Pengelolaan Lingkungan Hidup Kampung Hij

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP “KAMPUNG HIJAU”
GAMBIRAN UMBULHARJO YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF
GERAKAN KOMUNITAS LINGKUNGAN

Dosen Pengampu:
David Efendi, M.A.
DisusunOleh:

Rido Argo Mukti

20140520098 A

ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

i

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i

DAFTAR ISI ..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................................................5
BAB II KERANGKA TEORI
2.1 Lingkungan Hidup ...............................................................................................6
2.2 Ruang Terbuka Hijau ...........................................................................................6
2.2 Pelestarian Lingkungan ........................................................................................7
2.3 Civil Society dalam prespektif Gerakan Lingkungan ..........................................8
2.4 Studi Terdahulu (Literatur Review) .....................................................................10
2.5. Posisi Pembahasan Penelitian .............................................................................12
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .....................................................................................................14
3.2 Jenis Penulisan .....................................................................................................14
3.2 Jenis Data .............................................................................................................14
3.3 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................................14
3.4 Teknik Pengolahan Data ......................................................................................15
BAB IV TEMUAN DAN DISKUSI

4.1. Profil Komunitas Kampung Hijau Gambiran Yogyakarta ..................................16
4.2 Strategi Gerakan Lingkungan “Kampung Hijau” dalam mewujudkan
Lingkungan Hidup Kampung Hijau Gambiran Yogayakarta ....................................20
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................27

ii

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota-kota di Indonesia mulai berkembang seiring dengan berjalannya
waktu. Peningkatan

kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan

Penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di

perkotaan, termasuk di Indonesia. Kota yang pada awalnya merupakan kota kecil
akan terus berkembang menjadi kota sedang hingga menjadi kota besar sesuai
dengan kehidupan masyarakatnya yang selalu dinamis. Dampak negatif yang
terjadi adalah menurunnya kualitas sumber daya alam dan kualitas lingkungan
akibat kurang diperhitungkan kemampuan lingkungan perkotaan dalam dalam
mendukung berbagai kegiatan dan sarana yang dibangun. Dinamika dan tuntutan
pembangunan sosial ekonomi perkotaan umumnya juga berdampak terjadinya
penurunan kualitas lingkungan.
Penurunan kualitas lingkungan

tercermin dari semakin bermunculan

fenomena masalah lingkungan di perkotaan seperti suhu udara yang meningkat,
tingkat polusi udara yang semakin tinggi, rusak atau hilangnya habitat berbagai
flora dan fauna yang diikuti oleh semakin menurunnya keanekaragaman flora dan
fauna tersebut. Hal ini terjadi karena lahan-lahan

untuk

kawasan lindung


perkotaan, daerah bantaran sungai, kawasan terbuka, kawasan resapan air, dan
lahan produktif pertanian yang berfungsi sebagai daerah penyangga kota dan
habitat flora-fauna sedikit demi sedikit hilang dan digantikan dengan kawasan
hunian atau permukiman. Selain itu juga dapat mengurangi keindahan kota dan
mengurangi kenyamanan seperti suhu udara, kelembaban, dan penyinaran. Oleh
karena itu, dibutuhkan

perhatian dan perlu dikaji dengan serius mengenai

implikasi-implikasi ini dalam pengaruhnya terhadap lingkungan.
Pola urbanisasi di Yogyakarta lebih banyak dipengaruhi oleh proses
industrialisasi, dipicu tersedianya infrastruktur yang lebih baik dibandingkan di
perdesaan. Karena pertumbuhan industri lebih banyak di perkotaan maka
kesempatan kerja relatif lebih banyak tersedia dibandingkan di perdesaan. Oleh
sebab itu sebagian besar perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan
untuk memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya

2


pertumbuhan penduduk yang cepat. Munculnya reklasifikasi wilayah pinggiran
kota dan pertanian menjadi wilayah kota baru.
Dengan meningkatnya industrilisasi di daerah Yogyakarta menimbulkan
dampak negatif seperti peningkatan jumlah limbah sampah baik berasal dari
individu, industri rumah tangga, maupun tempat keramaian lainnya yang
berpotensi menimbulkan sampah buangan yang menjadi sumber pencemaran
lingkungan.

Badan

Lingkungan

Hidup

Kota

Yogyakarta

Tahun


2013

menyebutkan bahwa sampah yang terangkut ke tempat pembuangan akhir TPA
Piyungan paling banyak berasal dari Kota Yogyakarta 34,89 %, kemudian
Sleman 13,17%, Kulon Progo 7,20%, Gunung Kidul 5,37% dan terakhir Bantul
1,91%.Menurut data Dinas PUP-ESDM provinsi Yogyakarta tahun 2014 jumlah
penduduk perkotaan Yogyakarta sebanyak 1.985.355 jiwa. Dengan prosentase
penduduk perkotaan yang terlayani pengelolaan sampahnya yaitu sebesar 57
persen (
Ketika

., Husodo, A & Muhadjir, N. 2016).
limbah

semakin

tidak

terkendali


sering

menimbulkan

permasalahan di wilayah-wilayah pemukiman penduduk maka sebagian warga
kota menjadikan perariran bebas atau sungai sebagai tujuan akhir pembuangan
limbah. Menurut Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2013 cara pembuangan sampah domestik oleh rumah
tangga di Yogyakarta menunjukkan sekitar 46,5% diangkut, 9,7% ditimbun, 34%
dibakar, 0,34% dibuang ke kali dan 26% dengan cara lainnya. Sungai Gajah
Wong merupakan salah satu sungai yang melintasi kawasan kota Yogyakarta dan
menjadi sasaran pembuangan limbah industri tersebut.
Selain pemasalahan limbah industri, pertumbuhan kota Yogyakarta yang
cepat secara langsung berimplikasi pada munculnya wilayah-wilayah pemukiman
kumuh di Kota Yogyakarta. Bagi warga dengan tingkat penghasilan mencukupi,
atau bahkan cenderung kurang, tempat tinggal dengan biaya murah dan kualitas
bangunan seadanya tentu menjadi pilihan. Kawasan kumuh di tepian sungai gajah
wong mengakibatkan hilangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai
implikasidari padatnya penduduk yang tinggal di


kawasan tersebut, struktur

bangunannya menggunakan bahan-bahan semi permanen dan tata kawasan yang
tidak teratur. Menggambarkan suatu deskripsi kawasan pemukiman yang tidak

3

ideal untuk di tempati dan cerminan degradasi sosial warga pribumi Yogyakarta
akibat pembangunan yang sporadis mengabaikan aspek lingkungan.
Perluasan wilayah perkotaan berdampak terhadap kondisi di perkotaan
seperti perubahan kondisi iklim mikro dan kondisi lingkungan yang semakin
buruk (Effendy& Aprihatmoko 2014). Kota Yogyakarta merupakan wilayah di
Indonesia yang berkembang pesat. Tingkat perkembangan pembangunan yang
pesat di berbagai sektor cenderung mengakibatkan penurunan
ruang

terbuka

hijau


ketersediaan

(RTH). Berdasarkan Undang-Undang No. 26 (2007)

tentang Penataan Ruang, wilayah kota harus menyediakan RTH yang terdiri
dari RTH publik dan RTH privat. Proporsi RTH minimal 30% dari luas wilayah
kota dengan proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari
luas wilayah kota.
Kemampuan Pemerintah Yogyakarta sangat berpengaruh pada tuntutan
mengatasi permasalahan kompleks perkotaan. Namun pada kenyataannya
pemerintah Yogyakarta tidak mampu mengatasi kawasan kumuh, limbah industri
dan sampah Sungai gajah wong. Masalah sampah semakin komplek, volume
sampah kian membumbung dari hari ke hari karena terpicu oleh semakin pesatnya
pembangunan permukiman. Sistem dan teknologi untuk menangani sampah juga
sulit dan mahal. Walaupun telahdilibatkan teknologi tinggi danmutakhir,masalah
lingkungan hidup tidak berarti teratasi, jika produk sampah tetap tinggi maka
sehebat apapun alat atau manajemen yang dilakukan, maka tidak akan sanggup
untuk mengatasi.Sampah akan menggunung dari hari ke hari, apalagi jumlah
penduduk semakin banyak.
Hal Inilah yang membuat Agus, bapak tiga anak yang telah menetap di

Gambiran, sejak 1981 silam membentuk “Kampung Hijau“. Terbentuknya
komunitas merupakan salah satu bentuk perwujudan dari kesadaran warga
setempat akan pentingnya menjaga lingkungan.Wilayah kampung berdampingan
sungai kini menjadi percontohan permukiman hijau yang asri di Yogyakarta.
Kampung hijau yang digagasnya bersama warga sekitar 2005 telah mengukir
banyak prestasi dibidang lingkungan (http://www.uwong.co).
Ada

beberapa

program

yang dilakukan,

diantaranya

melakukan

pengelolaan Sungai Gajah Wong, yaitu melakukan pemetaan sungai yang


4

diwujudkan kedalam bentuk peta, mencari jejaring komunitas sungai, terus
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai,
antisipasi bencana banjir, pembuatan bronjong sebagai upaya penanggulangan
banjir. Selain itu ada program penggunaan energi alternatif, dengan pemanfaatan
IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) menjadi Biogas. Biogas dari limbah
sampah tersebut dimanfaatkan oleh warga sebagai bahan bakar alternatif. IPAL
komunal yang ditempatkan di beberapa titik sehingga dampak dari pencemaran
air limbah khususnya limbah rumah tangga dapat diminimalisir sebelum air
akhirnya dibuang ke sungai.
Tak hanya itu, program penghijauan dan pembuatan taman juga jadi fokus
penggarapan. Mulai dari penanaman keras, sayur sampai buah-buahan. Hasilnya
sungguh menggembirakan. Kawasan Kampung Hijau yang berada di lembah
sungai itu sekarang disebut Gajah Wong Educational Park. Beberapa fasilitasnya
jadi percontohan untuk tingkat provinsi. Tidak hanya warga Gambiran
Umbulharjo dan Kota Yogyakarta saja yang memanfaatkannya, namun juga
warga luar Yogyakarta yang ingin menimba ilmu dari berbagai kegiatan yang
dilakukan di Kampung Hijau tersebut.
Di sekitar kawasan itu, lingkungan sekitar benar-benar bersih, tertata rapi.
Warga sudah tidak lagi membuang sampah langsung ke sungai. Di sepanjang
sungai itu telah terpasang tanggul dengan bronjong batu yang diperkuat dengan
kawat setinggi 2 meteran sehingga air sungai meluap tidak masuk ke pemukiman.
Jalanan kampung benar-benar bersih dengan tanaman di setiap rumah warga yang
terawat rapi. Demikian pula dengan sampah limbah keluarga juga sudah diolah,
dipisahkan serta dikelola melalui bank sampah dan ada instalasi pengolah
limbah.Lahan seluas 5.000 meter persegi yang dulunya lahan kosong sekarang
menjadi area atau tempat publik terbuka. Semua warga bisa memanfatkan semua
fasiltas yang ada di tempat itu (http://news.detik.com).
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk melihat
langkah-langkah inovatif masyarakat gambiran dalam mewujudkan Kampung
Hijau dalam menkonservasi wilayah aliran sungai gadjah Wong. Maka penulis
tertarik untuk mengenalisi strategi kesuksesan kegiatan dan program Kampung
Hijau berbasis masyarakat dengan pendekatan gerakan komunitas lingkungan.

5

B. Rumusan Masalah
Sesuai pemaparan diatas dapat ditarik garis besar masalah sebagai berikut:
Bagaimana strategi kegiatan dan program Komunitas Kampung Hijau Gambiran
Yogayakrta dalam mengelola Lingkungan Hidup berbasis masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan yakni sebagai Untuk
mengetahui strategi strategi kegiatan dan program Komunitas Kampung Hijau
Gambiran Yogayakrta dalam mengelola Lingkungan Hidup berbasis masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi:
1. Bagi masyarakat luas sebagai acuan strategi pengelolaan lingkungan
hidup berbasis masyarakat pad wilayahperkotaan.
2. Bagi akademisi sebagai pendorong peningkatan kualitas akademik dalam
melakukan studi lapangan ekologi perkotaandan menciptakan identifikasi
permasalahan kompleks perkotaaan.
3. Bagi

pemerintah

sebagai

acuan

dalam

pembangunan

perkotaan

menggunakan pendekatan masyarakatsolusi permasalahan perkotaan yang
semakin kompleks.

6

BAB II
KERANGKA TEORI

A. Lingkungan Hidup
Dalam Penjelasan UU no. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) tercantum bahwa Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan
hidupyangbaik dansehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi
setiapwarga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan
seluruhpemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan
danpengelolaanlingkunganhidupdalampelaksanaan pembangunan berkelanjutan
agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang
hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Sedangkan definisi
pembangunan berkelanjutan (UU PPLH Pasal 1 angka 3) adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke
dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan. Dengan demikian tampak bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan itu harus memperhatikan segala aspek yang terkait kesatuan alam
dan makhluk hidup di dalamnya, termasuk manusia. Hal ini disebabkan adanya
hubungan timbal balik antara komponen-komponen alam, baik yang biotik
maupun yang abiotik.
Lingkungan hidup menjadi sumber dan penunjang hidup bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya. Agar selalu dapat menjadi sumber penghidupan, tentunya
lingkungan hidupharus dijaga kondisinya, oleh karena itu diperlukan upaya
konservasi alam.
B. Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau adalah kawasan atau areal permukaan tanah
yang

didominasi oleh

tumbuh-tumbuhan

yang

dibina

untuk fungsi

perlindungan habitat

tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau

pengamanan jaringan

prasarana, danataubudidaya pertanian (Hakim,2008).

Selain untuk meningkatkan

kualitas atmosfer,menunjang kelestarian air dan

7

tanah, Ruang Terbuka Hijau di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi
untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988
tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, Ruang terbuka
hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam
bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di
dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan.
Ruang Terbuka Hijau Koridor Hijau Sungai yang berada di sepanjang
bantaran

sungai yang

berupa

tanaman

akan memberikan

fungsi

yang

beraneka ragam, antara lain pencegah erosi daerah sekitar, penyerapan ait
hujan lebih banyak. Dengan penanaman pohon-pohon yang mempunyai banyak
akar diharapkan akar-akar tersebut akan mengikat tanah-tanah di sekitar
sungai tersebut, tanaman yang dapat mecegah erosi dengan akarnya seperti
bambu, tanaman yang rapat, penanaman poho secara rapat. Koridor sungai juga
berfungsi menjaga kelestarian suber air, sebagai batas antara sungai dengan
daerah sekelilingnya. Koridor sungai dapat memberikan keindahan visual
dengan penataan yang sesuai dan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan yang ada
serta penambahan tumbuh-tumbuhan berwarna-warni.
Sedangkan RTH dengan kategori Taman adalah wajah dan karakter
lahan atau tapak dari bagian muka bumi dengan segalakehidupan dan apa saja
yang ada didalamnya, baik yang bersifatalami maupun buatan manusia yang
merupakan bagian atau total lingkungan hidup manusia beserta mahluk hidup
lainnya, sejauh mata memandang sejauh segenap indra kita dapat menangkap
dan sejauh imajinasi kita dapat membayangkan.
E. Pelestarian Lingkungan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Lingkungan adalah keadaan
sekitar yang mempengaruhi perkembangan tingkah laku makhluk hidup lainnya.
Segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan
kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung.
Pelestarian lingkungan merupakan kebijakan moral manusia yang dalam
berhubungan dengan lingkungannya. Secara garis besar pelestarian lingkungan
dapat diartikan kegiatan menjadikan mempertahankan lingkungan tetap pada

8

keadaan semula demi kelangsungan hidup dengan tidak merusaknya. Pelestarian
merupakan upaya dari perlindungan dan pengelolaan yang sangat hati-hati
terhadap lingkungan.
Konservasi/pelestarian secara umum dapat diartikan pemeliharaan
morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan pelestarian meliputi seluruh
kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya
pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan
maka konservasi mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan
sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai (Merusak).
Berdasarkan Undang-undang RI No 23 Tahun 1997 Tentang pengelolaan
lingkungan Hidup adalah upaya terpadu guna melindungi fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan pemanfaatan pengembangan,
pemeliharaan,

pemulihan,

pengawasan

dan

pengendaliaan

lingkungan

hidup.Menurut Praban Setyano (2011) didalam pelestarian lingkungan terdapat
prinsip-prinsip yang digunakan. Adapun prinsip-prinsip antara lain.
1. Sikap hormat kepada lingkungan
2. Prinsip bertanggungjawab pada lingkungan
3. Solidaritas kosmis
4. Kasih sayang dan kepedulian terhadap lingkungan
5. Tidak merugikan
6. Hidu sederhanan dan serasi terhadap alam
7. Keadilan
8. Demokrasi
9. Integritas moral

F. Civil Society dalam prespektif Gerakan Lingkungan
Dawam memahami Civil Society sebagai masyarakat sipil yang merujuk
pada kelompok kepentingan di ruang public yang berada di luar Negara. Menurut
Dwam Raharjo, Civil Society merupakan kelompok yang mempunyai beberapa
kepentingan salah satunya kepentingan perlindungan alam dari pengerusakan.

9

Akibat penggunaan teknologi tidak rlingkungan, eksploitasi sumberdaya alam,
pertambahan penduduk, kelestarian alam semakin terancam (Lathif. 2016).
Penulis berupaya membahas fenomena Civil Society ini dengan
menggunakan teori gerakan masyarakat urban (urban movements) yang dikupas
oleh Mahaswara (2016). Berbicara mengenai gerakan, selama ini kita lebih
banyak mengenal teori gerakan sosial dengan dua kategorisasi di dalamnya, yakni
gerakan sosial lama (old social movements) dan gerakan sosial baru (new social
movements). Gerakan social lama berkonsentrasi terhadap dua tema besar, yakni
perbaikan ekonomi melalui perjuangan kelas (the theme of class struggle) dan
perjuangan ideologi politik (the theme of political ideology). Sementara itu,
gerakan

sosial

baru

merupakan

respon

atas

masyarakat

pos-industri,

berkonsentrasi terhadap isu-isu kontemporer seperti politik identitas dan kualitas
hidup meliputi; etnisitas, ras, perdamaian, isu perempuan, lingkungan sampai
orientasi seksual. Aktor penggeraknya sendiri, tidak lagi terkotak pada kelas
pekerja dan petani sebagaimana aktor-aktor dominan dalam gerakan social lama,
melainkan melibatkan kelas menengah seperti mahasiswa, kaum intelektual, anak
muda dll.
Dalam bingkai gerakan (movements), Mahaswara (2016) dapat dikatakan
bahwa gerakan masyarakat urban merupakan salah satu bentuk dari gerakan
sosial baru. Gerakan masyarakat urban mengangkat permasalahan perkotaan
sebagai isu utama dengan melibatkan seluruh elemen kelas social dalam
masyarakat.
Gerakan ini dapat mencapai tujuan utama mereka yakni perubahan sosial
dengan tiga prasyarat. Pertama, merealisasikan kebutuhan kolektif (sandang,
pangan, dan papan), yakni memperjuangkan kota menggunakan “nilai nilai
sosial” melawan komodifikasi dan gentrifikasi. Kedua, menetapkan dan
mengukuhkan identitas kulturalnya, serta menciptakan pola komunikasi yang
egaliter daripada satu arus (programmed one-way information flows). Terakhir
atau ketiga, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Gerakan masyarakat urban
menjadi penting karena dapat melibatkan setiap elemen dalam masyarakat,
meleburkan batas/sekat sosial melalui mobilisasi lintas kelas. Hal ini membentuk

10

pola kerjasama horizontal dari berbagai elemen, seperti mahasiswa sebagai kelas
menengah yang membantu kaum miskin kota (misalnya pekerja imigran).
G. Studi Terdahulu (Literatur Review)
Sejumlah kajian dan pembahasan tentang strategi pengelolaan dengan konsep
pelestarian sungai perkotaan berbasis gerakan sosial, lingkungan hidup, RTH dan
pelestarian ekosistem dengan berbasis kearifan lokal dan masyarakat telah banyak
dilakukan, antara lain.
Tabel 1. Kajian dan Peneliti Tentang pengelolaan Lingkungan Hidup wilayah
Perkotaan.
No
1

Penulis & Topik Penelitian
Pandhu Yuanjaya (2015)
Modal Sosial Dalam
Gerakan Lingkungan:
Studi KasusDi Kampung
Gambiran Dan Gondolayu
Lor,Kota Yogyakarta

Persamaan, kajian ini
membahas tentang aspek
modal sosial dalam
mengsukseskan gerakan
pengelolaan lingkungan hidup,
dalam hal ini penelitian hanya
menggunakan sudut pandang
gerakan masyarakat. Tanpa
ada bahasan mengenai
seberapa besar peran

Tujuan Penelitian
Penelitian ini membahas
gerakan lingkungan yang
dilakukan oleh masyarakat
Kampung Gambiran dan
masyarakat Kampung
Gondolayu Lor Kota
Yogyakarta. Argumen pokok
dari penelitian ini adalah
perbedaan capaian dari kedua
gerakan lingkungan dipengaruhi
oleh modal sosial.

Hasil Penelitian & Kesimpulan
Hasilpenelitianmenunjukkan
modalsosialdiKampung
Gambiran dapat
Memobilisasisumberdaya
internaldanmembangun
jaringandiluarkomunitas.
Keberhasilan Kampung Gambiran
dapat dilihat dari berbagai
prestasi, ketersediaan fasilitasdan
kegiatan lingkungan (swadaya
maupun wujud kerjasama dengan
pihak eksternal)
sertadapatmemperluas gerakan
lingkungan melalui Forsidas
Gajah Wong dan Merti Kampung.
Sedangkan di Kampung
Gondolayu Lor, gerakan
lingkungan terbentuk lebih
karena pakewuh (rasa sungkan)
atas instruksi pemerintah tanpa
memperhatikan modal sosial. Hal
tersebut berdampak pada
ketidakmampuan mobilisasi
sumberdaya internal dan
membangun jaringan eksternal.
Perbedaan, Penelitian yang akan
dilakukan mengunakan
pendekatan tiga aktor pemerintah,
masyarakat dan Non
Governement Organization dalam
mewujudkan Lingkungan Hidup
Kampung Hijau Gambiran
Yogayakrta berbasis masyarakat.

11

2

pemerintah dan aktor lainnya.
Amos Setiadi (2011)
Pola Penanganan
Infrastruktur
Pada Kawasan Permukiman
Kumuh
Studi Kasus Kawasan
Bantaran Sungai Winongo

Penelitian ini bertujuan menemu
kenali pola penanganan
infrastruktur yang efektif pada
kawasan permukiman kumuh
dikawasan permukiman tidak
terencana di bantaran sungai
Winongo dengan teknik analisis
data deskriptif melalui
pendekatanpartisipatif.

Persamaan, kajian ini
membahas tentang bagaiman
pola pemenuhan infrastruktur
dalam menjaga kelestarian
wilayah sungai winongo.

3

Wasisto Raharjo Jati (2013)
Involusi “Program Kali
Bersih” (PROKASIH) di
Kota Yogyakarta. Involution
of “River Purification
Policy“ in Yogyakarta

5

Persamaan, menganalisi
gerakan buttom-up, yang
diainisiasi oleh masyarakat
dalam mengelola lingkungan
perkotaan.,
Seftyono Cahyo (2014)
Rawa Pening Dalam
Perspektif Politik
Lingkungan: Sebuah Kajian
Awal
Persamaan, sama sama
menganalisi presfektif
lingkungan.

6

Vidyana Arsanti dan Sri Rum
Giyarsih (2012)

Penelitian ini menganalisis
implementasi kebijakan
Prokasih di Kota Yogyakarta
dengan hasil akhir yakni
memberikan informasi masalah
selain halnya isu limbah cair
sekaligus merekomendasikan
masalah vital sungai Code.

Pola penanganan yang sesuai
untuk kawasan permukiman ini
yaitu community based
development. Dengan rincian
penangan fokus pada air limbah,
drainase, air bersih dan
pesampahan.

Perbedaan, penelitian yang akan
dilakukan mengkomparasikan
sejauh mana peran serta
pemerintah, masyarakat dan Non
Governement Organization dalam
mewujudkan Lingkungan Hidup
Kampung Hijau Gambiran
Yogayakrta berbasis masyarakat.
Tanpa berbicara karakteristik dan
analisis infrastruktur Kampung
Hijau
Penelitian ini merekomendasikan
isu masalah yang menonjol dalam
Prokasih ini yakni pengesahan
hukum lingkungan sebagai basis
payung hukum kebijakan
Prokasih.

Perbedaan, penilitian yang akan
dilakukan fokus pada kasus
Lingkungan Hidup Kampung
Hijau Gambiran Yogayakarta.
Mengetahui aspek Rawa Pening
dalam kajian Sains, Ekonomi,
Politi Lingkungan dan Sosial
Masyarakat

Bahwa politik lingkungan
terbangun atas dasar inisiatif
masyarakat untuk melestarikan
lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan
mengklasifikasikan model-

Perbedaan, kajian penelitian yang
akan dilakukan mengukur
seberapa jauh dan aktif positif
dalam mewujudkan Lingkungan
Hidup Kampung Hijau Gambiran
Yogayakarta. Dari tiga aktor
terkait yaitu, pemerintah,
masyarakat dan Non
Governement Organization.
Analisis dan pembahasan
mengenai upaya peningkatan
pengembangan pengelolaan

12

Pengelolaan Sampah oleh
Masyarakat Perkotaan di
Kota Yogyakarta

model pengelolaan sampah yang
dilakukanoleh masyarakat
berdasarkan karakteristik cara
pengelolaannya, kelembagaan
pengelolaannya,biaya
pengelolaannya, pembinaannya,
dan jenis sampah yang dikelola
yang dilakukan oleh masyarakat
perkotaan di Kota Yogyakarta.

Persamaan, secara umum
sama-sama mendeskripsikan
pengelolaan kampung hijau
yang salah satunya mengelola
sampah rumah.

7

Sidhi Pramudito
Analisis Pola Tata Ruang
Terbuka Tepian Sungai
Winongo di kampung
Budaya Bangunrejo

Penelitian ini membahas tentang
analisis pola tat ruang yang
dilakukan oleh pemerintah Kota
Yogyakarta bersama dengan
komunitas peduli lingkungan
Forum Komunikasi Winongo
Asri (FKWA) dalam mengelolaa
tat ruang wilayah sungai
winongo.

Persamaan, sama-sama
mengkaji tentang pentingnya
pengelolaan ruang terbuka
bagi kawasan perkotaan
Yogyakarta.

sampah secara mandiri yang
dilakukan oleh masyarakat
perkotaan di Kota Yogyakarta,
maka dapat disimpulkan kegiatan
pengelolaan sampah yang sudah
diterapkan di beberapa lokasi
penelitian sudah cukup baik yaitu
di Gondolayu Lor, Gambiran Lor,
Gamelan, Bugisan, Jetisharjo, dan
Kricak.
Perbedaan, berdasarkan studi
literatur ada strategi yang
dlakukan oleh masyarakat
kampung hijau gambiran dalam
mengelola sampah. Namun
penelitian ini tidak hanya
berfokus pada peran masyarakat
melainkan kontribusi pemerintah
dan aktor lainnya.
Dari analisi yang dilakukan
makan peneliti menemukan
bahwa 1) Keaneragaaman pola
dan variasi ruang terbuka
mempenagruhi kegunaan runagng
terbuka tersebut. 2) Nilai kinerja
ruang dari hasil simulasi
cenderung dipengaruhi aspek
konektivitas (integrasi global),
kualitas visual dan pola
pergerakan; 3) Dalam sistem
kawasan kampung, keberadan
ruang khusunya ruang terbuka
saling tergantung satu sama lain,,
sehingga diperlukan integrasi satu
dengan yang lainnya.
Perbedaan, studi kasus pada
penelitian yang akan dilakukan
terletak Gambiran Yogayakarta.

H. Posisi Pembahasan Penelitian
Setelah mengkaji secara mendalam tentang penelitian terdahulu berkenaan
dengan tata ruang terbuka perkotaan, modal sosial dalam mewujudkan kampung
hijau dan pola infrastruktur dalam memfasilitasi pelestarian sungai Gajah Wong
Kota Yogyakarta. Maka penulis menetapkan lingkup dan fokus penelitian yang
akan dilakukan yaitu berkenaan dengan Strategi Komunitas kampong Hijau dalam

13

Mengelola Lingkungan Hidup “Kampung Hijau” Di Gambiran Umbulharjo
Yogyakarta. Mengingat kajian peran gerakan sosial dalam mengelola Lingkungan
Hidup Kampung Hijau Gambiran Yogayakarta berkenaan dengan pemanfaatan
sebagai ekologi dan potensi wisata lingkungan berbasis kearifan masyarakat tidak
banyak dilakukan. Sehingga penelitian Komunitas Kampung Hijau dalam
Mengelola Lingkungan Hidup “Kampung Hijau” Di Gambiran Umbulharjo
Yogyakartaakan memperkaya kajian dan pengetahuan menjadi penting untuk
diteliti.

14

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan metode kualitatif yang
bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian yang berusaha menerangkan atau
menggambarkan peristiwa yang terjadi pada obyek penelitian pada masa sekarang
kemudian dijelaskan, dianalisa, dan disajikan sedemikian rupa sehingga menjadi
gambaran yang sistematis (Soeharto, 2004). Melalui penelitian ini, peneliti
berusaha mendeskripsikan atau melukiskan secara terperinci atau mendalam
tentang kolaborasi pemangku kepentingan dalam mewujudkan dan mengelola
kampung hijau.
A. Jenis Penulisan
Karya tulis ini merupakan jenis penelitian deskriptif analisis, yaitu
penelitian yang berusaha menerangkan atau menggambarkan peristiwa yang
terjadi pada obyek penelitian pada masa sekarang kemudian dijelaskan, dianalisa,
dan disajikan sedemikian rupa sehingga menjadi gambaran yang sistematis
(Soeharto, 2004).
B. Jenis Data
Karya tulis ini menggunakan jenis data sekunder. Menurut Sanusi (2011),
data sekunder adalah data-data yang sudah tersedia dan dikumpulkan oleh pihakpihak lain. Dalam karya tulis ini, data dari publikasi artikel, juranal dan proseding
yang telah dikumpulkan oleh orang lain.

C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan metode yang dilakukan oleh
peneliti untuk memperoleh data penelitian. Oleh karena data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder yang telah dikumpulkan olehorang
lain, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian iniadalah
teknik pencarian data melalui kontak langsung. Menurut Kuncoro (2009), “yang
dimaksud dengan pencarian data melalui kontak langsung adalah peneliti
menggunakan terminal komputer dan dapat mencari data yang diperlukan secara

15

langsung”. Dalam praktiknya, teknik pengumpulan data dilakukan dengan
mengunduh data secara langsung yang tersedia pada jurnal dan publikasi yang
relevan dengan penelian yang sedang dikaji.

D. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data dalam karya tulis ini menggunakan pola kualitatif
deskriptif. Menurut Leksono (2013), pola kualitatif deskriptif adalah sebuah
pengolahan data terhadap suatu perilaku, fenomena, peristiwa, masalah atau
keadaan tertentu, yang menjadi objek penyelidikan yang hasil temuannya berupa
uraian kalimat bermakna yang menjelaskan pemahaman tertentu.

16

BAB IV
TEMUAN DAN DISKUSI

A. Profil Komunitas Kampung Hijau Gambiran Yogyakarta
Selintas Komunitas Kampung Hijau Gambiran seperti kampung-kampung
lain, komunitas Kampung Gambiran RW 08 yang warganya lebih 85% pendatang
tidak begitu saja tumbuh kesadaran dan kebersamaannya. RW 08 Gambiran
terdiri dari 5 RT yaitu RT 30, 31, 32, 45, 47, dan, RT 30, sebagai RT tertua
tumbuh sekitar 1970, RT 31 Perum Pemda berpenghuni tahun 1978, RT 32
Sumendung mulai tahun 1984 dan RT 45 Gambiran Baru tahun 1985 dari data
tahun 2007 jumlah KK 831, dengan 791 jiwa, Lansia 131, usia produktif 352 usia
sekolah 230, sisanya usia anak-anak. Penduduknya heterogen, strata sosial
menengah kebawah, Wilayah dibatasi jalan raya dan pada wilayah sisi timur
dikelilingi Sungai Gajah Wong yakni RT 30, RT 45, RT 47, yang rentan bencana
(http://www.kampunghijaugambiran.com/).

Sumber : http://www.kampunghijaugambiran.com/

Kesadaran lingkungan yang masih parsial dan bertubinya bencana
terutama luapan banjir yang terjadi Tahun 2005, 13 Desember 2006 yang terbesar
(terakhir 27 Desember 2007 setelah gempa bumi) yang mengakibatkan hancurnya
saluran pelimpah, taman dan segala tanaman terutama yang ada di RT 31 seluas
+500M2 musnah dan Galery Abiyasa runtuh, sedangkan wilayah jogja selatan
hujan yang tidak berarti, masyarakat RW 08 tersentak dan sadar bahwa musibah
terjadi karena masyarakat luas tidak arif dan kurang peduli terhadap lingkungan

17

yang mengakibatkan ”mendapatkan” dampaknya, Tidak hanyaitu, lingkungan
yang tidak sehat menjadikan warga terkena demam berdarah bergantian.
Sungai Gajah wong tidak terkesan membawa bencana, akan tetapi alam
akan marah jika diusik. Warga kemudian berdialog dengan melibatkan semua
lapisan masyarakat, mencari penyebab dan solusinya kemudian “bersepakat untuk
berbuat sesuatu untuk lingkungannya” Bagaimana permukiman lingkungan
menjadi nyaman dan berkualitas bagi kehidupan warganya. Setelah melalui
proses

panjang

kemudian

masyarakat

berkomitmen

untuk

mengelola

/melestarikan lingkungan hidup sesuai kondisinya dengan mengutamakan
kegiatan mengelola Sungai Gajahwong, Pengelolaan Sampah Mandiri, Energi
Alternatif, Sanitasi ipal, Tamanisasi dan Penghijauan, Kembali ke Pangan Lokal
sesuai Ekologi Lingkungan, kebutuhan sarana & ruang Publik dan Perpustakaan
Jendela Dunia.
Wilayah permukiman yang berada di teras sungai tersebut kini menjadi
percontohan permukiman hijau yang asri. RW 08 Gambiran terdiri dari 5 RT
yaitu RT 30,31,32,45,47 ,RT 30 sebagai RT tertua tumbuh sekitar 1970, RT 31
Perum Pemda berpenghuni tahun 1978, RT 32 Sumendung mulai tahun 1984 dan
RT 45 Gambiran Baru tahun 1985 dari data tahun 2007 jumlah KK 831 dengan
791 jiwa, Lansia 131, usia produktif 352 usia sekolah 230, sisanya usia anakanak. Penduduknya heterogen, strata sosial menengah ke bawah, Wilayah dibatasi
jalan raya dan pada wilayah sisi timur dikelilingi Sungai Gajah wong yakni RT 30
, RT 45 , RT 47 yang rentan bencana.
Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) adalah
kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina
untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan
atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk
meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang
Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga
berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.
Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di setiap kota memiliki tiga fungsi
yaitu ekologis, sosial ekonomi, dan evakuasi. Sesuai dengan UU No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar 30 persen

18

dari luas kota tersebut. Penambahan RTH ini sebagai bentuk perwujudan
pemerintah dalam upaya menambah RTH yang ada di kota Yogyakarta.

Sumber : http://www.kampunghijaugambiran.com/
Pemerintah Kota Yogyakarta menambah ruang terbuka hijau seluas 5.000
meter persegi yang berada di bantaran Sungai Gajah Wong Kampung Hijau dan
dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung. “Ruang terbuka hijau ini bisa
dimanfaatkan warga untuk melakukan sosialisasi dan interaksi karena masalah
yang selalu dihadapi oleh perkotaan, adalah kurangnya ruang untuk sosialisasi,”
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan (PUP) dan ESDM DIY Ir.Rani
Sjamsinarsi.

Hal tersebut diungkapkannya di sela-sela penanaman pohon untuk
memulai pembangunan taman pada ruang terbuka hijau yang berada di kampung
hijau Pandeyan Umbulharjo Yogyakarta, Pembangunan ruang terbuka hijau di
Pandeyan tersebut menggunakan dana dari Kementerian Pekerjaan Umum
melalui Dinas PUP-ESDM DIY.

19

“Tugas dari Pemerintah DIY adalah mendorong pemerintah
kabupaten dan kota untuk terus mengembangkan wilayahnya melalui
pemberdayaan masyarakat seperti yang dilakukan saat ini,”.
Pemerintah kabupaten/kota, perlu terus memiliki komitmen untuk
pengembangan wilayah, termasuk pembangunan di kawasan sungai.
“Jika tidak punya dana, maka ajukan ke Pemerintah DIY. Nanti
kami akan bantu untuk mencarikan pendanaannya, apakah itu dari
DIY atau dana dari pusat,”.
Dinas PUP-ESDM DIY berencana bertemu dengan Dirjen Sumber Daya Air
untuk membahas rencana pembangunan sungai sehingga bisa terintegrasi dengan
pembangunan di sekitarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Yogyakarta Edy Muhammad mengatakan, ruang terbuka hijau
privat di Kota Yogyakarta sudah melebihi target nasional, yaitu 14,4 persen dari
target 12 persen. Pembangunan ruang terbuka hijau di kampung hijau Pandeyan
tersebut merupakan usulan dari warga sebagai bagian dari pemberdayaan
masyarakat untuk pengembangan kawasan sungai. Gadjah Wong sudah memiliki
forum sungai yaitu Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai (Forsidas) Gajah
wong sebagai sebuah lembaga di masyarakat. Secara bertahap, Edy mengatakan,
akan terus bergerak untuk menambah ruang publik dan ruang terbuka hijau di
wilayah Kota Yogyakarta.

Sedangkan ruang terbuka hijau yang berada di Kampung Hijau yang
pernah mewakili Kota Yogyakarta hingga ke semifinal ajang “MDG`s Award” ini
oleh Komunitas diberi nama Gajah Wong Educational Park.Taman ini terletak
disebelah timur Kampung Hijau. Taman ini cukup luas dan memiliki fasiilitas

20

yang cukup lengkap. Taman ini memang di desain agar semua kalangan bisa
menggunakannya. anak-anak pun dapat bermain dengan leluasa karena
disediakan area bermain. Untuk yang suka bersepeda, tempat ini disediakan jalur
khusus sepeda dan juga tempat parkirnya.

B. Strategi Gerakan Lingkungan “Kampung Hijau” dalam mewujudkan
Lingkungan Hidup Kampung Hijau Gambiran Yogayakarta.
Gerakan lingkungan oleh masyarakat muncul sebagai tanggapan atas
kegagalan kebijakan lingkungan pemerintah kota dalam mengatasi dampak
negative dari degradasi lingkungan. Program Kampung Hijau yang diperkenalkan
oleh Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2007 lebih jauh menunjukkan
gerakan lingkungan dapat merubah kebijakan lingkungan. Dari seluruh komunitas
yang menerapkan Kampung Hijau, Kampung Gambiran dan Kampung
Gondolayu Lor menjadi komunitas kampung dengan capaian paling memuaskan
baik dari aspek prestasi, kegiatan, infrastruktur dan peran aktif masyarakat.
Christiansen (2009), menjelaskan keempat tahap gerakan adalah tahap
kemunculan

(emerge),

tahap

koalisi

(coalescene),

tahap

formalisasi

(bureaucratization), dan tahap surut (decline). Sebagai upaya menghindari bias
dalam penggunaan istilah serta mengacu dua pendapat tersebut, penelitian ini
menggunakan istilah “hasil” pada tahap keempat. Tahapan tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
1. Tahap pertama yaitu kemunculan, individu merasa tidak puas dan tidak
nyaman dengan keadaan yang ada, baik karena disebabkan kebijakan

21

atau kondisi sosial tertentu, tetapi mereka tidak mengambil tindakan dan
bergerak secara individu
2. Tahap kedua yaitu koalisi, perasaan ketidakpuasan menjadi kolektif dan
mulai mengorganisir dan membuat strategi.
3. Tahap ketiga yaitu formalisasi, gerakan

telah

memiliki

karakteristik sebagai organisasi.
4. Tahap keempat yaitu hasil, berupa: represi, kooptasi, kekeberhasilan,
dan kegagalan.
Gerakan lingkungan yang dilakukan masyarakat Kampung Gambiran tidak
dapat

dipisahkan

dengan

degradasi

lingkungan

dan

bencana

yang

ditimbulkannya. Pada kurun waktu Desember 2004 hingga Februari 2005
(musim penghujan) di Kampung

Gambiran terjadi bencana banjir yang

menyebabkan banyak kerugian, antara lain: hancurnya saluran pelimpah, taman
dan infrastruktur terutama yang ada di RT 31 seluas ±500m2, serta
mengakibatkan rusaknya beberapa rumah warga. Tidak hanya banjir, tahun 2005
menjadi puncak dari degradasi lingkungan,

ditandai dengan terjangkitnya

sebagian besar warga dari penyakit demam berdarah, namun masyarakat masih
menganggap sebagai masalah pribadi dan juga diselesaikan pada ranah privat.
Usaha mempersatukan masyarakat dimulai dengan menghilangkan culture gap
atau kesenjangan budaya dalam masyarakat.
Masyarakat kemudian berinisiatif untuk mengadakan musyawarah yang
disebut dengan “rembug warga”. Masyarakat secara kolektif berkerja bersama
memperbaiki lingkungan meskipun tidak terlembaga. Pendampingan dilakukan
oleh oleh BLH Kota Yogyakarta dan WALHI (kampanye lingkungan Maret
2005-Mei 2006 dan pendampingan intensif Juni 2006-April 2007). Berdasarkan
evaluasi BLH dan WALHI, kemandirian warga gambiran telah menunjukkan
kemampuan suatu komunitas dalam memberdayakan diri sendiri di bidang
lingkungan. Pada bulan April 2007, gerakan lingkungan terintegrasi dalam
Program Kampung Hijau sebagai sarana institusionalisasi gerakan.
Perubahan kondisi fasilitas lingkungan diantaranya: infrastruktur mitigasi
bencana, ruang publik/ ruang terbuka hijau (RTH), pengelolaan mata air,
tamanisasi dan penghijauan, bank sampah “asri”, sanitasi, balai pertemuan,

22

pengembangan energi alternatif (biogas dan energi surya). Beberapa kegiatan
lingkungan diantaranya; Peringatan Hari Bumi, Ulang Tahun WALHI,
wayangan (pertunjukan wayang) rutin, Gerakan Hemat Air, Seminar Nasional
Lingkungan, studi banding, penelitian dan lain sebagainya. Beberapa
penghargaan/ prestasi yang dicapai sebagai berikut: Juara Lomba Kampung
Hijau Tingakat Provinsi DIY (2007), Juara Umum Lomba Kali Bersih Kota
Yogyakarta (2008), Juara Green and Clean Provinsi DIY (2008), Juara Walikota
Award Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (2009), Rintisan ProKlim (Kampung
Iklim) Kementerian Lingkungan Hidup (2012), Juara Indonesia MDG’s Award
(2013). Pada tahun kelima (2012), Kampung Gambiran dapat meluaskan
gerakan

lingkungan

dengan

membentuk

Forsidas

Gajah

Wong

dan

menyelenggarakan ritual Merti Kampung Gambiran.
Bagian ini mengidentifikasi melalui keenam unsur-unsur modal sosial
kepercayaan, jaringan sosial, saling tukar kebaikan, norma, nilai-nilai dan
tindakan yang proaktif dari kampong hijau gambiran
1. Pengaruh internal dari modal sosial di Kampung Gambiran dapat
memobilisasi dan mengakses sumberdaya masyarakat seperti, tenaga,
waktu, dana, pengetahuan, pengalaman, loyalitas dan sebagainya.
Pengaruh eksternal terlihat dari kemampuan masyarakat Kampung
Gambiran dalam menjalin kerjasama yang luas dengan berbagai
stakeholder.
2. Kampung Gambiran, masyarakat sangat menjaga kepercayaan tidak
hanya secara internal, namun juga terjaga dalam menjalin kerjasama
dengan pihak eksternal melalui berbagai kerjasama multi years yang
berkelanjutan.
3. Kemampuan jaringan internal di Kampung Gambiran ditunjukkan
berbagai aktivitas dapat dilakukan baik pembangunan fasilitas umum
dan kegiatan lingkungan dilakukan secara swadaya.
4. Masyarakat Kampung Gambiran juga membangun jaringan eksternal
dengan

berbagai

Diskimpraswil,

pihak

Bappeda,

seperti

lembaga

Kementerian

pemerintah

Lingkungan

sebagainya), Lembaga Swadaya Masyarakat

(BLH,

Hidup

dan

(Walhi dan SHIND),

23

berbagai

CSR dari

perusahaan (misalnya: Unilever),

lembaga

pendidikan (UGM dan UTY), Media, dan memperluas pengaruh
gerakan lingkungan dengan terbentuknya Forsidas dan Merti Kampung.
5. Resiprositas atau timbal balik bagi masyarakat Kampung Gambiran
bermakna terciptanya lingkungan yang baik, perubahan perilaku,
kebiasaan dan juga sosial ekonomi dari pengelolaan lingkungan.
6. Konsistensi mematuhi norma dan nilai lingkungan, di Kampung
Gambiran menjadi pedoman dalam berperilaku sesuai dengan kaidah
lingkungan. Kegiatan lingkungan Kampung Gambiran selalu diiringi
partisipasi yang tinggi dari masyarakatnya baik berupa tenaga, dana,
waktu, loyalitas dan lain sebagainya serta dari capaian yang telah
diperoleh menunjukkan adanya inovasi dan inisiatif dalam masyarakat.

Pada isu lingkungan yang diajukan dalam penelitian ini, sifat publicness
juga melekat pada komunitas gerakan lingkungan yang berusaha menyelesaikan
degradasi lingkungan yang merupakan public interest. Akhirnya, peran
pemerintah dalam Program Kampung Hijau hanya sebagai katalisator,
pemegang control (pengarah) bukan sebagai pelaku usaha (pelaksana).

24

Kampung Gambiran, kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi
dan tujuan serta dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih terbuka, memiliki
tingkat partisipasi anggota lebih baik dan memiliki rentang jaringan lebih luas.
Pada tahapan selanjutnya penulis akan menganalsis kolaborasi pemangku
kepentingan dalam memelihara kampong hijau gambiran. Adapun kolaborasi
actor dan pemangku kepentingan dapat dilihat pada table dibawah ini:
No
1

Stakeholder’s Category
Pemerintah (Badan
Lingkungan Hidup)

Peran
Regulator

Kepentingan

Derajat pengaruh

Kepentingan Sosial
dan Lingkungan

Pemangku kepentingan
pendukung

Sosial

Tingkat partisipasi
Tinggi

Kepentingan
Ekonomi dan
Lingkungan

Tingkat partisipasi
rendah

1) SK Pim. Keg. No.
24/KSD/KEP/2005
sebagai daerah
percontohan (pilot
project) kegiatan
pemilahan sampah di
Kota Yogyakarta.
2) Pendampingan
melalui lembaga
eksternal dengan
berbagai pihak seperti
lembaga pemerintah
(BLH, Diskimpraswil,
Bappeda, Kementerian
Lingkungan Hidup dan
sebagainya).
3) Sebagai katalisator
dan Fasilitator
4) Advokator
Katalisator dan
Advokator

2

Non Government
Organization (LSM)

3

Swasta

CSR dari perusahaan
(misalnya: Unilever)

4

Masyarakat

Implementator

Tinggi

Hasil penelitian menunjukkan peran pemerintah relatif rendah yang sangat
menentukan keberhasilan gerakan lingkungan kemampuan dan komitmen para
masyarakat. Kampung Gambiran, kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan
orientasi dan tujuan serta dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih terbuka,

25

memiliki tingkat partisipasi anggota lebih baik dan memiliki rentang jaringan
lebih luas.
Selain itu dari hasil analisa penulis bahwasannya masyarakat umbulharjo
gambiran menjadi key player dalam program kampung hijau karena memiliki
tingkat kepentingan dan menjadi implementator dalam pelaksanannya. Sedangkan
pihak swasta dan LSM seperti walhi sebagai context setter yaitu pemangku
kepentingan yang memiliki pengaruh tinggi tetapi kepentingannya dan partisipasinya
rendah rendah. Pemerintah dalam hal ini BLH kota menjadi kategori pemangku
kepentingan subject yaitu memiliki kepentingan yang tinggi namun partisipasinya
sangnat rendah.

26

BAB V KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dijabarkan makan dapat ditarik beberapa
kesimpulan antara lain:
1. Munculnya gerakan lingkungan hidup Kampung Hijau Gambiran oleh
masyarakat sebagai tanggapan atas kegagalan kebijakan lingkungan
pemerintah kota dalam mengatasi dampak negative dari degradasi
lingkungan. Dengan kata lain masyarakat berinisiatif untuk mengadakan
musyawarah dengan didampingi oleh NGO seperti Walhi
2. Kesuksesan gerakan lingkungan hidup Kampung Hijau Gambiran
cenderung disebabkan oleh komitmen masyarakat dan adanya modal
sosial seperti kepercayaan, jaringan sosial, saling tukar kebaikan, norma,
nilai-nilai dan tindakan yang proaktif. Selain itu aktivitas dilakukan baik
pembangunan fasilitas umum dan kegiatan lingkungan dilakukan secara
swadaya. Sehingga terciptanya lingkungan yang baik, perubahan perilaku,
kebiasaan dan juga sosial ekonomi dari pengelolaan lingkungan
3. Kolaborasi pemangku kepentingan antara lain 1) pemerintah sebagai
katalisator, pendampingan dan regulasi. 2) NGO dan Perguruan tinggi
pendampingan, 3) pihak swasta dan perusahaan cenderung dalam segi
berbagai CSR.

27

DAFTAR PUSTAKA
Yuanjaya, P. 2015. Modal Sosial Dalam Gerakan Lingkungan: Studi Kasus Di
Kampung Gambiran Dan Gondolayu Lor, Kota Yogyakarta. Jurnal
NATAPRAJA Kajian Ilmu Administrasi Negara. III (I) hlm, 57-72.
Raharjo Jati. 2013. Involusi “Program Kali Bersih” (PROKASIH) di Kota
Yogyakarta. Involution of “River Purification Policy“ in Yogyakarta.
Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. 26, 4, hal 217 -226
Setiadi, A (2011). Pola Penanganan Infrastruktur Pada Kawasan Permukiman
Kumuh Studi Kasus Kawasan Bantaran Sungai Winongo. Disampaiakan
pada SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI – KoNTekS. Universitas
Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011.
Mayasari A., Kusuma A., Syahrani (2014). Persepsi Masyarakat Terhadap
Kebijakan Relokasi Penduduk Bantaran Sungai Karangmumus Samarinda
Kalimantan Timur (Studi Kasus : Kebijakan Relokasi Penduduk Bantaran
Sungai Karangmumus). eJournal Administrative, 2 (4) hlm 2422-2434
Seftyono, C. 2014 . Rawa Pening Dalam Perspektif Politik Lingkungan: Sebuah
Kajian Awal. Indonesian Journal Of Conservation. III (I) Hlm. 7-15
Pramudito, S. (Tanpa Tahun). Analisis Pola Tata Ruang Terbuka Tepian Sungai
Winongo di kampung Budaya Bangunrejo. Diakses pada tanggal 11 Maret
2017.
Pratopo, Totok. Sosialisasi Sungai Kabupaten Banyumas Balai Besar Wilayah
Sungai (Bbws) Serayu Opak “Belajar Tentang Gerakan Komunitas Kali
Code Yogyakarta”. Handout pribadi diakses 24 Oktober 2015.
Rijal, S. 2008. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Makassar Tahun 2017.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat. III. 1 hlm, 001-110
Arsanti, V. & Giyarsih, S. 2012. Pengelolaan Sampah oleh Masyarakat Perkotaan
di Kota Yogyakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan. IV, I hlm
55‐66
Bagus Kurniawan. 2015. Komunitas Kampung Hijau Gambiran Menyulap Area
Banjir Jadi Taman Kota. Diakses pada tanggal 11 Maret 2017 dari
http://news.detik.com/berita/3014274/komunitas-kampung-hijaugambiran-menyulap-area-banjir-jadi-taman-kota
Tommy Apriando. 2015. Belajar dari Kampung hijau gambiran Yogyakarta.
Diakses
pada
tanggal
11
Maret
2017
dari
http://www.uwong.co/2015/03/belajar-dari-kampung-hijau-gambiranyogyakarta
Fatnasari, H & Hermana, J. 2010. Strategi Pengelolaan Air Limbah Permukiman
Di Bantaran Kali Surabaya. Prosiding Seminar Nasional Manajemen
Teknologi XI. Program Studi MMT-ITS.
Lathif, Y. 2016. Yang Laju Dan Yang Layu, Membumikan Agama Dalam Krisis
Ruang Publik.PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Perancangan Sistem Informasi Pengelolaan Yayasan (Sinpeya) Pada Balai Perguruan Putri (BPP) Pusat Bandung

7 79 187

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Tinjauan Atas Prosedur Pengelolaan Dana Kas Kecil Pada Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) Kota Bandung

6 34 49

Perancangan Informasi Kampung Budaya Sindangbarang Melalui Media Infotainment MAP

2 40 50

Tinjauan Atas Prosedur Surat Pertanggung Jawaban Dan Penatausahaan Keuangan Daerah Pada Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Pertambangan Dan Energi Kabupaten Indramayu (PSDA Tamben)

2 48 64

Analisis Sistem Informasi Pengelolaan STNK Di Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) Wilayah XX/Samsat Bandung Barat

15 155 60

Pengaruh Gaya Hidup dan Harga Terhadap Keputusan Pembelian Smartphone Blackberry Z10 Pada Global Teleshop Cabang BEC Bandung

0 23 1

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17