BAB II ANALISIS PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT MENURUT UU NO.10 TAHUN 1998 A. Dasar Hukum Perjanjian Kredit. - Tinjauan Yuridis Pembebanan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit (Studi Kasus pada PP No. 24 Tahun 1997)

BAB II ANALISIS PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT MENURUT UU NO.10 TAHUN 1998 A. Dasar Hukum Perjanjian Kredit. Negara Indonesia merupakan Negara hukum, yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, di dalam sistem hukum Eropa Kontinental peraturan Perundang-undangan menduduki urutan yang sangat penting sebagai sumber

  hukum. Setiap kegiatan dalam lalu lintas bisnis dan perbankan memerlukan adanya suatu landasan hukum dalam pelaksanaannya. Demikian juga terhadap perbuatan hukum pemberian kredit memerlukan adanya suatu dasar hukum yang kuat.

  Jika ditelusuri pasal demi pasal dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perikatan pada umumnya dan Perjanjian Khusus, tidak dijumpai

  

  istilah kredit. Dalam kehidupan sehari-hari, kata kredit selalu diidentikkan dengan utang atau pinjaman apakah berupa uang atau barang. Orang yang

  

  memperoleh kredit adalah orang yang mendapat kepercayaan dari orang lain atau 6 Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere”, bahasa Belanda

  

vertrouwen”, bahasa Inggris “believe” atau “trust of confidence”, yang berarti kepercayaan. Kata

credere” atau “creditum” berasal dari kata “credo” berarti mempercayakan. Lihat K. Prent, cm, dkk., Kamus Latin-Indonesia, Semarang: Yayasan Kanisius, 1969, hal. 102. 5 Mengapa orang dipercayai? Secara moral, orang tersebut memiliki tingkah laku dan

kepribadian yang baik; secara ekonomi, orang tersebut mampu untuk membayar utangnya; secara yuridis, orang tersebut bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya. bank yang telah memberikan pinjaman untuk jangka waktu tertentu dan pihak yang meminjam akan mengembalikan utangnya sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Dalam praktik bisnis, pengembalian utang diikuti dengan bunga atau imbalan tertentu.

  Berbeda dengan pengertian kredit dalam pandangan hukum, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan rumusan “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

  Molenaar mengatakan kredit adalah “het verrichten van een prestatie in

  

ruil voor een uit gestelde tegen prestatie” (artinya memberikan prestasi untuk

  ditukar dengan imbalan prestasi setelah jangka waktu tertentu). Johnson mengatakan “credit is the power to obtain goods or service by givina promise to

   pay money (or goods) on demand or at a specified date in the future.”

  Rumusan Molenaar lebih menekankan kepada aspek perikatan (verbintenis) yaitu kredit sebagai obyek perikatan. Hal ini terlihat dalam Pasal 6 Lihat Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui

  Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum USU, Medan: 2006, hal.14. 7 Pasal 1234 KUH Perdata berbunyi “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Lihat terjemahan R.Subekti dan R. Tjitrosdibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PradnyaParamita, 1981, hal. 291.

  1234 BW yang berbunyi “Zij strekken om iets te geven, te doen, of niet te

  

doen ”. Jadi obyek perikatan atau disebut juga prestasi ada 3 (tiga) jenis yaitu

  memberikan sesuatu (iets te geven), berbuat sesuatu (iets te doen), dan tidak berbuat sesuatu (iets niet te doen). Pengertian yang diberikan oleh Molenaar masih bersifat umum, belum menunjukkan adanya hal-hal khusus dari kredit itu sendiri termasuk ke dalam jenis prestasi yang mana. Menurut Tan Kamello, kredit

  

  bank termasuk dalam jenis prestasi berbuat sesuatu. Prestasi berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1235 KUH Perdata berbunyi “Tiap-tiap perikatan berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga”.

  Rumusan yang lebih spesifik dapat dilihat dari Undang-Undang Perbankan dengan menitik beratkan bahwa kredit merupakan suatu perjanjian antara bank dengan nasabah debitor. Di sini secara jelas subyek hukumnya telah ditentukan dan perjanjian tersebut lahir dari kesepakatan pinjam meminjam. Momentum yuridis yang melatar belakangi hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor adalah asas konsensualisme, yang tercermin dalam Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata bahwa kata sepakat merupakan salah satu syarat subyektif untuk melahirkan perjanjian, sedangkan uang atau yang dipersamakan dengan itu merupakan obyek perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan undang- 10 W.A. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordiningen Benevens de Grondwtet van

  

1945 van de Republiek Indonesie, sebagaiamana dikutip Tan Kamello, Karaketer Hukum Perdata , op. cit., hal. 14. Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah undang, kesusilaan atau ketertiban umum sebagaimana yang ditegaskan dalam

  Pasal 1320. Persoalan hukum lainnya, apakah kata kredit dalam Undang-Undang Perbankan dapat diidentikkan dengan kata pinjam meminjam atau pinjam mengganti dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dalam rumusan kredit yang tercantum pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kata pinjam meminjam merupakan elemen yang dikhususkan terjadi pada hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor, sehingga maknanya lebih sempit dari pengertian kredit.

  Arti yuridis dari pinjam meminjam atau pinjam mengganti sebagai terjemahan dari verbruikleening dalam Pasal 1754 B.W adalah: “Verbruikleening

  

is eene overeenkomst, waarbij de eene partij aan de andere eene zekere

hoeveelheid van verbruikbare zaken afgeeft, onder voorwaarde dat de laatst

   gemelde haar even zo veel van gelijke soort en hoedanigheid terug geve.”

  (Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan

  9 mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula).

  Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa sifat perjanjian, salah satunya adalah perjanjian konsensuil. Suatu perjanjian dikatakan bersifat konsensuil apabila perjanjian itu sudah tercipta dengan kata sepakat saja, sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang menghendaki di samping kata sepakat masih

  11 diperlukan suatu perbuatan nyata yaitu penyerahan barang yang menjadi obyeknya.

  Sifat hukum dari perjanjian pinjam meminjam atau pinjam mengganti adalah konsensuil dan riil. Hal ini dapat dibuktikan dengan rumusan pada awal kalimat “persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain”. Pada prinsipnya yang terjadi baru kesepakatan untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain, sedangkan penyerahannya belum terjadi. Secara teoretis, antara terciptanya kesepakatan dengan terjadinya penyerahan (levering) dapat dipisahkan. Dapat saja terjadi penyerahan barang dilakukan belakangan.

  Adapun pendapat ahli hukum tentang pinjam meminjam , antara lain adalah :

  1. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa peminjaman uang lazimnya dianggap sebagai suatu persetujuan yang bersifat “reel”, tidak

   “consensueel”.

  2. Mariam Darus mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan yang bersifat konsensuil sedangkan penyerah uangnya bersifat riil. Dalam aspek konsensuil dan riil perjanjian kredit memiliki identitas 12 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung, Sumur, 1981, hal. 137. 11 Mariam Darus Badrulzaman I, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, Alumni, 1996, hal.

  179.

  

  sendiri dengan sifat-sifat umum sebagai berikut: pertama, merupakan perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjanjian penyerahan uang;

  kedua , perjanjian kredit bersifat konsensuil; ketiga, perjanjian penyerahan

  uangnya bersifat riil; keempat, perjanjian kredit termasuk dalam jenis perjanjian standar; kelima, perjanjian kredit banyak dicampuri pemerintah;

  keenam , perjanjian kredit lazimnya dibuat secara rekening koran; ketujuh,

  perjanjian kredit harus mengandung perjanjian jaminan; kedelapan, perjanjian kredit dalam aspek riil adalah perjanjian sepihak; kesembilan, perjanjian kredit dalam aspek konsensuil adalah perjanjian timbal balik.

  3. Asser-Kleyn mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian pinjam uang. Windscheid mengemukakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh (condition

  potestative ). Felt berpendapat bahwa perjanjian pinjam mengganti adalah

  bersifat riil. Perjanjian kredit baru lahir pada saat dilakukannya realisasi kredit. Konsekuensinya, perjanjian kredit bersifat riil. Goudeket mengatakan bahwa perjanjian kredit yang di dalamnya terdapat perjanjian pinjam uang

   adalah perjanjian yang bersifat konsensuil.

  4. Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa perjanjian kredit tidak identik dengan perjanjian pinjam uang dalam KUH Perdata. Ada ciri khusus dari perjanjian kredit yang membedakannya dari perjanjian pinjam uang biasa. Ciri khusus tersebut adalah: ada beberapa bank yang memuat dalam perjanjian kreditnya 14 Ibid., hal. 26 – 28. klausul yang dinamakan condition precedent yakni peristiwa atau kejadian yang harus dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu setelah perjanjian ditandatangani oleh para pihak sebelum penerima kredit dapat menggunakan kreditnya. Perjanjian kredit yang mengandung condition precedent adalah perjanjian konsensuil dan bukan perjanjian riil, sedangkan perjanjian kredit

   yang tidak memuat condition precedent dikatakan perjanjian riil.

  Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran tentang sifat perjanjian kredit bank terbagi atas 3 (tiga) yaitu: pertama, ajaran yang mengatakan perjanjian kredit bank dan perjanjian pinjam uang merupakan satu perjanjian yang bersifat konsensuil-obligatoir; kedua, ajaran yang mengatakan perjanjian kredit bank dan perjanjian pinjam uang merupakan dua perjanjian yang bersifat konsensuil dan riil; ketiga, ajaran yang mengatakan perjanjian kredit bank merupakan perjanjian dengan syarat tangguh.

   Pandangan Tan Kamello mengutip pendapat Mariam Darus mengenai

  hal ini adalah bahwa perjanjian kredit bank adalah suatu proses perjanjian untuk mendapatkan peminjaman uang yang didahului dengan mengadakan 13 St.Remy Sjahdeini, Beberapa Masalah Hukum di Sekitar Perjanjian Kredit Bank, Simposium Perbankan, Medan, 1990, hal. 10. 14 Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan II, Bandung: Aditya Bhakti, 2001, hal.36 – 41

  . permufakatan dan diakhiri dengan penyerahan. Momentum terjadinya 2 (dua) hubungan hukum tersebut berbeda. Perjanjian kredit lahir pada saat ditandatangani formulir perjanjian kredit bank, yang memiliki sifat konsensuil- obligatoir, sedangkan penyerahan uang (levering) menyusul kemudian setelah ada pernyataan dari bank bahwa nasabah debitor dibolehkan mengambil uang (pinjaman), yang sifatnya riil. Jadi, antara permufakatan dengan penyerahan uang terdapat waktu tunggu yang menangguhkan untuk kesempurnaan perjanjian kredit bank seperti yang diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata tentang perikatan bersyarat dan Pasal 1263 KUH Perdata tentang perikatan dengan syarat tangguh.

  Dalam Pasal 1253 KUH Perdata ditentukan syaratnya adalah peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, sedangkan dalam Pasal 1263 KUH Perdata, pemenuhan perikatan hanya dapat dituntut oleh kreditor apabila syarat tangguh itu telah terpenuhi. Selama syarat itu belum terpenuhi, maka kewajiban berprestasi oleh debitor belum lagi ada, walaupun hubungan hukum antara para pihak tetap ada.

  Dilihat dari jenis perjanjian, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian timbal balik, artinya jika pihak bank dan nasabah debitor tidak memenuhi isi perjanjian maka salah satu pihak dapat menuntut pihak lainnya sesuai dengan jenis prestasinya. Penyerahan uang dalam perjanjian kredit bank merupakan perjanjian sepihak, artinya jika pihak tidak merealisasikan pinjaman uang maka nasabah debitor tidak dapat menuntut bank dengan alasan ingkar janji, demikian juga sebaliknya kalau nasabah debitor tidak mau mengambil pinjaman uang setelah diberitahukan oleh bank maka bank tidak dapat menuntut nasabah debitor. Secara yuridis normatif, perjanjian kredit bank yang sudah disepakati menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg) yang mengikat dan harus dijalankan dengan itikad baik. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata. Dilihat dari aspek jenis perjanjian lainnya, perjanjian kredit bank tergolong dalam jenis perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst,

  

innominaat contracten ). Hal ini didasarkan pada Pasal 1319 KUH Perdata,

sedangkan perjanjian pinjam mengganti merupakan perjanjian bernama.

  Dilihat dari bentuk perjanjian, KUH Perdata hanya menentukan pedoman umum bahwa perjanjian harus dibuat dengan kata sepakat kedua belah pihak. Kata sepakat tersebut dapat berbentuk isyarat, lisan, dan tertulis. Dalam bentuk tertulis, perjanjian dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan dan akta otentik. Dalam praktik bank, bentuk perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta otentik (akta notaris). Kedua bentuk perjanjian kredit tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang sebelumnya telah dipersiapkan isi atau klausul-

  

  klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak. Dalam bentuk perjanjian kredit yang demikian, pada hakikatnya kehendak yang sebenarnya belum terwujud dalam perjanjian kredit. Kehendak nasabah debitor hanya diberikan secara formal disebabkan adanya ketergantungan akan kebutuhan kredit. Di sinilah letaknya kedudukan nasabah debitor menjadi lemah secara yuridis- ekonomis dan kurang menguntungkan. Dengan kekuasaan ekonomi yang lemah, 17 Lihat St. Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang

  

Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 182. nasabah debitor tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa untuk menerima

  

  persyaratan perjanjian yang disodorkan kepadanya. Menurut Ruitinga, kekuasaan ekonomis itu terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu, pertama, terdapatnya kebutuhan bagi salah satu pihak untuk bertransaksi; kedua, kekuatan posisi ekonomis dari pihak

  

  lainnya. J.M. van Dunne dan Gr. van der Burght mengatakan bahwa kedudukan

   ekonomis yang lebih kuat ini sering tampak pada perjanjian-perjanjian baku.

  Dilihat dari sisi perlindungan hukum konsumen, perjanjian baku yang ditetapkan bank sebagai pelaku usaha, maka klausul yang diperlakukan terhadap debitor (nasabah debitor) dalam perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (nietig, null

   and void ).

B. Hak dan Kewajiban Kreditur dan Debitur dalam Perjanjian Kredit

  Di dalam pelaksanaan perjanjian kredit akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yaitu kreditur dan debitur memiliki beberapa hak dan terikat pada beberapa kewajiban yang wajib dipenuhi guna menjamin rasa

  16 Wahyono Hardjo, Masalah Kedudukan Pihak yang Lemah Secara Ekonomis dalam

Perjanjian , Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Perdata Tahun 1982/1983 dan

1983/1984, Jakarta, BPHN, 1985, hal. 139. 17 18 Ibid., hal. 140.

  Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan antara Bank dengan Nasabah , opcit, hal.18. 19 Lihat Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. saling percaya oleh para pihak serta kegiatan perkreditan dapat dilaksanakan dengan lancar. Beberapa hak dan kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut : a. Hak Kreditur antara lain :

  1) Menerima jumlah pinjaman nasabah 2) Menerima bunga sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama; 3) Menetapkan nilai jaminan nasabah 4) Mengadakan pengawasan terhadap perusahan atau nasabah.

  5) Menegur atau memperingatkan apabila dalam pembayaran angsuran kredit dinyatakan kurang lancar atau diragukan.

  6) Menerima administrasi dan provisi. 7) Membatalkan perjanjian sepihak apabila kewajiban nasabah tidak dipenuhi.

  8) Masuk ketempat di mana nasabah telah menyerahkan hak miliknya oleh nasabah.

b. Kewajiban Kreditur antara lain : 1) Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada debitur.

  2) Memberikan informasi mengenai kredit 3) Menyerahkan uang pinjaman kredit kepada nasabah atau debitur

  4) Menyerahkan kembali hak milik debitur apabila telah melunasi hutangnya. 5) Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit.

  c. Hak Debitur antara lain:

  1) Menerima kredit yang diberikan oleh Kreditur 2) Menerima tabungan di akhir pelunasan 3) Berhak mendapat kembali hak miliknya yang telah diserahkan kepada bank apabila peminjaman telah melunasi hutangnya.

  4) Debitur diasuransikan. Artinya, kredit yang ditanggung oleh pihak asuransi. Yang dijaminkan adalah jumlah plafon kreditnya. Apabila debitur meninggal dunia sebelum jatuh tempo pembayaran kredit maka kredit dapat diklaim oleh pihak asuransi.

  d. Kewajiban Debitur antara lain :

  1) Melunasi jumlah hutang pokok berikut bunga atau denda 2) Menyerahkan jaminan kebendaan 3) Membayar biaya administrasi kredit 4) Membayar kredit tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang telah diperjanjikan.

  5) Membayar pajak, iuran, pungutan yang dikenakan pada jaminan 6) Membayar premi asuransi

  7) Membayar biaya sehubungan dengan penagihan pinjaman 8) Menjaga dan memelihara segala sesuatu yang diserahkan hak miliknya 9) Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit

   Dalam setiap pemberian kredit akan timbul hak dan kewajiban. Bank

  hanya dapat mempertimbangkan pemberian kredit bila calon nasabah tersebut merupakan subjek hukum karena subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban artinya dapat menerima hak dan dibebankan kewajiban.

   Di dalam Pasal 1131 KUH Perdata terdapat asas umum seorang kreditur terhadap debiturnya, yang ditentukan bahwa : “segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Jadi hak tagih seorang kreditur dijamin dengan :

  1. Semua barang-barang debitor yang sudah ada, yang artinya sudah ada pada saat hutang dibuat.

  2. Semua barang yang akan ada disini berarti barang-barang yang pada saat pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan debitor, tetapi kemudian menjadi miliknya. Dengan kata lain hak kreditur meliputi barang-barang yang akan menjadi milik debitor, asal kemudian benar-benar jadi miliknya, baik barang bergerak maupun tidak bergerak.

C. Prosedur Pemberian Kredit Menurut UU No. 10 Tahun 1998

  22

  Sebelum memberikan kredit, bank melakukan analisa yang dikenal dengan

  

  istilah The fives of credit atau 5 c, yaitu :

  1. Character (Watak) Watak atau character adalah sifat dasar yang ada dalam hati seseorang.

  Watak dapat berupa baik dan jelek bahkan ada yang terletak diantara baik dan jelek. Watak merupakan bahan pertimbangan untuk mengetahui risiko. Tidak mudah untuk menentukan watak seorang debitur apalagi debitur yang baru pertama kali mengajukan permohonan kredit. Untuk mengetahui watak seseorang dapat mengetahui ciri-ciri orang tersebut seperti misalnya peminum minuman keras, suka berjudi, suka menipu, dan lain sebagainya. Untuk petugas analis perlu melakukan penyelidikan atau mencari berbagai informasi mengenai watak seorang pemohon kredit karena watak dan tabiat menjadi dasar penilaian utama.

  Meskipun analisa dari berbagai aspek baik tetapi kalau watak seorang pemohon kredit jelek maka akibatnya risiko kredit menjadi besar. Watak dapat diartikan sebagai kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit. Debitor yang mempunyai watak suka minuman keras, berjudi dan tidak jujur kemungkinan besar akan melakukan penyimpangan dalam menggunakan kredit. Kredit digunakan tidak sesuai sesuai tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian kredit akibatnya proyek yang dibiayai dengan kredit tidak menghasilkan pendapatan sehingga mengakibatkan kredit macet. Oleh karena itu seorang analis perlu menyelidiki dan mencari informasi tentang asal-usul kehidupan pribadi pemohon kredit. 23

  2. Capital (Modal) Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Seorang yang akan mengajukan permohonan kredit baik untuk kepentingan produktif atau konsumtif maka orang itu harus memiliki modal. Misalnya orang yang akan mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk membeli sebuah rumah maka pemohon kredit harus memiliki modal untuk membayar uang muka. Uang muka itulah sebagai modal sendiri yang dimiliki pemohon kredit sedangkan kredit berfungsi sebagai tambahan.

  3. Capacity (Kemampuan) Seorang debitor yang mempunyai karakter atau watak baik selalu akan memikir kan mengenai pembayaran kembali hutangnya sesuai waktu yang ditentukan. Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran debitor harus memiliki kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi jika debitur perorangan atau pendapatan perusahaan bila debitur berbentuk badan usaha. Seorang analis harus mampu menganalisa kemampuan debitur untuk membayar kembali hutangnya. Bagi debitor perorangan analis harus mendapat informasi yang benar penghasilan atau pendapatan debitor. Apa pekerjaan, usaha debitor yang mengindikasikan debitor memperoleh pendapatan sehingga memberi keyakinan adanya kemampuan debitor.

  4. Collateral (Jaminan) Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari debitor tidak melunasi hutangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang dijadikan jaminan itu. Jaminan meliputi jaminan yang bersifat materiil berupa barang atau benda (materiil) yang tidak bergerak seperti tanah, bangunan, atau benda tidak bergerak misalnya mobil, motor, saham, dan jaminan yang bersifat inmateriil merupakan jaminan yang secara fisik tidak dapat dikuasai langsung oleh bank misalnya jaminan pribadi (Borgtocht), Garansi Bank (Bank lain).

  Fungsi jaminan guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang jaminan tersebut bilamana debitur tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian.

  5. Condition of Economy (Kondisi ekonomi) Selain faktor-faktor diatas, yang perlu mendapat perhatian penuh dari analis adalah kondisi ekonomi negara. Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya.

  Adapun Syarat kualitatif untuk calon debitur perorangan yakni :

  1) Dewasa. Ketentuan kedewasaan pada Bank adalah ketentuan dewasa menurut batas umur 21 tahun untuk yang belum menikah dan 17 tahun jika sudah kawin dengan persetujuan suami-istri. 2) Cakap hukum, dalam arti tidak berada atau dibawah pengampuan.

  

  Syarat adminitrasi yang harus dipenuhi bagi calon debitur antara lain : 1) Identitas para pihak, dalam bentuk KTP, SIM, Paspor 2) Kartu keluarga, kegunaannya yakni : a) Untuk mengetahui status kawin.

  b) Untuk mengetahui dimana ia berada

  c) Untuk mengetahui status dalam keluarga NPWP dengan dilampiri KTP, ini bertujuan untuk kepentingan :

  a) Untuk Kepentingan Bank, sebagai syarat permulaan sejarah kredit calon debitur, ini dilakukan melalui online sistem.

  b) Untuk kepentingan Pemerintahan, bermanfaat untuk menjaring wajib pajak

   .

  24 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal .69 25 Edy Putra Aman. Kredit Perbankan, suatu Yuridis, Liberty, Yogyakarta, Cet ketiga.

  2001, hal. 45. 24

  Adapun syarat badan hukum untuk calon debitur yaitu : 1) Surat Izin Pendirian Perusahaan (SIPP).

  2) Akte Pendirian Perusahaan 3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) 4) Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 5) NPWP Perusahaan 6) Identitas Pengelola Perusahaan (KTP Pengurus) 7) Struktur Organisasi Perusahaan 8) SPT Perusahaan

   9) Dokumen Pendukung lainnya .

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Pembebanan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit (Studi Kasus pada PP No. 24 Tahun 1997)

1 63 126

Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Eksekusi Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan

5 95 91

Analisis Yuridis Perjanjian Kredit Sindikasi Dengan Jaminan Hak Tanggungan (Studi Di Bank UOB Indonesia)

19 162 171

Tinjauan Yuridis Eksekusi Benda Sebagai Objek Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut UU No. 42 Tahun 1999

5 86 88

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

0 0 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pinja

0 0 40

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan - Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan Utang Dalam Perjanjian Kredit Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Pada PT. Bank Rakyat Indonesia, TBK Cabang Medan)

0 0 19

BAB II PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian dan Landasan Hukum 1. Pengertian Kredit - Aspek Hukum yang Harus Dipenuhi dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hak Tanggungan Studi pada Bank Danamon Simpan Pinjam Unit Petisah)

0 0 28

BAB II BANK SEBAGAI PENYALUR KREDIT A. Pengertian Bank - Tinjauan Yuridis Kredit Macet pada Perjanjian Kredit Modal Kerja (Studi Kasus pada Bank BNI Cabang Pemuda Medan)

0 0 27