang random ( ). Koefisien

juga merupakan

fungsi reaksi kebijakan fiskal sehubungan dengan siklus bisnis.
Mengikuti Aizenman dan Marion (1991), efek tak terduga dari kebijakan fiskal dapat
dihitung dengan pas proses autoregressive orde pertama dan P yang terbaik diperkirakan dengan
menghilangkan variabel output sehingga:
(6)
defisit anggaran adalah perbedaan antara pengeluaran pemerintah akhir penerimaan
pemerintah. Hal ini berlaku untuk aktual (subscript A) dan (subscript P) anggaran yang
direncanakan:
DefA = RevA - ExpA

(7)

(8)
DefP = Revp - Expp
Singkatnya, kebijakan fiskal dikatakan kredibel jika ada sedikit perbedaan antara kebijakan
fiskal aktual dan diproyeksikan (nært, 2011). Oleh karena itu, rasio defisit sebenarnya defisit
direncanakan mewakili kredibilitas kebijakan defisit.
Z1 = DefA : DefP

(9)

Ketepatan kebijakan aturan defisit ditunjukkan dengan skor 1. Jika realisasi defisit
anggaran pada periode saat ini kurang dari apa yang telah ditargetkan sebelumnya, indeks defisit
anggaran kredibilitas akan menunjukkan kurang dari 1. Sedangkan jika defisit anggaran realisasi
melebihi angka proyeksi, indeks akan lebih dari 1.
Ide yang sama diterapkan untuk utang karena utang merupakan warisan defisit masa lalu.
Sayangnya, tidak aliran atau stok utang yang direncanakan untuk setiap tahun di Indonesia tidak
tersedia. Oleh karena itu, kami memperkirakan tingkat utang diproyeksikan jumlah menggunakan
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 8

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

prosedur penyaring HP. Perbedaan antara stok utang aktual dan tingkat stok utang diproyeksikan
menunjukkan kredibilitas kebijakan aturan utang.
Z2 = DebtA : (DebtP)HP

(10)

Akhirnya, kita dapat membangun inflasi model yang merupakan fungsi dari aturan defisit
kredibilitas (Z1), aturan utang kredibilitas (Z2), diskresi kredibilitas (Z3) dan variabel kontrol
lainnya (X):
Inflasi =

+

1Z1+

2Z2

+

3

Z3 +

(11)

Faktor X meliputi keterbukaan ekonomi, variabel dummy untuk mengakomodasi
perubahan dalam aturan fiskal (DFR) sejak tahun 2004, dan krisis keuangan global (DGFR) pada
tahun 2008. Tingkat keterbukaan ekonomi dihitung dari persamaan berikut:
Openness = (EX + IM) : Y

(12)

di mana EX adalah ekspor dan IM adalah nilai impor masing-masing.
Inflasi = a + bZ1 + cZ2 + dZ3+ eZ4

(13a)

Inflasi = a + bZ1 + cZ2AR+ dZ3+eZ4

(13b)

Dimana a adalah sebagai konstanta, Z1 adalah deficit rule, Z2 adalah debt rule Z2 yang di
gunakan untuk penelitian ini adalah Z2ar dan Z3 adalah sebagai deskresi dan Z4 adalah openness.
Periode sampel yang dipilih untuk penelitian ini dari tahun 2001 (Q1) hingga 2013 (Q4)
mengikuti pemberlakuan aturan fiskal. Seluruh data dinyatakan dalam logaritma. Fatas dan Mihov
(2003; 2007) menyatakan bahwa ke empat variabel di bawah ini adalah variabel makro minimal
yang dibutuhkan untuk mempelajari dampak kebijakan fiskal.
Data bersumber dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pusat Statistik.
Pada umumnya data telah tersedia dalam triwulanan. Data yang belum tersedia akan dilakukan
interpolasi linier. Kesemua variabel akan ditransformasi ke dalam nilai riil dengan memasukkan
harga sebagai deflatornya. Seluruh proses estimasi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak
komputer tepatnya dalam aplikasi eviews.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 9

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

Kita dapat melihat dampak dari kredibilitas kebijakan fiskal pada inflasi dengan table
statistic deskriptif sebagai berikut :
Desriptive Statistic

Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis

Y
1.880588
1.580000
9.970000
0.160000
1.600078
2.648596
13.82211

Z1
0.004122
0.004100
0.041000
-0.072300
0.015752
-1.993809
12.72973

Z2AR
1.000118
0.999400
1.044900
0.931500
0.020867
-0.193639
4.251928

Z3
1.96E-06
0.054200
0.309900
-0.573000
0.228436
-1.046265
3.440701

Z4
0.549155
0.548200
0.781000
0.437500
0.067421
0.661136
4.118211

Jarque-Bera
Probability

308.5038
0.000000

234.9587
0.000000

3.649280
0.161276

9.717410
0.007761

6.372451
0.041328

Sum
Sum Sq. Dev.

95.91000
128.0125

0.210200
0.012406

51.00600
0.021771

0.000100
2.609140

28.00690
0.227282

Observations

51

51

51

51

51

Tabel 1
Dari data yang telah di eksekusi dengan menggunakan eviews tersebut diketahui bahwa
y adalah inflasi, z1 adalah deficit rule/ anggaran defisit, sedangkan untuk Z2 debt rule/anggaran
hutang pada model Z2AR, kemudian untuk Z3 adalah diskresi dan untuk Z4 sendiri adalah
openness/keterbukaan. Tabel 1 menyajikan statistic dasar meliputi mean, median, dan nilai-nilai
ekstrim (maksimum dan minimum) untuk variabel yang menarik. Nilai rata-rata inflasi dengan
model kebijkan fiskal (Z1, Z2AR, Z3, dan Z4) tidak dekat satu dengan yang lain. Setiap nilai
median cukup dekat dengan rata-rata masing-masing (khususnya Z1, Z2AR, dan Z4). Kedekatan
median dengan rata-rata nilai awal menunjukkan bahwa semua variabel kepentingan terdistribusi
normal. Distribusi simetris dari lima variabel dikonfirmasi oleh nilai moderat kemiringan.
Skewness mengukur distribusi simetris atau normal yang nilainya diperkirakan menjadi nol.
Nilai-nilai kemiringan untuk variabel Z2 dan Z4 yang sedikit lebih rendah dari 0 menunjukkan
bahwa seri miring ke kiri. Sebaliknya, nilai kemiringan untuk suku bunga, Z2AR, dan Openness
yang lebih besar dari 0 menujukkan seri yang sesuai miring ke kenan, ekor atas distribusi lebih
lebih tebal dari ekor yang lebih rendah. Selain itu, krebijakan defisit rule (Z1) memiliki nilai
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 10

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

terbesar dari kurtosis. Kurtosiss mengukur peakedness kerataan distribusi dengan nilai yang
diharapkan dari 3,0. Sebagian besar nilai kurtosis dari seri lebih dari 3. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Inflasi, Z2 dan openness memiliki nilai kurtosis melebihi 3 menyiratkan
ekor distribusi yang lebih tebal dari normal (yaitu leptokurtic). Hasil perhitungan standar deviasi
disajikan pada Gambar 1
12
10
8
6
4
2
0
-2
01

02

03

04

05

06
Y
Z3

07

08
Z1
Z4

09

10

11

12

13

Z2AR

Dari gambar diatas dapat di lihat bahwa yang dapat mengatasi inflasi yaitu Z2 (debt rule)
GAMBAR 1

dan Z4 (openness) dimana dalam grafik Z2 dan Z4 tersebut melintasi garis y atau inflasi,
berbeda dengan Z1 (deficit rule) dan Z3 (diskresi) yang mana dalam grafik terlihat bahwa
keduanya tidak melintasi garis y atau inflasi melainkan berada di bawah garis tersebut. Untuk
melihat lebih jelasnya mengenai dampak dari kredibilitas kebijakan fiskal tersebut terhadap
inflasi dapat di lihat dari tabel 2 di bawah ini.
Dependent Variable: Y
Method: Least Squares
Date: 04/22/15 Time: 09:44
Sample: 2001Q2 2013Q4
Included observations: 51
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C

29.37536

10.81911

2.715138

0.0093

Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 11

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

Z1
Z2AR
Z3
Z4
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)

-20.71115
-31.40444
-0.440981
7.281601
0.309550
0.249511
1.386160
88.38617
-86.38806
5.155813
0.001620

13.09292
10.25674
0.871051
3.037838

-1.581859
-3.061834
-0.506263
2.396968

Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat

0.1205
0.0037
0.6151
0.0207
1.880588
1.600078
3.583845
3.773240
3.656219
1.976741

Tabel 2
Y = 29.3753598738 - 20.7111527903*X1 - 31.404440751*X2 - 0.440981087628*X5 + 7.28160131252*X6

Dengan melihat tabel diatas diketahui bahwa Fhitung sebesar 5,15 sementara Ftabel
sebesar 2,03. jadi Fhitung > Ftabel atau F dinyatakan lolos maka Ho di terima. Kemudian nilai
R2 menunjukkan nilai 0,30 yang berarti model z1,z2,z3,dan z4 hanya dapat menjelaskan
pengaruhnya terhadap inflasi sebesar 30% saja, sekitar 70% dijelaskan dari variabel lain.
Melihat model kebijakan Z1 terhadap inflasi dimana nilai probabilitasnya 0,12 ini
menunjukkan bahwa deficit rule tidak significant menjelaskan inflasi. Karena nilai
probabilitasnya melebihi 0,05 (probabilitas > 0,05), jadi kenaikan 1% deficit rule tidak diikuti
oleh kenaikan inflasi, Deficit rule yang dimaksud ini adalah dalam APBN. Hal ini berbeda
dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa deficit rule signifikan menjelaskan
inflasi, penelitian yang ada sebelumnya yang di tuliskan oleh Luis A.V, Cata˜o_, dan Marco
E.Terrones yang berjudul “Fiscal deficits and inflation”. Luis A, Cata dan marco menyatakan
bahwa deficit rule sangat signifikan menjelaskan inflasi pada saat itu di washington, Dalam
teorinya Sargent dan Wallace (1981) mengatakan bahwa hubungan antara defisit fiskal dan
inflasi itu dynamic. Namun berbeda dengan penelitian ini yang mana data menyatakan bahwa di
Indonesia deficit rule tidak signifikan menjelaskan inflasi, hal tersebut dapat disebabkan karena
Indonesia tidak disiplin terhadap deficit rule tersebut. Dapat dilihat dari pengelolaan APBN yang
kurang baik, dimana pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan yang ada dan Anggaran
pengeluaran yang di rencanakan dalam APBN tersebut tidak sesuai dengan realitas anggaran
yang di keluarkan, selain itu juga banyak anggaran pengeluaran yang telah dikeluarkan tersebut
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 12

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

belum sepenuhnya terserap / dibelanjakan sesuai dengan tujuan melainkan adanya
ketidakdisiplinan dalam birokrasi seperti adanya korupsi dalam anggaran pengeluaran contohnya
saja dapat kita lihat bahwa adanya manipulasi anggaran yang ditetapkan oleh DPRD sementara
dalam realisasi belanja tersebut lebih kecil dari anggaran atau bahkan tidak di terapkan sesuai
dengan yang ada dalam anggaran, bukan hanya memanipulasi anggaran melainkan pendapatan /
penerimaan dari pajak juga di korupsi oleh individu tersebut. Jadi sesuai dengan data di atas
maka kredibilitas dari deficit rule dalam kebijakan fiskal ini kurang mampu mengatasi inflasi di
Indonesia.
Kemudian Z2AR yaitu aturan utang dimana bedasarkan data dijelaskan bahwa nilai
probabilitas Z2AR tidak melebihi 0,05 (probabilitas < 0,05) yang berarti significant, berarti
kenaikan 1% dari Z2AR dapat menjelaskan kenaikan inflasi. Dari hasil pengujian dengan
menggunakan eviews tersebut menunjukkan bahwa variable yang signifikan mempengaruhi
inflasi adalah Z2AR atau debt rule. Bedasarkan data diatas maka aturan utang ini sangat
berpengaruh terhadap tingkat inflasi, dimana banyak Negara berkembang mengalami tingkat
inflasi yang sedang hingga mencapai inflasi tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya utang
terhadap luar negeri. Dalam pengelolaan APBN yang kurang tepat akan mengakibatkan deficit
anggaran sehingga untuk mendongkrak kembali perekonomian, pemerintah melakukan pinjaman
terhadap luar negeri dan untuk membayar utang tersebut pemerintah menaikan harga barang dan
jasa, khususnya harga barang pangan dan harga energy seperti bahan bakar minyak. Dengan
kenaikan harga barang-barang ini akan dapat menyebabkan kenaikan inflasi, Jadi setiap kenaikan
1% dari utang pemerintah ini akan berpengaruh terhadap kenaikan inflasi di Indonesia. Sama hal
nya dalam penelitian sebelumnya yaitu bedasarkan Pendekatan empiris langsung bahwa tingkat
utang pemerintah dapat berpengaruh terhadap kinerja inflasi seperti Leeper (1991), (Woodford
(1994,1995), dan Sims (1994), yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal memegang peranan
penting dalam penentuan harga utang pemerintah. Jadi bedasarkan data dapat dikatakan bahwa
kebijakan fiskal dalam debt rule ini memiliki kredibilitas yang baik untuk menangani inflasi.
Kemudian Model Z3 yaitu diskresi yang mana tidak significant menjelaskan inflasi
karena nilai probabilitasnya melebihi 5% yaitu sebesar 0,6 dan angka tersebut sangat tinggi
dibandingkan dengan deficit rule. Dalam hal ini pemerintah dapat melakukan diskresi kebijakan
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 13

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

fiskal dengan mengurangi pengeluaran pemerintah, Z3 ini dinyatakan tidak signifikan
menjelaskan inflasi karena pengeluaran pemerintah masih sulit untuk di tekan. Dalam penelitian
ini memiliki persamaan dengan penelitian sebelumnya yang di tuliskan oleh Ndari Surjaningsih,
G. A. Diah Utari dan Budi Trisnanto yang diberi judul “Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap
Output Dan Inflasi” dimana penelitian oleh Ndari Surjaningsih Dkk ini didasari oleh penelitian
dari Hemming, R., et. Al yang mengatakan hal yang sama bahwa di negara berkembang besaran
fiskal multipliers dikelompok negara ini bersifat inkonklusif, dan Penelitian oleh Haque dan
Montiel (1991) menyimpulkan bahwa dampak kenaikan pengeluaran pemerintah dalam jangka
pendek dan menengah, justru bersifat kontraktif. Diskresi dalam penelitian ini belum mampu
mengatasi inflasi, karena Indonesia belum menggunakan countercyclicality dalam kebijakan
fiskal, dimana dalam countercyclicality ini Artinya, dalam kondisi perekonomian sedang
mengalami ekspansi, maka pengeluaran pemerintah seharusnya berkurang atau penerimaan pajak
yang bertambah dengan menaikan tariff pajak. Sebaliknya, jika perekonomian sedang mengalami
kontraksi, kebijakan fiskal seharusnya ekspansif melalui peningkatan belanja pemerintah baik
belanja pemerintah dalam konsumtif, investatif dan transfer. Namun Karakter kebijakan fiskal
Indonesia sesungguhnya lebih cenderung prosiklikal. Hal ini yang mendasari bahwa Z3 atau
diskresi dalam kebijakan fiskal tidak signifikan menjelaskan tentang inflasi. Berarti dapat
dikatakan dari data tersebut bahwa kredibilitas kebijakan fiskal dalam diskresi ini belum mampu
mengatasi inflasi yang ada.
Kemudian yang terakhir adalah Z4 atau openness dimana tingkat openness juga memiliki
dampak terhadap inflasi meskipun dampaknya tidak sebesar debt rule, yaitu dengan nilai
probabilitas openness yang kurang dari 5% atau 0,05 tepatnya pada angka 0,02. Z4 yang
merupakan openness dalam penelitian ini salah satunya adalah impor yang dapat menyebabkan
terjadinya inflasi, dimana Negara Indonesia merupakan Negara impor barang khususnya
elektronik, dengan impor tersebut akan menambah jumlah barang dengan harga yang murah
sehingga banyaknya jumlah uang beredar dipasar, contohnya saja dengan adanya barang
elektronik dari Cina seperti Hp. Selain itu openness ini dapat meningkatkan inflasi karena ketika
harga barang dunia mengalami kenaikan maka Indonesia juga akan terkena dampaknya,
contohnya saja harga Minyak yang menyebabkan kenaikan padda harga BBM. Namun untuk
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 14

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

mengurangi inflasi tersebut dengan openness kita dapat meningatkan ekspor ekspor sehingga
akan berdampak pada kenaikan devisa Negara atau menjadi penambahan di sisi penerimaan dan
diharapkan mampu menstabilkan harga barang dan jasa , sehingga tingkat inflasi juga tidak
tinggi dan dengan begitu karena inflasi yang rendah maka akan memperbanyak investasi asing
ke Indonesia. Jadi kerja sama dengan luar negeri dalam ekspor diharapkan akan menambah
supply devisa negara dan dengan begitu akan dapat mengurangi inflasi di Indonesia dan dapat
menambah investasi asing. Oleh karena itulah keterbukaan significan menjelaskan tingkat inflasi.
Namun penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa adanya
hubungan negative antara inflasi dengan keterbukaan, hal ini di katakan dalam penelitian
sebelumnya yang di teliti oleh Luis A.V, Cata˜o_, dan Marco E.Terrones yang berjudul “Fiscal
deficits and inflation”. Dan penelitian yang di teliti oleh Philipp C. Rother Dengan Judul “Fiscal
Policy And Inflation Volatility” yang mengatakan bahwa tingkat tinggi keterbukaan bisa
menaikkan volatilitas output, Sementara volatilitas inflasi diperkirakan akan meningkat dengan
volatilitas nilai tukar nominal, volatilitas harga luar negeri dan keterbukaan ekonomi. Pergerakan
nilai tukar nominal akan menggantikan perubahan harga, Dengan demikian penelitian
sebelumnya mengatakan bahwa tingkat keterbukaan cenderung hanya menaikkan khusus
volatilitas harga non pangan dan harga non energy.

5. KESIMPULAN
Bedasarkan data yang telah di eksekusi dengan eviews maka Variabel z1 atau deficit rule
tidak dapat menjelaskan inflasi secara signifikan. Hal ini di karenakan kurangnya kedisiplinan
Indonesia dalam deficit rule . Sementara untuk Z2AR atau debt rule, dinyatakan signifikan
menjelaskan tentang inflasi, dimana kita dapat melihat bahwa utang pemerintah khususnya
Indonesia dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi, karena untuk membayar utang tersebut
pemerintah harus menaikan harga barang dan jasa khususnya dalam harga pangan dan energy.
Kemudian untuk Z3 diskresi juga belum dapat signifikan terhadap inflasi, hal ini dikarenakan
pemerintah belum mampu menekan pengeluaran khususnya untuk konsumsi pegawai negeri.
Dan yang terakhir adalah Z4 atau openness, yang signifikan menyatakan hubungan dengan

Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 15

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

inflasi, dimana dengan adanya keterbukaan dalam hal investasi asing atau ekspor mampu
mengurangi atau bahkan menambah kenaikan inflasi sesuai dengan nilai tukar mata uang asing.
Dengan demikian dapat dikatakan dari berbagai kebijakan fiskal seperti deficit rule, debt
rule, diskresi dan keterbukaan yang kredibel dengan keadaan inflasi adalah hanya anggaran
hutang / debt rule dan keterbukaan/openness, sementara dalam anggaran deficit/deficit rule dan
diskresi belum memiliki kredibilitas kecil terhadap inflasi. Sedangkan dinegara lain yang lebih di
kembangkan adalah anggaran deficit dari pada anggaran hutang, karena dengan adanya anggaran
hutang ini membuat pemerintah kecenderungan untuk hutang kepada luar negeri. Jadi kebijakan
fiskal belum sepenuhnya memiliki kredibilitas terhadap inflasi.
Menurut saya pemerintah Indonesia harus lebih meningatkan kredibilitas dalam deficit
rule dan diskresi terhadap inflasi yang ada, dengan cara membuat anggaran pendapatan dan
belanja Negara sebaik mungkin dan untuk penggunaan APBN itu sendiri harus di gunakan
dengan tepat sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh Negara demi kesejahteraan rakyat. Namun
tidak meninggalkan faktor keterbukaan/openness untuk membantu devisa Negara dan
pemerintah sebaiknya melakukan hutang kepada luar negeri ketika kebutuhan sudah sangat
mendesak dan tidak ada pilihan lain selain hutang.

DAFTAR PUSTAKA

Catao, Luis. dan Terrones, M. (2001) .Fiscal Deficit and Inflation : A New Look At the emerging
Market Evidence. International Monetary Fund, Pp 10-16.

Catao, Luis. dan E, Marco Terrones. (2004). Fiscal Deficit and inflation. 529–554

C, Philipp Rother. (2004). Fiscal Policy and Inflation Volatility. ECB Working, Paper No 317.

Izak, Vratislav. (2005). Fiscal Deficits And Inflation In The Transition Countries. Prague
Economic Papers, 1
Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 16

Proceedings Book Seminar Dan Konferensi Nasional 2015: ISBN 978-602-17102-3-4

Kuncoro, Haryo. (2014). Does The Credible Fiscal Policy Reduce Its Volatility? The Case Of
Indonesia. Journal of Applied Economic Sciences, Volume IX Issue 3(29)
Kumar, Aviral T. dan Tiwari,A.P. (2011). Fiscal Deficit and Inflation: An empirical analysis for
India. Year XIV, no. 42.

Maipita, Indra. (2012). Simulasi Pengeluaran Pemerintah Dan Dampaknya Terhadap
Kinerjaekonomi Makro: Suatu Model Computable General Equilibrium. QE Journal,
Vol.01 - No.02 - 1
Mayer, Eric., R, Sebastian., Schaeler, Johann.(2012). Government Debt, Ination Dynamics and
the Transmission of Fiscal Policy Shocks. University of Innsbruck Working Papers in
Economics and Statistics.

Simarmata, Djamester. (2007). Fiscal Sustainability in Indonesia. Indonesian Economic Journal,
ISSN 0854-1507
Surjaningsih, N., G.A, Diah, U., Trisnanto, B. (2012). The Impact of Fiscal Policy On The
Output and Inflation. Bulletin of Monetary Economics and Banking, pp 367-391.
www.bi.go.id
www.bps.go.id

Gedung RA Kartini Lantai 9 Kampus A, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Page 17