164812608 Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial (zoon politicon), manusia dalam berinteraksi satu sama
lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan
(conflict of interest) di antara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan
kerugian, karena biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu
terhadap pihak lain. Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu
saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan
seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi.
Sebagaimana sebuah ungkapan "ubi societas ibi ius" atau di mana ada masyarakat,
maka di situ perlu hukum. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur
kehidupan manusia, tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat
dialah yang menang. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia
dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.
Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, maka di negara hukum
seperti Indonesia1, diperlukan adanya suatu institusi yang dinamakan kekuasaan
kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman dalam praktik diselenggarakan
oleh badan-badan peradilan negara. Adapun tugas pokok badan peradilan adalah
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan

oleh masyarakat pencari keadilan, selain mengawasi berlakunya peraturan perundangundangan yang berlaku (ius constitutum).
Di Indonesia, ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara konstitusional
diatur dalam Bab IX, Pasal 24,24A, 24B, 24C dan 25 UUD 1945 hasil amandemen
MPR ke empat. Hasil amandemen tersebut telah mengubah struktur kekuasaan
kehakiman, karena di samping Mahkamah Agung juga terdapat lembaga kekuasaan
kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) menyebutkan:
"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
1

Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi
bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari
perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga agar
hak-haknya sebagai warga Negara dan hak-hak asasi manusianya terjamin.

peradilan agama, lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. 2 Adapun

calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden3. Pengadilan sebagai kekuasaan kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan
eksekutif. Tujuan utama kebebasan dari pengaruh dan kekuasaan eksekutif,
mempunyai dua sasaran pokok:
1.

untuk menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to ensures a fair and
just trial);

2.

agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to
enable the judges to exercise control over government action).4
Dalam kekuasaan yudikatif di Indonesia arah kebijakan hukum Garis-garis

Besar Haluan Negara 1999-2004 menegaskan adanya perwujudan lembaga peradilan
yang

mandiri


dan

bebas

dari

pengaruh

penguasa

dan

pihak

manapun,

menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka serta
bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Arahan dan kebijakan tersebut sesuai dengan
ciri-ciri khas dari suatu negara hukum yaitu:

a.

pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;

b.

peradilan

yang

bebas

dan

tidak

memihak

serta


tidak dipengaruhi

oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga;
c.

legalitas dalam segala bentuknya.5
Selain itu cita-cita menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri

merupakan cita-cita universal sebagaimana ditegaskan dalam "Basic Principles on the
Independence of the Judiciary" (1985) yang telah merupakan salah satu keputusan
Kongres PBB ke-7, tentang The Prevention of Crime and Treatment of Offenders,
2

Lihat: Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen.
Lihat: Pasal 24 A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen. Lebih lanjut tentang kedudukan dan
kewenangan Komisi Yudisial dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
4
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,

(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 5.
5
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Jakarta: Sunar
Grafika, 1992), hlm.3.
3

Milan, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi -40/32 tanggal 29
November 1985 dan 40/146 tanggal 13 Desember 1985).
Resolusi tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas,
merdeka dan mandiri adalah suatu proses peradilan yang bebas dari setiap
pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak proporsional, hasutanhasutan, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman atau campur-tangan secara langsung
atau tidak langsung dari setiap sudut kemasyarakatan atau dengan alasan apapun. 6
Independensi dari lembaga peradilan juga harus diikuti dengan kemandirian hakim,
karena hakim merupakan penentu dalam proses peradilan.7
Hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dituntut untuk menghasilkan
putusan yang bermuatan asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan dan sekaligus juga
menciptakan hukum yang hidup (the living law). Untuk menciptakan hukum yang
hidup ini, maka peranan hakim sangat strategis dalam upaya pembentukan hukum
atau dengan istilah lain penemuan hukum.8
Sejalan dengan hal ini, Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dalam Pasal 27 ayat (1) menentukan bahwa:
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Ketentuan ini terus
dipertahankan sampai dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004, dimana dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan: “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.”
Pemenuhan rasa keadilan merupakan kunci dari seluruh rangkaian penegakan
hukum, sehingga hukum dapat dirasakan kemanfaatannya dan secara umum hukum
menjadi sarana pembangunan. Aspek kemanfaatan yang tersebut belakangan ini,
digambarkan oleh Roscue Pond sebagai berikut: “ law as tool of social engineering”,
yang artinya hukum dapat digunakan sebagai suatu sarana pembaharuan (untuk
membentuk, membangun, merubah), hukum sebagai sarana rekayasa sosial.9
6

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Cet I (Depok: BP STIH
“IBLAM”, 2004), hlm.6.
7
Ibid, hlm.13.

8
Achmad Ali Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Gunung
Agung Tbk, 2002), hlm.25.
9
W. Friedman, Legal Theory, Dalam Naskah Akademis Tentang Peradilan Anak, Mahkamah Agung
RI, Tahun 2005, hlm.8.

Oleh karena itulah pentingnya hukum untuk dibangun agar hukum dapat
benar-benar menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat sebagaimana
yang diharapkan. Dalam hal ini, hukum dapat berperan sebagai objek pembangunan
dalam rangka mewujudkan hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat. Tetapi juga hukum dapat menjadi subjek pembangunan manakala hukum
itu telah berfungsi di masyarakat sebagai penggerak dan pengaman pembangunan dan
hasil-hasilnya. Problem utama dan mendasar dalam rangka penyelesaian konflik yang
terjadi adalah menyangkut tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan
pelaksanaan penegakan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangundangannya harusnya adil, akan tetapi kenyataannya seringkali tidak. 10
Politik

hukum


peradilan

Indonesia,

mengarah

kepada

pencapaian

keseimbangan antara asas keadilan dan asas kepastian hukum, khususnya dalam
perkara perdata. Sejalan dengan hal ini, Zainuddin Mappong mengatakan:11
“Tujuan penggugat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan pada intinya
adalah untuk mengembalikan hak miliknya yang dikuasai pihak lain sesuai
ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Upaya untuk mengembalikan
hak milik penggugat tersebut berkaitan dengan penerapan hukum yang
berdasarkan kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Untuk mencapai
keseimbangan kedua hal itu, maka pembangunan hukum dan sistem peradilan
Indonesia terutama kualitas dan profesional aparatnya haruslah dilakukan
secara bersamaan.”

Dalam praktek di dunia pengadillan, kadang ditemukan prinsip keadilan bagi
individu dikalahkan dengan prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan
keadilan akan tetapi kepastian hukum.12 Hal yang sama juga dikatakan oleh Zainuddin
Mappong, sebagai berikut:13
“Dalam perjalannya, ternyata pembangunan hukum dan peningkatan kualitas
serta professional aparat peradilan belum sanggup menciptakan kepastian
10

Bagi kaum non dogmatik hukum bukan sekedar undang-undang, antara lain dapat kita lihat dari
apa yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich, bahwa: “…that law depends on popular acceptance and
that each group creates its own living law which alone has creative force”. (hukum tergantung pada
penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya
masing-masing terkandung kekuatan kreatif). Lihat: Amstrong Sembiring: http://publikana.com.
Diakses tanggal 20 Januari 2013, Jam: 10:30 WIB.
11
Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta: Proses Gugatan dan Tata Cara Membuat
Putusan serta Pelaksanaan Eksekusi dalam Perkara Perdata, Cet. I (Malang: Tunggal Mandiri
Publishing, 2010), hlm.5
12
Padahal dalam setiap putusan, wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai makna bahwa hukum harus menjadikan keadilan
sebagai spirit utama dalam seluruh bagian keputusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk atas
kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari
tahapan konstantir, tahapan kualifiaksi, dan tahapan konstituir.
13
Zainuddin Mappong, Op.Cit, hlm.5.

hukum dan keadilan masyarakat, sehingga tujuan penggugat untuk
mengembalikan hak miliknya yang dikuasai pihak lain dengan mengajukan
gugatan perdata ke Pengadilan sulit menjadi kenyataan.“(garis bawah dari
penulis)
Ketidakmampuan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum secara
bersamaan menimbulkan akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak
hukum dan kewibawaan lembaga pengadilan menjadi merosot. Kepastian hukum
memang sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam
masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan umum) mempunyai sifat
adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan
membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya dan sifat undangundang yang berlaku bagi siapa saja. Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir
manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk,
yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak
memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan
tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau
menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.14
Dalam prakteknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka
akan kerapkali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan disuatu sisi
tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip keadilan dan sebaliknya
tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian
apabila terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilanlah
yang harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari
hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang
konkrit.15
Putusan pengadilan saja belum secara mutlak sudah menyelesaikan pokok
perkara secara tuntas, kecuali jika putusan tersebut telah dilaksanakan. Dalam hal ini,
dimaksudkan eksekusi belum atau tidak dapat dilakukan karena terdapat berbagai

14
15

Amstrong Sembiring: http://publikana.com, diakses tanggal 20 Februari 2013, jam: 21.50 WIB.
Loc Cit.

faktor yang menghalangi eksekusi16. Hampir setiap esksekusi yang akan dijalankan
akan dihadapkan kepada masalah-masalah baru yang mendadak muncul.
Berkenaan dengan hal ini Muhammad Yamin, menyatakan:17
“Banyak kalangan orang awam menyatakan bahwa putusan Pengadilan
hanya di atas kertas saja, mungkin ratusan atau ribuan jumlahnya, putusan
Pengadilan Agama tidak terlaksana eksekusinya karena bermacam-macam
sebab.“
Sejalan dengan Muhammad Yamin, Purwoto S Ganda Subrata, mengatakan:18
“Dalam praktek peradilan ternyata bahwa untuk mengeksekusi putusan
pengadilan tidak jarang dijumpai hal-hal yang cukup memusingkan kepala
Ketua Pengadilan Negeri sebagai pejabat yang memerintahkan eksekusi
tersebut.”
Kalau pelaksanaan putusan perkara perdata tersebut tertunda atau tidak dapat
dilaksanakan tentu akan merugikan pencari keadilan sebagaimana terkandung dalam
ungkapan “justice delayed is justice denied” (keadilan yang diberikan terlambat atau
ditunda adalah sama dengan tidak atau sangkalnya keadilan itu).
Eksekusi merupakan bagian dan termasuk dalam Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata meliput tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap
penentuan dan tahap pelaksanaan.19 Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan orang
bermaksud mendapatkan haknya, memperoleh kepastian hukum dan mengharapkan
16

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam
suatu perkara merupakan aturan dan tatacara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu,
eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara
perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib
beracara yang terkadung dalam HIR atau RBG. Setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan
eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan dalam HIR atau RBG. Lihat: M. Yahya
Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm.
1. Pengertian eksekusi secara umum adalah pelaksanaan putusan hakim atau menjalankan putusan
hakim. Adapun ketentuan mengenai pelaksanaan putusan atau eksekusi ini diatur dalam ketentuan
Pasal 195 sampai dengan Pasal 200 HIR/Rbg. Pengertian eksekusi menurut R. Subekti dikatakan
bahwa: “eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau
mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan
bantuan kekuatan umum.” Lihat: Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, (Semarang :
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2000), hlm 12. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retno
Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa “eksekusi adalah tindakan
paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela”. Sejalan dengan pendapat tersebut adalah pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan
“pelaksanaan putusan/eksekusi ialah realisasi daari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk
memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut”. Lihat: Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung : Mundur Maju, 1989),
hlm 130.
17
M. Yamin Awie, 2006, Permasalahan Sita dan Eksekusi, (Bangka Belitung: PPHIM, 2006 hlm.vii.
18
Dalam Arry Mth. Soekowaty, Fungsi Relevansi Filsafat Hukum Bagi Rasa Keadilan Dalam
Hukum Positif, Makalah Universitas Gadjah Mada, 2009, hlm.15.
19
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm.8.

manfaat dari putusan pengadilan yang mengabulkan gugatannya. Selanjutnya agar
dapat dipenuhi hak-hak seperti tertera dalam putusan pengadilan yang mengabulkan
gugatan tersebut, perlu tindak lanjut yang dikenal dengan permohonan pelaksanaan
putusan (eksekusi).
Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-haknya yang dirugikan
oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan hakim. Hal ini dapat tercapai jika
putusan hakim dapat dilaksanakan.20 Masalah putusan adalah masalah prestige dan
persoalan eksekusi adalah persoalan wibawa. Kegagalan eksekusi dengan sendirinya
akan merobek kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan kepada
pengadilan khususnya.21
Dalam hal ini, dapat menilai bahwa sudah sangat diperlukan adanya suatu
mekanisme baru yaitu mencari jalan tengah (win-win solution) antara pihak yang
tereksekusi yaitu pihak yang kalah dalam persidangan maupun pihak yang menang,
agar tercipta suatu keseimbangan yang harmonis antara para pihak. Artinya kedua
belah pihak dapat menerima dan sekaligus menjalankan putusan pengadilan tersebut.
Sejalan dengan ini Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji mengatakan bahwa
paradigma penyelesaian non-litigasi dalam mencapai konsensus dan berusaha
mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk
mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke arah win-win solution.22
Salah satu alternatif dalam menyelaraskan kepentingan para pihak, sekaligus
pencapaian asas keadilan dan kepastian hukum guna mengatasi permasalahan
persengketaan tersebut, maka lembaga perdamaian dalam bentuk mediasi menjadi
salah satu solusi.
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menyikapi hal ini telah
mengeluarkan beberapa peraturan yang secara khusus mengatur keberadaan mediasi,
yang diharapkan menjadi jalan keluar atas permasalahan lambatnya proses
penyelesaian sengketa. Peraturan dimaksud berupa Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang merupakan
norma hukum yang menyempurnakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun
20

2002

Tentang

Pemberdayaan

Pengadilan

Tingkat

Pertama

untuk

A. Muktiarto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm.305.
21
Muhammad Yamin Awie, Op.Cit, hlm.viii.
22
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo:
Masmedia Buana Pustaka, 2009), hlm.128.

mengoptimalkan lembaga damai menurut Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg yang
dipandang belum lengkap dan perlu disempurnakan agar mampu menyelesaikan
permasalahan yang terus berkembang. PERMA No.2 Tahun 2003 menjadikan mediasi
sebagai bagian integral dari proses beracara di pengadilan. Selanjutnya, pada saat ini
PERMA No.2 Tahun 2003 telah disempurnakan melalui Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 tahun 2008 (selanjutnya disebut dengan PERMA No.1 Tahun 2008).
Mediasi23 merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat
dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak
menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah
satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian
sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).24
Namun, disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat pada penyelesaian non
litigasi (mediasi), pikiran masyarakat Indonesia selama ini masih tetap terpola dengan
penggunaan penyelesaian litigasi untuk menyelesaikan sengketanya. Sehingga, apa
pun kondisinya, masyarakat tetap membawa sengketanya untuk diselesaikan melalui
lembaga peradilan.25
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau
mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah
23

Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris ”mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang
melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa penengah. Rachmadi Usman,
Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 79.
Istilah mediasi (mediation) pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Robert D.
Benjamin (Director of Mediation and Conflict Management Service in St. Louis Missouri) menyatakan
bahwa mediasi baru dikenal pada tahun 1970-an dan secara formal digunakan dalam proses alternatif
dispute resolution/ADR di California, baru pada tahun ini istilah ADR secara resmi digunakan oleh
American Bar Asociation (ABA) dengan cara membentuk sebuah komisi khusus untuk menyelesaikan
sengketa. Lihat: Muhammad Saifullah, Sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia, dalam
Mukhsin Jamil (Ed), Mengelola Konflik Membangun Damai (Semarang: Walisongo Mediation Centre,
2007), hlm.211. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara damai telah
dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Pada masa kolonial
Belanda, lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa,
kewenangan ini hanya terbatas pada kasus-kasus keluarga dan perdata pada umumnya, seperti
perjanjian, jual beli, sewa menyewa, dan berbagai bisnis lainnya. Hakim diharapkan mengambil peran
maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang bersengketa.Lihat: Syahrizal Abbas, Mediasi
Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2009),
hml.283 dan hlm.287.
24
Lihat: Butir menimbang huruf a dan b PERMA No.1 Tahun 2008.
25
Adi Sulistiyono, Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi Dalam Rangka
Pemberdayaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual, Disertasi, Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2002, hlm.4

perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai
dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada
paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama
proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari
para pihak.26
Jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi tercantum dalam Pasal
4 PERMA No. 1 Tahun 2008 menegaskan bahwa kecuali perkara yang diselesaikan
peradilan Niaga, pengadilan hubungannya industrial, kekuatan atas putusan Badan
26

Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas
beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah
penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh
hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat
diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena
perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan
mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil
dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan
penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah,
sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua
perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara. Kedua,
proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah
dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan
asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan
tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika perkara
diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga
membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari
sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya
dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak
bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering
menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam
pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat
memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat
diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak.
Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada
umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan
penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh
seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh
proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah
Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang
dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg,
mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai,
tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses
penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan
hasil akhir. Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa
lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya
PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan
seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan
cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga
pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. Singkat kata, dapat dikatakan bahwa
PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. Lihat: Buku Komentar
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.

Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas
Persaingan usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat
pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui perdamaian dengan
bantuan mediator. Ketentuan wajib menempuh prosedur mediasi ditemui dalam Pasal
2 ayat (3) PERMA No.1 Tahun 2008, yang menyebutkan “tidak menempuh prosedur
mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap 130 HIR yang
mengakibatkan putusan batal demi hukum”.27
Dengan demikian ketentuan mengenai mediasi yang ada dalam PERMA
berlaku bagi perkara perdata yang digunakan ke Pengadilan tingkat pertama , karena
ruang lingkup perkara adalah perkara perdata maka PERMA ini menurut hemat
penulis, berlaku bagi lingkungan peradilan umum dan peradilan Agama. Hal ini
diperkuat dengan ketentuan lain-lain yaitu Pasal 16 yang menyatakan bahwa apabila
dipandang perlu, ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini selain dipergunakan dalam
lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan
lainnya. Dengan kata lain, dapat ditegaskan bahwa mekanisme mediasi di peradilan
dapat pula diterapkan di lingkungan peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.
Namun, berlakunya PERMA No.1 Tahun 2008, masih menyisakan persoalan,
yakni belum mencakup mengenai lembaga mediasi yang diterapkan dalam
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam eksekusi
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dihadapkan pada masalah tidak
tercapainya eksekusi oleh karena adanya hambatan sosiologis dalam pelaksanaannya
selain juga bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan menimbulkan konflik ketika
eksekusi dilaksanakan. Sejalan dengan hal ini Najamuddin, mengatakan:28
“Studi efektivitas mediasi dalam sistem peradilan (court annexed
mediation/court annexed dispute resolution) di Indonesia sejak berlakunya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, dalam tataran teoritis dan
praktis senantiasa memerlukan pengkajian yang lebih mendalam, terutama
untuk tujuan yang lebih konprehensif.”
Pentingnya peranan mediasi terhadap penyelesaian sengketa eksekusi terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didasarkan kepada aspek
kepastian dan kemanfaatan hukum bagi pihak yang bersengketa dengan pendekatan
win-win solution. Banyaknya perkara yang tidak dapat dilakukan eksekusi
27

PERMA 2003 tidak memberikan sanksi, sedangkan PERMA No.1 Tahun 2008 memberikan sanksi.
Najamuddin, Permasalahan Mediasi Dalam Teori dan Praktek di Pengadilan Agama,
http://www.badilag.net. Diakses tanggal 21 Februari 2013, Jam:21:10 WIB.
28

menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak terciptanya kemanfaatan hukum, untuk
itu mediasi menjadi solusi penyelesaian.
Terlepas dari berbagai permasalahan dalam tataran implementasi, mediasi
merupakan suatu upaya untuk mewujudkan peradilan yang memenuhi rasa keadilan.
Transformasi paradigma lama penyelesaian sengketa litigasi ke dalam paradigma baru
integrasi penyelesaian sengketa non litigasi dan litigasi masih dalam masa transisi
yang secara alamiah akan menemukan tempatnya yang dinamis, apabila diterapkan
secara konsisten dan konsekuen serta terus disempurnakan. Dalam kaitannya dengan
penulisan makalah Sistem Peradilan Indonesia,
kajiannya

dalam

hal

penerapan

lembaga

penulis memfokuskan pokok

mediasi

yang

dimaksud

dalam

menyelesaikan permasalahan pelaksanaan eksekusi dengan sudut pandang penerapan
politik pembaharuan hukum dan kekuasaan kehakiman.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.

Mengapa banyak terjadi permasalahan sengketa eksekusi atas putusan
pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap? dan
mengapa forum mediasi diperlukan dalam kaitannya dengan penyelesaian
konflik norma sengketa eksekusi putusan pengadilan perdata yang telah

2.

memperoleh kekuatan hukum yang tetap?
Bagaimanakah model penyelesaian atas permasalahan pelaksanaan eksekusi
terhadap putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap melalui forum mediasi dikaitkan dengan pengembangan sistem
hukum peradilan Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan jalan keluar terhadap
permasalahan sengketa eksekusi atas putusan pengadilan perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap ditinjau dari aspek pembangunan hukum
dikaitkan dengan asas keadilan dan sistem peradilan dalam perspektif negara hukum
melalui model penyelesaian mediasi.
untuk:

Secara garis besar penelitian ini bertujuan

1.

Untuk menemukan dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi
permasalahan dan urgensitas dalam sengketa eksekusi atas putusan pengadilan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Selain itu, untuk
menemukan dan mengkaji urgensi forum mediasi guna mewujudkan keadilan,

2.

kepastian dan kemanfaatan hukum.
Untuk menyusun model penyelesaian atas permasalahan pelaksanaan eksekusi
terhadap putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap melalui forum mediasi dikaitkan dengan pengembangan sistem
hukum peradilan Indonesia.

D. Kegunaan Penulisan
Kegunaan dalam penulisan ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni
kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.

Kegunaan Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi suatu konsep dalam penyelesaian
konflik norma atas sengketa eksekusi terhadap putusan pengadilan perdata
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

2.

Kegunaan Praktis
Sedangkan kegunaan praktis yang diharapkan dalam penulisan ini adalah
berkaitan dengan implementasi secara praktis, yakni diharapkan dapat menjadi
pegangan bagi para hakim, untuk menerapkan penyelesaian mediasi dalam
kaitannya dengan penyelesaian konflik norma sengketa eksekusi putusan
pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Setidak-tidaknya dapat menjadi salah satu sumber bacaan atau referensi bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.

E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan makalah ini
adalah metode deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktik
pelaksanaanya yang menyangkut permasalahan yang dianalisis.
Metode pendekatan yang dugunakan adalah metode yuridis normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang

disebut dengan data sekunder berupa hukum positif dalam praktik pelaksanaan
mediasi dan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam
sistem peradilan perdata di Indonesia. Pendekatan normatif itu sendiri dilakukan
melalui kajian terhadap asas-asas hukum dan penelitian penerapan hukum dalam
pelaksanaan praktik pelaksanaan mediasi dan pelaksanaan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan perdata di Indonesia.
Penulisan ini dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut yaitu
penelusuran kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber data sekunder yang
terdiri dari: bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
nasional, bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan hukum primer, seperti:
tulisan para ahli, buku-buku yang berkaitan, dan lain sebagainya. Sedangkan bahanbahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder, anatara lain artikel, majalah, dan koran.
Sedangkan data yang ada dikumpulkan oleh penulis dengan teknik sebagai
berikut: pertama, data kepustakaan dan dokumen. Data kepustakaan meliputi bahanbahan kepustakaan berupa bahan atau sumber primer 29. Bahan atau sumber primer ini
terdiri dari buku-buku, kertas kerja koperensi, lokakarya, seminar, dan simposium,
laporan-laporan penelitian, majalah, disertasi atau tesis, dan sebagimya yang erat
kaitannya dengan sistem peradilan perdata dalam pelaksanaan mediasi dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, guna mendapatkan
landasan teoritis dan memperoleh informasi dalam bentuk ketentuan formal dan
melalui naskah resmi yang ada. Data dokumen pemerintah terdiri dari bahan-bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier30, diantaranya peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi dan putusan-putusan pengadilan, rancangan undang-undang, laporan
resmi pemerintah, dan sebagainya sepanjang dianggap relevan dengan topik yang
diteliti. Setelah data diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis secara non statistik, oleh
karenanya penelitian ini akan menghasilkan dan memberikan nilai yang bersifat
kuantitatif. Metode analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah metode
analisis normatif kualitatif. Maksud dari normatif disini adalah bertitik tolak peraturan
perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan maksud dari
kualitatif disini adalah data yang berasal dari data sekunder.
29

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.34.
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Ul.Press, 1986), hlm. 52.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Teori Negara Hukum
Dalam menyusun kerangka teori ini, penulis berusaha mengalirkan jalan
pikiran menurut kerangka yang logis atau menurut logical construct. Hal ini tidak lain
dari mendudukan perkara masalah yang diteliti (diidentifikasi) dalam kerangka
teoretis yang relevan dan mampu menangkap, menerangkan, serta menunjukkan
perspektif terhadap masalah itu. Upaya ditujukan untuk menjawab atau menerangkan
pertanyaan penelitian yang diidentifikasi. Cara berpikir (nalar) ke arah memperoleh
jawaban terhadap masalah yang diidentifikasi ialah dengan penalaran deduktif. Cara
penalaran deduktif ialah cara penalaran yang berangkat dari hal yang umum (general)
kepada hal-hal yang khusus (spesifik). Hal-hal yang umum ialah teori/dalil/hukum,
sedangkan hal yang bersifat khusus (spesifik) tidak lain adalah masalah yang
diidentifikasi. Sehubungan dengan penulisan makalah ini, didapatkan beberapa kata
kunci yang menjadi dasar penulisan makalah ini, yakni konflik norma (keadilan dan
kepastian), pelaksanaan eksekusi, mediasi dihubungkan dengan teori hukum
pembangunan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa negara Indonesia secara
normatif adalah negara hukum, secara empiris questionable. Konsepsi atau istilah
"negara hukum" tidak ditemukan dalam naskah asli UUD 1945 yang menjadi hukum
dasar pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945, namun hanya ditemukan dalam penjelasan UUD 1945, yaitu
istilah rechtsstaat yang dilawankan dengan istilah machtstaat. Setelah perubahan
ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, dalam Pasal 1 (3)
secara tegas disebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum", rumusan
seperti ini juga terdapat dalam Konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950.

Negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan yang menjamin
keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan
kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi
pergaulan hidup warganya31.
Istilah negara hukum32 dalam bahasa Belanda disebut rechtsstaat, Francis
mempergunakan istilah etat de droit, di Jerman digunakan istilah yang sama dengan
Belanda, yaitu rechtsstaat.

Istilah-istilah etat de droit atau rechtsstaat yang

digunakan di Eropa Kontinetal adalah istilah-istilah yang tidak tepat dalam sistem
hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state according to law atau the
rule of law mencoba mengungkapkan suatu ide yang pada dasarnya sama. Dalam
terminologi Inggris dikenal dengan ungkapan the state according to law atau
according to the rule of law.33 Istilah the rule of law dalam perkembangan hukum di
Indonesia disebut juga dengan negara hukum. Djokosoetono menyebutnya dengan
istilah negara hukum yang demokratis.34
Sedangkan Dicey mendefinisikan the rule of law dengan mengemukakan tiga
hal, yaitu (1) the absolute predominance of the law (keunggulan mutlak hukum); (2)
equality before the law (persamaan di hadapan hukum); dan (3) the concept according
to which the constitution is the result of the recognition of individual rights by judges
(konsep menurut makna konstitusi adalah hasil dari pengakuan hak-hak individual
oleh para hakim).35 Dicey menjelaskan bahwa supremasi absolut atau keunggulan
regular law untuk menentang pengaruh dari kekuasaan sewenang-wenang dan
meniadakan adanya kesewenang-wenangan prerogatif ataupun wewenang diskresi
yang luas pada pihak pemerintah. Equality before the law dimaksudkan Dicey adalah
semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum, penundukan yang sama
dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh
31

Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1991), hlm. 110.
32
Munculnya paham negara hukum adalah sebagai akibat sistem pemerintaha absolutisme pada
negara-negara di Benua Eropa. Pemikiran yang reaktif inj lahir sebagai suatu sistem rasional yang
menggantikan absolutisme yang tiranik. Paham rechtstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap
absolutisme sehingga perkembangannya bersifat revolusioner, yang bertumpu pada sistem hukui
kontinental yang disebut civil law atau modern Romawi law.
33
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta:
UI-Press, 1995), hlm. 2 & 30.
34
Agussalim Andi Gadjong, Op.Cit, hal.20. Ketentuan tentang apa yang hendak dijamin oleh hukum
atau apa yang ingin diselematkan dengan the rule of law itu merupakan latar belakang awal munculnya
konsep Anglo Saxon, yang kemudian terkenal dengan istilah rule of law.
35
Ibid, hlm.24.

ordinary, court. The rule of law dalam pengertian ini bahwa para pejabat negara tidak
bebas dari kewajiban untuk menaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau
dari yurisdiksi peradilan biasa.
Dengan demikian, tidak dikenal peradilan administrasi negara dalam sistem
Anglo Saxon. Berdasarkan konsep the rule of law, konstitusi bukanlah sumber, tetapi
merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
pengadilan.36
Konsep negara hukum Dicey, sebagai pandangan murni dan sempit, oleh
karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya tentang the rule of law,
intinya adalah common law sebagai dasar perlindungan kebebasan individu terhadap
kesewenang-wenangan penguasa. Perlindungan common law hanya dapat meluas
kepada kebebasan pribadi, seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat assure the
citizen's economic or social well being. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep
negara hukum (the rule of law) yang diungkapkan Dicey mengalami perluasan
pengertian dengan analisis yang lebih mendalam. Wade mengidentifikasi lima aspek
the rule of law berikut ini:
1.

Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum.

2.

Pemerintah harus berprilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi.

3.

Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh
pengadilan yang murni independen dari eksekutif.

4.

Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara.

5.

Tidak seorangpun dapat dihukum, kecuali atas kejahatan yang ditegaskan
menurut undang-undang.37
Sedangkan Wade memberikan pandangan berkaitan dengan the rule of law

adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Diskresi bukan sesuatu
kewenangan yang tanpa batas, namun tetap dalam bingkai hukum atau tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemerintah juga dilarang menggunakan
privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan hukum biasa. 38 Terhadap pandangan
yang diungkapkan Wade di atas, oleh Josep Raz dikemukakan lebih deskriptis lagi,
dengan mengajukan beberapa asas sebagai tambahan, yaitu seperti berikut ini.
36
37
38

Ibid, hlm.25.
Loc.Cit.
Loc. Cit.

1.

Semua undang-undang harus prospektif, terbuka dan jelas.

2.

Undang-undang harus relatif stabil.

3.

Pembuatan undang-undang tertentu harus dipedomani oleh aturan-aturan
terbuka, stabil, jelas, dan umum.

4.

Kemerdekaan peradilan harus dijamin.

5.

Prinsip-prinsip keadilan alami harus dipatuhi

6.

Pengadilan-pengadilan harus memiliki kekuasaan peninjauan (hak menguji)
terhadap implementasi prinsip-prinsip tersebut.

7.

Pengadilan-pengadilan harus dengan mudah dapat dicapai.

8.

Diskresi dari petugas-petugas pencegahan kejahatan janganlah diizinkan untuk
merintangi hukum.
Sedangkan menurut Friedrich Julius Stahl negara harus menjadi negara

hukum,

itulah

semboyan

dan sebenarnya

juga daya

pendorong daripada

perkembangan pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya
jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan
itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan
akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada seharusnya
menurut suasana hukum. Inilah pengertian negara hukum, bukannya misalnya, bahwa
negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau
hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak
berarti tujuan dan isi daripada negara, melainkan hanya cara dan untuk
mewujudkannya39. Kemudian Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur
rechtstaats dalam arti klasik, yaitu:40
1.

Hak-hak asasi manusia;

2.

Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negaranegara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);

3.

Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);

4.

Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan Paul Scholten, menyebut dua ciri daripada negara hukum, yang

kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama daripada negara hukum
ialah : “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai hak

39
40

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 57.
Ibid, hlm. 57-58.

terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini sebenarnya
meliputi dua segi, yakni sebagai berikut :
1.

Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak di luar
wewenang negara;

2.

Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan
undang-undang, dengan peraturan umum.
Ciri yang kedua daripada negara hukum menurut Paul Scholten berbunyi ; “er

is scheiding van machten”, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan 41.
Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas
hukum ialah adanya:42
1.

Hak-hak asasi manusia;

2.

Pembagian kekuasaan;

3.

Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan
peradilan pada undang-undang dan hukum;

4.

Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);

5.

Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan)
kekuasaan umum;

6.

Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;

7.

Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa

pada dasarnya, dalam konsep negara hukum, baik konsep rechtstaat atau the rule of
law, terdapat hal-hal yang intinya sama, yang mengandung asas legalitas, asas
pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Kesemuanya itu bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari
kemungkinan bertindak sewenang-wenang, tirani atau penyalahgunaan kekuasaan.
Untuk dapat menjamin hal ini, maka negara hukum yang dikembangkan
bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan demokratische rechtsstaat (demokratic rule
of law).43 Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya
harus dirumuskan secara demokrasi, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi dari
masyarakat luas, sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati
41

Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi
Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), hlm. 25.
42
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaran
Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan
dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, hlm.312.
43
Andi Mattalatta, Politik Hukum Peraturan Perundang-undangan, www.djpp.depkumham.go.id.

nurani rakyat. Tetapi apabila sebaliknya, maka terlihat bahwa produk hukum yang
dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah cenderung tidak
mematuhi ketentuan itu.44 Dalam konsepsi seperti itu, maka politik pembaharuan
hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan tujuan nasional. Indonesia
sebagai negara hukum yang demokratis, pembaharuan hukum yang hendak dilakukan
menuntut adanya produk hukum yang berkarakter populis, progresif dan terbatas
interpretasi.45
2. Teori Keadilan Sosial dan Konsep Kekuasaan Kehakiman
Selanjutnya, kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam negara hukum
menjadi tolok ukur rule of law, khususnya dalam perannya menyelesaikan konflik
atau persengketaan yang terjadi. Penyelesaian konflik yang diajukan ke lembaga
pengadilan dituntut dengan pemenuhan asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan
dalam setiap putusan hakim. Pemenuhan rasa keadilan merupakan kunci dari seluruh
rangkaian penegakan hukum, sehingga hukum dapat dirasakan kemanfaatannya dan
secara umum hukum menjadi sarana pembangunan.
Akses terhadap keadilan (access to justice) merupakan hak asasi bagi setiap
manusia. Artinya setiap orang berhak mendapatkan akses terhadap keadilan tanpa
membedakan seberapa kaya atau miskinnya mereka, seberapa terpelajarnya mereka,
atau seberapa jauhnya mereka tinggal dari pengadilan46. Oleh karena itu, negara
berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warganya untuk selalu
mendapatkan akses terhadap keadilan ini47. Salah satu implementasi dari access to
justice ini adalah kemudahan publik untuk mengakses putusan pengadilan.
Penyelesaian konflik melalui lembaga pengadilan yang bersifat litigasi dalam
prakteknya tidak selamanya menciptakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan, dengan kata lain penyelesaian melalui litigasi ini cenderung berlarut-larut dan
sudah dapat dipastikan menimbulkan biaya tinggi.
44

Firdaus, Politik Hukum Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum, Jurnal Hukum
Islam, Vol.12 Nomor 10 September 2005, hlm.1.
45
Sedangkan dalam sistem politik non demokratik, produk hukumnya cenderung berkarakter elitis,
konservatif dan terbuka interpretasi. Lihat: Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet.VI (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2006), hlm.6.
46
Wahyu Widiana, Efforts to Enhance Access to Justice in Indonesian Religious Courts : strategic
responses to survey findings, makalah disampaikan pada konferensi IACA di Istanbul, Oktober 2009.
47
Pasal 28D UUD 1945 menegaskan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan