BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

  Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:250) efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya), dapat membawa hasil, berhasil guna (tindakan) serta dapat pula berarti mulai berlaku (tentang undang- undang/peraturan). Selanjutnya Bahasa Inggris, kata efektif yaitu effective yang berarti berhasil, atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Menurut pendapat H. Emerson yang dikutip Soewarno Handayaningrat S. (1994:16) yang menyatakan bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.”

  Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian untuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Efektivitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa :

  

“Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas,kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase

  target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.( http://repository.unhas.ac.id) diakses pada tanggal 06 maret 2013, pukul 22.45).

  Dilihat dari perspektif efektivitas organisasi, Gaertner dan Ramnarayan mengatakan, efektifitas dalam suatu organisasi bukan suatu benda, atau suatu tujuan, atau suatu karakteristik dari output atau perilaku organisasi, tetapi cukup suatu pernyataan dari relasi-relasi di dalam dan di antara jumlah yang relevan dari organisasi tersebut. Suatu organisasi yang efektif adalah yang dapat membuat laporan tentang dirinya dan aktivitas-aktivitasnya menurut cara-cara dalam mana jumlah-jumlah tersebut dapat diterima. Pandangan efektivitas sebagai suatu proses ini mencerminkan aspek politik ketimbang aspek ekonomi atas bidang produktivitas. Gerakan produktivitas tidak begitu disebabkan oleh dorongan ekonomi. Menjadi produktif adalah menjadi tanggap secara politik.

  (Gomes,2003:163).

  Unsur yang penting dalam konsep efektivitas adalah; yang pertama adalah pencapaian tujuan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati secara maksimal, tujuan merupakan harapan yang dicita-citakan atau suatu kondisi tertentu yang ingin dicapai oleh serangkaian proses. Diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasi- aktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa efektivitas merupakan pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif.

2.1.2 Pengukuran Terhadap Efektifitas

  Pencapaian hasil (efektivitas) yang dilakukan oleh suatu organisasi menurut Jones (1994) terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output atau masukan, perubahan dan hasil. Input meliputi semua sumber daya yang dimiliki, informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Pada tahap

  input , tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan

  yang dimiliki. Tahap conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologi agar dapat menghasilkan nilai. Tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat produktifitasnya. Sedangkan dalam tahap output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM. Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan memuaskan kebutuhan pelanggan. (http://2frameit.blogspot.com diakses pada tanggal 08 maret 2013 pukul 09.50)

  Gomes (2003:209) memberi tipe-tipe kriteria efektivitas program pelatihan. Suatu program pelatihan bisa dievaluasi berdasarkan: (1) reactions, (2)

  learning, (3) behaviors, (4) organizational results. Melalui reactions (reaksi) dapat diketahui opini dari para peserta mengenai program pelatihan yang diberikan. Proses learning memberikan informasi yang ingin diperoleh melalui penguasaan konsep-konsep, pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Perilaku (behaviors) dari peserta pelatihan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan terhadap peserta pelatihan. Dampak pelatihan (organizational results) untuk menguji dampak pelatihan terhadap peserta pelatihan secara keseluruhan.

2.2 Program Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat

  Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitas- aktivitas yang terencana (be a planned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan. Secara ideal, pelatihan harus didesain untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu yang bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan.(Gomes,2003:197)

  Pelatihan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat dan paling umum dari semua aktivitas. Para penyelenggara menyokong pelatihan karena melalui pelatihan para peserta, dalam hal ini penyandang cacat, akan menjadi lebih terampil, dan karenanya lebih produktif. Pelatihan lebih sebagai sarana yang ditujukan pada upaya untuk lebih memberdayakan seseorang yang kurang berdaya dari sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif yang dikarenakan kurangnya pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari penyandang cacat.

  Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil.

  Sedangkan Reber (dalam Syah,2005:121) mengatakan, keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu.

  Belajar keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular.

  Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Dalam jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Supaya efektif, pelatihan harus merupakan solusi yang tepat bagi permasalahan organisasi, yakni bahwa pelatihan tersebut harus dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan keterampilan. (Syah, 2005:126)

  Menurut Sudjana (1996:17), keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan, yang memerlukan manipulasi dan koordinasi informasi yang dipelajari.

  Keterampilan bergerak dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu psikomotor dan intelektual. Keterampilan psikomotor antara lain adalah menggergaji, mengecat tembok, menari, mengetik. Sedangkan keterampilan intelektual ialah memecahkan soal hitungan, melakukan penelitian, membuat kesimpulan dan sebagainya. Namun, sebenarnya hampir semua keterampilan terdiri atas kedua unsur tersebut. Hanya saja ada keterampilan yang lebih menonjol unsur psikomotornya sedangkan keterampilan yang lain lebih menonjol unsur intelektualnya.

  Keterampilan merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak asuh untuk terlibat dalam berbagai pengalaman apresiasi maupun pengalaman berkreasi untuk menghasilkan suatu produk berupa benda nyata yang bermanfaat langsung bagi kehidupan mereka. Anak asuh melakukan interaksi dengan benda-benda produk kerajian dan teknologi yang ada di lingkungannya saat pelatihan keterampilan, kemudian berkreasi menciptakan berbagai produk kerajinan maupun produk teknologi, sehingga diperoleh pengalaman konseptual, pengalaman apresiatif dan pengalaman kreatif. Pembelajaran keterampilan dirancang sebagai proses komunikasi belajar untuk mengubah perilaku anak asuh cekat, cepat dan tepat melalui pembelajaran kerajinan, teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan (Sudjana, 1996:17 ).

  Perilaku terampil ini dibutuhkan dalam keterampilan hidup manusia di masyarakat. Melihat uraian tersebut, secara substansi bidang keterampilan mengandung kinerja kerajinan dan teknologis. Istilah kerajinan berangkat dari kecakapan melaksanakan, mengolah dan menciptakan dengan dasar kinerja keterampilan psimotorik. Maka, keterampilan kerajinan berisi kerajinan tangan membuat benda pakai atau fungsional. Keterampilan teknologi terdiri dari teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan.

  Metode pelatihan merupakan bentuk yang dipilih dalam pelatihan- pelatihan yang menyediakan langsug keterampilan-keterampilan untuk para peserta. Adapun prinsip umum bagi metode pelatihan harus memenuhi sebagai berikut: (1) memotivasi para peserta latihan untuk belajar keterampilan baru, (2) memperlihatkan keterampilan-keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari, (3) harus konsisten dengan isi (misalnya, dengan menggunakan pendekatan interaktif untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan interpersonal), (4) memungkinkan partisipasi aktif, (5) memberikan kesempatan berpraktek dan perluasan keterampilan, (6) memberikan feedback mengenai performansi selama pelatihan, (7) mendorong adanya pemindahan yang positif dari pelatihan ke pekerjaan, dan (8) harus efektif dari segi biaya. (Gomes, 2003:208)

  Sehingga metode pelatihan tidak terlepas dari pelatihan-pelatihan yang menyediakan langsung keterampilan untuk peserta. Menjadikan peserta melakukan perilaku-perilaku yang terampil untuk kemandirian diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hidup bermasyarakat.

2.3 Penyandang Cacat

2.3.1 Pengertian Penyandang Cacat

  Pengertian penyandang cacat berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada pasal 1 ayat 1 adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Lebih lanjut, menurut Undang-Undang No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa jenis-jenis kecacatan terdiri dari 3 besar yaitu kecacatan fisik, kecacatan mental dan kecacatan fisik dan mental. Sementara itu, kecacatan fisik terdiri dari kecacatan tubuh, netra dan rungu wicara.

  Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik/mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya melakukan kegiatan secara selayaknya. Menurut WHO tahun 1980 membagi pengertian penyandang cacat dalam 3 hal, yaitu : a. Impairment : diartikan sebagai suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis.

  b. Disability : suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi impairment yang berhubungan dengan usia dan masyarakat dimana seseorang berada.

  c. Handicap : kesulitan/kesukaran dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat baik dibidang sosial ekonomi maupun psikologi yang dialami oleh seseorang yang disebabkan oleh ketidakabnormalan psikis, fisiologis maupun tubuh dan ketidak mampuannya melaksanakan kegiatan hidup secara normal. Singkatnya Impairment mencakup dimensi fisik, Disability mencakup dimensi aktivitas personal dalam aktivitas sehari-hari (ADL) sedangkan Handicap mencakup dimensi peranan sosial.

  Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak, terdiri dari : cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis.

2.3.2 Jenis-Jenis Penyandang Cacat Cacat Tubuh/Kelainan Fisik

  Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbu suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada: a)

  Alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara)

  b) Alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misal lahir tanpa tangan/kaki. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompok tunadaksa.

  Penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan karakteristik sosial psikologis sebagai berikut: a. Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection

  b. Rasa rendah diri

  c. Kurang percaya diri

  d. Mengisolir diri

  e. Kehidupan emosional yang labil

  f. Berperilaku agresif

  g. Ada perasaan tidak aman

  h. Cepat menyerah i. Kekanak-kanakan (Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat dalam Panti) Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik penyandang cacat tubuh, meliputi:

  a. Faktor bawaan

  b. Penyakit

  c. Waktu terjadinya kecacatan

  d. Perlakuan lingkungan/masyarakat setempat

  e. Perlakuan anggota keluarga

  f. Iklim dan keadaan alam

  g. Ekologi dan tradisi setempat (Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat dalam Panti)

  Adapun permasalahan kecacatan yang dialami penyandang cacat dibagi menjadi masalah internal dan masalah eksternal, yaitu: a. Masalah Internal

  1) Kondisi jasmani

  Kecacatan yang disandang seseorang dapat mengakibatkan gangguan kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu perbuatan atau gerakan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari (activity daily living).

  2) Kondisi kejiwaan

  Kecacatan yang disandang dapat mengganggu kejiwaan/mental seseorang, sehingga seseorang menjadi rendah diri atau sebaliknya, menghargai dirinya terlalu berlebihan, mudah tersinggung, kadang-kadang agresif, pesimistis labil, sulit untuk mengambil keputusan dan sebagainya.

  Keadaan seperti ini sangat merugikan, khususnya yang berkenaan dengan hubungan antar manusia yang ditandai oleh: a)

  Ketidakmampuan hubungan antar perseorangan (interpersonal relationship)

  b) Ketidakmampuan didalam mengambil peranan di dalam kegiatan sosial/kelompok (partisipasi sosial) c)

  Ketidakserasian hubungan antar manusia di masyarakat (human relation)

  d) Ketidakmampuan di dalam mengambil peranan di dalam kegiatan sosial/kelompok

  3) Masalah pendidikan

  Karena kecacatan fisiknya, hal ini sering menimbulkan kesulitan khususnya pada anak usia sekolah. Mereka memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua maupun guru di sekolah. Sebagian besar kesulitan ini juga menyangkut transportasi antara tempat tinggal ke sekolah, kesulitan mempergunakan alat-alat sekolah, maupun fasilitas umum lainnya.

  4) Masalah ekonomi

  Kecacatan pada seseorang dapat menyebabkan hambatan dalam mobilitas fisik. Hal ini semakin sukar tatkala dunia kerja belum menyediakan lapangan pekerjaan sebagaimana mestinya untuk orang cacat. Hambatan dan rendahnya apresiasi dunia kerja ini dapat menimbulkan masalah pada penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi mereka.

  b. Masalah Eksternal 1)

  Masalah keluarga Beberapa keluarga yang mempunyai anak yang menyandang kecacatan tubuh merasa malu, yang mengakibatkan penyandang cacat tersebut tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anak-anak pada umumnya, sehingga tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya. Pada akhirnya, penyandang cacat tubuh tersebut akan tetap menjadi beban bagi keluarganya.

  2) Masalah masyarakat

  Masyarakat yang memiliki warga yang menyandang kecacatan tubuh akan turut terganggu kehidupannya, selama penyandang cacat tersebut belum dapat berdiri sendiri dan masih selalu menggantungkan dirinya pada orang lain.

  Dipandang dari segi ekonomi, sejak seseorang terutama yang telah dewasa menjadi cacat tubuh, masyarkat mengalami kerugian ganda, yaitu kehilangan anggota yang produktif dan bertambah anggota yang non produktif, ini berarti menambah berat beban bagi masyarakat. Perlu usaha- usaha rehabilitasi yang dapat merubah penyandang cacat tubuh dari kondisi non produktif menjadi produktif. Disamping itu masih ada sikap dan anggapan sebagian masyarakat yang kurang menguntungkan bagi penyandang cacat tubuh, antara lain: a)

  Masih adanya sikap ragu-ragu terhadap kemampuan penyandang cacat tubuh, mengakibatkan kesulitan memperoleh pekerjaan.

  b) Masih adanya sikap masa bodoh di sebagian lapisan masyarakat terhadap permasalahan penyandang cacat tubuh.

  c) Belum meluasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalahan penyandang cacat tubuh d)

  Masih lemahnya sebagian organisasi sosial yang bergerak dibidang kecacatan di dalam melaksanakan kegiatannya.

  e) Pengguna jasa tenaga kerja penyandang cacat tubuh umumnya belum menyediakan kemudahan/sarana bantu yang diperlukan bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh. f) Program pelayanan rehabilitasi medis, sosial dan vokasional yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat belum menjangkau seluruh populasi penyandang cacat tubuh.

  3) Pelayanan umum

  Sarana umum seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, tempat rekreasi, perhotelan, kantor pos, terminal, telepon umum, bank, dan tempat lainnya belum seluruhnya memiliki aksesibilitas bagi penyandang cacat tubuh.

  Cacat Mental

  Anak berkelainan mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya.

  Kelainan mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremely gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di atas 140.

  Secara umum Tirtonegoro (dalam Efendi, 2006:8-9) membagi karakteristik anak dengan kemampuan mental lebih, di samping memiliki potensi kecerdasan yang tinggi dalam prestasi, juga memiliki kemampuan menonjol dalam bidang tertentu, antara lain (1) kemampuan intelektual umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3) kemampuan berpikir kreatif produktif, (4) kemampuan dalam salah satu bidang kesenian, (5) kemampuan psikomotorik, dan (6) kemampuan psikososial dan kepemimpinan.

  Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya. Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik kehidupan sehari-hari di kalangan awam seringkali disalahpersepsikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan anak tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat berkembang sebagaimana anak normal lainnya.

  Harapan semacam ini wajar saja karena mereka tidak mengetahui karakteristik anak tunagrahita. Kirk menyatakan kondisi tunagrahita tidak dapat disamakan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita suatu kondisi sebagaimana yang ada, “Mental retarded is not disease but a condition” (dalam Efendi,2006:9). Atas dasar itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan obat apa pun.

  Kelainan Perilaku Sosial

  Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan. Mackie (dalam Efendi,2006:10) mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah dan di masyarakat lingkungannya.

  Hal yang penting dari itu adalah akibat tindakan atau perbuatan yang dilakukan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent). Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan dibedakan menjadi: (1) tunalaras emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, (2) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.

2.4 Tuna Rungu Wicara

2.4.1 Pengertian Tuna Rungu Wicara

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuna rungu mempunyai arti tuli atau tidak dapat mendengar. Kata deaf dalam kamus bahasa inggris berarti kekurangan atau kehilangan sebagian atau seluruh pendengaran atau tidak mampu mendengarkan, sedangkan deafness berarti ketunarunguan yaitu cacat indera pendengaran bawaan atau kehilangan pendengaran. Mufti Salim (dalam Depsos RI, 2008:14) mengatakan bahwa tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya, sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak. Cacat rungu wicara adalah cacat bawaan atau cacat yang diperoleh karena berbagai sebab yang mengakibatkan gangguan indera pendengaran, disebabkan oleh (a) kerusakan bagian penghantar bunyi; (b) kerusakan organ kortil atau syaraf pendengaran; (c) kerusakan pada interpretasi bunyi di pusat syaraf otak. (Depsos RI, 2008:6)

  Anak dengan kecacatan rungu wicara merupakan salah satu jenis kecacatan yang secara lahiriah tak nampak, karena kecacatannya terdapat di dalam indra pendengaran sehingga sering dianggap sebagai kecacatan yang lebih ringan dibandingkan dengan kecacatan lain. Padahal kecacatan ini mempunyai dampak yang serius bagi penyandang cacatnya.

  Anak berkelainan indra pendengaran atau tuna rungu secara medis dikatakan, jika dalam mekanisme pendengaran karena sesuatu dan lain sebab terdapat satu atau lebih organ mengalami gangguan atau rusak. Akibatnya, organ tersebut tidak mampu menjalankan fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsikan rangsang suara yang ditangkap untuk diubah menjadi tanggapan akustik. Secara pedagogis, seorang anak dapat dikategorikan berkelainan indera pendengaran atau tuna rungu, jika dampak dari disfungsinya organ-organ yang berfungsi sebagai penghantar dan persepsi pendengaran mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti program pendidikan anak normal sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus untuk meniti tugas perkembangannya.

  Terminologi kelainan bicara atau tunawicara adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengkomunikasikan gagasanya kepada orang lain (pendengar) dengan memanfaatkan organ bicaranya, dikarenakan celah langit-langit, bibir sumbing, kerusakan otak, tunarungu, dan lain-lain (Patton, dalam Efendi, 2006:7).

  Akibatnya pesan yang terlihat sederhana ketika disampaikan kepada lawan bicara menjadi tidak sederhana, sulit dipahami, dan membingungkan.

  Menilik dari kurun terjadinya ketunarunguan, Kirk (dalam Efendi, 2006:58) mengemukakan bahwa anak yang lahir dengan kelainan pendengaran atau kehilangan pendengarannya pada masa kanak-kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu pre-

  lingual. Jenjang ketunarunguan yang dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa

  kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori tuna rungu berat. Sedangkan anak lahir dengan pendengaran normal, namun setelah mencapai usia di mana anak sudah memahami suatu percakapan tiba-tiba mengalami kehilangan ketajaman pendengaran, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu post-lingual. Jenjang ketunarunguan yang diperoleh setelah anak memahami percakapan atau bahasa dan bicaranya sudah terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori sedang atau ringan.

2.4.2 Jenis Tuna Rungu Wicara

  Jenis Kecacatan Rungu Wicara pada Anak Jenis kecacatan rungu wicara berdasarkan hasil diteksi dapat dibedakan: 1.

  Menurut derajat kehilangan daya dengarnya: a.

  Ringan Kehilangan 15-30 desibel : Mild Hearing Losses atau ketunarunguan ringan: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.

  b.

  Sedang Kehilangan 31-60 desibel : Moderate Hearing Losses atau ketunarunguan sedang: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian c. Berat

  Kehilangan 61-90 desibel : Severe Hearing Losses atau ketunarunguan berat: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada d.

  Amat berat  Kehilangan 91-120 desibel : Profound Hearing Losses atau ketunarunguan sangat berat: daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali  Kehilangan lebih dari 120 desibel : Total Hearing Losses atau ketunarunguan total: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

  2. Menurut kerusakan pada telinga a.

  Konduktif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan organ pendengaran yang terletak pada bagian penghantar gelombang suara (kerusaka telinga bagian luar atau telinga bagian tengah). Misalnya jika terjadi penumpukan kotoran di liang telinga yang berlebihan atau jika terjadi radang di dalam telinga tengah. Ketunarunguan konduktif umumnya masih dapat disembunyikan secara medis.

  b.

  Perseptif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan organ pendengaran ditelinga bagian dalam, di dalam rumah siput atau bagian saraf kedelapan, saraf penerima rangsangan suara yang akan meneruskannya ke pusat saraf di otak. Ketunarunguan perseptif pada umumnya tidak dapat disembuhkan secara medis.

  3. Menurut penyebabnya a.

  Genetik Cacat rungu bawaan merupakan cacat warisan orangtua karena factor pembawa sifat keturunan (kromosom). Penyebab gangguan pendengaran pada anak, diperkirakan 50% kasus dari derajat sedang sampai berat, ditentukan secara genetik. Gangguan pendengaran genetic bawaan dapat disertai kelainan lain. Gangguan pendengaran dapat terjadi bersama kelainan bawaan telingan luar dan mata, gangguan metabolic, tulang dan otot, kulit, ginjal dan sistem saraf. Anak dengan orangtua menderita ketulian keturunan mempunyai kemungkinan menderita gangguan pendengaran. b.

  Non-Genetik 1)

  Sebelum kelahiran  Penyebab gangguan pendengaran sebelum lahir non-genetik terjadi pada masa kehamilan terutama pada 3 bulan pertama. Setiap ganguan kelahiran yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada anak, seperti kekurangan gizi, infeksi bakteri maupun bakteri, seperti: campak dan parotitis dapat menyebabkan ketulian  Kelahiran premature bila disebabkan oleh kekurangan oksigen, selain otak akan mengalami luka, pendengaranpun mengalami kerusakan. Dalam kondisi demikian, dapat disimpulkan bahwa kelahiran premature lebih mengakibatkan timbulnya penyakit telinga daripada penyakit lainnya.

   Bila wanita yang sedang mengandung tiga bulan terserang penyakit campak atau cacar air, kemungkinan besar hal tersebut akan berdampak pada bayinya. Cacat yang ditimbulkan oleh penyakit campak kepada anak adalah 50% penyakit telinga, 20% penyakit mata dan 35% penyakit jantung.

  2) Saat kelahiran

  Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran atau ketulian, seperti: lahir prematur (umur kelahira kurang dari 37 minggu), berat badan lahir rendah (kurang dari 1.500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstrasi vakum, forsep), hiperbilirubinemia dan aksifia berat atau lahir tidak menangis.

  3) Setelah kelahiran

  Radang selaput otak karena bakteri merupakan penyebab utama gangguan pendengaran yang didapat pada masa anak, hal lainnya juga dapat disebabkan oleh obat-obatan yang bersifat menggangu pendengaran (ototoksik) yang digunakan selama lebih dari 5 hari, trauma kepala dan infeksi telinga tengah. Cacat lainnya disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, penyakit, kecelakaan, kerusakan tulang tengkorak temporal (bagian belakang telinga), keracunan, kekurangan oksigen, kekurangan gizi, kelahiran tak normal, prematur, berat badan bayi yang lahir kurang dari 1,5 kg.

4. Menurut jumlah telinga yang mengalami ketunarunguan: a.

  Bilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran kedua telinga b.

  Unilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran satu telinga 5.

  Menurut umur saat terjadi ketunarunguan: a.

  Pralingual (sebelum berbahasa) b.

  Postlingual (sesudah berbahasa)

2.4.3 Dampak Kecacatan

  Dampak rungu wicara pada anak dapat berdampak besar pada perkembangan pada anak itu sendiri, selain itu juga akan berdampak pada keluarga, masyarakat serta menimbulkan berbagai masalah.

  a.

  Pada anak Dampak kecacatan pada anak dapat mempengaruhi pada tingkat kecerdasan (intelegensia), kejiwaan (psikis), juga merugikan khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara manusia, mempengaruhi pada pendidikan dan ekonomi.

  b.

  Pada Keluarga Rendahnya pengetahuan orangtua/keluarga tentang kecacatan rungu wicara merupakan salah satu faktor penyebab yang dapat memperberat kondisi anak.

  Selain itu, keluarga yang mempunyai anak dengan kecacatan rungu wicara akan mengalami beban ekonomi, orang tua merasa malu dan takut atau terlalu melindungi anak misalnya anaknya tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan sebagainya. Akibat dari hal itu kembali dirasakan anak, seperti: anak mengalami rendah diri, dan mengalami hambatan untuk tumbuh kembang secara wajar dan optimal.

  c.

  Pada Masyarakat Keberadaan anak dengan kecacatan rungu wicara di dalam masyarakat membawa beban dan masalah bagi masyarakat. Dalam hal ini, anggota masyarakat yang memiliki anak dengan kecacatan rungu wicara akan turut terganggu kehidupannya, selama anak dengan kecacatan rungu wicara belum dapat berdiri sendiri dan selalu menggantungkan dirinya pada orang lain.

  Masih adanya sikap masa bodoh masyarakat terhadap permasalahan anak dengan kecacatan rungu wicara. Masih adanya sikap yang ragu-ragu terhadap kemampuan (potensi) anak dengan kecacatan rungu wicara.

2.5 Pelayanan Sosial

2.5.1 Pengertian Pelayanan Sosial

  

  Pelayanan sosial merupakan aksi atau tindakan untuk mengatasi masalah

  sosial. Pelayanan sosial dapat diartikan sebagai seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika keadaan individu atau kelompok tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, dan bahkan kriminalitas. Kategorisasi pelayanan sosial biasanya dikelompokkan berdasarkan sasaran pelayanannya (misalnya: pelayanan atau perawatan anak, remaja, lanjut usia), setting atau tempatnya (misalnya: pelayanan sosial di sekolah, tempat kerja, penjara, rumah sakit) atau berdasarkan jenis atau sektor (misalnya: pelayanan konseling, kesehatan mental, pendidikan khusus dan vokasional, jaminan sosial, perumahan).

  Pelayanan sosial adalah kegiatan terorganisir untuk meningkatkan kondisi orang-orang yang kurang beruntung dalam masyarakat. Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Sosial dan sejumlah besar organisasi-organisasi non pemerintah telah memainkan peranan penting dalam bidang pelayanan sosial.

  Dana yang dipergunakan lembaga-lembaga pemerintah bagi pelayanan sosial biasanya diperoleh dari pajak. Sedangkan, pelayanan sosial yang diselenggarakan badan-badan non pemerintah seringkali didanai oleh sumbangan individu, pengusaha atau lembaga donor internasional.

  Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan- pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selarah dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya (Friedlander, dalam Muhidin, 1992:1). Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Kesejahteraan Sosial pasal 1 ayat 1 : “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.”

  Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu didalamnya. Pelayanan sosial diartikan dalam dua macam, yaitu:

  a. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.

  b. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya (Muhidin, 1992:41).

  Maka dapat diartikan bahwa efektivitas pelayanan sosial adalah tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan berdasarkan makna dari pelayanan sosial itu sendiri. Dikatakan efektif apabila hasil yang dicapai dari pelayanan sosial yang diberikan telah sesuai dengan apa tujuan awal yang telah ditetapkan.

  Kebanyakan pengertian pelayanan sosial di negara-negara maju sama dengan point pertama, sedangkan di negara-negara berkembang umumnya sama dengan point kedua.

  Pada umumnya baik kualitas maupun kuantitas daripada pelayanan sosial akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemakmuran suatu negara dan juga sesuai dengan faktor sosiokultural dan politik yang juga menentukan masalah prioritas pelayanan. Semakin tersebarnya dan dipraktekkan secara universal pelayanan sosial, maka pelayanan sosial cenderung menjadi pelayanan yang ditujukan kepada golongan masyarakat yang membutuhkan pertolongan khusus.

  Sistem pelayanan sosial memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain, yang merupakan satu kesatuan utuh dimana komponen disusun dan diatur untuk mencapai pelayanan sosial dan merupakan standar yang harus dipenuhi guna peningkatan kualitas pelayanan sosial.

  Komponen-komponen tersebut meliputi : 1. Saranan dan prasarana dengan fasilitas yang memadai.

  2. Pekerjaan sosial yang profesional dengan tenaga administratif.

  3. Tata laksanan kesejahteraan sosial (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, laporan keuangan, anggaran belanja dan statistik).

  4. Dana yang memadai.

  5. Pembuatan perencanaan program dan pelaksanaan.

2.5.2 Fungsi-Fungsi Pelayanan Sosial

  Pelayanan sosial dapat dikategorikan dalam berbagai cara tergantung dari tujuan klasifikasi. PBB mengemukakan bahwa fungsi pelayanan sosial adalah:

  1. Perbaikan secara progresif daripada kondisi kehidupan orang.

  2. Pengembangan sumber-sumber daya manusia.

  3. Berorientasi orang terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri.

  4. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan pembangunan.

  5. Penyediaan struktur-struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang terorganisasi lainnya Fungsi pelayanan sosial ditinjau dari persfektif masyarakat menurut

  Richard M.Titmuss (dalam Muhidin, 1992:43) adalah sebagai berikut:

  1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, dan masyarakat, untuk saat ini dan masa yang akan datang.

  2. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.

  3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang untuk melindungi masyarakat.

  4. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapatkan pelayanan sosial.

  Alfred J. Khan (Nurdin, 1990;50-51) mengatakan bahwa bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah:

  1. Pelayanan akses, mencakup pelayanan informasi, pemberian nasihat dan partisipasi. Tujuannya untuk membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan fasilitas pelayanan yang tersedia.

  2. Pelayanan terapi, mencakup pertolongan terapi dan rehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial medis dan sekolah, serta perawatan bagi orang- orang jompo (lanjut usia).

  3. Pelayanan sosial dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda, dan kegiatan masyarakat yang dipusatkan (community centre).

  Dari ketiga bentuk pelayanan sosial tersebut, maka pelayanan terapi adalah bentuk pelayanan yang dilihat lebih sesuai/cocok digunakan untuk penanganan penyandang cacat tuna rungu wicara.

2.5.3 Pelayanan Panti Sosial Tuna Rungu Wicara

  Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial, standar panti sosial sebagaimana tercantum di dalam Permensos Nomor: 50/HUK/2005 tentang Standarisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi Panti Sosial. Pelayanan melalui sistem panti pada hakikatnya merupakan upaya-upaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan pengembangan potensi klien, menjadi penting peranannya.

  Panti sosial mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/ referral system) dan tempat pelatihan keterampilan.

  Prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain yang sejenis adalah: (1) memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; (2) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; (3) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; (4) menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan (5) memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan. (Balatbangsos, 2004).

  Panti Sosial Tuna Rungu Wicara adalah panti rehabilitasi sosial penyandang cacat tuna rungu wicara yang mempunyai tugas memberikan pelayanan rehabilitasi sosial yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya tujuan program rehabilitasi sosial rungu wicara pada Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) adalah terbina dan terentasnya orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

  Proses pelayanan panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) asesmen; (3) perencanaan program pelayanan; (4) pelaksanaan pelayanan; dan (5) pasca pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan, pemulangan dan penyaluran dan pembinaan lanjut. Pada tahap akhir pelayanan adalah pembinaan lanjut yang merupakan rangkaian dari proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan juga berperan serta di dalam lingkungan keluarga, kelompok, lingkungan kerja, dan masyarakat.

  Ada 2 (dua) macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus. Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Mencakup aspek kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pembiayaan, pelayanan sosial dasar, dan monitoring-evaluasi. Sedangkan standar khusus adalah ketentuan yang memuat hal-hal tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial. Adapun Standar Umum Panti Sosial terdiri dari:

  A. Kelembagaan, meliputi:

  1. Legalitas Organisasi. Mencakup bukti legalitas dari instansi yang berwenang dalam rangka memperoleh perlindungan dan pembinaan profesionalnya.

  2. Visi dan Misi. Memiliki landasan yang berpijak pada visi dan misi.

  3. Organisasi dan Tata Kerja. Memiliki struktur organisasi dan tata kerja dalam rangka penyelenggaraan kegiatan.

  B. Sumber Daya Manusia, mencakup 2 (dua) aspek:

  1. Aspek penyelenggara panti, terdiri 3 unsur:

  a. Unsur Pimpinan, yaitu kepala panti dan kepala-kepala unit yang ada dibawahnya.

  b. Unsur Operasional, meliputi pekerja sosial, instruktur, pembimbing rohani, dan pejabat fungsional lainnya.

  c. Unsur Penunjang, meliputi pembina asrama, pengasuh, juru masak, petugas kebersihan, satpam, dan sopir.

2. Pengembangan personil panti Panti Sosial perlu memiliki program pengembangan SDM bagi personil panti.

  C. Sarana Prasarana, mencakup:

  1. Pelayanan Teknis. Mencakup peralatan asesmen, bimbingan sosial, ketrampilan fisik dan mental.

  2. Perkantoran. Memiliki ruang kantor, ruang rapat, ruang tamu, kamar mandi, WC, peralatan kantor seperti: alat komunikasi, alat transportasi dan tempat penyimpanan dokumen.

  3. Umum. Memiliki ruang makan, ruang tidur, mandi dan cuci, kerapihan diri, belajar, kesehatan dan peralatannya (serta ruang perlengkapan).

  D. Pembiayaan Memiliki anggaran yang berasal dari sumber tetap maupun tidak tetap.

  E. Pelayanan Sosial Dasar Memiliki pelayanan sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari penerima manfaat, meliputi: makan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan kesehatan.

  F. Monitoring dan Evaluasi, meliputi:

  1. Monev Proses, yakni penilaian terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada penerima manfaat.

  2. Monev Hasil, yakni monitoring dan evaluasi terhadap penerima manfaat, untuk melihat tingkat pencapaian dan keberhasilan penerima manfaat setelah memperoleh proses pelayanan.

  Adapun Standar Khusus Panti Sosial, berupa kegiatan pelayanan yang terdiri dari tahapan sebagai berikut: A. Tahap Pendekatan Awal, mencakup: 1. Sosialisasi program.

  2. Penjaringan/penjangkauan calon penerima manfaat.

  3. Seleksi calon penerima manfaat.

  4. Penerimaan dan registrasi.

  5. Konferensi kasus.

  B. Tahap Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (Assessment), mencakup: 1. Analisa kondisi penerima manfaat, keluarga dan lingkungan.

  2. Karakteristik masalah, sebab dan implikasi masalah.

  3. Kapasitas mengatasi masalah dan sumber daya.

  4. Konferensi kasus.

  C. Tahap Perencanaan Pelayanan, meliputi: 1. Penetapan tujuan pelayanan.

  2. Penetapan jenis pelayanan yang dibutuhkan penerima manfaat.

  3. Sumber daya yang akan digunakan.

  D. Tahap Pelaksanaan Pelayanan, terdiri: 1. Bimbingan Individu.

  2. Bimbingan Kelompok.

  3. Bimbingan Sosial.

  4. Penyiapan Lingkungan Sosial.

  5. Bimbingan Mental Psikososial.

  6. Bimbingan Pelatihan Ketrampilan.

  7. Bimbingan Fisik Kesehatan.

  8. Bimbingan Pendidikan.

  E. Tahap Pasca Pelayanan, terdiri dari:

Dokumen yang terkait

Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Lanjut Usia Oleh Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial (UPT) Tuna Rungu Wicara Dan Lanjut Usia Di Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kotamadya Pematang Siantar

4 96 133

Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

3 95 103

Pola Interaksi Sosial Tuna Rungu Wicara ( Studi Deskriptif Di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara Dan Lansia Pematangsiantar )

26 167 91

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

8 67 136

Pelayanan Sosial Lanjut Usia ( Studi Kasus pada 6 orang warga binaan sosial di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

1 30 88

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Lanjut Usia Oleh Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial (UPT) Tuna Rungu Wicara Dan Lanjut Usia Di Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Ko

0 0 38

Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Lanjut Usia Oleh Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial (UPT) Tuna Rungu Wicara Dan Lanjut Usia Di Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kotamadya Pematang Siantar

0 2 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Strategi 2.1.1 Defenisi Strategi - Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

0 0 36

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

0 2 10

Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

0 0 12