Isu Relevansi dalam Sosiologi Pendidikan

MAKALAH KELOMPOK
MATA KULIAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN
ISU RELEVANSI DALAM SOSIOLOGI PENDIDIKAN
(GLOBALISASI, TEKNOLOGI INFORMASI, DAN MINAT BACA)

DOSEN PENGAMPU
Prof. Dr. MUJIYONO WIRYOTINOYO.M.Pd
Prof. Dr. H. RAHMAT MURBOYONO,M.Pd.

OLEH
ANGGIA PRATIWI
P3A115008

PROGRAM STUDI DOKTOR KEPENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAMBI
2015
1

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr Wb.
Alhamdulillah, puji syukur kita haturkan kepada Allah Swt karena masih diberi
kesempatan dan kesehatan untuk menyusun makalah sederhana ini pada mata kuliah
Sosiologi Pendidikan. Makalah ini disusun untuk dipresentasikan pada mata kuliah Sosiologi
Pendidikan.. Tujuan penulisan makalah ini sebagai salah satu cara untuk memahami isu yang
relevan dalam sosiologi pendidikan. Dalam penulisan makalah ini penulis dapat banyak
hambatan, tetapi berkat dorongan dari berbagai pihak makalah ini dapat diselesaikan,
terutama dorongan dari rekan-rekan Angkatan 2015 Program Studi Doktor Kependidikan,
Universitas Jambi. Untuk itu, terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah banyak
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat dan berguna sebagai penambah ilmu dan bahan
perkuliahan. Demikian, terima kasih atas perhatianya.
Wassalamualaikum Wr Wb

Bangko, 7 November 2015
Penulis

Anggia Pratiwi

2


DAFTAR ISI

Cover …………………………………………………………………………………. 1
Kata Pengantar ……………………………………………………………………… 2
Daftar Isi …………………………………………………………………………….. 3
A. Pendahuluan ……………………………………………………………….……. 4
B. Pembahasan ………………………………………………………………….….. 5
1. Globalisasi …………………………………………………………….….. 5
2. Teknologi Informasi ………………………………………………….…... 7
3. Minat Baca …………………………………………………………….…. 9
C. Kesimpulan ……………………………………………………………………... 11
Referensi

Isu Relevansi dalam Sosiologi Pendidikan
3

(Globalisasi, Teknologi Informasi dan Minat Baca)
A. Pendahuluan
Penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama ini nyaris menjadi

agama semu merupakan suatu fenomena yang cukup menonjol di masa sekarang, oleh
sebagian ahli disebut juga sebagai masa “postmodernisme”. Masa ini ditandai krisis yang
mendalam pada berbagai aspek kehidupan. Pada saat yang sama, masyarakat diberondong
dan ditaklukkan oleh media massa; dunia menjadi kampung global. Globalisasi informasi dan
gaya hidup yang dibawa oleh media massa seringkali justru mengakibatkan semakin akutnya
anomali nilai-nilai, termasuk di dunia pendidikan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada awalnya dianggap sebagai solusi bagi masalah
hidup manusia, tapi perlahan-lahan keluar dari relnya. Meminjam ungkapan Komarudin
Hidayat, manusia modern cenderung terkena “syndrom midasisme”. Istilah “syndrom
midasisme” diambil dari mitologi Yunani, yaitu mitologi tentang seorang raja yang bernama
Midas, pergi bertapa memohon kekuatan yang luar biasa, supaya apa yang disentuhnya
menjadi emas, dan keinginannya itu dikabulkan oleh dewa. Namun yang terjadi kemudian
sungguh tragis, semua yang ia sentuh kemudian menjadi emas, tak terkecuali anak dan
istrinya. Tentunya kemudian hal itu menjadi tragedi jiwa paling rumit dan mengharu biru
yang diderita oleh Raja Midas, ia kemudian harus menjalani hidupnya dengan kondisi
kesepian dan kehampaan, tanpa ” cinta”.
Pangkal persoalan tersebut adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan khazanah
peradaban Barat tidak tumbuh dari suatu proses yang bersubstansikan iman dan nilai etis.
Akan tetapi justru tumbuh dari proses yang menjauhi nilai-nilai keimanan dan sekularistik.
Pada akhir abad 20 yang lalu, para cendikiawan sudah mulai merisaukan dampak dari

sains dan teknologi yang mulai menghancurkan nilai-nilai dan budaya tradisional. Akibat
budaya saintifikal-teknologikal, menurut Azra, yang dibawa oleh media produk kemajuan
teknologi telah munculnya semacam wabah mass culture (budaya massa) atau pop culture
(budaya pop), dengan berbagai perkembangan dan dan konsekuensi lanjutannya (1999:197).
Teknologi telah berhasil menipu persepsi masyarakat tentang realitas yang sebenarnya.
Pemberitaan media massa ada kalanya lebih mengandung muatan instruktif dan minim
content informatifnya, sehingga masyarakat cenderung menerimanya secara taken for
granted.
Peradaban manusia modern sangat “mengkultuskan” sains dan teknologi, sehingga sains
teknologi nyaris menjadi pseudo religion, dimana keduanya dianggap sebagai “juru selamat”
yang mampu membimbing manusia mencapai kebahagiaan. Tidak berlebihan jika George
4

Gerbner sebagaimana dikutip dari Rahmat, bahwa televisi yang merupakan hasil teknologi
telah menjadi agama masyarakat industri. Dampak paling besar pengaruh buruk dari sains
dan teknologi dirasakan di negara-negara berkembang (2004).
Sehingga banyak cendikiawan yang pesismistis melihat minat baca ketika dunia
pendidikan dihadapkan dengan kebudayaan digital. Ada yang melihat budaya digital menjadi
ancaman terbesar bagi dunia pendidikan. Satu diantara contoh pengaruh buruk dari sains dan
teknologi di bidang pendidikan adalah berkurangnya pemahaman seorang pendidik tentang

ruang kelas sebagai sistem sosial. Pendidik cenderung memanfaatkan media digital/internet
dalam proses pembelajaran dibandingkan berinteraksi langsung dengan peserta didik di
dalam kelas. Padahal dengan mengutamakan ruang kelas sebagai sistem sosial, hubungan
pendidik dengan peserta didik dengan status dan peran masing-masing membentuk suatu
jaringan hubungan yang berpola. Pola jaringan hubungan pendidik-peserta didik ini memberi
dampak pada perilaku, kompetensi, capital sosial-budaya dan keberhasilan peserta didik di
masa mendatang. Untuk itulah makalah sederhana ini akan mengupas masalah-masalah yang
sedang berkembang yang terkait dalam sosiologi pendidikan.
B. Pembahasan
1. Globalisasi
Bukan sebuah kearifan jika menuding ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satusatunya biang dari penyebab krisis kemanusiaan, karena krisis kemanusiaan disebabkan juga
oleh globalisasi. Secara sederhana globalisasi dapat dimaknai sebagai fenomena yang
membuat dunia menjadi desa global, dimana seka-sekat geografis semakin kabur dan nilainilai semakin melebur. Jika John Naisbitt dan Patricia Aburdene berpendapat bahwa
globalisasi punya kecenderungan kesamaan gaya hidup hanya berpengaruh dalam ranah:
food, fashion, dan fun, maka Rahmat (2004:71) cenderung punya pendapat yang berbeda,
menurutnya globalisasi telah merambah dan “mewabah” life style di seluruh dunia pada abad
XXI ini, meliputi: faith, fear, facts, fiction, dan formulation.
Perkembangan mutakhir menunjukkan masyarakat dunia telah mengalami perubahan
yang dibawa oleh arus globalisasi. Proses globalisasi ini turut memberi implikasi yang luar
biasa kepada dunia pendidikan yang sangat kompleks. Dampak yang dirasakan bukan saja

menyentuh wilayah etis umat manusia, tetapi juga masuk pada wilayah aktifitas ekonomi dan
industri, politik, informasi serta budaya. Dunia pendidikan tentunya yang paling merasakan
pengaruh globalisasi. Berdasarkan catatan sejarah, globalisasi pada saat ini bukanlah suatu
hal yang baru, globalisasi muncul seiring dengan imperialisme.
5

Imperialisme zaman industri bermetamorfosis dari penjajahan manusia atas manusia
melalui senjata menjadi penjajahan manusia atas manusia lainnya melalui akses informasi.
Dampak paling meresahkan dari globalisasi informasi, menurut Azra, yaitu ekspansi
imperialisme budaya Amerika (American cultural imperialisme). Imperialisme budaya
Amerika bukan hanya memporakporandakan sistem nilai negara-negara yang sedang
berkembang, tetapi juga meresahkan negara-negara maju lainnya. Sebab, media informasi ala
Amerika tidak hanya semata-mata informasi dan hiburan, tapi juga memasarkan nilai, sikap
dan gaya hidup. Akhir-akhir ini, yang lebih banyak terjadi di Indonesia adalah ekspansi
imperialisme budaya Korea.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gaya hidup (life style) merupakan salah satu
penyebab segala krisis. Dengan dalih mengikuti gaya hidup, manusia modern cenderung
lepas kendali. Media elektronik secara drastis telah membuat perubahan dan pergeseran
standar hidup dan gaya hidup baik di negara maju maupun negara berkembang. Dampak itu
dirasakan oleh petani, siswa hingga mahasiswa.

Pada saat sekarang ini peradaban manusia, menurut Alvin Toffler, telah memasuki
gelombang ketiga peradaban manusia, yaitu era informasi. Pada masa silam, peradaban
manusia telah melalui tahap-tahap historis yang berantai yaitu agrikultural dan industri.
Para ahli membagi sejarah peradaban umat manusia kepada beberapa tahap: hunting and
gathering societies (masyarakat pemburu), pastoralist societies (masyarakat pengembala),
holtikulturalist societies (masyarakat bertani sejak 6000 tahun yang lalu), industrial societies
(masyarakat industri, dimulai sekitar 300 tahun yang lalu), dan information societies
(masyarakat informasi, dimulai sekitar setengah abad yang lalu). Dari tahapan-tahapan itu
masalah yang dihadapi manusia semakin beragam, tak terkecuali masalah pada ranah
pendidikan. Pada masyarakat industri, terkenal dengan komersialisasi pendidikan. Sehingga
pendidikan menjadi mahal.
Tingginya biaya pendidikan serta timpangnya kesempatan kerja dibanding dengan
pertumbuhan angkatan kerja merupakan masalah nyata yang dihadapi masyarakat sekarang
ini. Merosostnya moral, baik mahasiswa dan pelajar, menjadi permasalahan serius. Ironisnya,
dunia pendidikan Indonesia tak berhasil merangkak naik mengikiti trend globalisasi. Bila
berkaca pada tiga pilar Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yakni pendidikan, kesehatan
dan ekonomi, Indonesia hanya sebanding dengan Kamboja, Timor Leste dan Myanmar.
Padahal, tiga pilar IPM itulah yang menjadi tolok ukur yang bisa diterima secara universal
sebagai ukuran keberhasil pembangunan suatu masyarakat atau bangsa. IPM Indonesia pada
tahun 2014 nan lalu hanya berada pada urutan 108, masuk dalam kategori “sedang”.


6

Fakta seperti ini bukan untuk diratapi, melainkan untuk dihadapi. Banyak serta besarnya
masalah yang dihadapi bangsa justru merupakan tantangan untuk ditaklukkan. Hal demikian
perlu diawali dari pelurusan dan pencerahan pola pikir masyarakat. Dalam konsep akademis,
Paulo Freire menggambarkan proses demikian sebagai ‘conscientization’ atau membebaskan
yang terindas dari penindasan. Hampir serupa dengan itu, Sigmund Freud menawarkan teori
super ego, dimana’Id’ harus dibebaskan dari ketertindasannya oleh ego.
Pencerahan dan pembalikan pola pikir dan sikap tersebut memerlukan suatu paradigama
tertentu. Selama ini, pendidikan kita terlalu terkungkung oleh paradigma linear yang dirintis
oleh Rene Descartes. Cara linear ini memang berhasil membawa perubahan, namun juga
menghasilkan banyak implikasi atau dampak negatif lainnya. Dampak terparahnya,
pendidikan kita pada masa globalisasi ini cenderung hampa nilai. Berbeda dengan
paradigama holistik yang yang telah dikonseptualisasikan secara sempurna oleh Ibnu Sina,
seorang filosof muslim, pendidikan mesti kaya akan nilai. Paradigma paling penting dalam
pendidikan yaitu paradigma pendidikan holistik. Selama ini paradigma pendidikan linear
telah ikut andil dalam kerusakan dunia pendidikan.
Konsep demikian yang harus dikembangkan, bukan saja untuk dapat menjadi kebijakan
dalam dunia pendidikan melainkan juga harus menjadi acuan nilai seluruh masyarakat pada

masa globalisasi ini sehingga menjadi acuan jelas kemana harus melangkah maju. Nilai-nilai
tersebut harus disebarkan ke setiap peserta didik bahkan seluruh anak bangsa sehingga
menjadi pribadi dengan pola pikir dan sikap yang ‘baru’. Untuk itu, perlu dicari cara-cara
yang efektif untuk mensosialisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam seluruh masyarakat yang
memiliki latar pendidikan serta posisi sosial yang berbeda.
2. Teknologi Informasi
Munculnya peralatan-peralatan baru dalam teknologi komunikasi dan informasi bukan
hanya menciptakan globalisasi informasi, tetapi sekaligus pula globalisasi gaya hidup
(lifestyle), pandangan dunia (world-view), ideologi, sistem nilai, dan sebagainya. Dalam
proses globalisasi nilai-nilai ini, tentu saja yang paling banyak mengambil manfaat adalah
mereka yang menguasai media komunikasi dan informasi yang serba canggih itu. Sedangkan
yang menjadi “korban” adalah masyarakat-masyarakat yang cuma bisa menjadi sasaran atau
konsumen informasi, tidak menguasainya.
Tidak benar bila dikatakan bahwa teknologi bebas nilai (value free). Kenyataan
menunjukkan bahwa produk teknologi membawa cara berpikir, pandangan hidup, norma,
atau sistem nilai tertentu. Itu dipasarkan oleh media televisi, handphone dan internet serta

7

gadget. Dengan demikian, yang terjadi dalam budaya saintifik-teknologikal ini adalah

imperalisme budaya. Negara Barat sebagai penguasanya.
Pada kenyataannya, pada budaya digital ini, manusia mengalami pelipatan sosial,
yaitu terjadinya penaklukan ruang oleh waktu lewat kemajuan teknologi informasi dan
virtualitas, telah memungkinkan dilakukan berbagai aktivitas sosial yang tidak lagi dibatasi
oleh ruang dan waktu. Dapat diartikan juga, pelipatan sosial sebagai dampak budaya digital,
bahwa tidak saja waktu atau durasi perpindahan sosial dari satu stasiun ke stasiun lainnya di
dalam ruang-waktu yang diperpendek, bahkan kini berbagai aktivitas sosial tidak lagi
memerlukan perpindahan fisik itu sendiri. Begitu banyak kegiatan sosial, yang tak lagi
memerlukan pergerakan fisik itu mulai dari belanja (teleshopping) secara on-line, rapat
dengan teknologi teleconference, menonton tv kabel dan belajar dengan telelearning. Internet
telah menyiapkan segala perangkat itu (Piliang, 2011:57).
Daftar tentang berbagai kemungkinan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi
untuk kepentingan kemajuan bisa diperpanjang. Tetapi lebih penting dari sekedar daftar
kemungkinan itu adalah memulai upaya ke arah penumbuhan kesadaran dan budaya
informasi di kalangan kita. Inilah langkah awal amat penting yang harus segera kita lakukan.
Selain itu, ekses teknologi informasi ada pula. Ide tentang sosial dan masyarakat
cenderung lenyap, disebabkan oleh berkembangnya model-model sosial semu, yang
terbentuk melalui interaksi dan komunikasi menggunakan media virtual, seperti televisi, HP
dan internet. Realitas sosial kini diambil alih oleh realitas media. Ruang kelas telah
kehilangan spirit sebagai ruang sosial dan budaya. Interaksi, pertukaran dan dinamika kelas

telah terpinggirkan oleh teknologi.

3. Minat Baca
Upaya memajukan pendidikan tak pernah bisa lepas dari upaya peningkatan minat
baca, karena dengan rajin membaca mereka akan menjadi lebih terberdayakan. Sebab, bacaan
tidak hanya mampu membuka mata dan telinga manusia, tapi juga hati dan pikiran, terhadap
berbagai realitas di sekitarnya, baik realitas yang berupa ancaman maupun peluang untuk
meraih kemajuan di masa depan.
Sejarah telah mencatat bagaimana bacaan, baik berupa buku maupun media cetak,
telah membuka hati dan pikiran suatu masyarakat yang kemudian mendorong terjadinya
8

gerakan sosial untuk melahirkan suatu perubahan sosial menuju tatanan masyarakat baru
yang lebih baik.
Efek pencerahan dan pemberdayaan dalam dunia pendidikan yang ditimbulkan oleh
karya sastra dan bahan bacaan lain memang tidak secara langsung terlihat dan dapat diukur
secara matematis. Bahan-bahan bacaan, secara pelan-pelan tapi pasti, akan mengubah
perasaan, pikiran, dan cara pandang sesorang terhadap suatu keadaan masyarakat.
Bahan bacaan pada dasarnya adalah sumber ilmu pengetahuan. Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, media bahan bacaan atau sumber ilmu
pengetahuan terus mengalami evolusi dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai revolusi.
Dapat dibayangkan bahwa manusia yang pertama kali muncul kira-kira 36.000 tahun
yang lalu belum meninggalkan budaya tulis, baru dua belas ribu tahun sesudah itu ada lukisan
pada dinding gua. Tidak ada penemuan teknologi komunikasi selama 18.000 tahun. Pada
4.000 SM ditemukan tulisan pertama. Pada 1.000 SM manusia mengenal abjad pertama kali.
Percetakan baru ditemukan pada abad ke-15 M. Mulai abad ke-20 M terjadilah berbagai
penemuan komunikasi yang menakjubkan. Selama abad ke-21 M yang baru berlangsung
beberapa tahun saja, manusia telah menciptakan teknologi komunikasi lebih banyak dari apa
yang diciptakan sepanjang sejarah peradaban manusia.
Melalui teori gelombang revolusi pemikirannya, Stevan Harnad mengatakan bahwa
umat manusia dewasa ini berada pada ambang revolusi keempat. Adapun tiga gelombang
revolusi yang telah dilalui menurut Stevan Harnad adalah sebagai berikut (Bafadal:2004).
Pertama, terjadi ribuan tahun yang lalu, ketika bahasa pertama yakni bahasa lisan,
muncul dalam peradaban manusia. Bangunan ilmu pengetahuan tersedia dalam otak para
cerdik pandai dan siap didistribusikan secara lisan kepada muridnya.
Kedua, terjadi ketika manusia menemukan huruf atau tulisan sebagai alat komunikasi
baru, yang membawa manusia ke era budaya tulis. Budaya tulis melengkapi budaya lisan,
sebagai alat komunikasi manusia, sekaligus sebagai alat untuk menyempurnakan konstruksi
ilmu pengetahuan serta mentransformasikannya kepada sesamanya.
Ketiga, revolusi media konstruksi ilmu pengetahuan terjadi ketika teknologi cetak
ditemukan pada abad ke-15 oleh Johannes Gutenberg, yang memudahkan dan mempercepat
duplikasi serta penyebaran bahan-bahan bacaan.
Terakhir, keempat, loncatan media konstruksi ilmu pengetahuan terjadi ketika
teknologi internet ditemukan. Kemampuan internet yang dapat menembus batas-batas negara,
memungkinkan berbagai informasi terbaru dan ilmu pengetahuan memiliki percepatan
penyebaran ke berbagai penjuru dunia, dan mengalami proses transformasi yang lebih
mengglobal.
Sejarah mencatat, pada tiap-tiap revolusi pemikiran selalu membangun budayanya
sendiri. Jika revolusi bahasa lisan membangun budaya lisan, revolusi bahasa tulis
9

membangun budaya tulis, dan revolusi teknologi cetak membangun budaya cetak, maka
revolusi teknologi internet sedang membangun ‘budaya digital’ – suatu kebudayaan di mana
semua aktivitas dan interaksi sesama manusia berbasis pada sistem digital.
Baik di negara maju maupun berkembang, internet telah masuk secara merata ke
ruang-ruang kelas siswa sekolah dasar sampai mahasiswa perguruan tinggi dan menjadi
salah satu media pendidikan yang penting. Namun tentunya, di era digital ini, adanya bahanbahan yang tercetak, baik buku, jurnal, maupun surat kabar, tetap penting dan diperlukan.
Media cetak tak akan tergantikan begitu saja oleh media digital, karena memiliki karakter
yang berbeda. Keduanya akan hidup berdampingan untuk saling melengkapi, sesuai
kebutuhan, situasi dan kondisi.

C. Kesimpulan
Dari paparan di atas, ada beberapa hal yang bisa diambil kesimpulan.
Pertama, menerima globalisasi merupakan sebuah keniscayaan. Masyarakat yang
sehat, menurut Erich From, adalah masyarakat yang terbuka terhadap perubahan menuju
yang lebih baik. Sebuah slogan ini sepertinya relevan: think globally and act locally.
Kedua, siapa yang menguasai teknologi, maka ia akan menguasai dunia.
Membanjirnya produk-produk baru dalam teknologi komunikasi dan informasi yang terus
akan muncul itu bakal mempercepat terbentuknya budaya digital. Inilah proses yang tak bisa
dielakkan oleh masyarakat dunia mana pun. Dunia pendidikan termasuk di dalamnya.
Ketiga, bahan bacaan, baik buku maupun media massa, sebagai media pemberdayaan
dalam pendidikan. Sekarang ditambah lagi bacaan di internet. Upaya menanamkan kesadaran
pada generasi dengan budaya digital bahwa internet dapat menjadi salah satu sumber ilmu
tanpa batas amatlah penting. Sebuah harapan bila internet yang sekarang masih cenderung
liar dan kurang beradab, harus diberi aturan main yang sesuai dengan nilai-nilai etis.
10

Referensi
Azra, Azyumardi. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta:
Paramadina.
Alvin, Toffler. 1987. Previews and Premises. Jakarta: Pantja Simpati.
Bafadal, Fadhal Ar. 2004. Pemuda, Agama, dan Kehidupan Kontemporer. Jakarta:
Departemen Agama RI.
Pilian, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya melalui Batas-batas Kebudayaan.
Bandung: Matahari.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendikiawan Muslim.
Bandung: Mizan Media Utama

11