Kategori stakeholder dalam upgrading indust

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

PROSES PEMBENTUKAN KAMPUNG KREATIF
(STUDI KASUS: KAMPUNG DAGO POJOK DAN CICUKANG, KOTA
BANDUNG)
Sekar Utami

(1)

, Ir. Tubagus Furqon Sofhani, M.A., Ph.D.(2)

(1)
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK),
ITB.
(2)
Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (KK PWD), Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan
Kebijakan (SAPPK), ITB.

Abstrak
Kota Bandung sedang berada dalam masa implementasi rencana pengembangan kota kreatif. Dalam
membentuk suatu kota kreatif dibutuhkan faktor-faktor pembentuk Kota Kreatif diantaranya adalah

tersedianya ruang-ruang kreatif dan adanya kalangan yang mampu mengekspresikan ide kreatif
mereka. Bentuk ruang kreatif yang sedang dikembangkan saat ini salah satunya adalah kampung
kreatif. Kampung Dago Pojok dan Cicukang merupakan contoh kampung kreatif yang sudah
terbentuk dan berkembang dengan karakteristiknya masing-masing. Menuju pengokohan citra
Bandung sebagai Kota Kreatif, belum banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan proses
pembentukan ruang kreatif tersebut. Penelitian ini akan meninjau proses yang dilakukan dalam
pembentukan kampung kreatif sebagai pembentuk kota kreatif dan aktor yang terlibat didalamnya.
Sebagai kerangka tahap pembentukan kampung kreatif adalah lima tahap dalam cycle of urban
creativity. Untuk menganalisis tahapan yang dilakukan tersebut digunakan metode analisis isi.
Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa Kampung Kreatif Dago Pojok dan Cicukang terbentuk
melalui lima tahapan sesuai dengan teori cycle of urban creativity. Walaupun melewati tahapan yang
sama, namun dari segi waktu yang dibutuhkan terdapat perbedaan. Kemudian, untuk mengetahui
siapa saja yang terlibat dalam proses pembentukan kampung kreatif, digunakan metode analisis
stakeholder. Dari analisis tersebut diketahui bahwa terdapat tiga kategori stakeholder yang terlibat,
yakni inisiator pembentukan, kelompok pendukung pembentukan, dan masyarakat kampung kreatif.
Berdasarkan tinjauan keterkaitan di antara ketiganya, diketahui bahwa inisiator pembentukan
kampung kreatif memiliki peran sentral dalam menghubungkan peran dari seluruh stakeholder.
Kata-kunci : kampung kreatif, kota kreatif, stakeholder, tahapan pembentukan

Pengantar

Kota merupakan wadah bagi penduduk
didalamnya untuk beraktivitas. Aktivitas tersebut
akan menciptakan interaksi antarindividu yang
heterogen. Interaksi yang terjadi di dalam kota
ini dapat menciptakan ide-ide baru yang
tentunya dapat memicu kekreativitasan (Landry
dan Bianchini, 1995). Kota Bandung merupakan
salah satu kota yang diakui sebagai kota kreatif
di Indonesia. Pengakuan tersebut diberikan oleh
lembaga-lembaga yang berasal dari dalam dan
luar negeri. Kota Bandung menjadi salah satu

kota yang diusulkan oleh Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk masuk ke
dalam jaringan kota kreatif di dunia milik
UNESCO. Pengakuan dari luar negeri terlihat
dengan terpilihnya Kota Bandung sebagai Pilot
Kota
Kreatif
di

Asia
ketika
Project
diselenggarakannya pertemuan internasional
kota-kota
berbasis
ekonomi
kreatif
di
Yokohama, Juli 2007.
Kemunculan kota kreatif sejalan dengan
perkembangan ekonomi kreatif. Secara umum,
pengertian ekonomi kreatif menurut UNCTAD
Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 147

PROSES PEMBENTUKAN KAMPUNG KREATIF (STUDI KASUS: KAMPUNG DAGO POJOK DAN CICUKANG, KOTA BANDUNG)

(2010) adalah sebuah konsep yang terus
berkembang, berdasarkan aset kreatif yang
potensial

mengasilkan pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi. Pengertian tersebut
diberikan penjabaran sebagai berikut:
1.

2.

3.

4.

5.

Dapat
mendorong
peningkatan
pendapatan, penciptaan lapangan kerja,
dan eskpor laba sekaligus mempromosikan
kepedulian sosial, keberagaman budaya,
dan pengembangan manusia.

Mencakup aspek ekonomi, budaya, dan
sosial dalam pengembangan teknologi, Hak
Kekayaan Intelektual, dan pariwisata.
Kumpulan aktivitas ekonomi berbasiskan
pengetahuan
dengan
dimensi
pengembangan dan keterhubungan lintas
sektoral pada level ekonomi mikro dan
makro secara keseluruhan.
Suatu pilihan strategi pengembangan yang
membutuhkan tindakan lintas kementerian
dan
kebijakan
yang
inovatif
dan
multidisiplin.
Di jantung ekonomi kreatif terdapat
industri kreatif.


Pertumbuhan Bandung sebagai kota kreatif
ditunjukkan oleh data Bappeda Kota Bandung
tahun 2008 (dalam Fitriyana 2012), bahwa
perekonomian Kota Bandung sebagain besar
bersumber dari sektor perdagangan, hotel, dan
restoran yang kontribusinya mencapai 36,4%
dari nilai PDRB Kota Bandung pada tahun 2010,
yaitu sebesar Rp 51,3 Triliyun. Kontribusi
ekonomi kreatif Kota Bandung terhadap PDRB
adalah 11% dari tahun 2008 dan memiliki tren
yang semakin baik.
Untuk mendukung pengembangan ekonomi
kreatif, Pemerintah Kota Bandung telah
menetapkan Roadmap Bandung Kota Kreatif
berisikan langkah-langkah yang berprinsip pada
suatu pembangunan kota yang berkelanjutan.
Prinsip-prinsip berkelanjutan tersebut menurut
Budihardjo (1998) adalah sebagai berikut:



Ekonomi, yaitu ketersediaan lapangan
kerja yang memadai untuk segenap lapisan
masyarakat tanpa terkecuali.

148 | Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1









Ekologi, yaitu terjaminnya kelestarian
keseimbangan
lingkungan,
demi
kelangsungan seluruh makhluk hidup.

Equity, yaitu pemerataan, termasuk
diantaranya pemerataan akses terhadap
segenap fasilitas perkotaan.
Engagement
atau
partisipasi,
yaitu
keterlibatan secara aktif dari berbagai
pelaku
pembangunan,
khususnya
masyarakat secara luas.
Energy Conservation, yaitu perencanaan
tata ruang dan pembangunan yang hemat
energi, tidak menguras habis sumberdaya
yang dimiliki.

Kegiatan-kegiatan kreatif di Kota Bandung
dijalankan oleh masyarakat golongan creative
class. Salah satu wadah berkumpulnya creative

class tersebut adalah komunitas-komunitas
kreatif. Munculnya creative class tersebut
merupakan salah satu faktor pembentuk kota
kreatif. Ada beberapa faktor menurut Landry
dan Hyams (2012) yang membuat sebuah kota
dapat dikatakan sebagai kota yang kreatif.
Faktor-faktor tersebut meliputi adanya ruangruang kreatif di berbagai sudut kota, kalangan
terdidik yang sadar untuk mengekspresikan ide
kreativitasnya, adanya pemimpin dan kebijakan
yang
memberi
ruang
bagi
terbukanya
kemudahan mengembangkan berbagai industri
kreatif, adanya pengaturan kewilayahan,
toleransi, dan aksesibilitas termasuk bagaimana
agar para penghuni kota dapat melakukan
perjalanan mudah, murah, dan nyaman.
Salah satu faktor utama pembentuk kota kreatif

adalah adanya ruang kreatif. Menurut Evans et
al. (2006), ruang kreatif dalam kota tersebut
tidak hanya terdiri dari bangunan-bangunan
besar atau desain berkelas, tetapi juga termasuk
didalamnya lingkungan atau gedung yang
ditinggali sehari-hari. Ruang-ruang kreatif yang
sudah disebutkan tadi, kemungkinan akan
berada di daerah pinggiran kota atau di
kawasan yang berubah fungsi penggunaan
ruangnya (Landry, 2008). Masih menurut Landry
(2008), penggunaan
ruang dengan biaya
murah akan mengurangi risiko kerugian dalam
bentuk uang dan eksperimen akan lebih leluasa
dilakukan.

Sekar Utami

Faktor pembentuk kota kreatif berupa ruangruang kegiatan kreatif yang saat ini sedang
dikembangkan

adalah
kampung
kreatif.
Kampung kreatif tersebut lahir dari gagasan
komunitas-komunitas serta individu-individu
kreatif di Kota Bandung yang menginginkan
lebih banyak ruang kreatif. Pembentukan
kampung kreatif ini juga melibatkan partisipasi
aktif masyarakat untuk mengembangkan potensi
kampungnya masing-masing.
Sebutan kampung kreatif bisa dikatakan fiktif,
dengan kata lain kreatif yang dimaksudkan
adalah bentuk kegiatan yang dilakukan oleh
masyakarat di area kampung, sebagai bagian
dari pengembangan ekonomi wilayah dan upaya
penyelesaian
menghasilkan
solusi
permasalahan.
Wilayah kampung, yang dijadikan ruang
pengembangan kreativitas, menurut Patton dan
Subanu (1988), terdiri dari dua macam.
Pertama,
wilayah yang terus
menerus
mengalami kemiskinan, sangat padat penduduk,
dan terletak di tengah kota. Jenis kampung
yang kedua adalah tidak terlalu padat, terletak
di
pinggiran kota,
dan
masyarakatnya
berpendapatan lebih tinggi. Kampung jenis yang
pertama
dapat
dikategorikan
sebagai
permukiman informal. Kampung yang ada di
Kota Bandung terdiri dari dua macam kampung
tersebut.
Sudah ada lima kampung di Kota Bandung yang
dikembangkan menjadi kampung kreatif.
Pembentukan tersebut merupakan kerja sama
antara Rahmat Jabari dari Komunitas Taboo
Dago Pojok dengan Bandung Creative City
Forum (BCCF). Dalam penelitian ini akan
diangkat studi kasus pada dua kampung dari
lima kampung kreatif yang sudah berkembang.
Kampung kreatif tersebut adalah Kampung
Kreatif Dago Pojok dan Cicukang. Kampung
Dago Pojok sudah lebih dulu dibentuk dengan
inisiasi yang dilakukan oleh Rahmat Jabaril
pimpinan komunitas Taboo. Berbeda dengan
Kampung Dago Pojok, Kampung Cicukang yang
memiliki karakter lebih urban dan kelompok
pemuda yang aktif berpartisipasi, merupakan
kampung kreatif yang digagas melalui kolaborasi
Rahmat Jabaril dengan BCCF.

Pembentukan kampung kreatif yang sudah
dikembangkan di Kota Bandung tersebut dapat
dijadikan contoh metode pembentukan ruang
kreatif yang dapat diterapkan di kota-kota
kreatif lainnya. Saat ini, publikasi ilmiah
mengenai bahasan ruang kreatif ataupun
publikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai
referensi masih sedikit jumlahnya. Padahal
proses ini merupakan proses esensial dalam
rangka pembangunan suatu kota menuju kota
kreatif. Dibutuhkan suatu penelitian untuk
mengkaji proses yang dilakukan dalam
membentuk suatu kampung kreatif tersebut.
Dalam mengkaji proses yang dilakukan dalam
membentuk suatu kampung kreatif, digunakan
konsep The Cycle of Urban Creativity. Konsep
tersebut dikatakan sebagai mekanisme untuk
menilai kekuatan dan kelemahan proyek-proyek
kreatif pada suatu kota di berbagai tahapan
perkembangannya (Landry, 2008). Konsep siklus
ini disebutkan sebagai salah satu strategi yang
bisa digunakan dalam pembangunan perkotaan.
Dalam teori tersebut terdapat lima tahapan.
Tahap pertama adalah pembentukan ide kreatif,
yaitu tahapan pengenalan dan pengembangan
kreativitas pada masyarakat sebagai solusi
permasalahan. Tahap kedua adalah realisasi ide
kreatif, yaitu tahapan realisasi ide kreatif di
masyarakat menjadi produk-produk yang dapat
dipasarkan. Tahap ketiga adalah penguatan
sistem pendukung, yaitu tahapan penguatan
sistem pendukung
aktivitas kreatif yang
berkelanjutan.
Tahap
keempat
adalah
penyediaan ruang basis aktivitas kreatif, yaitu
tahapan penyediaan ruang basis pengembangan
kreativitas. Tahap kelima adalah evaluasi
penyebaran aktivitas kreatif, yaitu tahapan
evaluasi penyebaran aktivitas kreatif pada lokasi
yang diperuntukkan sebagai ruang kreatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
proses pembentukan dan pengembangan
Kampung Kreatif Dago Pojok dan Cicukang di
Kota Bandung. Untuk mencapai tujuan tersebut,
peneliti menetapkan dua sasaran penelitian.
Pertama,
mendeskripsikan
tahapan
pembentukan Kampung Kreatif Dago Pojok dan
Cicukang. Kedua, mendeskripsikan aktor-aktor
yang terlibat dalam pembentukan Kampung
Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 149

PROSES PEMBENTUKAN KAMPUNG KREATIF (STUDI KASUS: KAMPUNG DAGO POJOK DAN CICUKANG, KOTA BANDUNG)

Kreatif Dago Pojok dan Cicukang serta peran
mereka masing-masing.
Metode
Untuk mencapai tujuan dari studi yang
dilakukan, terdapat tiga metode yang dipisahkan
berdasarkan pendekatan penelitian, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data.
Berikut adalah penjelasan mengenai dua metode
yang digunakan di dalam studi yang dilakukan.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
pendekatan secara kualitatif. Pendekatan
kualitatif di diharapkan akan memberikan
gambaran yang lebih eksploratif ketika
menjelaskan tahapan yang dilakukan dalam
proses membentuk kampung kreatif. Begitupun
dalam menjelaskan aktor-aktor yang terlibat,
aktivitas yang mereka jalankan, dan interaksi
yang dilakukan antaraktor.
Pada penelitian tahapan pembentukan kampung
kreatif, juga digunakan pendekatan penelitian
studi kasus pada dua kampung kreatif dengan
karakteristik yang berbeda. Penelitian kualitatif
dengan pendekatan studi kasus digunakan agar
didapatkan
hasil
penelitian
tahapan
pembentukan
kampung
kreatif
secara
mendalam dan rinci dalam suatu jangka waktu
penelitian.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data primer terdiri dari
dua metode, yaitu wawancara dan observasi.
Untuk data sekunder didapatkan dari studi
literatur dari berbagai sumber.
Metode wawancara menurut Esterberg (2002)
terdiri dari wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur. Pada
penelitian ini, wawancara tidak terstruktur
dilakukan pada tahap awal penelitian untuk
mendapatkan informasi awal mengenai isu atau
permasalahan yang terjadi pada kampung
kreatif. Hasil dari wawancara awal ini adalah
didapatkannya rekomendasi kampung kreatif
yang akan diteliti serta isu yang sedang
mengemuka. Setelah itu, digunakan metode
150 | Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1

wawancara tidak terstruktur yang dilakukan di
tengah penelitian. Ditujukan kepada narasumber
yang diketahui berhubungan erat atau
mengetahui dengan pasti tahapan yang terjadi
pada
pembentukan
kampung
kreatif.
Wawancara
tersebut
dilakukan
secara
mendalam.
Dalam
menentukan
responden,
peneliti
menggunakan metode purposive sampling.
Maka dari itu, terpilih narasumber dalam
penelitian yaitu inisiator Kampung Kreatif Dago
Pojok, ketua BCCF, anggota BCCF, masyarakat
Dago Pojok, dan masyarakat Cicukang.
Kemudian responden dikembangkan jumlahnya
snowball
dengan
menggunakan
metode
sampling.
Penelitian ini juga menggunakan metode
observasi. Observasi dilakukan di dalam
cakupan wilayah kampung kreatif Dago Pojok
dan Cicukang. Objek observasi adalah produk
kreativitas, aktivitas aktor-aktor terkait di dalam
kampung kreatif, serta interaksi antar masingmasing aktor tersebut.
Metode pengumpulan data sekunder yang
dilakukan yaitu studi literatur berdasarkan bukubuku, naskah akademik, jurnal, artikel, serta
dokumen-dokumen yang terkait milik komunitas.
Studi literatur berdasarkan buku, naskah
akademik, jurnal, dan artikel meliputi teori
mengenai pemahaman, perkembangan, dan
faktor-faktor pembentuk kota dan kampung
kreatif.
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian dengan pendekatan kualitatif ini ada
dua, yaitu analisis isi dan analisis stakeholder.
Analisis isi digunakan sebagai metode dalam
penelitian ini karena mempertimbangkan bentuk
data dan informasi yang dikumpulkan berupa
hasil studi literatur, wawancara responden, dan
hasil observasi yang memerlukan teknik untuk
memahami dan menginterpretasikan data
tersebut. Metode analisis ini terutama digunakan
untuk mengetahui proses yang dilakukan oleh

Sekar Utami

para aktor dalam rangka membentuk suatu
kampung kreatif.

stakeholder
digunakan
dalam
Analisis
menjelaskan aktor atau stakeholder mana saja
yang berperan dalam masing-masing tahapan
pembentukan kampung kreatif. Selain itu,
melalui analisis ini juga ingin diperlihatkan aktor
mana yang menjadi aktor kunci pada proses ini
dan keterkaitan aktor tersebut dengan aktoraktor lainnya. Aktor yang terlibat dalam proses
pembentukan ini merupakan salah satu faktor
penting
yang
menentukan
keberhasilan
pembentukan kampung kreatif. Kategori dari
stakeholder itu sendiri menurut Crosby (1992),
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.

Stakeholder utama, yaitu yang menerima
dampak positif ataupun negatif (di luar
kerelaan) dari suatu kegiatan.

2.

Stakeholder

3.

pendukung, yaitu yang
beperan
sebagai
perantara
dalam
membantu proses penyampaian kegiatan.
Mereka dapat digolongkan atas pihak
penyandang dana, pelaksana, pengawas,
dan organisasi advokasi seperti organisasi
pemerintahan, LSM, dan pihak swasta.
Dalam beberapa kegiatan, stakeholder
pendukung dapat merupakan perorangan
atau kelompok kunci yang memiliki
kepentingan baik formal maupun informal.

Stakeholder kepentingan kunci, yaitu yang
memiliki pengaruh kuat atau penting.
Pengaruh tersebut berkaitan dengan
masalah, kebutuhan, dan perhatian
terhadap kelancaran kegiatan.

Diskusi
Program kampung kreatif saat ini merupakan
salah satu program yang berada di bawah
naungan BCCF dan bekerja sama dengan tokohtokoh pegiat kampung kreatif lokal, seperti
Rahmat Jabaril. Program tersebut dinamakan
akupuntur kota. Program akupuntur kota
sebenarnya lebih dari sekedar program
perbaikan
infrastruktur,
tapi
merupakan
perpaduan dari tiga program besar yang dimiliki
oleh BCCF, yakni infrastruktur, ekonomi, dan

kreativitas. Program tersebut, menurut Fiki
Satari, selaku Ketua BCCF, merupakan
penggabungan ketiga program yang dimiliki oleh
BCCF dan bersifat sustainable.
Pembentukan Kampung Kreatif
Berdasarkan teori The Cycle of Urban Creativity,
proses pembentukan kampung kreatif, yang
merupakan suatu program kreatif di perkotaan
harus meliputi lima tahapan. Pada tahap
pertama, ide pembentukan kampung kreatif
muncul sebagai aksi konkrit dari golongan
kreatif Kota Bandung dalam menanggapi
permasalah masyarakat ekonomi menengah ke
bawah. Kampung Kreatif Dago Pojok diinisiasi
pada tahun 2009 oleh Rahmat Jabari bersama
Komunitas Taboo dan Kampung Kreatif
Cicukang pada tahun 2012 setelah adanya kerja
sama dengan BCCF. Di awal munculnya gagasan
pembentukan kampung kreatif, tidak sedikit
masyarakat yang kontra terhadap gagasan
tersebut, disebabkan oleh sikap pragmatis yang
masih melekat.
Setelah itu, dilakukan sosialiasi dan pendekatan
kepada masyarakat, mengenai program yang
akan dilakukan. Sosialisasi dan pendekatan
kepada masyarakat dilakukan oleh tim advokasi
yang terdiri dari kedua pihak inisiator.
Pendekatan ini dilakukan melalui metode yang
ringan dan menyenangkan seperti membuat
mural di area permukiman. Setelah adanya
kedekatan dengan masyarakat, dimulailah
proses
diskusi
untuk
brainstorming
pengembangan ide kegiatan yang akan
dilakukan.
Seluruh golongan masyarakat
diharapkan terlibat, namun pelibatan tersebut
diberikan dengan porsi yang berbeda-beda
sesuai kapasitasnya. Pada tahap ini pula,
dikumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
mengenai permasalah dan potensi yang dimiliki
pada setiap kampung. Umumnya permasalah di
Dago
Pojok
dan
Cicukang
adalah
ketidakrukunan antarwarga dan rendahnya
tingkat pendidikan dan ekonomi. Untuk potensi
yang akan dikembangkan, Dago Pojok memiliki
kesenian tradisional sunda dan Cicukang
memiliki sumberdaya bahan baku eksperimen
kreatif.
Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 151

PROSES PEMBENTUKAN KAMPUNG KREATIF (STUDI KASUS: KAMPUNG DAGO POJOK DAN CICUKANG, KOTA BANDUNG)

Pada tahap kedua, seharusnya sudah mulai
dilakukan
fasilitasi
terhadap
kreativitas
masyarakat dan munculnya produk hasil
kreativitas
masyarakat.
Kegiatan
mengembangkan
kapasitas
menghasilkan
produk di masyarakat sudah dilaksanakan di
kedua kampung sebagai upaya memunculkan
ekonomi kreatif masyarakat. Upaya yang
dilakukan adalah pelatihan dan workshop yang
diadakan
oleh
komunitas-komunitas,
mahasiswa,
seniman,
maupun
kelompok
pemuda dari kampung itu sendiri. Hasil dari
pelatihan dan workshop tersebut adalah
munculnya produk kreatif khas masing-masing
kampung. Produk yang dikembangkan di
Kampung Kreatif Dago Pojok adalah kesenian
tradisional sunda, mulai dari seni musik, tari,
dan permainan. Selain itu, produk makanan
tradisional juga sedang dikembangkan. Di
Kampung Dago Pojok, produk unggulannya
adalah musik dapur yang dimainkan oleh
kelompok ibu-ibu “Mekar Asih”. Produk lainnya
adalah karya-karya seni yang dihasilkan dari
barang-barang bekas.
Pada tahap ketiga, dibutuhkan interaksi dengan
pihak-pihak yang dapat membantu membawa
program kampung kreatif menjadi program yang
berkelanjutan.
Untuk
mendukung
keberlangsungan program kampung kreatif,
diperlukan organisasi atau kelompok khusus
yang bertugas sebagai pengelola atau fasilitator
lokal. Kemudian diperlukan adanya kerjasama
dengan pihak-pihak di luar kampung kreatif.
Diperlukan pula adanya sumber pendanaan dan
sistem pemasaran produk.
Di Dago Pojok maupun Cicukang belum memiliki
tim khusus yang bertanggung jawab mengelola
dan memfasilitasi kegiatan di masing-masing
kampung. Pengelolaan kegiatan kampung
kreatif masih dilakukan bersama-sama antara
tim advokasi dan kelompok pemuda. Sejauh ini
pula, kerjasama telah dilakukan dalam rangka
penggalangan dukungan pelaksanaan program
dan tenaga pengadaan pelatihan. Kerjasama
tesebut dilakukan dengan pemerintah, serta
komunitas-komunitas dan sukarelawan.
Dalam
mendukung
pendanaan
kegiatan
kampung kreatif, BCCF memberikan aliran dana
152 | Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1

sebagai stimulus.
Dana stimulus tersebut
bersumber dari dana hibah Pemerintah Kota
Bandung dan CSR perusahaan
swasta.
Kampung Kreatif Dago Pojok juga sempat
menerima dana PNPM Mandiri Pariwisata.
Pengelola lokal Kampung Dago Pojok dan
Cicukang harus mulai merencanakan kegiatan
mandiri untuk mengupayakan dana yang masuk
secara konstan. Terakhir, untuk mendukung
kemandirian
program
kampung
kreatif,
dibutuhkan sebuah sistem pemasaran produk.
Hal ini juga dapat dilakukan untuk mendukung
kemandirian pendanaan kampung kreatif. Saat
ini belum terdapat sistem pemasaran yang
terintegrasi. Beberapa metode yang digunakan
dalam memasarkan produk adalah melalui
penjualan langsung di area kampung dan
penjualan secara online. Salah satu wadah
utama dalam mengenalkan produk-produk
kampung kreatif adalah melalui festival yang
diadakan sekali setahun.
Pada tahap keempat, pembentukan kampung
kreatif ditandai dengan adanya ruang yang
digunakan sebagai basis kegiatan kreatif. Di
Dago Pojok dan Cicukang terdapat ruang yang
digunakan sebagai tempat berkumpul dan
pelatihan. Ruang yang digunakan di Dago Pojok
adalah sekretariat Komunitas Taboo, sedangkan
di Cicukang menggunakan rumah ketua RT.
Keduanya juga menggunakan fasilitas lapangan
di area kampung.
Tahap kelima, merupakan evaluasi atas
kegiatan-kegiatan
yang
sudah
dilakukan
sebelumnya. Evaluasi diadakan oleh tim
advokasi
dengan
melibatkan
partisipasi
masyarakat
dan
diadakan
setelah
penyelenggaraan festival setiap tahunnya.
Evaluasi juga membahas apa saja solusi kreatif
yang sudah masyarakat dapat dan terapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya, ada
beberapa solusi kreatif yang sudah diterapkan di
masyarakat. Di Dago Pojok, sudah mulai
bermunculan
industri-industri
makanan
rumahan, berkembangnya kesenian tradisional,
dan penerapan metode polibag dalam
menyiasati lahan bertanam yang sempit. Di
Cicukang juga sudah mulai berkembangnya
usaha makanan, penggunaan barang bekas, dan

Sekar Utami

pembuatan bank sampah dalam pengelolaan
sampah di lingkungan mereka.

Stakeholder

Pembentukan

Kampung

Kreatif
Aktor yang berperan pada proses pembentukan
kampung kreatif dapat dikategorikan sebagai
masyarakat kampung kreatif itu sendiri dan
kelompok yang mendukung terjadinya proses
pembentukan, di luar masyarakat asli kampung
tersebut.
Pada
kategori
pendukung
pembentukan kampung kreatif, termasuk
didalamnya adalah Rahmat Jabaril dan Tim
BCCF sebagai inisiator.
Insiator kampung kreatif di sini terdiri dari
Rahmat Jabaril dan BCCF. Rahmat Jabaril lebih
dulu menggagas Kampung Kreatif Dago Pojok
dan kemudian bersama BCCF menggagas
kampung-kampung kreatif lainnya di Kota
Bandung melalui program akupuntur kota, dan
salah satunya adalah Kampung Kreatif Cicukang.
Melalui program akupuntur kota, BCCF
mengalirkan dana stimulus kepada setiap
kampung. Kedua inisiator membentuk tim
advokasi yang memiliki beberapa tugas, yakni
(1) memberikan sosialisasi/memperkenalkan
gagasan kampung kreatif, (2) mengidentifikasi
permasalahan dan potensi setiap kampung, (3)
mengakomodasi kebutuhan pelatihan bagi
masyarakat, dan (4) mendampingi masyarakat
dalam pelaksanaan kegiatan.
Kelompok
kedua
adalah
pendukung
pembentukan kampung kreatif. Pertama,
komunitas dan sukarelawan. Berasal dari
jejaring tim advokasi, mereka ikut serta
mengembangkan ide kreatif masyarakat melalui
pelatihan, workshop, dan diskusi. Kedua, swasta
dan donatur. Mereka berperan dalam membantu
pendanaan program kampung kreatif. Dana
tersebut digunakan untuk kegiatan operasional
pelatihan,
perbaikan
infrastruktur,
serta
penyelenggaraan festival. Ketiga, pemerintah.
Pemerintah di tingkat kota hingga nasional
berperan memberikan dukungan secara politis
untuk menjaga kelangsungan pelaksanaan
program.

Kelompok ketiga adalah masyarakat kampung
kreatif itu sendiri. Kelompok ini dibagi menjadi
kelompok pemuda, pengurus RT/RW, dan
kelompok orangtua dan anak-anak. Kelompok
pemuda merupakan penggerak masyarakat
lainnya dalam berkegiatan. Menjadi rekan kerja
tim advokasi dalam memantau pelaksanaan
kegiatan kampung kreatif. Kemudian, pengurus
RT/RW berperan dalam memberikan dukungan
perizinan bagi pelaksanaan kegiatan di
lingkungan kampung. Terakhir, orangtua dan
anak-anak. Mereka berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan di dalam kampung kreatif.

Stakholder-stakeholder

tersebut berinteraksi
agar dapat bekerja secara sinergis dalam proses
pembentukan
kampung
kreatif.
Seperti
ditunjukkan gambar 1 berikut.

Gambar 1. Skema interaksi antaraktor pembentukan
kampung kreatif

Keterangan gambar:
1.

Rahmat Jabaril dari Komunitas Taboo dan
BCCF sebagai inisiator bekerja sama
membangun kampung kreatif. Kerja sama
tersebut ditunjukkan oleh pembentukan
tim advokasi yang berkontribusi mengawal
proses pelaksanaan kampung kreatif dari
tahap awal.
Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 153

PROSES PEMBENTUKAN KAMPUNG KREATIF (STUDI KASUS: KAMPUNG DAGO POJOK DAN CICUKANG, KOTA BANDUNG)

2.

3.

4.

5.

Tim advokasi yang terbentuk dari
gabungan inisiator berinteraksi langsung
dengan masyarakat. Komunikasi dilakukan
secara dua arah. Tim advokasi menggali
permasalahan dan potensi kampung
melalui diskusi dengan masyarakat.
Kemudian tim advokasi memfasilitasi
masyarakat
untuk
mengurangi
permasalahan
dan
mengembangkan
potensinya.
Tim advokasi membutuhkan pihak-pihak
seperti komunitas-komunitas kreatif dan
sukarelawan mahasiswa melalui jaringan
BCCF
yang
dapat
membantu
mengembangkan
kapasitas
kreatif
masyarakat. Kemudian tim advokasi juga
mengupayakan dukungan finansial melalui
dana CSR swasta, donasi dana hibah
pemerintah, dan sumber lainnya. Terakhir,
tim advokasi berhubungan baik dengan
pemerintah untuk mendapatkan dukungan
pelaksanaan program pembentukan dan
pengembangan kampung kreatif.
Selain tim advokasi, yang berhubungan
langsung dengan masyarakat kampung
kreatif adalah komunitas-komunitas dan
para sukarelawan. Keduanya berinteraksi
dengan masyarakat dalam pelatihan dan
workshop. Interaksi tersebut penting
dalam
mengembangkan
kemampuan
produksi masyarakat.
Interaksi masyarakat di dalam kampung
terjadi sebagai kebutuhan manusia yang
tinggal dalam lingkup wilayah yang sama.
Kemudian
dengan
adanya
program
kampung kreatif interaksi masyarakat juga
terjadi karena adanya dorongan untuk
mencapai tujuan bersama.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, tahapan yang dilalui
dalam proses pembentukan Kampung Kreatif
Dago Pojok dan Cicukang secara garis besar
sesuai dengan teori cycle of urban creativity.
Tahapan-tahapan tersebut adalah tahapan
pembentukan ide kreatif, tahapan realisasi ide
kreatif, tahapan penguatan sistem pendukung,
154 | Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1

tahapan penyediaan ruang basis kreatif, dan
evaluasi.
Proses pembentukan kampung kreatif yang
terjadi pada Kampung Dago Pojok dan Cicukang
dapat dikatakan sama, yaitu melewati kelima
tahapan tersebut, namun untuk mencapai satu
siklus proses pembentukan kampung kreatif
tersebut
kedua
kampung
tersebut
membutuhkan jangka waktu yang berbeda.
Kampung Cicukang lebih cepat dalam mencapai
satu siklus. Dengan begitu, jangka waktu yang
digunakan untuk melewati satu tahapanpun
berbeda antara Kampung Dago Pojok dan
Cicukang.
Kelima
tahapan
pembentukan
dilakukan dengan tidak selalu linear atau
berurutan.
Seperti pengembangan ide kreatif di tahapan
realisasi ide, masih terus dilakukan di kedua
kampung. Kegiatan-kegiatan seperti pelatihan
dan workshop yang dilakukan pada tahap itu
akan selalu dibutuhkan untuk melahirkan
produk-produk baru dari masyarakat. Kemudian,
untuk mendukung berjalannya tahap tersebut
diperlukan pelaksanaan tahap penguatan sistem
pendukung juga, sehingga kedua tahap tersebut
seringkali dilaksanakan bersamaan.
Berdasarkan hasil analisis, kategori aktor yang
ikut berperan dalam pelaksanaan kampung
kreatif di kedua tempat tersebut sama. Aktoraktor yang terlibat dalam pembentukan dan
pengembangan kampung kreatif terdiri tiga
kelompok, yaitu kelompok inisiator, kelompok
pendukung pembentukan dan pengembangan,
serta seluruh elemen masyarakat kampung
kreatif itu sendiri. Dilihat dari kegiatan yang
dilakukan masing-masing aktornya, tim advokasi
yang berada dalam kelompok inisiator memiliki
peran sentral karena mereka yang berinteraksi
secara langsung dengan aktor-aktor lainnya.
Mereka juga yang menghubungkan peran
antaraktor.
Adanya penelitian ini dapat menambah
wawasan dan menjadi salah satu referensi
dalam pengetahuan mengenai pembentukan
ruang kreatif. Hasil penelitian ini selanjutnya
dapat menjadi masukan bagi masyarakat secara
individu maupun kelompok dan juga pemerintah

Sekar Utami

yang akan menerapkan konsep kampung kreatif
pada kota-kota lainnya di Indonesia, khususnya
dalam upaya menumbuhkan ruang- ruang
kreatif.
Perlu diketahui pula bahwa terdapat catatan
kelemahan pada penelitian ini, yaitu adanya
perbedaan waktu pelaksanaan antara Kampung
Kreatif Dago Pojok dengan Cicukang. Waktu
pelaksanaan di Kampung Kreatif Cicukang yang
terbilang baru tersebut menyebabkan kurang
dapat
dilakukan
eksplorasi
mengenai
perkembangan pelaksanaan kegiatan. Penelitian
ini juga menitikberatkan sudut pandang
komunitas dalam proses pembentukan kampung
kreatif dan kurang memasukkan unsur
pandangan pemerintah yang juga memiliki
peran dalam proses ini.

Patton, C. V. dan L. P. Subanu. 1988. Meeting
Shelter Needs to Indonesia. Spontaneus
Shelter: International Perspective and
Prospects, 168-190. Temple University Press:
Philadelphia.
UNCTAD. 2010. Creative Economy: a Feasible
Development Option. Creative Economy
Report.

Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko. 1998. Kota yang Berkelanjutan
(Sustainable City). Jakarta: UI Press.
Crosby, B. L. 1992. Stakeholder Analysis: A Vital
Tool for Strategic Managers. Technical Notes,
No. 2. Washington DC: Agency for
International Development.
Esterberg, Kristin G. 2002. Qualitative Methods
in Social Research. New York: Mc Graw Hill.
Evans, Graeme. et al. 2006. Strategies for
Creative Spaces and Cities: Lesson Learned.
Hasil penelitian Cities Institute, London
Metropolitan University dan Munk Centre for
International Studies, University of Toronto.
Tersedia:
http://www.utoronto.ca/progris/imagineatoron
to/Creative_Cities_Lessons_Learned.pdf.
Diakses pada: Agustus 2013.
Fitriyana, Freska. 2012. Peran Komunitas Kreatif

Dalam Pengembangan Kota (Studi Kasus:
Identifikasi Kekuatan Kolaboratif Bandung
Creative City Forum (BCCF)). Tesis Program
Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota.
Institut Teknologi Bandung.
Landry, Charles. 2008. The Creative City: a
Toolkit for Urban Innovators. Comedia.
Landry, Charles dan Franco Bianchini. 1995. The
Creative City. London: Demos.
Landry, Charles dan Jonathan Hyams. 2012. The

Creative City Index: Measuring The Pulse of
The City. Comedia.
Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V3N1 | 155