Kekristenan dalam anime Proses Mengindonesia

Kekristenan dalam Proses Mengindonesia∗
Steve Gaspersz**
Pengantar
Saya sengaja mengubah tema “Tantangan dan Peluang yang dihadapi Agama-agama di
Indonesia” dari Persetia menjadi “Kekristenan dalam Proses Mengindonesia” dengan maksud
menempatkan dinamika kekristenan dalam konteks pergulatan menjadi Indonesia yang
tampaknya merupakan agenda teologis-eklesiologis utama sejak awal pembentukan nationstate Indonesia (Proklamasi 17 Agustus 1945) hingga sekarang (2013). Pergulatan teologiseklesiologis tersebut terus-menerus digemakan pada setiap fase sejarah politik maupun sejarah
gereja dengan harapan agar corak kekristenan Indonesia berakar dan bertumbuh bukan lagi
pada nostalgia kejayaan kolonialisme ataupun pesimis dengan kepahitan diskriminasi yang kian
menggumpal dalam relasi-relasi sosial masyarakat Indonesia kontemporer akhir-akhir ini,
tetapi pada kesadaran kontekstual bahwa kekristenan merupakan bagian integral dari proses
mengindonesia. Di dalam dinamika konteks keindonesiaan itulah kita dapat melihat apa saja
tantangan dan harapan dalam proses membangun religiositas Indonesia.
Kekristenan yang saya maksud di sini tidaklah terbatasi pada pengertian spesifik
“kelembagaan” atau “institusi” seperti yang kerap kita sebut sebagai “gereja”. Istilah “gereja”
telanjur dipahami sebagai sebentuk organisasi atau institusi sosio-religius dengan seluruh
kelengkapan struktur dan sistem pengorganisasian yang [di]mapan[kan] (tradisi teologi,
doktrin, aturan, liturgi, tata pelayanan dll). Kekristenan yang dimaksud lebih mengarah pada
gerakan sosial-keagamaan yang secara konstan melakukan dekonstruksi pemikiran dan
institusional seiring dinamika perubahan sosial dalam konteks keberadaannya di Indonesia.
Sebagai gerakan sosial-keagamaan, kekristenan di Indonesia mewujud dalam berbagai ekspresi

religiositas yang saling bertaut, berkonflik dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat
(ekonomi, sosial-politik, ekonomi, hak asasi manusia dll) mengikuti semangat zamannya. Apa
yang sering kita sebut kontekstualisasi teologi pada dasarnya adalah semangat merelevansikan
gerakan pemikiran dan institusional dalam kekristenan dengan dinamika perubahan sosial
secara partikular maupun global. Sebagai yang demikian, gerakan kekristenan ini bisa mewujud
secara internal dalam tubuh institusi gerejawi (resistensi terhadap tradisi) dan secara eksternal
(adaptasi bentuk-bentuk baru beragama melampaui batasan kelembagaan dan tradisi).1
Frase “proses mengindonesia” pada dasarnya hendak membentangkan realitas
berteologi (pemikiran dan praksis) Kristen di Indonesia. Dengan demikian, [ber]teologi
dipahami dan dialami sebagai tindakan yang aktif menghubungkan berbagai dimensi pemikiran
yang terbangun sebagai refleksi kritis dan tanggapan konkret terhadap dinamika konteks, baik
secara individual maupun kolektif.2 Seluruh proses itu kemudian mengarah pada dekonstruksi
kreatif interpretasi tekstual maupun tradisi kekristenan untuk menanggapi perubahan konteks
dan/atau situasi problematik yang dialami oleh masyarakat tempat kekristenan itu berakar dan
bertumbuh. Jadi, [ber]teologi itu selalu dalam proses menjadi dan tidak pernah mencapai
noktah final; selalu dalam peziarahan mencari makna melalui relasi-relasi interpretatif antara
postulat-postulat normatif atau ideal dalam “teks” (kitab suci) dan realitas yang dialami dan
dihidupi sehari-hari atau “konteks”. Semua itu pada gilirannya mempengaruhi paradigma dan
model berteologi yang dibangun baik pada level pendidikan teologi maupun level aktivitas
institusi gereja yang mencerminkan wajah konkret kekristenan secara sosiologis dalam konteks

bernama Indonesia.

1

Perspektif Kajian Keagamaan (Religious Studies)
Di sini saya tidak secara eksplisit membicarakan teologi – sebagai arus pemikiran, tradisi
spiritual ataupun disiplin ilmu – tetapi lebih mengarahkan percakapan mengenai tantangan dan
peluang agama-agama di Indonesia dengan menggunakan lensa kajian keagamaan (religious
studies). Religious studies dalam arti formal dan sistematis tampaknya belum terlalu lazim di
Indonesia. Setahu saya hanya satu fakultas teologi dari sekolah anggota Persetia yang secara
eksplisit menjalankan program studi bernama “sosiologi agama”. Beberapa sekolah lain
memang ada yang menggunakan nama-nama seperti “agama dan kebudayaan” tetapi
kurikulumnya masih didominasi oleh paradigma teologi. Istilah “agama” digunakan tetapi pada
praktiknya adalah pembelajaran teologi (biblika, teologi sistematika dll). Porsi kajian
keagamaan justru sangat minim. Jadi studi agama disamakan begitu saja dengan studi teologi.
Saya punya pengalaman menarik mengenai hal itu saat mengasuh matakuliah “Hindu,
Budha, Agama Suku dan Kebatinan”. Mahasiswa secara berseloroh menyebutnya matakuliah
“Agama Campursari”. Kendati berseloroh tetapi istilah itu mengindikasikan betapa kajian
keagamaan menempati posisi marjinal dalam proses pembelajaran teologi formal. Bisa
dibayangkan bahwa untuk mengasuh satu matakuliah ini saja dibutuhkan dosen berkompetensi

super yang mampu mendalami berbagai literatur mengenai agama-agama tersebut guna
memahami dan menjelaskannya masing-masing. Para mahasiswa pun dituntut kemampuan
super untuk membaca dan mencerna berbagai literatur mengenai agama-agama tersebut.
Pada pihak lain, kasus itu juga memperlihatkan bahwa kajian agama-agama dianggap
tidak terlalu penting sehingga bisa diborong dan dipadatkan seperti nama matakuliah itu.
Bisakah semua dilakukan secara optimal? Cukupkah waktu yang tersedia untuk mendalaminya
hingga akhir semester? Tercapaikah tujuan pembelajaran yang ditetapkan? Kita bisa menjawab
“bisa saja” tetapi harus dilanjutkan dengan pertanyaan “seberapa mendalam seluruh proses
pembelajaran mengenai agama-agama lain tersebut memperkaya khazanah berpikir mahasiswa
teologi mengenai eksistensi agama-agama lain dan berbagai ekspresi religiositas yang
terungkap melalui kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk ini”? Sementara itu, yang
dibutuhkan dari proses pembelajaran agama-agama itu tidak hanya terletak pada kemampuan
memahami substansi internalnya saja tetapi juga proses mengasah kepekaan dan ketajaman
menganalisis gerakan-gerakan keagamaan yang berkorelasi langsung dengan dinamika
eksternal di luar institusi dan teologinya (ekonomi, budaya, politik, negara, pendidikan, hak
asasi manusia, dll).
Ringkasnya, religious studies lebih berupa analisis sosiobudaya dengan menggunakan
pendekatan lintas keilmuan (interdisciplinary) terhadap agama sebagai fenomena sosialbudaya. Dengan demikian, religious studies sangat terbuka untuk memanfaatkan kajian disiplin
ilmu lain (teori dan metodologi), terutama ilmu-ilmu humaniora (sosiologi, antropologi, ilmu
politik, manajemen konflik, sejarah sosial, studi pembangunan dll), sebagai kerangka analisis

memahami dan menjelaskan fenomena religiositas suatu masyarakat atau kelompok-kelompok
tertentu dalam suatu masyarakat.3 Dalam ranah ilmu-ilmu humaniora, fenomena religiositas
dipahami sebagai bagian integral dari proses-proses sosial yang berlangsung dalam konteks
sosial tertentu. Dimensi-dimensi yang dianggap transendental (mis: wahyu, theological
judgment berdasarkan interpretasi teks-teks suci) dalam religiositas dilihat terutama melalui
manifestasi kultural dan sosiologisnya (outsider perspective); bukan terutama pada aspek
teologisnya (insider perspective). Agama yang menjadi pokok penelitian religious studies dikaji
melalui [1] artikulasi sosiologis teks-teks atau cerita-cerita sakral; [2] ritual; [3] simbol; [4]
ajaran etis; [5] tindakan kolektif melalui institusi keagamaan.
2

Indonesia dan Mengindonesia: Tantangan bagi Kekristenan Indonesia
1. Kemajemukan Religiositas Nusantara
Penelusuran kembali jejak-jejak sejarah religiositas Nusantara akan membawa kita pada suatu
peta besar yang mendeskripsikan secara rumit jalur lalu-lintas penyebaran, perjumpaan, difusi,
akulturasi dan transformasi ide-ide, tradisi-tradisi dan model-model religiositas global. Para
sejarawan seperti Reid dan Ricklefs melalui kajian sejarah mereka pada lingkup Asia Tenggara
dan Indonesia memperlihatkan bahwa kawasan Asia Tenggara dalam kurun waktu yang
panjang telah menjadi arena interaksi ekonomi dan kebudayaan, yang bersamanya pula
berbagai tradisi religiositas menyebar dan bermetamorfosis seiring perubahan ruang-waktu.4

Muncul dan runtuhnya kerajaan-kerajaan besar Nusantara (Sriwijaya, Majapahit,
Mataram) kerap disertai kemajuan dan perang yang mendorong pergeseran demografis pada
wilayah-wilayah taklukan mereka dan perluasan jaringan ekonomi. Tradisi-tradisi religiositas
Hindu, Budha dan Islam pun menyebar, diterima dan dipraktikkan dengan berbagai variasinya.
Proses historis semacam ini tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai sejarah yang diputuskan
(discontinuity) dan sejarah yang dilanjutkan (continuity), melainkan sejarah yang terjalin
tumpang-tindih (intertwined). Dengan demikian, kemajemukan religiositas Nusantara terbentuk
bukan karena tradisi-tradisi keagamaan saling meniadakan tetapi justru dalam perjalanan
sejarah dan dinamika sosial-politik semuanya melebur membentuk lapisan-lapisan tradisi yang
kompleks.5 Proses sosial dan perkembangan sejarah semacam itu tentu berbeda dengan apa
yang terjadi di belahan dunia lain seperti India, Afrika, Amerika dan Eropa.
Melalui trayektori sejarah tersebut maka religiositas Nusantara kemudian terbentuk
secara khas yang tidak lagi dapat disamakan begitu saja dengan ekspresi religius dari tempat
asal tradisi-tradisi religius tersebut semula. Fenomena kemajemukan dan kekhasan religiositas
Nusantara tersebut masih dapat ditemukan hingga sekarang dalam berbagai tradisi dan
ekspresi religius Indonesia kontemporer. Misalnya, ekspresi religius Hindu-Bali dan struktur
sosial yang dipengaruhinya berbeda dengan ekspresi sosio-religius Hindu di India; ekspresi
religius dan ritual Islam-Jawa berbeda dengan ekspresi religius Islam-Makassar, bahkan dengan
Islam-Arab (Timur Tengah). Demikian pula jika kita sedikit “melompat” ke periode
pascakolonial maka kita bisa menemukan ekspresi religius Kristen-Jawa berbeda dengan

Kristen-Ambon, bahkan dengan Kristen-Belanda.
Dari perspektif historis dan difusi kebudayaan tersebut kita menemukan bahwa
religiositas Nusantara bukanlah sebuah objek beku yang statis tetapi mengalami transformasi
ide-ide dan praktik-praktiknya secara konstan. Religiositas Nusantara tersebut terus bergerak
dan berubah dalam relasi-relasi kreatif dengan berbagai realitas sosial-budaya, ekonomi dan
politik komunitas penganutnya; tidak monolitik atau statis. Kekristenan Indonesia berakar dan
bertumbuh di ranah kebudayaan dan religiositas yang majemuk semacam itu. Sejarah
kekristenan Indonesia pun memperlihatkan bahwa tanpa kelenturan budaya dan religiositas
tertentu maka kekristenan ala Nusantara (Indonesia) tidak akan mampu bertahan di kepulauan
Nusantara. Kesadaran historis mengenai hal itu kini berhadapan dengan kecenderungan
ideologis untuk menemukan kemurnian (purifikasi) kekristenan dengan menyingkirkan unsurunsur kebudayaan dan religiositas Nusantara, lalu mengadopsi ide dan model kekristenan lain
yang dianggap “murni”. Padahal yang dianggap “murni” itu juga adalah produk kebudayaan
yang terjalin tumpang-tindih dari masyarakat lain yang hidup di benua[-benua] lain. Dengan
kesadaran historis dan sosiologis semacam ini maka kekristenan Indonesia sebenarnya
menyadari bahwa keberadaannya hanya bisa bertahan jika tetap merawat relasi-relasi dialogis
untuk memahami berbagai ekspresi kebudayaan lokal dalam religiositas Nusantara.
3

2. Politik Kolonial
Jika religiositas Nusantara tidak dapat dipisahkan dari realitas politik dan ekonomi pada era

kerajaan-kerajaan besar, dikotomi agama dan politik justru mengkristal sejak kedatangan
pedagang-pedagang Eropa. Selain memburu rempah-rempah, mereka juga membawa serta
memori kolektif dan mentalitas superior dari negara asalnya.6 Portugis, misalnya, yang datang
dengan maksud berdagang tetap dipengaruhi oleh memori kolektif yang buruk dalam
hubungannya dengan komunitas muslim.7 Semangat ekonomi dan kristenisasi melalui
penaklukan Islam berjalan bersamaan atas dorongan memori kolektif dari Barat, yang
kemudian diinfus ke dalam karakter kekristenan yang dilembagakan di Nusantara.
Setelah Portugis hengkang, Belanda (VOC) yang menggantikan posisinya sebagai
kekuatan monopoli perdagangan rempah lebih memberi perhatian pada aktivitas perdagangan
daripada misi Kristen. Konversi dangkal jemaat-jemaat Gereja Katolik warisan Portugis menjadi
jemaat-jemaat Protestan di Ambon hanya dilakukan sebagai pencitraan dominasi baru politik
melalui agama. Secara umum, banyak persoalan teologis (internal) yang kemudian
mempengaruhi dinamika sosial jemaat-jemaat tersebut (eksternal). Demikian pula sebaliknya,
situasi politik dan ketegangan sosial antarkelompok turut mempengaruhi artikulasi teologis
jemaat-jemaat tersebut secara internal. Sistem monopoli perdagangan rempah (cengkih dan
pala) dan politik apartheid Belanda makin mempertegas pengerasan identitas berdasarkan
batas-batas “agama” dan “etnisitas”. Pegawai pemerintah golongan rendah dan serdadu
direkrut berdasarkan identifikasi “agama” (Kristen) dan “etnis” tertentu (Ambon, Manado,
Timor, Batak); sedangkan urusan ekonomi lokal diatur oleh kelompok pedagang Arab dan Cina.
Selama masa kolonial kekristenan melembaga menjadi agama formal yang melekat erat

dengan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi. Resistensi kelompok-kelompok lokal terhadap
dominasi kekuasaan Belanda kerap terjadi dengan positioning “kami – rakyat tertindas, pribumi,
Islam” versus “mereka – penguasa kafir, kulit putih, Kristen”. Habitus apartheid itu tidak hanya
menyusup ke relung-relung mentalitas masyarakat dan birokrasi pemerintahan kolonial, tetapi
bahkan ke dalam institusi gereja bentukan Belanda (yang kemudian terwariskan kepada kita
saat ini). Kekristenan menjadi sebentuk ekspresi formal keagamaan yang mengalami
fragmentasi sosial-budaya dan teologis. Kekristenan tersekat pada kapling-kapling “Baratmodern” dan “etnis” (Ambon, Manado, Timor, Papua) yang kerap dioposisikan secara sadar
dengan Islam yang dilabeli “pribumi-kolot” dan “etnis” (Sumatra, Jawa, Makassar).
Bersamaan dengan itu pula sejarah kekristenan mencatat munculnya gerakan-gerakan
kekristenan oleh komunitas lokal di berbagai wilayah Hindia-Belanda. Berbagai gerakan
kekristenan lokal tersebut awalnya merupakan buah misi “orang Barat” yang kemudian
berkembang dalam ekspresi-ekspresi budaya lokal. Dikotomi hitam-putih atau benar-salah ala
Kristen-Barat diharmonisasikan dan diisi dengan hikmat-hikmat lokal sehingga kekristenan
mengakar di tanah Indonesia. Kekristenan pada gilirannya bukan lagi “agama Barat” dan orang
Kristen bukan lagi “orang [ke]Barat[an]” (Jw. Jowo durung, Londo nanggung; londo ireng;
Belanda hitam). Dengan demikian, kekristenan yang dicangkokkan dari tempat lain kemudian
berproses menyerap saripati kebudayaan masyarakat Nusantara dan bertumbuh menjadi
kekristenan yang mengindonesia. Konflik teologis dan benturan kebudayaan memang tidak
terhindarkan tetapi justru di dalam proses itulah negosiasi identitas berlangsung hingga
mencapai fase-fase pematangan identitas keagamaan dengan karakteristik yang berbeda dari

tempat asalnya semula. Negosiasi bukanlah negasi (penolakan) tetapi upaya mendialogkan
perbedaan dan menyerapnya menjadi unsur utama dari identitas baru: Kristen Indonesia.

4

3. Realitas Pascakolonial
Masyarakat Indonesia pascakolonial menjalani dua “orde” penting yang menentukan identitas
keindonesiaan dan makna mengindonesia dengan berbagai efek dan ekses hingga saat ini: Orde
Lama dan Orde Baru. “Orde-orde” berikutnya pada dasarnya adalah efek lanjutan dari isu-isu
fundamental yang dianggap masih mengganjal oleh beberapa kelompok saat menetapkan
kesepakatan mengindonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945.8 Orde Lama adalah masa-masa
penting mewujudkan imajinasi politik dan ideologis masyarakat Indonesia yang bersatu di
bawah kibaran Merah-Putih dan naungan Pancasila. Ini yang disebut Ben Anderson sebagai
imagined community.9 Imajinasi nasionalisme Indonesia telah menggerakkan roda sejarah
politik Indonesia pascakolonial. Kemajemukan sosial-budaya dan ideologi hendak disatukan
dalam satu semangat nation-building yang bermartabat dan terlepas dari penindasan
kolonialisme Barat dengan segala bentuknya.10 Orde Lama juga menjadi arena sejarah negosiasi
identitas keindonesiaan agar mampu hidup bersama di atas satu pondasi ideologi kebangsaan
yang diterima oleh semua. Meskipun pada akhirnya “keindonesiaan” diterima tetapi masih
menyisakan fragmen-fragmen primordialistik atas nama ideologi keagamaan dan etnisitas.

Orde Baru sebenarnya juga bergerak dengan semangat nasionalisme tetapi dengan
konteks yang berbeda. Perang ideologi kebangsaan (Nasionalisme, Marxisme dan Islam –
nasakom) ditinggalkan karena dianggap hanya membuang-buang energi yang bagi penguasa
Orba menghambat proses pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi yang menjadi
paradigma politik Orba. Kemajemukan dianggap kekayaan tetapi sekaligus perbedaan dilihat
sebagai ancaman bagi stabilitas nasional. Oleh karena itu, perbedaan harus “dijinakkan” melalui
ancaman SARA oleh negara agar tidak bergerak liar mengganggu pembangunan nasional.
Pondasi pembangunan nasional ini terbukti rapuh karena hanya dibangun oleh
kekuatan negara (security approach) dan meninggalkan massa rakyat terpinggirkan serta
terlindas oleh juggernaut modernisasi ekonomi ala kapitalisme Barat. Kemajemukan yang
cenderung diseragamkan justru melahirkan “sekte-sekte” sosial dan ideologis yang berusaha
melawan penyeragaman identitas dan menyimpang dari arus-utama kebangsaan Orba. Sektesekte sosial dan ideologis ini mengembangkan interpretasi mereka sendiri terhadap
keindonesiaan berdasarkan memori kolektif kejayaan Islam (Piagam Madinah), perjuangan
terhadap keadilan sosial (Marxisme), demokrasi (resistensi minoritas terhadap dominasi
kelompok mayoritas).
Perdebatan yang sudah mereda pada awal Orba kini menjadi pertengkaran baru pascaOrba. Tumbangnya penguasa Orba ternyata tidak disertai dengan dekonstruksi fundamental
imajinasi keindonesiaan Orla dan stabilitas nasional Orba hampir pada semua level kehidupan
masyarakat. Pengerasan identitas primordial (agama dan etnis) menjadi mesiu baru untuk
memberangus perbedaan (otherness) dan menyingkirkan liyan (other). Gerakan kekristenan
juga tak berdaya dan dilumpuhkan oleh bermacam-macam konflik internal gereja dan

universitas Kristen sehingga habis energi olehnya. Kekristenan terseok-seok menata institusi
yang morat-marit pengelolaannya dan sarat konflik internal sehingga tidak lagi berstamina
penuh terlibat dalam diskursus keindonesiaan dan membangun visi mengindonesia seperti apa
yang mesti dibangun dan diimplementasikan saat ini. Pembiaran negara terhadap berbagai
tindakan diskriminatif hanya disikapi secara reaktif oleh lembaga-lembaga keagamaan Kristen
tanpa sebuah visi teologis keindonesiaan atau teologi Indonesia. Optimisme untuk
mengindonesia tetap hidup tetapi kian redup, sementara dalam remang-remang sosial-politik
Indonesia saat ini kekristenan pun belum siap menyatakan apa visi keindonesiaannya karena
masih sibuk dengan warisan-warisan kolonial maupun nostalgia keamanan Orba.

5

Kekristenan yang mengindonesia: dari mana dan mau kemana?
Ketiga fase besar sejarah tersebut hanyalah upaya menyederhanakan realitas historis “menjadi
Indonesia” yang terus berlangsung hingga saat ini. Bercermin pada realitas historis tersebut kita
digiring pada kesadaran sosiologis bahwa “mengindonesia” adalah sebuah proses yang
membentuk kesadaran kolektif kita sebagai sebuah imagined community yang terus-menerus
menegosiasikan identitas kebangsaan bersama-sama di tengah hamparan kemajemukan
konteks sosial-budaya masyarakatnya.11 Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 –
dengan memperhitungkan pro-kontra historisnya – dapat menjadi acuan sejarah dari mana
proses pembentukan identitas nasional kita mulai. Itu menjadi titik berangkat yang penting
untuk melanjutkan dan/atau memperkuat konstruksi identitas imagined community dalam
bingkai nasionalisme keindonesiaan. Memahaminya sebagai proses maka kita diingatkan bahwa
identitas nasional keindonesiaan itu merupakan proses negosiasi identitas-identitas partikular
(lokal) yang tidak dapat diabaikan, bahkan atas nama nasionalisme itu sendiri.12
Berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi belakangan ini – entah atas nama identitas
primordial (konflik etnis dan konflik agama) maupun acuan nasionalisme yang monolitik
(mengunggulkan dominasi mayoritas secara kuantitatif) – pada dasarnya merupakan implikasi
dari proses negosiasi politik berbagai identitas partikular (lokal) yang berlangsung sepanjang
sejarah mengindonesia sebagai suatu imagined community. Acuan historis “menjadi Indonesia”
merupakan landasan sosiologis dan politis yang penting untuk menentukan kemana arah
proses mengindonesia ini di masa depan. Dalam konteks ini maka kekristenan seyogyanya
melepaskan beban-beban sejarah yang menggayuti identitasnya sebagai “agama kolonial”
sehingga geraknya tidak sigap menanggapi perubahan zaman. Tidak ada pilihan lain – sejauh
yang saya cermati – selain menceburkan diri (tanpa kehilangan kendali dan tenggelam) dalam
arus pergumulan zaman ini, yang secara spesifik saya sebut sebagai keterlibatan dalam
menentukan identitas politiknya sebagai suatu gerakan keagamaan nasional menegosiasikan
kepentingannya berdasarkan panggilan misionernya menjadi bagian dari “roh mengindonesia”
pada semua lini kehidupan sosial-religius-politik-budaya-ekonomi-pendidikan dan perjuangan
menegakkan hak asasi manusia serta keprihatinan ekologis.
Sebagaimana secara historis kekristenan berperan – dengan derajat keterlibatan yang
bervariasi pada setiap zaman – menentukan postur awal mengindonesia, maka keterlibatan
dalam seluruh diskursus keindonesiaan pada masa kini juga menjadi panggilan teologis,
sosiologis dan politisnya. Di antara sejumlah isu strategis penting yang mencuat – baik sebagai
akumulasi kegagalan sejarah menegosiasikan identitas primordial yang majemuk maupun
sebagai ekses dari salah-kelola kekuasaan/kewenangan politik – saya memusatkan perhatian
pada dua isu yang bagi saya penting untuk dipercakapkan dalam diskursus [ber]teologi di
Indonesia, terutama pada level teologi akademik yang berdampak pada konstruksi dan tindakan
[ber]teologi pada level komunitas (jemaat) Kristen dengan berbagai denominasinya. Dua isu
strategis tersebut adalah (1) visi mengindonesia dalam proses pendidikan teologi dan (2) visi
mengindonesia dalam menentukan ideologi kebangsaan bersama.
(1) Visi Mengindonesia dalam Proses Pendidikan Teologi
Beberapa karya teologis – sebagian besar adalah disertasi dan tesis yang dibukukan – dari
sejumlah senior teolog Indonesia telah membuka horizon berteologi kontekstual yang dibedah
melalui perspektif sejarah, teologi politik dan relasi agama-agama.13 Karya-karya tersebut
dengan jelas dan rinci memperlihatkan dinamika kekristenan dalam proses mengindonesia
sejak zaman kolonial dan pascakolonial. Berbagai ide kebangsaan yang menjadi diskursus
berteologi (dalam arti luas) terlontar dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai utama kekristenan yang
6

dinegosiasikan bersama sebagai bagian integral proses mengindonesia tersebut. Semuanya
bertujuan mengakarkan kekristenan di tanah budaya Indonesia yang subur perbedaan ini.
Tidak sedikit tantangan dan hambatan yang dihadapi tetapi kekristenan secara bertahap dan
intensif turut membuahi ide nasionalisme keindonesiaan.
Pada tataran pendidikan teologi semua itu tidak dapat dilihat secara sederhana hanya
sebagai nostalgia yang dibincangkan sebatas narasi sejarah. Lebih jauh, narasi sejarah itu
semestinya mendorong diskursus-diskursus nasionalisme dan identitas politik kekristenan
dalam masyarakat multibudaya Indonesia kontemporer saat ini. Seberapa jauh jangkauan
pembelajaran teologi di sekolah-sekolah teologi Indonesia saat ini terlibat dalam diskursus
nasionalisme dan realitas kemajemukan tentu bisa kita diskusikan lebih jauh. Namun, perlu juga
diungkapkan bahwa diskursus identitas politik dan keindonesiaan kontemporer tampaknya –
ini sebuah amatan sangat subjektif – tidak cukup proporsional mengubah paradigma
[ber]teologi pada level teologi akademik di sekolah-sekolah teologi. Gagasan-gagasan teologi
politik dan keindonesiaan yang pernah dicetuskan Leimena dan Simatupang masih terus
menjadi rujukan dalam diskursus [ber]teologi politik kita.14
Tentu saja, bukan bermaksud mengatakan bahwa sumbangsih mereka (dan yang
lainnya) tidak penting, tetapi kita harus realistis bahwa seiring perubahan zaman maka
semestinya terjadi pula pergeseran paradigma [ber]teologi Kristen. Kita menghadapi tantangan
baru yang mesti ditanggapi dan disikapi secara baru (metodologis dan praksis). Leimena dan
Simatupang sebenarnya membuka perspektif bahwa gagasan teologi politik mereka yang
“awam” harus menjadi agenda penting dalam pendidikan teologi formal. Jika demikian, maka
gagasan-gagasan teologi politik (dalam arti luas) tidak hanya menjadi diskursus elitis tetapi
menjadi roh kekristenan karena gagasan-gagasan tersebut telah sungguh-sungguh menjadi
mindset dan paradigma pendeta-pendeta atau pekarya-pekarya pastoral di jemaat-jemaat.
Dalam konteks ini, mahasiswa teologi menjadi agen-agen sosial yang mendiseminasi gagasangagasan keindonesiaan hingga ke ranah akar-rumput (grass-roots) yaitu jemaat dan/atau
masyarakat luas.
Mari kita bersama-sama mengevaluasi seberapa proporsional diskursus keindonesiaan
menjadi agenda penting dalam penguatan kapasitas berteologi mahasiswa [teologi] baik pada
level akademik maupun praksis. Saya tidak ingin menggeneralisasinya karena setiap
sekolah/fakultas teologi (dan gereja pendiri atau pendukungnya) memiliki visi dan misi
kontekstual yang berbeda. Saya ingin mengambil contoh Fakultas Teologi UKIM tempat saya
mengabdi. Ini adalah amatan pribadi yang sedang saya susun menjadi sebuah catatan kritis.
Pascakonflik sosial (1999-2005) tidak ada perubahan signifikan dalam komposisi
kurikulum pendidikan teologi di Ambon, sebagaimana tampak dalam perumusan matakuliahmatakuliahnya. Padahal terjadi perubahan sosial luar biasa pada tataran kehidupan masyarakat
dan jemaat-jemaat Kristen di Ambon, yang sudah tentu mengubah mindset, pola dan tradisi
kekristenan di Ambon yang berlangsung berabad-abad.15 Semua itu – menurut saya – ternyata
tidak terlalu greget untuk menstimulasi produksi ide-ide keindonesiaan pascakonflik, yang
jelas-jelas membutuhkan analisis sosiopolitis dan antropologis kontemporer. Tema-tema
penelitian skripsi mahasiswa masih berkutat pada isu-isu konvensional semisal “konseling
pastoral terhadap calon pasutri”, “ritual adat X dan upaya berteologi kontekstual”, “etika
pendeta dalam pelayanan di jemaat Y” dan sejenisnya. Bukan berarti itu tidak penting!
Masalahnya, isu-isu keindonesiaan yang mencerminkan kegelisahan sosial dan upaya
memperkuat spiritualitas sosial belum banyak diminati secara serius. Padahal itu menjadi
perbincangan dan diskursus serius di jemaat dan masyarakat luas. Ini bukan kesalahan
mahasiswa secara individual tetapi saya lebih melihat pada kelambanan mengembangkan
7

paradigma [ber]teologi kontekstual yang cepat-tanggap dalam struktur kurikulum teologinya.
Isu-isu seperti stigmatisasi separatis RMS yang dilekatkan kepada komunitas Kristen oleh
negara maupun komunitas lain belum dilihat sebagai persoalan teologis kendati berimplikasi
politis sangat serius terhadap gerakan kekristenan secara khusus di Maluku dan secara umum
di Indonesia. Demikian pula dengan berbagai implikasi pemekaran wilayah kabupaten terhadap
kohesi sosial jemaat-jemaat dalam suatu wilayah klasis yang menyebabkan penyekatan dan
pengerasan identitas yang dikonstruksi politik negara sehingga jemaat/masyarakat sangat
rentan terhadap provokasi konflik-konflik baru pada level akar-rumput.16 Menurut saya, di situ
kekristenan menghadapi persoalan rumit yang perlu ditempatkan secara kritis dalam bingkai
keindonesiaan yang lebih besar; dan itu perlu menjadi agenda diskursus [ber]teologi di sekolahsekolah teologi di Indonesia.
(2) Visi Mengindonesia dalam Menentukan Ideologi Kebangsaan Bersama
Berbagai konflik ideologis dan konflik sosial baik yang berlangsung di bawah permukaan
maupun mencuat secara vulgar belakangan ini antara berbagai kelompok sosial (terutama
berbasis agama) sebenarnya telah berlangsung lama.17 Entusiasme ideologi nasionalisme untuk
mendamaikan ketegangan ideologis “nasakom” telah ditancapkan dengan kuat oleh Sukarno
menjadi imajinasi bersama tentang persatuan Indonesia yang majemuk ini. Namun proyek
ideologis Sukarno itu dibubarkan oleh perseteruan elit-elit politik yang dimanfaatkan kekuatan
blok Barat (Amerika Serikat cs) untuk meruntuhkan kekuasaan Sukarno yang dicurigai
terkontaminasi blok Timur (komunisme Soviet dan Cina).18 Suharto melanjutkan proyek
ideologis nasionalisme tersebut tetapi dengan model dan pendekatan yang berbeda: model
sentralisasi pembangunan (center-periphery) dan pendekatan keamanan (security approach).
Jika nasionalisme Sukarno masih membuka ruang bagi merebaknya identitas budaya
yang majemuk yang berujung pada perdebatan identitas tanpa jeda, maka nasionalisme Suharto
menyempurnakannya menjadi identitas nasional yang monolitik dengan berporos pada
kebudayaan dominan etnis mayoritas. Identitas nasional menjadi kemasan identitas yang
[di]seragam[kan]; segala bentuk perbedaan ekspresi dan identifikasi primordial (SARA)
ditabukan. Semua itu ternyata tidak hilang seiring tumbangnya rezim Orba tetapi hanya terselip
menjadi catatan-catatan bisu yang mengendap dalam struktur kesadaran sosial atau, dalam
istilah Bourdieu, menjadi habitus: struktur yang distrukturkan (structured structures) dan
struktur yang menstrukturkan (structuring structures).19 Pemerintahan pasca Sukarno dan
Suharto pada dasarnya melanjutkan habitus politik tersebut dimana masyarakat tidak dapat
menerima perbedaan sebagai sebuah realitas sosial keindonesiaan. Proses negosiasi
kepelbagaian identitas yang rapuh ini pada gilirannya melahirkan teror terhadap segala bentuk
perbedaan dari arus-utama karena dianggap sebagai penyimpangan “kebenaran” kolektif.
Sementara identifikasi “arus-utama” itu juga sangat ditentukan oleh kekuatan negara yang
menjadi arena pertarungan kekuasaan oleh kaum elit yang makin mengalami osteoporosis
(pengeroposan) makna keindonesiaan yang majemuk dan multibudaya ini.
Dalam konteks semacam itu, dalam beberapa kasus teror dan kekerasan yang ditujukan
langsung kepada kekristenan, kekristenan disudutkan sebagai “korban” yang merasa teraniaya
oleh dominasi mayoritas. Saya respek pada perjuangan rekan-rekan aktivis kemanusiaan dan
pluralisme yang gigih mengadvokasi korban (misalnya, penyegelan dan perusakan gedung
gereja serta intimidasi saat ibadah). Namun bersamaan dengan itu saya juga merasa berkecil
hati (tapi tetap optimis!) karena perjuangan kekristenan sebagai gerakan mengindonesia belum
juga memasuki fase pematangan dimensi ideologis keindonesiaan menanggapi realitas
kegalauan identitas sosial masyarakat Indonesia saat ini.
8

Kita (kekristenan) bersikukuh mempertahankan Pancasila sebagai landasan hidup
bersama mengindonesia. Tetapi kita lupa atau abai untuk memaknai kembali (rethinking)
Pancasila yang nilai-nilainya telah tergerus oleh despotisme kekuasaan selama lebih tiga
dekade. Padahal tanpa proses rethinking Pancasila maka kita sebenarnya justru sedang
mengafirmasi kekuatan negara dalam menentukan kebenaran interpretatif Pancasila itu. Tidak
mengherankan, karena menganggap interpretasi Pancasila sebagai produk dari kekuasaan yang
despotik, kelompok-kelompok berbasis agama melirik kembali acuan normatif dan ideal dalam
ajaran-ajaran atau interpretasi-interpretasi tekstual religius yang pada gilirannya memperkuat
“rasa keberbedaan” (distinction) dengan liyan. Karena normatif dan ideal maka itu semua harus
dijalankan secara absolut; tidak ada negosiasi dan kompromi. Relasi-relasi sosial keindonesiaan
terartikulasi melalui ekspresi-ekspresi kekerasan yang gigih menihilkan perbedaan (otherness).
Perlahan tapi pasti habitus keindonesiaan kita terbentuk menjadi habitus kekerasan
yang selalu membutuhkan “kambing-hitam” untuk diposisikan sebagai korban.20 Tanpa
kepastian hukum dan pembiaran politik identitas situasi ini makin lama menjadi hegemoni oleh
“yang merasa diri mayoritas atau berkuasa” terhadap “yang merasa diri minoritas atau tak
berdaya” sehingga kekerasan dan penyingkiran makin dianggap biasa[-biasa] saja, bukan lagi
berkaitan dengan persoalan dekonstruksi ideologi kebangsaan dalam rumah bersama
Indonesia. Di situ saya melihat distorsi “mengindonesia” hanya menjadi sekadar “di Indonesia”.
Agama-agama (termasuk kekristenan) semestinya mendorong dibukanya kembali diskursus
ideologi kebangsaan sembari memberikan sumbangsihnya secara konseptual untuk
“mengindonesia”. Tendensi main-kuasa dan aksi kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu
dapat ditafsir sebagai gerakan mencabut akar keindonesiaan dari kekristenan, lalu
memposisikan kekristenan hanya sebagai cangkokan liar dari “Barat”; sementara pada sisi lain
mereka menanam akar “Arab” sebagai model keindonesiaan yang baru karena sesuai dengan
realitas kelompok mayoritas Indonesia kontemporer. Padahal bukan di situ hakikat
keindonesiaan yang pernah kita sepakati dalam sejarah mengindonesia ini. Saya melihat di situ
kekristenan kontemporer perlu secara serius dan gigih terlibat dalam proses memaknai ulang
keindonesiaan historis sekaligus realistis terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada level
nasional maupun internasional.
Simpulan
Seperti telah saya sebutkan bahwa tulisan ini tidak secara spesifik mendaftar apa saja tantangan
dan peluang yang dihadapi kekristenan di Indonesia, tetapi lebih pada upaya menempatkan
dinamika kekristenan dalam konteks pergulatan menjadi Indonesia sebagai agenda teologiseklesiologis utama sejak awal pembentukan nation-state Indonesia (Proklamasi 17 Agustus
1945) hingga sekarang (2013). Apa yang ditemukan justru adalah bentangan persoalan yang
rumit dan membuat pusing kepala.
Di situlah persoalan kekristenan – baik dalam ekspresi religiositasnya maupun dalam
praksis berteologinya – yang patut kita diskusikan selama Konsultasi Nasional Mahasiswa
Teologi Indonesia (KNMTI) 2013 saat ini. Pergulatan kekristenan dalam interpretasi berbagai
tradisi dan aksentuasi ajaran terus-menerus menghadapkan kekristenan dengan konteks
rielnya. Pada titik itu, forum konsultasi ini menjadi sangat penting untuk merumuskan pokokpokok keprihatinan teologis kita bersama sejak kita masih menggumuli studi di “tanah lapang
kecil” (kampus) hingga “tanah lapang besar” (jemaat/masyarakat). ***

9

Catatan Akhir:


Makalah yang disampaikan pada Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi Indonesia (KNMTI) 2013 yang
diselenggarakan oleh Persetia, 16-19 Oktober 2013 di Wisma Buraga Kare Makassar, Sulawesi Selatan.
** Dosen pada Fakultas Teologi UKIM Ambon. Sejak 2011 menempuh studi doktor di Indonesian Consortium for
Religious Studies (ICRS) – konsorsium tiga universitas di Yogyakarta (UGM, UKDW, UIN Sunan Kalijaga).
1 Steve Gaspersz, “Signifikansi Praksis Gerakan Keesaan Gereja dalam Konteks Polemik Ideologi Politik di Indonesia”.
Jurnal Teologi SETIA 1 (2000).
2 Steve Gaspersz, Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen dan Menjadi Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
3 Hillary Rodrigues and John S. Harding, Introduction to the Study of Religion (New York: Routledge, 2009), hlm. 10.
4 Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis (New Haven:
Yale University, 1993), terutama bab 3 “A Religious Revolution”; M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c.
1200, Third Edition (Stanford: Stanford University Press, 2001), terutama bab 5 “Literary, Religious and Cultural
Legacies”.
5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1-3 (Jakarta: Gramedia, 2008).
6 Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011).
7 Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of
Hawaii Press, 1993), hlm. 123; M.S. Putuhena, “Interaksi Islam dan Budaya di Maluku: Perspektif Historis dan ReligioPolitik,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (eds.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi
Nusantara (Jakarta: Mizan, 2006), hlm. 354–355.
8 Saafroedin Bahar et al (eds.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat
Negara RI, 1995), hlm. 206-248, 530-538; lih. John Titaley, Religiositas di Alinea Tiga (Salatiga: UKSW Press, 2013).
9 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Revised Edition
(New York: Verso, 2006), hlm. 6-7. “It is imagined because the members of even the smallest nation will never know
most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their
communion.[…] Finally, it is imagined as a community, because, regardless of the actual inequality and exploitation
that may prevail in each, the nation is always conceived as a deep, horizontal comradeship. Ultimately it is this
fraternity that makes it possible, over the past two centuries, for so many millions of people, not so much to kill, as
willingly to die for such limited imaginings.”
10 Lih. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbit, 1964).
11 Lih. R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (Jakarta: Serambi, 2009).
12 Stuart Hall, “The Question of Cultural Identity” dalam Tony McGrew, Stuart Hall, and David Held (eds.), Modernity
and Its Future: Understanding Modern Societies (New York: Sage, 1992), hlm. 293-295. Hall menyebutkan lima elemen
dalam konstruksi identitas nasional: [1] penciptaan narrative of the nation; [2] penekanan pada origins, continuity,
tradition and timelessness; [3] the invention of tradition; [4] foundational myth; [5] symbolically grounded on the idea of
a pure, original people or ‘folk’.
13 Lih. Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas - Tinjauan Etis dan Budaya (Jakarta: BPK-GM, 1987);
John A. Titaley, A Sociohistorical Analysis of the Pancasila as Indonesia’s State Ideology in the Light of the Royal Ideology
in the Davidic State. Dissertation (Berkeley: Graduate Theological Union, 1991); Zakaria Ngelow, Kekristenan dan
Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950 (Jakarta: BPKGM, 1994); Saut H. Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis (Jakarta: BPK-GM, 2006); E.G. Singgih, Iman
dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK-GM, 2000); Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul?
Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia (Jakarta: BPK-GM, 2012). Lihat juga catatan saya
mengenai buku Mojau dalam http://katabuku.wordpress.com/2013/05/29/meniadakan-atau-merangkul/.
14 Lih. Flip P.B. Litaay, Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-Kewargaan di Indonesia: Suatu Cara Pandang
Sosial-Politik dan Sosial-Etis menurut Perspektif Kristiani dalam Konteks Masyarakat Pluralis. Disertasi (Salatiga:
UKSW Press, 2007).
15 Steve Gaspersz, “Church and Religious Conflict: Some Experiences of Theological Reflection During Years of Riots in
Maluku” in Dirk van Keulen and Martien E. Brinkman (eds.), Christian Faith and Violence, vol. 1, Studies in Reformed
Theology (Amsterdam: Vrije Universiteit, 2005), hlm. 282–292; lih. juga Steve Gaspersz, “God, What is Your Religion?
Toward New Understanding of Human Rights from Ambonese Christian Perspective”. En Arche – Indonesian Journal
of Inter-Religious Studies, Vol. 2 No. 3 (2013), hlm. 198-223.
16 Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds.), Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Soeharto
Indonesia (Leiden: KITLV, 2007), preface.
17 Freek Colombijn and J. Thomas Linblad (eds.), Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical
Perspective (Leiden: KITLV, 2002).
18 Lih. Frances Gouda and Thijs B. Zaalberg, American Visions of Netherlands East Indies/Indonesia: US Foreign Policy
and Indonesian Nationalism, 1920-1949 (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2002).
19 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), hlm. 72. Habitus
sebagai “a system of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring
structures, that is, as principles of the generation and structuring of practices and representations which can be
objectively ‘regulated’ and ‘regular’ without in any way being the product of obedience to rules.”
20 Rene Girard, The Scapegoat (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1986), hlm. 14-15.

10