Sosiologi Agama dalam Perspektif Teologi

Sosiologi Agama dalam Perspektif Teologi Dogmatik
Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Email: [email protected]
Abstract
In this article the author offers an idea about contribution of the sociology of religion to theology.
Traditional approach of doing theology often considers culture and all its elements just as an
object of theological enterprise. The biblical text is the only valid and authentical source of
theological reflection. As a result, people tends to underestimate the value containing in people
religious expressions and experiences. The author does not accept such a view. He is of the
opinion that people religious expressions and experiences must be regarded as one of authentic
source of doing theology. Equal attention and honor must be given to both: biblical text and
cultural text if we want to find a meaningful expression and experience of God’s love and
salvation work in our daily activity. From this perspective the author throws a new light to
reconsider the task of theological reflection. It is not just to repeat or to receive meaning which
has alredy been formulated both in the bible and in the history of theological discussion.
Theology must be understood more as an attempt to create or to make a meaning which help
people in every given time. Theology is for the author has to be considered more as a meaning
making exercise, not just as a meaning receving work.
Keywords: theology, sociologi of religion, actual beliefs.
Pengantar
Satu waktu di penghujung tahun 2014, mahasiswa program Magister Sosiologi Agama Fak.

Teologi UKSW – Salatiga meminta saya memandu sebuah diskusi mengawali acara ibadah
penutupan semester ganjil 2014 sekaligus untuk merayakan natal mini dan premature 1 mereka.
Tema yang mereka harapkan menjadi sorotan pembahasan adalah Sosiologi Agama dalam
Perspektif Teologi. Sederhananya, bagaimana teologi memandang sosiologi agama.
Dalam berbagai diskusi lepas ada beberapa kalangan yang mempersoalkan perkawinan
antara teologi dan sosiologi agama yang dikerjakan oleh Fakultas Teologi UKSW. Perkawinan
itu dianggap sebagai sebuah bastard2 yang tidak wajar, bahkan menyalahi hukum kodrat
keilmuaan dari teologi. Itu ibarat mendoakan dan meneguhkan perkawinkan antara kuda dan
kerbau. Alasannya adalah sulit dicarikan garis vertikal yang bisa mempertautkan rumpun ilmu
teologi dan sosiologi agama.
1

Saya menyebut natal mini karena dilakukan tanda ornament klasik natal, juga tanpa ibadah dan pembacaan
Alkitab, melainkan diganti dengan presentasi makalah saya. Juga saya sebut natal prematur karena dirayakan masih
dalam minggu adventus pertama. Ini satu kebiasaan yang mengusik iman saya karena merusak makna perayaan
minggu-minggu adventus.
2
Perkawinan yang sah tapi menyimpang.

Fakultas Teologi UKSW sudah sejak awal memilih untuk tidak menduplikasi arah

pengembangan teologi dari dua lembaga pendidikan teologi yang sudah lebih dulu ada di Jawa,
yakni Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan Fak. Teologi Universitas Kristen Duta Wacana. Untuk
maksud itu pilihan jatuh pada kajian teologis yang berorientasi sosiologi agama. Kajian-kajian
ilmu sosial dan budaya cultural state yang ada di Indonesia dijadikan salah satu rujukan penting
dalam melakukan refleksi teologi. Tentu maksudnya tidak lain adalah demi mengembangkan
teologi yang berkarakter ke-Indonesiaan.3
Sebagai pendatang baru di Fakultas Teologi UKSW sekaligus yang sudah jauh hari
sebelumnya menaruh minat pada diskusi dan dialog yang dialektis antara teologi dan keyakinankeyakinan religius yang dipegang dan dipraktekkan masyarakat budaya di Indonesia saya
mengapresiasi pilihan orientasi pengembangan teologi yang diambil Fak. Teologi UKSW tetapi
juga terkejut mendengar suara-suara sumbang yang mempersoalkan kelayakan perkawinan
antara teologi dan sosiologi agama. Waktu mahasiswa program studi Magister Sosiologi Agama
meminta saya memandu diskusi sebagai intellectual warming up mengawali ibadah natal
sekaligus penutupan semester mereka, saya menyambut gembira permintaan itu. Maka lahirlah
tulisan ini yang bertujuan memperlihatkan signifikansi kajian sosiologi agama bagi
pengembangan teologi yang bercorak (berkarakter) kontekstual. Tulisan untuk brainstorming itu
mengalami pengembangan seperti dalam tulisan yang saya persembahkan untuk merayakan
ulang tahun perak program studi sosiologi agama di Fakultas Teologi UKSW.
Untuk maksud tadi langkah-langkah yang akan diambil dalam mengkaji permasalahan
tadi adalah: pertama, gambaran singkat mengenai intisari dari kajian ilmu sosiologi agama.
Kedua, melakukan kajian singkat tentang ruang lingkup dan isi dari kajian ilmu teologi. Langkah

ketiga berisi pembahasan mengenai perlunya dialog yang dialektis dalam teologi antara
pemaknaan keselamatan sebagaimana yang dipahami manusia dalam Alkitab dan pemaknaan
akan hidup sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat dalam budaya. Pokok ini dipercakapkan
di bawah judul actual beliefs in the light of the Gospel. Selanjutnya pembahasan akan
memuncak pada peredaksian kembali definisi teologi sebagai hasil dari dialog pada langkah
sebelumnya. Melakukan tugas berteologi dengan memanfaatkan bahan-bahan kajian sosiologi
agama akan menghasilkan pluralisme kebenaran. Ini berakibat, menurut akal sehat teologi akan
kehilangan standar kebenaran. Satu paragraf akan disediakan untuk membicarakan permasalahan
ini. Sebuah kesimpulan singkat sekaligus akan berfungsi sebagai penutup dari tulisan ini.
Bidang Kajian Sosiologi Agama
Manusia adalah homo socius. Ia hidup dalam satu jaringan makna. Jaringan makna itu dalam
pandangan sosial disebut agama. Lalu sosiologi agama merupakan bagian dari ilmu agama yang
menyibukkan diri dengan mempelajari problema-problema yang berkenaan dengan agama dan
masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Penyelidikan yang dilakukan dalam studi
3

John A. Titaley. Pilihan-Pilihan Satya Wacana. Renungan Idealisme UKSW. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana. 2013., hlm. 71.

sosiologi agama berlangsung di sekitar pengaruh masyarakat atas agama dan gejala-gejalanya,

tetapi juga sebaliknya, yakni pengaruh agama atas masyarakat dan gejala-gejala
kemasyarakatan.4
Agama mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat juga mempengaruhi
penghayatan terhadap agama. Itulah bidang kajian sosiologi agama. Secara singkat dapat kita
katakan, sosiologi agama adalah studi ilmiah mengenai cara-cara bagaimana masyarakat,
kebudayaan dan kepribadian menjalankan pengaruhnya atas agama, atas asal-mula ajaranajarannya, praktek-prakteknya, atas jenis-jenis golongan-golongan, jenis-jenis kepemimpinan. Di
pihak lain, sosiologi agama juga menyelidiki cara-cara agama menjalankan pengaruhnya atas
masyarakat, kebudayaan dan kepribadian. Pengaruh timbal-balik itu nampak dalam berbagai hal
seperti pemeliharaan sosial, perubahan sosial, struktur dan sistim normatif, dll. Semua ini
mengkristal dalam pelbagai jaringan dan simbol makna.5
Makna-makna tadi adalah bentukan masyarakat dan selanjutnya kembali membentuk
kehidupan masyarakat. Life-style dari satu orang atau satu masyarakat merefleksikan maknamakna tadi. Kepercayaan masyarakat tentang penyakit, misalnya, itu direfleksikan dalam apa
yang anggota masyarakat lakukan pada saat mereka mengalami sakit, misalnya dengan pergi ke
tempat tertentu, bertemu dengan orang tertentu dan juga obat-obat yang dipakai. Sebaliknya,
berbagai aktivitas manusia: pribadi dan masyarakat ikut mempengaruhi bagaimana pahampaham dan ajaran-ajaran dalam agama dibentuk dan diberi isi. Life-style ini beserta dengan
perangkat makna yang menjadi energi pendorongnya disebut actual beliefs yang adalah
pengertian keilmuan dipahami sebagai keyakinan dari suatu masyarakat yang dijadikan pegangan
dalam mengatur tingkah laku dan tindakan-tindakan masyarakat baik secara komunal maupun
tiap-tiap individu anggotanya.6
Actual beliefs tadi tempatnya ada dalam seni, puisi, literatur, tarian, musik yang

masyarakat ciptaan atau yang masyarakat gunakan. Keyakinan yang masyarakat pegang
berhubungan dengan alam semesta dan bagaimana mereka hidup sering ditemukan dalam cerita
rakyat dan juga dalam amsal-amsal. Dalam hubungan ini Karyer van Aalst, seorang misionaris
Eropa yang bekerja 25 tahun di Seram (Maluku) kemudian Kapan (Timor) dari tahun 1904 –
1929 menulis sebagai berikut:7
Dogmatika masyarakat tradisional tersimpan dalam cerita-cerita tua mereka. Kalau kau
sudah menemukan tanah subur tempat dogmatika itu berada, kau akan dapat
menanamkan benih agama Kristen di situ. Etika dan moral juga akan kau temukan dalam
zaga-zaga mereka, seperti mutiara yang tersembunyi dalam rumah kerang yang bagian
luarnya banyak ditutupi parasit dan sel-sel yang sudah mati.
4

J.A.B. Jongeneel. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1983.
Setakan kedua., hlm. 68.
5
J.A.B. Jongeneel. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen., hlm. 70.
6
Philip Hughes. “The Use of Actual Beliefs in Contextualizing Theology.” Dalam: East Asia Journal of Theology.
October 1984. Vol. 2 No. 2., hlm. 251.
7

Krayer van Aalst. Brieven uit Kapan LV. Dalam: De Timor-bode. No. 78, Oktober 1922. Terjemahan dari penulis

Selain cerita-cerita rakyat, berbagai peralatan dan perkakas kehidupan, dalam aturan dan normanorma yang menjaga dan mengendalikan kehidupan, dalam keluarga, dalam status personal yang
direfleksikan dalam cara pribadi-pribadi itu hidup juga apa yang diyakini masyarakat sebagai
perangkat-perangkat hidup di mana actual beliefs mengkristal. Semua ini merupakan deposito
atau kepustakaan di mana actual beliefs masyarakat tersimpan. Sosiologi agama sebagaimana
kita tahu berurusan dengan actual beliefs dari satu masyarakat. Ia menyibukkan diri untuk
memeriksa, mempelajari dan merumuskan actual beliefs yang menjadi sumber identitas dalam
pola-pola kajian yang bisa digunakan untuk dapat memahami dan mendekati masyarakat tadi.
Bidang Kajian Ilmu Teologi
Selain sebagai makhluk sosial, manusia pada saat yang sama adalah homo teologicus, yakni
makhluk yang mengantungkan hidupnya pada apa yang Rudolf Otto namakan mysterius
tremendous et fascinan. Manusia berhadapan dengan adanya suatu kuasa yang menggetarkan
tetapi memikat hatinya. Kuasa itu terlalu menakutkan untuk didekati, tetapi sangat dibutuhkan
dalam membangun hidup dan menciptakan peradaban. Melalui perbagai simbol dan ritus
manusia mencoba mendekati kuasa itu untuk menolong dia mengatasi keterbatasan dan
kelemahan-kelemahannya. Maka lahirlah apa yang kita sebuah sebagai liturgi di mana manusia
menghampiri mysterium tadi. Bersamaan dengan itu teologi juga ikut berkembang; teologi dalam
pengertian primal, teologi dalam wujud awal, sebagai percakapan tentang dewa-dewi atau ilahilah. Munculnya teologi prima itu adalah menyedikan panduan bagi manusia dalam menghampiri
mysterium tadi untuk pengembangan dan penataan hidupnya.

Teologi sebagaimana umum dipahami adalah percakapan manusia tentang Allah yang
dikaitkan erat dengan sejarah, pengalaman dan pemahaman manusia dalam satu tempat dan
waktu. Paul Knitter menggambarkan keterpautan teologi dengan pengalaman manusia dalam
frasa: “Semua teologi berakar dalam biografi.8 Manusia menghubungkan sejarah, pengalaman
dan pemahamannya dengan Allah dalam upaya menemukan makna-Allah dalam pengalamanpengalaman itu.9 Dalam bingkai pengertian ini maka teologi erat hubungannya dengan actual
beliefs. Dalam upaya merumuskan makna-Allah, teologi mendialogkan keyakinan dari suatu
masyarakat yang dijadikan pegangan dalam mengatur tingkah laku dan tindakan-tindakan
mereka untuk memurniakan keyakinan-keyakinan itu demi memberikan kemanusian yang penuh
kepada manusia dalam masyarakat. Dalam arti ini teologi tidak bisa dikerjakan secara
independen atau terisolasi. Teologi membutuhkan sosiologi agama.
Ada banyak cara yang bisa dipakai teologi dalam dialog dengan sosiologi agama untuk
merumuskan makna-Allah demi membangun kemanusiaan yang penuh dari satu masyarakat.
Pertama, teologi bisa mulai dengan teks Alkitab atau formulasi dogma yang dilanjutkan dengan
8
9

Paul F. Knitter. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008., hlm. 1,
Choan-Seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami…. hal. 87.

membuat pertimbangan dan catatan tentang bagaimana teks-teks tadi dimaknai dalam konteks

dan situasi masyarakat tertentu. Cara kedua, teologi bisa mulai dengan meminta sosiologi agama
merumuskan actual beliefs dari satu masyaraat. Jadi teologi mulai dari situasi tertentu. Barulah
kemudian teologi merumuskan bagaimana firman Allah berbicara kepada atau di dalam situasi
itu.
Kedua cara terdahulu, meskipun memiliki titik berangkat yang berbeda namun memiliki
kesamaan dalam hal berikut: teologi dipahami sebagai upaya meaning receiving. Dalam cara
pertama masyarakat masa kini diminta untuk menerima makna yang sudah diformat oleh
komunitas percaya pada masa lalu sebagaimana terbukukan dalam Alkitab, atau metode
terjemahan. Sementara cara kedua, masyarakat kini juga diminta menerima makna yang sudah
ada dalam Alkitab. Bedanya dengan cara yang pertama, pada cara yang kedua ini makna dari
Alkitab itu disampaikan sesuai dengan cara-cara yang dapat diterima masyarakat tersebut, atau
metode adaptasi.10 Kelemahan utama dari dua cara ini adalah penyangkalan terhadap maknamakna yang ada di dalam konteks (actual beliefs) dari tugas berteologi.
Cara ketiga, lebih bersifat dinamis. Teologi membiarkan teks-teks kitab suci atau
formulasi dogma masuk dalam berdialog yang terbuka dan dialektis dengan actual beliefs
masyarakat. Dalam dialog itu terbuka peluang bagi actual beliefs untuk menjernihkan dan
mengkritisi dogma dan teks kitab suci, dan sebaliknya teks kitab suci serta dogma menjernihkan
dan mengkritisi actual beliefs. Peter C. Phan mengartikulasikan manfaat kembar kembar tadi
sebagai berikut. Pada satu sisi budaya ditransformasi dari dalam oleh Injil untuk
mempermuliakan Allah dan melayani serta membebaskan manusia, seluruh ciptaan dan kosmos.
Transformasi berarti pemurnian elemen-elemen tertentu dari budaya. Transformasi

mengandaikan pemberdayaan masyarakat untuk memperoleh pemahaman yang lebih
dalam terhadap budayanya. Transformasi juga berarti pembebasan dari dimensi tertentu
dari budaya yang bersifat menindas dan menyesatkan. Akhirnya, transformasi berarti
memampukan seorang pemberita yang mau memberitakan injil dalam satu budaya
terlebih dahulu harus melakukan percakapan dan pengenalan akan budaya dimaksud,
bahkan lebih dari itu si misionaris haruslah mencintai budaya tadi.11
Pada sisi lain dalam dialog itu budaya menawarkan adanya pemahaman baru dan segar bahkan
juga cara baru untuk menghidupi Injil. Tentang aspek ini para peserta konferensi ekumenis dari
World Council of Churches di Salvador, Brasil menegaskan: “Injil bisa dibuat lebih mudah untuk
masuk ke dalam aktivitas budaya sekligus dibuat lebih dalam maknanya.” 12
Ada dua perbedaan dari berteologi dengan melakukan dialog yang terbuka dan dialektis
antara injil dengan actual beliefs masyarakat. Perbedaan pertama adalah kekayaan pemaknaan
10

Dua metode ini diuraikan oleh Robert Schreiter dalam buku Rencang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung
Mulia 1991., hlm. 13-23.
11
Peter C. Phan. In Our Own Tongues. Prespective from Asia on Mission and Inculturation. Maryknoll, New York:
Orbis Books. 2003., hlm. 6.
12

Peter C. Phan. In Our Own Tongues., hlm. 6.

manusia dalam konteks (actual beliefs) tidak disangkali melainkan diberi penghargaan yang
layak. Kedua, teologi tidak lagi sekedar dipahami sebagai meaning receiving, melainkan sebagai
meaning making. Penciptaan makna ini dilakukan dengan meramu dua bahan baku, yakni
pemaknaan pengalaman manusia dalam kitab suci (tradisis am) dan pemaknaan pengalaman
manusia dalam budaya (tradisi lokal). Dengan kata lain actual beliefs dari satu masyarakat tidak
dilihat sekedar sebagai konteks dalam berteologi ke mana teks-teks suci (sacred texts)
diterapkan. Sebaliknya actual beliefs dari masyarakat di mana teologi dikerjakan dilihat juga
sebagai sacred texts yang patut dibawa dalam dialog yang dinamis dengan teks-teks yang sudah
ada dalam kitab-kitab suci agama-agama universal. Dengan demikian, teologi tidak lagi
merupakan sebuah sebuah ziarah dengan route satu arah: dari teks ke konteks dengan Alkitab
sebagai solo teks, melainkan menjadi sebuah dialog konstruktif yang menempatkan Alkitab di
tengah-tengah teks-teks lain atau dialog multiteks.
Menurut keyakinan penulis, cara ketiga adalah cara yang tepat apabila teologi, seperti
sudah disebutkan bertujuan untuk memberikan kemanusian yang penuh kepada manusia dalam
masyarakat. Yang dimaksud dengan kemanusiaan yang penuh adalah manusia yang sepenuhnya
hidup dalam bimbingan dan pengenalan akan kehendak Allah tanpa sedikit pun menyangkali
atau menolak identitas budaya dan keyakinan-keyakinan religiusnya yang disebut dengan nama
actual beliefs. Alasan di balik pilihan pada cara ketiga berhubungan dengan fakta berikut: Injil

sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan adalah sebuah realitas dengan dua elemen. Elemen
pertama adalah yang objektif, yakni yang terjadi di luar manusia. Elemen kedua adalah yang
subjektif, yakni sambutan manusia terhadap eleman objektif tadi. Elemen pertama ditemukan
dalam Alkitab berupa kesaksian akan kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus. Sedangkan
elemen kedua terdapat dalam pengalaman, cerita, lukisan, lagu, sejarah, arsitektur tradisional dll.,
dari satu masyarakat yang membentuk tanggapan mereka terhadap Kristus atau yang kudus. 13
Sebagaimana kita sebutkan di atas elemen kedua dari injil itu tidak lain adalah actual beliefs.
Karena actual beliefs adalah wilayah yang menjadi kajian sosiologi agama maka teologi dengan
sendirinya harus berjalan bersama-sama dengan sosiologi agama. Teologi dan sosiologi agama
ibarat adalah partner. Hubungan keduanya tak terpisahkan seumpama dua sisi dari satu mata
uang.
Actual Beliefs in the Light of the Gospel
Dalam upaya membangun kemanusian yang penuh dari satu komunitas masyarakat, teologi perlu
mengupayakan dialog yang dinamis dan dialektis antara Injil dan actual beliefs. Cara yang paling
memungkinkan untuk ini, seperti sudah kita singgung di atas adalah cara ketiga, yakni teologi
membiarkan teks-teks kitab suci atau formulasi dogma masuk dalam berdialog yang konstruktif
dengan actual beliefs masyarakat. Jelasnya teologi tidak dapat melangkahi sosiologi agama.
Sebaliknya teologi yang sejati bukan hanya berakar pada Alkitab, tetapi juga berakar pada rahim
keyakinan-keyakinan aktual (actual beliefs) dari satu kelompok masyarakat. Atas dasar itu teks
13

Eben Nuban Timo. Pemberita Firman Pencinta Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2006. Hlm. 47.

suci yang disebut-sebut sebagai sumber berteologi tidak hanya ada di sana (out there). Teks suci
itu juga ada di sini di dalam pemahaman dan penghayatan manusia dalam budaya akan hidup dan
pengharapannya.14 Mengatakan itu dengan cara lain, teologi harus ikut ambil bagian dalam
kerinduan masyarakat, memberi apresiasi terhadap sumber-sumber makna kehidupan yang
dimiliki masyarakat dan mengenal dengan jelas identitas sosial masyarakat sebagaimana yang
tertuang dalam kepustakaan hikmat dan budaya mereka.15
Jelasnya, setiap karya bertologi adalah ibarat sebuah kain tenunan yang dirajut dengan
menyilangkan benang dari dua arah. Benang arah yang pertama disebut tradisis am, yakni teksteks kitab suci dan dogma, sedangkan benang dari arah lainnya adalah tradisi lokal. Adalah
sebuah ilusi rasionalisme kalau ada yang berpendapat bahwa tradisi am adalah lebih penting dan
bernilai dibanding ritus, ritual, simbol, lambang, pemahaman dan pengalaman manusia dalam
tempat dan waktu tertentu. Mereka yang berpendapat seperti itu ibarat menegaskan bahwa
sebuah pohon lebih penting dari udara dan tanah di mana pohon itu memperoleh energi dan zatzat pembentuk kehidupannya.
Tentu saja teologi tidak sekedar berhenti pada actual beliefs tadi. Ia harus melangkah
lebih jauh, yakni mengevaluasi actual beliefs dalam terang tradisi Kristen yang berpijak pada
Injil untuk kepentingan konteks dan situasi setempat. Actual beliefs masyarakat betapa pun
mengandung referensi nilai yang penting dan signifikan sebagai pemberi makna dan arah bagi
masyarakat, tetapi didalamnya terkadung keterbatasan, bahkan juga kejahatan yang merusak
hubungan antar manusia, maupun hubungan manusia dengan alam (lingkungan hidup) dan juga
dengan the numinous. Keterbatasan dan kejahatan-kejahatan itu baru tersingkap jika actual
beliefs itu diterangi oleh satu perangkat nilai yang berasal dari luar konteks.16
Pada sisi lain actual beliefs yang diyakini satu masyarakat juga berguna untuk
memperluas dan memperdalam cakupan pesan keselamatan dalam Injil yang sebelumnya belum
nampak kepermukaan.17 Adanya dialog yang dialektis tadi membuat penerimaan masyarakat
terhadap Injil dan penghayatan terhadapnya menjadi sebuah pengalaman yang otentik. Injil
bukan lagi dipandang sebagai yang asing, melainkan menyapa masyarakat dalam keseharian
mereka dalam bahasa, gambaran, keyakinan dan harapan yang menjadi akar keberadaan mereka.
Teologi Sebagai Meaning Making
Bertolak dari keseluruhan pemahaman yang sudah dijabarkan di atas sampailah kita pada tugas
membuat definisi tentang teologi yang memberi tempat yang proporsional terhadap kajian-kajian
14

Lihat juga. Peter C. Phan. In Our Own Tongues.. hlm. 26.
Bandingkan O. Notohamidjojo. “Pemribumian Theologi di Indonesia.” Dalam: O. Notohamidjojo. Kreativitas yang
Bertanggung Jawab. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. 2011., hlm. 357.
16
Philip Hughes. “The Use of Actual Beliefs., hlm. 257.
17
Contoh paling jelas tentang hasil dialog timbal-balik ini dapat dilihat dalam uraian tentang Kawin Belis Kawin
Gereja yang dibuat oleh dua orang misionaris Nederlansche Zendeling Genootschap yang bekerja di Rote di tahun
1925. Lihat Ebenhaizer Nuban Timo. Rote Punya Cerita. Kisah Injil di Rote 100 Tahun Lalu. Salatiga: Satya Wacana
Press. 2014.
15

yang dihasilkan oleh sosiologi agama. Tidak sedikit definisi teologi yang dikembangkan dalam
rentang sejarahnya. Definisi-definisi tadi tentu saja sudah menolong banyak orang untuk
menjalani hidup secara bermakna. Meskipun begitu, menurut pendapat saya definisi-definisi itu
tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam konteks Indonesia yang bersama-sama dengan saudarasaudaranya di Asia memiliki dua ciri menonjol yang oleh Aloysius Pieris ditandai oleh dua
realitas: keberagaman agama dan kemiskinan yang mencolok. Dua kenyataan ini diterima
sebagai identitas Asia, bukan sekedar identitas sosial melainkan juga jatidiri budaya dan religius.
Dengan berani Aloysius Pieris menegaskan bahwa orang Asia menerima dua kenyataan tadi
sebagai yang mengandung di dalamnya soteriologi metakosmis. 18 Ya, semacam kehadiran karya
keselamatan yang oleh orang Kristen dipahami sebagai yang berasal dari Kristus di dalam
realitas sosial Asia.
Definisi-definisi teologi yang sudah ada, menurut pendapat saya kurang memperhatikan
nilai-nilai soteriologi metakosmis tadi karena teologi yang dikembangkan dari definisi itu
memiliki dua kencederungan yang bernuansa romantisme Alkitab pada satu sisi atau romantisme
budaya pada sisi lain. Maksud saya dengan romantisme Alkitab ialah kecenderungan untuk
melihat makna dan nilai yang terkandung dalam kitab suci sebagai yang sudah jadi dan final.
Tinggal diterapkan dalam konteks-konteks yang baru. Sementara romantisme budaya
mengasumsikan bahwa nilai dan makna hidup yang manusia konstruksi dalam budaya sendiri
juga adalah refelasi sehingga Injil tidak dibutuhkan lagi.
Dua paham ini bermuara pada pendefinisian tentang teologi sebagai percakapan tentang
Allah (God-talk) yang menerima makna (meaning receiving) dari Alkitab atau dari budaya.
Pengalaman dan pengamatan saya terhadap teologi dalam pemaknaan ini menimbulkan banyak
kegelisahan iman di dalam saya. Kalau teologi dipahami sekedar sebagai meaning receiving
mengandaikan bahwa teologi sudah selesai dikerjakan. Generasi baru tinggal mengulang saja apa
yang dihasilkan generasi terdahulu yang ada dalam Alkitab maupun dalam budaya. Sebut saja
misalnya teks Alkitab yang mengatakan bahwa perempuan dilarang berbicara dalam pertemuan
jemaat (I Kor. 14:34), atau tidak diijinkan mengajar atau memerintah laki-laki yang berarti tidak
boleh menjadi pemimpin jemaat (I Tim 2:12). Sama halnya juga pandangan populer dalam
hampir semua budaya bahwa penyandang cacat adalah orang-orang yang entah sadar atau tidak
menanggung akibat dari dosa atau kutukan atas dosa. Begitu juga halnya sikap terhadap kaum
LGBT. Kalau teologi dipahami sebagai meaning receiving maka tugas mencari makna-Allah
sudah selesai. Sebagai hasilnya, kaum perempuan dan para penyandang cacat hanya akan
menjadi warga kelas dua dalam keselamatan. Itu pun kalau mereka berhasil melakukan lobi
untuk mendapatkan konsesi dari Allah. Sementara saudara-saudari kita yang homoseksual sudah
jelas tempatnya, yakni neraka.
Semester ganjil tahun 2014, dalam rangka tugas akhir mata kuliah pengantar teologi saya
menugaskan mahasiwa untuk melakukan wawancara terhadap sejumlah pendeta di lingkungan
untuk memperoleh tanggapan mereka terhadap keputusan Presbyterian Church di Amerika
18

Aloysius Pieris. “Menuju Teologi Pembebasan Asia: Beberapa Pedoman Religo-Kultural.” Dalam: Douglas J.
Elwood. Teologi Kristen Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1992. hlm. 256, 263.

Serikan (PC-USA) yang pada 20 Juli 2014 memutuskan untuk menerima dan meneguhkan
pernikahan pasangan berjenis kelamin sama (same-sex marriage). Kurang lebih ada 20 orang
pendeta yang diwawancarai mahasiswa. Dari jumlah itu, hanya 3 orang yang menyatakan setuju
kalau same-sex marriage perlu menadapat peneguhan dan pemberkatan nikah dalam peribadatan
jemaat. Sementara 17 lainnya menolak.
Ada dua alasan yang dikemukakan oleh tiga yang setuju. Pertama, yang utama dalam
pernikahan adalah cinta kasih dan kesetiaan. Hal memperoleh keturunan bukan tujuan
pernikahan, melainkan salah satu tanda berkat dalam perkawinan itu. Kamu homoseksualitas
memang tidak akan memperoleh anak dari rahim perkaninan mereka, tetapi mereka bisa
memperoleh anak dari rahim hati mereka, yakni cinta kasih dengan cara mengadopsi anak dan
mencintai anak-anak itu seperti anak sendiri. Kedua, teks-teks Alkitab yang memang dengan
tegas menyatakan penolakan terhadap same-sex marriage memiliki konteksnya sendiri, yakni
pada jaman pembuangan dan pasca pembuangan. Dalam situasi itu Israel bermasalah dalam dua
hal, yakni kemurnian garis keturunan Yahudi dan ancaman kepunahan karena jumlah yang
sedikit. Dalam kondisi ini muncul kaum priesters dengan teks-teks yang mengutuk same-sex
marriage dan juga perkawinan dengan perempuan non-yahudi. Manusia masa kini hidup dalam
konteks yang berbeda.
Mereka yang tidak setuju terhadap same-sex marriage yang diputuskan oleh PC-USA
mengajukan alasan berikut. Pertama, Alkitab jelas mengutuk homoseksulitas. Allah menghukum
Sodom dan Gemora karena dosa tadi. Mereka yang menikah sesama jenis kelamin lebih buruk
dari binatang yang hanya mengumbar nafsu. Itu adalah perbuatan yang menjijikan bagi Allah.
Jelas ini perbuatan yang bertentangan dengan hukum kodrat. Kedua, perkawinan bertujuan untuk
memperoleh keturunan. Homoseksualitas tidak bakal memperoleh keturunan. Ia juga jelas
melanggar perintah Allah yang menetapkan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan.
Ketiga, perkawinan sesama jenis kelamin adalah sumber penyakit sosial seperti AIDS 19 karena
suka berganti-ganti pacar dan merusak moral masyarakat.
Contoh ini saya angkat untuk memperlihatkan pandangan yang berbeda di kalangan para
pendeta dan warga gereja tentang tugas berteologi. Kelompok pertama, tiga pendeta yang setuju
dengan same-sex marriage lebih memahami teologi sebagai tugas meaning making dengan
membangun dialog timbal-balik dan saling mengkritisi antara teks Alkitab dan dogma gereja
dengan actual beliefs dari satu kemunitas. Format pemahaman tentang teologi seperti ini
mengandaikan bahwa teologi adalah sebuah unfinished agenda. Sementara kelompok kedua,
tujuh belas pendeta yang menolak bahkan mengutuk same-sex marriage lebih memahami teologi
sebagai meaning receiving. Tugas orang percaya masa kini adalah menerima saja makna yang
sudah selesai diformat oleh orang percaya pada masa lalu sebagaimana yang tertuang dalam teks
Alkitab dan korpus dogma gereja. Sayang sekali kelompok ini tidak konsisten. Teks Alkitab
tentang same-sex marriage mereka anggap masih berlaku, tetapi teks-teks Alkitab yang sama
dengan itu, misalnya yang melarang makan daging babi atau tidak mengijinkan perempuan
19

Di lingkungan masyarakat, khususnya di pulau Timor AIDS diartikan sebagai akronim dari Alat Itu Dipakai
Sembarangan.

berbicara di depan umum dan menjadi pemimpin dianggap sudah habis masa lakuknya dengan
kedatangan Kristus.
Jelasnya definisi teologi yang pas (dalam arti berlaku adil terhadap pengalaman manusia
dalam Alkitab dan konteksnya pada satu sisi dan juga adil terhadap pengalaman manusia di
berbagai konteks) adalah God-talk dalam rangka menciptakan makna (meaning making)
sehingga manusia dalam tiap-tiap konteks, situasi dan pengalaman dapat mengalami kehidupan
yang penuh. Dalam definisi ini Alkitab dijadikan sebagai sebuah kesaksian yang terbuka di
tengah-tengah actual beliefs manusia masa kini. Sebagai kesaksian yang terbuka pemaknaan dan
aplikasi-aplikasi baru yang melampaui pemaknaan yang sudah ada bukan hal yang diharamkan.
Teologi sebagai God-talk yang berkarakter meaning making mengandaikan bahwa
Alkitab memperoleh pemenuhannya pemaknaan-pemaknaan baru dalam budaya dan pengalaman
lain, sedangkan pemaknaan-pemaknaan baru yang terkandung dalam actual beliefs masyarakat
menemukan dasar atau pijakan kokoh dalam proto-model pemaknaan yang ada dalam
pengalaman Israel sebagaimana tersebutkan dalam kitab suci. Muara dari pemahaman teologi
seperti ini mengandaikan bahwa dalam berteologi teks-teks kitab suci serta rumusan-rumusan
dogma dan actual beliefs masyarakat dalam budaya perlu menjalani proses rangkap, yakni
reproduksi-tradisional dan produktif-kontekstual.20 Artinya warisan-warisan tradisional (Alkitab,
dogma dan actual beliefs) perlu diproduksi ulang dengan memperhatikan dinamika baru dari
konteks, supaya warisan-warisan itu memberi nilai dan makna bagi pengalaman-pengalaman
baru manusia masa kini. Warisan masa lalu itu bukan bahan jadi tetapi bahan baku. Sebagai
bahan baku tidak tepat kalau langsung diterapkan. Perlu penerapan secara kreatif. 21 Penerapan
kreatif itu bertolak dari pemaknaan baru yang diperoleh dari dialog timbal-balik, konstruktif dan
dialektis antara Alkitab dan dogma (tradisi am) dan actual beliefs masyarakat (tradisi lokal).
Kalau Semua Halal, Bukankah Akan Muncul Kekacauan?
Sudah pasti akan muncul reaksi berikut. Kalau teologi mengupayakan dialog yang dinamis dan
dialektis antara tradisi am dan tradisi lokal di mana kedua tradisi ini saling mengkritisi memang
akan muncul bentuk-bentuk pemaknaan kehidupan yang baru, tetapi juga akan melahirkan
pluralisme kebenaran. Itu juga berarti tidak ada lagi kebenaran tunggal. Yang disebut kebenaran
adalah tiap-tiap kita berbeda. Teologi sebagai meaning making menolak kebenaran tunggal.
Kalau demikian, apalagi yang bisa dijadikan andalan atau pegangan bersama untuk menetapkan
atau mengukur keanekaragamaan pemaknaan itu sebagai kebenaran? Bukankah akan timbul
kekacauan kalau semua diperolehkan, kalau segala sesuatu itu halal? Apalagi yang dapat
dijadikan sebagai standar kebenaran dalam berteologi?
Pertanyaan yang saya prediksi ini muncul juga waktu diskusi pemanasan dalam ibadah
natal prematur itu mahasiswa Magister Sosiologi Agama UKSW 2014. Sekaranglah saatnya
20

Uraian menarik tentang dua frasa teologis ini dibuat oleh Dori Wuwur Hendrikus. “Nisbah antara Pengkhotbah
dan Pendengar dalam Komunikasi Homiletis.” Dalam: Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung, Anselmus Meo. Allah
Menggugat Allah Menyembuhkan. Maumere: Penerbit Ledalero. 2012., hlm. 223 – 246.
21
Deborah Beth Creamer. Disability and Christian Theology. New York: Oxford University Press. 2009, hlm. 38

pokok ini kita bahas untuk memperoleh klarifikasi. Versi Tuhan seperti apa yang dapat kita
jadikan sebagai pegangan dalam menyikapi ribuan gagasan tentang Tuhan yang bakal lahir dari
dialog dialektis dalam teologi antara teks-teks kitab suci, dogma gereja dan actual beliefs setiap
komunitas atau pribadi? Jawaban singkatnya ialah versi Tuhan yang dinyatakan kepada kita di
dalam Injil. Dengan kata lain standar kebenaran untuk menguji kebenaran-keberan yang
majemuk itu ialah kristologi (pemberitaan gereja tentang Kristus). Standar ini bukan sesuatu
yang baru dalam Alkitab. Paulus juga mengatakan hal yang sama saat ia berbicara tentang
berbagai macam karunia roh (I Kor. 12:3). Penulis surat Yohanes juga menegaskan hal serupa (I
Yoh. 4:2-3). Ukuran benar-tidaknya karunia itu adalah pada Kristus. Paulus menggunakan
kriteria Kristologi. Verne Fletcher juga menegaskan hal itu. Ia menamakan standar itu Christlike.
“Semua perintah dan ajaran moral dalam Alkitab harus dinilai dan dipertimbangkan dalam terang
diri dan karya Yesus Kristus.”22
Para pakar sepakat bahwa dalam kristologi kita bicara dua hal tentang Kristus, yakni
siapa dia dan apa pekerjaanNya. Percakapan Kristen tentang Kristus berurusan dengan being dan
doing dari Yesus Kristus. Tentang diri Kristus Alkitab menjelaskan kepada kita bahwa Dia adalah
Allah-manusia. Kemanusiaan adalah kodrat kekal dari Kistus. Kemanusiaan yang adalah kodrat
Kristus sejak kekal adalah kemanusiaan sebagaimana yang dikehendaki Allah Sang Bapa pada
penciptaan manusia. Apa yang terjadi di Betlehem ialah Sang Sabda, yakni Kristus itu menerima
daging insan (indutus carnem),23 yaitu daging yang telah terkontaminasi oleh dosa. Jadi
berdiamnya Sang Firman dalam daging berarti bahwa Firman itu memiliki dua kodrat: yang ilahi
dan insani. Keduanya mempunyai fungsi yang berbeda tetapi menyatu secara tak terpisahkan di
dalam Yesus Kristus. Inilah yang dirumuskan dalam credo gereja: Yesus Kristus Allah sejati dan
manusia sejati.
Mengenai doing Yesus Kristus tidak perlu diterangkan panjang lebar lagi. Lukas
berbicara tentang pembebasan sebagai misi utama yang dikerjakan Kristus (Luk. 4:18-19).
Paulus berbicara tentang dua hal. Kristus datang sebagai pendamai. Pertama, Ia membuat
kelompok-kelompok yang hidup dalam isolasi geografis, sosiologis dan juga teologis, bahkan
hidup dalam permusuhan dan konflik kembali menjadi satu keluarga (Efesus 2:13-17). Kedua,
Paulus berbicara tentang perbedaan-perbedaan karunia dari tiap-tiap orang yang hidupnya
dipimpin oleh roh, yang tidak lain adalah Kristus yang hadir secara baru dalam dunia. Menurut
Paulus karunia-karunia itu sama penting. Satu-satunya pegangan untuk mengetahui kebenaran
karunia-karunia itu apakah dari Allah adalah melihat efek dari karunia itu untuk kepetingan
bersama (I Kor. 12:1-31). Karunia roh yang berguna bagi kepentingan bersama itu Paulus
tunjukan saat berbicara tentang buah-buah Roh (Gal. 5:22-23).
Jadi standar bersama untuk menetapkan kebenaran dalam teologi yang berakar pada
dialog yang dinamis antara teks kitab suci, dogma gereja dan actual beliefs satu kemunitas
adalah pada buah-buah kehidupan iman untuk membangun kemanusiaan yang penuh dalam
masyarakat yang dihasilkan oleh teologi itu. Teologi bertolak dari praksis dan bermuara pada
22

Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2007., hlm. 95.
23
Nico Syukur Diester. Teologi Sistematika 1. Allah Penyelamat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2004., hlm. 193.

praksis. Praksis direfleksikan untuk memurnikannya bagi kebaikan bersama manusia. Begitu
dirumuskan oleh para teolog pembebasan di Amerika Latin. Secara lebih sederhana kriteria
untuk menguji kebenaran dalam sebuah perumusan teologis dalam atmosfir tadi adalah dengan
memperhatikan buah yang dihasilkannya. Jika buahnya tidak buruk, tidak ada salahnya
membiarkan pohon itu bertumbuh (Mat. 7:17-19). Hal senada juga ditekankan dalam surat
Yakobus. Kita bisa melihat iman dari buah yang dihasilkannya. Versi Tuhan yang menjadi
pegangan dalam menyikapi ribuan gagasan tentang Tuhan sebagai hasil dari dialog dialektis
antara teks kitab suci, dogma gereja dan actual beliefs satu komunitas adalah versi Tuhan yang
mempromosikan damai, memperkuat kasih dan sikap hormat terhadap sesama yang berbeda,
mengerjakan pembebasan dan mengarah kepada pembangunan kemanusiaan yang penuh bagi
setiap orang dan komunitas. Yesus juga mengatakan hal yang sama. “Bukan setiap orang yang
berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang
melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga” (Mat. 7:21).
Penutup
Berteologi dalam konteks atau yang lebih dikenal dengan istilah teologi kontekstual tidak bisa
sekedar dilakukan dengan membacakan saja pemaknaan dan kepercayaan-kepercayaan yang
sudah ada (banked beliefs) seperti yang terbukukan dalam kitab suci atau yang terdokumentasi
dalam dogma-dogma gereja ke dalam konteks yang baru. Teologi kontekstual adalah sebuah
pekerjaan yang mempertautkan banked beliefs dengan actual beliefs dari satu masyarakat.
Mengingat sosiologi agama menyibukan diri untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan merekam
actual beliefs dari satu masyarakat, maka sosiologi agama merupakan satu bidang kajian
keilmuan yang meskipun memiliki domain tersendiri, tetapi tidak bisa dipisahkan dari domain
teologi. Sebuah karya teologi yang mengabaikan hasil-hasil kajian sosiologi agama akan
membuat karya itu menjadi kering. Sementara kajian-kajian sosiologi agama hanya akan menjadi
barang usang yang patut dimuseumkan jika kajian-kajian itu tidak dijadikan salah satu bahan
baku bagi tugas berteologi.
Jelasnya sosiologi agama dan teologi memang adalah dua rumpun ilmu yang berbeda.
Menjaga agar kedua rumpun ilmu ini tetap berdiri di pos masing-masing, tanpa adanya dialog
memang bisa terjadi dan ini yang sudah biasa. Yang belum biasa ialah upaya untuk membangun
jembatan supaya kedua rumpun ilmu ini bisa bertemu dan hasil-hasil kajian dari keduanya
didialogkan satu sama lain. Keputusan para pionir fakultas Teologi UKSW untuk menikahkan
teologi dan sosiologi agama merupakan inovasi yang patut diberi apresiasi. Keputusan ini
bolehlah dinamakan sebagai sebuah terobosan. Untuk konteks Indonesia terobosan ini makin
melancarkan jalan bagi pergumulan gereja-gereja di Indonesia untuk menghasilkan karya-karya
teologi yang berkarakter kontekstual.
Selain dampak penting ini, terobosan tadi juga membuka mata dan membangkitkan lagi
kesadaran bahwa model salvific hanyalah salah satu pendekatan yang syah dalam berteologi.
Model wisdomic juga merupakan pendekatan yang legitim, malah aktual untuk kehidupan dan
kesaksian gereja-gereja di Indonesia. Pendekatan salvific bakal menghasilkan penerapan iman

yang mati kepada orang-orang yang hidup. Artinya mewajibkan manusia masa kini menerima
warisan pengajaran mereka yang sudah mati sebagai ukuran iman. Sementara pendekatan
wisdomic memungkinkan lahirnya iman yang hidup dari manusia yang hidup. Rujukan biblis
dari model wisdomic ini cukup kaya. Kitab Amsal adalah gudangnya teologi dengan model
wisdomic.24

24

Salivific adalah pendekatan dalam teologi yang mengandaikan bahwa keselamatan itu tidak punya sangkutpaut
dengan kebudayaan dan nilai-nilai kekudusan yang dikenal dalam budaya dan agama-agama manusia. Apa yang
diremehkan oleh pendekatan salvific justru mendapat perhatian serius dalam pendekatan wisdomic.