ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MONETER TERHADAP PERUBAHAN HARGA DI JAWA BARAT ( 1995 – 2005) Fifi Afiyanti Tripuspitorini Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung ABSTRAK - ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MON

  Ekspansi Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan dan Akuntansi Vol. 1, No. 1, Mei 2009, 1 -15

  

ANALISIS PENGARUH SISI FISKAL DAN SISI MONETER

TERHADAP PERUBAHAN HARGA DI JAWA BARAT

( 1995 – 2005)

  Fifi Afiyanti Tripuspitorini

  

Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi

Politeknik Negeri Bandung

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sisi fiskal maupun dari sisi moneter terhadap perubahan harga di Jawa Barat selama kurun waktu tahun 1995-2005 dan menggunakan data panel dengan metode deskriptif dan kuantitatif. Teknik analisa menggunakan Fixed Effect Model dengan data cross section terdiri dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat, sedangkan data time series adalah data tahunan selama kurun waktu 11 tahun dari tahun 1995-2005, dengan menyertakan variabel dummy kebijakan otonomi daerah sebagai variabel bebas dan sebagai variabel intervening. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa sisi fiskal maupun sisi moneter mempunyai pengaruh signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat, artinya apabila variabel-variabel sisi fiskal maupun sisi moneter mengalami perubahan, maka akan terjadi juga perubahan harga di Jawa Barat.

  Kata kunci : fiskal, moneter, panel data, inflasi. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

  Dipicu dengan adanya krisis moneter dan transisi politik, sejak 1 Januari 2001, Indonesia menerapkan desentralisasi ( otonomi daerah ) yang didasarkan pada Undang-

  Undang nomor 22 tahun 1999 tentang ”Pemerintah Daerah” dan Undang- Undang nomor 25 tahun 1999 tentang ”Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”(UU-PKPD). Sejauh menyangkut hubungan keuangan pusat-daerah, konsep otonomi yang ditawarkan dari sisi fiskal melalui UU-PKPD lebih tepat dikategorikan sebagai desentralisasi ”pengeluaran” pemerintah daerah. Jenis maupun mekanisme sumber-sumber penerimaan daerah masih sepenuhnya ditentukan Pusat. Perbedaan pokok terletak pada kewenangan dalam penggunaannya yang akan sepenuhnya diberikan ke daerah.

  Kondisi fiskal daerah dengan mengambil potret Kabupaten/Kota di Jawa Barat, menjelang implementasi otonomi daerah tahun 1998/1999 ditandai oleh peran PAD terhadap APBD yang umumnya rendah, dan ketergantungan pada transfer pusat yang sangat tinggi. Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di Jawa Barat secara

  1 Ekspansi

  rata-rata rendah, berkisar dari 4.86 persen (Kabupaten Indramayu) sampai dengan 32.26 persen (Kota Bandung) menurut data 1998/1999.

  33.03

  12 Kab. Indramayu

  8.13

  4.86

  13 Kab. Subang

  18.81

  9.32

  14 Kab. Purwakarta

  24.32

  23.64

  15 Kab. Karawang

  28.16

  21.70

  16 Kab.Bekasi

  22.55

  16.79

  17 Kota Bogor

  32.86

  25.43

  18 Kota Sukabumi

  28.88

  22.92

  19 Kota Bandung

  35.22

  32.26

  20 Kota Cirebon

  32.62

  29.11 Sumber : Diolah dari BPS, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Tingkat II, 1997/98-1998/99.

  Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di tahun 1998/99 mengalami penurunan untuk semua Kabupaten/Kota dibandingkan dengan tahun1997/98. Secara riil, nilai PAD tahun 1998/99 dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya mengalami penurunan di hampir semua Kabupaten/Kota (Alisjahbana, 2000).

  Diimplementasikannya kebijakan fiskal sejalan dengan diberikannya otonomi yang lebih luas kepada daerah kabupaten dan daerah kota, telah membuka peluang bagi para pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan asli daerahnya. Salah satu upaya yang ditempuh adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal dari perolehan pajak daerah dan retribusi daerah (Lutfi, 2002). Adanya hasrat pemerintah yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan adanya suatu kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih didorong oleh tingkat konsumsi masyarakat memberikan tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan harga dan pencapaian target inflasi yang ditetapkan.

  13.42

  11 Kab. Sumedang

  

TABEL 1

Kontribusi PAD/APBD Kabupaten/Kota Jawa Barat, 1997/98 dan 1998/99

No. Kabupaten/Kota Kontribusi PAD/APBD (%)

  8.50

  1997/98 1998/99

  1 Kab. Bogor

  32.11

  25.66

  2 Kab. Sukabumi

  13.98

  5.55

  3 Kab. Cianjur

  12.59

  5.95

  4 Kab. Bandung

  14.40

  12.21

  5 Kab. Garut

  7.51

  6.60

  6 Kab. Tasikmalaya

  15.09

  10.39

  7 Kab. Ciamis

  9.23

  5.43

  8 Kab. Kuningan

  10.22

  7.14

  9 Kab. Cirebon

  10.09

  7.30

  10 Kab. Majalengka

  11.09

  Peran Bank Indonesia dalam konteks pengelolaan perekonomian secara makro lebih difokuskan pada menjaga kestabilan harga. Sebagaimana tercantum dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tugas Bank Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat mendasar dalam hal pengelolaan moneter. Hal ini

  Fifi Afiyanti

  didasari pada pemahaman bahwa kestabilan harga melalui upaya menjaga inflasi pada tingkat yang rendah adalah merupakan pijakan menuju kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Pandangan mengenai inflasi, selalu identik dengan inflasi dalam konteks nasional. Namun pada kenyataannya inflasi di tiap kota dalam satu negara, bahkan dalam satu propinsi sekali pun sering kali mengalami perbedaan. Isu penting yang berkaitan dengan inflasi pada tingkat regional pada saat ini adalah otonomi daerah. Pada era otonomi daerah seperti saat ini, tugas Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menjadi semakin berat. Undang-undang mengenai otonomi daerah, memiliki implikasi bahwa pemerintah kabupaten maupun kota mempunyai andil besar dalam mengatur perekonomian daerahnya sendiri. Dengan demikian, kondisi perekonomian daerah akan sangat beragam dan tergantung pada potensi ekonomi masing-masing daerah beserta cara pengelolaannya. Hal ini juga berimplikasi pada kebijakan- kebijakan di tiap-tiap daerah yang dalam hal ini adalah kebijakan fiskal, dikarenakan pemberlakuan desentralisasi fiskal sesuai dengan konsep otonomi daerah. (Asmanto dan Soebagyo, 2007). Dari sisi otoritas moneter, terjadinya mekanisme transfer keuangan pusat-daerah berpotensi menimbulkan permasalahan dalam operasi pengendalian moneter. Terjadinya desentralisasi fiskal berpotensi menimbulkan resiko perubahan perilaku pengendalian fiskal di daerah-daerah. Jika pemerintah daerah mengalokasikan dananya untuk memperkuat fondasi perekonomian daerah maka akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika dana transfer tersebut dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktif, spekulatif dan konsumtif yang dapat menimbulkan iddle money maka akan berdampak terhadap pengendalian moneter (Ismail, 2002). Hasil ini mendukung temuan sebelumnya di China bahwa desentralisasi ekonomi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi bersifat inflationary (Brandt dan Zhu, 2000). Pergerakan harga barang di Indonesia sangat ditentukan oleh pergerakan harga di daerah, karena 72,34% inflasi nasional (45 kota) disumbang oleh inflasi daerah di luar Jakarta. Inflasi di Jawa Barat (gabungan tiga kota: Bandung, Cirebon, Tasikmalaya) membentuk 8,33% inflasi nasional. Di antara tiga kota tersebut, inflasi kota Bandung paling besar pengaruhnya terhadap inflasi di Jawa Barat, yakni sebesar 81,15%. Pendorong utama inflasi di Jawa Barat banyak dipengaruhi oleh sisi penawaran, khususnya masalah distribusi dan tata niaga barang, di samping faktor administered

  

price dan ekspektasi. Masalah distribusi terkait erat dengan ketersediaan sarana

  3 Ekspansi

  infrastruktur baik jalan raya, maupun sarana pendukung seperti ketersediaan pasar induk di suatu daerah. Misalnya, laju inflasi di kota Banjar, Tasikmalaya, dan Sukabumi (jalan rayanya tidak begitu baik) relatif lebih tinggi dibandingkan kota Bandung, Bogor, dan Bekasi. Hal lain adalah, respon terhadap kenaikan dan penurunan harga di kota- kota yang memiliki infrastruktur yang relatif lebih baik seperti Bandung, Bogor relatif lebih cepat merespon perubahan harga.

  Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan laju inflasi di kabupaten/kota di Jawa Barat, pada masa sebelum otonomi daerah dan selama berlangsungmya otonomi daerah. Hal ini penting karena laju inflasi merupakan indikator penting di sektor riil dan merupakan salah satu dari beberapa tujuan pembangunan yang tidak terlepas dari perubahan yang terjadi di daerah, sedangkan desentralisasi fiskal adalah variabel yang memungkinkan terjadinya fluktuasi-fluktuasi ekonomi

  Identifikasi Masalah

  Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

  1. Apakah variabel-variabel kebijakan sisi fiskal dan sisi moneter memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat ?

  2. Faktor apakah yang paling dominan memengaruhi perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat.

  TEORI Tinjauan Teoritis Sisi Fiskal

  Desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan di bidang fiskal (penerimaan dan pengeluaran) dari level pemerintah yang lebih tinggi ke level pemerintah yang lebih rendah. Di beberapa negara, pelimpahan kewenangan fiskal berasal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah lokal (kabupaten / kota). Dalam membahas mengenai indikator desentralisasi fiskal, terdapat tiga variabel yang merupakan representasidesentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiga variabel tersebut adalah :

  Desentralisasi Pengeluaran

  Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN). Hal ini

  Fifi Afiyanti

  menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

  Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan

  Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten / kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan nasional (APBN). Variabel ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah.

  Desentralisasi Penerimaan

  Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing- masing kabupaten / kota (APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah. Variabel ini mengekspresikan besaran relatif antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat (Khusaini, 2006:99).

  Tinjauan Teoritis Sisi Moneter

  Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan tersebut adalah stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan / kesempatan kerja yang tersedia. (Warjiyo dan Solikin, 2003:2).

  Ada beberapa pendapat yang menyoroti sejauh mana efektivitas kebijakan moneter dalam memengaruhi tingkat pendapatan / kesempatan kerja dan variabel-variabel ekonomi makro lainnya, di antaranya dikenal pendapat Natural Rate Hypothesis dan Rational Expectation Hypothesis.

  Menurut Natural Rate Hypothesis, efektivitas ekspansi moneter hanya efektif dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, kegiatan produksi dan kesempatan kerja yang semula meningkat dan meluas akan kembali menurun ke tingkat semula. Hal ini disebabkan dalam jangka panjang masyarakat mulai sadar bahwa upah riil yang diterima sebenarnya mengalami penurunan karena kenaikan upah nominal lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga-harga.

  Menurut Rational Expectation Hypothesis, ekspansi moneter tidak efektif, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, karena masyarakat menyadari bahwa walaupun secara nominal upah meningkat, secara riil upah tidak mengalami kenaikan. Apabila upah riil tidak berubah, masyarakat tidak bersedia meningkatkan penawaran tenaganya sehingga kebijakan moneter tidak akan membawa dampak perluasan

  5 Ekspansi

  produksi / kesempatan kerja, tetapi justru hanya mengakibatkan inflasi. Produsen juga sadar bahwa kenaikan harga barang-barang produksi tidak akan memberikan suatu keuntungan tambahan karena ongkos-ongkos produksi, terutama tenaga kerja juga mengalami kenaikan yang sama besar.

  Tinjauan Teoritis Inflasi

  Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya

  

cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar

  negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab terjadinya demand pull

inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya.

Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau

  

forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen

  dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan dan penentuan upah minimum regional UMR) (Bank Indonesia, 2007).

  Kerangka Pemikiran

  Secara teoritis, pengertian inflasi merujuk pada perubahan tingkat harga (barang dan jasa) umum yang terjadi secara terus menerus. Data mengenai perkembangan harga dapat didasarkan pada cakupan barang dan jasa sebagai komponen pembentuk PDB (deflator PDB), cakupan barang dan jasa yang diperdagangkan antara produsen dengan pedagang besar (Indeks Harga Perdagangan Besar / IHPB), ataupun cakupan barang dan jasa yang dijual secara eceran dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat (Indeks Harga Konsumen / IHK).

  Sesuai dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran laju inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia atas dasar tahun kalender dengan memperhatikan perkembangan dan prospek ekonomi makro. Untuk itu, sejak tahun 2000 Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi pada awal tahun yang akan dicapainya untuk tahun yang bersangkutan (Warjiyo dan Solikin, 2003). Berdasarkan sasaran inflasi tersebut dan asumsi pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia menetapkan target base

  

money tahunan yang kemudian dijabarkan secara bulanan. Secara operasional, target

base money tersebut digunakan sebagai patokan dalam operasi pasar terbuka yang

  Fifi Afiyanti

  terutama dilakukan melalui lelang SBI. Suku bunga SBI terbentuk melalui mekanisme lelang dengan dasar Stop-Out Rate (SOR) dan suku bunga yang terjadi dihitung berdasarkan rata-rata tertimbang pemenang lelang. Penelitian yang dilakukan Paul D. McNelis (1999), antara lain menguraikan tentang arah kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap inflasi, prosedur operasional kebijakan moneter, dan metode untuk melakukan proyeksi inflasi. Kesimpulan penting penelitian McNelis ini adalah bahwa stance kebijakan moneter BI pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai kebijakan moneter yang anti-inflationary bias. Pengujian statistik menunjukkan bahwa pergerakan suku bunga seolah-olah merespons perubahan ekspektasi inflasi dan tekanan permintaan. Selain itu, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa instrumen kebijakan moneter yang lebih tepat digunakan adalah suku bunga SBI satu bulan daripada menggunakan base money. Argumen penting yang mendasari perubahan instrumen moneter menjadi suku bunga adalah kemudahan suku bunga dalam menyampaikan pesan mengenai arah kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.

  Studi empiris di banyak negara menunjukkan bahwa jalur agregat moneter semakin tidak efektif dalam memengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Tidak stabilnya money multiplier dan income velocity sebagai akibat dari makin berkembangnya financial inovation dan terintegrasi pasar keuangan merupakan beberapa alasan yang mendasari tidak efektifnya jalur agregat moneter. Oleh karena itu sebagian besar negara (negara industri dan negara berkembang) mulai mendasarkan prosedur operasional kebijakan moneter mereka pada jalur transmisi suku bunga. Suku bunga yang paling banyak digunakan sebagai target operasional adalah jenis suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) dengan tenor waktu jangka pendek (overnight) (Pohan, 2008: 189).

  Selain dipengaruhi kebijakan moneter, permintaan masyarakat dipengaruhi pula oleh kebijakan fiskal (besarnya APBN). Hal ini dapat terjadi melalui pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan dalam APBN. Karena itu, dalam mengendalikan laju inflasi dari sisi permintaan, bank sentral juga harus memperhitungkan dampak fiskal terhadap kegiatan ekonomi dan inflasi. Ini yang sering disebut koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dalam konteks perumusan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro. Selain untuk mengkoordinasikan langkah-langkah pengendalian terhadap sisi permintaan dari perekonomian nasional, koordinasi fiskal-moneter tersebut juga sangat penting dalam

  7 Ekspansi

  mengantisipasi dan meminimalkan dampak perubahan kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan terhadap inflasi (Warjiyo dan Solikin, 2003). Pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal pada dasarnya tidak terlepas dari terdapat perbedaan penekanan dalam pencapaian tujuan masing-masing kebijakan. Tujuan utama kebijakan moneter lebih ditekankan pada stabilitas harga, dengan dasar beberapa pertimbangan. Pertama, dengan output ditentukan kapasitas ekonomi dalam jangka panjang, maka segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run Phillips Curve) sehingga tidak akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and Prescott, 1997). Kedua, rational

  

economic agent mengerti bahwa tindakan kejutan pembuat kebijakan dalam

  mendorong pertumbuhan ekonomi yang mendorong inflasi dapat mendorong terjadinya permasalahan time-consistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, kebijkan moneter dalam memengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang dan mempunyai lag (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena akan mengurangi biaya yang berasal dari inflasi (Simorangkir, 2007). Bagi Bank Indonesia yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang dipilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan moneter ini ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun dalam formulasi kebijakannya Bank Indonesia sudah mempertimbangkan aspek regional, namun respon agen dan dampak pada masing-masing region tersebut sangat mungkin berbeda, dan ini sangat bergantung pada kondisi empirik masing-masing daerah. Pada sisi lain, pemerintah selaku otoritas fiskal juga memiliki tipikal pertimbangan yang serupa, kecuali bahwa adanya pemisahan antara pemerintah pusat dan daerah akan membuka kemungkinan variasi kebijakan fiskal yang berbeda antara daerah satu dengan lainnya.

  Pada dasarnya penelitian ini dilandasi kerangka pemikiran bahwa tujuan pembangunan ekonomi di berbagai negara meliputi pertumbuhan ekonomi yang stabil, kesempatan kerja, stabilitas harga dan keseimbangan pada neraca pembayaran internasional. Dari dimensi regional, tujuan pembangunan nasional tidak jauh berbeda dengan tujuan pembangunan ekonomi di tiap-tiap daerah, terlebih dalam era desentralisasi fiskal seperti saat ini, terutama dalam hal menjaga stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah memiliki dua kebijakan ekonomi utama yaitu kebijakan moneter dan

  Fifi Afiyanti

  kebijakan fiskal. Interaksi antara kedua kebijakan tersebut dalam memengaruhi tujuan pembangunan di daerah merupakan fokus utama dalam penelitian ini. Berbagai studi membuktikan bahwa ada keterkaitan antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal regional dengan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi.(Asmanto dan Soebagyo, 2007).

  Kerangka penelitian ini secara umum dapat dilihat dengan jelas dalam gambar berikut:

  Metode Penelitian Model yang Digunakan

  Model persamaan yang akan diestimasi sebagai berikut :

  Model Inflasi

  INFLASI it

  1 PAD it

  2 DOTDA PAD it

  3 KREDIT it

  = β + β + β + β

  4 DOTDA KREDIT it

  5 BUNGA it

  6 DOTDA BUNGA it

  7 DOTDA it + e it

  • β + β + β + β .....

  Prosedur Pengambilan Data Sesuai dengan metode analisis, penulis mengumpulkan data makroekonomi regional.

  Penulis menggunakan data sekunder dan merupakan data panel (gabungan antara data time-series dan cross section), dalam bentuk tahunan. Data time-series yang digunakan dimulai dari periode tahun 1995 sampai 2005 (11 tahun). Sedangkan data

  cross section

  • – nya adalah 25 daerah tingkat dua di Jawa Barat, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat dan Bank Indonesia Bandung.

  Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data

panel.

a) Metode Data Panel

  Model ini lebih tepat ketika ada potensi masalah interkorelasi diantara variabel-variabel pada hasil penaksiran (Arif, 1992). Pada dasarnya ada tiga teknik untuk meregresi data panel, yaitu: pendekatan OLS biasa (Pooled Least Square), pendekatan efek tetap (Fixed Effect Model), dan pendekatan efek acak (Random Effect Model)(Baltagi, 2002; Gujarati, 2003; Pindyck dan Rubinfeld, 1998). Diantara ketiga teknik tersebut, pendekatan Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effects Model (REM) yang akan digunakan untuk mengestimasi model penelitian pada penelitian ini. Namun sebelumnya dilakukan uji Hausman terlebih dahulu untuk menentukan pendekatan mana yang lebih baik, FEM atau REM.

  9 Ekspansi KEBIJAKAN EKONOMI FISKAL MONETER SUKU

  

INFLASI

A P B D BUNGA PENGELUARAN PENERIMAAN KREDIT

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian

b) Metode Dummy Variabel

  Untuk tujuan mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam analisis regresi. Dalam analisis awal, dua model tersebut di atas diaplikasikan dengan memasukkan variabel dummy berupa kebijakan otonomi daerah. Hal ini dikarenakan selama periode penelitian terdapat peristiwa penting tersebut, sehingga memungkinkan adanya bias analisis jika hanya melakukan regresi tanpa membedakan adanya perubahan kebijakan otonomi daerah.

  HASIL ESTIMASI DAN PEMBAHASAN Estimasi Model Perubahan Harga di Jawa Barat

  Model inflasi dengan dummy otonomi daerah sebagai variabel intervening digunakan sebagai proksi dari model perubahan harga di Jawa Barat, sebagai berikut:

  INFLASI = PAD DOTDA PAD KREDIT + + +

  it β β 1 it β

2 it β

3 it

  DOTDA KREDIT + + BUNGA DOTDA BUNGA β

  • 4 it β

  5 it β 6 it

  • 7 it it

  DOTDA + e β Fifi Afiyanti

  11 Di mana :

  7 = Koefisien regresi

  Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, data diolah.

  

Unweighted Statistics

R-squared 0.154668 Mean dep.var 0.176559 Adj.R-squared 0.045827 S.D.dep.var 0.587892 S.E.of regression 0.574263 Sum squared resid 7.683.831 Durbin Watson 1.245581

  

Weighted Statistics

R-squared 0.856794 Mean dep. var 0.979106 Adj. R-squared 0.838355 S.D.dep.var 1.200262 SE.of regression 0.482566 Sum squared resid 5.425.874 F-statistic 232.3372 Durbin-Watson stat 2.296959 Prob(F-statistic) 0.000000

  5.52E-10 0.163364 0.8704 BUNGA 0.032856 34.73453 0.0000 DBUNGA -0.037278 -17.44049 0.0000 DOTDA 0.658530 16.71071 0.0000

  3.29E-09 3.250613 0.0013 DPAD -3.29E-09 -3.190296 0.0016 KREDIT -4.02E-09 -1.109747 0.2683 DKREDIT

  PAD

  

Variabel Koefisien t-Statistic Prob.

  

Tabel 2

Hasil Estimasi Model menggunakan Fixed Effect dengan metode GLS dengan Intervensi

Dummy Otonomi Daerah.

  e it = Koefisien pengganggu Hasil regresi menggunakan pendekatan Fixed Effect Model dengan metode Generalized Least Square (GLS) disajikan dalam Tabel 2.

  = Jumlah kredit daerah i pada periode t dengan intervensi kebijakan otonomi daerah BUNGA = Suku bunga nominal deposito berjangka 3 bulan DOTDABUNGA = Suku bunga deposito berjangka 3 bulan dengan intervensi kebijakan otonomi daerah DOTDA it = Dummy otonomi daerah i pada periode t Β = … = β

  INFLASI

  it

  = Jumlah kredit daerah i pada periode t DOTDAKREDIT

  it

  = Pendapatan asli daerah i pada periode t dengan intervensi kebijakan otonomi daerah KREDIT

  it

  = Pendapatan asli daerah i pada periode t DOTDAPAD

  it

  = inflasi di daerah i pada periode t PAD

  it

  Berdasarkan tabel 2 tercermin bahwa variabel-variabel yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi adalah variabel PAD, suku bunga dan dummy otonomi daerah dengan koefisiennya masing-masing adalah 3.29E-09, 0.032856, dan 0.658530. Sedangkan variabel-variabel yang berpengaruh negatif dan signifikan

  Ekspansi

  terhadap inflasi adalah variabel PAD dengan intervensi dummy otonomi daerah dan bunga dengan intervensi dummy otonomi daerah, yang masing-masing mempunyai koefisien sebesar -3.29E-09, -0.037278. Sementara itu untuk variabel kredit, baik yang dengan atau tanpa intervensi otonomi daerah, menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan. Hasil pengujian terhadap estimasi model inflasi menggunakan Fixed Effects Model dengan metode GLS menunjukkan bahwa PAD, DPAD, BUNGA, DBUNGA, dan DOTDA berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat.

  Pembahasan Hasil Estimasi Perubahan Harga Di Jawa Barat

  a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

  Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1995-2005, variabel PAD tanpa intervensi dummy otonomi daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi dengan koefisien estimasi sebesar 3.29E-09, berarti setiap terjadi kenaikan PAD sebesar 1%, ceteris paribus akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 3.29E-09 %.

  Hubungan yang positif antara PAD terhadap tingkat inflasi di Jawa Barat menunjukkan bahwa kenaikan PAD menyebabkan kenaikan inflasi dari sisi permintaan (demand pull

  inflation).

  b. Pendapatan Asli Daerah PAD) dengan intervensi otonomi daerah

  PAD dengan intervensi otonomi daerah menunjukkan hubungan negatif dan signifikan terhadap inflasi. Koefisien estimasi DPAD terhadap inflasi sebesar -3,29E-09, yang artinya bahwa apabila terjadi kenaikan PAD sebesar 1 % yang diintervensi oleh kebijakan otonomi daerah akan menyebabkan turunnya inflasi sebesar 3,29E-09 %. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah menyebabkan daerah-daerah lebih menggali potensi daerahnya melalui peningkatan pemungutan pajak dan retribusi daerah. Peningkatan pajak dan retribusi ini direspon oleh naiknya inflasi di daerah- daerah penelitian.

  c. Bunga Suku bunga nominal deposito berjangka 3 bulan berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di kabupaten/kota di Jawa Barat. Koefisien estimasi dari suku bunga adalah sebesar 0.032856, artinya setiap kenaikan sebesar 1% dari tingkat bunga deposito ceteris paribus akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0.032856 %. Kenaikan tingkat bunga deposito menyebabkan meningkatnya jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan. Dengan semakin membaiknya fungsi intermediasi Fifi Afiyanti

  perbankan membawa pengaruh pada jumlah uang beredar di wilayah Jawa Barat yang pada akhirnya juga berimplikasi pada laju inflasi yang terjadi di Jawa Barat.

  d. Bunga dengan intervensi otonomi daerah Tingkat bunga deposito berjangka berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perubahan harga di Jawa Barat dengan koefisien estimasi sebesar -0.037278. Ini artinya bahwa setiap kenaikan 1% dari tingkat bunga yang diintervensi oleh kebijakan otonomi daerah akan menyebabkan turunnya tingkat inflasi sebesar 0.037278 %.

  Naiknya tingkat bunga deposito direspon dengan turunnya tingkat inflasi dari sisi permintaan.

e. Dummy Otonomi Daerah

  

Dummy otonomi daerah sebagai variabel bebas yang memengaruhi inflasi mempunyai

  hubungan positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah sangat berpengaruh dalam mengendalikan inflasi. Kebijakan fiskal regional yang terlalu ekspansif akan meningkatkan inflasi daerah.

SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN

  Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dalam bab empat diperoleh beberapa simpulan berikut :

  1. Variabel-variabel sisi fiskal maupun sisi moneter mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan harga di kabupaten/kota di Jawa Barat periode tahun 1995-2005.

  2. Sisi fiskal maupun sisi moneter kedua-duanya memengaruhi perubahan harga di daerah Jawa Barat periode tahun 1995-2005.

  Saran

  Setelah melakukan tahapan analisis, maka dapatlah diberikan saran yang berkaitan dengan implikasi kebijakan, diantaranya tujuan stabilitas harga yang berkelanjutan di daerah dapat tercapai apabila ada keselarasan antara kebijakan dari sisi fiskal maupun sisi moneter baik ditingkat regional maupun nasional. Kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah memerlukan koordinasi dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Otoritas moneter dapat menggunakan instrumen suku bunga dalam memengaruhi inflasi regional di daerah-daerah Jawa Barat.

  13 Ekspansi

DAFTAR PUSTAKA

  Achmad Lutfi. 2004. Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU

  

No.34/2000 oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah : Suatu

Studi di Kota Bogor.

  Agus Widarjono. 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia FE UII. Armida S. Alisjahbana. 2000. Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah Jawa

  

Barat. Bandung: Seminar dan Lokakarya Desentralisasi Fiskal di Indonesia. 29 Juni

2000.

  Aulia Pohan. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

  Badan Pusat Statistik. Jawa Barat Dalam Angka. Berbagai Edisi. Bandung : BPS. Gujarati Damodar N.. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: McGRAW- HILL.

  Iskandar Simorangkir. 2007. Koordinasi Kebijakan Moneter Dan Fiskal Di Indonesia: Suatu Kajian Dengan Pendekatan Game Theory. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan. Januari. 2007.

  M. Ismail. 2002. Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah. Malang: FE Unibraw. Martinez, McNab. 2001.Cross Country Evidence On The Relationship Between Fiscal

  

Decentralization,Inflation,AndGrowth.Diakses 5 Januari 2008 pada Word Wide Web:

http//www.nps.navy.mil/mcnab/papers/martinez-vazquez.

  Mohammad Khusaini. 2006. Ekonomi Publik:Desentralisasi Fiskal Dan Pembangunan Daerah. Malang: BPFE Unibraw. Perry Warjiyo dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter Di Indonesia. Seri Kebanksentralan no.6. Bank Indonesia. Priadi Asmanto dan Soebagyo. 2007. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Dan

  

Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Stabilitas Harga Dan Pertumbuhan Ekonomi

Regional Di Jawa Timur. Buletin Ekonomi Dan Perbankan. April. 2007.

  Tajul Khalwaty. 2000. Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

  Fifi Afiyanti

  

15