TAFSIR AL-QURAN MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Studi Ilmu-ilmu Ushuluddin

  

TAFSIR AL-QURAN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah

Studi Ilmu-ilmu Ushuluddin

  

DOSEN PEMBIMBING:

DR. ABD. MOQSITH, M.A

DISUSUN OLEH:

HASRUL

  

(NIM: 21150340000010)

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHLUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

  PENDAHULUAN Alhamdulillah atas segala rahmat dan hidaya-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya. Begitupun, slawat dan salam semoga senantiasa terhanturkan kepada

  Nabi Muhammad Saw yang telah mengemban wahyu Ilahi berupa al-Quran serta menjelaskan kandungannya. Kitab suci yang menjadi pedoman manusia sepanjang masa menuju kehidupan yang kekal di akhirat kelak. menyeluruh dalam setiap aspek kebutuhan manusia, baik urusan agama maupun urusan dunia. Isinya memancarkan ragam aspek kehidupan manusia, seperti sisi akidah, ibadah, akhlak, muamalah, hukum, dan berbegai aspek lainnya. Namun perlu diketahui, usaha untuk mengamalkan aspek-aspek tersebut tidak akan tercapai, kecuali melalui proses pemahaman dan penghayatan terlebih dahulu. Nasihat dan petunjuk yang termuat di dalamnya tidak akan tercapai tanpa penjelasan dan perincian sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat-ayat al- Quran. Disinilah letak peranan tafsir untuk mehamahami pesan-pesan ayat al-Quran agar dapat diamalkan dalam kehidupan yang nyata.

  Menurut Muhammad Ali al-Sha>bu>ny, keberkahan dari al-Quran yang besar itu sebenarnya hanya diperoleh dengan menghayati dan memahaminya, menuruti petunjuknya serta mengamalkan ajaran-ajarannya. Kemudian berpijak pada seluruh perintah dan yang

  1

  dikehendakinya serta menjauhi segala yang dibenci dan dilarangnya. Inilah maksud dari firman Allah SWT:

  ﴾ ٢٩ ٌ: ص ةٌ ٌروس ﴿ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ و لو أ ٌِباَبْلَْلْا ٌَكْيَلِإ ٌ هاَنْلَزْ نَأ ٌ باَتِك ٌِهِتاَيآ ٌ كَراَب م ٌَرَّكَذَتَيِلَو او رَّ بَّدَيِل Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah

supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang

yang mempunyai fikiran.

  (Q.S. Sha>d [38]: 29)

  Upaya penafsiran terhadap al-Quran telah dimulai sejak dini, yaitu sejak zaman Rasulullah Saw. Beliaulah yang pertama kali menguraikan al-Quran menjelaskan kepada umatnya wahyu yang diturunkan Allah SWT ke dalam hatinya. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para ulama selama ini untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan al-Quran dan menerjemahkan pesan-pesannya.

  Semoga tradisi ini senantiasa berjalan dan dikembangkan dalam kehidupan sekarang agar keberkahan al-Quran dapat diperoleh. Pada sisi lain, ini berperan penting agar penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran menghasilkan tafsir yang dapat memberikan jawaban dan solusi dalam setiap keadaan. Dengan kata lain, tafsir yang “Shalih likulli zaman wa makan.”

  Sekilas topik inilah yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini, yaitu hal-ihwal mengenai Tafsir al-Quran. Uraian pembahasannya meliputi; definisi tafsir, ta’wil dan terjemah; pertumbuhan dan perkembangan tafsir, dan tafsir pada masa perkembangan hadis. Inilah beberapa poin utama dalam karya tulis ini. Semoga dapat memperkaya informasi bacaan bagi segenap pihak dalam bidang akademik dan khususnya dalam bidang tafsir.

1 Al-Shabuny, Al-Tibyan fi ’ Ulum al-Quran terj. Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia: 1998), Cet. I, hal.

A. Definisi Tafsir, Ta’wil dan Terjemah 1.

  Definisi Tafsir Tafsir (

  ريس فت) secara bahasa adalah masdar fassara (ََر َّس َف), yang mengikuti wazan

  َ ةَر ِس ْفَتَ-َا رْي ِس ْفَتَ–َُر ِّسَفُيَ–ََر َّسَف). Kata (ََرَّسَف) ini berasal dari kata

2 Tasrifnya ialah ( taf’il (ليعفت).

  fasara (

  ََر َََسَف) tanpa mentasydidkan sin-nya, masdaranya adalah al-fasr (رََسفلا) yang kata kerjanya bisa pengikuti wazan ( ) atau ( ). Sehingga bisa disebut برض ي -َ َبرض رص ني -َ َرص ن

  3

  ( ا رْسَفَ-َُرُسْفَيَ/َُرِسْفَيَ–ََرَسَف).

  رََسفلا) memiliki beberapa arti, diantaranya menurut Murtadho Al- Zabidi dalam Taj Arusy mengartikannya dengan (

  َُ ْ ََََشَكوََُةَناَبِلإا), yaitu penjelasan dan

  4

  pengungkapan; Al-Suyuti dalam al-Itqan mengartikannya dengan ( ََسكلاَوَنايبلا), yaitu

  5

  penjelasan dan pengungkapan; Al-Zahabi dan Al-Zarqani mengartikannya dengan (

  ي ي ب ل اوَباََََََضيلاا) yaitu menjelaskan dan menerangkan. Lebih lanjut, Ibnu Mandzur menyebutkan dalam Lisan al-Arab, al-fasr ( رَََََسفل ا) berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-Tafsir (

  ريََسف لا) berarti menyingkap apa yang dimaksud dari

  6

  lafazh yang tidak jelas. Dalam al-Quran disebutkan:

  ﴾ ٣٣ ٌ: ناقرفلا ٌ ةروس ﴿ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌَّلِإ ٌ ٌ ٌ ٌَكاَنْ ئِج ٌ قَحْلاِب ٌ لَثَمِب ٌَكَنو تْأَي ٌَلَو اًريِسْفَ ت ٌَنَسْحَأَو Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.

  (Q.S. Al-Furqan [25]: 33)

  Dari uraian di atas, jelaslah bahwa kata tafsir digunakan secara bahasa untuk makna membuka benda yang sifatnya materi dan membuka makna yang bisa dijangkau akal. Namun, makna kedua inilah yang lebih banyak digunakan untuk kata tafsir, yaitu untuk mengungkapkan makna yang bisa dijangkau akal. Ini sejalan dengan pendapat Al-Raghib Al-Asfahani yang mengatakan bahwa kata al-fasr (

  رََسفلا) dan al-safr (رفََسلا) adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafaznya. Al-fasr ( رََسفلا) digunkaan untuk menampakkan makna yang abstrak, sedangkatan al-safr (

  رَََفََََََسلا) digunakan untuk

  7 menampakkan benda kepada penglihatan mata.

  Maka dikatakanlah, َََََس (perempuan itu menampakkan

  ا َََ ََِ ََْ َوَ ْ َََهَُةََْر َََعََلْاَ ََِر َََف َ mukanya) dan َِ ْب ََصلاََرَف ََْسََ (waktu shubuh telah terang). Abu Hayyan juga menegaskan bahwa kata al-Tafsir (

  ريََََسف لا) juga punya makna al-tha’riyyah li al-Inthilaq (َةيرع لا

  8 Pembentukan kata Al- قلاطنلال), yaitu melepaskan atau membebaskan untuk bergerak. fasr (

  رََسفلا) menjadi al-Tafsir (ريََسف لا) menunjukkan arti taksir (ريثكت), yaitu banyak dan sering berbuat. Dengan demikian, kata al-Tafsir ( رَََيَََََََسفَََ َََلا) mengandung makna kesungguhan membuka atau berulang-ulangnya upaya untuk membuka apa yang

  9 2 tertutup, menjelaskan yang musykil dan lain-lain terhadap ayat-ayat al-Quran.

  Ibnu Athiyyah, Al-Muharra al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz (Beirut: Darr al-Kitab al-Ilmiyah, 2007 M/1428 H), Cet. II, Juz I, hal 3 3 4 Ibnu Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunis: Darr Sahnun li al-Nasyr wa al-Tauziy: tt), Juz I, hal. 10 5 Murtadho Al-Zabidi, Taj Arusy (Darr al-Hidayah: tt), Juz 13, hal. 323 6 Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, tt), Juz 2, hal 184 7 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Darr al-Sadr, tt), Cet. I, Juz V, hal. 55 Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran terj. Mudzakir (Jakarta: Litera AntarNusa, 2011), Cet. XIV, hal. 456 8 Abu Hayyan, Bahr al-Muhit (Beirut: Darr al-Fikr, 1992 M/1412 M), Juz I, hal. 26

  Adapaun, tafsir menurut istilah diantaranya sebagai berikut: a. Menurut Abu Hayyan, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang pengucapan lafaz- lafaz al-Quran, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika

  10 tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.

  b.

  Menurut Al-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum

  11 c.

  Menurut al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas al-Quran dari segi dilalahnya

  12 sesuai dengan yang dikehendaki Allah menurut kemampuan manusia.

  Ketiga definisi di atas memiliki kesesuaian bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas maksud yang diinginkan oleh Allah SWT dalam al-Quran sesuai kemampuan manusia. Maka ia mencakup setiap sesuatu yang menjadi tempat bergantungnya pemahaman terhadap makna dan penjelasan yang dimaksudkan.

2. Definisi Ta’wil

  Kata Ta

  ’wil (لي وأت ) secara bahasa berasal dari kata al-Aul (لولأا) yang berarti

  13

  ( Atas dasar kata ini disebutkan, ( عو رلا), kembali. لااََلوَلاواَاََيلاَلا), artinya kembali kepadanya. Dalam kamus Lisan al-Arab disebutkan, ( ) artinya; (

  َ َ َََ ََلَّو ََر َََّبَد)

  َ لاََيِوْأ َََت ََ لا َََكََلا

  14

  memikirkan, ( Ada juga yang mengatakan, ََرَّدَق) memperkirakan, dan (رَّسَف) menafsirkan. kata

  Ta’wil (ليوأت) berasal dari kata Iyalah (ةلايلإا) yang berarti (ةَََسايَََسلا). Seolah-olah

  yang melakukan penta’wilan menyiasati atau mengatur ucapan dan menempatkannya

  15 pada tempatnya.

  Kata

  Ta’wil (ليوأت) banyak digunakan dalam ayat al-Quran dengan penggunaan

  yang berbeda-beda. Diantara ayat-ayat tersebut ialah: a.

  Ta’wil Bermakna “Tafsir”

  

ٌ ٌَّلِإ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌا ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ يِف ٌ ٌ

اَّمَأَف ٌِوْأَت ٌِهِليِوْأَت ٌِةَنْ تِفْل ٌ هَلي ٌ هْنِم ٌَنو عِبَّتَيَ ف ٌ غْيَز اَمَو ٌَءاَغِتْباَو ٌَءاَغِتْبا ٌَهَبا َ شَت اَمٌ ٌْمِهِبو ل ق ٌَنيِذَّلا ٌ مَلْعَ ي

  ﴾ ٧ ٌ: نارمع ٌ لآ ٌ ةروس ﴿ ٌ ٌ هَّللا Artinya: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. ” (Q.S. Ali Imran [3]: 7) b.

  Ta’wil Bermakna “Akibat”

  

ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌِهَّللاِب ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌِهَّللا ٌ ٌ ٌ ٌ يِف ٌ ٌ

ٌِرِخ ْلْا ٌْنِإ ىَلِإ ٌْنِإَف ٌَكِلَذ ٌَنو نِمْؤ ت

  

ٌ رْ يَخ ٌِمْوَ يْلاَو ٌْم تْن ك ٌِلو سَّرلاَو ٌْم تْعَزاَنَ ت

ٌ هوُّد رَ ف ٌ ءْي َ ش ﴾ ٩٩ ٌ: ءاسنلا ٌ ةروس ﴿ ٌ ٌ ًٌليِوْأَت 10

  ٌ نَسْحَأَو 11 Abu Hayyan, Bahr al-Muhit (Beirut: Darr al-Fikr, 1992 M/1412 M), Juz I, hal. 26 12 Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, 1988 M/ 1408 H), Juz II, hal. 33 13 Al-Zarqani, Manahil al-Urfan fi Ulum al-Quran (Kairo, Darr al-Hadis, 2001 M/1422 H), Juz II, hal. 7 14 Al-Alusi, Ruh al- Ma’ani (Beirut: Darr al-Fikr, 1994 H/1414 H), Juz I, hal. 13 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Darr al-Sadr, tt), Cet. I, Juz XI, hal. 32

  Artinya: “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

  (Q.S. Al-Nisa’ [4]: 59) c.

  Ta’wil bermakna “Datangnya Apa yang Diberitakan”

  ﴾ ٣٩ :ٌ سنوي ٌ ةروس ﴿ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌِهِمْلِعِب ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ه ليِوْأَت ٌْمِهِتْأَي اَّمَلَو او طيِح ي ٌْمَلٌ اَمِب او بَّذَك ٌْلَب Artinya: “Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.

  (Q.S. Yunus [10]: 39) d.

  Ta’wil bermakna “Maksud dari Impian”

  ﴾ ۱٠٠ :ٌ فسوي ٌ ةروس ﴿ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌْدَق ٌْنِم اَذَه اًّقَح ي بَر اَهَلَعَج ٌَياَيْؤ ر ٌِتَبَأ اَيٌ ٌ لْبَ ق ٌ ليِوْأَت Artinya: “Dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang

dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.

  (Q.S.

  Yusuf [12]: 100) e. Ta’wil bermakna “Tujuan suatu Perbuatan”

  ﴾ ٧٧ ٌ: فهكلا ةروس ﴿ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌِهْيَلَع ٌِليِوْأَتِب ٌْعِطَتْسَت ٌْمَلٌ اَمٌ ٌَك ئ بَ ن أَس اًرْ بَص Artinya: “Dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang

dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.

  (Q.S.

  Yusuf [1 8]: 88)

  Demikianlah beberapa makna ta’wil dalam al-Quran sebagimana disebutkan oleh Husein al-Zahabi dalam bukunya, Tafsir wa al-Mufassirun. Adapun menurut istilah

  Ta’wil (ليوأت) mempunyai beberapa makna, di antaranya: a.

  Menurut Ulama Salaf/Mutaqaddimin, Ta’wil (لَََيوأَََت) adalah sinonim tafsir. Oleh karenanya, bila dikatakan tafsir al- Quran atau ta’wil al-Quran, maka pengertiannya sama. Ibnu Jarir Al-Thabari mengatakan dalam tafsirnya,

  “satu pendapat tentang ta’wil firman ini” atau “ahli ta’wil berbeda pendapat tentang ayat ini”, yang

  dimaksud ialah ahli tafsir. Demikian pula ungkapan Mujahid,

  “Bahwasanya ulama

  16 mengetahui ta’wil al-Quran”, maksudnya ialah mengetahui tafsir maknanya.

  b.

  Menurut Ulama Mutaakhkhirin yang terdiri dari ulama ahli fiqih, ilmu kalam, hadis, dan tasawuf. Menurut mereka, ta’wil adalah memalingkan lafazh dari makna rajih (yang lebih kuat) ke makna marjuh (dianggap kuat) karena adanya dalil yang

  17

  mendukungnya. Misa lnya, kata “دي” dalam ayat berikut:

  ﴾ ۱٠ ٌ: حتفلا ةروس ﴿ ٌ ٌ ٌِهَّللا ٌَقْوَ ف ٌْمِهيِدْيَأ ٌ دَيٌ Artinya: “Tangan (kekuasaan) Allah di atas tangan (kekuasaan mereka).”

  (Q.S. Al-Fath [4 8]: 10)

  Arti yang kuat (rajih) dari kata ( دي ) adalah tangan, sedangkan makna yang 16 dianggap kuat (marjuh)-nya adalah kekuasaan. Para mufassir ketika memahami ayat

  Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 7-8 ini pada umumnya menggunakan ta’wil, yakni mengalihkan makna rajih (tangan) kepada makna marjuh (kekuasaan) karena ada alasan bahwa kemustahilan Allah memiliki tangan dalam arti indrawi.

  Dengan demikian, makna ta’wil pada zaman ini mulai dibedakan dengan makna tafsir. Uraian perbedaannya akan diuraikan pada bahasan berikutnya secara tersendiri.

3. Definisi Terjemah

  Kata Terjemah ( ةََعََ ر ) secara bahasa berarti penerjemahan atau penafsiran. ََت

  Dalam Taj al-Arusy disebutkan ( ) maknanya, ia telah mentafsiri َُا ََْنَه َ َ و َ َ دََقو

  ََمَ ْرَت َُا َََعَ ْرَت ucapan itu dengan bahasa lain. Sehingga disebutkan, Tarjuman ( ناع رت) ialah mufassir

  18

  atau penafsir bahasa ( ناسِّلِلََُرِّسَفُعلا).

  Adapun menurut istilah, terjemah adalah memindahkan al-Quran pada bahasa lain selain bahasa Arab dan mencetaknya ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami

  19

  maksud kitab Allah SWT dengan perantara terjemah ini. Menurut Al-Zahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, terjemah bisa diartikan dengan memindahkan satu bahasa ke dalam bahasa lain tanpa menjelaskan makna asal yang diterjemah. Dengan kata lain, hanya dengan menuliskan sinonimnya dalam bahasa lain. Al-Zahabi kemudian menambahkan bahwa terjemah bisa juga disebut upaya mentafsiri ucapan dan

  20

  menjelaskan maknanya dengan bahasa lain. Oleh sebab itu, terjemah terbagi dalam

  21

  dua bagian, yaitu: a.

  Terjemah harfiyah, memindahkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tata tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.

  b.

  Terjemah tafsiriyyah (maknawiyah), yaitu menjelaskan makan pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau tanpa memperhatikan susunan kalimatnya.

  Al-Quran diturunkan dengan dua tujuan utama, pertama; sebagai bukti kebenaran apa yang disampaikan oleh Rasulullah, dalam hal ini sebagai mukjizat dan kedua; sebagai petunjuk bagi umat manusia. Berkenaan dengan tujuan utama yang pertama, al-Quran tidak mungkin diterjemahkan secara persis. Ini disebabkan karena selain kemukjizatan al-Quran terletak pada informasi berita tentang alam gaib; sempurnanya syariat yang dibawahnya; dan sisi-sisi kemukjizatan yang lain; kemukjizatannya juga terletak pada setiap ayatnya yang memiliki keindahan khusus. Keindahan khusus tersebut disampaikan dengan gaya bahasa yang khas, seperti dalam bentuk tasybih, isti’arah, majas, dan kinayah. Hal ini tidak mungkin dialih bahasakan

  22 18 ke bahasa lain secara harfiyah. 19 Murtadho Al-Zabidi, Taj Arusy (Darr al-Hidayah: tt), Juz 31, hal. 327 Al-Shabuny, Al- Tibyan fi’ Ulum al-Quran terj. Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia: 1998), Cet. I, hal.

  331 20 21 Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 13 Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran terj. Mudzakir (Jakarta: Litera AntarNusa, 2011), Cet. XIV, hal. 456

  Oleh sebab itu, ulama tidak memperbolehkan menerjemahkan al-Quran secara harfiyah karena lafaz dan maknanya adalah mukjizat yang tidak mungkin dialih

  23

  bahasakan ke dalam bahasa lain. Adapun dengan terjemah tafsiriyah (maknawiyah), ulama memperbolehkannya dengan beberapa syarat tertentu, yaitu: a.

  Terjemah harus sesuai dengan tafsir, tidak boleh menyalahinya, b. Penerjemah tidak cenderung kepada akidah menyimpang dari apa yang di bawah oleh al-Quran, Penerjemah menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan bahasa tujuan terjemahan, dan d.

  Memiliki sitematika yang jelas agar dapat dibedakan antara ayat al-Quran dan terjemah tafsiriahnya.

  Sehubungan dengan keterangan di atas juga, Wahbah al-Zuhaeli menegaskan akan keharaman menerjemahkan susunan ayat al-Quran ( نَرقلاَمظن) secara harfiah karena hal ini tidak mungkin. Sebab di dalam bahasa Arab yang menjadi bahasa al-Quran terdapat tasybih, isti’arah, majas, dan kinayah yang tidak bisa ditiru lafaznya dalam bahasa lain. Akan tetapi menerjemahkan makna al-Quran (

  نَرقلاَيناعل) secara maknawi diperbolehkan karena itu bukanlah al-Quran. Oleh sebab itu, tidak boleh menganggap

  24

  terjemah al-Quran sebagai al-Quran. Sungguhpun demikian, rasa hormat terhadap terjemah al-Quran harus tetap ada sebagaimana rasa hormat terhadap al-Quran.

4. Persamaan dan Perbedaan antara Tafsir dengan Ta’wil dan Terjemah a.

  Persamaan dan Perbedaa antara Tafsir dan Ta’wil Tafsir d an ta’wil adalah adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya. Pandangan ini dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin, diantaranya Abu Ubaidah seperti disebutkan sebelumnya. Oleh karenanya, bila dikatakan tafsir al-

  Quran atau ta’wil al-Quran, maka pengertiannya sama. Termasuk pengertian ini ialah doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas:

  ﴾ نابحٌنبإٌهاور ﴿ ٌ ٌ ٌِني دلا ٌ يِف ٌ ٌ ٌ هْه قَ ف ٌَّم هَّللا ٌ هْم لَعَو ٌَليِوْأَّتلا Artinya: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami

  25

  (H.R. Ibnu Hibban)

  agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.”

  Pada perkembangan selanjutnya, tafsir dan ta’wil mulai dibedakan akan maknanya masing-masing. Al-Zahabi menyatakan bahwa perbedaan tersebut berpangkal pada penggunaan kata- kata ta’wil oleh al-Quran, lalu para ahli ushul fiqih menggunakan istilah khsusus di dalamnya, ditambah dengan populernya pemakaian kata tersebut oleh ahli ilmu kalam. Sejak itulah, para ulama mulai berselih tentang perbedaan tafsir, ta’wil, dan keterkaitan keduanya. Sampai Ibnu Hubeib al-Naisaburi berkata; “telah muncul pada masa kami para ahli tafsir yang seandainya ditanya

  26 23 tentang perbedaan tafsir dan ta’wil, niscaya mereka tidak dapat menjelaskannya.

  Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 19-20 24 Wahbah al-Zuhaeli, Al-Tafsir Al-Munir fi Al-Aqidah, wa al-

  Syari’ah, wa al-Manhaj (Beirut: Darr al- Fikr al- Ma’ashir, 1991 M/1411 H), Cet. I, hal. 37 25 Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), Cet. II, Jilid XV, hal. 531 Perbedaan tafsir dan ta’wil dapat dilihat dari beberapa pandangan ulama di bawah ini: 1)

  Menurut Raghib Al-Asfihani, tafsir lebih umum dari ta’wil. Tafsir kebanyakan digunakan untuk lafaz sedangkan ta’wil lebih sering dipakai untuk yang bersifat maknawi, seperti ta’wil (ta’bir) mimpi. Tafsir digunakan pada semua kitab, termasuk kitab Ilahi, ad apun ta’wil lebih banyak digunakan untuk kitab-kitab

  Ilahi. Tafsir juga lebih banyak digunakan untuk kosa kata, sedangkan ta’wil

  27

  2) Menurut Al-Maturidi, tafsir adalah memastikan bahwa yang dimaksud oleh lafaz ini adalah makan ini. Jika didukung dengan dalil yang qath’i, maka ia shahih. Jika tidak, maka ia adalah tafsir bi al- ra’yi yang dilarang. Sedangkan ta’wil ialah mertarjih salah satu dari beberapa kemungkinan tanpa memastikan dan bersaksi

  28 kepada Allah.

  3) Menurut Husein al-Zahabi, tafsir adalah kembali kepada riwayat, sedangkan ta’wil kembali kepada dirayah. Tafsir adalah mengungkap dan menjelaskan tentang apa yang dimaksud oleh Allah. Pengungkapan dan penjelasan tersebut tidak dapat dipastkan ketetapannya kecuali jika penjelasan itu datang dari Raslullah Saw atau datang dari sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu.

  Adapun ta’wil adalah mentarjih (mengunggulkan/menguatkan) salah satu makna dari beberapa kemungkinan makna yang ditujukan lafaz dengan dalil. Prosesnya yang melalui tarjih merupakan bagian dari ijtihad yang dicapai melalui pengetahuan tentang perbendaharaan lafaz, makna-maknanya dalam bahasa arab, penggunaannya dalam struktur kalimat, pengetahuan mengenai susunan dan gaya

  29 bahasa arab serta penyimpulan makna-makna darinya.

  Untuk memberikan kejelasan akan perbedaan tafsir dan ta’wil, perhatikan contoh dibawah ini:

  ﴾ ۱٠ ٌ: رجفلا ةروس ﴿ ٌ ٌ ٌَّنِإ ٌِداَصْرِمْلاِبَل ٌَكَّبَر Artinya: “sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (Q.S. Al-Fajr

  [89]: 14) Tafsirnya adalah , kata (

  َِدا َص ْرِل) berasal dari kata (دصرلا). Dikatakan (اتدصر), maknanya saya mengawasi dia. Ta’wilnya ialah, “peringatan agar tidak meremehkan

  30 perintah Allah dan mempersiapkan diri untuk menghadap dengan-Nya.

  b.

  Persamaan dan Perbedaa antara Tafsir dan Terjemah Tafsir dan terjemah memiliki tujuan yang sama untuk memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran. Jika tafsir mencakup penjelasan makna dengan menguraikan lafaznya, merinci maknanya, mengarahkan berbagai masalah yang dikandungnya yang hal itu dibutuhkan dalam memahami al-Quran, maka terjemah

  31 27 pun mencakup hal-hal tersebut. 28 Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, tt), Juz 2, hal 183 29 Al-Zarqani, Manahil al-Urfan fi Ulum al-Quran (Kairo, Darr al-Hadis, 2001 M/1422 H), Juz II, hal. 9 30 Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 13 Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, hal 183 Hanya saja, tafsir lebih umum daripada terjemah. Perbedaan utamanya

  32

  dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: 1)

  Perbedaan bahasa. Tafsir, bahasanya adalah bukan bahasa lain tetapi tetap bahasa al-Quran. Ini menunjukan bahwa tafsir menggunakan bahasa yang sama, baik teks maupun hasil penafsirannya. Adapun terjemah menggunakan bahasa lain. Dalam penerjemahan, terdapat bahasa sumber dan bahasa sasaran. Sehingga, dalam penerjemahan menggunakan dua bahasa atau lebih. Pembaca tafsir dapat mencermati susunan al-Quran dan dalalah makna yang ditunjukannya. Jika ia menemukan kesalahan, ia dapat melakukan koreksi terhadapnya. Berbeda ketika menelaah terjemah, ia tidak dapat melakukan koreksi karena tidak mengetahui susunan al-Quran dan dalalahnya. Bahkan mungkin ia menyakini bahwa terjemahan yang dibacanya itu merupakan makna yang benar terhadap al-Quran.

  Sehubungan hal di atas, penting kiranya mengutip ucapan Muhammad Ali al-Shabuny bahwa terjemah sesungguhnya bukan terjemah al-Quran, tetapi

  33

  terjemahan mengenai arti-arti al-Quran atau terjemah tafsir al-Quran. Oleh karenanya tidak boleh menganggap terjemah al-Quran sebagai al-Quran sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir

  Penafsiran al-Quran sudah berlangsung sejak zaman nabi Muhammad Saw (571- 632 M) dan masih tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa mendatang. Penafsiran al-Quran sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri nagi pertumbuhan dan perkembangannya. Berikut beberapa uraian dari masing-masing periode mengenai pertumbuhan dan perkembangan al-Quran dari masa ke masa.

1. Periode Nabi Muhammad Saw

  Al- Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-

  Qur’an. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al- Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-

  Qur’an. Jika terdapat kejanggalan yang mereka tidak dapat pahami, mereka langsung menayaknnya kepada nabi Muhammad Saw. Demikianlah tradisi tafsir ketika itu, sama sekali tidak masalah yang besar karena

  34 semua permasalahan bisa langsung ditanyakan kepada Rasulullah Saw.

  Pada masa itu tak seorang pun dari para sahabat beliau yang berani menafsirkan al-Quran karena beliau masih berada di tengah-tengah mereka. Beliau sendirilah yang memikul beban untuk memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat al-Quran

  35

  sebagaimana mestinya. Firman Allah SWT menegaskan hal ini:

  32 Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal.

  13

  33 Al-Shabuny, Al- Tibyan fi’ Ulum al-Quran terj. Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia: 1998), Cet. I, hal. 331

  34 Al-Suyuti,

Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, tt), Juz 2, hal 183

  35 Subhi al-Shalih, Mabahis fi Ulum al-Quran terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet.

  ﴾ ٤٤ ٌ: لحنلا ةروس ﴿ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌِساَّنلِل ٌ ٌ ٌ ٌ ٌَنو ٌَل ز ن ٌَكْيَلِإ ٌْم هَّلَعَلَو ٌْمِهْيَلِإ اَمٌ ٌَن يَ ب تِل اَنْلَزْ نَأَو ٌ رَّكَفَ تَ ي ٌَرْك ذلا Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

  (Q.S. Al-Nahl [16]: 44)

  Contoh keterangan nabi terhadap al-Quran seperti di dalam menjelaskan maksud surah al-Anfal ayat 60:

  ٌ ملسو ٌ هيلع ٌ للها ٌ ىلص ٌ ٌِهَّللا ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ىِبَأ ٌ ٌ رِماَع ٌَةَبْق ع ٌ هَّنَأ ٌ ىَف ش ٌِنْب ٌ ىِلَع ٌْنَع ٌَلو س ٌٌَر ٌ تْعِمَ س ٌ لو قَ ي ٌَنْب ٌَعِمَ س ٌَةَماَم ث ٌ ٌ ٌ ٌ ٌَّنِإ ٌ ٌ ٌ ٌَّنِإ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ« ٌ ٌ ٌ ٌ ٌَلَأ ٌَةَّو قْلا ٌَلَأ ٌَةٌ ٌَّو قْلا ٌَلَأ ٌ ةَّو ق ىَلَع ٌْنِم ٌِرَبْنِمْلا ٌْم تْعَطَت ْ سا اَمٌ ٌْم هَل اوُّدِعَأَو ٌ لو قَ ي ٌَو هَو ٌ ىْمَّرلا ٌ ىْمَّرلا ﴾ ملسمٌهاور ﴿ ٌ» ٌ ٌ ٌَّنِإ ٌَةَّو قْلا ٌ ىْمَّرلا Artinya: “Diriwayatkan imam Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata, “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah dia tas mimbar membaca firman Allah, ‘ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah ’. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Ketahuilah

  

36

  (H.R. Muslim)

  bahwa kekuatan itu pada memanah ’.” 2.

  Periode Mutaqaddimin Periode mutaqaddimin sekitar awal abad pertama sampai abad keempat hijriah

  (abad 1-

4 H). Periode ini meliputi masa sahabat, tabi’in, dan tibi’i tabi’in. Sepeninggal

  Nabi Muhammad Saw (11 H/632 M) selaku mufassir pertama dan tunggal pada zamannya, penafsiran al-Quran dilakukan oleh para sahabat. Dari kalangan sahabat, setidak-tidaknya tercatat sekitar sepuluh orang mufassir yang sangat terkenal, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abd ullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud

  37 dan Abdullah bin Abbas.

  Sumber tafsir pada masa sahabat ialah, al-Quran, Hadis, Ijtihad, dan informasi

  38

  dari ahli al-Kitab. Beberapa ciri tafsir sahabat ialah; penfasiran hanya sebagian dari ayat al-Quran, melalui pendekatan kosakata secara global, dan penfasiran dilakukan

  39 dengan menguraikan Hadis karena tafsir ketika itu adalah bagian dari Hadis.

  Setelah para sahabat, penafsiran selanjutnya dilakukan oleh generasi tabi’in. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Berbeda dengan sahabat yang secara umum bermukim di Madinah. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah

  40

  kajian tafsir di beberapa wilayah, yaitu: a.

  Madrasah tafsir di Mekah, pendiri madrasah ini ialah Abdullah bin Abbas. Para mufassirnya yang terkenal ialah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Atha bi Abi 36 Rabah, Thawus bin Kisan, dll. 37 Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr al-Jil, tt), Juz VI, hal. 52 38 Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi (Kairo: Darr al-Nasr, tt), Juz I, hal. 6 39 Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 27 Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran terj. Mudzakir (Jakarta: Litera AntarNusa, 2011),

  Cet. XIV, hal. 473 40 Shiddiq bin Hasan, Fath al-Bayan (Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah, 1992 M/ 1412 H), Juz 1, hal. b.

  Madrash tafsir di Madinah, pendirinya adalah Ubay bin Ka’ab. Para mufassirnya yang terkenal ialah Zaid bin Aslam, Abu Aliyah, M uhammad bin Ka’ab, dll c. Madrasah tafsir di Madinah, pendirinya adalah Abdullah bin Mas’ud. Para mufassirnya yang terkenal ialah Alqamah bi Qais, Masruq, Murrah al-Hamdani,

  Hasan Basri, Qatadah, dll.

  Sumber tafsir pada masa tabi’in ialah al-Quran, Hadis, tafsir para sahabat, informasi dari ahli al-Kitab, dan ijtihad. Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa tafsir tabi’in bisa di ambil karena tabi’in mengambil sebagian besar tafsirnya dari para sahabat. Adapun menurut Syu’bah dan Ibnu Aqil menyebutkan bahwa tafsir tabi’in tidak bisa dijadikan rujukan karena mereka tidak menyaksikan turunnya al-Quran secara

  41 langsung sebagaimana yang dialami oleh para sahabat.

  Tafsir pada masa tabi’in memiliki beberapa ciri, yaitu tafsir tetap konsisten dalam penerimaan dan periwayatan, tafsir mengandung banyak kisah israiliyyat, dan tafsir pada masa tersebut telah menunjukan benih-benih perbedaan mazhab. Kemudian, tradisi tafsir ini diwarisi oleh generasi sela njutnya, yaitu tabi’i tabi’in yang oleh Mustafa

  42

  al-Maragi disebut sebagai periode penghimpunan tafsir sahabat dan tabi’in.

  Para mufassir yang terkenal pada masa tabi’i tabi’in di antaranya, Syu’bah bin Hajjaj, Waki’ bin Jarrah, Sufyan bin Uyainah, Ishaq Al-Naisaburi, Yazid bin Harun al- Sulami, Abdullah bin Hamid al-Juhni. Ciri tafsir pada masa ini tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya, hanya saja telah mengarah pada penghimpunan tafsir secara khusus. Secara umum, periode mutaqaddimin yang terdiri dari masa sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in disebut fase periwayatan dengan lisan. Fase ini tafsir masih menjadi sub bab dari hadis seperti pada masa sahabat.

3. Periode Muta’akhkhirin Pada periode ini, pengkodifikasian atau pembukuan tafsir mulai dilakukan.

  Periode ini ditandai dengan maraknya penulisan tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari Hadis. Secara umum, perkembangan tafsir pada periode ini melalui 3 tahap:

  Tahap pertama, pemisahan tafsir dari kitab Hadis menjadi disiplin ilmu tersendiri. Beberapa mufassir yang berjasa pada masa ini ialah Ibnu Majah, Ibnu Jarir

  43 al-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dll.

  Tahap kedua, tafsir mulai masuk pada fase yang sama sekali berbeda sebelumnya, yaitu meringkas isnadnya atau bahkan menghapusnya. Inilah awal mula masuknya pemalsuan dalam tafsir dan kisah-kisah israiliyyat. Diantara mufassir yang melakukan penghapusan sanad dalam tafsirnya ialah Abu Ishaq al-Zujaj, Abu Bakar

44 Muhammad bin Hasan, dll.

  Tahap ketiga, tafsir mulai mengalami perkembangan yang sangat signifikan, khsususnya mengenai metodenya. Fase ini diwarnai dengan penulisan tafsir yang bercampur di dalamnya antara tafsri bi al-matsur dan tafsir bi al- 41 ra’yi. Selain itu, tafsir Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal.

  122-123 42 43 Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi (Kairo: Darr al-Nasr, tt), Juz I, hal. 8-9 Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun hal. 136 mulai bermunculan dengan beragam corak masing-masing seperti, corak tasawuf, isyari,

  45

  fiqih, filsafat, kalam, dan lain-lain. Pemicu munculnya metode baru, yaitu tafsir bi al- ra’yi dalam fase ini dan ragam corak tafsir ialah semakin majunya ilmu keislaman seiring semakin luasnya daerah kekuasaan Islam yang juga diwarnai kemunculan ragam disiplin ilmu.

  Pada tahap ketiga ini, muncullah beragam metode tafsir yang berbeda-beda. Di antaranya, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Razi, Tafsir al-Quran al-Azhim karya Al-

4. Periode Kontemporer

  Periode ini dimulai dari akhir abad ke-19 hingga kini. Tafsir masa ini dipelopori oleh para tokoh dan pejuang muslim yang berupaya untuk melakukan perbaikan dalam dunia Islam. Tafsir yang pertama kali muncul pada periode ini ialah tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. Tafsir ini menginspirasi beberapa tafsir setelahnya, yaitu tafsir Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir Mahasin

  46

  al- Ta’wi karya Al-Qasimi, dan Tafsir Al-Jawahir karya Thanthawi Jauhari.

  Gerakan pembaharuan Islam yang bermula di Mesir tersebut, turut mempengaruhi daerah-daerah lainnya termasuk di Indonesia. Di antara tafsir-tafsir di Indonesia ialah Tafsir al-Azhar karya Hamka Tafsir Al-Nur dan Tafsir al-Bayan karya Hasbi Al-Shiddiq, Tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus, tafsir Al-Misbah karya Qurais Shihab, dll. Pada masa ini pula, melahirkan metode dan corak yang baru dalam bidang tafsir. Di antara metode yang dapat dikemukakan ialah metode maudhu’i (tematis), metode muqarin. Adapun coraknya ialah tafsir corak al-adabi al- ijtima’i.

  Demikian uraian dari masing-masing periode pertumbuhan dan perkembangan al- Quran dari masa ke masa. Uraian tersebut memperlihatkan jalinan kesinambungan yang tidak pernah putus sekalipun dalam rentang daerah yang sangat berjauhan. Jadi, diberbagai daerah Islam atau Negara yang berpenduduk muslim termasuk Indonesia, kegiatan penafsiran al-Quran merupakan kunci pembuka bagi kecermelangan umat. Uraian beberapa bahasan pada poin ini, seperti metode penafsiran termasuk corak tafsir akan disinggung lebih jauh lagi pada bahasan berikutnya di bawah ini.

C. Tafsir Pada Masa Perkembangan Hadis

  Tafsir pada masa awal disampaikan melalui riwayat-riwayat bersamaan dengan Hadis- hadis Nabi lainnya. Keberadaanya masih menjadi sub bab dari kitab-kitab Hadis. Penulisan dan upaya kodifikasi Hadis dimulai sejak akhir Abad pertama hijriah pada masa kekhalifaan Umar

  47

  bin Abdul Aziz dan selesai pada pertengahan abad kedua hijriah. Adapun upaya penulisan dan kodifikasi tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri baru dimulai pada awal abad ketiga hijriah dan terus mengalami perkembangan yang panjang sampai sekrang ini.

  Ilustrasi di atas menunjukan keberadaan tafsir menjadi sub bagian dalam hadis berlangsung sangat lama, yaitu dari awal pertumbuhan hadis sampai awal abad ketiga hijriah. Disinilah peranan penting pada pembahasan ini dan akan dijelaskan di bawah ini. 45 46 Thabathaba’i, Al-Mi’zan fi Tafsir al-Quran (Qum: Ruh al-Amin, 1430 H), Cet. I, hal. 6-7 47 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2009), Cet. II, hal. 25-26 Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadis terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Tangerang: Gaya Media

1. Penyusunan dan Kodifikasi Tafsir

  Masa penyusunan dan kodifikasi tafsir dimulai pada akhir abad dinasti Bani Umayyah dan awal dinasti Abbasiyyah. Dalam hal ini, hadis mendapat prioritas utama dan kodifikasinya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Keadaan tafsir ketika itu belum dipisahkan secara khsusus, baik surah demi surahnya, ayat demi ayatnya, atau dari awal hingga

  48

  akhir al-Quran. Sehubungan hal ini, Al-Zahabi mengatakan, kemi tidak dapat

  

49

membukukannya sesuai urutan mushaf.

  Namun, ada beberapa nama mufassir yang kemungkin menjadi penulis tafsir sesuai urutan mushaf. Mufassir tersebut ialah Al- Farra (w. 207 H), Sa’id bin Jubair (w.

  95 H), Amr bin Ubaid (w. 116 H), dan Ibnu Juraij (w. 150 H). setelah golongan ini, datang generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari ilmu hadis pemisahan tafsir dari kitab Hadis menjadi disiplin ilmu tersendiri. Al-Quran mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf. Diantara mereka adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), Ibnu Abi Hatim 327 H, Ibnu Hibban (w. 369

50 H), Al-Hakim (w. 405 H), dan lain-lain.

  Menurut Mustafa Al-Maragi, tafsir yang paling baik pada periode awal kodifikasi adalah tafsir Al- Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran. Sebab, kitab ini menuturkan banyak pendapat penafsiran lalu menyeleksinya. Tafsir ini menyertakan pula bahasan i’rabnya jika diperlukan dan hukum-hukum yang di ambil dari ayat-ayat

  51 al-Quran.

2. Mazhab-mazhab Tafsir

  Mazhab tafsir ialah aliran-aliran, mazhab-mazhab, kecenderungan- kecenderungan yang dipilih seorag mufassir ketika ia berusaha menafsirkan al-Quran, meskipun ia tidak ia tidak pernah menamakan tafsirnya dengan aliran atau mazhab tertentu. Mazhab tafsir mencakup periode atau kronologi tafsir seperti tafsir klasik, petengahan dan modern; tendensi atau kecenderungan tafsir seperti su nni, mu’tazili, dan syi’i; corak tafsir seperti fiqih, sufi, falsafi, ilmi, dan tafsir adabi ijtima’i. Bahkan ada juga yang melihat dan membaginya atas dasar pola perkembangan pemikiran seperti mistis, ideologis, dan ilmiah.

  Sehubungan hal di atas, mazhab tafsir dapat diamati perkembangannya seperti uraian di bawah ini.

  a.

  Tafsir Tahlili Tafsir metode ini menyoroti ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat 48 di dalam al-Quran. Metode ini merupakan metode penafsiran yang paling tua karena

  Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran terj. Mudzakir (Jakarta: Litera AntarNusa, 2011), Cet. XIV, hal. 476 49 Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal.

  137 50 Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, Cet. XIV, hal. 777 berasal sejak masa para sahabat. Realisasi nyata tafsir dengan metode ini baru muncul pada awal abad keempat hijriah.

52 Para mufassir tersebut ialah Ibnu Majah Al-

  b.

  Perbandingan ayat al-Quran dengan hadis, dan 3) Perbandingan tafsir dengan tafsir lain. 52 Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), Cet. IV, hal. 172 53 Thabathaba’i, Al-Mi’zan fi Tafsir al-Quran (Qum: Ruh al-Amin, 1430 H), Cet. I, hal. 6-7 54 Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum al-Quran, hal. 186

  Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain, 2)

  yaitu: 1)

  55

  Tafsir Muqarin Sesuai dengan namanyam tafsir muqarin adalah tafsir yang menggunakan cara perbandingan atau komparasi. Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat dikelompokkan menjadi tiga,

  54 c.

  Tafsir al-Quran al-Azhim karya Farid Wajdi, Al-Wasith karya Tim Majma al-Buhuts al-Islamiyyah.

  Tafsir Ijmali Tafsir ijmali yaitu tafsir yang menafsirkan al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Kitab tafsir yang disusun dengan metode ini ialah