ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN DEN
TUGAS ANALISIS GEODA
PL2102 PENGANTAR LOKASI DAN STRUKTUR RUANG
ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN TINGKAT KONSUMSI
PANGAN DI DKI JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI
(JABODETABEK)
M. Ihsanuddin Karimullah/15414019
Fikri Rachmad Ardi/15414021
Pratiwi Prameswari/15414023
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan
Pengembangan Kebijakan. Institut Teknologi Bandung.
ABSTRAK
Wilayah Provinsi DKI Jakarta dikenal sebagai provinsi dengan tingkat konsumsi relatif
tinggi, terutama konsumsi pangan. Dengan perbandingan produk domestik regional bruto
tertinggi di Indonesia, Jakarta dianggap memiliki persebaran pendapatan dengan jumlah yang
tinggi juga. Dengan beragam isu dan masalah yang berkaitan dengan pangan di Jakarta, penulis
menganalisis hubungan tingkat pendapatan di Jakarta beserta wilayah tetangga yang tergabung
dalam Jabodetabek. Juga dianalisis bagaimana kecenderungan daerah kluster hubungan
konsumsi dan pendapatan per-129 kecamatan se-Jabodetabek. Hasilnya, di pusat wilayah
Jabodetabek tingkat pendapatan, konsumsi, dan konsumsi pangan penduduk cenderung tinggi,
semakin menjauh dari pusat wilayah, semakin rendah.
Kata kunci: Hubungan, tingkat pendapatan, tingkat konsumsi pangan, Jabodetabek.
PENDAHULUAN
Sebagai ibukota Republik Indonesia, Jakarta boleh dikatakan sebagai pusat dari segalanya.
Mulai dari pusat pemerintahan, pusat pariwisata, pusat olahraga, budaya, bisnis, bahkan ekonomi.
Dari sisi ekonomi sendiri, Jakarta memiliki potensi yang besar. Salah satunya dibuktikan melalui
data Badan Pusat Statistik tahun 2013. Jakarta dinobatkan sebagai provinsi dengan produk
domestik bruto menurut harga berlaku tertinggi di Indonesia dengan jumlah Rp1.255.925,78
1
miliar. Produk domestik bruto tersebut didapatkan dari beragam aspek, salah satunya adalah
melalui pengeluaran konsumsi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, PDRB Menurut
Pengeluaran Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2013 di provinsi ini adalah sebesar
Rp477.285.245.000.000,00. Selain itu, berdasarkan data menurut konsumsi lembaga dan
masyarakat, jumlah pengeluaran PDRB adalah sebesar Rp250.668.032.000.000,00. Pengeluaran
tersebut, salah satunya adalah konsumsi makanan dan minuman.
Konsumsi di DKI Jakarta, seperti konsumsi negara-negara lain di Indonesia, bergantung
pada waktu-waktu tertentu. Salah satu contohnya adalah pada waktu bulan Ramadhan, bulan
ketika umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia menjalankan ibadah puasa. Menurut
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, konsumsi masyarakat di bulan itu cenderung naik
antara 5-20%. Sektor konsumsi yang naik akibat kenaikan permintaan antara lain minyak goreng,
tepung terigu, tepung tapioka, gula kristal putih, ikan, daging ayam, dan daging sapi. Konsumsi
yang naik tersebut memaksa pelaku terkait untuk menambah jumlah pasokan barang. Akibatnya,
tidak heran jika bulan Ramadhan datang inflasi cenderung mengalami kenaikan.
Dari konsumsi tersebut, penulis ingin mencari tahu bagaimana kecenderungan setiap
kecamatan di DKI Jakarta dalam melakukan konsumsi makanan. Selain itu, penulis juga ingin
mengetahui apakah kecamatan di sekitarnya, juga kecamatan-kecamatan di daerah suburban
Jakarta dalam kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), juga cenderung
mengkluster perihal konsumsi, baik dalam konsumsi makanan, maupun konsumsi keseluruhan.
Untuk analisis hubungan tingkat pendapatan dengan konsumsi pangan di kawasan
Jabodetabek, dilakukan analisis melalui aplikasi Open GeoDA. Dari aplikasi ini, akan ditampilkan
bagaimana pola konsumsi dihubungkan dengan tingkat pendapatan perkecamatan. Akan dibahas
pula bentuk BoxPlot, Moran’s Scattered Plot, dan peta hasil kluster.
TINJAUAN PUSTAKA
Pangan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pangan, pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
2
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,dan/atau
pembuatan makanan atau minuman.
Pendapatan
Dalam laporan ini, pendapatan diartikan dalam keilmuan ekonomi. Secara ekonomi, menurut John
J. Wild (2003:311), pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh sesorang
dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan
semula, definisi pendapatan menurut ilmu ekonomi menutup kemungkinan perubahan lebih dari
total harta kekayaan badan usaha pada awal periode dan menekankan pada jumlah nilai sttis pada
akhir periode. Dengan kata lain, pendapatan adalah jumlah kenaikan harta kekayaan karena
perubahan penilaian yang bukan diakibatkkan perubahan modal dan hutang.
Autokorelasi spasial
Autokorelasi spasial adalah suatu korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri atau dapat juga
diartikan ukuran kemiripan dari objek dalam suatu ruang. Permulaan dari keacakan spasial
mengindikasikan pola spasial seperti clustered (berkelompok), dispersed (menyebar), atau random
(acak). Autokorelasi spasial positif mengindikasikan lokasi yang berdekatan mempunyai nilai
yang mirip dan cenderung berkelompok. Autokorelasi spasial negatif mengindikasikan lokasi yang
berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan cenderung menyebar. Dan tidak ada autokorelasi
spasial mengindikasikan pola lokasi acak (Lee dan Wong, 2001 dalam Yasin dan Saputra, 2013).
Gambar 1 Ilustrasi Autokorelasi Spasial melalui Aplikasi ArcMAP
Sumber: help.arcgis.com/EN/ArcGISDesktop. Diakses pada 1 Desember 2015.
3
Pengukuran autokorelasi spasial untuk area data spasial dapat dihitung menggunakan metode
Moran’s I (Indeks Moran), Geary’s c, dan Tango’s excess (Pfeiffer dkk, 2008). Dala laporan ini,
pengukuran autokorelasi spasial dilakukan melalui metode Indeks Moran I melalui aplikasi Open
GeoDA.
Indeks Moran
Indeks Moran paling sering digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial global dan
mengkuantifikasi kesamaan dari variabel hasil antar wilayah (area) yang didefinisikan sebagai
spasial terkait. Hal tersebut dapat diterapkan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan spasial.
Permulaan dari keacakan spasial mengindikasikan pola spasial seperti berkelompok atau
membentuk tren terhadap ruang (Pfeiffer dkk, 2008 dalam Faiz, Rahmawati, dan Safitri, 2013).
Perhitungan autokorelasi spasial menggunakan Indeks Moran dengan matriks pembobot W
berdasarkan perkalian silang adalah sebagai berikut.
(Banerjee, 2004, dalam Faiz, Rahmawati, dan Safitri, 2013)
Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan Indeks Moran berkisar antara -1 sampai 1. Nilai indeks
moran bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok, nilai indeks moran yang positif
mengindikasikan autokorelasi spasial yang positif yang berarti lokasi yang berdekatan mempunyai
nilai yang mirip dan cenderung berkelompok, dan nilai Indeks Moran yang negatif
mengindikasikan autokorelasi spasial negatif yang berarti lokasi yang berdekatan mempunyai nilai
yang berbeda (Pfeiffer dkk, 2008 dalam Faiz, Rahmawati, dan Safitri, 2013).
Moran’s Scatterplot
Lee dan Wong (2001) dalam Yasin dan Saputra (2013) menyebutkan bahwa Moran’s
Scatterplot adalah salah satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran. Moran’s
Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara nilai pengamatan yang sudah
distandarisasi dan nilai rata-rata daerah tetangga yang telah distandardisasi.
4
Gambar 2 Kuadran Moran’s Scatterplot
Sumber: Pemetaan Penyakit Demam Berdarah Dengue dengan Analisis Pola Spasial di
Kabupaten Pekalongan, 2015.
Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut High-High (HH), menunjukkan daerah yang
mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan
tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut Low-High (LH), menunjukkan daerah dengan
pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletak
di kiri bawah) disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan
dikelilingi daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan
bawah) disebut High-Low (HL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan tinggi yang
dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah. Moran’s Scatterplot yang banyak
menempatkan pengamatan di kuadran HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai
autokorelasi spasial yang positif (cluster ). Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak
menempatkan pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi
spasial yang negatif.
GeoDA
GeoDA (akronim dari Geographic Data Analysis) adalah sebuah program perangkat lunak bebas
yang bertindak sebagai pengantar analisis spasial, yang dirancang untuk menerapkan teknik
Explanatory Spatial Data Analysis (ESDA) dari kisi data (poin dan poligon). Hal ini dimaksudkan
untuk menyediakan antarmuka yang ramah dan grafis pengguna untuk metode deskriptif spasial
analisis data, seperti statistik autokorelasi spasial, serta fungsi regresi spasial dasar. GeoDA
dipublikasikan oleh GeoDA Center Arizona State University, Amerika Serikat, dan dapat diunduh
dan digunakan secara gratis.
5
ANALISIS
Wilayah Jabodetabek
Gambar 3 Peta Jabodetabek
Map - JABODETABEK
Kecamatan (129)
Sumber : Hasil Analisis GeoDA, 2015
Dalam melakukan analisis, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, wilayah yang
menjadi daerah adalah Jabodetabek. Gambar 2 menunjukkan peta shp Jabodetabek yang akan
dianalisis melalui software GeoDA. Peta tersebut merupakan themeless map atau peta tanpa tema
yang hanya menunjukan peta batas administrasi. Dari peta tersebut, diketahui bahwa terdapat 129
kecamatan di wilayah Jabodetabek.
Dalam analisis kali ini, digunakan juga tools weights berupa queen contiguity dengan order
of contiguity 1. Hal ini dikarenakan penulis ingin menganalisis pengaruh dan keterkaitan antara
kecamatan satu dengan kecamatan tetangga yang berada persis di sekitar kecamatan tersebut.
Analisis Tingkat Pendapatan, Tingkat Konsumsi Secara Umum, dan Tingkat Konsumsi
Pangan Penduduk Jabodetabek
Dalam menganalisis hubungan tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi pangan, dilakukan
analisis terlebih dahulu mengenai tingkat pendapatan, tingkat konsumsi secara umum, dan tingkat
konsumsi pangan Jabodetabek itu sendiri. Analisis tingkat konsumsi dilakukan untuk mengetahui
gambaran tingkat konsumsi secara umum dari penduduk Jabodetabek terlepas dari keberadaan
konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan. Sementara analisis tingkat pendapatan dan tingkat
6
konsumsi pangan dilakukan untuk mengetahui gambaran dari kedua variabel tersebut di wilayah
Jabodetabek.
1. Analisis Tingkat Pendapatan Penduduk Jabodetabek
Variabel pertama yang akan dianalisis adalah tingkat pendapatan penduduk Jabodetabek
itu sendiri. Tingkat pendapatan penduduk dibagi ke dalam tiga tingkatan interval, yaitu pendapatan
tinggi dengan interval >Rp980.000, pendapatan sedang dengan interval Rp980.000-Rp620.000,
dan pendapatan rendah dengan interval Rp855.000, konsumsi sedang dengan
interval Rp855.000-Rp553.000, dan konsumsi rendah dengan interval Rp400.000, konsumsi pangan sedang dengan interval Rp400.000-Rp327.000, dan
konsumsi pangan rendah dengan interval
PL2102 PENGANTAR LOKASI DAN STRUKTUR RUANG
ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN TINGKAT KONSUMSI
PANGAN DI DKI JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, DAN BEKASI
(JABODETABEK)
M. Ihsanuddin Karimullah/15414019
Fikri Rachmad Ardi/15414021
Pratiwi Prameswari/15414023
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan
Pengembangan Kebijakan. Institut Teknologi Bandung.
ABSTRAK
Wilayah Provinsi DKI Jakarta dikenal sebagai provinsi dengan tingkat konsumsi relatif
tinggi, terutama konsumsi pangan. Dengan perbandingan produk domestik regional bruto
tertinggi di Indonesia, Jakarta dianggap memiliki persebaran pendapatan dengan jumlah yang
tinggi juga. Dengan beragam isu dan masalah yang berkaitan dengan pangan di Jakarta, penulis
menganalisis hubungan tingkat pendapatan di Jakarta beserta wilayah tetangga yang tergabung
dalam Jabodetabek. Juga dianalisis bagaimana kecenderungan daerah kluster hubungan
konsumsi dan pendapatan per-129 kecamatan se-Jabodetabek. Hasilnya, di pusat wilayah
Jabodetabek tingkat pendapatan, konsumsi, dan konsumsi pangan penduduk cenderung tinggi,
semakin menjauh dari pusat wilayah, semakin rendah.
Kata kunci: Hubungan, tingkat pendapatan, tingkat konsumsi pangan, Jabodetabek.
PENDAHULUAN
Sebagai ibukota Republik Indonesia, Jakarta boleh dikatakan sebagai pusat dari segalanya.
Mulai dari pusat pemerintahan, pusat pariwisata, pusat olahraga, budaya, bisnis, bahkan ekonomi.
Dari sisi ekonomi sendiri, Jakarta memiliki potensi yang besar. Salah satunya dibuktikan melalui
data Badan Pusat Statistik tahun 2013. Jakarta dinobatkan sebagai provinsi dengan produk
domestik bruto menurut harga berlaku tertinggi di Indonesia dengan jumlah Rp1.255.925,78
1
miliar. Produk domestik bruto tersebut didapatkan dari beragam aspek, salah satunya adalah
melalui pengeluaran konsumsi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, PDRB Menurut
Pengeluaran Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2013 di provinsi ini adalah sebesar
Rp477.285.245.000.000,00. Selain itu, berdasarkan data menurut konsumsi lembaga dan
masyarakat, jumlah pengeluaran PDRB adalah sebesar Rp250.668.032.000.000,00. Pengeluaran
tersebut, salah satunya adalah konsumsi makanan dan minuman.
Konsumsi di DKI Jakarta, seperti konsumsi negara-negara lain di Indonesia, bergantung
pada waktu-waktu tertentu. Salah satu contohnya adalah pada waktu bulan Ramadhan, bulan
ketika umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia menjalankan ibadah puasa. Menurut
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, konsumsi masyarakat di bulan itu cenderung naik
antara 5-20%. Sektor konsumsi yang naik akibat kenaikan permintaan antara lain minyak goreng,
tepung terigu, tepung tapioka, gula kristal putih, ikan, daging ayam, dan daging sapi. Konsumsi
yang naik tersebut memaksa pelaku terkait untuk menambah jumlah pasokan barang. Akibatnya,
tidak heran jika bulan Ramadhan datang inflasi cenderung mengalami kenaikan.
Dari konsumsi tersebut, penulis ingin mencari tahu bagaimana kecenderungan setiap
kecamatan di DKI Jakarta dalam melakukan konsumsi makanan. Selain itu, penulis juga ingin
mengetahui apakah kecamatan di sekitarnya, juga kecamatan-kecamatan di daerah suburban
Jakarta dalam kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), juga cenderung
mengkluster perihal konsumsi, baik dalam konsumsi makanan, maupun konsumsi keseluruhan.
Untuk analisis hubungan tingkat pendapatan dengan konsumsi pangan di kawasan
Jabodetabek, dilakukan analisis melalui aplikasi Open GeoDA. Dari aplikasi ini, akan ditampilkan
bagaimana pola konsumsi dihubungkan dengan tingkat pendapatan perkecamatan. Akan dibahas
pula bentuk BoxPlot, Moran’s Scattered Plot, dan peta hasil kluster.
TINJAUAN PUSTAKA
Pangan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pangan, pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
2
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,dan/atau
pembuatan makanan atau minuman.
Pendapatan
Dalam laporan ini, pendapatan diartikan dalam keilmuan ekonomi. Secara ekonomi, menurut John
J. Wild (2003:311), pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh sesorang
dalam suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan
semula, definisi pendapatan menurut ilmu ekonomi menutup kemungkinan perubahan lebih dari
total harta kekayaan badan usaha pada awal periode dan menekankan pada jumlah nilai sttis pada
akhir periode. Dengan kata lain, pendapatan adalah jumlah kenaikan harta kekayaan karena
perubahan penilaian yang bukan diakibatkkan perubahan modal dan hutang.
Autokorelasi spasial
Autokorelasi spasial adalah suatu korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri atau dapat juga
diartikan ukuran kemiripan dari objek dalam suatu ruang. Permulaan dari keacakan spasial
mengindikasikan pola spasial seperti clustered (berkelompok), dispersed (menyebar), atau random
(acak). Autokorelasi spasial positif mengindikasikan lokasi yang berdekatan mempunyai nilai
yang mirip dan cenderung berkelompok. Autokorelasi spasial negatif mengindikasikan lokasi yang
berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan cenderung menyebar. Dan tidak ada autokorelasi
spasial mengindikasikan pola lokasi acak (Lee dan Wong, 2001 dalam Yasin dan Saputra, 2013).
Gambar 1 Ilustrasi Autokorelasi Spasial melalui Aplikasi ArcMAP
Sumber: help.arcgis.com/EN/ArcGISDesktop. Diakses pada 1 Desember 2015.
3
Pengukuran autokorelasi spasial untuk area data spasial dapat dihitung menggunakan metode
Moran’s I (Indeks Moran), Geary’s c, dan Tango’s excess (Pfeiffer dkk, 2008). Dala laporan ini,
pengukuran autokorelasi spasial dilakukan melalui metode Indeks Moran I melalui aplikasi Open
GeoDA.
Indeks Moran
Indeks Moran paling sering digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial global dan
mengkuantifikasi kesamaan dari variabel hasil antar wilayah (area) yang didefinisikan sebagai
spasial terkait. Hal tersebut dapat diterapkan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan spasial.
Permulaan dari keacakan spasial mengindikasikan pola spasial seperti berkelompok atau
membentuk tren terhadap ruang (Pfeiffer dkk, 2008 dalam Faiz, Rahmawati, dan Safitri, 2013).
Perhitungan autokorelasi spasial menggunakan Indeks Moran dengan matriks pembobot W
berdasarkan perkalian silang adalah sebagai berikut.
(Banerjee, 2004, dalam Faiz, Rahmawati, dan Safitri, 2013)
Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan Indeks Moran berkisar antara -1 sampai 1. Nilai indeks
moran bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok, nilai indeks moran yang positif
mengindikasikan autokorelasi spasial yang positif yang berarti lokasi yang berdekatan mempunyai
nilai yang mirip dan cenderung berkelompok, dan nilai Indeks Moran yang negatif
mengindikasikan autokorelasi spasial negatif yang berarti lokasi yang berdekatan mempunyai nilai
yang berbeda (Pfeiffer dkk, 2008 dalam Faiz, Rahmawati, dan Safitri, 2013).
Moran’s Scatterplot
Lee dan Wong (2001) dalam Yasin dan Saputra (2013) menyebutkan bahwa Moran’s
Scatterplot adalah salah satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Moran. Moran’s
Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara nilai pengamatan yang sudah
distandarisasi dan nilai rata-rata daerah tetangga yang telah distandardisasi.
4
Gambar 2 Kuadran Moran’s Scatterplot
Sumber: Pemetaan Penyakit Demam Berdarah Dengue dengan Analisis Pola Spasial di
Kabupaten Pekalongan, 2015.
Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut High-High (HH), menunjukkan daerah yang
mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai pengamatan
tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut Low-High (LH), menunjukkan daerah dengan
pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletak
di kiri bawah) disebut Low-Low (LL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan
dikelilingi daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan
bawah) disebut High-Low (HL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan tinggi yang
dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah. Moran’s Scatterplot yang banyak
menempatkan pengamatan di kuadran HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai
autokorelasi spasial yang positif (cluster ). Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak
menempatkan pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi
spasial yang negatif.
GeoDA
GeoDA (akronim dari Geographic Data Analysis) adalah sebuah program perangkat lunak bebas
yang bertindak sebagai pengantar analisis spasial, yang dirancang untuk menerapkan teknik
Explanatory Spatial Data Analysis (ESDA) dari kisi data (poin dan poligon). Hal ini dimaksudkan
untuk menyediakan antarmuka yang ramah dan grafis pengguna untuk metode deskriptif spasial
analisis data, seperti statistik autokorelasi spasial, serta fungsi regresi spasial dasar. GeoDA
dipublikasikan oleh GeoDA Center Arizona State University, Amerika Serikat, dan dapat diunduh
dan digunakan secara gratis.
5
ANALISIS
Wilayah Jabodetabek
Gambar 3 Peta Jabodetabek
Map - JABODETABEK
Kecamatan (129)
Sumber : Hasil Analisis GeoDA, 2015
Dalam melakukan analisis, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, wilayah yang
menjadi daerah adalah Jabodetabek. Gambar 2 menunjukkan peta shp Jabodetabek yang akan
dianalisis melalui software GeoDA. Peta tersebut merupakan themeless map atau peta tanpa tema
yang hanya menunjukan peta batas administrasi. Dari peta tersebut, diketahui bahwa terdapat 129
kecamatan di wilayah Jabodetabek.
Dalam analisis kali ini, digunakan juga tools weights berupa queen contiguity dengan order
of contiguity 1. Hal ini dikarenakan penulis ingin menganalisis pengaruh dan keterkaitan antara
kecamatan satu dengan kecamatan tetangga yang berada persis di sekitar kecamatan tersebut.
Analisis Tingkat Pendapatan, Tingkat Konsumsi Secara Umum, dan Tingkat Konsumsi
Pangan Penduduk Jabodetabek
Dalam menganalisis hubungan tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi pangan, dilakukan
analisis terlebih dahulu mengenai tingkat pendapatan, tingkat konsumsi secara umum, dan tingkat
konsumsi pangan Jabodetabek itu sendiri. Analisis tingkat konsumsi dilakukan untuk mengetahui
gambaran tingkat konsumsi secara umum dari penduduk Jabodetabek terlepas dari keberadaan
konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan. Sementara analisis tingkat pendapatan dan tingkat
6
konsumsi pangan dilakukan untuk mengetahui gambaran dari kedua variabel tersebut di wilayah
Jabodetabek.
1. Analisis Tingkat Pendapatan Penduduk Jabodetabek
Variabel pertama yang akan dianalisis adalah tingkat pendapatan penduduk Jabodetabek
itu sendiri. Tingkat pendapatan penduduk dibagi ke dalam tiga tingkatan interval, yaitu pendapatan
tinggi dengan interval >Rp980.000, pendapatan sedang dengan interval Rp980.000-Rp620.000,
dan pendapatan rendah dengan interval Rp855.000, konsumsi sedang dengan
interval Rp855.000-Rp553.000, dan konsumsi rendah dengan interval Rp400.000, konsumsi pangan sedang dengan interval Rp400.000-Rp327.000, dan
konsumsi pangan rendah dengan interval