HUBUNGAN BEBAN KERJA DAN KINERJA TERHADA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Layanan kesehatan adalah fungsi yang paling terlihat dari sistem
kesehatan, baik untuk pengguna dan masyarakat umum. Penyediaan layanan
mengacu pada cara input seperti, staf, peralatan dan obat-obatan yang
dikombinasikan untuk memungkinkan pemberian penanganan kesehatan
(http://www.who.int/topics/health_services/en/).
Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional dijelaskan bahwa untuk melaksanakan upaya kesehatan
dalam rangka pembangunan kesehatan diperlukan sumber daya manusia
kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis, dan kualitasnya serta
terdistribusi secara adil dan merata (www.binfar.kemkes.go.id).
Pelayanan keperawatan kesehatan pada rumah sakit atau puskesmas
merupakan salah satu pelayanan yang sangat penting dan berorientasi pada
tujuan yang berfokus pada penerapan asuhan keperawatan secara profesional
sesuai standar keperawatan sangat tergantung pada bagaimana kinerja perawat di
rumah sakit atau puskesmas dalam menerapkan standar asuhan keperawatan
(Ilyas, 2004).
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan salah satu unit

pelaksana teknis dinas kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
1

masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama dengan kegiatan
utama adalah kegiatan pencegahan dan promosi kesehatan (Permenkes 75, 2014
_ (http://www.depkes.go.id).
Puskesmas berperan sebagai ujung tombak dalam memberikan layanan
kesehatan dasar (primary health care) yaitu pelayanan kesehatan minimal kepada
masyarakat berupa layanan preventif, berkesinambungan, dan tentunya dapat
diakses bagi seluruh masyarakat. Puskesmas di seluruh Indonesia saat ini
berjumlah 9,599 buah dimana yang masih dalam kondisi rusak bahkan sampai
ada yang tidak bisa difungsikan (Kemenkes, 2013a).
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu pembangunan upaya
pembangunan

nasional dalam rangka tercapainya kesadaran, kemauan dan

kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan
upaya pengelolaan berbagai sumber daya pemerintah mau pun masyarakat

sehingga dapat disediakan pelayanan kesehatan yang efisien, bermutu dan
terjangkau. Hal ini perlu didukung dengan komitmen yang tinggi terhadap
kemauan, etika dan dilaksanakan dengan prioritas kepada upaya kesehatan dan
pengendalian penyakit disamping penyembuhan dan pemulihan (Febri,2006).
Dalam pelayanan kesehatan baik di setting klinik maupun komunitas,
perawat merupakan garda terdepan pelayanan melalui pemberian asuhan
keperawatan. Peran perawat dalam pelayanan kesehatan menjadi sangat penting
mengingat kualitas pelayanan keperawatan berpengaruh terhadap totalitas
2

layanan yang diberikan (Anna Kurniati,Ferry Effendi:2012, Kajian SDM
Kesehatan di Indonesia).
Peran tenaga perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
sangatlah penting khususnya sebagai tenaga pelaksana pelayanan yaitu tenaga
perawat relatif lebih banyak dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya,
maka wajarlah jika kinerja perawat sangat berperan untuk menjadi penentu bagi
citra rumah sakit atau puskesmas. Oleh karena itu perawat harus senantiasa
dipertahankan dan ditingkatkan seoptimal mungkin, serta perlu mendapatkan
dukungan dari pihak puskesmas atau pun instansi kesehatan lainnya (Depkes,
2004 dalam Nurul Azmi).

Kinerja perawat sangat berkaitan erat dengan mutu pelayanan keperawatan
yang diberikan. Beberapa provinsi di Indonesia yang terdiri dari provinsi
Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Barat dan DKI Jakarta
telah dilakukan penelitian oleh Direktorat Pelayanan Keperawatan Depkes
bekerja sama dengan WHO (World Health Organization) tahun 2004 didapatkan
hasil bahwa selama 3 tahun terakhir sebanyak 70,9% perawat tidak pernah
mengikuti pelatihan, 39,8% perawat di rumah sakit mengerjakan tugas-tugas non
keperawatan, 47,4% perawat yang tidak mempunyai uraian tugas yang jelas dan
tertulis, belum adanya pengawasan dan evaluasi secara berkala terhadap kinerja
perawat secara khusus (Kemenkes RI, 2005).
Berdasarkan dari kondisi tersebut maka Direktorat Pelayanan Keperawatan
dengan WHO serta UGM tahun 2001 mengembangkan suatu indikator penilaian
3

kinerja perawat dan bidan baik di puskesmas maupun di rumah sakit yang
disebut model Pengembangan Manajemen Kinerja yang bertujuan untuk
meningkatkan profesionalisme perawat dan bidan [ CITATION Kem05 \l 1033 ].
Selain itu baik atau buruknya suatu kinerja sangat dipengaruhi oleh beban
kerja, semakin tinggi beban kerja maka akan berdampak buruk bagi kinerja
perawat, kinerja yang buruk akan berdampak buruk pula pada karier perawat,

adanya reward, tidak adanya sistem promosi, serta tidak ada punishment
terhadap perawat yang kinerjanya buruk [ CITATION Kan13 \l 1033 ].
Tenaga kesehatan khususnya perawat, dimana analisa beban kerjanya dapat
dilihat dari aspek – aspek seperti tugas – tugas yang dijalankan berdasarkan
fungsi utamanya., begitu pun tugas tambahan yang dikerjakan, jumlah pasien
yang harus dirawat, kapasitas kerjanya sesuai dengan pendidikan yang ia peroleh,
waktu kerja yang digunakan untuk mengerjakan tugasnya sesuai dengan jam
kerja yang berlangsung tiap hari, serta kelengkapan fasilitas yang dapat
membantu perawat menyelesaikan kerjanya dengan baik (Irwandy, 2007 dalam
Batuah Nurnaningsi).
Menurut data dari PPNI, pada tahun 2005 jumlah perawat Indonesia yang
menganggur mencapai 100 ribu orang. Tingginya angka pengangguran perawat
di Indonesia tersebut diakibatkan oleh rendahnya pertumbuhan rumah sakit di
Indonesia dan kurangnya penguasaan bahasa Inggris untuk dapat bekerja di luar
negeri. Sementara tiap tahunnya dari 770 sekolah perawat di Indonesia dapat

4

melahirkan


250

ribu

calon

tenaga

perawat

baru

(https://moveamura.wordpress.com).
Rasio tenaga keperawatan di Sulsel hingga tahun 2009 sebesar 94,36 per
100.000 penduduk. Namun bila dirinci menurut jenisnya maka di Sulsel, pada
tahun yang sama tercatat jumlah perawat sebanyak 7.859 orang dengan jumlah
lulusan terbanyak berasal dari D-3 keperawatan (58,27%) dan SPK sebesar
29,21%. Proporsi tenaga perawat 61,12% dari seluruh tenaga kesehatan. Bila
dibandingkan dengan target pencapaian IIS 2010 sebesar 117,5 per 100.000
penduduk maka Sulsel belum mencapai target atau masih butuh sekitar 1.927

tenaga perawat (http://datinkessulsel.wordpress.com).
Berdasarkan informasi yang didapat bahwa Berdasarkan visi Indonesia
sehat di tahun 2013 dan Visi Kabupaten Jeneponto " Mewujudkan Desa-desa
yang maju berkembang secara mandiri dan lebih berkualitas diatas rata-rata Desa
Sehat di Sulawesi Selatan " maka Puskesmas Binamu Kota memiliki Visi "
Sebagai Puskesmas Model di Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan".
Terselenggaranya
Menggerakkan
meningkatkan

pelayanan
pembangunan

kesehatan

kesehatan

yang

berwawasan


perorangan,

bermutu

kesehatan,

keluarga

dan

dan

profesional.

Memelihara
masyarakat

dan


beserta

lingkungan. Menjamin terjangkaunya pelayanan kesehatan masyarakat secara
merata dan berkesinambungan. Mendorong terwujudnya kemandirian masyarakat
untuk hidup sehat melalui pemberdayaan masyarakat (Sumber : PKM Binamu
Kota 2013).
5

Sesuai data awal dari Puskesmas Binamu Kota, angka kunjungan pada
tahun 2011 sebanyak 11.180 orang, tahun 2012 sebanyak 32.377 orang
sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi 43.605 orang. Jumlah ini
menempatkan Puskesmas Binamu Kota sebagai Puskesmas dengan jumlah
kunjungan terbesar di Kabupaten Jeneponto. Sedangkan jumlah perawat untuk
Puskesmas Binamu Kota pada tahun 2012 tercatat terdapat 27 tenaga perawat
yang terbagi atas 8 tenaga PNS dan 19 tenaga non PNS (Data Primer PKM
Binamu Kota 2013).
Tingginya angka kunjungan setiap tahun dan masih minimnya jumlah
perawat adalah sebuah daya tarik bagi penulis untuk melakukan penelitian di
Puskesmas Binamu Kota terlebih lagi tidak adanya penilaian terhadap beban
kerja dan kinerja juga prestasi kerja perawat di wilayah kerja Puskesmas Binamu

Kota Kabupaten Jeneponto.
Berdasarkan

latar belakang tersebut di atas dengan angka jumlah

kunjungan yang setiap tahun meningkat, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian apakah ada “Hubungan Beban Kerja dan Kinerja Terhadap
Prestasi Kerja Perawat di Puskesmas Binamu Kota Kabupaten Jeneponto”.

A. Rumusan Masalah

6

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
Apakah ada “Hubungan beban kerja dan kinerja terhadap prestasi kerja perawat
di puskesmas Binamu Kota Kabupaten Jeneponto”.
B. Tujuan Penelitian
1.


Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan beban kerja dan kinerja terhadap prestasi kerja
perawat di Puskesmas Binamu Kota Kabupaten Jeneponto.

2.

Tujuan Khusus
a.

Diketahuinya hubungan beban kerja perawat dengan prestasi kerja
perawat di Puskesmas Binamu Kota Kabupaten Jeneponto.

b.

Diketahuinya hubungan kinerja dengan prestasi kerja perawat di
puskesmas Binamu Kota Kabupaten Jeneponto.

C. Manfaat Penelitan
1.


Manfaat Ilmiah
Sebagai bahan bacaan dan referensi bagi peneliti selanjutnya dan
mahasiswa.Sebagai bahan kajian ilmiah yang dapat dikembangkan lebih
lanjut.

2.

Manfaat bagi Institusi
Penelitian ini merupakan salah satu sumber informasi dan masukan bagi
Puskesmas Binamu Kota dan penelitian ini diharapkan akan memperbanyak
Ilmu keperawatan Khususnya tentang manajemen keperawatan dan menjadi
7

bahan masukan untuk penelitian dalam hal ini beban kerja dan kinerja
terhadap prestasi kerja perawat di Kabupaten Jeneponto.
3.

Manfaat bagi Peneliti
Memperoleh gambaran nyata tentang hubungan beban kerja dan kinerja
terhadap prestasi kerja perawat yang dapat mempengaruhi perawat dalam
mengelola beban kerja agar tidak terjadi penurunan kinerja dan prestasi
kerja.

BAB II
8

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Beban Kerja Perawat
Beban kerja merupakan sejumlah tugas-tugas yang harus diselesaikan
dalam jangka waktu tertentu. Pengertian beban kerja adalah sekumpulan atau
sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau 5
pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu (Menpan, 1997).
Beban kerja merupakan sesuatu yang muncul dari interaksi antara
tuntutan tugas – tugas, lingkungan kerja dimana digunakan sebagai tempat kerja,
ketrampilan, perilaku dan persepsi dari pekerja. (Tarwaka,2010). Beban kerja
karyawan perlu diperhatikan agar tidak terjadi over yang dapat menimbulkan
stres dan dapat berakibat pada menurunnya kerja karyawan (Mudayana, 2012
dalam Yuckho V. R. Silanno).
Menurut Irwady (2007), beban kerja adalah frekuensi kegiatan rata – rata
dari masing – masing pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Beban kerja
meliputi beban kerja fisik, psikologis/mental dan waktu kerja.
1.

Aspek fisik yaitu meliputi tugas – tugas yang dijalankan berdasarkan fungsi
utamanya, jumlah pasien yang harus dirawat dibandingkan dengan jumlah
perawat dan tugas – tugas tambahan.

9

2.

Aspek psikologis yang berkaitan dengan hubungan perawat dengan perawat
lain, atasan dan dengan pasien.

3.

Aspek waktu yang digunakan untuk mengerjakan tugasnya sesuai dengan
jam kerja yang berlangsung setiap hari.
Akibat beban kerja yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu

lemah dapat mengakibatkan seorang perawat menderita gangguan atau penyakit
akibat kerja. Beban kerja berkaitan erat dengan produktifitas tenaga kesehatan,
dimana 53,2% waktu yang benar – benar produktif yang digunakan untuk
pelayanan kesehatan langsung dan sisanya 39,9% digunakan untuk kegiatan
penunjang ( Irwady, 2007 ).
Pengelolaan tenaga kerja yang tidak direncanakan dengan baik dapat
menyebabkan keluhan yang subyektif, beban kerja semakin berat, tidak efektif
dan tidak efisien yang memungkinkan ketidakpuasan bekerja yang pada akhirnya
mengakibatkan turunnya kinerja dan produktivitas serta mutu pelayanan yang
merosot (Bina Diknakes, 2008).
Kelebihan beban kerja (beban kerja berat) yang dirasakan oleh perawat
meliputi (French dan Caplan, 1973) :
1) Harus melaksanakan observasi pasien secara ketat selama jam kerja.
2) Terlalu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan
keselamatan pasien.

10

3) Beragamnya jenis pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan
keselamatan pasien.
4) Kontak langsung perawat klien secara terus menerus selama 24 jam.
5) Kurangnya tenaga perawat dibanding jumlah pasien.
6) Pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki tidak mampu mengimbangi
sulitnya pekerjaan.
7) Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas.
8) Tuntutan keluarga untuk keselamatan dan kesehatan pasien.
9) Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat.
10) Tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan keperawatan klien
di ruangan.
11) Menghadapi pasien dengan karakteristik tidak berdaya, koma dan kondisi
terminal.
12) Setiap sat melaksanakan tugas delegasi dari dokter (memberikan obat-obatan
secara intensif).
13) Tindakan untuk selalu menyelamatkan pasien.
Prestasi suatu organisasi atau perusahaan yang buruk dapat dengan mudah
terjadinya penghentian tenaga kerja yang besar-besaran ataupun menyebabkan
diperlukannya banyak sekali waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan (Tulus,
1996;48).

11

Salah satu cara untuk mengurangi beban kerja perawat yang terlalu tinggi
adalah dengan menyediakan tenaga kerja yang cukup baik kuantitas maupun
kualitasnya sesuai dengan tuntutan kerja. Semakin banyak pasien yang ditangani
seorang perawat selama periode waktu tertentu, maka semakin berat/ besar beban
kerja perawat tersebut (Gilles, 1996; 278). Pelayanan keperawatan yang bermutu
dapat dicapai salah satunya tergantung pada seimbangnya antara jumlah tenaga
perawat dengan beban kerjanya di suatu rumah sakit.
Pada tenaga keperawatan beban kerja dipengaruhi oleh fungsinya untuk
melaksanakan asuhan keperawatan serta kapasitasnya untuk melakukan fungsi
tersebut. Beban kerja seorang perawat dapat dihitung dari waktu efektif yang
digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi bebannya. Sehingga
dalam kapasitasnya sebagai perawat yang melaksanakan tugas dan fungsi asuhan
keperawatan serta waktu yang telah digunakan ( Depkes RI, 2007).
Tenaga kesehatan khususnya perawat, dimana analisa beban kerjanya
dapat dilihat dari aspek-aspek seperti tugas-tugas yang dijalankan berdasarkan
fungsi utamanya, begitupun tugas tambahan yang dikerjakan, jumlah pasien yang
harus dirawat, kapasitas kerjanya sesuai dengan pendidikan yang ia peroleh,
waktu kerja yang digunakan untuk mengerjakan tugsanya sesuai dengan jam
kerja yang berlangsung setiap hari, serta kelengkapan fasilitas yang dapat
membantu perawat menyelesaikan kerjanya dengan baik (Irwandy, 2006-dalam
Batuah Nurnaningsi 2012).
12

Beban kerja yang dimiliki seseorang dapat memberi pengaruh terhadap
kemampuan kerja yang dilaksanakan, dimana hal ini berhubungan dengan
maksimalisasi hasil kerja demi memberikan kepuasan dan kualitas dari pekerjaan
tersebut.
Selain itu, beban kerja yang berlebihan dapat pula mengganggu
penampilan kerja dari seorang perawat yang akhirnya berdampak positif kepada
kinerja perawat tersebut serta secara otomatis juga mempengaruhi kualitas dan
kuantitas kerjanya. Miasalnya, pemberian tugas tambahan yang tidak sesuai
dengan kemampuan perawat seperti jumlah pasien yang harus di rawat,waktu
kerja dan lain-lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja antara lain pekerjaan dan
lama kerja. Uraian pekerjaan yang dihasilkan oleh analisis pekerjaan dapat
memberikan informasi tentang beban kerja setiap unit kerja, namun pekerjaan ini
berisi tentang tugas yang dilakukan sebagai seorang tenaga kesehatan baik tugas
pokok maupun tugas tambahan ( Bina Diknakes, 2008).
i. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Beban Kerja
Beban kerja dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Menurut Manuaba (2000), faktor – faktor yang mempengaruhi beban
kerja antara lain :
a. Faktor eksternal, yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti:

13

1. Tugas – tugas yang bersifat fisik, seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat
kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, dan tugas – tugas
yang bersifat psikologis, seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat
kesulitan, tanggung jawab pekerjaan.
2. Organisasi kerja, seperti lainnya waktu bekerja, waktu istirahat, shift
kerja, kerja malam, system pengupahan, model struktur organisasi,
pelimpahan tugas dan wewenang.
3. Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi,
lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis.
b. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri
akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Faktor internal meliputi faktor
somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, dan kondisi
kesehatan) dan faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan
dan kepuasan).
Menurut Swanburg C. R. (1993), dikatakan bahwa secara nasional
kekurangan tenaga perawat sekitar 100.000 perawat rumah sakit. Dalam
hal yang bersamaan terjadi peningkatan usia harapan hidup lebih dari 65
tahun, yang merupakan konsumen utama pelayanan keperawatan. Tenaga
keperawatan menurun pada saat kebutuhan konsumen/ klien meningkat,
sehingga beban kerja perawat semakin meningkat. Faktor lain yang
mempengaruhi beban kerja disamping faktor jumlah tenaga dan jumlah
14

konsumen/ klien, adalah faktor ketrampilan majemen perawat/ pengalaman
kerja perawat dan faktor tingkat pendidikan perawat (Samba S., 2000;6668).

ii. Jenis Beban Kerja
Beban kerja meliputi 2 jenis, sebagaimana dikemukakan oleh Munandar
(2001) ada 2 jenis beban kerja, yaitu :
1. Beban kerja kuantitatif, meliputi :
a. Harus melaksanakan observasi pasien secara ketat selama jam kerja.
b. Banyaknya pekerjaan dan beragamnya pekerjaan yang harus dikerjakan.
c. Kontak langsung perawat pasien secara terus menerus selama jam kerja.
d. Rasio perawat dan pasien.
2. Beban kerja kualitatif, meliputi :
a. Pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki perawat tidak mampu
mengimbangi sulitnya pekerjaan di rumah sakit.
b. Tanggung jawab yang tinggi terhadap asuhan keperawatan pasien kritis.
c. Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas.
d. Tuntutan keluarga pasien terhadap keselamatan pasien.
e. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat.
f. Tugas memberikan obat secara intensif.
g. Menghadapi pasien dengan karakteristik tidak berdaya,koma dan
kondisi terminal.
15

iii. Dampak Beban Kerja
Beban kerja yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan stress kerja baik
fisik maupun psikis dan reaksi – reaksi emosional, seperti sakit kepala,
gangguan pencernaan dan mudah marah. Sedangkan pada beban kerja yang
terlalu sedikit dimana pekerjaan yang dilakukan karena pengulangan gerak
yang menimbulkan kebosanan. Kebosanan dalam kerja rutin sehari – hari
karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya
perhatian pada pekerjaan, sehingga secara potensial membahayakan pekerja
(Manuaba, 2000).
iv. Pengukuran Beban Kerja
Untuk mengetahui beban kerja, suatu pekerjaan dapat dilakukan
pengukuran kerja. Pengukuran beban kerja adalah penerapan tehnik yang
dirancang untuk menetapkan bagi seorang pekerja yang memenuhi syarat untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. Pendekatan – pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengukur beban kerja perawat antara lain :
a. Work sampling
Teknik ini melihat beban kerja personil pada suatu unit, bidang ataupun jenis
tenaga kerja tertentu. Pada pengamatan dengan pendekatan work sampling
dapat diamati :
1) Aktivitas apa yang sedang dilakukan dengan fungsi dan tugas pada waktu
jam kerja.

16

2) Apakah aktivitas personil berkaitan dengan fungsi dan tugas pada waktu
jam kerja.
3) Proporsi waktu kerja untuk kegiatan produktif/kegiatan langsung atau
tidak produktif/kegiatan tidak langsung.
4) Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja.
Pada work sampling yang menjadi pengamatan adalah aktivitas
keperawatan yang dilaksanakan perawat dalam menjalankan tugasnya sehari –
hari di ruang kerjanya.
Langkah – langkah pengamatan beban kerja dengan metode work sampling
yaitu :
1. Ditentukan personil yang akan diteliti.
2. Bila jenis personil jumlahnya banyak dilakukan pemilihan sampel sebagai
subyek yang akan diamati.
3. Membuat fomulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan
sebagai kegiatan produktif atau tidak produktif dapat juga kegiatan
langsung atau tidak langsung.
4. Pengamatan kegiatan perawat dilakukan dengan interval 2 – 15 menit atau
tergantung kebutuhan peneliti, makin pendek jarak waktu pengamatan
makin banyak sampel pengamatan yang bisa diamati oleh peneliti. Personil
yang diamati tidaklah penting tetapi apa yang dikerjakan yang jadi
pengamatan.
b. Time And Motion Studies
17

Pada teknik ini peneliti mengamati dengan cermat tentang kegiatan
yang dilakukan oleh personil yang sedang diamati. Pelaksana pengamatan
untuk pengambilan data ini haruslah seorang yang mengetahui secara benar
tentang kompetensi dan fungsi. Pengamatan dapat dilakukan secara shift dan
pengamatan bisa dihentikan bila pengamatan telah memenuhi standar
kompetensi penelitian.
Menurut Barry Rander 1991 time study atau studi waktu adalah sebuah
metode pengukuran waktu kerja dari suatu sampel penelitian kerja, para
pekerja dan penggunaannya untuk menetapkan standar waktu kerja. Langkah
– langkahnya :
1. Mengidentifikasi jenis – jenis pekerjaan yang diamati.
2. Membagi jenis – jenis kegiatan yang akan diamati ke dalam elemen
elemen kerja.
3. Masing – masing elemen kerja harus mempunyai titik awal dan titik akhir
yang pasti untuk memudahkan pengukuran.
4. Menentukan berapa kali pengukuran atau pengamatan akan dilakukan
terhadap elemen – elemen kerja tersebut (berapa sampel yang diperlukan)
5. Mengamati dan mengukur waktu tiap elemen kerja dari titik akhir
sebanyak sampel yang telah ditentukan dan mencatat hasil pengukuran
tersebut.
6. Menghitung jumlah waktu untuk pekerjaan yang diamati.
c. Pencatatan kegiatan sendiri ( daily log)
18

Merupakan bentuk sederhana dari work sampling dimana orang yang
diteliti menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang akan digunakan untuk
suatu kegiatan. Penggunaan teknik ini sangat bergantung terhadap kerjasama
dan kejujuran dari personil yang sedang diteliti. Peneliti biasanya membuat
pedoman dan formulir isian yang dapat dipelajari dan diisi sendiri oleh
subyek personil yang diteliti. Sebelum dilakukan penelitian perlu diberi
penjelasan dan cara pengisian formulir. Dengan menggunakan formulir
kegiatan dapat dicatat jenis kegiatan, waktu dan lamanya kegiatan dilakukan.
Kegiatan mulai masuk kerja sampai pulang, pencatatan dilakukan oleh
informan sendiri.
Hasil analisis dapat digunakan untuk pola beban kerja, kapan beban
kerja tinggi, apa jenis kerjaan yang membutuhkan waktu banyak, sangat
membutuhkan kerjasama karyawan yang diteliti untuk menghasilkan
perhitungan yang baik. Lama waktu mengerjakan setiap jenis pekerjaan juga
penting untuk melihat beban kerja perlu waktu dan jumlah produksi, karena
produktivitas dapat diukur dengan jumlah produksi dibagi dengan waktu
( Ilyas, Yaslis. Perencanaan Sumber Daya manusia Rumah Sakit. UGM ).
v. Penilaian Beban Kerja
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (2008),
pengukuran beban kerja adalah teknik mendapatkan informasi tentang efisiensi
dan efektivitas kerja unit organisasi atau pemegang jabatan yang dilakukan
secara sistematis dengan menggunakan teknik analisis jabatan atau teknik
19

analisis beban kerja. Analisis beban kerja adalah proses untuk menetapkan
jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam
waktu tertentu ( Permenpan, 2008. Reformasi Birokrasi ).
Analisis beban kerja merupakan salah satu cara dalam perencanaan
kebutuhan sumber daya manusia (Kepmenkes 81, 2004). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta Pelaksanaan
Perencanaan Tenaga Kerja, disebutkan bahwa dalam perencanaan tenaga kerja
baik mikro mau pun makro dihitung berdasarkan beban kerja yang kemudian
dituangkan dalam rencana tenaga kerja yang disusun dalam jangka waktu lima
tahun. Setiap tahunnya dilakukan penilaian untuk menyesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan dari masing – masing lembaga atau pun perusahaan.
Hasil dari perhitungan analisis beban kerja sangat bermanfaat sebagai alat ukur
terhadap kebutuhan sumber daya manusia dalam norma waktu penyelesaian
kerja, tingkat efisiensi kerja, prestasi kerja, penyusunan formasi pegawai, dan
penyempurnaan sistem prosedur kerja ( Kemenkes, 2013b).
Metode perencanaan SDM dalam Kepmenkes No. 81 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Perencanaan SDM Kesehatan di Tingkat Provinsi,
Kabupaten /Kota serta Rumah Sakit, disebutkan bahwa salah satu metode
dalam perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan di institusi adalah dengan
menghitung beban kerja menggunakan metode Workload Indicator of Staffing
Need (WISN). Metode WISN memiliki kelebihan yaitu mudah digunakan baik
20

secara teknis, komprehensif, realistis, serta memberikan kemudahan dalam
menentukan variasi kebutuhan SDM dalam berbagai tipe layanan kesehatan
seperti puskesmas maupun rumah sakit (WHO, 2010). Kelengkapan data
sekunder merupakan salah satu kunci keberhasilan dari penerapan metode
WISN ini (WHO, 2010).
Langkah kerja dalam metode WISN sesuai dengan pedoman WHO tahun
2010.
1. Menentukan prioritas jenis tenaga kesehatan dan tipe fasilitas kesehatan.
2. Memperkirakan waktu kerja yang tersedia.
3. Mendefinisikan komponen – komponen beban kerja.
4. Menentukan standar aktivitas.
5. Menentukan standar beban kerja.
6. Menghitung faktor kelonggaran.
7. Menetapkan kebutuhan tenaga berdasarkan WISN.
8. Analisis dan interpretasi hasil WISN.
Analisis hasil WISN terdiri dari perbedaan antara tenaga yang ada dengan
tenaga yang diperlukan dan penghitungan rasio WISN. Rasio WISN adalah
pengukuran terhadap tekanan beban kerja sehari – hari dari tenaga kesehatan.
Menguji kedua hal antara gap dan juga rasio WISN adalah sangat penting
dalam menentukan bagaimana cara dalam pengembangan tenaga kesehatan
secara wajar (WHO, 2010).

21

Perhitungan jumlah tenaga dilakukan dengan memasukkan data primer
yaitu jumlah waktu setiap pola kegiatan dan data sekunder ke dalam rumus
Workload Indicator of Staffing Need (WISN). Langkah - langkah yang
dilakukan adalah :
Kategori
Tenaga
Kesehata
n

Jumlah
Minggu Dalam
Setahun

Jumlah Hari
Kerja dalam
Seminggu

A

52

6

B

52

6

1.

Jumlah Hari Kerja
yang mungkin dalam
setahun
52 minggu x 6 hari per
minggu
52 minggu x 5 hari per
minggu

Menetapkan waktu kerja tersedia, dengan rumus :
Waktu Kerja Tersedia = A-(B+C+D+E) X F, dimana
A = Hari kerja yang mungkin dalam setahun
B = Cuti Tahunan
C = Pendidikan pelatihan sesuai dengan aturan rumah sakit
D = Hari Libur Nasional
E = Ketidakhadiran kerja karena sakit, izin dan lain sebagainya
F = Waktu kerja dalam satu hari

2.

Menetapkan unit kerja dan kategori SDM, dalam hal ini unit kerja.

3.

Menyusun standar beban kerja
Standar beban kerja diperoleh dengan membagi waktu kerja tersedia dalam
satu tahun dengan rata – rata waktu penyelesaian setiap unit kegiatan
pokok. Waktu penyelesaian setiap unit kegiatan pokok adalah rata – rata
22

jumlah waktu setiap kegiatan pokok (produktif langsung dan tidak
langsung) dalam satu hari dibagi dengan rata – rata jumlah kegiatan pokok
dalam satu hari kerja.
Standar Beban Kerja=
4.

Waktu Kerja Tersedia
Rata−rataWaktu Per−Kegiatan Pokok

Menyusun standar kelonggaran
Standar kelonggaran diperoleh dari jumlah waktu kegiatan produktif lain
dan kegiatan lain di luar kegiatan yang berhasil diamati.
Standar Kelonggaran=

5.

Jumlah rata−rata waktu Per−Faktor Kelonggaran
Waktu Kerja Tersedia

Perhitungan kebutuhan tenaga dengan rumus :
Kebutu h an SDM =

Kuantitas Kegiatan Pokok
Standar Beban Kerja

+ Standar Kelonggaran

Jika rasio WISN = 1 artinya SDM cukup dan sesuai beban kerja
berdasarkan SOP yang telah ditetapkan.
Jika rasio WISN < 1 artinya SDM yang ada belum cukup dan belum
sesuai beban kerja. Misal tenaga yang ada 6 sedangkan yang dibutuhkan
adalah 8 maka 6/8 = 0.75 atau 75% tenaga yang tercapai.
Jika rasio WISN > 1 maka SDM berlebihan.
vi. Tinjauan Umum Tentang Waktu Kerja
Waktu kerja lebih mempertimbangkan pada aspek penggunaan waktu
untuk bekerja, yaitu sebagai alokasi penggunaan waktu guna peningkatan

23

pelayanan keperawatan terhadap pasien. Waktu kerja berkaitan dengan waktu
yang digunakan untuk mengerjakan tugasnya sesuai dengan jam kerja yang
berlangsung setiap hari (Irwady, 2007). Waktu kerja seseorang menentukan
efisiensi dan produktifitasnya. Memperpanjang waktu kerja lebih dari
kemampuan dan tidak disertai efisiensi yang tinggi biasanya memperlihatkan
penurunan produktifitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan,
penyakit dan kecelakaan. Yang dimaksud dengan waktu kerja dalam observasi
ini adalah jumlah jam kerja produktif yang digunakan oleh perawat untuk
mengerjakan tugas utamanya sesuai dengan uraian tugas perawat, maupun tugas
– tugas tambahan yang dikerjakannya yang tidak tercantum dalam uraian tugas
perawat.
Waktu kerja yang dikeluarkan oleh Depkes RI yaitu waktu kerja normal
per hari adalah 8 jam ( 5 hari kerja ), jadi waktu kerja yang efektif untuk tiap
pegawai adalah 6,4 jam per hari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa beban
kerja standar pegawai adalah 80 % - 100 % dari waktu kerja normal atau 6,4 –
8 jam/hari.

B. Tinjauan Umum Tentang Manajemen Kinerja
i. Definisi Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja merupakan manajemen yang berfokus pada hal-hal
yang yang diperlukan oleh organisasi, manajer dan pekerja untuk berhasil .
Kinerja berasal dari pengertian performance. Ada pula yang memberikan
24

pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun,
sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil
kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung (Wibowo,
2012).
Bacal

(2004)

memandang

manajemen

kinerja

sebagai

proses

komunikasi yang dilakukan secara terus menerus dalam kemitraan antara
karyawan dengan atasan langsungnya . Proses komunikasi ini
kegiatan membangun harapan yang jelas

meliptui

serta pemahaman mengenai

pekerjaan yang dilakukan[ CITATION Bac04 \l 1033 ]. Berbeda dengan Bacal
yang menekankan pada proses komunikasi, Amstrong (2004) lebih melihat
manajemen kinerja sebagai sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih baik
dari organisasi, tim dan individu dengan cara memahami dan mengelola
kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar dan persyaratan atribut yang
disepakati. Menurut Amstrong (2004) manajemen kinerja diartikan “ an HRM
process concerned with getting the best performance from individuals in an
organization , as well as getting the best performance from teams and the
organization as a whole”.

Manajemen kinerja juga dapat didefinisikan

sebagai sebuah proses menetapkan tujuan dan mengukur performance untuk
mencapai tujuan tersebut (Australian Government, 2012).
ii. Manfaat Manajemen Kinerja
Manajemen memberikan manfaat bukan hanya bagi organisasi, tetapi
juga manajer dan individu. Manajemen kinerja secara umum memberikan
25

manfaat antara lain dalam mempertahankan karyawan yang terbaik,
memberikan dasar/alasan bagi pekerja dalam menjaga dan meningkatkan
performance mereka, menurunkan performa karyawan yang buruk dan
meningkatkan skill dan produktifitas pekerja (Australian Government, 2012).
Menurut Wibowo, 2012 manfaat manajemen kinerja bagi organisasi
antara lain untuk menyesuaikan tujuan organisasi dengan tujuan tim dan
individu, memperbaiki kinerja, memotivasi pekerja meningkatkan komitmen,
mendukung nilai-nilai inti, memperbaiki proses pelatihan dan pengembangan,
meningkatkan

dasar

keterampilan,

mengusahakan

perbaikan

dan

pengembangan berkelanjutan, mengusahakan basis perencanaan karier,
membantu menahan pekerja terampil untuk tidak pindah, mendukung inisiatif
kualitas total dan pelayanan pelanggan serta mendukung program perubahan
budaya. Sementara itu, manfaat manajemen kinerja bagi individu antara lain
untuk memperjelas peran dan tujuan, mendorong dan mendukung untuk
tampil baik, membantu mengembangkan kemampuan dan kinerja, peluang
menggunakan waktu secara berkualitas, dasar objektifitas dan kejujuran untuk
mengukur kinerja, peluang menggunakan waktu secara berkualitas, dasar
objektifitas dan kejujuran untuk mengukur kinerja dan memformulasi tujuan
dan rencana perbaikan cara bekerja dikelola dan dijalankan (Wibowo, 2012).
iii. Sistem Pengukuran Kinerja
Tambahan tanggung jawab pengendalian yang dimiliki manajer adalah
menentukan seberapa baik pegawai menjalankan tugas yang diberikan
26

kepadanya. Hal ini dilakukan dengan penilaian kinerja [ CITATION Bes03 \l
1033 ]. Pengukuran terhadap kinerja perlu dilakukan untuk mengetahui pakah
selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang telah
ditentukan, atau apakah kinerja dapat dilakukan sesuai jadwal waktu yang
ditentukan, atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan yang
diharapkan (Wibowo, 2012).
Pengertian penilaian kinerja menurut Siagian (2004) merupakan
pengukuran dan perbandingan hasil-hasil kinerja nyata dengan hasil-hasil
yang diharapkan akan tercapai. Sony Yuwono (2004) menyimpulkan bahwa
penilaian kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap
berbagai aktivitas dalam rentan nilai yang ada dalam perusahaan. Hasil
pengukuran tersebut kemudian dilakukan sebagai umpan balik yang akan
memberikan prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dalam perusahaan
yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan
pengendalian. Tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi
karyawan dalam mencapai tujuan atau sasaran organisasi dan dalam mematuhi
perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya (yang berupa kebijakan atau
rencana formal yang dituangkan dalam anggaran) agar membuahkan tindakan
dan hasil yang diinginkan.
iv. Tipe Ukuran Kinerja

27

Terdapat

beberapa

macam

pengklasifikasian

dalam

mengukur

kinerja/performance. Menurut Mulyadi (2001) terdapat tiga ukuran yang
dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara kuantitatif :
a.

Ukuran Kriteria Tunggal (Single Criteria) . Ukuran kriteria tunggal
adalah ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran dalam

b.

menilai kinerja.
Ukuran Kriteria Beragam (Multiple Criteria) . Ukuran kriteria beragam
adalah ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk

c.

menilai kinerja sebuah perusahaan.
Ukuran Kriteria Gabungan (Composite Criteria) . Adalah ukuran kinerja
yang menggunakan berbagai macam ukuran, memperhitungkan bobot
masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran
menyeluruh kinerja perusahaan.
Terdapat beberapa macam pengklasifikasian pengukuran

kinerja,

Sebaiknya dipakai sebagai alat yang bersifat saling melengkapi, berikut
adalah beberapa sistem pengklasifikasian (Wibowo, 2012):
a. Sifat Ukuran
Tipe pengukuran dapat diklasifikasi menurut sifatnya menjadi langsung
dan tidak langsung, dan menurut caranya menjadi subjektif dan objektif.
(William Werther, 1996).
 Pengukuran Langsung-Tidak Langsung.
Pengukuran secara langsung atau tidak langsung dilakukan melalui
observasi. Observasi langsung terjadi apabila pengukur benar-benar

28

melihat kinerja. Observasi tidak langsung dilakukan apabila supervisor
tidak berhadapan langsung dengan karyawan.
 Pengukuran Objektif-Subjektif
Pengukuran kinerja secara objektif merupakan indikator prestasi kerja
yang dapat diperiksa oleh orang lain dan biasanya bersifat kuantitatif;
Pengukuran kinerja yang subjektif merating berdasar standar pribadi
atau pendapat dari yang melakukan evaluasi dan tidak dapat dikoreksi
oleh lainnya.
b. Lingkup Ukuran
Mastrong dan Baron (2009) membagi tipe ukuran kinerja berdasarkan pada
lingkup penggunaannya, dalam lingkup individual, tim dan organisasional.
 Ukuran Individual
Ukuran kinerja individu berhubungan dengan akuntabilitas dan
ditetapkan dalam kriteria kuantitas, kualitas, produktifitas, ketetapan
waktu dan efektifitas biaya. Dengan demikian, ukuran kinerja individual
sangat bervariasi menurut pekerjaan dan tanggung jawabnya.
 Ukuran Tim
Ukuran kinerja tim dapat menghubungkan dengan output, proses tim,
hubungan tim dengan pelanggan, standar kualitas, kecepatan respons
atau waktu pengiriman, manajemen proyek, hasil keuangan dan
pengawasan biaya.
 Ukuran Organisasional
Terdapat empat pendekatan berbeda yang dapat dipakai untuk mengukur
kinerja organisasi, antara lain :
1. A Balance Scorecard

29

A balanced Score card merupakan serangkaian ukuran yang memberi
manajer puncak pandangan bisnis yang cepat tetapi komprehensif.
Manajer harus melihat bisnis dalam empat perspektif yaitu customer
perspectives,

internal

perspectives,

innovation

and

learning

perspectives dan financial perspectives.
2. The European Foundation for Quality management.
Terdapat Sembilan

elemen yang dipakai dalam model ini yakni

kepemimpinan, kebijakan dan strategi, manajemen sumber daya.
3. Economic Value Added dan Traditional Financial Measures
c. Sistem Ukuran
Lawson (2005) menyarankan ada tiga yang dapat dipergunakan untuk
mengukur kinerja yaitu rating system, ranking system dan narrative system
dengan deskripsi sebagai berikut :
1. Rating System. Metode ini menyangkut penggunaan rating scale untuk
masing-masing bagian penting dari pekerjaan bawahan. Masing-masing
bagian diberi skor, sering dalam skala, biasanya antara 1 sampai dengan
5, atau sesuai kebutuhan masing-masing organisasi. Skor yang diberikan
memerlukan definisi tertentu yang menunjukkan karakteristik kinerja,
apakah kinerjanya buruk atau tidak memuaskan, marginal, rata-rata atau
cukup, baik, atau unggul. Misalnya karakteristik kinerja buruk atau tidak
memuaskan dapat berupa : (1) secara berulang membuat kesalahan yang
sama atau sangat mirip, (2) perlu pengawasan secara konstan, (3) tidak

30

dapat mengikuti penjelasan singkat atau instruksi jelas lainnya, (4) tidak
dapat melihat kesalahan sendiri, (5) mempunyai hubungan buruk dengan
rekan, (6) mempunyai kehadiran buruk atau catatan terputus-putus.
2. Ranking System. Apabila rating menciptakan gambaran yang jelas
kinerja pekerja individual, ranking menciptakan perbandingan langsung
kinerja diantara lebih dari satu pekerja dalam posisi yang sama. Ranking
menunjukkan pekerja yang mana yang paling berhasil secara
keseluruhan dalam tugas-tugas penting.
3. Narrative System. Narrative umumnya menjadi bagian dari review
kinerja. Ini merupakan gaya esai deskriptif memperinci kinerja
individual. Sistem ini dipergunakan karena memberikan kesempatan
untuk mengurangi sifat baku dari formulir penilaian dan bekerja terbaik
ketika dipertimbangkan sebagai pelengkap terhadap ranking atau rating.
d. Tujuan Ukuran
Ukuran kinerja ditentukan oleh tujuannya. Harbour (1997) memberikan
tipe ukuran lebih mendasarkan pada tujuan dari penggunaan kinerja, yaitu
sebagai berikut :
 Baseline Performance Measures
Baseline performance measures merupakan alat ukur yang paling
penting karena menjadi dasar dan awal bagi ukuran lainnya.
Menciptakan baseline untuk kinerja sekarang berarti membentuk dasar
untuk ukuran kinerja berikutnya.

 Trending Performances Measures
Trending
performance
measures

menunjukkan

bagaimana

kecenderungan kinerja sepanjang waktu, dengan ukuran baseline yang

31

telah ditentukan terlebih dahulu. Ukuran kinerja ini menunjukkan
kecenderungan selama periode waktu tertentu terhadap baseline, bisa
bersifat menaik maupun menurun secara bervariasi.
 Control Performance Measures
Control performance measures mengukur kondisi kinerja dibandingkan
dengan batasan atau toleransi yang telah ditentukan sebelumnya.
Control measures memberikan peringatan dini bahwa segala sesuatu
dimulai dari tingkat kinerja yang ditentukan sebelumnya atau
dibutuhkan.
 Diagnostic Performance Measures
Seringkali, masalah kinerja harus diidentifikasi melalui pengukuran
kinerja, meskipun sebenarnya kadang-kadang bahkan tidak dapat
mengidentifikasi apa yang salah dengan kinerja sampai dilakukan
pengukuran terhadap proses kinerja.
 Planning Performances Measures
Semua organisasi harus melakukan perencanaan, baik pada tingkat
mikro maupun makro. Merencanakan pengukuran kinerja merupakan
merupakan ukuran prediktif. Ukuran tersebut menjawab pertanyaan,
dengan informasi tertentu dan tingkat kinerja yang lalu, bagaimana
rencana untuk masa yang akan datang.
C. Tinjauan Umum Tentang Kinerja Perawat

Kinerja perawat adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang perawat
dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya masing-

32

masing, tidak melanggar hukum, aturan serta sesuai moral dan etika, dimana
kinerja yang baik dapat memberikan kepuasan pada pengguna jasa. Untuk
aktivitas seorang perawat adalah mengumpulkan data kesehatan mengenai
pasien, membuat diagnosis menurut ilmu keperawatan, menetapkan tujuan
keperawatan, melaksanakan keperawatan serta evaluasi terhadap perawatan
(Suryadi, 2009 dalam Nurul Azmi).
Menurut Gibson, et al, (1994) kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan
dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kinerja merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap
orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan
perannya dalam perusahaan. Dengan demikian kinerja adalah sebagai
pelaksanaan fungsi – fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan,
suatu prestasi, suatu pameran umum ketrampilan. Individu yang memiliki kinerja
yang tinggi umumnya berorientasi pada prestasi, memiliki kepercayaan diri,
berpengendalian diri, dan memiliki kompetensi (Nursalam, 2014).
Mangkunegara (2000) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
kinerja adalah: faktor kemampuan potensi dan realita dan faktor motivasi.
Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability motivasi
motivation dan kesempatan oportunity (Robbins:2006). Menurut Robert L.
Mathis dan John H. Jackson (2001: 82) faktor – faktor yang mempengaruhi
kinerja individu tenaga kerja, yaitu : kemampuan, motivasi, dukungan yang

33

diterima, keberadaan pekerjaan yang dilakukan, dan hubungan dengan organisasi
(Timbul Sinaga, 2013).
Menurut Supriyanto dan Ratna (2007) kinerja adalah efforts (upaya atau
aktivitas) ditambah achievments (hasil kerja atau pencapaian hasil upaya).
Jadi kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan ( achievment )
suatu program kegiatan perencanaan strategis dan operasional organisasi (efforts)
oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi baik secara kuantitas
dan kualitas, sesuai dengan kewenangan dan tugas tanggung jawabnya, legal dan
tidak melanggar hukum, etika dan moral. Kinerja sendiri merupakan penjabaran
visi, misi, tujuan dan strategi organisasi (Nursalam 2014 : 120).
Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam satu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab masing – masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai moral maupun etika. Kinerja
merupakan penampilan hasil karya personel baik kualitas maupun kuantitas
dalam suatu organisasi. Kepuasan kerja sebagai sikap umum individual terhadap
pekerjaannya. Kinerja adalah upaya (aktivitas) ditambah hasil kerja (Supriyatno
dan Ratna, 2007 dalam Nursalam, 2014).
Menurut Gibson (1997), ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja,
yaitu :
1.

Faktor individu : kemampuan , ketrampilan, latar belakang keluarga,
pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang.
34

2.

Faktor psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribasian, motivasi dan

3.

kepuasan kerja.
Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan,
sistem penghargaan (reward system).
Faktor yang mempengaruhi kinerja ini sesuai dengan konsep kinerja

(Robbins, 2002). Faktor kemampuan ( ability) dan faktor motivasi (motivation)
adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.

Human Performance = ability + motivation.
Motivation = attitude + situation.
Ability = knowledge + skill.
Selanjutnya Robbins (2002) mengemukakan bahwa : Kinerja karyawan

(employee Performance) adalah tingkat dimana karyawan mencapai persyaratan
– persyaratan pekerjaan. Penilaian kinerja (Performance Apraisal) adalah proses
yang mengukur kinerja karyawan. Penilaian kinerja berkenaan dengan seberapa
baik seseorang melakukan pekerjaan yang ditugaskan atau yang diberikan.
Program penilaian karyawan yang dianut oleh perusahaan, dapat menimbulkan
kepercayaan moral yang baik dari karyawan bahwa mereka akan menerima
imbalan sesuai dengan prestsi yang dicapainya, akan merupakan rangsangan bagi
karyawan untuk memperbaiki prestasinya. Selanjutnya bila karyawan diberitahu
kelemahan – kelemahannya, maka dengan bantuan pimpinan mereka untuk
memperbaiki diri masing – masing. Penilaian karyawan dapat menimbulkan
loyalitas terhadap perusahaan bila pemimpin mengembangkan dan memajukan

35

karyawannya melalui pemberian sarana pendidikan khusus bagi karyawan yang
memerlukannya.
Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer
perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas. (Swanburg,
1987 dalam Nursalam 2007). Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara
efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan jasa
keperawatan dalam kualitas dan volume yang tinggi. Manajer perawat dapat
menggunakan

proses operasional kinerja untuk mengatur arah kerja dalam

memilih, melatih, membimbing perencanaan karier, serta memberi penghargaan
kepada perawat yang berkompeten.
Satu ukuran pengawasan yang digunakan oleh manajer perawat guna
mencapai hasil organisasi adalah sistem penilaian pelaksanaan kerja perawat.
Melalui evaluasi reguler dari setiap pelaksanaan kerja pegawai, manajer harus
dapat mencapai beberapa tujuan. Hal ini berguna untuk membantu kepuasan
perawat, memperbaiki pelaksanaan kerja, memberitahu mereka apabila
pelaksanaan kerja kurang memuaskan, mempromoskan jabatan dan kenaikan
gaji, mengenal pegawai yang memenuhi syarat penugasan khusus, memperbaiki
komunikasi antara atasan dan bawahan, serta menentukan pelatihan dasar untuk
pelatihan karyawan yang memerlukan bimbingan khusus (Nursalam, 2013).
Penilaian kinerja dalam keperawatan, atau penilaian kompetensi, adalah
evaluasi yang digunakan dalam sarana pelayanan kesehatan serta lembaga
pendidikan keperawatan. Review ini membantu menilai apakah seorang
36

mahasiswa atau karyawan yang melakukan tugas-tugas tertentu dengan benar dan
efisien. Evaluasi ini memungkinkan industri kesehatan dalam menilai
perkembangan[ CITATION Dun10 \l 1033 ]. Evaluasi kinerja perawat adalah
sebuah penilaian tertulis tentang performa perawat, yang juga lebih dikenal
dengan pencapaian kinerja/performance appraisal. Evaluasi biasanya dilakukan
secara teratur, yang mungkin triwulanan, semesteran, atau tahunan. Seorang
supervisor secara umum akan mengevaluasi kinerja karyawannya, dan review
kemudian akan diinterpretasikan oleh atasan atau manajer . Semua aspek
pekerjaan akan ditinjau, termasuk kebiasaan kerja dan etika. Ulasan kinerja
adalah prosedur umum digunakan oleh pengusaha dalam banyak profesi. Sebuah
evaluasi kinerja keperawatan biasanya akan didokumentasikan pada sebuah
form , yang biasanya akan tangan ditandatangani oleh penilai, serta perawat..
Kebiasaan kerja dan kinerja dapat dinilai dengan menggunakan sistem nomor.
Biasanya, "1" mungkin menjadi nilai terendah atau tidak memuaskan, dengan
"5" sebagai nilai kinerja tertinggi [ CITATION Pat13 \l 1033 ].
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan evaluasi
kinerja perawat untuk memperoleh hasil evaluasi secara optimal, antara lain
aspek-aspek yang akan dinilai, masalah yang dihadapi dalam penilaian (Agus
Kuntoro,2010).
1. Aspek yang dinilai

37

Evaluasi terhadap kinerja perawat dapat dilakukan dengan menilai berbagai
hal yang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan perawat, yaitu kualitas
pekerjaan yang diselesaikan, kuantitas pekerjaan, tanggung jawab dalam
melaksanakan pekerjaan dan inisiatif serta ketepatan dalam bekerja. Faktor
lain yang dapat dinilai adalah kecepatan dalam bekerja, perilaku selama
bekerja, tingkat kemandirian, hubungan dengan staff lain, kehadiran atau
pemanfaat waktu, dan keterampilan dalam bekerja
2. Pelaksana penilaian
Pelaksana penilaian pada umunya disesuaikan dengan kebutuhan penilaian.
Untuk mencapai hasil penilaian yang objektif,evaluasi kinerja terhadap
perawat dapat dilakukan oleh berbagai unsur yaitu, perawat sendiri, konsultan
penilaian kerja, dan dapat juga dilakukan oleh pasien atau keluarga pasien.
3. Masalah dalam penelitian
Dalam melakukan penilaian kinerja, perawat diperhadapkan pada berbagai
masalah, permasalahan yang dapat dijumpai dalam melaksanakan evaluasi
kinerja

terhadap perawat di

terdapatnya kekerasan atau kelonggaran,

kecenderungan ke pusat. Kelonggaran mungkin terjadi jika penilaian terlalu
mudah untuk dilaksanakan.
4. Metode penelitian

38

Beberapa metode yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian kinerja
perawat yaitu antara lain ; penilaian berorientasi masa lain yang dapat dibuang
dengan menggunakan metode penilaian kelompok. Adapun metode lain yang
dapat digunakan adalah melalui penilaian yang berorientasi masa depan yang
mencakup penilaian diri sendiri, penilaian psikologis, pendekatan MBO dan
penilaian Pusat.
5. Management by Objektives (MBO)
Management by objectives merupakan bahwa setiap tingkat organisasi
masing-masing pejabat atau pimpinan hendaknya menetapkan suatu tujuan
yang konkret sedemikian rupa sehingga tujuan tersebut mampu menunjang
tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan (Agus Kuntoro, 2010).
i. Tinjauan Tentang Disiplin Kerja
Disiplin dapat didefinisikan sebagai suatu pelatihan atau pembentukan
pikiran atau karakter untuk memperoleh perilaku yang diinginkan. Perilaku
disiplin karyawan merupakan sesuatu yang tidak muncul dengan sendirinya,