Analisis kebijakan publik pada undang-undang pornografi komisi VIII DPR RI dalam perspektif model rasional komprehensif

(1)

MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Saraja Ilmu Komunikasi (S.Kom.I)

Disusun Oleh:

DWI ILHAMI

NIM. 107051002563

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1432 H


(2)

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK PADA UNDANG-UNDANG

PORNOGRAFI KOMISI VIII DPR RI DALAM PERSPEKTIF

MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Saraja Ilmu Komunikasi (S.Kom.I)

Disusun Oleh: DWI ILHAMI NIM. 107051002563

Dibawah Bimbingan

DR. Fatmawati, M.Ag NIP. 19760917 200112 2 002

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1432 H


(3)

Skripsi berjudul ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK PADA UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI KOMISI VIII DPR RI DALAM PERSPEKTIF MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada

tanggal 14 Juni 2011. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 14 Juni 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Jumroni, M.Si Umi Musyaroffah, MA

NIP. 1963 0515 1992031006 NIP. 19710816 199703 2002

Penguji I Penguji II

Gun Gun Heryanto, M.Si DR. Suhaimi, M.Si

NIP. 19760812 200501 1 005 NIP. 19670906 199403 1002

Pembimbing

DR. Fatmawati, M.Ag NIP. 19760917 200112 2 002


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Mei 2011


(5)

i Dwi Ilhami

Analisis Kebijakan Publik pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI dalam Perspektif Model Rasional Komprehensif

DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) sebagai lembaga pembuat kebijakan sering sekali melalaikan aspek substansi dari pada aspek kepentingan. Maka, tidak jarang kebijakan yang dibuat dalam hal ini undang-undang banyak menuai kontroversi. Komunikasi kebijakan sebagai bagian dari kegiatan politik yang dilakukan justru tidak efektif, hal ini terbukti dengan kontroversi RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang berubah menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi pada tahun 2008. Konflik pro dan kontra tidak dapat terelakan, massa dari kedua kubu sama-sama menyuarakan aksinya secara eksplosif, tetapi kemudian DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tetap melanjutkan pembahasan undang-undang tersebut meskipun kontroversi terjadi. Undang-Undang Pornografi tetap disahkan dan kontroversi tidak berhenti pula hingga kini.

Kemudian timbul pertanyaan bahwa bagaimana sebenarnya komunikasi politik memandang Undang-Undang Pornografi ini sebagai studi kebijakan publik? dan bagaimana pula langkah-langkah yang dilakukan dalam komunikasi kebijakan melalui Model Rasional Komprehensif?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, dapat dijelaskan bahwa komunikasi kebijakan yang dilakukan mencakup opini kebijakan sebagai proses penggambaran penyajian cara-cara alternatif dari opini rakyat, massa, dan kelompok yang diperhitungkan oleh pemegang jabatan dalam membentuk kebijakan pemerintah. Langkah-langkah alternatif yang ditempuh secara “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang dinyatakan dan “komprehensif” dalam mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konseptualisasi dari Komunikasi Politik, Kebijakan Publik, Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif), dan Hubungan Opini Publik dan Kebijakan Publik dalam menganalisis Undang-Undang Pornografi sebagai studi komunikasi kebijakan publik.

Metodologi penelitian ini adalah metodologi kualitatif deskriptif dimana dalam menjawab permasalahan penelitian dikaji secara mendalam dan menyeluruh mengenai obyek yang diteliti, guna menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penelitian dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan. Dalam penelitian mengenai proses kebijakan publik ini diperlukan pengungkapan informasi secara mendalam.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses tarik ulur komunikasi politik yang dijalankan terdapat kompromi dan negosiasi dalam mencapai kesepakatan, tarik ulur kepentingan yang berbeda tidak mudah untuk dipersatukan dalam sebuah kebijakan publik. Maka, dapat diketahui pula langkah-langkah dalam Model Rasional Komprehensif dalam pembentukan Undang-Undang Pornografi berupa penetapan masalah, tujuan, nilai, sasaran, alternatif kebijakan, dan pengorbanan serta keuntungan dari Undang-Undang Pornografi serta pesan-pesan yang terorganisasi dari dukungan massa, media massa, partai politik, kelompok kepentingan, dan sesama pejabat.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

مــــــــيِحَّلا ِنــــــــَمْحَّلا ِهــــــــَّلا ِمــــــــْسِب

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada suri tauladan umat Rasulullah SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang tetap istiqomah di jalan Allah dan Rasul-Nya hingga yaumil akhir nanti. Skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan Publik pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI dalam Perspektif Model Rasional Komprehensif” ini dibuat untuk memenuhi gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan, sehingga dapat terwujud karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa mendatang.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua saya (Keluarga Besar Ustadz Drs. Sudarsono dan Budi Suswanti), tempat limpahan kasih sayang yang rela mengerahkan segala kekuatan demi meraih cita-cita anak-anaknya. Sekaligus atas doa, motivasi, dan bantuannya baik secara moril maupun materil.

2. Bapak Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Komarudin Hidayat.

3. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. H. Arief Subhan, M.A


(7)

iii

5. Ibu Fatmawati Amir, Dosen Pembimbing atas bimbingan, nasehat serta semangatnya kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Maaf ya bu atas waktu yang sedikit tersita...

6. Bapak Ahmad Zainuddin Lc (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI), atas waktu dan informasinya dalam merampungkan skripsi ini. Terima kasih pak telah menyita waktunya.

7. Pak Adi (Staf Ahli Bapak Ahmad Zainuddin) atas doa, semangat dan bantuannya dalam mendapatkan informasi yang saya butuhkan.

8. Alm. Ibu Yoyoh Yusroh (Komisi I DPR RI) atas waktu dan informasinya bu...semangat dan perjuangan ibu tidak akan pernah padam untuk wanita dan anak-anak.

9. Dosen-dosen pada mata kuliah yang ada di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, atas bimbingan dan pengetahuannya.

10. Kakak Siti Rubi Adni beserta Kak Asnawi yang selalu memberikan dukungan dan semangat pantang menyerah.

11. Adik-adik saya Muhammad Arba Syuhada dan Mutiah Marsitoh Sudaryanti yang mau mengalah untuk kakak tercinta.

12. Muhammad Hasbi Istaufa, keponakan ku imut dan lucu yang memberikan energi baru dalam kehidupan keluarga besar kami.

13. Sahabat sekaligus kakak terbaik Kak Handri dan Kak Stefanus Pratama M (Nenes), atas motivasi, semangat doa nya selalu untuk adik mu ini.

14. Teman-teman KPI 7 B, atas kebersamaan, dukungan serta perjuangannya selama ini.


(8)

iv

15. Para staf dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas dedikasi dan bantuannya terima kasih.

16. Semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini dengan tidak mengurangi rasa hormat, tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah membalas kebaikannya dan semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menjadikan kajian ini menambah khasanah ilmu kita. Amin.

Jakarta, Mei 2011


(9)

v

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR GAMBAR ...viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

1. Subjek dan Objek Penelitian ... 8

2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 8

3. Teknik Pengumpulan Data ... 8

4. Teknik Analisis Data ... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Kerangka Teori ...13

H. Pedoman Penulisan ... 14

I. Sistematika Penulisan ...14

BAB II TINJAUAN TEORITIS ... 16

A. Komunikasi Politik ...16


(10)

vi

C. Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif) ...29

D. Opini Publik dan Kebijakan Publik ...34

BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI ………....…...39

A. Sejarah DPR RI ...39

B. Visi dan Misi DPR RI ...41

C. Keanggotaan DPR RI Periode 2009-2014 ...43

D. Tugas dan Wewenang DPR RI ...48

E. Hak dan Kewajiban DPR RI ...50

F. Masa Sidang dan Masa Reses DPR RI ...52

G. Mekanisme Kerja DPR RI ...57

H. Pengambilan Keputusan DPR RI ...58

I. Pembuatan Undang-Undang (UU) ...59

J. Komisi VIII DPR RI ...67

K. Harapan terhadap Fungsi Legislasi DPR RI ...69

BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN ……….….. 71

A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Pornografi ...71

B. Undang-undang Pornografi sebagai Kebijakan Publik Komisi VIII DPR RI ...74

C. Implementasi Model Rasional Komprehensif ...81

D. Perkembangan dan Penerapan Undang-undang Pornografi ...94

BAB V PENUTUP ……….……99

A. Kesimpulan ...99


(11)

vii

Tabel 2.1 Klasifikasi Aktor Politik beserta Wewenangnya ...26

Tabel 3.1 Struktur Kepemimpinan ...43

Tabel 3.2 Jumlah Kursi DPR Berdasarkan Fraksi ...44

Tabel 3.3 Alat Kelengkapan DPR ...45

Tabel 3.4 Pengusul RUU Pada Periode 2004-2009 ...60

Tabel 3.5 Tingkat Pembahasan RUU dari Pemerintah ...62

Tabel 3.6 Tingkat Pembahasan RUU dari Inisiatif DPR ...65

Tabel 3.7 Keanggotaan Komisi VIII ...68

Tabel 3.8 Sekretariat Komisi VIII ...68

Tabel 3.9 Laporan Kerja Komisi VIII ...69


(12)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Opini Publik Menjadi Sebuah Kebijakan ...36

Gambar 2.2 Proses Kebijakan sebagai Input dan Output ...37

Gambar 3.1 Skema Persidangan DPR ...53

Gambar 3.2 Prosedur Pendelegasian Aspirasi Masyarkat ...57


(13)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjalani kehidupan sebagai warga negara tidak terlepas dari segala aturan yang merupakan kewenangan dari pihak yang memiliki otoritas. Output dari kewenangan tersebut adalah sebuah kebijakan yang harus dijalankan oleh masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas membuat suatu kebijakan sangatlah penting jika kebijakan tersebut melihat kepentingan masyarakat umum dengan baik.

Aturan perundang-undangan dibuat guna untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakatnya dalam kehidupan bernegara. Merumuskan sebuah undang-undang harus memperhatikan proses yang berlangsung, banyaknya kepentingan dalam sebuah proses politik juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan agar undang-undang tersebut mencakup berbagai aspek kepentingan secara proposional.

Undang-undang sebagai produk dari suatu kebijakan publik dirasa perlu untuk diteliti karena melihat selama ini setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah terkadang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Hasil dari kebijakan publik itu sendiri nantinya akan dirasakan pula oleh masyarakat sebagai sasaran suatu kebijakan. Tema mengenai kebijakan publik ini diambil


(14)

2

dikarenakan studi mengenai kebijakan publik ini adalah kebijakan publik memiliki sasarannya yaitu masyarakat.

Hal mengenai kebijakan publik merasa perlu untuk diteliti karena melihat selama ini setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah terkadang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Hasil dari kebijakan publik itu sendiri nantinya akan dirasakan pula oleh masyarakat sebagai sasaran suatu kebijakan. Alasan lain mengapa tema mengenai kebijakan publik ini diambil dikarenakan studi mengenai kebijakan publik ini adalah kebijakan publik memiliki sasarannya yaitu masyarakat.

Bagi negara-negara yang menganut pemerintahan demokrasi seperti Indonesia, kebijakan yang diambil oleh pemerintah berupa undang-undang untuk kepentingan umum selalu memperhatikan suara dan kehendak rakyat. Umumnya kebijakan publik berkaitan erat dengan pendapat-pendapat yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian yang tinggi dan juga aktif secara langsung dalam aktivitas politik dibanding dengan orang-orang yang tidak punya perhatian atau bersikap pasif.

Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Dalam hal ini DPR RI sebagai lembaga otoritas membuat suatu kebijakan. Fungsi DPR RI sebagai lembaga suprastuktur dari sebuah kegiatan politik merupakan tanggung jawab yang diberikan melalui perwakilan rakyat yang mereka emban.

Lembaga negara seperti DPR RI melaksanakan fungsi legislatifnya, selalu menjadi sorotan ketika membuat suatu undang-undang. DPR RI saat ini sedang


(15)

mengalami posisi yang menjadi pusat perhatian dari seluruh masyarakat. Kebijakan publik yang sering sekali mereka buat selalu mengundang kontroversi baik yang menolak atau pun menerima kebijakan tersebut, hal ini dapat terlihat dari opini publik yang berkembang dimasyarakat. Baik diketahui melalui media massa yang meliput suara publik maupun lembaga-lembaga non pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat yang menyampaikan aspirasinya kepada DPR RI.

Fungsi DPR selaku badan legislatif lebih mengarah sebagai evaluator daripada pihak yang melakukan monitoring. Padahal sebagaimana disebutkan tadi, kegiatan monitoring merupakan langkah awal untuk mencapai proses evaluasi yang sesuai dan mengarah pada tujuan kebijakan. Tampaknya di beberapa lembaga tinggi negara di Indonesia, kegiatan monitoring belum dilakukan secara khusus, namun disamakan dengan proses pengumpulan data yang dilakukan sebagai bagian dari proses evaluasi kebijakan.

DPR RI sebagai lembaga negara yang memiliki wewenang membuat suatu kebijakan, sering sekali langkah yang diambil cenderung tidak memihak kepada rakyat, sebagai salah satu contohnya ketika DPR RI Komisi VIII yang menangani bidang sosial, agama dan pemberdayaan perempuan membuat Undang-Undang Pornografi yang sempat menjadi polemik dan kontroversi dari berbagai pihak maupun kepentingan, maka hal tersebut merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mampu merumuskan suatu kebijakan yang mana harus mendengarkan pendapat dari publik yang berpolemik tersebut dan hal ini merupakan fenomena yang layak untuk diteliti.


(16)

4

Komisi VIII dalam hal ini merupakan bagian dari DPR RI yang juga aktif membuat kebijakan terutama kebijakan dalam bidang sosial, agama, maupun yang paling sensitif yaitu bidang pemberdayaan perempuan. Komisi VIII inilah yang bidangnya secara khusus dekat dengan kehidupan masyarakat, terutama kalangan masyarakat bawah yang sarat dengan berbagai konflik kehidupan yang menjadi sasaran tepat dalam sebuah kebijakan publik yang diatur oleh lembaga otoritas. Dalam Komisi VIII bidang sosial merupakan aspek yang sering menjadi polemik, dikarenakan peraturan perundang-undangan bidang sosial memiliki dampak yang paling besar dalam merumuskan kebijakan.

Salah satu produk dari kebijakan publik Komisi VIII DPR RI adalah Undang-undang Pornografi yang pada awalnya Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008, setelah melalui proses yang cukup panjang dan alot. Pada mulanya undang-undang ini sudah diajukan semenjak tahun 1997 di DPR, namun dalam perjalanannya draf RUU APP terus mengalami tarik ulur karena banyaknya kepentingan. Kita menyadari pada saat bergulirnya undang-undang ini mendapat banyak sekali kontroversi yang terjadi. Banyak yang menyetujui, dan tidak sedikit pula yang menolak dari awal pembentukannya hingga disahkan menjadi undang-undang.

Bagian yang menjadi kontroversi pada Undang-undang Pornografi ini adalah mengenai isi pasal RUU APP yang disatu sisi dianggap mendiskriminasikan dan disisi lain dianggap sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Kelompok-kelompok yang mendukung antara lain, MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS, sedangkan kelompok yang menolak terdiri


(17)

dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Jika aspirasi kedua kelompok tersebut tidak dijembatani oleh DPR RI selaku pembuat kebijakan, maka bisa saja pertikaian terjadi diantara kelompok-kelompok yang berseberangan. Pada akhirnya, kebijakan publik yang dibuat oleh DPR RI Komisi VIII ini harus melakukan proses secara baik, agar kebijakan tersebut tidak menjadi berat sebelah. Berdasarkan latar belakang di atas, saya tertarik untuk meneliti masalah kebijakan publik melalui Undang-undang Pornografi, dan penelitian ini diberi judul Analisis Kebijakan Publik pada Undang-undang Pornografi Komisi VIII DPR RI Bidang Sosial dalam Perpektif Model Rasional Komprehensif.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Meskipun banyak perumusan kebijakan publik yang ditangani oleh Komisi VIII DPR RI yang mencakup bidang sosial, agama dan pemberdayaan perempuan, namun skripsi ini hanya membahas bidang sosial saja. Dalam bidang sosial pun juga banyak sekali permasalahan yang dibahas, seperti kebijakan publik mengenai penanganan fakir miskin, Program Keluarga Harapan (PKH), pornografi dan pornoaksi, serta kelompok usaha bersama, namun yang menjadi batasan hanyalah pada satu permasalahan saja, yaitu mengenai pornografi dan pornoaksi yang diimplementasikan melalui kebijakan publik dalam Undang-undang Pornografi. Mengetahui bagaimana proses pembuatan kebijakan itu dibuat, serta membatasi permasalahan pada penetapan masalah, tujuan dan cara, pencapaian hasil, dan penilaian terhadap hasil dari suatu kebijakan dalam perspektif Komunikasi Politik.

Untuk memperjelas permasalahan yang akan diteliti, maka masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut :


(18)

6

1. Bagaimana perspektif Komunikasi Politik dalam memandang Undang-Undang Pornografi yang dibuat oleh Komisi VIII DPR RI sebagai kebijakan publik?

2. Apa saja yang menjadi langkah-langkah dari proses yang dilakukan dalam komunikasi kebijakan melalui model Rasional Komprehensif pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui perspektif Komunikasi Politik dalam memandang Undang-Undang Pornografi yang dibuat oleh Komisi VIII DPR RI sebagai kebijakan publik.

b. Untuk mengetahui langkah-langkah dari proses yang dilakukan dalam komunikasi kebijakan melalui model Rasional Komprehensif pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat pada penelitian ini adalah: a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini erat kaitannya dengan mata kuliah komunikasi terutama komunikasi politik, maka diharapkan dapat membantu usaha pengembangan keilmuan tentang proses kebijakan publik dalam sebuah lembaga negara, pada jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, maupun displin ilmu lain yang berkaitan.


(19)

b. Manfaat Praktis

Diharapkan dalam penelitian ini bermanfaat bagi para pembuat kebijakan publik yang dalam hal ini adalah lembaga otoritas baik pada tingkat eksekutif, dan legislatif, serta pihak lain dalam hal ini masyarakat sebagai tujuan dari kebijakan publik itu sendiri.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dimana dalam menjawab permasalahan penelitian dikaji secara mendalam dan menyeluruh mengenai obyek yang diteliti, guna menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penelitian dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan. Dalam penelitian mengenai proses kebijakan publik ini diperlukan pengungkapan informasi secara mendalam, terutama dalam prosesnya tersebut menyangkut kepentingan masyarakat secara luas pula.

Desain yang digunakan adalah desain kualitatif deskriptif berdasarkan tujuannya dimana penelitian ini ingin mengungkap fakta gejala dari sebuah proses kebijakan publik, serta mampu memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok. Dan melalui format penelitian studi kasus yang merupakan penelitian untuk meneliti suatu proses dalam sebuah lembaga, yang dalam hal ini adalah lembaga pemerintah DPR RI Komisi VIII dalam membuat suatu kebijakan publik.


(20)

8

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah DPR RI Komisi VIII Bidang Sosial, yakni Wakil Ketua Komisi VIII Ahmad Zainuddin, Lc, dan Ibu Yoyoh Yusroh selaku Wakil Ketua Pansus Undang-Undang Pornografi tahun 2008, dan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah mengenai proses kebijakan publik berupa Undang-Undang Pornografi yang dibuat oleh lembaga pemerintah dilihat dari segi prosesnya.

3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Gedung Nusantara 1 dan 2 MPR/DPR-RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, dan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – April 2011.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara, dan dokumentasi.

a. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya dengan yang ditanya (responden) dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara). Wawancara dilakukan dengan narasumber Wakil Ketua Komisi VIII Ahmad Zainuddin, Lc dan Ibu Yoyoh Yusroh selaku Wakil Ketua Pansus Undang-undang Pornografi tahun 2008.

b. Dokumentasi adalah pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen baik berupa foto atau pun data-data pribadi


(21)

milik sendiri maupun data-data milik responden. Data agenda rapat dalam proses pembahasan sebuah undang-undang dibentuk, dalam hal ini Undang-undang Pornografi maupun situs resmi dari DPR RI pada website www.dprri.go.id dan

www.jurnalparlemen.com

5. Teknik Analisis Data

Data temuan ditafsirkan dan disimpulkan melalui Model Rasional Komprehensif dalam Ilmu Komunikasi Politik yang memiliki ruang lingkup Langkah-langkah “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif

untuk mencapai tujuan yang dinyatakan. Ia “komprehensif” dalam

mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan..1 Model Rasional Komprehensif membuat kebijakan memilih suatu pilihan, mereka mengumpulkan dukungan dari lembaga-lembaga utama dan publik melalui propaganda, pemimpin kelompok, prosedur pemaksaan dan sebagainya.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai kebijakan publik dalam perspektif komunikasi politik memang belum begitu banyak seperti penelitian komunikasi pada umumnya, karena kebijakan publik merupakan tinjauan teori ilmu politik. Namun pada proses pengambilan keputusan atau kebijakan mengacu kepada ilmu komunikasi, seperti menyangkut opini publik melalui media massa.

1

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 226.


(22)

10

Penelitian sebelumnya yang sudah mulai mengenai kebijakan publik, yakni terdapat pada peneltian:

1. Januar Azhari, Pola Komunikasi Organisasi Nur Mahmudi sebagai Walikota Depok dalam Implementasi Kebijakan Publik, KPI, 2007, UIN Jakarta, mengungkapkan bahwa kebijakan publik yang telah dibuat mampu diimplementasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat serta Nur Mahmudi Ismail selaku walikota Depok mengupayakan bagaimana kebijakan publik tersebut bisa terlaksana dengan baik.

2. Nurrohimah, Kebijakan Moneter BI terhadap Pengelolaan Bank-Bank Syariah di Indonesia, MD, 2009, UIN Jakarta, mengungkapkan bahwa kebijakan moneter sebagai kebijakan publik merupakan sebuah instrumen dalam menjalankan sebuah lembaga dengan melihat beberapa indikator yang dibuat sendiri oleh lembaga tersebut, bukan sebagai proses dalam mengambil sebuah kebijakan publik. Kebijakan moneter dipandang sebagai sebuah kebijakan pola keteraturan dalam manajemen sebuah lembaga pengelolaan sebuah bank.

3. Iril Pramadhana Waty, Wacana Kontroversi Undang-Undang Pornografi, Jurnalistik (FIKOM), 2010, UNPAD, mengungkapkan bahwa adanya upaya pembentukan opini publik terhadap wacana kontroversi Undang-Undang Pornografi media massa, yang dalam hal ini adalah koran Republika dan koran Media Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan berdasarkan isu kontroversi Undang-Undang Pornografi yang diangkat menjadi tajuk koran tersebut, yang kemudian dianalisis melalui metode analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk yang meneliti sebuah


(23)

wacana pada tingkat teks, kognisi sosial penulis, dan konteks sosial. Hasil penelitian menunjukan mulai dari penggunaan kata, kesadaran mental pembuat tajuk, hingga kekuasaan dan akses yang digunakan kedua media merupakan hal yang disengaja dan merupakan upaya pembentukan opini publik terhadap wacana kontroversi Undang-Undang Pornografi.

4. Asharul Hakim, Konstestasi gagasan pluralisme dalam pembahasan RUU Pornografi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), 2010, UIN Jakarta, yang mengemukakan bahwa pembahasan Undang-Undang Pornografi sarat dengan polemik mengenai isu pluralisme, tidak hanya itu saja tetapi dalam pembahasannya undang-undang tersebut bagi yang kontra adalah suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak.

Dari keempat penelitian sebelumnya di atas dapat diketahui bahwa memiliki kesamaan pada penelitian ini, yaitu pada penelitian Januar memiliki kesamaan pada tinjauan teori yang diungkap yakni mengenai kebijakan publik, namun kajian kebijakan publik dalam konteks skrispsi tersebut lebih kepada hasilnya saja dari kebijakan yang telah dibuat oleh seorang pejabat, dalam hal ini adalah Walikota Depok. Peneliti tersebut sebenarnya lebih mengedepankan mengenai hal pola komunikasi yang menghasilkan kebijakan publik. Tetapi untuk metodologi penelitian memiliki kesamaan, yaitu menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali informasi yang diinginkan.


(24)

12

Seperti contohnya, salah satu kebijakan yang dibuat yakni dengan meluncurkan buku statistik dan perkembangan kota depok sebagai wadah birokrasi dan program.

Jelas penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitan yang dilakukan pada proposal ini, yang lebih menekankan pada bagaimana proses sebuah kebijakan publik dibuat. Terlebih lagi kebijakan publik bukan sebagai kebijakan sosialisasi program dari sebuah pola komunikasi yang dijalankan.

Kemudian pada penelitian kedua, Nurrohimmah memiliki persamaan dalam konteks kebijakan publik, namun dalam hal ini kebijakan publik yang diambil adalah kebijakan publik yang berupa kebijakan moneter dalam kajian ilmu manajemen.

Sama halnya dengan penelitian yang dibahas sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu sama-sama melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif dan melihat kebijakan publik sebagai sebuah alat, bukan bagaimana kebijakan itu sendiri dibuat.

Selanjutnya pada penelitian Iril dan Asharul Hakim, memiliki persamaan pada penelitian ini yaitu kajian objek mengenai Undang-Undang Pornografi. Yang membedakan penelitian ini dari keduanya adalah penelitian ini menitikberatkan pada UUP sebagai hasil negosiasi dan tarik ulur kepentingan dari sebuah kebijakan melalui proses yang dilalui, sedangkan pada penelitian Iril, kajian Undang-Undang Pornografi diteliti sebagai sebuah wacana dalam media massa dalam membentuk opini publik melalui analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk.


(25)

F. Kerangka Teori

Dalam kajian ilmu komunikasi politik, kebijakan publik merupakan bagian dari konsep yang terdapat didalamnya. Komunikasi politik sangat diperlukan mengomunikasikan sebuah kebijakan yang telah dibuat untuk menghubungkan antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan kata lain, pemerintah mampu menjalankan proses sosialisasi politik melalui kebijakan publik.

Kebijakan publik yang dibuat pun sebelum sampai kepada masyarakat, dalam prosesnya memerlukan proses komunikasi untuk dapat mencapai kesepakatan. Komunikasi yang dilakukan pun dalam lingkup komunikasi politik dengan proses dan tahapan-tahapan tertentu. Proses dan tahapan-tahapan dari suatu kebijakan publik dianalisis melalui teori komunikasi kebijakan.

Komunikasi Politik

Komunikasi Kebijakan Publik

DPR

(Lembaga Pembuat Kebijakan)

UUP (Undang-Undang

Pornografi) Analisis Komunikasi

Kebijakan Publik


(26)

14

G. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan ini menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Nasuhi, Hamid dan kawan-kawan Jakarta: CeQDA, 2007.

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN, yang mencakup latar belakang masalah yang diteliti, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian ini, metodologi penelitian yang digunakan, tinjauan pustaka, pedoman, dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN TEORITIS, yang terdiri dari Komunikasi Politik mencakup pengertian, konsep-konsep yang terkait dengan komunikasi politik, supra struktur, infrastruktur politik, dan fungsi komunikasi politik. Kebijakan publik yang mencakup pengertian, sifat-sifat kebijakan publik, faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan, aktor kebijakan publik, dan proses kebijakan publik. Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif) yang mencakup pengertian, langkah-langkah yang dibuat, dan faktor luar komunikasi kebijakan. Kemudian Opini Publik dan Kebijakan Publik yang mencakup pengertian, hubungan antara opini publik dan kebijakan publik, dan skema opini publik serta kebijakan publik.

BAB III GAMBARAN UMUM, mencakup Sejarah DPR RI, Visi dan Misi DPR RI, Keanggotaan DPR RI Periode 2009-2014, Tugas dan Wewenang DPR RI, Hak dan Kewajiban DPR RI, Masa Sidang dan Masa Reses DPR RI, Mekanisme Kerja DPR RI, Pengambilan Keputusan DPR RI, Pembuatan


(27)

Undang-Undang (UU), Komisi VIII DPR RI, dan Harapan terhadap Fungsi Legislasi DPR RI.

BAB IV ANALISIS PERUMUSAN UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK KOMISI VIII DPR RI, mencakup Latar Belakang Undang-undang Pornografi, Undang-undang Pornografi sebagai Kebijakan Publik Komisi VIII DPR RI. Implementasi Model Rasional Komprehensif, Penetapan Masalah (Fokus Masalah) dalam merumuskan Undang-undang Pornografi, Tujuan, Nilai dan Sasaran Undang-undang Pornografi, Alternatif Kebijakan serta Konsekuensi Perumusan Undang-undang Pornografi, Pengorbanan dan Keuntungan dari setiap Alternatif Pemecahan Undang-undang Pornografi. Perkembangan serta Penerapan Undang-undang Pornografi.

BAB V PENUTUP, mencakup simpulan tentang hasil penelitian dan saran.


(28)

16 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Dalam menganalisis sebuah kebijakan publik diperlukan beberapa teori yang menjadi rujukan dalam memahami konsep tersebut. Untuk itu hal yang berkaitan dengan proses kebijakan publik diantaranya, yaitu:

A. Komunikasi Politik

Segala bentuk kegiatan manusia pastinya memerlukan komunikasi dalam menjalankan kegiatannya tersebut. Komunikasi masuk di segala bidang, dan salah satunya dalam kegiatan politik ini. Politik sendiri menurut Deliar Noer dapat diartikan sebagai aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.1

Komunikasi dalam proses politik, dimaknai sebagai upaya-upaya pembentukan kesepakatan. Kesepakatan dalam hal ini adalah berupa kepentingan-kepentingan yang ada dalam segala proses politik, sehingga memerlukan komunikasi untuk mampu mengartikulasikannya dalam mencapai kesepakatan tersebut.

Gabriel A. Almond, menyatakan bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions perfomed in the political system, political socialization and recruitment, interest

1

Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra (Jakarta: PT. Lasswell Visitama, 2010), h. 3.


(29)

articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication are performed by means of communication.”2 Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan.

Konsep-konsep yang terkait dalam komunikasi politik, yaitu: a. Negara (State)

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.

b. Kekuasaan (Power)

Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.

c. Pengambilan Keputusan (Decision Making)

Pengambilan keputusan adalah proses membuat pilihan di antara beberapa alternatif sehingga keputusan itu tercapai sebagai konsep pokok dalam politik dalam menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan mengikat seluruh masyarakat.

d. Kebijakan (Policy)

Kebijakan adalah kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

e. Pembagian (Distribution) atau Alokasi (Allocation)

2

Wikipedia, Komunikasi Politik: Dan Nimmo, artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 11.40 WIB dari http://wordpress.com/2009/07/21/komunikasi-politik-dan-nimmo/ .


(30)

18

Pembagian dan pengalokasian dari nilai (values) dalam masyrakat, seperti pembagian dalam jabatan publik.3

Dalam kehidupan berpolitik, komunikasi politik biasa dilakukan oleh level pemerintah maupun orang-orang dalam lingkup kegiatan politik, yang mencakup supra struktur politik dan infra struktur politik, yaitu:

a. Supra Struktur Politik

Supra struktur politik merupakan struktur politik pemerintah atau struktur politik kenegaraan. Struktur ini meliputi kehidupan politik pemerintahan (the governmental political sphere). Seperti, MPR, DPR, BPK dan MA, komunikasi yang dijalankan mencakup:

1. Seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan warga. 2. Upaya meningkatkan loyalitas dan integrasi nasional.

3. Penerapan aturan dan perundang-undangan untuk menjaga ketertiban dan kehormatan dalam hidup bernegara.

4. Mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional.

b. Infra Struktur Politik

Infra struktur politik merupakan struktur politik kemasyarakatan. Berkenaan dengan suasana kehidupan politik rakyat (socio political sphere) yakni berkaitan dengan pengelompokan warga negara dan anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat, yang meliputi: partai politik (political party), kelompok kepentingan (interest

3


(31)

group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political figure). Komunikasi yang dilaksanakan oleh infrastruktur politik biasanya adalah:

1. Sosialisasi yang merupakan transmisi nilai-nilai politik.

2. Edukasi yang merupakan proses pendidikan untuk penyadaran hak-hak dan kewajiban politik masyarakat.4

Ada pun fungsi dari komunikasi politik yang dijalankan oleh para aktor politik adalah:

1. Fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi, dan rekrutmen dalam kegiatan politik para aktor politik.5

2. Fungsi sosialisasi politik kepada masyarakat,

3. sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam rangka mobilisasi sosial untuk implementasi hubungan, memperoleh dukungan, kepatuhan, dan integrasi politik,

4. sebagai umpan balik (feed back) atas sejumlah output (kebijakan pemerintah),

5. menjadi cara atau teknik penyerahan tuntutan dan dukungan sebagai input dalam sistem politik,

6. sebagai kekuatan kontrol sosial guna memelihara idealisasi sosial dan keseimbangan politik,

4

Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik: Materi 2 (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 2.

5

Gabriel A. Almond dalam Wikipedia, Komunikasi Politik: Dan Nimmo, artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 11.40 WIB dari http://wordpress.com/2009/07/21/komunikasi-politik-dan-nimmo/ .


(32)

20

7. memberi ancaman (coertion) untuk memperoleh kepatuhan sebelum alat paksa digunakan, sekaligus hal ini juga memberikan batasan-batasan mengenai hal-hal yang ditabukan.6

B. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan.7 Melalui definisi ini mendapat pemahaman bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah.

Dalam Ilmu Komunikasi Politik, kebijakan publik (Public Policy), adalah kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku atau kelompok politik dalam memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pada prinsipnya pihak-pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.

Kebijakan publik menitikberatkan pada apa yang Dewey katakan sebagai

“publik dan problem-problemnya,” dan kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan-persoalan tersebut disusun (constructed) dan didefinisikan serta bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik.8

6

Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik: Materi 2, h. 7-8.

7

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 165-166.

8

Wayne Parson, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 11.


(33)

Kebijakan publik adalah tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut.9

Sebuah analisis kebijakan merupakan kajian terhadap kebijakan publik yang bertujuan untuk mengintegrasikan dan mengontekstualisasikan model dan riset dari disiplin-disiplin tersebut yang mengandung orientasi problem dan kebijakan. Harold D. Laswell menyebutkan bahwa orientasi kebijakan meliputi hal-hal berikut, yaitu:

a. multi method, tidak cukup jika hanya menggunakan satu pendekatan tetapi melalui beberapa faktor untuk mengetahui proses suatu kebijakan publik,

b. multi disciplinary, kebijakan publik terdiri dari berbagai disiplin ilmu sosial,

c. berfokus pada problem (problem focused),

d. berkaitan dengan pemetaan kontekstualitas proses kebijakan, opsi kebijakan, dan hasil kebijakan, dan

e. bertujuan untuk mengintegrasikan pengetahuan ke dalam suatu disiplin yang menyeluruh (overarching) untuk menganalisis pilihan publik dan pengambilan keputusan dan karenanya ia ikut berperan dalam demokratisasi masyarakat.10

Dari definisi yang sudah berkembang, maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik, yaitu:

9

Wayne Parson, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. 10


(34)

22

a. Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu dari pada perilaku yang berubah atau acak.

b. Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah.

c. Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur sebuah negara.

d. Kebijakan publik dapat berbentuk negatif maupun positif.

e. Kebijakan publik didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah.

Adapun sifat-sifat dari kebijakan publik, dapat dimengerti secara baik dengan melihat kategorinya. Leo Agustino dalam bukunya Perihal Ilmu Politik

membaginya dalam beberapa kategori yaitu:

1. Policy Demand (Permintaan Kebijakan)

Merupakan klaim yang dibuat oleh warga masyarakat secara pribadi atau kelompok dengan resmi dalam sistem politik oleh karena adanya masalah yang mereka rasakan.

2. Policy Decision (Putusan Kebijakan)

Putusan yang dibuat oleh pejabat publik yang memerintahkan untuk memberi arahan pada kegiatan-kegiatan kebijakan, biasanya mengumumkan perintah eksekutif.


(35)

Pernyataan secara formal atau artikulasi dari keputusan politik yang telah ditetapkan. Dalam hal ini merupakan ketetapan legislatif.

4. Policy Output (Hasil Kebijakan)

Output kebijakan adalah apa yang dikerjakan pemerintah, yang merupakan kebijakan yang dititikberatkan pada masalah-masalah seperti pembangunan jalan, pedagang kaki lima, dan lain lain.

5. Policy Outcomes (Akibat dari Kebijakan)

Akibat dari kebijakan adalah konsekuensi kebijakan yang diterima masyarakat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, yang berasal dari apa yang dikerjakan atau yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.11

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan

a. Political Values, nilai-nilai atau standar-standar politik. Pembuat keputusan dapat mengevaluasi alternatif kebijakan untuk kepentingan partai politiknya atau kelompoknya, maka hal ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai politis dapat merangsek masuk dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pengambil keputusan.

b. Organization Values, nilai-nilai atau standar-standar organisasional. hal yang paling menonjol adalah bagaimana, misalnya organisasi yang berorientasi konservatif berhadapan dengan organisasi yang berpandangan revolusioner akan menghasilkan argumentasi-argumentasinya yang berbeda dalam penetapan keputusan.

11


(36)

24

c. Personal Values, atau nilai-nilai personal. Hal ini berkenaan dengan teori tentang ketidaksamaan manusia. Ketidaksamaan manusia ini bisa dilihat dari dua sisi, yang pertama adalah ketidaksamaan yang disebabkan oleh ketidakberpenuhan mental. Yang kedua, ketidaksamaan kemampuan yang berbeda dari masing-masing individu.

d. Policy Values, adalah nilai-nilai atau standar-standar kebijakan yang berwarna kepentingan publik. Menyimpulkan bahwa keputusan politik yang dibuat hanya dipengaruhi oleh pertimbangan politik, organisasi, atau kepentingan pribadi. Pembuat keputusan dapat bertindak dengan baik berdasarkan persepsi mereka mengenai kepentingan publik atau kepercayaan pada kebijakan publik yang secara moral benar atau pantas.

e. Ideological Values, nilai-nilai atau standar-standar ideologis. Ideologis adalah sekumpulan kepercayaan dan nilai yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran sederhana mengenai dunia dan cara bertindak sebagai petunjuk bagi seseorang untuk berperilaku.12

Di Indonesia, pada era reformasi para aktor kebijakan (lembaga-lembaga negara dan pemerintah yang berwenang membuat perundang-undangan atau kebijakan publik) itu adalah:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

DPR memiliki kedudukan yang strategis dalam membentuk sebuah Undang-Undang. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan pada pasal 21

12

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik, h. 163-164.


(37)

ayat (1), bahwa DPR memiliki hak legislasi, hak mengajukan dan membuat Undang-Undang Dasar.

3. Presiden

Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan Presiden (Concentration of power and responsibility upon the president). Presiden diberi wewenang mengatur sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945, pasal ini memberikan wewenang kepada presiden untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Dalam pasal lain, yaitu Pasal 22 bahkan presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dalam hal negara, jika dalam suatu keadaan genting yang memaksa.

4. Pemerintah;

a. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemerintah pusat), b. Menteri,

c. Lembaga Pemerintah Non-Departemen, d. Direktorat Jenderal (Dirjen),

e. Badan-badan Negara Lainnya, (Bank Sentral, BUMN, dll), f. Pemerintah Daerah Propinsi,

g. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, h. Kepala Desa,

5. Dewan Perwakilan Daerah Propinsi,


(38)

26

7. Badan Perwakilan Desa (BPD). 13

Dibawah ini terdapat tabel mengenai aktor kebijakan publik beserta wewenang yang dilakukan, meskipun diketahui bahwa pasca reformasi kemungkinan akan terjadinya perubahan dan pergeseran dari aktor maupun perannya,

Tabel 2.1 Klasifikasi Aktor Politik beserta Wewenangnya Nama Lembaga

(Aktor)

Peran (Wewenang) Aktor

MPR a. Menetapkan UUD.

b.Menetapkan TAP MPR.

c. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Presiden a. Mengesahkan Undang-Undang Dasar

b.Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

DPR Membentuk Undang-Undang Dasar

Pemerintah a. Menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk

melaksanakan Undang-Undang.

b.Menetapkan Keputusan Presiden (Keppres).

c. Menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) yang berisi petunjuk-petunjuk kepada instansi dibawahnya dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UUD, TAP MPR, UU, dan PP.

Menteri Menetapkan Peraturan Menteri (Permen) atau

Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai peraturan pelaksanaan.

Lembaga Pemerintah Non Depertemen

Menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat teknis, yaitu peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.

Direktorat Jenderal (Dirjen) Menetapkan/mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis di bidangnya masing-masing.

Badan-badan Negara Lainnya Mengeluarkan/menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berisi perincian dari kententuan-ketentuan perundang-undangan yang mengatur dibidang tugas dan fungsinya masing-masing.

Pemerintah Propinsi Menetapkan Peraturan Daerah Propinsi (Perda Propinsi) atas persetujuan DPRD Propinsi.

Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda

Kabupaten/Kota) atas persetujuan DPRD

13

Ulul Albab, Aktor-aktor Kebijakan Publik (Surabaya: Universitas Dr. Soetomo, 2009) artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 11.35 WIB dari http://www.unitomo.ac.id/ .


(39)

Kabupaten/Kota.

Kepala Desa Menetapkan Peraturan dan Keputusan Desa dengan

Persetujuan Badan Perwakilan Desa (BPD).

DPRD Propinsi Menetapkan Peraturan Daerah Propinsi (Perda

Propinsi) bersama dengan Pemerintah Daerah Propinsi.

DPRD Kabupaten/Kota Menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

bersama-sama dengan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota.

BPD Menetapkan Peraturan Desa atau Keputusan Desa

bersama-sama dengan Kepala Desa.

Sumber: http://www.unitomo.ac.id/

Dalam menganalisis sebuah kebijakan publik, sebenarnya cukup sulit dikarenakan dalam mencapai kesepakatan sebuah keputusan diperlukan masukan dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dalam suatu permasalahan yang akan dirumuskan. Komunikasi yang dilakukan tidak cukup berhasil jika tidak adanya negosiasi, tarik ulur dari berbagai kepentingan di dalamnya, belum lagi para pemilik kekuasaan yang mempunyai otoritas terbesar dalam suatu kebijakan. Maka, diperlukan beberapa tahap untuk mengetahui proses suatu kebijakan bisa dirumuskan hingga mampu diimplementasikan di masyarakat.

James Anderson sebagai pakar kebijakan publik, menetapkan proses kebijakan publiksebagai berikut:

a. Formulasi masalah (problem formulation)

Untuk dapat mengkaji sesuatu masalah publik diperlukan teori, informasi dan metodologi yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Sehingga identifikasi masalah akan tepat dan akurat, selanjutnya dikembangkan menjadi policy question yang diangkat dari

policy issues tertentu.


(40)

28

Dimana formulasi untuk mengembangkan alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah. Alternatif adalah sejumlah alat atau cara-cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun tidak langsung sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Alternatif-alternatif kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal: (1) Berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang telah ada. (2) Dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam sesuatu bidang dan dicoba menerapkannya dalam bidang yang tengah dikaji, (3) merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu.

c. Penentuan kebijakan (adoption)

Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria sebagaimana yang dimaksud pada point sebelumnya diatas. Tujuan penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan fisibilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga diperoleh kesimpulan mengenai alternatif mana yang paling layak , efektif dan efisien.

d. Implementasi (implementation)

Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.

e. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi yang menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Mengetahui adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan. 14

14

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Paradigma, Konsep Dasar, dan Relevansinya untuk Ilmu Hukum (Jakarta: Universitas Trisakti, 2006), h. 296.


(41)

Pada dasarnya, memang tidak ada kebijakan yang akan mencapai kesempurnaan dan kepuasan sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan yang masuk (input). Namun, baiknya sebuah kebijakan dibuat harus memperhatikan segala faktor, mau mendengarkan dari manapun aspirasi yang datang.

C. Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif)

Menskemakan garis-garis komunikasi dua arah menghubungkan warga negara dan pejabat, yakni apa yang disebut dalam komunikasi politik. Pertama bisa dilihat hubungan opini kebijakan sebagai proses penggambaran penyajian cara-cara alternatif dari opini rakyat, massa, dan kelompok yang diperhitungkan oleh pemegang jabatan dalam membentuk kebijakan pemerintah. Hal yang kedua, dapat diteliti komplikasi-komplikasi yang berkaitan dengan tipe-tipe utama komunikasi kebijakan. Langkah yang terakhir adalah dengan meninjau masalah-masalah dalam mempertaruhkan proses kebijakan dalam demokrasi.

Model rasional komprehensif bermaksud melukiskan suatu cara mengorganisasi komunikasi kebijakan untuk memperoleh keputusan. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain:

1. Pembuat kebijakan memperhitungkan masalah yang memerlukan tindakan, masalah yang terpisah dari bidang masalah yang lain.

2. Pembuat kebijakan menjelaskan tujuan, nilai, dan sasaran yang harus dicapai dalam menangani masalah tersebut.

3. Pembuat kebijakan mengidentifikasi pemecahan dan meneliti masing-masing. Penelitian ini mempertimbangkan seluruh informasi mengenai konsekuensi yang diharapkan dari penerimaan pemecahan manapun.


(42)

30

4. Pembuat kebijakan mempertimbangkan pengorbanan dan keuntungan relatif dari setiap alternatif, membandingkan pilihan, dan memilih alternatif yang memaksimalkan tujuan, nilai, dan sasaran yang telah disepakati. 15

Langkah-langkah tersebut “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif

untuk mencapai tujuan yang dinyatakan. Ia “komprehensif” dalam

mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan.

Setelah membuat kebijakan memilih suatu pilihan, mereka mengumpulkan dukungan dari lembaga-lembaga utama dan publik melalui propaganda, pemimpin kelompok, prosedur pemaksaan dan sebagainya. Jadi, prosedur rasional komprehensif untuk merumuskan kebijakan mengandung hubungan yang erat dengan pendekatan kontrol sosial untuk mencapai tatanan. Dalam buku Dan Nimmo dikatakan, orang berkumpul untuk membahas arah tindakan bagi kesejahteraan mereka bersama, untuk berbagi gagasan, dan untuk membuat konsensus sehingga setelah cukup dipertimbangkan, mereka bisa bertindak secara kolektif. Tujuannya adalah mencapai konsensus yang sebagian besar disepakati oleh setiap orang.16

Akhirnya, dengan berasumsi bahwa kebijakan yang disepakati itu

merefleksikan pemecahan yang “terbaik,” cukup mengetahui persuasi untuk

menyadari bahwa meyakinkan penduduk terhadapnya (sehingga mereka akan memberikan suara kepadanya dalam plebisit atau sekadar diam-diam

15

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 224.

16


(43)

menyetujuinya melalui perilaku patuh) melibatkan lebih daripada instruksi pemerintah atas kebaikan kebijakan dan keburukkan pilihan lainnya.17

Dalam membuat sebuah keputusan yang akhirnya disahkan menjadi sebuah kebijakan tidaklah mudah, banyak faktor yang harus diperhatikan meskipun sudah dianalisis melalui cara, metode, dan model komunikasi yang dilakukan. Faktor luar (external)dari komunikasi kebijakan antara lain:

a. Dukungan massa kepada lembaga pembuat kebijakan

Para pembuat kebijakan tidak hanya mengkhawatirkan popularitas mereka, tetapi juga mengkhawatirkan berapa banyaknya dukungan yang diberikan oleh rakyat kepada lembaga pembuat kebijakan. Konsensus massa yang dikomunikasikan kepada pembuat kebijakan itu menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya dalam arti abstrak dan tergeneralisir, rakyat memberikan dukungan yang cukup kepada lembaga-lembaga politik untuk pejabat pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya sehari-hari.

b. Peran media massa dalam komunikasi kebijakan

Sekurang-kurangnya disebutkan ada dua hal yang dilakukan media massa sebagaisumber pesan bagi pembuat kebijakan dalam menaksir opini publik, yaitu:

1. kecendrungan beberapa pejabat kebijakan untuk melakukan kesalahan jurnalistik dengan menganggap bahwa isi berita dan isi editorial pers sinonim dengan opini publik,

17


(44)

32

2. tindakan media massa sebagai sumber pesan politik ialah melalui penetapan agenda dan pembuatan fungsi media, yakni memperbesar kontroversi politik, mengajukannya agar mendapat perhatian pembuat kebijakan, dan mengumpulkannya agar mendapat perhatian pembuat kebijakan serta mengumpulkan dukungan melalui kelompok kepentingan maupun kawan dan lawan.

c. Pesan dalam gerakan massa

Gerakan massa mengkomunikasikan tiga jenis tuntutan kepada pembuat kebijakan:

1. Gerakan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan material seketika bagi penganutnya. Contoh: gerakan mendukung rencana peredistribusian kekayaan Amerika bagi golongan tua.

2. Tuntutan tentang status. Contoh: gerakan yang mendukung untuk mempertahankan status penguasa dari kelas kulit putih. 3. Menyajikan jalan keluar bagi pengungkapan perasaan. Contoh:

gerakan kebebasan wanita

d. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan partai politik

Pandangan politik dari partai politik merupakan riwayat pemberian suara dari pemegang jabatan. Partai politik biasa digunakan untuk mengirimkan pesan kepada pejabat pembuat kebijakan. Dengan bertindak sebagai garis utama komunikasi antara warga negara dan pejabat.


(45)

e. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan kelompok kepentingan Orang yang berpartisipasi dalam kelompok kepentingan politik jarang merupakan wakil opini rakyat ataupun opini massa rata-rata. Schttchneider menuduh sistem tekanan (istilah yang dipakainya untuk kelompok kepentingan khusus yang terorganisasi) memobilisasi orang-orang dalam kelompok kepentingan dan mengorkanisasi prasangka (bias) untuk kelompok kepentingan yang berusaha memperoleh hak-hak istimewa.

Kemungkinan komunikasi lobbyists dalam kelompok kepentingan,

lobbying yaitu komunikasi dengan pembuat kebijakan oleh orang yang mengklaim berbicara atas nama kepentingan dengan tujuan mempengaruhi keputusan pemerintah.

f. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan sesama pejabat

Penting untuk diingat bahwa pembuat kebijakan biasanya memiliki jauh lebih banyak kesamaan satu sama lain sebagai sesama politikus dan pejabat ketimbang dengan para pemilih mereka, loyalitas partai, atau anggota golonga yang berpengaruh. Tidak mengherankan jika mereka berbalik satu sama lain untuk meminta tolong dalam menyusun citra tentang opini publik dan bagaimana bertindak sesuai dengan hal itu.18 Jika berbicara sesuai prosedural maupun idealis, sebenarnya banyak sekali faktor yang harus diperhatikan oleh pejabat pembuat kebijakan untuk mencapai sebuah kebijakan yang tepat sasaran. Memang tidak mudah, sehingga tidak jarang

18


(46)

34

kebijakan yang telah dibuat justru menjadi boomerang sendiri baik bagi si pembuat kebijakan maupun rakyat yang menjadi target dari kebijakan.

Kebijakan baiknya diciptakan untuk dipatuhi karena dalam prosesnya sudah harus melalui pertimbangkan dari berbagai pihak. Dan tidak sedikit pula aspirasi yang ditampung. Pada akhirnya, kebijakan yang dibuat bisa menjadi baik atau tidak tergantung bagaimana para pejabat pembuat kebijakan mampu mengakomodir berbagai kepentingan dalam sebuah kebijakan.

D. Opini Publik dan Kebijakan Publik

Opini publik merupakan pendapat sebagian besar rakyat dalam mengkritisi masalah publik. Dalam pengertiannya opini adalah suatu respon aktif terhadap stimulus, suatu respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari dan menyumbang imej. Sedangkan, publik merupakan kumpulan orang-orang yang sama minat dan kepentingannya terhadap suatu isu. Jadi,opini publik adalah suatu opini yang menyangkut isu, atau kejadian yang mengandung keprihatinan (concern) publik.19

Bagi sebuah negara demokrasi, seperti Indonesia, opini publik merupakan hal yang sangat mendasar. Karena, sebuah negara demokrasi merupakan pemerintahan yang berdasarkan oleh kehendak rakyat, dimana suara rakyat merupakan dasar dari sebuah pemerintah demokrasi yang dijalankan. Kekuasan terbesar berada ditangan rakyat, maka jika suara rakyat diabaikan tidak mungkin pula kekuasan akan dijatuhkan pula oleh rakyat.

19

Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik:Materi-6, h. 1-2.


(47)

Hubungan antara opini publik dan kebijakan publik sangatlah erat, hal ini bisa dilihat dari siapa yang mengeluarkan pendapat dan struktur dari pendapat tersebut. Umumnya kebijakan publik berkaitan erat dengan pendapat-pendapat yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian yang tinggi dan juga yang aktif secara langsung dalam aktifitas politik dibanding dengan orang-orang yang tidak punya perhatian atau bersikap pasif.20

Pada umumnya, opini publik yang menjadi perhatian dari pembuat kebijakan terdapat dalam wawancara atau talk show di acara televisi, maupun di media-media yang memuat suara pembaca, suara pemirsa, artikel surat kabar, tulisan kolom, SMS, media online, dan sebagainya. Selain dari media, pendapat umum (opini publik) lain yang menjadi perhatian adalah pendapat umum yang diwadahi oleh organisasi kemasyarakatan seperti LSM yang biasa datang atau melakukan orasi dengan berdemo untuk menyuarakan pendapatnya, atau datang langsung ke lembaga pembuat kebijakan seperti DPR yang menyediakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan mengundang atau datang sendiri untuk menyatakan pendapat.

Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif maka diperlukan beberapa hal, yaitu:

1. Adanya seperangkat hukum berupa peraturan dan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan.

2. Kebijakan juga harus jelas struktur pelaksanaan dan pembiayaannya.

20

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 159-162


(48)

36

3. Diperlukan adanya kontrol publik yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. 21

Opini publik dalam sebuah kebijakan publik bisa berupa tuntutan atau dukungan, berikut ini proses bagaimana sebuah opini baik berupa tuntuan maupun dukungan menjadi sebuah kebijakan (output), yang bisa dilihat dari pendekatan analisis sistem yang diungkapan oleh David Easton 22, yaitu:

Gambar 2.1 Proses Opini Publik Menjadi Sebuah Kebijakan

I O

N Tuntutan Keputusan U

P T

U P

T Dukungan Kebijakan U

T

Umpan Balik

Lingkungan Lingkungan

Sumber: Materi Pokok Opini Publik: 1-9 Universitas Terbuka

Penjelasan:

1. Bagi sebuah negara maju, apa yang menjadi kepentingan maupun kebutuhan diri dan kelompok dikemukakan lewat berbagai saluran atau kelompok baik kelompok kepentingan ataupun kelompok penekan. Kelompok yang mengartikulasikan kepentingan anggota masyarakat ini selanjutnya oleh Almond disebut dengan kelompok kepentingan.

21

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Paradigma, Konsep Dasar, dan Relevansinya untuk Ilmu Hukum, h. 293.

22

Betty RFS. Soemirat dan Eddy Yehuda, Materi Pokok Opini Publik: 1-9: SKOM4321/3 SKS (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 25-26.

Konversi input


(49)

2. Tahapan berikutnya adalah tahapan agregasi kepentingan, dimana proses pengubahan tuntutan yang disampaikan menjadi alternatif-alternatif kebijakan.

3. Tahapan ketiga adalah tahapan pembuatan kebijakan merupakan proses untuk mengubah tuntutan menjadi output. Output tersebut, berupa peraturan-peraturan maupun perundang-undangan yang mampu menanggapi kepentingan dan tuntutan yang masuk ke dalam agenda pemerintah.

4. Tahapan yang terakhir adalah tahapan dimana tahapan artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan dan tahapan pembuatan keputusan dimungkinkan terjadi tumpang tindih, hal ini terjadi selain karena batasan antara ketiga aktifitas tersebut sangatlah tipis dan terjadi karena para partisipan dalam pembuatan kebijakan sama.

Selanjutnya, Gabriel A. Almond menambahkan dengan memberikan pengantar komprehensif mengenai input (artikulasi kepentingan), fungsi proses (agregasi kepentingan,pembuatan kebijakan, implementasi, dan keputusan kebijakan) dan fungsi kebijakan (extraction, regulasi, distribusi). Output kebijakan dikembalikan ke dalam sistem politik, yang berada dilingkungan domestik dan internasional.23

23


(50)

38

Gambar 2.2 Proses Kebijakan sebagai Input dan Output

INPUT KEBIJAKAN OUTPUT

Persepsi Regulasi Aplikasi

Organisasi Distribusi Penguatan (Enforcement)

Permintaan Redistribusi Interpretasi

Dukungan Kapitalisasi Evaluasi

Apathy Kekuasaan Etis Legitimasi

Modifikasi (Penyesuaian) Penarikandiri /

pengingkaran

Sumber: Parson (2006)

Versi ini berusaha lebih banyak menjelaskan peran institusi ketimbang di masa lalu, masa ketika ilmuwan politik cenderung mengabaikan fakta bahwa institusi, aturan dan konstitusi adalah sesuatu yang benar-benar penting.

Konseptualisasi pada keempat teori tersebut merupakan konsep-konsep yang berkenaan dengan analisis mengenai kebijakan publik pada Undang-Undang Pornografi. Kebijakan publik yang dimaksud dalam hal ini Undang-Undang Pornografi merupakan bagian dari kegiatan komunikasi politik, yang dalam ilmu politik sendiri sebenarnya kebijakan publik sudah menjadi salah satu wacana yang sering diperbincangkan. Dalam komunikasi kebijakan, hal-hal yang mengenai produk kebijakan dikaitkan dengan opini publik yang berkembang, karena opini publik merupakan opini masyarakat yang wajib diperhatikan oleh negara demokrasi seperti Indonesia. Sebagai proses analisis pada bab IV (empat) konsep yang menjadi landasan berpikir adalah teori mengenai Model Rasional Komprehensif dan relevansi antara opini publik dan kebijakan publik yang akan dibahas secara mendetail.


(51)

E. Daftar Istilah

Untuk memudahkan dalam membaca hasil penelitian ini, maka penulis memuat beberapa kata atau istilah yang menjadi rujukan umum dalam membaca penulisan ini, berikut ini diantaranya beberapa kata yang didasarkan pada istilah baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maupun pengertian yang dipahami secara umum dan menyeluruh, yaitu:

1. Pornografi

Pornografi merupakan istilah dari bahasa Yunani pornographia, dari kata porne yang berarti gambar tentang pelacur atau wanita jalang (biasa disingkat porn). Dan secara istilah pornografi diartikan sebagai pernyataan atau saran mengenai hal-hal yang mesum atau kurang sopan di dalam sastra atau seni.24 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Sinonim porno adalah , asusila, cemar, dan cabul.

2. Pornoaksi

Istilah pornoaksi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak bisa ditemukan, alasan tersebut memungkin mengapa istilah pornoaksi dihapuskan dalam draf RUU APP. Karena pornoaksi sendiri merupakan kata baru dan belum mendapatkan konsensus umum,

24

Williams Hopkins, Oxford English Dictionary, artikel diakses pada tanggal 15 Juni 2011, pukul 11.40 WIB dari http://pd_oxford-dictionary.com/


(52)

40

sedangkan dalam draf RUU APP, pornoaksi diartikan sebagai perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum. 3. Arti kata cabul adalah keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar

kesopanan, kesusilaan): ia suka sekali berkata (berbuat).

4. Arti kata asusila adalah tidak susila; tidak baik tingkah lakunya.

5. Arti kata erotis adalah berkenaan dng sensasi seks yg menimbulkan rangsangan; bersifat merangsang nafsu berahi.

6. Arti kata vulgar adalah kasar ( perilaku, perbuatan, dsb); tidak sopan. 7. Arti kata seks adalah jenis kelamin.

8. Arti kata erotika adalah karya sastra yg tema atau sifatnya berkenaan dng nafsu kelamin atau keberahian: karya, tidak sama dng pornografi. 9. Opini Publik

Opini publik adalah pendapat sebagian besar rakyat dalam mengkritisi masalah publik.

10.Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku atau kelompok politik dalam memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu.

Kata-kata seperti cabul, vulgar, erotis, erotika, asusila dan seks adalah kata-kata yang disebutkan dalam pengertian pornografi pada draf awal RUU APP sebelum berubah menjadi RUU Pornografi, yakni Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.25

25

Pengertian ini merupakan pengertian pornografi yang terdapat pada RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) draft awal Pasal 1 ayat 1 RUU APP.


(53)

41 A. Sejarah DPR RI

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat.1DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Sejarah DPR sudah dimulai pada zaman penjajahan sampai dengan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) tahun 1945. Berikut ini pembentukan DPR yang dibagi menjadi beberapa periodeterbentuknya, yaitu:

a. Volksraad

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan Penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad. Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan. Kemudian pada tanggal 16 Desember 1916 diumumkan dalam Staatsblat Hindia No. 114 Tahun 1916 dan berlaku pada tangal 1 Agustus 1917 memuat hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat).

1

Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia (Jakarta: Yayasan Api, 2001), h. 206.


(54)

42

b. KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)

Sejarah DPR RI dimulai sejak dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden pada tanggal 29 Agustus 1945 (12 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia) di Gedung Kesenian, Pasar Baru Jakarta. Tanggal peresmian KNIP (29 Agustus 1945) dijadikan sebagai tanggal dan hari lahir DPR RI dalam Sidang KNIP yang pertama telah menyusun pimpinan yang terdiri dari, Ketua Mr. Kasman Singodimedjo Wakil Ketua I Mr. Sutardjo Kartohadikusumo Wakil Ketua II Mr. J. Latuharhary Wakil Ketua III Adam Malik2

Dibawah ini periode terbentuknya DPR dari waktu ke waktu:

1. Komite Nasional Indonesia Pusat 29 Agustus 1945 - 15 Februari 1950 2. DPR dan Senat RIS 15 Februari 1950 - 16 Agustus 1950

3. DPRS 16 Agustus 1950 - 26 Maret 1956

4. DPR hasil Pemilu I 26 Maret 1956 - 22 Juli 1959

5. DPR setelah Dekrit Presiden 22 Juli 1959 - 26 Juni 1960 6. DPR GR 26 Juni 1960 - 15 November 1965

7. DPR GR minus PKI 15 November 1965 - 19 November 1966 8. DPR GR Orde Baru 19 November 1966 - 28 Oktober 1971 9. DPR hasil pemilu 2 28 Oktober 1971 - 01 Oktober 1977 10. DPR hasil pemilu 3 01 Oktober 1977 - 01 Oktober 1982 11. DPR hasil pemilu 4 01 Oktober 1982 - 01 Oktober 1987 12. DPR hasil pemilu 5 01 Oktober 1987 - 01 Oktober 1992 13. DPR hasil pemilu 6 01 Oktober 1992 - 01 Oktober 1997 14. DPR hasil pemilu 7 01 Oktober 1997 - 01 Oktober 1999 15. DPR hasil pemilu 8 01 Oktober 1999 - 01 Oktober 2004 16. DPR hasil pemilu 9 01 Oktober 2004 - 01 Oktober 2009 17. DPR hasil pemilu 10 01 Oktober 2009 - 01 Oktober 2014. 3

B. Visi dan Misi DPR RI

2

Wikipedia, Sejarah DPR RI, artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 13.00 WIB dari http://wikipedia.com/.

3

Wikipedia, Sejarah DPR RI artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 13.00 WIB dari http://wikipedia.com/.


(55)

Visi DPR RI sesuai dengan kedudukan Rencana Strategis sebagai pedoman antara untuk mengarahkan pencapaian tujuan jangka panjang pelaksanaan tugas konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat RI, maka Rencana Strategis memuat Visidan Misijangka panjang sebagai landasan dalam menyiapkan arah kebijakan 5 (lima) tahun ke depan. Visi DPR RI yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Strategis 2010 – 2014 adalah:

1. Lembaga Perwakilan yang kredibel, merupakan nilai dasar dalam pelaksanaan tanggungjawab perwakilan rakyat yang efektif, akuntabel, transparan, aspiratif, responsif dan akomodatif.

2. Masyarakat adil dan makmur, merupakan tujuan ideal pembangunan masyarakat madani yang berkualitas, sejahtera lahir dan batin, dan demokratis dalam karsa dan karya pembangunan Republik Indonesia. Misi DPR RI pada hakekatnya merupakan upaya penjabaran Visi DPR RI agar lebih fokus dan terarah dengan mempertimbangkan kondisi dan perkembangan kebijakan, peraturan perundang-undangan, tanggung jawab pokok, dan kelembagaan DPR RI yang berlangsung selama ini.

Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka Misi DPR RI dirumuskan menjadi :

1. Mewujudkan penyelenggaraan fungsi legislasi yang efisien dan efektif. 2. Mewujudkan penyelenggaraan fungsi penganggaran negara yang

akuntabel dan transparan, serta mewujudkan penyelenggaraan fungsi pengawasan yang transparan dan efektif. 4

4

Sekretariat Jenderal DPR RI, Rencana Strategis DPR RI, artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/.


(1)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181.

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

TENTANG PORNOGRAFI I. UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.

Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:

1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;

2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan

3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat


(2)

Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.

Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3

Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Pasal 4 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Huruf a

Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.

Huruf c Cukup jelas. Huruf d

Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.

Huruf e Cukup jelas. Huruf f

Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

Ayat (2) Cukup jelas.


(3)

Pasal 5

Yang dimaksud dengan "mengunduh" (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.

Pasal 6

Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya. Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.

Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.

Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10

Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani. Pasal 11

Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.

Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.

Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan. Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.


(4)

Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi. Pasal 14

Cukup jelas Pasal 15

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Huruf a

Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a

Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya.

Ayat (2) Cukup jelas.


(5)

Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25

Yang dimaksud dengan "penyidik" adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36


(6)

Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas