7 huruf dalam al Quran

7 huruf dalam al Quran
Di kalangan para pengkaji ilmu Al- Quran dan hadits, gagasan tentang pewahyuan Al-Quran dalam
tujuh huruf merupakan masalah yang rumit dan masih menjadi teka-teki dalam sejarah Al-Quran.
Karena meskipun riwayat-riwayat yang datang mengenai masalah ini sahih dan hampir mencapai
derajat mutawatir--yakni prinsip tentang trnsmisi yang melalui mata rantai periwayatan yang
independen dan otoritatif dalam suatu skala yang sangat luas, sehingga menafikan kemungkinan
terjadinya kesalahan dan kekeliruan- namun riwayat-riwayat itu bersifat mujmal dan tak seorang pun
pernah menanyakan langsung kepada nabi maksud Sa’bah Ahruf di sini.
Oleh karena itu, polemik tentang pewahyuan dalam Al-Quran dalam tujuh huruf tidak pernah usai,
mulai dari para sarjana Al-Quran klasik sampai pengkaji Al-Quran kontemporer. Masing-masing ulama
itu mempunyai argumen dan cara pandang berbeda mengenai masalah ini. Perbedaan-perbedaan itu
memberikan ilustrasi bahwa alangkah sulit dan bahayanya pembahasan ini, dikatakan berbahaya
karena kesalahpahaman dalam pembahasan ini bisa berakibat fatal terhadap Al-Quran itu sendiri,
bahkan hal tersebut bisa dijadikan bumerang oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan dasar
utama umat Islam itu.
Latar Belakang Sosiologis Turunnya Sa’bah Ahruf dalam Al-Quran
Pada periode Makkah, Al-Quran memakai satu huruf yaitu bahasa Quraisy. Oleh karena itu
Rasulullah dan para sahabat tidak menemukan kesulitan yang berarti dalam membaca dan
memahami isi kandungan dalam Al-Quran. Namun, ketika Rasulullah dan para sahabat hijrah ke
Madinah, situasi dan kondisi telah berbeda jauh dengan apa yang ada di Makkah, di mana banyak
orang berbondong-bondong masuk islam dari berbagai kalangan yang berbeda. Di antara mereka

ada yang lanjut usia dan tidak mengerti baca tulis, sehingga mendapat kesulitan dalam membaca AlQuran yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada periode makkah.[1]
Telaah Terhadap Hadits Pewahyuan Al Quran dalam Tujuh Huruf
Telah dikatakan di atas, bahwa hadits-hadits sab’ah ahruf mencapai derajat shahih dan tawatur.
Seperti yang ditulis oleh Imam As-Suyuti di dalam Al-Itqan ada sebanyak 21 sahabat yang
meriwayatkan hadits sab’ah ahruf.[2] Namun, pada kenyataannya ada 24 sahabat.[3] Diantara para
sahabat yang meriwayatkannya adalah Ubay bin Ka’b, Anas, Khudzaifah bin Yaman, Zeyd bin Arqam,
Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Hisyam bin Hakam dan lain-lain.
Hadits-hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, Ibnu Hibban, al Hakim, dan telah ditakhrij oleh
Abu Daud Nasai, Turmudzi, Ahmad, at-Thabari.
Adapun jumlah sanad hadits sab’ah ahruf, sebanyak 46 sanad. Diantara sanad-sanad tersebut tidak
ada yang dhoif, kecuali delapan sanad. Begitu juga semua sanad muttasil, kecuali empat saja, hadits
tersebut dikuatkan dengan hadits muttasil.[4]
Hadits-hadits inilah yang menjadi landasan kuat bagi ulama tentang adanya gagasan pewahyuan AlQuran dalam tujuh huruf.
yang terkenal dari berbagai hadits ini adalah riwayat dari Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakam
berikut ini: Dari Miswar bin Makhramah dan Abdur Rahman bin Al-Qari bahwa keduanya mendengar
Umar bin Khattab berkata: “Aku berjalan melewati Hisyam bin Hakam bin Hizam yang tengah
membaca Al-Furqan pada masa Rasulullah SAW. Lalu dengan cermat kudengarkan bacaannya. Dia
membaca dalam dialek yang banyak, yang tidak pernah dibacakan Rasulullah kepadaku. Hampir saja
kuserang dia dalam shalatnya, tetapi aku bersabar hingga ia menyudahi shalatnya, kemudian aku
tarik bajunya dan menanyainya: “Siapa yang membacakan kepadamu surat yang kudengar tadi?”

jawabnya: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku.” Aku berkata: “Bohong kamu!
Sesungguhnya Rasulullah telah membacakannya kepadaku lain dari yang kamu bacakan.” Lalu aku
bawa dia ke Rasulullah dan mengadukannya: “Sesungguhnya aku telah mendengar orang ini
membaca surat Al-Furqan dalam ahruf yang tidak pernah anda bacakan kepadaku.” Maka Rasulullah
berkata: “Lepaskan dia, bacalah Hisyam!” Lalu Hisyam membaca dengan bacaannya yang kudengar
tadi. Kemudian Rasulullah Bersabda: “Demikianlah surat itu diturunkan.” Kemudian beliau berkata:
“Bacalah wahai Umar!” Maka aku pun membacakan bacaan yang pernah dibacakan Rasulullah
kepadaku. Rasulullah lalu bersabda: “Demikianlah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran ini
diwahyukan dalam tujuh huruf. Bacalah yang termudah darinya!”[5].
Demikian diriwayatkan bahwa Ubay bin ka’b suatu ketika mendengar seseorang di dalam sebuah
masjid membaca suatu bacaan Al-Quran yang tidak dikenalnya. Ubay menegurnya, tetapi orang lain

setelah itu juga melakukan hal yang sama. Mereka kemudian pergi menemui Rasulullah untuk
mengklarifikasi bacaan-bacaan yang berbeda dan Nabi mendengarkan bacaan-bacaan itu. Hal ini
membuat Ubay terpukul serta berkeringat dingin dan mencemaskan dirinya sebagai seorang
pembohong. Melihat kondisi Ubay, Nabi lalu menenangkannya dan bersabda: “Hai Ubay, aku diutus
untuk membacakan Al-Quran dalam satu huruf, tetapi aku menolaknya dan meminta agar umatku
diberi keringanan. Kemudian diulangi lagi kepadaku yang kedua kali; Bacalah al Quran dengan dua
huruf. Aku pun menolak lagi dan memohon agar umatku diberi keringanan. Lalu diulangi lagi yang
ketiga kalinya: Bacalah Al-Quran dalam tujuh huruf.

Sementara, sejumlah hadits lainnya mengungkapkan pewahyuan Al-Quran dalam tujuh ahruf, tetapi
tanpa merujuk kepada perselisihan tentang perbedaan bacaan di kalangan kaum muslimin generasi
pertama. Jadi Bukhori dan Muslim, misalnya, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang berkata bahwa
Nabi pernah bersabda: “Jibril membacakan Al-Quran kepadaku dalam satu harf, tetapi aku
menolaknya. Dan aku terus memohon kepadanya agar ditambahkan, maka dia menambahkannya
hingga akhirnya mencapai tujuh ahruf.”[6]
Demikian pula, dikabarkan Ubay bin Ka’b meriwayatkan bahwa ketika Nabi tengah berada di kolam
Banu Ghaffar, Jibril datang kepadanya dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu
membaca Al Quran kepada umatmu dalam satu harf..” Nabi lalu menjawab: “Saya memohon
perlindungan dan ampunan Allah, sesungguhnya umatku tidak mampu melakukannya.” Kemudian
Jibril mendatanginya lagi dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu membaca Al Quran
kepada umatmu dalam dua huruf.” Nabi memberikan jawaban yang sama, kemudian datang lagi Jibril
untuk ketiga kalinya dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu membaca Al Quran
kepada umatmu dalam tiga huruf.” Nabi masih juga memberikan jawaban yang sama, kemudian
datang lagi Jibril untuk keempat kalinya dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu
membaca Al Quran kepada umatmu dalam tujuh ahruf. Huruf apa saja yang mereka gunakan dalam
pembacaan Al Quran, maka mereka telah membacakannya secara tepat.”[7]
Dari Ubay ibn Ka’b berkata: “Rasulullah SAW, bertemu dengan Jibril pada suatu tempat bernama
Ahjar al-Marwa beliau berkata: “Hai Jibril sesungguhnya saya ini diutus kepada umat ummiyyin
(baca:buta huruf), di antara mereka adalah budak laki-laki, perempuan, nenek-nenek, kakek-kakek,

dan orang-orang yang sama sekali tidak pernah membaca buku. Jibril menjawab, “Hai Muhammad,
sesungguhnya Al Quran diturunkan dalam tujuh huruf.” (Hadits riwayat Tirmidzi dan beliau berkata,
“Ini adalah hadits hasan sahih)[8]
Dari nash-nash di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a.Turunnya Al-Quran dengan tujuh huruf merupakan kemudahan bagi umat Islam. Dimana banyaknya
orang yang masuk Islam dari berbagai golongan, usia, suku, dan bahasa mengakibatkan mereka
mendapatkan kesulitan dalam membaca Al-Quran. Oleh karena itu, Rasulullah meminta keringanan
dari Allah, sehingga turunlah Al-Ahruf as-Sab’ah.
b.Mulai terjadinya pembacaan dengan tujuh huruf setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, dengan
alasan sebagai berikut:
Disebutkan dalam beberapa riwayat adanya dua tempat. Yaitu Ahjarul Mar’i dan kolam Banu Ghaffar
dimana Rasulullah mendapatkan keringanan tujuh huruf, kedua tempat ini berada di Madinah.
Dalam sebuah riwayat Ubay disebutkan, bahwa perselisihan terhadap bacaan surat An-Nahl itu
terjadi di masjid. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa masjid pertama kali dibangun adalah di
Madinah.
c.Menurut DR. Abd. Shabur Syahin, izin memakai bacaan Al-Quran dengan tujuh huruf terjadi sekitar
tahun 9 hijriyah.
d.Yang dimaksud Sab’ah adalah hakekat bilangan yang terletak antara bilangan enam dan delapan.
e.Perintah membaca Al-Quran dengan tujuh huruf adalah lit Takhyir (tidak wajib). Oleh karena itu,
tidak ada larangan bagi yang membaca Al Quran dengan salah satu huruf seperti dalam hadits

dikatakan, “Dengan huruf apapun mereka baca, maka bacaan mereka adalah benar.”[9]
Interpretasi Ulama Seputar Sab’ah Ahruf
Sejumlah besar sarjana muslim, selama berabad-abad telah berupaya menjelaskan apa yang
dimaksud dengan ungkapan sab’ah ahruf dalam riwayat-riwayat tersebut. Abu Hatim Muhammad ibnu
Hibban al-Busti (wafat 354 H), misalnya, telah mengumpulkan 35 hingga 40 macam penjelasan
tentang hal tersebut yang dapat ditemukan dalam berbagai buku. Abu Syamah (wafat 665 H), sekitar
650 H, bahkan menulis sebuah buku khusus tentang berbagai penjelasan tujuh ahruf tersebut. AsSuyuti dalam Itqan juga menyebutkan bahwa penafsiran yang berkembang di kalangan sarjana
muslim tentang makna tujuh huruf ini tidak kurang dari empat puluh pendapat.
Namun sebagian besar penjelasan ini tidak memiliki signifikansi yang nyata, bahkan berseberangan

dengan kata-kata aktual yang ada dalam berbagai hadits. Beberapa ilustrasi berikut--yang dipilih dari
penjelasan-penjelasan paling populer di kalangan sarjana muslim—akan menunjukkan hal ini.
1.Sebagian sarjana muslim menjelaskan pengertian sab’ah ahruf dengan Al-Abwab al-Sab’ah (tujuh
segi), yang dengannya Al Quran turun. Ketujuh segi ini bertalian dengan perintah, larangan, janji,
ancaman, perdebatan, kisah masyarakat terdahulu, dan perumpamaan.
Penjelasan ini, sekalipun didasarkan pada beberapa riwayat, jelas bertabrakan dengan hadits-hadits
tentang tujuh ahruf yang menyiratkan perbedaan dalam pembacaan Al-Quran sebagai kemudahan
bagi kaum muslimin, lantaran ketidak mampuan mereka membacanya dalam satu huruf.
Jika perbedaan di kalangan sahabat menyangkut hal-hal yang dijelaskan dalam kandungan Al-Abwab
As Sab’ah, maka adalah mustahil bagi Nabi untuk menjastifikasi perbedaan-perbedaan tersebut,

karena berkontradiksi antara satu dengan yang lainnya; yang halal bagi suatu bacaan bisa menjadi
haram bagi bacaan lain, yang diperintahkan bisa menjadi terlarang, yang muhkam bisa menjadi
mutasyabih atau sebaliknya, dan seterusnya.
2.Pemaknaan tujuh ahruf berikutnya adalah tujuh dialek (lahjah) yang berbeda. Yakni dialek Quraisy,
Huzhail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Menurut penjelasan ini, jika ketujuh dialek
tersebut berbeda dalam mengungkapkan suatu makna, maka Al Quran diturunkan dengan sejumlah
lafaz yang sesuai dengan dialek-dialek tersebut. Tetapi bila tidak terdapat perbedaan, maka Al Quran
hanya diturunkan dengan satu lafaz.

Alan Ibnu Muhammad
tanpa jasa para penulis di masa lalu, kau tak mungkin seperti sekarang... maka balas budilah dengan
menulis untuk generasi setelahmu

Wednesday, July 25, 2012
SAB'AH AL-AHRUF, Dan, Sumber Kemunculan Qira’ah Sab’ah
Prolog
Termasuk wacana kajian seputar ilmu Al-Qur'an yang sengit diperselisihkan adalah sebuah hadits
‫ن على سبعة أحرف‬
‫”أنزل القرآ ن‬Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf” walaupun sebenarnya hadits ini
jelas sahih dengan riwayat yang tergolong mutawatir, karna rawi yang meriwayatkannya mencapai 21

sahabat, bahkan sempat adanya sahadah (penyaksian banyak sahabat atas kebenarannya), namun
secara global hadits ini banyak menimbulkan kontrofersi mengenai murad dan keberadaannya.
Riwayat dari umar bin khottob, abdulloh bin mas'ud, ubay bin ka'ab dan rawi-rawi lain menyatakan.
Bahwa. para shahabat berdebat mas'alah seputar bacaan (Qiraat) dalam al-qur'an, sebagian berbeda
dengan yang lainnya dalam membaca suatu ayat. dan masing-masing sama meyakini atas
kebenaran bacaannya, akhirnya mereka meminta penjelasan kepada nabi. Nabi kemudian
memerintahkan kepada masing-masing untuk membaca bacaannya, lantas beliau membenarkan
semuanya tanpa terkecuali dan menyuruh mereka menetapi bacaannya walau masing-masing
berbeda, sehingga ada sebagian dari mereka meragukan atas keputusan nabi. Rasulullah pun
mengetahuinya Kemudian menepuk dada mereka yang ragu tadi dan berkata “aku diperintah untuk
membaca al-qur'an dengan tujuh huruf “.
Dalam redaksi hadits lain yang di riwayatkan abi kuraib. Rasul bersabda.” ‫أمرني أن أقرأه على سبعة‬
‫ف‬
‫ف كا ف‬
‫ كلها شا ف‬،‫ب من الجنة‬
‫“ “ أحر ف‬aku diperintah (Allah) untuk membaca Al-Qur'an
‫ من سبعة أبوا ف‬،‫ف‬
dengan tujuh huruf dari tujuh pintu surga, semuanya mengobati dan mencukupi “.
Yang di maksud tujuh huruf adalah membaca Al-Qur'an dengan al-sinah as-sab'ah tujuh lisan
(bahasa). Namun tetap dengan makna dan artian sama. seperti kata Ta'al dan Halumma dua lafadz

sinonim yang memiliki satu arti “kemarilah”
‫م‬
‫ذي م‬
Contoh dalam sebuah ayat “ ‫مننوا‬
‫نآ م‬
‫ “ أفمل م ي‬imam 'ali Kw dan ibnu abbas ra membacanya
‫س ال ل ذ م‬
‫م ي مي يئ م م ذ‬
‫ل‬
‫م‬
dengan bahasa lain “ ‫ن آمننوا‬
‫ن ال ذ‬
‫ “ أفمل ي‬begitu pula ayat “‫ “ ماينظرون إل صيحة‬yang oleh abdullah
‫ذي م‬
‫م ي ممتبي ل ذ‬
dibaca “ ‫ة‬
‫“ ما ينظرون إل مزقي ة‬.
Mengenai bahasa tujuh yang dimaksud, antar ulama' berbeda pendapat, menurut Abu Hatim
Assajastani, tujuh bahasa itu ialah bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Uzaid, Rabi'ah, hawazin, dan
sa'ad bian abi bakar. Menurut yang lain, bahasa Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim

dan Yaman dan Ada yang mengatakan bahwa tujuh itu adalah tertentu dari bahasa mudlor karna
mudlor itu terdapat tujuh qabilah ya'ni Quraisy, Kinanah, Asad, Hudzail, Tamim, Dlobbah dan Qais,
dengan berhujjahkan perkataan utsman dan Ali “Al-Qur'an itu diturunkan dengan bahasa

Mudlor”.yang lain mengatakan lima bahasa tertentu milik Hawazin, sedang dua lainnya menyeluruh
bagi bangsa arab karna Hawazin berdekatan dengan temurunnya wahyu.
Maksud dari perkataan Utsman dan Ali “al-Qur'an diturunkan dengan bahasa mudlor atau qurais”
adalah pertama kali Al-Qur'an diturunkan berupa dialek qurais, kemudian agar mudah bagi orang
arab yang lain, allah memperbolehkan mereka membaca dengan bahasa masing-masing, sedangkan
bagi selain orang arab lebih utama membaca dengan dialek qurais karna keutamaannya, juga bagi
mereka yang ingin menghafal Al-Qur'an, maka dia harus dengan qurais sebagaiman pesan Ali pada
ibnu mas'ud “ajarilah manusia dengan bahasa quraisy” karna bagi selain arab (ajam) semua dialek
arab itu sama-sama sulit maka harus dipilih satu saja, namun yang lebih utama adalah bahasa nabi
muhammad, dan untuk membaca yang lain juga diperbolehkan selagi tidak bertentangan dengan
mushaf utsmani, sedang bagi orang arab yang kerepotan membaca dengan bahasa qurais maka ia
tidak dipaksa untuk membaca dengan bahasa qurais ia diperbolehkan membaca dengan bahasanya
bila tercakup dalam tujuh yang dimaksud.
Sedang yang dimaksud dengan tujuh pintu surga adalah ma'na yang ada dalam al-qur'an yang
berupa amar, nahi, targhib, tathib, qosos, jadal dan mitsal yang pabila dikerjakan maka pelakunya
dijanjikan masuk surga. Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat ulama' mutaqaddimin.

Yang dimaksud dengan potongan hadits ‫ف‬
‫ف كا ف‬
‫ “ ”كلها شا ف‬semuanya dari yang tujuh bisa mengobati
dan mencukupi” adalah sama dengan sebuah penjelasan dalam surat yunus ayat 57 “ ‫ما ذفي‬
‫ش م‬
‫وم ذ‬
‫فاءء ل ذ م‬
‫دور‬
‫ص ن‬
‫ ”ال ص‬Al-Qur'an sebagai obat bagi orang mu`min dari setiap penyakit yang timbul dihati, berupa
keraguan dari syetan. Dan sekaligus sudah mencukupi, dengan ayat yang masuk katagori mauidhoh
dari salah satu huruf yang tujuh.
Kitab yang turun kepada ummat terdahulu hanya berupa satu bab dan di baca Cuma dengan satu
huruf saja, Zabur milik nabi Daud Cuma berisikan tadzkir dan mauidzoh, Injilnya nabi Isa berisikan
tamjid, mahamid, haddlu 'ala al-shafhi dan I'rodl, yang jika dibaca tidak dengan bahasa yang
diturunkan, maka dikatakan tarjamah atau tafsir, sedangkan Al-Qur'an turun dengan tujuh ma'ani dan
bisa dibaca dengan tujuh bahasa, boleh dan mencukupi dengan membaca salah satunya, inilah
diantarea keistimewaan dari ummat Muhammad.
Tujuh huruf itu mempunyai derajat dalam perbedaannya, ada yang berbeda dalam cara baca dan
qiro'ahnya berupa qosr, mad dan lain sebagainya, namun tidak berbeda dalam bentuk tulisannya,

sebagian yang lain berbeda dalam bentuk tulisannya, namun sedikit sekali yang seperti ini.
Namun menurut Ibnu al-jazari ulama kemuka dalam bidang tajwid berkomentar bahwa perbedaan
dalam masalah idzhar, idghom, raum, isymam, tafkhim, tarqiq, mad, qasr, imalah, tahqiq, tashil, ibdal
dan naql bukanlah perbedaan dalam lafadz dan ma'na akan tetapi sifat yang berbeda dalam
penyampaiannya (ada') saja yang tidak sampai keluar dari satu huruf yang telah disepakati, seperti
membaca imalah dalam lafadz “musa” dan beberapa lafadz lain atau bahkan semua lafadz yang
berakhiran alif maqsuroh.
Perbedaan cara baca itu tidaklah sampai merusak arti Al-Qur'an, perbedaan itu hanya mengenai
dialek yang masih menjadi kebiasaan yang sukar diubah oleh beberapa qabilah arab, hal ini terjadi
tatkala setelah banyak qabilah arab yang berlainan lahjah memeluk islam, tujuannya jelas untuk
memberikan keringanan pada ummat dan “Tashil” memberikan kemudahan kepada qabilah selain
quraisy dalam membaca Al-Qur'an, kitab suci agama mereka, Sahabat Abdullah mengatakan. Saya
mendengar suatu bacaan kemudian aku temukan Mutaqoribain (kesamaan satu sama lain). Maka
bacalah sebagaimana yang kalian ketahui, jangan terlalu ketat dan keras. karna hal itu seperti
perkataan kalian Halumma, aqbil dan ta'al yang berarti “kemarilah”.
Dalam jumlah bahasa bacaannya Para sahabat mempunyai fariasi yang berbeda. Imam mujahid
membaca dengan lima bacaan, Sa'id bin Jubair dengan dua huruf dan yazid bin walid dengan tiga
bahasa.
Suatu ketika sahabat anas membaca sebuah ayat dalam surat al-Muzammil “ ‫ان ناشئة الليل هي اشد‬
‫ “ وطأ وأصوب قيل‬lalu sahabat yang lain (ada yang) menegor “ ‫ “ وأقوم‬lantas anas berkata “ , ‫وأقوم‬
‫ أهيأ‬, ‫ “ أصوب‬adalah sama.
Hadits Mengenai Sab'ah Ahruf
Diriwayatkan dari ubay bin ka'ab bahwa ketika rasul diperintah untuk membaca dengan Cuma satu
huruf, rasul masih mengajukan banding pada jibril “aku mohon ampunan dan perlindungan allah,
sesungguhnya ummatku tak akan sanggup” kemudian jibril pun berlalu hal itu terulang sampai empat
kali, akhirnya Jibril datang dengan membawa titah “sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk
membacakan Al-Qur'an kepada ummatmu dengan tujuh huruf, dari huruf yang mana saja ia
membaca maka ia telah benar”. Sebab mengapa Nabi berhenti untuk meminta, setelah jumlah
bacaan mencapai tujuh, karna mungkin baliau tahu bahwa ummatnya berbeda dalam tujuh bahasa
ini, maka rasul tidak meminta lebih dari itu (7) dalam membaca Al-Qur'an.
Dalam sebuah redaksi suatu ketika Nabi didatangi oleh jibril di hajar al-mira' nabi bersabda “aku

diutus kepada ummat yang ummy mereka ada yang budak, pelayan, orang tua yang harus bekerja
demi keluarganya, yang tua bangka dan orang yang sama sekali tidak pernah membaca kitab” lantas
jibril berkata “bacalah Al-Qur'an dengan tujuh huruf”. Rasululah juga bersabda “Bacalah apa yang
paling mudah dari yang tujuh huruf “ sedemikian besar syafaqoh beliau terhadap ummatnya. Dengan
memintakan rekomendasi kepada tuhan agar beban ummatnya diberikan keringanan dalam
melafadzkan kalam-kalam ilahi tidak dengan satu huruf melainkan dengan tujuh huruf.
Diceritakan oleh Muhammad bahwa malaikat jibril dan mikail mendatangi nabi Muhammad Saw.
kemudian jibril berkata “bacalah al-qur'an dengan dua huruf” mikail berseru “tambahlah” “bacalah alqur'an dengan tiga huruf” begitu seterusnya sampai tujuh huruf . Muhammad (rawi) mengomentari
“jangan berbeda dalam masalah halal, haram dan amar, nahinya”.
Rasululah bersabda kepada Umar “wahai umar al-qur'an itu (yang tujuh) semuanya benar selagi tidak
kau jadikan ayat rahmat menjadi ayat azhab dan sebaliknya ayat azhab kau baca sebagai ayat
rahmat” Ibnu syihab mengatakan “telah sampai padaku bahwa tujuh huruf itu tetap dalam satu
perintah (amar) tidak berbeda dalam segi halal dan haramnya”.
Riwayat dari ibnu mas'ud menyatakan bahwa rasul bersabda “al-qur'an di turunkan dengan tujuh
huruf, setiap huruf mempunyai Dhahir (yang jelas / nampak) dan bathin (yang samar).dan setiap huruf
ada had (batasan) nya dan setiap had ada tandanya”.
Rasululah bersabda “ragu-ragu dalam al-qur'an adalah kufur” -beliau mengulanginya tiga kali- apa
yang kalian ketahui, lakukanlah! (bacalah) dan apa yang tidak kalian ketahui, maka bertanyalah pada
orang yang mengetahuinya”. Dalam hadits lain “Barang siapa kufur terhadap satu huruf atau satu
ayat dalam Al-Qur'an maka ia telah kufur pada semuanya”.
Dalam redaksinya Umar ra menyatakan bahwa pertemuan jibril dengan Muhammad terjadi di ahjar almira' sedang dari ubai bin ka'ab terjadi di 'adho`ah bani ghifar perbedaan ini bisa saja terjadi karna
memang ayat dan kronologinya juga berbeda. ayat yang diseterukan oleh umar dengan sahabat lain
adalah ayat dalam surat furqon sedang yang diperselisihkan oleh ubay ada pada surat an-nahl.
Dari semua redaksi hadits seakan mengumpulkan bahwa asal mulanya tujuh huruf itu berfariasi, ada
yang murni permintaan nabi dengan sedikit bernegoisasi terlebih dahulu kepada jibril, ada yang
melalui perantara mika'il dan ada pula yang menyebutkan bahwa tujuh huruf itu perintah mutlak tanpa
melalui suatu proses apapun dari jibril.
Tujuh huruf dengan beberapa ta'wilannya
Sebagian dari ummat salaf mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf di sana adalah
sab'ah awjah, tujuh macam model penyampaian yang ada dalam al-qur'an yang berupa Amar, nahi,
wa'ad, Wa'id, jadal, qosos, mitsal. Namun bila dita'wil sedemikian, maka akan terjadi kontrofersi
hukum dalam al-qur'an, maka hukum akan tergantung bagaimana orang membacanya, orang yang
membaca suatu ayat dengan teks fardlu, maka ia terkena khitob wajib untuk melaksanakannya, orang
yang membaca dengan bentuk tahrim, maka ia pun diharam melakukan apa yang ia baca, begitu pula
bagi orang yang membacanya dalam konteks takhyir, maka ia diperkenankan untuk memilih, boleh
melaksanakan boleh tidak. Bagaimana hal ini bisa terjadi, padahal Allah swt telah menafikan
kontrofersi dalam ayat al-qur'an dengan firmannya dalam surat annisa' 82, “ maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al-qur’an ? kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak” lagi pula, kalau toh para sahabat kala itu berbeda dalam
ma'ani al-qur'an bukannya lafadz, maka mustahil rasul membenarkannya, bahkan sampai menyuruh
mereka menetapi bacaannya masing-masing, padahal nabi tidak mungkin memberikan sebuah
keputusan atas suatu masalah dalam satu waktu dengan dua keputusan sekaligus dan beliau juga
melarang hal itu pada ummatnya.
Sudah dimaklumi bahwa perdebatan antar sahabat bukanlah dalam segi tahlil (penghalalan), tahrim,
wa'ad, wa'id, dan sesamanya karna hal itu mustahil akan dibenarkan oleh rasul. dan lagi, para
sahabat antara satu sama lain tidak ada yang mengingkari bahwa Allah berhak memerintah,
melarang, menjanjikan hambanya yang taat, mengancam yang berbuat maksiat menurut
kehendaknya, memberi mau'idhah pada nabinya dan memberikan perumpamaan-perumpamaan
untuk hambanya. Mungkinkah mereka bersengketa dalam mas'alah tadi yang jelas-jelas mereka tidak
berani menggugat hak otoritas tuhan yang maha berkehendak ? Masih mungkinkah mereka berbeda
dalam membaca ma'ani al-qur'an ?..jelas imposible.
Ada yang menakwili bahwa tujuh huruf itu adalah, ada tujuh bahasa yang terdapat dalam Al-Qur'an
yakni tujuh ibarat dari bahasa-bahasa yang berbeda dari qabilah arab, namun yang mendominan
adalah berupa dialek Qurais. Menurut Ibnu Atiyyah “maksud dari hadits “'ala sab'ati ahruf” bahwa
didalam Al-Qur'an terdapat tujuh ibarat dari bahasa tujuh qabilah arab, kadang Al-Qur'an
menggunakan satu ibarat dari bahasa quraisy, dalam redaksi lain dengan bahasa hudzail, meninjau
mana yang lebih fasih dan lebih I'jaz satu sama lain, seperti cerita salah seorang sahabat yang tidak
mengetahui arti dari lafadz “fatara” dan setelah beliau melihat persengketaan orang 'arabi yang

berebut air di sebuah sumur, salah satunya berkata “Ana Fathartuha” yakni “Ana Ibtada'tuha” dari sini
sahabat itu mengetahui makna fathara yang ternyata bermakna ibtada'a (yang memulai pertama kali).
Pendapat ini jelas membuahkan kerancuan idiologi, yakni tidak bisa menselaraskan ide tersebut
dengan persengketaan sahabat yang kemudian masing-masing dibenarkan oleh nabi. Karna mereka
tidak mungkin bersengketa kalau yang dibaca adalah ayat dan surat yang berbeda dan lebih mustahil
lagi masalah pembenaran yang dilakukan oleh nabi.
Antara Qiro'ah Sab'ah Dan Sab'atu Ahruf
Sebagian ulama' mengatakan bahwa tujuh huruf itu masih ada dan tetap eksis sampai sekarang yang
kini popular dengan sebutan Qiroah Sab'ah. Inipun juga tidak berdasar kalau tujuh huruf itu di artikan
sedemikian, lalu bagaimana dengan qiro'ah asyroh yang tetap boleh dibaca, sekalipun bukan tawatur
apakah itu bukan Al-Qur'an?
Timbulnya qira'ah sab'ah adalah setelah masa tersebarnya mushaf yang di sebarkan oleh sayyidina
utsman ra di berbagai pusat Negara islam, jadi bukan bermula pada masa hidupnya nabi, melaikan
pada abad pertama dan tersiar setelah abad kedua.
Tersebutlah tujuh orang imam yang masyhur ahli qira'ah yang dikemudian hari terkenal dengan
qiro'ah assab'ah, karena masing-masing teliti dalam meriwayatkan qiro'ah yang bermuara dari nabi
Muhammad dan sesungguhnya masih ada tiga lagi imam yang lebih dikenal dengan qiraah asyrah
sekalipun riwayat mereka tidak mencapai derajah mutawatir namun bacaan mereka tetaplah di akui
berbeda dengan qiroah asyara yang dikenal dengan qiroah syadznya, oleh sebab itu adanya qiro'ah
sab'ah itu tidak ada sangkut pautnya dengan hadits nabi mengenai tujuh huruf dalam Al-Qur'an,
melainkan memiliki dasar tersendiri.
Sayyidina utsman ra tidaklah melakukan penyatuan yang nyata dalam menulis mushafnya, namun
beliau masih menyisakan bacaan yang berbeda dalam segi qira'ah dan ada` yang merupakan bagian
dari salah satu tujuh huruf yang dimiliki Al-Qur'an, karna memang tulisannya tidak berbeda dan cocok
dengan khot mushaf utsmani yang disepakati oleh sahabat. Jadi yang dihapus itu bukan secara
mutlak. tapi secara global, dengan artian yang menyalahi huruf quraisy dan tidak bisa dita'wil saja.
Tanpa memandang apakah penghapusan itu terjadi pada masa rasul atau setelahnya
Penulisan mushaf utsmani yang ketika itu dengan khot kufi, tanpa titik dan harakah adalah untuk
mengakomodasi terhadap sab'atu ahruf, agar huruf yang berbeda dengan dialek quraisy (dalam segi
titik dan harakah) namun bentuk tulisannya sama, bisa dicakup, seperti lafadz ‫ ننشزها‬yang dibaca
‫ ننسزها‬, sedangkan yang berbeda hurufnya seperti lafadz ‫ ووصى‬dengan ‫ وأ وصى‬maka ditulis dalam
mushaf lain, Seperti lafadz " ‫ " بالزبر وبالكتاب‬dengan tambahan ba' dalam mushaf yang dikirimkan ke
kota Syam, dan lafadz " ‫ " تجري من تحتها النهار‬dengan tambahan huruf ‫ من‬dimusahaf al-makki. Oleh
karena itu syarat untuk bacaan shahih diharuskan sesuai dengan salah satu dari tujuh mushaf yang
ditulis oleh sayyidina utsman tersebut dan bagi yang menyalahi maka dikatakan syadz karma
menyalahi tulisan yang sudah mujma' 'alaih (disepakati).
Imam makki bin abi thalib mengatakan bahwa qira'at yang kini masyhur dibaca dan disahkan
riwayatnya dari para imam itu adalah sebagian dari tujuh macam huruf yang sesuai dengan huruf
ketika Al-Qur'an diturunkan, namun bukan berarti yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh qiraah ini
melainkan sebagian / diantaranya.
Penghapusan
Kadang ada yang masih terasa janggal dipikiran kita, seperti apa contoh dari tujuh bahasa itu, kenapa
yang tersebar Cuma satu, kemudian yang enam kemana, apakah di hapus lantas tidak diberlakukan
lagi ? atau malah terlupakan, terus apakah ummat ini telah menyia-nyiakan sesuatu yang seharusnya
dijaga ? what happen ?
Sebenarnya perihal ini pun masih khilaf yang pertama menyatakan tidak dihapus, pun pula
ummat ini tidak masuk dalam katagori menyianyiakan Al-Qur'an yang seharusnya dijaga. Memang
benar ummat ini diperintah untuk menjaga Al-Qur'an, Hanya saja mereka diberikan pilihan salah satu
hurufnya saja, seperti halnya seorang yang melanggar janji, maka ia diberikan pilihan satu dari tiga
sangsi antara membebaskan budak, puasa atau memberikan makanan, begitu pula dalam masalah
ini, dengan menjaga satu saja maka sudah cukup, lagi pula bahasa qurais adalah yang asli.
Menurut Abu bakar bin 'arabi “ semua bahasa dan qira'ah gugur kecuali apa yang tertulis dalam
mushaf utsmani atas kesepakatan para sahabat sedang izin untuk membaca yang lain sebelum itu
telah habis”.
Qurthubi dengan dukungan nawawi dan thabari menyatakan bahwa “kelonggaran dengan membaca
tujuh huruf adalah disebabkan lemahnya mereka untuk memaham dan membaca Al-Qur'an dengan
bahasa lain karna mereka adalah komunitas ummy jarang sekali ada yang bisa tulis menulis,
sehingga sulit bagi mereka untuk mempelajari bahasa asing maka mereka diberikan rekomendasi
untuk membaca Al-Qur'an dengan bahasa yang berbeda namun tetap dengan artian yang sama dan
tentunya atas didikan dan tuntunan rasul, setelah banyak dari mereka menguasai bahasa quraisy

maka mereka tidak lagi diperkenankan membaca dengan bahasa yang berbeda”.
Ketika sayyidina utsman ra mengerahkan prajurit syam dan irak untuk memerangi penduduk Armenia
dan adzribaijan, datang sahabat hudzaifah bin tsabit menghadap beliau dan menghabarkan bahwa
pasukan muslimin berselisih mengenai bacaan Al-Qur'an, untuk itu dia menganjurkan agar kholifah
mengirimkan mushaf yang pernah ditulis pada masa abu bakar ke berbagai kota yang berselisih
untuk disatukan (disamakan) bacaannya, supaya nantinya tidak sama dengan kaum yahudi yang
yang berselisih dalam urusan kitab mereka.
“apabila kalian berselisih tentang suatu bacaan maka hendaklah kalian tulis dengan dialek
quraisy, karna Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa quraisy” begitulah pesan utsman kepada juru
salin mushaf, kemudian mushaf-mushaf itu di sebarkan ke kota makkah, basrah, kufah, syam dan
satu beliau simpan sendiri (di madinah) dan disebagian riwayat disebutkan tujuh salinan, dua lainnya
ke yaman dan Bahrain. Pada waktu itu beliau memerintahkan agar naskah Al-Qur'an yang
sebelumnya dibakar agar menyatu pada satu mushaf yang asal, sebelum diberikan rekomendasi
membaca dengan berbagai macam dialek yang berbeda, yaitu Al-Qur'an dengan dialek quraisy yang
dulunya tersimpan rapi dirumah hafshah. sekaligus untuk meredam perselisihan antara ummat islam
dalam membaca ayat Al-Qur'an.
Dari sini sebagian ulama mengatakan bahwa enam huruf selain dialek quraisy itu kini telah dinusakh
dengan sendirinya setelah hilangnya masyaqqah yang ada, karna rukhsoh, ketika sababnya telah
sirna, maka kembali pada hukum asal, yaitu bacalah Al-Qur'an dengan satu huruf, bahasa quraisy
tempat nabi diutus dan Al-Qur'an diturunkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi “qurasy
afshahu lisanan” bahasa quraisy adalah yang terfasih bahasanya.
Ulama' yang mengatakan terhapusnya huruf yang enam pun masih berselisih apakah penghapusan
terjadi pada masa nabi atau setelahnya namun kebanyakan lebih condong bahwa penghapusan itu
terjadi pada masa rasul.
Tujuh bahasa itu selesai dan habis masa berlakunya ketika pengumpulan mushaf pada satu huruf
dilakukan demi menghilangkan persengketaan, karna pertama kali Al-Qur'an diturunkan dengan
bahasa quraisy, kemudian diperbolehkan bagi orang arab yang mana Al-Qur'an diturunkan kepada
mereka dan sekaligus mereka sebagai sasaran khitab ketika itu, untuk membaca dengan bahasa
mereka masing masing yang telah menjadi perkataan sehari-hari walaupun berbeda dalam lafadz dan
I'rabnya, dan tidak ada paksaan bagi mereka untuk membaca dengan bahasa lain, Karena hal itu
menyulitkan bagi mereka, kemudian rasul wafat sedang setiap sahabat memegang bacaan yang
telah diajarkan oleh beliau walaupun berbeda dengan sahabat yang lain hal inilah yang kemudian
menyebabkan persengketaan antar sahabat yang tidak mengetahui akan adanya tujuh bahasa yang
diinformasikan oleh nabi, karna disibukkan dengan peperangan.
“Unzilul qur'an 'ala sab'ati ahruf” al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf, begitulah sabda nabi
menyikapi berdebatan para sahabatnya yang berselisih dalam perbedaan bacaan ayat, namun ketika
mereka kembali berselisih karna adanya tujuh huruf ini, maka para pemuka shahabat kala itu sepakat
untuk mengembalikannya pada satu huruf dan mengumpulkannya dalam mushaf yang sampai kini
terkenal dengan sebutan mushaf utsmani. Itulah Al-Qur'an yang sering dikoreksi oleh malaikat jibril
sekali dalam setahunnya tiap bulan ramadlan dan dua kali untuk yang terakhir kali. Wallahu a'lam.
Alan Ibnu Muhammad at 6:36 AM
Share
No comments:
Post a Comment

Home
View web version
Powered by Blogger
MAKNA “AL-QUR’AN TURUN DALAM TUJUH HURUF” (Bagian-2)
Selasa, 01 Nopember 11
Pendapat yang paling kuat di antara pendapat-pendapat itu semua adalah pendapat pertama, dan
bahwasanya yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa
‫م‬
‫ج ي‬
‫ أ مقيب ذ ي‬dan ‫سرذع ي‬
Arab dalam satu makna. Seperti kata ‫ل‬
‫ع م ج‬,‫م‬
‫ أ ي‬yang lafazh-lafazh tersebut
‫همل ن ل‬,‫ ت ممعال‬,‫ل‬
sekalipun berbeda namun maknanya adalah sama (yaitu kemari). Dan yang berpendapat dengan
pendapat ini adalah, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahb dan yang lainnya. Dan Ibnu Abdil

Barr menyandarkan pendapat ini kepda kebanyakan ulama. Dan yang menunjukkan hal ini adalah
hadits Abi Bakrah radhiyallahu 'anhu:
‫مي م‬
‫قا م‬
‫كاذئي ن‬
‫قا م‬
‫ل مقا م‬
‫ري ن‬
‫ة‬
‫ست مزذد يه ن ف م‬
‫فم م‬.‫ف‬
‫ يا محمد اقيمرأ ال ي ن‬:‫ل‬
‫سب يعم م‬
‫ل ذ‬
‫ن م‬
‫ ع مملى م‬:‫ل‬
‫حير ف‬
‫ن ع مملى م‬
‫قيرآ م‬
‫حلتى ب مل مغم ستة أو م‬
‫لا ي‬
‫أن ذ‬
‫جب ي ذ‬
‫حيرفمي ي ذ‬
‫م‬
‫ف م‬
‫حوم قمويل ذ م‬
‫ل ومأ مقيب ذ ي‬
‫ك ت ممعا م‬
‫قا م‬
‫مةف ب ذعم م‬
‫ة عم م‬
‫ ك نل صمها م‬:‫ل‬
‫ب‬
‫ف فم م‬
‫م تم ي‬
‫مةف أ موي آي م م‬
‫م آي م م‬
‫م مواذ يهم ي‬
‫ب نم ي‬
‫ة مر ي‬
‫ب ب ذمر ي‬
‫كا ف‬
‫شا ف‬
‫حنر ف‬
‫أ ي‬
‫ل ومهمل ن ل‬
‫ح م‬
‫ح م‬
‫خت ذ ي‬
‫ما ل م ي‬
‫ف م‬
‫ذا ف‬
‫ذا ف‬
‫م‬
‫ج ي‬
‫ل‬
‫سرذع ي ومع ي ج‬
‫ومأ ي‬
Sesungguhnya Jibril 'alaihissalam berkata:”Wahai Muhammad, bacalah al-Qur’an dalam satu huruf.” ”
Maka Mikail 'alaihissalam berkata:”Mintalah tambahan huruf.” Maka Jibril 'alaihissalam
berkata:”Dalam dua huruf.” Dan Jibril 'alaihissalam terus menerus menambahkannya sampai dalam
enam atau tujuh huruf. Lalu ia mengatakan:”Semuanya adalah obat penawar yang memadai, selama
ayat adzab (ayat yang menceritakan tentang siksa) tidak ditutup dengan ayat rahmat (ayat yang
menceritakan tentang rahmat/kasih sayang) dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti
‫م‬
‫ج ي‬
‫ أ مقيب ذ ي‬, ‫ل‬
‫ت ممعا م‬:ucapanmu
(HR Imam Ahmad no. 21055) ”‫ل‬
‫ ع ي ج‬dan , ‫سرذع ي‬
‫ اذ يهم ي‬,‫ل‬
‫أ ي‬,‫ب‬
Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata:”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan
lafazh-lafazh tersebut hanyalah untuk memberikan contoh terhadap huruf-huruh (dialek) yang
dengannya al-Qur’an diturunkan, dan bahwasanya ia adalah makna-makna yang sama
pemahamannya, dan beda pengucapannya. Dan tidak ada satupun di dalamnya makna yang saling
bertentangan, dan tidak ada sisi makna yang kotradiksi dan menafikkan makna sisi yang lain, seperti
kata rahmat yang berlawanan dengan adzab.”
Dan pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang banyak, di antaranya:
‫ت على رسول الله صلى الله عليه وسلم‬
‫ لقد قرأ ن‬:‫ فقال‬،‫قرأ رجل عند عمر بن الخطاب رضي الله عنه فغلير عليه‬
:‫ ألم تقرئني آية كذا وكذا؟ قال‬،‫ يا رسول الله‬:‫ فقال‬،‫ فاختصما عند النبي صلى الله عليه وسلم‬:‫ قال‬.‫ي‬
‫فلم يغجير عل ل‬
:‫ب صدره وقال‬
‫ فضر م‬:‫ قال‬،‫ فعرف النبي صلى الله عليه وسلم ذلك في وجهه‬،‫ فوقع في صدر عممر شيء‬:‫بلى! قال‬
‫ ما لم تجع ي‬،‫ إن القرآن كلله صواب‬،‫ يا عمنر‬:‫ ثم قال‬-‫قالها ثلةثا‬- ‫ابعمد ي شيطاةنا‬.
‫ة‬
‫ة عذاةبا أو عذابا رحم ة‬
‫ل رحم ة‬
Ada seorang laki-laki yang membaca al-Qur’an di sisi ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, lalu ”
hal itu membuat ‘Umar marah, lalu orang itu berkata:”Aku telah membacanya di sisi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, namun beliau tidak memarahiku.” Perawi hadits berkata:”Lalu keduanya
berselisih pendapat di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.” Maka orang itu berkata:”Wahai
Rasulullah bukankah anda membacakan kepadaku ayat ini dan ini?” Beliau bersabda:”Ya benar”
Perawi berkata:”Maka dalam diri ‘Umar radhiyallahu 'anhu ada sesuatu yang mengganjal (ketika
mendengar jawaban Nabi), maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui hal itu dari wajahnya.
Lalu beliau menepuk dada ‘Umar dan bersabda:”Jauhilah setan” Beliau mengulanginya tiga kali.
Kemudian beliau juga berkata:”Wahai ‘Umar, Al-Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat
rahmat tidak dijadikan ayat adzab, dan ayat adzab tidak dijadikan rahmat.” (Tafsir ath-Thabari)
Dari Busr bin Sa’id radhiyallahu 'anhu:
‫قيتها من رسول الله صلى الله عليه‬
‫ تل ل‬:‫ فقال هذا‬،‫ أن رجلين اختلفا في آية من القرآن‬:‫جهيم النصاري أخبره‬
‫أن أبا ن‬
‫ فسأل رسو م‬،‫قيتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم‬
،‫ل الله صلى الله عليه وسلم عنها‬
‫ تل ل‬:‫ وقال الخر‬.‫وسلم‬
‫مراء فيه‬
‫ن ال ذ‬
‫ فإ م‬،‫مامريوا في القرآن‬
‫ إ ن‬:‫فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‬
‫ فل ت م‬،‫ن القرآن أنزل على سبعة أحرف‬
(1) ‫كفءر‬
Abu Juhaim al-Anshari telah mengabarkan kepadaku, bahwa ada dua orang laki-laki berselisih ”
mengenai satu ayat di dalam Al Qur'an. Salah satu dari keduanya berkata:"Sesungguhya saya telah
menerima langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Sedangkan yang lain berkata:"Saya
juga menerimanya langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Lalu keduanya menanyakan
hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun bersabda:"Sesungguhnya Al-Qur`an
itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka janganlah Al-Qur'an itu diperdebatkan dan diperselisihan.
Karena perdebatan mengenai ayat Al-Qur'an itu merupakan kekufuran." (HR. Ahmad dalam alMusnad, Ath-Thabari dalam Tafsirnya)
‫ي أم م‬
Dari al-A’masy rahimahullah, ia berkata:”Anas radhiyallahu 'anhu membaca ayat ‫شد ص‬
‫شئ م م‬
‫ن منا ذ‬
‫إذ ل‬
‫ل هذ م‬
‫ة الل لي ي ذ‬
‫م‬
‫ب ذقيلة‬
‫ي‬
‫صو م ن‬
‫( ) ومطةئا وم أ ي‬QS. Al-Muzamil: 6) Maka sebagian orang berkata kepadanya:”Wahai Abu Hamzah

‫م‬
‫م‬
‫م‬
‫م‬
‫م‬
(Anas), kalimat itu ialah ‫م‬
‫صو م ن‬
‫صو م ن‬
‫( أقيوم ن‬bukan ‫ب‬
‫) أ ي‬. Maka beliau pun berkata:”‫ب‬
‫ أ ي‬,‫وم‬
‫ أقي م‬dan ‫ أهيميأ‬maknanya
sama.” (HR. Imam ath-Thabari)
Dan dari Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:
‫ فقال له‬.‫ اقرإ القرآن على حرفين‬:‫ننبئت أن جبرائيل وميكائيل أتيا النبي صلى الله عليه وسلم فقال له جبرائيل‬
‫ قال‬،‫ حتى بلغ سبعة أحرف‬:‫ قال‬.‫ استزده‬:‫ فقال له ميكائيل‬.‫ اقرإ القرآن على ثلثة أحرف‬:‫ فقال‬.‫ استزده‬:‫ميكائيل‬
‫ن م‬
‫ت ذإل‬
‫ل تختل ن‬: ‫محمد‬
‫ وفي قراءتنا } إ ذ ي‬:‫ قال‬،‫ تعال وهلم وأقبل‬:‫هو كقولك‬،‫ر ول نهي‬
‫كان م ي‬
‫ ول أم ف‬،‫ف في حلل ول حرام‬
(‫ في قراءة ابن مسعود )إن كانت إل زقية واحدة‬،[53 ،29 :‫حد مة ة { ]سورة يس‬
‫ة موا ذ‬
‫ح ة‬
‫صي ي م‬
‫م‬
Aku diberitahukan bahwa Malaikat Jibril dan Mikail 'alaihimassalam menemui Nabi shallallahu 'alaihi ”
wasallam, lalu Jibril 'alaihissalam berkata:”Bacalah al-Qur’an dengan dua huruf.” Maka Mikail
'alaihissalam berkata kepada beliau:”Mintalah tambah” Maka Jibril 'alaihissalam berkata:”Bacalah alQur’an dengan tiga huruf” Lalu Mikail 'alaihissalam brrkata lagi:”Mintalah tambah” Perawi
berkata:”Hingga sampai tujuh huruf” Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:”Huruf-huruf (bacaanbacaan) tersebut tidak berbeda dalam masalah halal haram, dan tidak pula dalam masalah perintah
dan larangan. Namun ia hanya seperti perkataanmu:’Ta’aal, Halumma, dan Aqbil. Dan seperti dalam
:qira’ah kita
‫ن م‬
{ ‫حد مة ة‬
‫ة موا ذ‬
‫ح ة‬
‫صي ي م‬
‫[ } إ ذ ي‬53 ،29 :‫]سورة يس‬
‫كان م ي‬
‫ت ذإل م‬
:Dan dalam qira’ahIbnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu
(‫)إن كانت إل زقية واحدة‬
(Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dalam Tafsirnya )
Pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek) Arab yang dengannya al-Qur’an diturunkan, yang artinya
bahwa secara keseluruhan kalimat-kalimat al-Qur’an tidak keluar dari ketujuh huruf tersebut dan
ketujuh huruf tersebut terkumpul dalam al-Qur’an. Pendapat ini dijawab bahwa bahasa Arab lebih dari
tujuh. Dan bahwasanya ‘Umar radhiyallahu 'anhu dan Hisyam bin Hakim keduanya adalah orang
Quraisy, satu kabilah, namun keduanya berbeda dalam bacaan mereka. Dan mustahil kalau ‘Umar
radhiyallahu 'anhu mengingkari bahasanya sendiri, maka hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan tujuh huruf bukanlah apa yang dimaksud oleh mereka (pendapat kedua). Dan tidak ada
maksud yang lain (dari tujuh huruf) kecuali ia adalah perbedaan alfazh dalam mengungkapkan satu
makna, dan itu adalah pendapat yang kami rajihkan.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah setelah membawakan dalil-dalil (yang menguatkan pendapatnya)
beliau berkata dalam rangka membatalkan pendapat kedua:”Bahkan tujuh huruf yang dengannya alQur’an diturunkan adalah tujuh bahasa dalam satu huruf, dan satu kalimat dengan perbedaan lafazh‫ أ مقيب ذ ي‬,‫م‬
lafazh dan kesesuaian makna. Seperti perkataan anda:” ‫ قنيرذبي‬,‫وي‬
‫ص ذ‬
‫دي ن م ي‬
‫ همل ن ل‬dan
‫ ق م ي‬,‫ي‬
‫ إ ذل م ل‬,‫ ت ممعال‬,‫ل‬
‫ح ذ‬
yang lain, dari lafazh-lafazh yang pengucapannya berbeda namun maknanya sama, sekalipun lisanlisan mereka berbeda dalam menjelaskannya. Seperti yang kami riwayatkan dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan yang kami riwayatkan dari Shahabat radhiyallahu 'anhum. Dan itu
‫ أ مقيب ذ ي‬,‫م‬
seperti perkataan anda:” ‫ ت ممعال‬,‫ل‬
‫همل ن ل‬. juga perkataan:”Maa Yanzhuruuna Illa Zaqiyyatn.’ dan dibaca
pula:“Illaa Shaihatan.”
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjawab pertanyaan yang mungkin terlontar:”Di kitab
Allah yang mana kita dapati satu huruf dibaca dengan tujuh bahasa (dialek) yang berbeda lafazh dan
sama dalam makna?” Maka beliau rahimahullah menjawab:”Kamu tidak mengklaim kalau hal itu ada
sekarang ini” Dan terhadap pertanyaan lain:”Lalu bagaimana dengan keenam huruf lainnya, kenapa
ia tidak ada?” Beliau jawab:”Umat Islam diperintahkan untuk menjaga (menghafalkan) al-Qur’an, dan
mereka diberi pilihan untuk membaca dan menghafalnya dengan huruf mana saja dari ketujuh huruf
tersebut yang mereka suka. Kemudian setelah itu ada alasan yang mengharuskan mereka
membacanya dengan satu huruf pada zaman ‘Utsman radhiyallahu 'anhu dikarenakan khawatir
munculnya fitnah. Kemudian ummat sepakat di atas hal tersebut (membaca dengan satu huruf) , yang

mana mereka terjaga dari kesesatan (maksudnya kesepakatan mereka adalah benar karena ummat
ini dijaga dari kesesatan).” (Tafsir ath-Thabari)
Pendapat ketiga yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh sisi
bahasa; yaitu berupa amr (perintah), nahyu (larangan), halal, haram, muhkam, mutaysabih, dan
matsal (perumpamaan). Maka bisa dijawab bahwa zhahir (makna yang nampak) dalam hadits-hadits
tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah suatu kalimat yang dibaca
dengan dua, tiga sampai tujuh model bacaan dalam rangka memberikan kelonggaran bagi ummat ini.
Dan satu perbuatan atau benda tidak mungkin menjadi halal atau haram dalam satu ayat, dan makna
kelonggaran bukan dalam hal mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dan juga
bukan dengan merubah sesuatu dari maknanya yang disebutkan.
Dan yang ada dalam hadits-hadts yang lalu menjelaskan bahwa para Shahabat radhiyallahu
'anhumyang berselisih dalam bacaan menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu
beliau meminta masing-masing dari mereka untuk membaca, kemudian beliau shallallahu 'alaihi
wasallam membenarkan masing-masing dari bacaan mereka sekalipun bacaannya berbeda-beda.
Sampai-sampai sebagian shahabat bingung terhadap pembenaran beliau terhadap bacaan-bacaan
tersebut. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para Shahabat yang bingung
ketika beliau membenarkan semua bacaan:
‫ممرني أن أقرأ على سبعة أحوف‬
‫إ ل‬
‫ن الله أ م‬
”.Sesungguhnya Allah memerintahkan aku untuk membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf ”
Dan sudah dimaklumi bahwa perdebatan (perselisihan) mereka dalam hal-hal yang mereka
perselisihkan di dalamnya adalah bagian dari itu (dalam masalah bacaan). Seandainya perdebatan
mereka dan perselisihan mereka dalam makna yang ditunjukkan oleh bacaan mereka berupa,
penghalalan, pengharaman, janji, ancaman dan yang semisalnya tentu mustahil bagi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam untuk membenarkan semuanya (perbedaan mereka), dan (mustahil)
memerintahkan masing-masing mereka untuk berpegang teguh dengan bacaannya masing-masing di
atas apa yang ada pada mereka.
Dan juga seandainya hal itu boleh dibenarkan maka berarti Allah Yang Mahaterpuji telah
memerintahkan sesuatu dan mewajibkannya –dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan
wajib- dan sekaligus melarang hal yang sama dan memperingatkannya –dalam bacaan orang yang
bacaannya menunjukkan larangan dan peringatan- dan juga membolehkan perbuatan itu. Dan berarti
juga Dia membolehkan bagi siapa saja para hamba-Nya untuk melakukan apa yang mereka suka
untuk mereka perbuat, dan bagi siapa dari para hambanya untuk meninggalkannya dalam bacaan
orang yang bacaannya menunjukkan takhyiir (pilihan).
Dan hal menjadikan orang yang berkata dengan pendapat ini menetapkan –seandainya ia
mengatakannya- apa yang telah dinafikkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitab-Nya:
‫م‬
‫ن ومل موي م‬
‫خت ذ م‬
{82} ‫لفا ة ك مذثيةرا‬
‫ن ال ي ن‬
‫دوا ذفيهذ ا ي‬
‫ن ذ‬
‫ن ذ‬
‫ج ن‬
‫عند ذ غ مي يرذ اللهذ ل موم م‬
‫كا م‬
‫قيرمءا م‬
‫أفمل م ي مت مد مب لنرو م‬
‫م ي‬
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi ”
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)
Dan dalam penafian (peniadaan) Allah Yang Mahaterpuji terhadap adanya perbedaan (perselisihan)
itu, adalah dalil yang sangat jelas bahwa Dia tidaklah menurunkan kitab-Nya melalui lisan Nabi-Nya,
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam melainkan dengan satu hukum yang disepakati oleh seluruh
makhluknya, bukan dengan hukum-hukum yang berbeda-beda.
Adapun pendapat keempat yang mengatakan bahwa maksud dari tujuh huruf adalah sisi-sisi
perbedaan yang di dalamnya terjadi perbedaan. Maka pendapat ini dijawab bahwa sekalipun
pendapat ini menyebar dan bisa diterima, namun ia tidak tegak dihadapan dalil-dalil pendapat
pertama yang secara t