Kekerasan dalam rumah tangga (1)

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA: ANTARA MAQASHID
SYARI’AH DAN TEORI KONFLIK
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah
Tafsir Ijtima’i

Oleh:

Abdul Bari Nasrudin
Ferra Dwi Jayanti
Wahyuni Zahrina Endang

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
JURUSAN TAFSIR HADIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 1

Abstrak

Tindakan kekerasan suami terhadap istri dipandang sebagian besar kalangan
sebagai tindakan yang wajar. Bahkan memberikan fatwa haram kepada istri yang
berani menentang suami ataupun membuka aib keluarga meskipun kasusnya
penzaliman kepada istri. Dalam makalah ini kami akan menelaah akar masalah
kekerasan dalam rumah tangga melalui pendekatan teori konflik dan menelaah

harapan syari’at (maqasid syari’ah) terhadap pasangan (suami dan istri) di dalam
rumah tangga.
Makalah ini akan menjelaskan alasan dan konsekuensi penafsiran QS. AnNisa ’ ayat 34 berkaitan dengan legitimasi suami boleh memukul istri. Perbandingan
akan dilakukan dengan melihat keumuman redaksi dari kekhususan sebab melalui
beberapa kitab tafsir. Tujuan kami dalam menulis makalah ini adalah mengeksplorasi
persoalan tersebut dan juga menganalisis argumentasi penafsiran berbeda, yang
digunakan dalam mendukung kondisi masyarakat tertentu dan apakah argumen
seperti itu masih relevan dengan kondisi sekarang.

Pengantar
Banyak teori yang muncul berkaitan dengan persoalan-persoalan mengenai
hubungan yang berbeda antar seks. Salah satu yang merupakan persoalan tersebut
adalah ketidakadilan gender, salah satunya adalah bentuk kekerasan (violence).
Teori yang berkembang sehubungan dengan kekerasan ini adalah teori konflik.

Teori ini berangkat dari asumsi Karl Marx bahwa dalam susunan di dalam suatu
masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling merebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Siapa yang memiliki sumber-sumber produksi dan distribusi merekalah yang
memiliki peluang untuk memainkan peran di dalamnya. Dalam hal ini perempuan
mengalami penurunan status karena dalam kapitalisme, penindasan perempuan
diperlukan

untuk mendatangkan keuntungan, Pertama , eksploitasi perempuan di

dalam rumah tangga akan membuat buruh laki-laki di pabrik lebih produktif. Kedua ,
perempuan juga berperan dalam reproduksi buruh murah. Murahnya upah tenaga
kerja ini menguntungkan kapitalisme. Ketiga , masuknya buruh perempuan sebagai
buruh dengan upah lebih rendah menciptakan „buruh cadangan‟. Melimpahnya buruh

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 2

cadangan memperkuat posisi tawar menawar para pemilik modal (kapitalis) dan
mengancam solidaritas kaum buruh.

Menurut Nasaruddin Umar, teori konflik mendapat kritik dari sejumlah ahli,
karena terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang
selanjutnya menghasilkan konflik. Dahrendorf dan Rondall Collins, yang dikenal
pendukung teori konflik modern, tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx.
Menurut mereka, konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan ketegangan
antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, termasuk
ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan isteri, senior dan yunior, laki-laki
dan perempuan dan sebagainya.1
Dalam konteks Islam sebagai dasar ke-ma ’ruf-an yang dinamis untuk
menyingkap masalah yang berkaitan dengan status gender sendiri, pada hakikatnya
konflik tidak hanya terjadi karena dorongan nafsu untuk saling memperebutkan
kekuasaan saja, tetapi juga lemahnya atau tidak berkuasa jiwa seseorang (nafs) di
dalam mengemban tanggung jawab. Maka upaya kami dalam makalah ini adalah
menganalisa bentuk konflik dari individu-suami istri- di dalam kehidupan berumah
tangga-yang menyebabkan kekerasan dalam rumah Tangga. Juga sebagai upaya
dalam menghidupkan harapan syari‟ah (Maqashid Syari’ah) di dalam upayahnya
menjaga keutuhan keluarga.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) atau disebut


juga

kekerasan domestik adalah penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang yang berada
dalam satu keluarga terhadap anggota keluarga lain. KDRT dapat berbentuk: 1)
penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan); 2) penganiayaan psikis atau
emosional (seperti ancaman, hinaan, cemohan); dan 3) penganiayaan seksual
(pemaksaan hubungan seksual).
KDRT dapat menimpa siapa saja di dalam rumah tangga, termasuk ibu, istri,
suami, bapak, anak atau bahkan pembantu rumah tangga. Namun, dalam banyak
literatur, KDRT lebih dipersempit artinya, yaitu hanya mencakup penganiaan suami
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qu ’a , (Jakarta: Paramida,
2001), h. 61-64
1

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 3

terhadap istrinya karena kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak dialami oleh
para istri ketimbang anggota keluarga yang lain. Dengan ungkapan lain, KDRT

meliputi segala bentuk perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak mengenakkan
(seperti penderitaan), rasa sakit, luka, dan sengaja merusak kesehatan. Termasuk
dalam kategori penganiayaan kepada istri adalah pengabaian kewajiban memberi
nafkah lahir dan batin.2
Kalau kita tilik ke belakang, kekerasan laki-laki terhadap perempuan itu setua
relasi laki-laki dengan perempuan itu sendiri. Kekerasan dalam masyarakat
sesungguhnya berangkat dari semacam ideologi yang membenarkan praktek
penindasan yang dilakukan perorangan maupun kelompok terhadap pihak lain.
Penindasan timbul dari pandangan subordinatif (menyepelekan “yang lain”) yang
dinamika sosial politik yang berakar pada tatanan hierarkis submisif dan
mengesahkan kekerasan sebagai sebuah meknisme kontrol.
Hingga kini, kekerasan sebagai sarana kontrol lumrah dilakukan demi
melegitimasi sebuah kekuasaan; dan selama patriarki “disepakati” sebagai suatu yang
alami, selama itu pula kekerasan terhadap perempuan akan terus terjadi. Walaupun
perempuan sudah menjadi korban dan objek kekerasan, ia juga masih dipojokkan
sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan yang ia derita. Selama mitos
kejatuhan Adam yang digoda oleh Hawa masih terus dipercaya dan dianggap sebagai
kebenaran, selama itu pula perempuan akan dituduh sebagai penggoda dan karenanya
laki-laki berhak merkosanya.3


Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi isu global dan merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, hal ini terdapat didalam Pasal 1 Deklarasi
Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1993:

2

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung:
Mizan, 2005), h. 155
3
Siti Ruhai i Dzuhayati , “Ma ital Rape: “uatu Ke is ayaa ? dalam Islam dan Konstruksi
Seksualitas (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, The Ford Foundation, dan Pustaka Pelajar, 2002), h.
118-119

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 4

“Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau

mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan
psikologis,

termasuk

ancaman

tindakan

tertentu,

pemaksaan,

perampasan

kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi.”
Selain ketentuan hukum internasional, hukum nasional telah mengatur
kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga yaitu UU No.23/2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT), diantaranya

yaitu Pasal 1 Ayat 1:
“Pengertian Kekerasan terhadap Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraanatau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” 4
Perbuatan suami menyerang istri itu melanggar hukum. Seorang suami dapat
dijatuhkan ke pengadilan jika istri mengajukan tuntutan hukum akibat serangan atau
penganiayaan yang diterimanya. Berdasarkan kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) pelaku penganiaya dalam rumah tangga dapat dihukum, didenda atau
penjara. Hukuman penjara untuk kasus penganiayaan yang korbannya bukan kaum
keluarga berkisar antara 8 bulan – 15 tahun. Sedangkan penganiayaan yang dilakukan
terhadap anggota keluarga (Bapak, Ibu, Istria tau anak) maka hukumannya ditambah
dengan sepertika hukuman pasal penganiayaan lainnya. 5
Dimensi-dimensi Konflik
Seorang psikologis klinis dari universitas Indonesia, Yati Utoyo Lubis,
menyatakan bahwa sebuah rumah tangga merupakan lahan subur bagi terjadinya
konflik. Ini wajar, mengingat ada dua kepribadian yang berbeda hidup berdampingan

4


YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Panduan Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum, Edisi 2006, (Jakarta: YLBHI, 2007), h. 119
5
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga [Belajar dari Kehidupan
Rasulullah], (Jakarta: Lembaga Kajian Agama & Gender. 1999), h. 34

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 5

sekian lama dalam satu atap. Akan tetapi, potensi konflik tak harus berwujud menjadi
konflik bila berhasil dikelola dengan baik. 6
Pada umumnya setiap orang bangga dengan kepribadian yang disandangnya
yang membuat istimewa, unik dan berbeda dengan orang lain. Selanjutnya dengan
kepribadian itulah dia membangun relasi dan interaksi dengan individu lain. Tetapi
patut diwaspadaibahwa perbedaan kepribadian yang terus menerus ditonjolkan dapat
menjadi sumber konflik yang akan menggrogti keharmonisan rumah tangga.
Perbedaan itu seyogianya bukan untuk ditonjolkan, melainkan dikelola sebagai bagian
dari harmoni hidup berumah tangga.

Sebagai contoh seseorang sebelum menikah memiliki pribadi yang kritis,
analitis dan cenderung lamban memeberikan reaksi karena selalu memikirkan secara
mendalam tindakan yang diambilnya. Jika ia menikah dengan pasangan yang ia
memiliki pribadi riang, hangat, bertindak cepat dan bersemangat, kemungkinan
terjadinya konflik akan sangat terbuka.7
Untuk bisa menangani konflik secara baik dan benar, tentunya diperlukan
pengenalan yang baik dari akar timbulnya konflik tersebut. Banyak hal yang dapat
mendatangkan terjadinya konflik, baik dari faktor internal maupun eksternal. Siti
Zainab merumuskan bahwa ada lima aspek yang saling saling mempengaruhi dalam
kehidupan seseorang. Kelima aspek tersebut adalah pikiran, suasana hati, perilaku,
reaksi fisik, dan lingkungan. Seperti pada gambar 1.1.8 Garis-garis penghubung
menunjukkan bahwa setiap aspek yang berbeda dari kehidupan seseorang
mempengaruhi aspek lainnya. Misalnya, perubahan perilaku seseorang berpengaruh
bagaimana cara kita berfikir dan merasa (baik secara fisik maupun emosional).
Perubahan perilaku juga bisa mengubah lingkungan. Demikian halnya juga dengan

6

Mohammad Zaka al-Farisi, When I Love You: Menuju Sukses Hubungan Suami Istri. (Jakarta:
Gema Insani Press, 2008), h. 113

7
EB Subakti. Sudah Siapkah Anda Menikah? Panduan bagi siapa saja yang dalam proses
menemukan hal penting dalam hidup, (Jakarta: Elekmedia Komputindo, 2008), h. 274_
8
Lihat penjelasan Siti zainab yang menyebut agama yang turut berpengaruh pada lima faktor
lainnya dari rumusan Dennis Greenberger (pikiran, suasana hati, perilaku, reaksi fisik dan lingkungan).
(Siti zainab, Manajemen Konflik Suami Istri dala Pe spektif Al u ’a , Tesis: Konsentrasi Dakwa Dan
Komunikasi Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 23. Atau lihat Dennis
Greenberger, Mind Over Mood: Change How You Feel by Changing the Way You Think, New York: The
Guilford Press, 1995.

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 6

perubahan pemikiran akan mengubah perilaku, suasana hati, reaksi fisik, dan juga bisa
menyebabkan terjadinya perubahan di dalam lingkungan sosial seserang tersebut.

Lingkungan
Pikiran

Reaksi Fisik

Agama
Aahjkjkm

Suasana hati

Perilaku

Gambar 1.1
Dari lima enam faktor yang dapat mempengaruhi adanya konflik tersebut, faktor
yang dianggap sentral oleh Zainab adalah faktor agama. Agama yang termasuk di
dalamnya masalah aqidah, syari’ah dan muamalah. Keagamaan tersebut bukan
sekedar

pengetahuan,

namun

termasuk

(bahkan

sangat

penting)

adalah

pengalamannya. Seberapa besar/kuat agama seseorang, akan berpengaruh pada
perubahan pikiran, suasana hati, perilaku, reaksi fisik, serta lingkungannya (faktor
dari luar). Karenya bisa dikatakan bahwa agama adalah faktor sentral dan dominan
yang bisa mempengaruhi hidup dan kehidupan seseorang. 9
Konflik dalam rumah tangga bisa terjadi dari berbagai sebab. Terkadang sebab
tersebut hanya satu, namun tidak jarang terdiri lebih dari satu sebab. Bahkan
penyebab pertama bisa mendatangkan penyebab berikutnya. Adapun sebab-sebab
terjadinya knflik tersebut, yaitu:
a. Agama

Siti zainab, Manajemen Konflik Suami Istri dala Pe spektif Al u ’a , Tesis: Konsentrasi
Dakwa Dan Komunikasi Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 23
9

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 7

Seringkali konflik terjadi karena ketidaksiapan/ketidakmampuan seserang
mengurus rumah tangga dan ketidaktahuan akan hak dan kewajiban suami istri yang
telah ditentukan oleh hukum agama.
Karenanya sangat relevan Rasulullah SAW menganjurkan memilih pasangan
hidup (suami tau istri), faktor yang perlu diperhatikan adalah agama.
Allah memberikan perumpamaan bagaimana orang yang hidup bukan
berdasarkan ketentuan-Nya karena menjadikan panutan dan pelindung selain-Nya
seperti rumah laba-laba, yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Firman Allah SWT:
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain
Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang
paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengeta hui.” (QS. al-

Ankabut/29: 41)
b. Pikiran
Pikiran yang buruk dan tidak benar akibat dari dangkalnya pengetahuan dan
pengalaman agama diantaranya adalah: perasangka buruk, baik terhadap pasangan
(suami atau istri) atau keluarganya, maupun lingkungannya. Prasangka buruk ini
sangatlah berbahaya terhadap keharmonisan hubungan manusia dalam setiap lini
kehidupan bahkan hubungan kepada Allah. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba -sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencaricari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. alHujurat/49:12)
c. Suasana Hati
Setiap orang pasti memiliki suasana hati ( mood) yang berbeda-beda. Suasana
hati atau bisa disebut emosi ini keadaannya selalu berubah. Dalam suatu emosi yang
Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 8

marah dari salah satu pasangan misalnya suami, maka istri biasanya timbul respon
menolak. Dalam situasi seperti ini diperlukan sikap mental atau pikiran yang matang
untuk mempertimbangkan reaksi yang diberikan, sehingga tidak menyebabkan
perlawanan yang berujung pada pertengkaran. Oleh karena itu sabar menjadi senjata
yang ampuh dimana istri bisa menunggu suasana hati suaminya kembali stabil karena
penghargaan terhadap waktu sangat dibutuhkan dalam penyelesaian konflik.
Hal yang sangat mendasar adalah dalam hati seseorang besemayam niat. Yaitu
menentukan nilai yang berharga atau sia-sia, mulia atau nista. Menejemen qalbu
diperlukan agar setiap keinginan, perasaan atau dorongan apapun yang keluar dari
perasaan seseorang tersaring niatnya sehingga melahirkan kebaikan, kemuliaan dan
kemanfaatan, baik dunia maupun akhirat, baik keperluan fisik atau rohani.
d. Perilaku
Niat tersebut dikelola dengan proses akal pikiran agar bisa direalisasikan
dengan efektif dan efisien dalam bentuk perilaku atau perbuatan.
Perilaku yang buruk dapat diakibatkan karena kurangnya pengetahuan agama
maupun pengaruh lingkungan sekitar. Al-Qur‟an memberikan contoh tentang perilaku
istri yang khianat kepada suaminya, yaitu firman Allah SWT:
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orangorang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di
antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya
(masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari
(siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam
bersama orang-orang yang masuk (jahannam)". (QS. al-Tahrīm [66]: 10)

e. Reaksi Fisik
Reaksi-reaksi yang ditimbulkan dari pikiran yang buruk, suasana hati yang
tidak stabil dan perilaku yang menyimpang adalah menuduh, amarah dan sampai
memukul. Reaksi seperti ini akan mempersulit pemecahan masalah. Misalnya
kecenderungan istri menuduh suami atau sebaliknya akan menurunkan rasa tanggung
jawab terhadap persoalan yang dihadapi. Maka untuk mengatasi hal ini sebaiknya
tidak berfikir yang macam-macam.
Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 9

Reaksi marah pun demikian, emosi ini akan mengakibatkan timbul kata-kata
yang tidak enak di dengar dan mengeluarkan tuduhan yang sembrono. Dalam situasi
seperti ini marah yang ringan bisa ditahan sebelum datang marah yang tinggi dengan
harapan marah tersebut dapat lenyap karena marah yang tinggi sekalipun tidak ada
gunanya jika dipikirkan baik-baik.
Namun jika suami sudah terlanjur marah tinggi, sebaiknya istri berusaha fokus
kepada permasalahan bukan keegoisan masing-masing.
Dari kesemua sebab-sebab konflik di atas bisa dikatakan bahwa akar
permasalahan utamanya adalah ketidakdewasaan dari masing-masing pihak dan masih
mengedepankan ego (nafsu) masing-masing. Ketidakdewasaan tersebut dapat
diakibatkan oleh kurang matangnya proses berfikir, emosi dan pengalaman spiritual
(pengetahuaan keagamaan) serta pengaruh lingkungan buruk sekitar. Allah SWT
mengancam dalam al-Qur‟an bahwa dunia akan hancur jika mengikuti hawa nafsu
manusia, yaitu firmannya-Nya:
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit
dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka

berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. al-Mu‟minūn [23]: 71)
Prinsip Qur’ani
a) Pembagian Tugas Suami dan Istri
Keadilan atau keseimbangan dalam hak dan kewajiban merupakan dasar
utama pembagian tugas antara suami dan istrinya, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah SWT:”... bagi mereka para istri hak yang seimbang dengan kewajiban
sesuai dengan yang ma’ruf (yakni kebiasaan yang telah diakui dan disetujui secara
umum). Dan para suami memiliki satu tingkat kelebihan atas istri-istri mereka (yakni

dalam kedudukan sebagai kepala rumah tangga)” (QS. al-Baqarah [2]: 228).
Untuk mencapai keseimbangan dalam hak dan kewajiban masing-masing,
agama Islam memberikan petunjuk agar pergaulan timbal balik antara suami istri
berlangsung atas dasar fitrah dan kondisi biologis dan fisiologis masing-masing
sebagai laki-laki dan perempuan. Seorang suami- pada umumnya-lebih mampu
Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 10

bekerja keras dan berdaya upaya dalam mencari nafkah di luar rumah, sedangkan
seorang istri lebih mampu bekerja di dalam rumah memelihara ketertiban dan
ketenanan rumah tangganya, mendidik anak-anaknya dan mempersiapkan segala
sesuatu demi kenyamanan suami serta semua anggota keluarga lainnya.
Itulah sebabnya Rasulullah SAW membagi tugas antara putri beliau (Fatimah
r.a.) dan suaminya (Ali bin Abi Thalib r.a.), dengan mewajibkan pengaturan rumah
tangga dan kesejahteraan keluarga atas fatimah r.a. sedangkan tugas pekerjaan dan
pencarian nafkah di luar rumah atas Ali r.a.
Al-Bukhari dan al-Muslim merawikan bahwa Ali r.a. pernah mengantarkan
istrinya, Fatimah r.a., menghadap Rasulullah SAW., mengeluhkan kepadanya betapa
Fatimah r.a. merasa kelelahan akibat melakukan sendiri segala pekerjaan rumah
tangga dan pengurusan putra putrinya. Mereka mengharapkan sekiranya Rasulullah
Saw. berkenan memberinya salah serang pembantu (mungkin yang dimaksud adalah
dari kalangan para tawanan yang belum diselesaikan urusannya, sebagaimana yang
berlaku secara umum pada waktu itu). namun, rupanya beliau tidak begitu saja
memenuhi harapan mereka, bahkan menganjurkan yang lain. Sabda beliau kepada
mereka berdua, “Tidakkah kalian ingin sekiranya aku memberi kalian sesuatu yang
lebih baik daripada apa yang kalian minta? Apabila kalian bersiap untuk tidur bacalah
subhanallah sebanyak tiga puluh kali, alhamdulillah sebanyak tiga puluh tiga kali, dan
Allahu Akbar sebanyak tiga puluh empat kali. Yang demikian itu lebih utama bagi
kalian daripada seorang pembantu.
Demikianlah yang ditetapkan oleh Rasulullah berkenanaan dengan pembagian
tugas para suami dan istri, termasuk antara Ali r.a. dan Fatimah r.a. serta para sahabat
yang lain, dalam urusan rumah tangga mereka. pengurusan rumah tangga dan
pemeliharaan anak menjadi kewajiban pokok para istri, sedangkankewajiban pokok
mencari nafkah bagi kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan keluarga. Dengan
cara pembagian tugas seperti inilah akan terpenuhi hak dan kewajiban masing-masing
suami istri sebagaimana yang telah ditetapkan al-Qur‟an diatas.10
b) Penafsiran-penafsiran yang Kontradiktif
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut al-Qu ’a
Ulama, (Bandung: Karisma, 2008), h. 154-155
10

As-Sunnah, dan Pendapat Para

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 11

Mereka yang menganggap suami diperbolehkan memukul istri menurut
kehendaknya-saat istri dianggap salah- mendasarkan klaimnya pada ayat dalam alQur‟an, yang di dalamnya dipercaya bahwa kebolehan memukul telah disebutkan.
Jelaslah, jika sesuatu dinyatakan halal dalam al-Qur‟an, dan tidak dinyatakan haram
pada tempat lain dalam al-Qur‟an, maka ia harus tetap halal. Subjek pertentangan
berakar dalam al-Qur‟an berikut:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. ” (QS. an-Nisa: 34)

Sejumlah penafsiran klasik menunjukkan bahwa memukul istri diperbolehkan
dengan pukulan yang tidak menyakitkan-ketika tidak taat kepada suami-setelah suami
tidak berhasil memberikan nasihat da memisahkan diri dari tempat tidur. Para
mufassir juga menjelaskan pengutamaan laki-laki atas wanita wanita disebabkan dari
berbagai segi, diantaranya: segi kekuasaan adalah dikhususkan untuk laki-laki,
kenabian, kerasulan, penghususan mereka dalam berbagai macam ibadah seperti
jihad, shalat Hari raya dan shalat Jum‟at, dan apa yang Allah telah berikan secara
khusus kepada mereka berupa akal pikiran yang matang, kesabaran dan ketegaran
yang tidak dimiliki oleh wanita demikian juga Allah menghususkan kewajiban nafkah
kepada istri, maka dapat diketahui bahwa laki-laki adalah seperti wali dan tuan bagi
istrinya, sedangkan istri adalah pendamping atau pelayan. Maka tugas laki-laki adalah
memerintahkan apa yang Allah telah perintahkan untuk dilindungi, dan tugas wanita
adalah melakukan ketaatan kepada RabbNya dan ketaatan kepada suaminnya, oleh
karena itulah Allah berfirman: “Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat”
yaitu ia taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada ”.

(Zamakhsyari, Kasyaf; al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an; Fakh ar Razi, Tafsir
Kabir; al-Syaukani, Fathul Qadir ; dan lainnya).

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 12

Muhammad Abduh menjadi salah seorang pemikir paling progresif dimasanya
yang mengevaluasi perilaku suami dan istri. Dalam tafsirnya, yang dikutip oleh
Khalid Hidayatullah,11 Abduh menjelaskan bahwa perintah memukul istri bukanlah
suatu yang bertentangan akal dan fitrah dengan akal dan fitrah memukul diperlukan
jika keadaan sudah memburuk dan akhlak sudah rusak. Suami boleh memukul istri
ketika suami melihat bahwa rujuknya istri hanya dengan memukulnya. Menurutnya
setiap keadaan mengharuskan hukuman yang sesuai, sementara kita diperintahkan
untuk menyayangi kaum perempuannya dengan cara yang baik, tidak menganiaya,
menjaganya dengan cara yang baik dan jika menceraikannya harus dengan cara yang
baik pula. Menurut Abduh „pukulan‟ yang dipahaminya sebenarnya bukanlah pukulan
secara harfiyahnya; tetapi cenderung bermakna metafora yaitu mendidik atau
memberi pelajaran.
Rashid Ridha menolak tegas anggapan orang yang terbaratkan, bahwa Islam
menindas kaum perempuan karena adanya perintah pemukulan. Ia menggariskan,
bahwa pemukulan dilakukan sebagai langkah terakhir jika langkah-langkah
sebelumnyatidak berhasil, dan itupun harus tidak menyakiti (ghayr mubarrih). Untuk
itu ia mengutip hadis Rasulullah SAW: “Ketahuilah aku kabarkan kepada kalian ahli
neraka itu adalah laki-laki yang keras hati, kasar, sombong, yang suka menyakiti

istrinya, yang bakhil, dan terlalu banyak berzina.” Menurutnya pemukulan adalah
obat pahit dan dia mengtakan bahwa laki-laki yang shaleh tidak akan memukuli
perempuan walaupun diperbolehkan.
Rasyid Ridha sepakat dengan pendapat Abduh tentang tindakan yang harus
ditempuh suami terhadap istri yang nusyuz. Untk menguatkan pendapatnya ia
menmengemukakan beberapa hadis tentang larangan memukul istri. Salah stunya
adalah hadis yang diriwayatka oleh Aisyah r.a: “ Tidaklah salah seorang diantara
kalian merasa malu memukul istrinya seperti memukul budak,,”

Quraish Shihab, dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa kata dharaba
mempunyai banyak arti selain memukul. Kata ini tidak selalu dipahami menyakiti
atau melakukan tindakan keras dan kasar. Dengan mengutip pendapat ulama dahulu,
disini Quraish Shihab nampak tidak beranjak dari kata dharaba dalam pengertian
11

Kholid Hidayatullah, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta: el-Kahfi,
2012), h. 117-118

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 13

„memukul‟ yang memang paling sering digunakan, namun ia menegaskan untuk tidak
memahami kata „memukul‟ dalam arti „menyakiti‟. Pemukulan yang diperintahkan di
sini adalah yang tidak mencederai atau menyakitkan. Pada penjelasan selanjutnya, ia
mengutip pula pendapat ulama misalnya-Ibn al-„Arabi-yang menolak mengartikan
„memukul secara literal.
Ada sebuah hadis yang menarik dan dapat dipakai untuk memaknai kata
dharaba dalam ayat tanpa mengartikan dengan memukul, yaitu hadis yang

diriwayatkan dari Mu‟adz bin Jabal tatkala Rasulullah SAW mengutusnya ke
Yaman:12
َ ‫َ صلَى‬
َ
‫َ عليْه سلَم ل َ أ اد أ ْ يبْعث مع ا إلى ا ْلي‬
‫أَ س‬
َ
َ
َ ‫َ صلَى‬
َ
ْ ‫َ عليْه سلَم ق فإ ْ ل ْم تج‬
‫َ ق فإ ْ ل ْم تج ْ في كت‬
‫قض ء ق أ ْقضي ب ت‬
‫َ ق فبسنَة س‬
َ
َ
َ ‫َ صلَى‬
‫فضرب رسول ه‬
‫َ صلهى ه‬
َ
‫في سنَة س‬
‫َ عليْه سلَم َ في كت‬
‫َ ق أجْ ت أْيي َ آل‬
‫ق كيْف ت ْقضي إ ا ع ض لك‬

َ
َ

َ
‫َل ي ْ ي س‬

‫س‬

‫س‬

َ‫ف‬

َ‫َ ال‬

ْ ‫ق ا ْل‬

‫سله ص ْر‬

ْ‫ل‬

Dalam hadis tersebut dharaba mempunyai arti “menepuk” bahwasannya
Rasulullah Saw. menepuk dadanya seraya berucap hamdallah. Menepuk dada tidak
mungkin dilakukan dengan keras. Apabila kata dharaba ini kita ambil ayat diatas
akan lebih sesuai dengan prilaku untuk memperbaiki istri supaya lebih menyentuh
kepada hatinya, disertai dengan komunikasi yang baik (qaulan ma’rufan),
sebagaimana firman Allah SWT: “...ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik”(QS. an-Nisa[4]: 5). Karena bisa jadi nasihat pertama yang diberikan oleh suami
tidak diterima karena suasana hati suami masih dikuasai emosi ( ghadhab).
Maqasid Syariah
Kami mendasarkan penjelasan dan komentar kami mengenai kekerasan dalam
rumah tangga-kaitannya dengan tujuan syariat-dalam lima prinsip berikut.
Prinsip Pertama: Perlindungan terhadap Agama (Hifdz al-Din)
Islam menjaga hak dan kewajiban berkeyakinan dan beribadah. Hak dan
kewajiban ini mulai diajarkan oleh orang tua dalam kepada anak lingkungan keluarga.
Etika dalam beragama orang tua akan berpengaruh sedikit banyat kepada anaknya.
Maka dibutuhkan kerjasama yang kuat dari pihak ayah dan ibu.
12

Lihat Sunan Abu Dawud, Bab Ijtihad al-Ra’ fi al-Qadha’, No Hadis 3594

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 14

Terkadang konflik muncul dari cara mengajarkan kedisiplinan yang berbeda
antara suami dan istri kepada anak-anaknya. Tindakan kekerasan pun berpotensi besar
dalam hal ini. Diantaranya pertengkaran suami istri akibat tingkah laku anaknya.
Menjaga agama ini sama halnya dengan menjaga jatuhnya seseorang pada
lubang kesesatan yang dapat mengantarnya layak mendapat siksa dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman agar seseorang dapat menjaga diri dan keluarganya dari murkaNya, yaitu firman-Nya , “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa

yang diperintahkan.”

Prinsip kedua: Perlindungan terhadap Jiwa (Hifdz an-Nafs)
Jiwa

manusia

sangat

dimuliakan,

dijaga

dan

dipertahankan,

tidak

membiarkannya dekat dengan sumber-sumber kerusakan/kehancuran. Allah SWT
berfirman, “...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan...” (QS. al-Baqarah [2]: 195)

Meskipun ayat ini diturunkan untuk menjelaskan keadaan orang yang menolak
mengeluarkan zakat, namun pengambilan konklusi adalah berdasarkan umumnya
teks, bukan khususnya sebab.
Dalam ayat lain Allah berfirman,

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”

Kekerasan merupakan salah satu bentuk perusakan jiwa. Sikap aniaya ini
dapat merusak fondasi sosial peradaban masyarakat yang mulai dibangu dari sebuah
keluarga. Hal ini penting bahwa sikap aniaya merupakan seorang hamba kepada
Tuhannya.
Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 15

Dalam pergaulan rumah tangga, istri berhak atas dirinya mendapatkan
perlakuan yang baik dari suaminya, sesuai dengan firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata[279]. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. an-Nisa’:

)

Prinsip ketiga: Perlindungan terhadap Akal (Hifdz al-‘Aql)
Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata
hati, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat
perintah dari Allah SWT disampaikan, dengannya pula manusia berhak menjadi
pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna, mulia, dan
berbeda dengan makhluk lainnya, 13 Allah SWT berfirman:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS.
al-Isra [17]: 70)
Nabi SAW bersabda, Akal adalah ahaya hati ya g
ya g hak da

e

edaka a ta a pe ka a

atil

Dari sini Islam memerintahkan kita untuk menjaga akal, mencegah segala bentuk
penganiayaan yang ditujukan kepadanya, atau yang bisa menyebabkan rusak dan
berkurangnya akal tersebut untuk menghormati dan memuliakan mereka, dan untuk

Ahmad al-mursi husain Jauhar, Penerjemah: Khikmawati, Ma asid “ya i’ah, (Jakarta:
Amzah, 2009), h. 91
13

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 16

merealisasikan semua kemasahatan umum yang menjadi pondasi kehidupan manusia, yaitu
menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga benda.

Prinsip

keempat:

Perlindungan

terhadap

Kehormatan/Keturunan

(Hifdhz al-‘Ard)
Islam menjaamin kehormatan manusia dengan me memberikan perhatian yang
sangat besar, yang dapat digunakan untuk memberikan spesialisasi hak kepada hak
asasi mereka. perlindungan ini jelas terlihat dalam sanksi berat yang dijatuhkan dalam
masalah zina, dan masalah qadzaf. Islam Juga memberikan perlindunganperlindungan lain yang bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan manusia
diantaranya pengharaman ghibah (menggunjing), mengadu domba, memata-matai,
mengumpat, mencela dengan menggunakan panggilan buruk, dan sebagainya.
Terkait hifd al-nasl atau perlindungan terhadap hak reproduksi, Masdar F.
Mas‟udi menyebutkan tiga hak kaum perempuan (istri) sebagai pengemban fungsi
reproduksi yang harus dijamin dan dilindungi, yakni: (1) hak jaminan keselamatan
dan kesehatan. Hak ini sifatnya mutlak, sebab resiko yang bisa terjadi pada para istri
dalam menjalankan fungsi-fungsi repreduksinya sangat sangat besar, mulai dari
mensturasi, berhubungan seks, mengandung, melahirkan dan menyusui. (2) hak
jaminan kesejahteraan, bukan saja selama proses vital reproduksi (mengandung,
melahirkan, dan menyusui) berlangsung, tapi juga di luar masa-masa itu dalam
statusnya sebagai istri dan ibu dari anak-anak. Dan, (3) hak ikut mengambil keputusan
yang menyangkut kepentingan perempuan (istri) khususnya yang berkaitan dengan
proses-proses reproduksi reproduksi.14
Prinsip maqashid as-syari’ah (perlindungan maslahah primer, kepentingan
umum, dan hak-hak dasar manusia), sexual equality (persamaan hak bagi laki-laki dan
perempuan) dan mu’asyarah bi al-ma’ruf (reaksi suami istri yang baik dan patut)
sebagaimana yang diajarkan (hukum) Islam.15
Perinsip kelima: Perlindungan terhadap harta benda ( Hifdz al-Mal)

Masdar M.
as’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh
Pemberdayaan, edisi revisi (Bandung: Mizan, 2000), h. 81-83. Lihat juga QS. al-Baqarah [2]: 223 dan
as-Syu’ara [ ]:
15
Milda Marlia, Marital Rape, Kekeraan Seksual Terhadap Istri (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren (Kelompok Penerbit LKiS, 2007), h.
14

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 17

Harta

merupakan

salah

satu

kebutuhan

inti

dari

kehidupan,

sebagaimana firman Allah,

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalanamalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih

baik untuk menjadi harapan.” (QS. al-Kahfi[18]: 46)
Dalam menikmati harta demi menjaga eksistensinya al-Qur‟an telah mengatur
untuk tidak berlebihan karena pemborosan dapat mengakibatkan kerusakan, firman
Allah SWT:

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf [ ]:

)

Perolehan harta yang halal dan baik pastinya berasal dari usaha yang halal dan baik,
namun perlu disadari bahwa harta yang kita peroleh merupakan harta Allah. Sama halnya
dengann anak juga merupakan karunia Allah, sehingga di lalam rumah tangga, seorang
bapak tidak dapat menguasai hartanya sesuka hatinya (atau istri jika ia juga berpenghasilan)
begitu juga berbuat sesuka hati kepada anak. Sehingga diperlukan kerjasama yang baik
suami dan istri untuk menjaga karunia tersebut.
Allah SWT berfir a : “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang
Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikankebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (QS. al-Mukminun [23]:
55)
Kekerasan dalam rumah tangga yang di dorong oleh persoalan ekonomi menjadi
akibat kurang sadarnya seseorang dalam memaknai usaha dan perolehan harta yang
dimilikinya. Ia mengesampingkan aspek lain seperti penjagaan terhadap prinsip maqashid
syari’ah ya g lai :

e jaga aga a,

e jaga jiwa,

e jaga kal,

e jaga keturu a sehi gga

dapat dipungkiri penjagaan atas harta ini terabaikan.

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 18

Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu tindakan yang tidak
bertanggung jawab seseorang dihadapan keluarganya maupun dihadapan Allah SWT.
Agama, akal dan hati, merupakan karunia dari Allah yang wajib dijaga dengan caraperilaku-tanggung jawab. Selain menjadi sumber manfaat, ketiganya dapat menjadi
sumber konflik yang sangat berkaitan, salah satu diantaranya jika tidak dikelolah
dengan baik akan mempengaruhi yang lain. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi
reaksi buruk seseorang akibat dari rendahnya pemahaman agama serta kuarangnya
kecerdasan emosional seseorang di dalam menghadapi masalah, sehingga hati pun
mudah dikuasai dengan nafsu negatif.
Islam adalah agama yang menyediakan hukum-hukum yang sesuai dengan
sifat manusia dan yang secara meyakinkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia.
Konflik dalam rumah tangga tidak selalu dapat dihindarkan. Dengan demikian Islam
menawarkan konsekuensi atas penjagaan diri dan martabat seseorang melalui
maqashid syari’ah. Kekerasan dalam rumah tangga dapat merusak tujuan syari‟at
yang diharapkan karena pada dasarnya agama sangat menjaga an-nasl (yang berkaitan
dengan perlindungan hak reproduksi wanita).

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 19

DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Muhammad. Fiqih Praktis II: Menurut al-Qur’an As-Sunnah, dan Pendapat
Para Ulama. Bandung: Karisma, 2008

Ciciek, Farha Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga [Belajar dari
Kehidupan Rasulullah]. Jakarta: Lembaga Kajian Agama & Gender. 1999

Dzuhayatin, Siti Ruhaini “Marital Rape: Suatu Keniscayaan?” dalam Islam dan
Konstruksi Seksualitas. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan

Kalijaga, The Ford

Foundation, dan Pustaka Pelajar, 2002
EB Subakti. Sudah Siapkah Anda Menikah? Panduan bagi siapa saja yang dalam
proses menemukan hal penting dalam hidup. Jakarta: Elekmedia Komputindo,

2008
al-Farisi, Mohammad Zaka. When I Love You: Menuju Sukses Hubungan Suami Istri.
Jakarta: Gema Insani Press, 2008
Hidayatullah, Kholid. Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar .
Jakarta: el-Kahfi, 2012
Jauhar, Ahmad al-mursi Husain. Penerjemah: Khikmawati, Maqasid Syari’ah.
Jakarta: Amzah, 2009
Marlia, Milda, Marital Rape. Kekeraan Seksual Terhadap Istri (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. Kelompok Penerbit LKiS, 2007
Mas‟udi, Masdar M. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh
Pemberdayaan, edisi revisi. Bandung: Mizan, 2000

Mulia, Siti Musdah Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan . Bandung:
Mizan, 2005
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an. Jakarta:
Paramida, 2001
YLBHI dan PSHK. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Panduan Anda
Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Edisi 2006. Jakarta: YLBHI,

2007
Zainab, Siti Manajemen Konflik Suami Istri dalam Perspektif Alqur’an, Tesis:
Konsentrasi Dakwa Dan Komunikasi Program Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Antara Teori Konflik dan Maqashid Syari’ah

Page 20