Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

(1)

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial

Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Sosial

Disusun Oleh

FEBRINA ODELIA M. SIMANJORANG 090902042

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Febrina Odelia M. S.

NIM : 090902042

ABSTRAK

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut

Usia Pematang Siantar

Salah satu masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat ini antara lain adalah masalah penyandang cacat. Penyandang cacat juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, diantaranya adalah berhak memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan yang ada pada mereka. Penyandang cacat diharapkan mampu mengembangkan dan meningkatkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya sehingga diharapkan yang bersangkutan mampu bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan dan keterampilan yang dimiliki serta sesuai dengan minat dan pengalamannya, sehingga mencapai kemandirian di tengah kehidupan masyarakat. Salah satu upaya pemberdayaan penyandang cacat yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara khususnya bagi tuna rungu wicara yaitu pemberian program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara yang dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif yang mengkaji masalah program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara Pematang Siantar. Sampel penelitian ini adalah warga binaan sosial tuna rungu wicara yang mengikuti pelatihan keterampilan terdiri dari 18 orang yang semuanya dijadikan populasi. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas program pelatihan keterampilan tersebut adalah reaksi, proses belajar, perilaku dan dampak organisasi terhadap responden. Untuk mengetahui tingkat efektivitas program, pengukuran data dilakukan dengan menggunakan skala likert.

Hasil penelitian menyimpulkan, efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar yaitu efektif dengan nilai skala likert 0,63. Reaksi responden adalah efektif sebanyak 0,64. Proses belajar responden berjalan efektif sebanyak 0,62. Perubahan perilaku sebanyak 0,65. Dampak program pelatihan keterampilan bagi responden juga efektif sebanyak 0,62. Responden yang mengikuti pelatihan keterampilan kini telah memiliki keterampilan dan lebih percaya diri.

Kata kunci : Efektivitas, Program Pelatihan Keterampilan, Penyandang Cacat, Tuna Rungu Wicara


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Name : Febrina Odelia M. S.

NIM : 090902042

ABSTRACT

The Effectiveness of Skills Training Program For Disabled Deaf Talk at UPT Social Services Speech and The Deaf Elderly People Pematang Siantar

One of the social problems faced by Indonesia at this time include disability issues . Disabled people also have the same rights and obligations in all aspects of life and livelihood , which are entitled to work in accordance with the type and degree of disability that is on them . Disabled people should be able to develop and improve the physical, mental and social so it is expected that the relevant able to work in accordance with the level of skills , education and skills possessed and in accordance with the interests and experiences , so as to achieve self-reliance in public life . One effort to empower people with disabilities conducted by the North Sumatra provincial government particularly for hearing impaired speech is the provision of skills training programs for persons with disabilities who conducted the hearing impaired speech in the Technical Implementation Unit ( UPT ) Social Services Speech and Deaf Elderly Siantar.

This form of descriptive research study that examines issues of skills training programs for persons with disabilities deaf mute . This study aims to determine the effectiveness of skills training programs for persons with disabilities in UPT deaf mute Deaf Social Services Speech Siantar . The sample was deaf inmates social skills training speech which consists of 18 people who all serve the population. Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics . Indicators used to measure the effectiveness of the skills training programs is a reaction, learning, behavior and organizational impact to the respondents. To determine the level of effectiveness of skills training programs , measurement data using a Likert scale .

The results concluded that the effectiveness of skills training programs for persons with disabilities in UPT deaf mute Deaf Talk Social Services and Seniors Siantar been effective with a value of 0.63 Likert scale . Respondents' reactions to the program is effective as much as 0.64 . Effective learning process as much as 0.62 respondents . Changes in respondent behavior as 0.65 . Impact of skills training programs for the respondents also effective as 0.62 . Respondents who follow vocational training and skills now have more confidence .

Keywords : Effectiveness , Skills Training Program , Disabled , Deaf Talk .


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, semangat, kekuatan, kasih serta penyertaanNya kepada penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Skripsi ini berjudul “Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar”, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial di departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Selama menyelesaikan skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Maka dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos, M.SP selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

3. Ibu Dra. Berlianti, M.SP selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia membimbing, meluangkan waktu, tenaga, kesabaran dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih banyak ibu…

4. Ibu Tuti Atikah, S.Sos, M.SP selaku dosen pembimbing jurnal yang telah bersedia membimbing dalam penyelesaian jurnal penulis.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk segala ilmu pengetahuan selama perkuliahan.


(5)

6. Seluruh staff dan pengawai UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar terutama Bapak Plt. Kepala UPT, Sujono Napitupulu, SH, Pekerja Sosial UPT sekaligus merupakan Supervisor Lembaga penulis, Bapak Lauren Sinaga, S.Sos, para pegawai dan staff yaitu Bapak Salim dan keluarga, Kak Okta, Kak Peni, Kak Vina, Kak Fitri. Terima kasih banyak atas bantuannya dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh adik-adik warga binaan sosial tuna rungu wicara yang telah bersedia membantu dan bekerjasama dengan menjadi responden dalam penelitian penulis. Semoga adik-adik semua selalu dalam penyertaan Tuhan dan sukses selalu buat kalian semua ya…

8. Teristimewa luar biasa kepada Ibuku, Ibu Mentan Ginting br Ginting, yang telah merawat penulis dengan penuh kasih sayang serta telah banyak mengorbankan waktu dan materi yang tak terhitung nilainya demi keberhasilan penulis dalam meraih cita-cita. Semoga harapan, doa dan perjuangan mamak akan terus menjadi motivasi penulis untuk menjadi yang terbaik.

9. Kepada adik-adiku Nelson Junifer, semoga tercapai cita-cita untuk bekerja di kapal pesiar, dan Lestana, yang rajin belajar supaya tercapai impian kam juga… Dan keluarga besar Ginting yang selalu memberi doa dan dukungan...

10. Kepada keluarga Besar PKBM Hanuba yang selalu menyemangati, mendukung baik secara moril maupun materil terkhusus bagi Bg Jontar Sinaga, SH selaku pimpinan yang selalu mendukung penulis dalam banyak


(6)

hal, dan seluruh staff Hanuba, bg Riri Sando Siahaan, S.Sos (semoga lulus ujian CPNS nya ya bg..), bg Hohas (cepat kerjain skripsimu bg, biar langsung nyusul), bg wanto dan herlina (semangat terus kuliahnya yah.. cayoo…), bang Rusdin alias bang Tappong dan Hotnatalia yang merupakan teman dan rekan penulis baik selama di bangku kuliah maupun di kantor. Thank you all and God bless us..

11. Kepada rekan-rekan KMK Don Bosco dan KMK Albertus Magnus terima kasih telah memberikan pembelajaran dan pengalaman bagi penulis dalam hal berorganisasi. Ad maiorem, Dei gloriam…

12. Kepada rekan-rekan Paduan Suara Mahasiswa (PSM-USU) terima kasih banyak telah memberikan pengalaman yang amat luar biasa dalam hal menyanyi kepada penulis, untuk Anita Romauli Purba dan Vherawati Simbolon terima kasih telah banyak mengajari not dan persahabatan kalian.. Kalian tidak akan terlupakan..

13. Kepada P.Sensi Jebarus, P.David Barus, P.Bonaventura Gultom, P.Moris Aritonang, P.Bayu, para Frater dan Suster Klaris yang telah banyak memberikan motivasi, dukungan terlebih doa untuk penulis dalam upaya penyelesaian skripsi ini. Pace e Bene…

14. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial stambuk 2009, terutama “Keluarga Bogul” yaitu Kak Nesry, Kak Mesra, Josua Fransen, Gomos (kerjain skripsimu, jangan jalan-jalan terus), dan Hotnatalia (Mami plus Opung bagi keluarga bogul) serta seluruh keluarga besar stambuk 2009, Johendro, Jane, Evi, Henni, Selly, Frengky


(7)

FB, Raihana, Juliarni, Prandani, dan lainnya, terima kasih untuk kebersamaan kita 4 tahun ini.

15. Kepada abang, kakak, dan adik-adik di OMK dan Raka-Misdinar Paroki maupun Stasi, terima kasih untuk doa, semangat, dukungan dan kebersamaan selama ini. Specially thanx to Kak Iche Endang Sembiring dan Kak Deviana Surbakti yang selalu mensuport penulis.

16. Untuk sahabat penulis, 3R (Riyanti, Rina, Rosiana), I miss u all… Semoga suatu saat kita bisa kumpul, bercerita dan membuat kehebohan lagi yah… 17. Kepada kakek Kiky, yang selalu memotivasi, menyemangati, dan

membimbing penulis. Thank you so much Kakek… ^_^

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun banyak membantu dalam memberikan bantuan moril maupun materil bagi terselesainya skripsi ini, penulis banyak ucapkan terimakasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memerlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun, untuk itu sangat diharapkan masukannya. Akan tetapi penulis telah semaksimal mungkin berusaha memberikan yang terbaik, semoga skripisi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang membutuhkannya. Semoga Tuhan Yesus Kristus member perlindungan, kesehatan dan berkatNya kepada kita semua.

Medan, Oktober 2013

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL DAFTAR BAGAN BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ……….. 1

1.2Perumusah Masalah ……….. 9

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 10

1.3.1 Tujuan Penelitian……… 10

1.3.2 Manfaat Penelitian ………. 10

1.4Sistematika Penulisan ………. 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas……… .... 12

2.1.1 Pengertian Efektivitas ……….... 12

2.1.2 Pengukuran Terhadap Efektivitas ……….. 14

2.2 Program Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat ……… 15

2.3 Penyandang Cacat ……….. 18

2.3.1 Pengertian Penyandang Cacat …….………... 18

2.3.2 Jenis-Jenis Penyandang Cacat ……… 20


(9)

2.4.1 Pengertian Tuna Rungu Wicara ……….. 27

2.4.2 Jenis Tuna Rungu Wicara ………... 30

2.4.3 Dampak Kecacatan ……….………. 34

2.5 Pelayanan Sosial……….. 35

2.5.1 Pengertian Pelayanan Sosial………... 35

2.5.2 Fungsi-Fungsi Pelayanan Sosial ………. 38

2.5.3 Pelayanan Panti Sosial Tuna Rungu Wicara ……….. 40

2.6 Kerangka Pemikiran……….…… 45

2.7 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional……… 47

2.7.1 Defenisi Konsep ………. 47

2.7.2 Defenisi Operasional ……….. 48

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian……….. 53

3.2 Lokasi Penelitian………... 53

3.3 Populasi………. 54

3.4 Teknik Pengumpulan Data……… 54

3.5 Teknik Analisis Data………..…….. 55

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Berdirinya Lembaga……….. 57

4.2 Visi dan Misi Lembaga……… 59

4.3 Gambaran Umum Lembaga……….... 59


(10)

4.3.2 Sasaran Garapan ………. 60

4.3.3 Struktur Organisasi ……… 61

4.3.4 Sarana dan Prasarana Panti ………...…. 65

4.4 Tata Cara Penanganan Tuna Rungu Wicara ………... 66

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Pengantar ……… 69

5.2 Analisa Identitas Responden ……….………. 70

5.2.1 Usia ……….……… 70

5.2.2 Jenis Kelamin ….……… 71

5.2.3 Agama …..……….. 72

5.2.4 Suku Bangsa ……….………... 73

5.2.5 Daerah Asal ……….. 74

5.3 Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar ……… 75

5.3.1 Reaksi Warga Binaan ………. 75

5.3.2 Belajar ……… 85

5.3.3 Perilaku ……….. 94

5.3.4 Dampak Organisasi ……… 102

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan……… 115


(11)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 4.1 Sarana dan Prasarana Lembaga ………...………. 65

2. Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur …...…. 70

3. Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 71

4. Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ………... 72

5. Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Suku Bangsa ….. 73

6. Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Daerah Asal …….. 74

7. Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Pengetahuan

Lembaga ……… 75

8. Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Pihak Pengantar …. 77

9. Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Terhadap

Program ……… 78

10. Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kebermanfaatan

Program ………. 79

11. Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Pengajaran

Instruktur ………... 81

12. Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pemahaman

Materi ……….…….. 82

13. Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Pengenalan Responden Terhadap Sesama dan Instruktur ………….………. 83

14. Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Kesesuaian Minat

Terhadap Program ……….……….... 85


(12)

Mengikuti Program ………... 86

16. Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kesulitan

Mengikuti Program ………... 88

17. Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Pemberian Pembelajaran Pengetahuan Dasar Keterampilan ………. 89

18. Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Pengaplikasian Program

Keterampilan ………. 91

19. Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Pengaruh Ilmu

Pengetahuan Pelatihan Bagi Kehidupan Responden… 92

20. Tabel 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Perkembangan

Pengetahuan Umum Sesuai Zaman ……….. 93

21. Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Berkarya 94

22. Tabel 5.21 Distribusi Responden Berdasarkan Perbandingan Sebelum Dan Sesudah Menerima Program ………. 96

23. Tabel 5.22 Distribusi Responden Berdasarkan Pengaruh Pelatihan Keterampilan Terhadap Kemampuan Bersosialisasi…. 97

24. Tabel 5.23 Distribusi Responden Berdasarkan Perkembangan

Kepercayaan Diri Responden …………....………… 99

25. Tabel 5.24 Distribusi Responden Berdasarkan Peningkatan Kreativitas

Responden ……….……… 100

26. Tabel 5.25 Distribusi Responden Berdasarkan Perencanaan Setelah Menerima Program …….……….. 102

27. Tabel 5.26 Distribusi Responden Berdasarkan Ketertarikan Bidang


(13)

28. Tabel 5.27 Distribusi Responden Berdasarkan Pembantuan Penambahan Pemasukan Responden ………. 105

29. Tabel 5.28 Distribusi Responden Berdasarkan Pembantuan Keterampilan Bagi Responden dan Orang Lain …..……….. 106

30. Tabel 5.29 Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Sebagai Pekerjaan Pokok Responden ………. 108

31. Tabel 5.30 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kebosanan Dalam Pelatihan Keterampilan ……… 109

32. Tabel 5.31 Distribusi Responden Berdasarkan Hasil Penerimaan


(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Bagan Alir Pemikiran ……….. 52 Bagan 4.1 Struktur Organisasi UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu


(15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Febrina Odelia M. S.

NIM : 090902042

ABSTRAK

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut

Usia Pematang Siantar

Salah satu masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat ini antara lain adalah masalah penyandang cacat. Penyandang cacat juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, diantaranya adalah berhak memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan yang ada pada mereka. Penyandang cacat diharapkan mampu mengembangkan dan meningkatkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya sehingga diharapkan yang bersangkutan mampu bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan dan keterampilan yang dimiliki serta sesuai dengan minat dan pengalamannya, sehingga mencapai kemandirian di tengah kehidupan masyarakat. Salah satu upaya pemberdayaan penyandang cacat yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara khususnya bagi tuna rungu wicara yaitu pemberian program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara yang dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif yang mengkaji masalah program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara Pematang Siantar. Sampel penelitian ini adalah warga binaan sosial tuna rungu wicara yang mengikuti pelatihan keterampilan terdiri dari 18 orang yang semuanya dijadikan populasi. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas program pelatihan keterampilan tersebut adalah reaksi, proses belajar, perilaku dan dampak organisasi terhadap responden. Untuk mengetahui tingkat efektivitas program, pengukuran data dilakukan dengan menggunakan skala likert.

Hasil penelitian menyimpulkan, efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar yaitu efektif dengan nilai skala likert 0,63. Reaksi responden adalah efektif sebanyak 0,64. Proses belajar responden berjalan efektif sebanyak 0,62. Perubahan perilaku sebanyak 0,65. Dampak program pelatihan keterampilan bagi responden juga efektif sebanyak 0,62. Responden yang mengikuti pelatihan keterampilan kini telah memiliki keterampilan dan lebih percaya diri.

Kata kunci : Efektivitas, Program Pelatihan Keterampilan, Penyandang Cacat, Tuna Rungu Wicara


(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Name : Febrina Odelia M. S.

NIM : 090902042

ABSTRACT

The Effectiveness of Skills Training Program For Disabled Deaf Talk at UPT Social Services Speech and The Deaf Elderly People Pematang Siantar

One of the social problems faced by Indonesia at this time include disability issues . Disabled people also have the same rights and obligations in all aspects of life and livelihood , which are entitled to work in accordance with the type and degree of disability that is on them . Disabled people should be able to develop and improve the physical, mental and social so it is expected that the relevant able to work in accordance with the level of skills , education and skills possessed and in accordance with the interests and experiences , so as to achieve self-reliance in public life . One effort to empower people with disabilities conducted by the North Sumatra provincial government particularly for hearing impaired speech is the provision of skills training programs for persons with disabilities who conducted the hearing impaired speech in the Technical Implementation Unit ( UPT ) Social Services Speech and Deaf Elderly Siantar.

This form of descriptive research study that examines issues of skills training programs for persons with disabilities deaf mute . This study aims to determine the effectiveness of skills training programs for persons with disabilities in UPT deaf mute Deaf Social Services Speech Siantar . The sample was deaf inmates social skills training speech which consists of 18 people who all serve the population. Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics . Indicators used to measure the effectiveness of the skills training programs is a reaction, learning, behavior and organizational impact to the respondents. To determine the level of effectiveness of skills training programs , measurement data using a Likert scale .

The results concluded that the effectiveness of skills training programs for persons with disabilities in UPT deaf mute Deaf Talk Social Services and Seniors Siantar been effective with a value of 0.63 Likert scale . Respondents' reactions to the program is effective as much as 0.64 . Effective learning process as much as 0.62 respondents . Changes in respondent behavior as 0.65 . Impact of skills training programs for the respondents also effective as 0.62 . Respondents who follow vocational training and skills now have more confidence .

Keywords : Effectiveness , Skills Training Program , Disabled , Deaf Talk .


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan memahami bahasa. Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Anak belajar untuk berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika mereka memiliki gangguan pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan tidak ditangani, informasi untuk perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan terbuang sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan verbal serta menimbulkan masalah soaial dan akademik.

Susunan pancaindra manusia, salah satunya telinga sebagai indera pendengaran merupakan organ untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui penglihatan. Bila kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan untuk mendengar berarti kehilangan kemampuan menyimak secara utuh peristiwa di sekitarnya. Akibatnya, semua peristiwa yang terekam oleh penglihatan anak dengan kecacatan rungu wicara, tampak seperti terjadi secara tiba-tiba tanpa dapat memahami gejala awalnya.

Faktanya kebanyakan orang, mengalami gangguan pendengaran secara lambat sehingga mereka sendiri tidak menyadari tanda-tanda gangguan


(18)

pendengaran pada dirinya sendiri. Tanda-tanda gangguan pendengaran yang dapat kita lihat pada orang-orang disekitar kita seperti jika seseorang tiba-tiba beralih mengubah volume TV atau radio tanpa alasan yang jelas, itu dapat menjadi salah satu indikator mereka berada pada beberapa level gangguan pendengaran. Orang yang mulai mengalami gangguan pendengaran juga mulai menghindari pertemuan-pertemuan sosial karena akan menjadi hal yang rumit bagi orang dengan gangguan pendengaran. Sering terjadinya kesalahpahaman di dalam percakapan juga dapat menunjukkan orang tersebut sedang berjuang untuk mendengarkan suara lawan bicaranya dengan jelas. Selain itu orang dengan gangguan pendengaran sering merasa letih atau stress. Hal ini disebabkan karena mendengarkan adalah kerja keras dan membutuhkan konsentrasi, sehingga membuat mereka gampang lelah dan juga stress.

Gangguan pendengaran belum begitu mendapat perhatian serius dari masyarakat karena gejalanya tidak tampak dari luar. Gangguan ini sangat menganggu produktifitas dan membuat penderitanya terisolasi dari lingkungan. Pada anak-anak, dampaknya lebih berat lagi karena mempengaruhi perkembangannya hingga dewasa.

Masih banyak orang yang beranggapan bahwa orang yang memiliki keterbatasan fisik tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan banyak yang menyangka disabilitas adalah sekelompok orang yang hanya membuat susah orang lain. Padahal, jika diperhatikan, penyandang disabilitas juga bisa berprestasi dan berkarya, dan bisa melebihi orang-orang normal lainnya, bahkan tak sedikit prestasi yang mereka peroleh dikancah internasional. Untuk itu perlu dukungan dari masyarakat, tapi bukan karena didasarkan pada belas kasihan, namun


(19)

hak-hak yang terhormat bagi penyandang disabilitas. (Harian Analisa, 5 Desember 2012:15).

Anak dengan kecacatan rungu wicara merupakan realitas sosial yang tidak terelakkan keberadaannya. Mereka membutuhkan perhatian dan dukungan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Secara umum keberadaan anak dengan kecacatan rungu wicara terkadang dianggap beban, aib yang keberadaannya disembunyikan atau diisolasi dari kehidupan masyarakat. Kecacatan pada anak merupakan kondisi yang tidak diinginkan oleh siapapun.

Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris ditemukan fakta bahwa tingkat penduduk yang mengalami gangguan pendengaran cukup tinggi. Di Amerika Serikat ada 36 juta orang dengan gangguan pendengaran atau satu dari setiap lima orang penduduk, sedangkan di Inggris ada lebih dari 10 juta penduduk yang mengalami gangguan pendengaran atau satu dari enam penduduk. Diketahui juga bahwa laki-laki lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran dibandingkan wanita. Gangguan pendengaran terjadi karena ada yang dibawa sejak lahir dan ada yang di dapat seperti akibat kecelakaan atau menerima paparan suara yang keras setiap hari secara teratur. Pada tahun 2011 jumlah penduduk Inggris dengan gangguan pendengaran ada 10 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2031 jumlah penduduk dengan gangguan pendengaran akan meningkat menjadi 14,5 juta orang penduduk. (http.//actiononhearingloss.org.uk. Diakses pada 26 April 2013 pukul 13.28)

Di Indonesia sampai saat ini belum ada data yang jelas dan up to date

mengenai jumlah yang mengalami gangguan pendengaran, karena belum dilakukan program screening untuk pendengaran. Data survey Kesehatan Indera


(20)

Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994-1996 menyebutkan prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia adalah 16,8% dan 0,4%. Menurut data WHO tahun 2007, prevalensi gangguan pendengaran pada populasi Indonesia diperkirakan sebesar 4,2% sehingga berdasarkan tahun 2002 bila jumlah penduduk Indonesia sebesar 221.900.000 maka 9.319.800 penduduk

Indonesia diperkirakan menderita gangguan pendengaran. (http://eprints.undip.ac.id. Diakses pada 27 April 2013 pukul 09.25).

Menurut data yang diperoleh Deputi Bidang Perlindungan Perempuan pada Seminar Hari Internasional Penyandang Cacat 2011 dikatakan bahwa penyandang tuna netra 1.749.981 jiwa, tuna rungu wicara 602.784 jiwa, tuna daksa 1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 Jiwa. Kementerian Sosial RI memperkirakan populasi penyandang Cacat Indonesia sebesar 3,11%, sementara WHO menyampaikan jumlah penyandang cacat dari negara - negara berkembang yaitu sebesar 10%. (http://rehsos.kemsos.go.id. Diakses pada tanggal 26 April 2013 pukul 20.45)

Data statistik populasi anak berkelainan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial, populasi penyandang kelainan hingga tahun 1991 diketahui sebanyak 5.576.815 orang dengan penyandang kelainan tunarungu-wicara sebanyak 555.898 orang (9,97 %) (Efendi,2006:12). Sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang populasi anak dengan kecacatan rungu wicara di Indonesia. Namun, sebagai gambaran terdapat 295.795 anak dengan kecacatan adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sebesar 295.763 anak. Sementara Departemen Pendidikan Nasional menyatakan baru sekitar 48.000 anak dengan kecacatan dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah yang


(21)

menikmati pendidikan. Sisanya lebih banyak tinggal di rumah. Dengan demikian anak dengan kecacatan termasuk anak dengan kecacatan rungu wicara masih mendapat perlakuan diskriminatif.(Depsos RI.2008).

Kondisi di atas dalam sudut pandang perkembangan anak dipandang kurang menguntungkan terutama pada pemenuhan hak-hak anak secara umumnya. Suatu asumsi terganggunya pemenuhan hak-hak anak dengan kecacatan rungu wicara juga akan berdampak pada keberadaan dan masa depan anak itu sendiri. Sehingga perlindungan terhadap anak dengan kecacatan rungu wicara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya penanganan anak dan peningkatan kesejahteraannya.

Terdapat beberapa dampak dari ketunarunguan yang dialami pada anak, diantaranya adalah mereka terlambat dalam memperoleh bahasa sehingga sulit dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Kurangnya pemahaman bahasa yang dimiliki anak tunarungu menyebabkan terdapatnya kesalahan penafsiran dalam memandang sesuatu yang dilihatnya dan di lingkungan masyarakat pada umumnya melihat anak penyandang cacat seperti tunarungu sebagai anak yang memiliki kekurangan sehingga sedikit tersisihkan dari masyarakat.

Pada beberapa kasus anak dengan kecacatan, khususnya kecacatan rungu wicara, apabila diketahui dan ditanggulangi sedini mungkin akan membuat perkembangan anak menjadi semakin baik dan dapat mengurangi hambatan-hambatan yang terjadi. Sebagai contoh, anak balita yang tidak dapat mendengar dan bicara, apabila diketahui lebih dini, maka orang tua dapat menentukan sikap yang lebih positif terhadap kondisi kecacatan yang diderita anaknya sehingga dapat dicari altenatif pemecahan permasalahannya. Dalam hal ini dibutuhkan


(22)

kesadaran, perhatian, dan keahlian khusus orang-orang disekitar anak seperti orang tua, keluarga, guru, dan masyarakat dimana anak tersebut tinggal.

Berbagai keterbatasan yang ada pada keluarga yang memiliki anak dengan kecacatan rungu wicara menyebabkan terkendalanya keluarga dalam memberikan pelayanan dalam menangani anak tersebut. Demikian juga para petugas dan penyelenggara pelayanan anak dengan kecacatan rungu wicara, sering kali juga terkendala oleh keterbatasan kemampuan serta keterampilan yang menyebabkan tidak optimalnya pelayanan dan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan rungu wicara.

Anak dengan kecacatan rungu wicara pada hakekatnya mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Anak dengan kecacatan rungu wicara masih memiliki organ indera lain yang dapat berfungsi sebagai organ indra visual yang membuat memungkinkannya imajinasi visual yang diperoleh anak tunarungu dari lingkungannya berada. Upaya pengembangannya dengan adanya program yang terancang secara sistematis melalui upaya penanganan secara terarah, tepat guna dan berkesinambungan. Pelayanan dan rehabilitasi sosial merupakan upaya yang tidak dapat terpisahkan dengan sistem pelayanan secara umum.

Pelayanan dan rehabilitasi sosial anak cacat rungu wicara merupakan rangkaian kegiatan pembinaan dan pelayanan kesejahteraan sosial dalam rangka menjamin tumbuh kembang anak, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar di segala aspek kehidupan di dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini perlu didukung oleh lingkungan khususnya wadah pelayanan dan rehabilitasi sosial seperti panti pelayanan sosial.


(23)

Panti merupakan salah satu wadah yang dapat mengoptimalkan potensi, minat, bakat dan pendidikan anak dengan kecacatan rungu wicara. Panti diwajibkan memberikan kemampuan terbaik dalam menjalankan kinerjanya, salah satunya adalah ditunjang dengan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang memadai tentunya diharapkan anak dapat terfasilitasi dalam mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang mumpuni selama pendidikan formal. Diharapkan setelah mendapatkan pendidikan dari sekolah, anak dapat menjadi lebih mandiri dan dapat diterima dalam bekerja. Namun sayang, untuk dapat bekerja anak dengan kecacatan rungu wicara harus bersaing secara ketat dengan anak lain pada umumnya. Namun perbedaannya kualitas pendidikan yang didapat anak membuat anak dengan kecacatan rungu wicara menjadi korban dari ketidakpastian untuk bersaing di masyarakat.

Keterampilan sangat dibutuhkan oleh setiap individu terutama pada saat ini. Keterampilan bagi sebagian orang adalah suatu kelebihan yang harus dimiliki karena dalam segala aspek kita sebagai individu dituntut untuk terampil menyikapi segala hal. Berbeda dengan anak dengan kecacatan rungu wicara, ada kecenderungan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan menjadi terhambat sehingga kurang optimal dalam mengekspresikan kemampuan yang mereka miliki. Bagi tunarungu pemberian pembelajaran keterampilan khususnya keterampilan kecakapan hidup harus dimulai dari hal-hal yang sifatnya sederhana.

Kehadiran anak dengan kecacatan rungu wicara yang setiap tahunnya bertambah menjadikan mereka menjadi salah satu sasaran dari Departemen Sosial. Upaya Departemen Sosial untuk memberikan layanan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan anak dengan kecacatan rungu wicara adalah dengan


(24)

menghadirkan Panti Sosial Tuna Rungu Wicara sebagai suatu pelayanan substitutive atau pengganti keluarga, terutama berupa pemberian layanan pendidikan dan perlindungan secara tepat dan maksimal. Melalui kehadiran panti sosial ini, segala program dan kegiatan pelayanan sosial bagi penyandang cacat tunarungu wicara diarahkan untuk meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja untuk meningkatkan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosial penyandang cacat tuna rungu wicara, meningkatkan kepedulian sosial masyarakat, serta membangun budaya kewirausahaan bagi penyandang cacat. Panti sosial diharapkan mampu memenuhi kebutuhan fisik, psikis dan sosial anak yang tidak hanya terkait dengan kehidupan keluarga dan masyarakat tetapi sebagai manusia yang utuh dan unik.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui bagaimana keefektifan pelayanan sosial yang diberikan oleh UPT. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar terhadap penyandang cacat tuna rungu wicara dengan melihat kualitas kegiatan seperti reaksi warga binaan tuna rungu wicara terhadap program kegiatan, kuantitas kegiatan seperti seberapa jauh penguasaan konsep selama pelatihan dan dampak pelatihan. Penulis membatasi penelitian ini hanya pada ruang lingkup keefektifan pelayanan yang diberikan kepada penyandang cacat tuna rungu wicara. Penulis mengangkat permasalahan yang dirangkum dalam penelitian sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: “Efektifitas Pelaksanaan Program Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar.”


(25)

Adapun alasan peneliti tertarik meneliti permasalahan ini adalah karena mengetahui bahwa ternyata banyak anak dengan kecacatan tuna rungu wicara yang belum tertangani yang dampaknya akan mengganggu emosional dan hubungan sosialnya dan pada akhirnya mereka akan terdiskriminasikan. Selain itu peneliti tertarik untuk meneliti di Panti Tuna Rungu Wicara P. Siantar karna panti ini merupakan salah satu UPT yang khusus melayani penyandang cacat tuna rungu wicara di Provinsi Sumatera Utara dan memiliki wilayah kerjanya meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi (Sumbagut). Sehingga peneliti ingin melihat bagaimana efektifitas dari pemberian pelayanan sosial berupa pemberian keterampilan terhadap penyandang cacat tuna rungu wicara yang selama ini telah diberikan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana efektifitas pelaksanaan program keterampilan terhadap penyandang cacat tuna rungu wicara di UPTD. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar?


(26)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui efektifitas Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar dalam menangani penyandang cacat tuna rungu wicara 2. Mengetahui sejauh mana program keterampilan di Pelayanan Sosial Tuna

Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar dalam memberikan pendidikan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis sendiri adalah dapat mempertajam kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah dan menambah pengetahuan dibidang pelayanan sosial

2. Bagi fakultas, untuk memperbanyak referensi karya ilmiah yang menyangkut efektifitas lembaga dalam menangani penyandang cacat tuna rungu wicara

3. Memberikan kontribusi pemikiran dan masukan kepada pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat maupun instansi terkait dalam upaya meningkatkan kualitas penanganan penyandang cacat tuna rungu wicara.


(27)

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam 6 bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini menguraikan secara teoritis variable-variabel yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis mengadakan penelitian

BAB V ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisanya

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan dengan penelitian yang dilakukan


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:250) efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya), dapat membawa hasil, berhasil guna (tindakan) serta dapat pula berarti mulai berlaku (tentang undang-undang/peraturan). Selanjutnya Bahasa Inggris, kata efektif yaitu effective yang berarti berhasil, atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Menurut pendapat H. Emerson yang dikutip Soewarno Handayaningrat S. (1994:16) yang menyatakan bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.”

Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian untuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Efektivitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa :

“Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase


(29)

target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.(http://repository.unhas.ac.id) diakses pada tanggal 06 maret 2013, pukul 22.45).

Dilihat dari perspektif efektivitas organisasi, Gaertner dan Ramnarayan mengatakan, efektifitas dalam suatu organisasi bukan suatu benda, atau suatu tujuan, atau suatu karakteristik dari output atau perilaku organisasi, tetapi cukup suatu pernyataan dari relasi-relasi di dalam dan di antara jumlah yang relevan dari organisasi tersebut. Suatu organisasi yang efektif adalah yang dapat membuat laporan tentang dirinya dan aktivitas-aktivitasnya menurut cara-cara dalam mana jumlah-jumlah tersebut dapat diterima. Pandangan efektivitas sebagai suatu proses ini mencerminkan aspek politik ketimbang aspek ekonomi atas bidang produktivitas. Gerakan produktivitas tidak begitu disebabkan oleh dorongan ekonomi. Menjadi produktif adalah menjadi tanggap secara politik. (Gomes,2003:163).

Unsur yang penting dalam konsep efektivitas adalah; yang pertama adalah pencapaian tujuan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati secara maksimal, tujuan merupakan harapan yang dicita-citakan atau suatu kondisi tertentu yang ingin dicapai oleh serangkaian proses. Diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasi-aktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa efektivitas merupakan pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan


(30)

dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif.

2.1.2 Pengukuran Terhadap Efektifitas

Pencapaian hasil (efektivitas) yang dilakukan oleh suatu organisasi menurut Jones (1994) terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output

atau masukan, perubahan dan hasil. Input meliputi semua sumber daya yang dimiliki, informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Pada tahap

input, tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan yang dimiliki. Tahap conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologi agar dapat menghasilkan nilai. Tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat produktifitasnya. Sedangkan dalam tahap output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM. Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan memuaskan kebutuhan pelanggan. (http://2frameit.blogspot.com diakses pada tanggal 08 maret 2013 pukul 09.50)

Gomes (2003:209) memberi tipe-tipe kriteria efektivitas program pelatihan. Suatu program pelatihan bisa dievaluasi berdasarkan: (1) reactions, (2)


(31)

dapat diketahui opini dari para peserta mengenai program pelatihan yang diberikan. Proses learning memberikan informasi yang ingin diperoleh melalui penguasaan konsep-konsep, pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Perilaku (behaviors) dari peserta pelatihan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan terhadap peserta pelatihan. Dampak pelatihan (organizational results)

untuk menguji dampak pelatihan terhadap peserta pelatihan secara keseluruhan.

2.2 Program Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat

Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitas-aktivitas yang terencana (be a planned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan. Secara ideal, pelatihan harus didesain untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu yang bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan.(Gomes,2003:197)

Pelatihan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat dan paling umum dari semua aktivitas. Para penyelenggara menyokong pelatihan karena melalui pelatihan para peserta, dalam hal ini penyandang cacat, akan menjadi lebih terampil, dan karenanya lebih produktif. Pelatihan lebih sebagai sarana yang ditujukan pada upaya untuk lebih memberdayakan seseorang yang kurang berdaya dari sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif yang


(32)

dikarenakan kurangnya pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari penyandang cacat.

Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Sedangkan Reber (dalam Syah,2005:121) mengatakan, keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu.

Belajar keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Dalam jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Supaya efektif, pelatihan harus merupakan solusi yang tepat bagi permasalahan organisasi, yakni bahwa pelatihan tersebut harus dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan keterampilan. (Syah, 2005:126)

Menurut Sudjana (1996:17), keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan, yang memerlukan manipulasi dan koordinasi informasi yang dipelajari. Keterampilan bergerak dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu psikomotor dan intelektual. Keterampilan psikomotor antara lain adalah menggergaji, mengecat tembok, menari, mengetik. Sedangkan keterampilan intelektual ialah


(33)

memecahkan soal hitungan, melakukan penelitian, membuat kesimpulan dan sebagainya. Namun, sebenarnya hampir semua keterampilan terdiri atas kedua unsur tersebut. Hanya saja ada keterampilan yang lebih menonjol unsur psikomotornya sedangkan keterampilan yang lain lebih menonjol unsur intelektualnya.

Keterampilan merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak asuh untuk terlibat dalam berbagai pengalaman apresiasi maupun pengalaman berkreasi untuk menghasilkan suatu produk berupa benda nyata yang bermanfaat langsung bagi kehidupan mereka. Anak asuh melakukan interaksi dengan benda-benda produk kerajian dan teknologi yang ada di lingkungannya saat pelatihan keterampilan, kemudian berkreasi menciptakan berbagai produk kerajinan maupun produk teknologi, sehingga diperoleh pengalaman konseptual, pengalaman apresiatif dan pengalaman kreatif. Pembelajaran keterampilan dirancang sebagai proses komunikasi belajar untuk mengubah perilaku anak asuh cekat, cepat dan tepat melalui pembelajaran kerajinan, teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan (Sudjana, 1996:17 ).

Perilaku terampil ini dibutuhkan dalam keterampilan hidup manusia di masyarakat. Melihat uraian tersebut, secara substansi bidang keterampilan mengandung kinerja kerajinan dan teknologis. Istilah kerajinan berangkat dari kecakapan melaksanakan, mengolah dan menciptakan dengan dasar kinerja keterampilan psimotorik. Maka, keterampilan kerajinan berisi kerajinan tangan membuat benda pakai atau fungsional. Keterampilan teknologi terdiri dari teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan.


(34)

Metode pelatihan merupakan bentuk yang dipilih dalam pelatihan-pelatihan yang menyediakan langsug keterampilan-keterampilan untuk para peserta. Adapun prinsip umum bagi metode pelatihan harus memenuhi sebagai berikut: (1) memotivasi para peserta latihan untuk belajar keterampilan baru, (2) memperlihatkan keterampilan-keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari, (3) harus konsisten dengan isi (misalnya, dengan menggunakan pendekatan interaktif untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan interpersonal), (4) memungkinkan partisipasi aktif, (5) memberikan kesempatan berpraktek dan perluasan keterampilan, (6) memberikan feedback mengenai performansi selama pelatihan, (7) mendorong adanya pemindahan yang positif dari pelatihan ke pekerjaan, dan (8) harus efektif dari segi biaya. (Gomes, 2003:208)

Sehingga metode pelatihan tidak terlepas dari pelatihan-pelatihan yang menyediakan langsung keterampilan untuk peserta. Menjadikan peserta melakukan perilaku-perilaku yang terampil untuk kemandirian diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hidup bermasyarakat.

2.3 Penyandang Cacat

2.3.1 Pengertian Penyandang Cacat

Pengertian penyandang cacat berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada pasal 1 ayat 1 adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Lebih lanjut, menurut Undang-Undang No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa jenis-jenis kecacatan


(35)

terdiri dari 3 besar yaitu kecacatan fisik, kecacatan mental dan kecacatan fisik dan mental. Sementara itu, kecacatan fisik terdiri dari kecacatan tubuh, netra dan rungu wicara.

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik/mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya melakukan kegiatan secara selayaknya.

Menurut WHO tahun 1980 membagi pengertian penyandang cacat dalam 3 hal, yaitu :

a. Impairment : diartikan sebagai suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. b. Disability : suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan

tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi impairment yang berhubungan dengan usia dan masyarakat dimana seseorang berada.

c. Handicap : kesulitan/kesukaran dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat baik dibidang sosial ekonomi maupun psikologi yang dialami oleh seseorang yang disebabkan oleh ketidakabnormalan psikis, fisiologis maupun tubuh dan ketidak mampuannya melaksanakan kegiatan hidup secara normal.

Singkatnya Impairment mencakup dimensi fisik, Disability mencakup dimensi aktivitas personal dalam aktivitas sehari-hari (ADL) sedangkan Handicap mencakup dimensi peranan sosial.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang


(36)

menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak, terdiri dari : cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis.

2.3.2 Jenis-Jenis Penyandang Cacat Cacat Tubuh/Kelainan Fisik

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbu suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada:

a) Alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara)

b) Alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misal lahir tanpa tangan/kaki. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompok tunadaksa.


(37)

Penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan karakteristik sosial psikologis sebagai berikut:

a. Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection

b. Rasa rendah diri c. Kurang percaya diri d. Mengisolir diri

e. Kehidupan emosional yang labil f. Berperilaku agresif

g. Ada perasaan tidak aman h. Cepat menyerah

i. Kekanak-kanakan

(Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat dalam Panti)

Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik penyandang cacat tubuh, meliputi: a. Faktor bawaan

b. Penyakit

c. Waktu terjadinya kecacatan

d. Perlakuan lingkungan/masyarakat setempat e. Perlakuan anggota keluarga

f. Iklim dan keadaan alam g. Ekologi dan tradisi setempat

(Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat dalam Panti)


(38)

Adapun permasalahan kecacatan yang dialami penyandang cacat dibagi menjadi masalah internal dan masalah eksternal, yaitu:

a. Masalah Internal 1) Kondisi jasmani

Kecacatan yang disandang seseorang dapat mengakibatkan gangguan kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu perbuatan atau gerakan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari (activity daily living).

2) Kondisi kejiwaan

Kecacatan yang disandang dapat mengganggu kejiwaan/mental seseorang, sehingga seseorang menjadi rendah diri atau sebaliknya, menghargai dirinya terlalu berlebihan, mudah tersinggung, kadang-kadang agresif, pesimistis labil, sulit untuk mengambil keputusan dan sebagainya.

Keadaan seperti ini sangat merugikan, khususnya yang berkenaan dengan hubungan antar manusia yang ditandai oleh:

a) Ketidakmampuan hubungan antar perseorangan (interpersonal relationship) b) Ketidakmampuan didalam mengambil peranan di dalam kegiatan

sosial/kelompok (partisipasi sosial)

c) Ketidakserasian hubungan antar manusia di masyarakat (human relation) d) Ketidakmampuan di dalam mengambil peranan di dalam kegiatan


(39)

3) Masalah pendidikan

Karena kecacatan fisiknya, hal ini sering menimbulkan kesulitan khususnya pada anak usia sekolah. Mereka memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua maupun guru di sekolah. Sebagian besar kesulitan ini juga menyangkut transportasi antara tempat tinggal ke sekolah, kesulitan mempergunakan alat-alat sekolah, maupun fasilitas umum lainnya.

4) Masalah ekonomi

Kecacatan pada seseorang dapat menyebabkan hambatan dalam mobilitas fisik. Hal ini semakin sukar tatkala dunia kerja belum menyediakan

lapangan pekerjaan sebagaimana mestinya untuk orang cacat. Hambatan dan rendahnya apresiasi dunia kerja ini dapat menimbulkan masalah pada

penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi mereka.

b. Masalah Eksternal 1) Masalah keluarga

Beberapa keluarga yang mempunyai anak yang menyandang kecacatan tubuh merasa malu, yang mengakibatkan penyandang cacat tersebut tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anak-anak pada umumnya, sehingga tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya. Pada akhirnya, penyandang cacat tubuh tersebut akan tetap menjadi beban bagi keluarganya.


(40)

2) Masalah masyarakat

Masyarakat yang memiliki warga yang menyandang kecacatan tubuh akan turut terganggu kehidupannya, selama penyandang cacat tersebut belum dapat berdiri sendiri dan masih selalu menggantungkan dirinya pada orang lain.

Dipandang dari segi ekonomi, sejak seseorang terutama yang telah dewasa menjadi cacat tubuh, masyarkat mengalami kerugian ganda, yaitu kehilangan anggota yang produktif dan bertambah anggota yang non produktif, ini berarti menambah berat beban bagi masyarakat. Perlu usaha-usaha rehabilitasi yang dapat merubah penyandang cacat tubuh dari kondisi non produktif menjadi produktif. Disamping itu masih ada sikap dan anggapan sebagian masyarakat yang kurang menguntungkan bagi penyandang cacat tubuh, antara lain:

a) Masih adanya sikap ragu-ragu terhadap kemampuan penyandang cacat tubuh, mengakibatkan kesulitan memperoleh pekerjaan.

b) Masih adanya sikap masa bodoh di sebagian lapisan masyarakat terhadap permasalahan penyandang cacat tubuh.

c) Belum meluasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalahan penyandang cacat tubuh

d) Masih lemahnya sebagian organisasi sosial yang bergerak dibidang kecacatan di dalam melaksanakan kegiatannya.

e) Pengguna jasa tenaga kerja penyandang cacat tubuh umumnya belum menyediakan kemudahan/sarana bantu yang diperlukan bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh.


(41)

f) Program pelayanan rehabilitasi medis, sosial dan vokasional yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat belum menjangkau seluruh populasi penyandang cacat tubuh.

3) Pelayanan umum

Sarana umum seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, tempat rekreasi, perhotelan, kantor pos, terminal, telepon umum, bank, dan tempat lainnya belum seluruhnya memiliki aksesibilitas bagi penyandang cacat tubuh.

Cacat Mental

Anak berkelainan mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremely gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di atas 140.

Secara umum Tirtonegoro (dalam Efendi, 2006:8-9) membagi karakteristik anak dengan kemampuan mental lebih, di samping memiliki potensi


(42)

kecerdasan yang tinggi dalam prestasi, juga memiliki kemampuan menonjol dalam bidang tertentu, antara lain (1) kemampuan intelektual umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3) kemampuan berpikir kreatif produktif, (4) kemampuan dalam salah satu bidang kesenian, (5) kemampuan psikomotorik, dan (6) kemampuan psikososial dan kepemimpinan.

Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya. Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik kehidupan sehari-hari di kalangan awam seringkali disalahpersepsikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan anak tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat berkembang sebagaimana anak normal lainnya.

Harapan semacam ini wajar saja karena mereka tidak mengetahui karakteristik anak tunagrahita. Kirk menyatakan kondisi tunagrahita tidak dapat disamakan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita suatu kondisi sebagaimana yang ada, “Mental retarded is not disease but a condition” (dalam Efendi,2006:9). Atas dasar itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan obat apa pun.


(43)

Kelainan Perilaku Sosial

Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan. Mackie (dalam Efendi,2006:10) mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah dan di masyarakat lingkungannya. Hal yang penting dari itu adalah akibat tindakan atau perbuatan yang dilakukan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain,

Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent). Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan dibedakan menjadi: (1) tunalaras emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, (2) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.

2.4 Tuna Rungu Wicara

2.4.1 Pengertian Tuna Rungu Wicara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuna rungu mempunyai arti tuli atau tidak dapat mendengar. Kata deaf dalam kamus bahasa inggris berarti


(44)

kekurangan atau kehilangan sebagian atau seluruh pendengaran atau tidak mampu mendengarkan, sedangkan deafness berarti ketunarunguan yaitu cacat indera pendengaran bawaan atau kehilangan pendengaran. Mufti Salim (dalam Depsos RI, 2008:14) mengatakan bahwa tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya, sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak. Cacat rungu wicara adalah cacat bawaan atau cacat yang diperoleh karena berbagai sebab yang mengakibatkan gangguan indera pendengaran, disebabkan oleh (a) kerusakan bagian penghantar bunyi; (b) kerusakan organ kortil atau syaraf pendengaran; (c) kerusakan pada interpretasi bunyi di pusat syaraf otak. (Depsos RI, 2008:6)

Anak dengan kecacatan rungu wicara merupakan salah satu jenis kecacatan yang secara lahiriah tak nampak, karena kecacatannya terdapat di dalam indra pendengaran sehingga sering dianggap sebagai kecacatan yang lebih ringan dibandingkan dengan kecacatan lain. Padahal kecacatan ini mempunyai dampak yang serius bagi penyandang cacatnya.

Anak berkelainan indra pendengaran atau tuna rungu secara medis dikatakan, jika dalam mekanisme pendengaran karena sesuatu dan lain sebab terdapat satu atau lebih organ mengalami gangguan atau rusak. Akibatnya, organ tersebut tidak mampu menjalankan fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsikan rangsang suara yang ditangkap untuk diubah menjadi tanggapan akustik. Secara pedagogis, seorang anak dapat dikategorikan berkelainan indera


(45)

pendengaran atau tuna rungu, jika dampak dari disfungsinya organ-organ yang berfungsi sebagai penghantar dan persepsi pendengaran mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti program pendidikan anak normal sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus untuk meniti tugas perkembangannya.

Terminologi kelainan bicara atau tunawicara adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengkomunikasikan gagasanya kepada orang lain (pendengar) dengan memanfaatkan organ bicaranya, dikarenakan celah langit-langit, bibir sumbing, kerusakan otak, tunarungu, dan lain-lain (Patton, dalam Efendi, 2006:7). Akibatnya pesan yang terlihat sederhana ketika disampaikan kepada lawan bicara menjadi tidak sederhana, sulit dipahami, dan membingungkan.

Menilik dari kurun terjadinya ketunarunguan, Kirk (dalam Efendi, 2006:58) mengemukakan bahwa anak yang lahir dengan kelainan pendengaran atau kehilangan pendengarannya pada masa kanak-kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu pre-lingual. Jenjang ketunarunguan yang dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori tuna rungu berat. Sedangkan anak lahir dengan pendengaran normal, namun setelah mencapai usia di mana anak sudah memahami suatu percakapan tiba-tiba mengalami kehilangan ketajaman pendengaran, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu post-lingual. Jenjang ketunarunguan yang diperoleh setelah anak memahami percakapan atau bahasa dan bicaranya sudah terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori sedang atau ringan.


(46)

2.4.2 Jenis Tuna Rungu Wicara

Jenis Kecacatan Rungu Wicara pada Anak

Jenis kecacatan rungu wicara berdasarkan hasil diteksi dapat dibedakan: 1. Menurut derajat kehilangan daya dengarnya:

a. Ringan

Kehilangan 15-30 desibel : Mild Hearing Losses atau ketunarunguan ringan: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. b. Sedang

Kehilangan 31-60 desibel : Moderate Hearing Losses atau

ketunarunguan sedang: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian

c. Berat

Kehilangan 61-90 desibel : Severe Hearing Losses atau ketunarunguan berat: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada

d. Amat berat

 Kehilangan 91-120 desibel : Profound Hearing Losses atau ketunarunguan sangat berat: daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali

 Kehilangan lebih dari 120 desibel : Total Hearing Losses atau ketunarunguan total: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.


(47)

2. Menurut kerusakan pada telinga

a. Konduktif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan organ pendengaran yang terletak pada bagian penghantar gelombang suara (kerusaka telinga bagian luar atau telinga bagian tengah). Misalnya jika terjadi penumpukan kotoran di liang telinga yang berlebihan atau jika terjadi radang di dalam telinga tengah. Ketunarunguan konduktif umumnya masih dapat disembunyikan secara medis.

b. Perseptif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan organ pendengaran ditelinga bagian dalam, di dalam rumah siput atau bagian saraf kedelapan, saraf penerima rangsangan suara yang akan meneruskannya ke pusat saraf di otak. Ketunarunguan perseptif pada umumnya tidak dapat disembuhkan secara medis.

3. Menurut penyebabnya a. Genetik

Cacat rungu bawaan merupakan cacat warisan orangtua karena factor pembawa sifat keturunan (kromosom). Penyebab gangguan pendengaran pada anak, diperkirakan 50% kasus dari derajat sedang sampai berat, ditentukan secara genetik. Gangguan pendengaran genetic bawaan dapat disertai kelainan lain. Gangguan pendengaran dapat terjadi bersama kelainan bawaan telingan luar dan mata, gangguan metabolic, tulang dan otot, kulit, ginjal dan sistem saraf. Anak dengan orangtua menderita ketulian keturunan mempunyai kemungkinan menderita gangguan pendengaran.


(48)

b. Non-Genetik

1) Sebelum kelahiran

 Penyebab gangguan pendengaran sebelum lahir non-genetik terjadi pada masa kehamilan terutama pada 3 bulan pertama. Setiap ganguan kelahiran yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada anak, seperti kekurangan gizi, infeksi bakteri maupun bakteri, seperti: campak dan parotitis dapat menyebabkan ketulian

 Kelahiran premature bila disebabkan oleh kekurangan oksigen, selain otak akan mengalami luka, pendengaranpun mengalami kerusakan. Dalam kondisi demikian, dapat disimpulkan bahwa kelahiran premature lebih mengakibatkan timbulnya penyakit telinga daripada penyakit lainnya.

 Bila wanita yang sedang mengandung tiga bulan terserang penyakit campak atau cacar air, kemungkinan besar hal tersebut akan berdampak pada bayinya. Cacat yang ditimbulkan oleh penyakit campak kepada anak adalah 50% penyakit telinga, 20% penyakit mata dan 35% penyakit jantung.

2) Saat kelahiran

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran atau ketulian, seperti: lahir prematur (umur kelahira kurang dari 37 minggu), berat badan lahir rendah (kurang dari 1.500 gram),


(49)

tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstrasi vakum, forsep), hiperbilirubinemia dan aksifia berat atau lahir tidak menangis.

3) Setelah kelahiran

Radang selaput otak karena bakteri merupakan penyebab utama gangguan pendengaran yang didapat pada masa anak, hal lainnya juga dapat disebabkan oleh obat-obatan yang bersifat menggangu pendengaran (ototoksik) yang digunakan selama lebih dari 5 hari, trauma kepala dan infeksi telinga tengah. Cacat lainnya disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, penyakit, kecelakaan, kerusakan tulang tengkorak temporal (bagian belakang telinga), keracunan, kekurangan oksigen, kekurangan gizi, kelahiran tak normal, prematur, berat badan bayi yang lahir kurang dari 1,5 kg.

4. Menurut jumlah telinga yang mengalami ketunarunguan:

a. Bilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran kedua telinga b. Unilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran satu telinga

5. Menurut umur saat terjadi ketunarunguan: a. Pralingual (sebelum berbahasa)


(50)

2.4.3 Dampak Kecacatan

Dampak rungu wicara pada anak dapat berdampak besar pada perkembangan pada anak itu sendiri, selain itu juga akan berdampak pada keluarga, masyarakat serta menimbulkan berbagai masalah.

a. Pada anak

Dampak kecacatan pada anak dapat mempengaruhi pada tingkat kecerdasan (intelegensia), kejiwaan (psikis), juga merugikan khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara manusia, mempengaruhi pada pendidikan dan ekonomi.

b. Pada Keluarga

Rendahnya pengetahuan orangtua/keluarga tentang kecacatan rungu wicara merupakan salah satu faktor penyebab yang dapat memperberat kondisi anak. Selain itu, keluarga yang mempunyai anak dengan kecacatan rungu wicara akan mengalami beban ekonomi, orang tua merasa malu dan takut atau terlalu melindungi anak misalnya anaknya tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan sebagainya. Akibat dari hal itu kembali dirasakan anak, seperti: anak mengalami rendah diri, dan mengalami hambatan untuk tumbuh kembang secara wajar dan optimal.

c. Pada Masyarakat

Keberadaan anak dengan kecacatan rungu wicara di dalam masyarakat membawa beban dan masalah bagi masyarakat. Dalam hal ini, anggota masyarakat yang memiliki anak dengan kecacatan rungu wicara akan turut


(51)

terganggu kehidupannya, selama anak dengan kecacatan rungu wicara belum dapat berdiri sendiri dan selalu menggantungkan dirinya pada orang lain. Masih adanya sikap masa bodoh masyarakat terhadap permasalahan anak dengan kecacatan rungu wicara. Masih adanya sikap yang ragu-ragu terhadap kemampuan (potensi) anak dengan kecacatan rungu wicara.

2.5 Pelayanan Sosial

2.5.1 Pengertian Pelayanan Sosial

  Pelayanan sosial merupakan aksi atau tindakan untuk mengatasi masalah sosial. Pelayanan sosial dapat diartikan sebagai seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika keadaan individu atau kelompok tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, dan bahkan kriminalitas. Kategorisasi pelayanan sosial biasanya dikelompokkan berdasarkan sasaran pelayanannya (misalnya: pelayanan atau perawatan anak, remaja, lanjut usia), setting atau tempatnya (misalnya: pelayanan sosial di sekolah, tempat kerja, penjara, rumah sakit) atau berdasarkan jenis atau sektor (misalnya: pelayanan konseling, kesehatan mental, pendidikan khusus dan vokasional, jaminan sosial, perumahan).

Pelayanan sosial adalah kegiatan terorganisir untuk meningkatkan kondisi orang-orang yang kurang beruntung dalam masyarakat. Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Sosial dan sejumlah besar organisasi-organisasi non pemerintah telah memainkan peranan penting dalam bidang pelayanan sosial. Dana yang dipergunakan lembaga-lembaga pemerintah bagi pelayanan sosial


(52)

biasanya diperoleh dari pajak. Sedangkan, pelayanan sosial yang diselenggarakan badan-badan non pemerintah seringkali didanai oleh sumbangan individu, pengusaha atau lembaga donor internasional.

Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selarah dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya (Friedlander, dalam Muhidin, 1992:1). Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Kesejahteraan Sosial pasal 1 ayat 1 : “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.”

Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu didalamnya. Pelayanan sosial diartikan dalam dua macam, yaitu:

a. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.

b. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan


(53)

yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya (Muhidin, 1992:41).

Maka dapat diartikan bahwa efektivitas pelayanan sosial adalah tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan berdasarkan makna dari pelayanan sosial itu sendiri. Dikatakan efektif apabila hasil yang dicapai dari pelayanan sosial yang diberikan telah sesuai dengan apa tujuan awal yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengertian pelayanan sosial di negara-negara maju sama dengan point pertama, sedangkan di negara-negara berkembang umumnya sama dengan point kedua.

Pada umumnya baik kualitas maupun kuantitas daripada pelayanan sosial akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemakmuran suatu negara dan juga sesuai dengan faktor sosiokultural dan politik yang juga menentukan masalah prioritas pelayanan. Semakin tersebarnya dan dipraktekkan secara universal pelayanan sosial, maka pelayanan sosial cenderung menjadi pelayanan yang ditujukan kepada golongan masyarakat yang membutuhkan pertolongan khusus.

Sistem pelayanan sosial memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain, yang merupakan satu kesatuan utuh dimana komponen disusun dan diatur untuk mencapai pelayanan sosial dan merupakan standar yang harus dipenuhi guna peningkatan kualitas pelayanan sosial. Komponen-komponen tersebut meliputi :

1. Saranan dan prasarana dengan fasilitas yang memadai.


(54)

3. Tata laksanan kesejahteraan sosial (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, laporan keuangan, anggaran belanja dan statistik).

4. Dana yang memadai.

5. Pembuatan perencanaan program dan pelaksanaan.

2.5.2 Fungsi-Fungsi Pelayanan Sosial

Pelayanan sosial dapat dikategorikan dalam berbagai cara tergantung dari tujuan klasifikasi. PBB mengemukakan bahwa fungsi pelayanan sosial adalah: 1. Perbaikan secara progresif daripada kondisi kehidupan orang.

2. Pengembangan sumber-sumber daya manusia.

3. Berorientasi orang terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri.

4. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan pembangunan.

5. Penyediaan struktur-struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang terorganisasi lainnya

Fungsi pelayanan sosial ditinjau dari persfektif masyarakat menurut Richard M.Titmuss (dalam Muhidin, 1992:43) adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, dan masyarakat, untuk saat ini dan masa yang akan datang.

2. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.


(55)

3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang untuk melindungi masyarakat.

4. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapatkan pelayanan sosial.

Alfred J. Khan (Nurdin, 1990;50-51) mengatakan bahwa bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah:

1. Pelayanan akses, mencakup pelayanan informasi, pemberian nasihat dan partisipasi. Tujuannya untuk membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan fasilitas pelayanan yang tersedia.

2. Pelayanan terapi, mencakup pertolongan terapi dan rehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial medis dan sekolah, serta perawatan bagi orang-orang jompo (lanjut usia).

3. Pelayanan sosial dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda, dan kegiatan masyarakat yang dipusatkan (community centre).

Dari ketiga bentuk pelayanan sosial tersebut, maka pelayanan terapi adalah bentuk pelayanan yang dilihat lebih sesuai/cocok digunakan untuk penanganan penyandang cacat tuna rungu wicara.


(56)

2.5.3 Pelayanan Panti Sosial Tuna Rungu Wicara

Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial, standar panti sosial sebagaimana tercantum di dalam Permensos Nomor: 50/HUK/2005 tentang Standarisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi Panti Sosial. Pelayanan melalui sistem panti pada hakikatnya merupakan upaya-upaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan pengembangan potensi klien, menjadi penting peranannya.

Panti sosial mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/ referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain yang sejenis adalah: (1) memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; (2) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; (3) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; (4) menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan (5) memberikan


(57)

kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan. (Balatbangsos, 2004).

Panti Sosial Tuna Rungu Wicara adalah panti rehabilitasi sosial penyandang cacat tuna rungu wicara yang mempunyai tugas memberikan pelayanan rehabilitasi sosial yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya tujuan program rehabilitasi sosial rungu wicara pada Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) adalah terbina dan terentasnya orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Proses pelayanan panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) asesmen; (3) perencanaan program pelayanan; (4) pelaksanaan pelayanan; dan (5) pasca pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan, pemulangan dan penyaluran dan pembinaan lanjut. Pada tahap akhir pelayanan adalah pembinaan lanjut yang merupakan rangkaian dari proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan juga berperan serta di dalam lingkungan keluarga, kelompok, lingkungan kerja, dan masyarakat.

Ada 2 (dua) macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus. Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Mencakup aspek kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pembiayaan, pelayanan sosial dasar, dan monitoring-evaluasi. Sedangkan standar


(1)

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikian kesimpulan dan saran yang didapat dari hasil penelitian. Kesimpulan yang terdapat di bab ini merupakan hasil yang dicapai dari analisis data dalam penelitian tentang efektivitas pelaksanaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar, responden dari penelitian ini adalah 18 anak warga binaan yang telah mengikuti pelatihan di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia P. Siantar. Sementara saran yang ada dalam bab ini merupakan ide, gagasan untuk dapat memberikan hal yang terbaik bagi UPT Tuna Rungu Wicara dan Lansia P. Siantar dalam melaksanakan program pelatihan keterampilan.

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data pada bab V yang dilakukan mengenai efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar, maka dalam penelitian ini penulis menarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan program keterampilan yang diberikan kepada anak warga binaan oleh UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia P. Siantar, antara lain : 1. UPT Tuna Rungu Wicara dan Lansia memberikan pelatihan program

keterampilan berupa pertukangan kayu, salon, menjahit dan membordir kepada anak warga binaan yang diharapkan mampu belajar untuk


(2)

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan tersebut untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

2. Efektivitas pelaksanaan program pelatihan keterampilan anak warga binaan oleh UPT Tuna Rungu Wicara dan Lansia P. Siantar diukur melalui :

a. Reaksi responden adalah ukuran mengenai program pelatihan. Reaksi responden terhadap program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara adalah efektif dengan jumlah rata-rata 0.64 responden menerima dengan baik keterampilan yang diberikan oleh lembaga.

b. Proses belajar responden adalah untuk mengetahui seberapa jauh para peserta pelatihan mengetahui konsep-konsep, pengetahuan dan keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Secara keseluruhan proses belajar responden dalam mengikuti program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara berjalan baik dengan jumlah rata-rata 0.62 adalah efektif

c. Perilaku responden sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan terhadap perubahan perilaku mereka. Perubahan perilaku responden setelah mengikuti program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara adalah efektif dengan jumlah rata-rata 0.65


(3)

d. Dampak program pelatihan untuk melihat sejauh mana dampak yang dihasilkan oleh pelatihan keterampilan bagi diri responden. Dampak program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara adalah positif dengan jumlah rata-rata 0.62 yaitu efektif.

Berdasarkan hasil dari keempat kategori (reaksi, belajar, perilaku dan dampak organisasi) tersebut dapat dilihat dengan nilai rata-rata pelaksanaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara adalah efektif. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar adalah efektif dengan nilai 0.63.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian, penulis mengajukan saran yang kiranya dapat menjadi masukan bagi semua pihak yang membutuhkannya, antara lain :

a. Adanya kelanjutan program dari pihak UPT seperti menjalin hubungan kerjasama dengan beberapa mitra kerja, pengusaha dan perusahaan sehingga lulusan dari UPT ini dapat terbantu dalam mendapatkan pekerjaan atau merekomendasikan anak warga binaan yang memperoleh program keterampilan agar mendapatkan kesempatan bekerja dan menerapkan keterampilan yang diperolehnya. Dengan demikian maka upaya pemberdayaan penyandang cacat melalui kebutuhan tenaga kerja


(4)

bisa efektif untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat di Indonesia.

b. Adanya peningkatan fasilitas dari manual menjadi lebih modern dalam pelaksanaan program keterampilan sehingga hasil yang dicapai dapat lebih maksimal.

c. Agar kedepannya program keterampilan ini dapat dinikmati oleh semua penyandang cacat tuna rungu wicara, perlu dilakukan sosialisasi program oleh pihak UPT ataupun dinas sosial.

d. Kepada pemerintah, agar kiranya tidak hanya memberikan dana operasional untuk peningkatan keterampilan hidup saja tetapi juga memberikan bantuan dana yang dapat digunakan untuk membuka usaha, sehingga setelah anak warga binaan melaksanakan pelatihan keterampilan, mereka langsung dapat menerapkan keterampilannya dengan berwirausaha.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Sosial RI. 2005. Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat Dalam Panti. Jakarta.

Departemen Sosial RI. 2007. Panduan Umum Pelaksanaan Bimbingan Sosial Penyandang Cacat Dalam Panti. Jakarta.

Departemen Sosial RI. 2008. Pedoman Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Anak Dengan Kecacatan Rungu Wicara. Jakarta.

Efendi. Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Gomes, Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.

Kementerian Sosial RI. 2011. Pedoman Penjangkauan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Rungu Wicara di Masyarakat. Jakarta.

Siagian, Matias. 2011. Metode Penelitian Sosial. Medan: Grafindo Monoratama. Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Suharto, Edi. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Bandung: PT Refika

Aditama.

Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refika Aditama.


(6)

Sumber Lain:

Undang-Undang Penanganan Fakir Miskin dan Kesejahteraan Sosial. 2012. Bandung: Fokusindo Mandiri

Harian Analisa. 5 Desember 2012: 15

http.//actiononhearingloss.org.uk. Diakses pada 26 April 2013 pukul 13.28) http://eprints.undip.ac.id. Diakses pada 27 April 2013 pukul 09.25

http://rehsos.kemsos.go.id. Diakses pada tanggal 26 April 2013 pukul 20.45

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle. diakses pada tanggal 06 maret 2013, pukul 22.45).

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/. Diakses pada tanggal 07 maret 2013 pukul 20.45)

http://2frameit.blogspot.com/2011/06/teori-efektivitas-organisasi.html  diakses pada tanggal 08 maret 2013 pukul 09.50)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/. Diakses pada tanggal 07 maret 2013, pukul 02.14)


Dokumen yang terkait

Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

3 95 103

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 8 151

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 15

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 2

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 8

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 1 30

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 2

Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

0 1 41

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

0 0 14