BAB II - Perjanjian Penempatan Dan Pemasangan Light Eminitting Diode (LED) DISPLAY : Studi Kasus Perjanjian Antara PT. Djarum Dengan CV. Pelangi Di Kotamadya Banda Aceh

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN DALAM KUHPerdata A. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa Perjanjian adalah : “ menyatakan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

  Syarat ada persetujuan kehendak.

                                                               1 http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/ 2 http/://www.negarahukum.com/hukum/perjanjian-perikatan-kontrak.html  

  Ada klausa yang halal.

  d.

  Ada hal-hal tertentu.

  c.

  Syarat kecakapan pihak-pihak.

  b.

  lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih “

  1 Ketentuan dari pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa

  5. Ada bentuk tertentu lisan dan tulisan.

  4. Tanpa menyebut tujuan.

  3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

  2. Kata perbuatan mencakup juga terhadap konsensusnya.

  Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “ satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya “.

  2 1.

  :

  kelemahan. Adapun yang menjadi kelemahan-kelemahannya adalah sebagai berikut

  6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian, sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan dibawah ini : a.

  Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji

  3 dan kesanggupan yang diucapkan secara lisan ataupun secara tertulis.

  Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

  Perjanjian mengandung pengertian bahwa : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

  Dari pengertian singkat diatas dapat dilihat beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : “ hubungan hukum ( rechtsbetrekking ) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Sehingga demikian, perjanjian adalah hubungan hukum

  rechtsbetrekking

  yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan.

                                                               3 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT.Intermasa, 1994, Hlm.1

  Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “ tindakan hukum “ rechtshandeling.

  Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak dan pihak satunya lagi memikul kewajiban menyerahkan/menunaikan prestasi.

  Prestasi ini sendiri merupakan objek atau “ voorwerp ” dari perjanjian. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak memiliki arti apa-apa bagi hukum perjanjian.

  Perjanjian atau verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan, akan tetapi tidak semua perjanjian atau verbintenis mempunyai sifat memaksa, pengecualiannya misalnya pada

  natuurlijke verbintenis

  . Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat “ tanpa hak memaksa “. Jadi

  natuurlijke verbintenis

  adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa (de verbintenis met zonder rechtsdwang).

  Dengan demikian dapat di bedakan antara : 1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking) yaitu : perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum ( rechtsgevolg) yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

  2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum “ tak sempurna “ (onvolledige rechtswerking), seperti natuurlijke verbintenis. Bahwa ketidaksempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur dalam memenuhi kewajiban prestasi.

  3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya (volledige rechtsweking). Disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika dia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. A.1 Sistem Keterbukaan yang Terkandung Dalam Hukum Perjanjian

  Dalam hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan dalam hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam membuat suatu perjanjian para pihak diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka dapat mengatur sendiri keentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Namun jika para pihak yang akan melakukan perjanjian tersebut tidak mengatur sendiri, itu berarti para pihak tersebut akan tunduk kepada undang-undang.

  Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi : “ Semua perjanjian ynag dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya “. Selanjutnya, sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk.

  A.2 Hukum Perjanjian Mengandung Asas Konsensualisme

  Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya! Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.

  Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah diperlukan sesuatu formalitas.

  Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil". Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

  Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi :

  4

  "Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2.

  Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

                                                               4 Prof. R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet keenam, Alumni, Bandung, 1984. Hlm. 4

  Namun jika menyimak rumusan Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide Pasal 1320 BW), karena didalam asas ini terkandung

  5

  “kehendak para pihak” untuk saling mengikatkan diridan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terdapat pemenuhan perjanjian. Didalam Pasal 1320 BW terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang

  6

  menentukan adanya perjanjian (raison d’erte, het bestaanwaarde). Didalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer)

  

7

merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.

  Dalam perjanjian kerja sama antara PT. Djarum dengan CV. Pelangi ini terdapat kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan adanya asas kepercayaan pada masing- masing pihak. Kalau tidak ada asas kepercayaan terhadap masing-masing pihak, maka perjanjian kerja sama ini tidak mungkin akan berjalan.

B. Asas-asas Hukum Perjanjian a.

  Asas Personalia Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 1315 BW, yang berbunyi “ pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri”.

  Dari rumusan tersebut dapat ketahui bahwa pada dasarnya suatu pejanjian yang dibuat oleh seseorang dalam

                                                               5 6 Artinya kehendak para pihak itu harus tercermin dalam wujud kontrak yang seimbang. 7 Mariam darus Badrulzaman., Kompilasi Hukum Perikatan, bandung: Citra aditya Bakti, 2001, Hlm. 82.

  Ibid Hlm. 108-109. kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya

  8 sendiri.

  Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam pasal 1315 BW, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan dalam : a)

  Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri;

  b) Sebagai wakil dari pihak tertentu;

c) Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.

  Jika dilihat lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), maka akan sampai pada ketentuan pasal 1340 yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

  

Perjanjian tidak dapat merugikan pihak ketiga; dan perjanjian tidak dapat memberi keuntungan

  9 kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam pasal1317”

  Dari rumusan yang diberikan pasal 1340 BW secara jelas dan tegas menyatakan bahwa suatu perjanjian yang diadakan antara dua pihak, hanya berlaku dan mengikat bagi kedua belah pihak tersebut. Pihak ketiga manapun juga, diluar para pihak yang bersepakat,tidak dapat dirugikan kepentingannya, karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Demikian juga bahwa pihak ketiga, diluar para pihak yang berjanji, tidak dimungkinkan untuk memperoleh keuntungan dari suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang saling bersepakat tersebut.

  Prinsip lebih lanjut diatur dalam pasal 1341 BW, yang dikenal juga dengan nama Actio

  Pauliana,

  merupakan suatu sifat perjanjian yang hanya berlaku dan mengikat para pihak yang

                                                               8 Kartini muljadi & gunawan widjaja., Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian ,jakarta: Rajawali pers, 2002, Hlm. 15. 9 Ahmadi Miru, dan Sakla Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233-1456 BW, 2008 , Jakarta, Rajawali Pers. Hlm. 80

  membuatnya. Dengan asas personalia, pihak ketiga, diluar para pihak yang bersepakat atau berjanji, tidak berhak untuk mencampuri perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

  b.

  Asas Kebebasan Berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum perjanjian, meskipun asas ini tidak dibuat menjadi aturan hukum namun memilki pengaruh yang kuat dalam hubungan perjanjian para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara dari lahir dari zaman Yunani, yang kemudian dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaissance melalui ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rousseau. Sebagai asas yang bersifat universal yang bersumber dari paham hukum,asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik

  10 yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas.

  Kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya didasari semangat liberalisme yang mengutaakan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan Revolusi Prancis “liberte, egalite et fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Menurut arti individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu didalam hukum perjanjian filsafat ini diwujudkan dalam asas kebebasan

  11 berkontrak.

  Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum “( Buku III BW) memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang di

                                                               10 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposinalitas dalam Kontrak Komersil, 2011, Jakarta, Kencana, Hlm. 108 11 Ibid, Hlm. 109 atur dalam Buku III BW hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht -

  aanvullendecht

  ). Berbeda dengan pengaturan Buku III BW yang menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingen recht), di mana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III BW tersebut.

  Sistem tertutup Buku III BW ini tercermin dari substansi Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa,”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

  bagi mereka yang membuatnya.”

  Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah “semua” didalamnya terkandung - asas patij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract

  vrijheid

  • memang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk

  12 perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk kontrak standart.

  Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apa pun (tertulis, lisan, scriptless, paperless, autentik, nonautentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standart/baku dan lain-lain), serta dengan isi atau subtansi sesuai yang diinginkan para pihak.

  Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “ tindakan hukum “/ rechtshandeling.

                                                               12 Sebagai asas yang bersifat universal, hal itu juga terdapat dalam common law system, dimana terdapat kesimbangan posisi tawar (bergaining power) para pihak sebagai perwujudan dari liberty of contract, merupakan pengakuan pada eksistensi dan kemandirian para pihak untuk membuat kontrak

  Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak dan pihak satunya lagi memikul kewajiban menyerahkan/menunaikan prestasi.

  Menurut Sutan Remi Sjahdeini asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian

  

13

Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut: a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

  b.

  Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

  c.

  Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya.

  d.

  Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

  e.

  Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian .

  f.

  Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

  Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 (1) BW tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa ini, acap kali asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi

                                                               13 Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 110

  tawar /bergaining position yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang .

  Menurut Konrad Zweight dan Hein Kotz, kebebasan berkontrak yang akan eksis jika para pihak didalam kontrak memiliki keseimbangan secara ekonomi dan sosial. Pengertian ini memberikan peluang luas kepada golongan ekonomi kuat untuk mengatasi golongan ekonomi lemah, suatu “exploitation de l’homme par l’homme”. Pembentuk undang-undang pada waktu tak terduga bahwa yang berhadapan dengan kontrak itu ternyata menyangkut dua pihak yang berbeda kekuatan ekonomisnya. Karenanya lambat laun dirasakan bahwa kebebasan berkontrak

  14 menjurus pada adanya ketidakadilan.

  Menurut Suhardi, kebebasan dan kesamaan yang diotorisir oleh tertib hukum abad XIX yang jiwanya individualis tidak memberi garansi untuk realisasi hakikat zat maupun eksistensi manusia sebagai bagian dari rakyat terbanyak. Hubungan keperdataan karena dipandang melanggar hak kebebasan manusia. Disini kita menjumpai keganjilan. Untuk kepentingan mempertahankan kodrat kebebasan, maka golongan terbanyak yang sosial ekonominya lemah harus menderita berat dan mengorbankan kesempatan realisasi hakikat eksistensi mereka sendiri.

  Kegamangan eksistensi kebebasan berkontrak juga diungkapkan oleh Soepomo yang

  15

  menyatakan bahwa : “ BW mempunyai landasan liberalisme, suatu sistem berdasarkan atas kepentingan individu.

  

Mereka yang memiliki modal yang kuat menguasai mereka yang lemah ekonominya. Didalam

sistem liberal terdapat kebebaan yang luas untuk berkompetisi sehingga golongan yang

lemah tidak mendapat perlindungan”

                                                               14 15 Ibid, Hlm. 111  Ibid, Hlm. 112 

  Namun demikian dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak semakin tereduksi perannya sebagaimana sinyalemen beberapa sarjana. Subekti menyatakan bahwa hukum kontrak sesudah perang dunia II ditandai dengan semakin meningkatnya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak. Pengaruh paham individualisme mulai memudar pada akhir abad XIX seiring dengan berkembangnya paham etis dan sosialis. Paham individualis dinilai tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, selalu dikaitkan dengan kepentingan umum. Sementara menurut Pitlo didalam abad ini terutama setelah tahun 1945 perkembangan kearah pembentukan masyarakat sosialis dari masyarakat individualis berada dalam proses menanjak. Salah satu gejalanya ialah dengan penerobosan Hukum Publik terhadap Hukum Perdata. Penerobosan ini adalah demi kepentingan umum. Penerobosan ini terjadi baik dalam bidang hak atas benda maupun dalam bidang hukum harta kekayaan. Jika selama ini ada “uitholling van eigendom”, maka sekarang ada “uitholling

  van contactenvrijheid” .

  Mariam Darus Badrulzaman menambahkan, jika dilihat dari segi perkembangan hukum perdata, maka campur tangan pemerintah merupakan pergeseran hukum perdata kedalam proses pemasyarakatan (vermaatschappelijking) untuk kepentingan umum. Sesuai dengan UUD 1945 yang telah melepaskan diri dari konsepsi hukum yang liberal dan menganut konsepsi hukum yang Pancasilais. Didalam konkretonya, Hukum perdata khususnya hukum kontrak mencari bentuk baru demi memenuhi tuntutan itu antara lain melalui campur tangan pemerintah. Materi- materi yang menyangkut kepentingan umum dengan demikian akan memperoleh perlindungan. Bahkan cenderung untuk memperbanyak peraturan-peraturan hukum pemaksa (dwingend recht) demi kepentingan umum dan melindungi yang lemah.

  16 Dalam perkembangannya asas ini semakin digerogoti. Memang asas ini belum mati

  dalam arti sebenarnya, namun asas ini setidak-tidaknya sudah tidak lagi tampil dalam bentuknya yang utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak, yaitu: a.

  Semakin berpengaruhnya ajaran iktikad baik dimana iktikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak.

  b. Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence).

  Setiawan, menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berkontrak dipengaruhi oleh:

  17 a.

  Berkembangnya doktrin iktikad baik; b. Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan; c. Makin banyaknya kontrak baku; d. Berkembangnya hukum ekonomi.

  Sedangkan Purwahid Patrik menyatakan bahwa terjadinya berbagai pembatasan kebebasan berkontrak disebabkan:

  18                                                              16 Ibid, Hlm. 113 17 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Jakarta: Total Medika, 2009. Hlm 2. 18 Ibid, Hlm. 3 a.

  Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan dagang, badan-badan hukum atau perseroan-perseroan, dan golongan-golongan masyarakat lain (misal: golongan buruh dan tani) b. Terjadinya pemasyarakatan keinginan adanya keseimbangan antar-individu dan masyarakat yang tertuju kepada keadilan sosial; c.

  Timbulnya formalisme perjanjian; d. Makin banyak peraturan dibidang hukum tata usaha negara.

  Menurut Sri Soedewi Maschoen, pembatasan kebebasan berkontrak diakibatkan karena adanya:

  19 a.

  Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi (misal:kaena adanya penggabungan atau sentralisasi perusahaan; b.

  Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah.

  c.

  Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya kesejahteraan sosial.

  Terlepas dari semakin tereduksinya supremasi asas kebebasan berkontrak, keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang tidak dapat ditawar. Karena itu dalam diri para pihak yang berkontrak harus terdapat pemahaman dan penghormatan terhadap hak masing-masing. Oleh karena itu, dapat dipahami, perkembangan asas kebebasan berkontrak yang cenderung mengarah pada ketidakseimbangan para pihak kemudian dibatasi oleh berbagai ketentuan yang bersifat memaksa agar pertukaran hak dan kewajiban dapat berlangsung secara proprosional.

                                                               19  Agus Yudha Hernoko, Op.cit, Hlm. 115 

  Melalui pemahaman tersebut diatas, kiranya pola interaksi yang selama ini berkembang dimasyarakat sehubungan dengan perjanjian yang dibuat para pihak, dimana dalam berkontrak para pihak dihadapkan sebagai “lawan kontrak” , adalah pola fikir yang harus dihilangkan, khususnya dalam dunia bisnis. Pemikiran “lawan kontrak” pada dasarnya psikis (sadar atau tidak sadar, disengaja atau tidak disengaja) akan mewarnai pola fikir, sikap dan tindakan para pihak yang kesemuanya itu muncul, berkembang dan tertuang dalam penyusunan kontrak yang mereka buat. Hal ini dapat dicermati dalam pola kontrak. Kontrak standart yang cenderung berat sebelah.

  Yang terjadi dilapangan merupakan konsekuensi logis dari pola fikir dan pemahaman yang salah kaprah mengenai asas kebebasan berkontrak. Sehingga yang terjadi justru para pihak berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (menguntungkan dirinya) dalam berhadapan dengan lawan kontraknya. Ia berusaha untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung hanya menguntungkan dirinya sendiri, tanpa menghiraukan pihak lawan, bahkan kalau perlu menjerat pihak lawan dengan klausul-klausul yang mematikan. Dengan pemahaman bahwa dalam berkontrak akan saling berhadapan lawan kontrak, berarti mereka siap dengan senjata masing-masing untuk diarahkan dan ditembakkan sewaktu-waktu.

  Kesalahan dalam memahami filosofi asas kebebasan berkontrak tersebut harus segera diluruskan dan dikembalikan pada pemahaman yang sebenarnya. Asas ini menempatkan para pihak yang berkontrak dalam posisi yang setara secara proporsional, asas ini tidak menempatkan para pihak sebagai partner - mitra kontrak dalam pertukaran kepentingan mereka.

  Melalui pemahaman pola kemitraan, maka bangunan konsep lama yang terpola dibenak para pihak harus dirombak, artinya didalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan untuk selalu memikirkan bagaimana selain dia aman dan diuntungkan dengan kontrak itu, maka mitra kontrak tersebut memperoleh hasil dan manfaat yang sama dengan dirinya. Dengan pemahaman kemitraan niscaya akan terbangun suatu situasi yang saling menghargai, menguntungkan, mengamankan tujuan para pihak sebagaimana yang tertuang

  20

  dalam kontrak. Situasi kondusif yang dilandasi sikap win-win attitude pada akhirnya akan bermuara pada situasi “win-win solution”.

  Jika dikaitkan dengan perjanjian yang dibahas dalam skripsi ini menjelaskan bahwa para pihak sama-sama saling menguntungkan dan dengan saling menghargai yang terjadi pada para pihak maka perjanjian akan berjalan sesuai dengan yang di harapkan.

  Asas Konsensualitas Asas konsensualitas menjelaskan pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, ,meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata- mata. Ini berarti ada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walaupun demikian, untuk menjaga kepentingan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.

                                                               20  Merupakan sikap yang dilandasi oleh itikad bahwa kontrak itu sedapat mungkin akan menguntungkan secara timbal balik.  

  Asas konsensualitas adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanian konsensuil. Sebagai pengecualian dikenallah perjanjian formil dan perjanjian riil, oleh karena dalam kedua jenis perjanjian yang disebut terakhir ini, kesepakatan saja belum mengikat pada pihak yang berjanji.

  Dalam perjanjian formil, sesungguhnya formalitas tersebut diperlukan karena dua hal pokok, yaitu yang meliputi: a.

  Sifat dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut ketentuan pasal 613 dan pasal 616 BW penyerahan hak milik atas kebendaan tersebut harus dilakukan dalam bentuk akta otentik atau akta dibawah tangan. Oleh karena itu pengalihan dari kebendaan yang demikian mensyaratkan diperlukannya akta, berarti harus dibuat secara tertulis, maka segala perjanjian yang dimakud untuk memindahkan hak milik atas kebendaan tersebut haruslah dibuat secara tertulis.

  b.

  Sifat dari isi perjanjian itu sendiri, yang harus diketahui oleh umum, melalui mekanisme pengumuman kepada khalayak umum atau masyarakat luas. Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat ditemukan dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum, yang selanjutnya akan menjadi suatu persona standi in judicio sendiri, terlepas dari keberadaan para pihak yang berjanji untuk mendirikannya sebagai subyek hukum yang mandiri.

  c.

  Hubungan dengan penjamin kebendaan. Pada mulanya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengenal dua macam jenis penjaminan, yang dikaikan dengan jenis kebendaannya, yaitu kebendaan bergerak dan kebendaan tidak bergerak.

  Sedangkan dalam perjanjiaan riil, suatu tindakan atau perbuatan disyaratkan karena sifat dari perjanjian itu sendiri yang masih emerlukan tindak lanjut dari salah satu pihak dalam perjanjian, agar syarat kesepakatan bagi lahirnya perjanjian tersebut menjadi ada demi hukum.

C. Syarat-syarat Sahnya Sebuah Perjanjian

  Syarat sahnya suatu perjanjian datur dalam Pasal 1320 KUHPdt. Pasal 1320 KUHPdt merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan sebuah perjanjian. Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPdt, syarat-

  21

  syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut: 1.

  Adanya persetujuan kehendak para pihak yang membuat perjanjian (consensus) Yang dimaksud dari adanya persetujuan kehendak para pihak yang membuat perjanjian adalah sepakat diantara mereka yang mengikatkan diri, artinya para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun penipuan. Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur,

  22

  yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan (aanvarding acceptatie

  acceptance ) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.

  Perjanjian atau kontrak yang lahir dari kesepakatan pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan pernyataan. Namun demikian, tidak menutup

                                                               21  Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, 2011,  Bandung, 22  Citra Aditya Bakti, Hlm. 73  Dalam common law system juga dijumpai hal yang sama yaitu adanya offer and acceptance. kemungkinan bahwa kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak (wilsgebreken). Perjanjian yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh adanya unsur cacat kehendak tersebut mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan. Didalam BW terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya cacat kehendak yaitu; a.

  Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 BW) Terdapat kesesatan apabila terkait dengan “hakikat benda atau orang” dan pihak lawan harus mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan.

  b.

  Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323-1327 BW) Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup kontrak dibawah ancaman yang bersifat melanggar hukum c.

  Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328)

  23 Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila

  gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan yang timbul oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan.

2. Adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian (capacity)

  Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, arti kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, yakni sesuai dengan ketentuan KUHPdt, mereka yang telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah menikah. Cakap juga berarti orang yang udah dewasa, sehat akal fikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan

                                                               23 Maksud dikualifisir, artinya memang terdapat kesesatan salah satu pihak, namun kesesatan ini disengaja oleh pihak lain.

  tertentu. Dan oarng-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum yaitu: orang-orang yang belum dewasa , menurut Pasal 1330 KUHPdt jo. Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUHPdt ; serta orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan. Kecakapan untuk melakukan perbuatan

  24 hukum bagi persoon pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup umur.

  Terkait standar usia dewasa dapat dilakukan melalui pengujian asas- asas hukum maupun interpretasi komprehesif terhadap muatan materi beberapa ketentuan terkait.

  3. Adanya suatu hal tertentu (certain subject matter) Suatu hal tertentu maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan. Lebih lanjut mengenai hal atau objek tertentu ini dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332, 1333 dan 1334 BW. Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam berkontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Kata “tertentu” tidak harus dalam artian gramatikal dan sempit, harus sudah ada ketika kontrak dibuat.

  4. Adanya suatu sebab yang halal (legal causae) Suatu sebab yang halah artinya, jika suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPdt, yaitu: tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak betrentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan undang-undang.

                                                               24 Agus Yudha Hernoko, Op.cit,. Hlm. 184.

    Terkait dengan pengertian “sebab yang halal”, beberapa sarjana mengajukan pemikirannya, antara lain H.F.A dan Wirjono Projodikoro yang memberikan pengertian sebab (kausa) sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian. Sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut, bahwa syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berbicara mengenai subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif, karena berbicara mengenai objek yang diperjanjikan dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian bilamana syarat-syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan, bilamana syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Artinya batal demi hukum bahwa, dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut dipengadilan.

  Dalam perjanjian ini telah terdapat kesepakatan para pihak yang termuat dalam pasal 2 ayat (2) yang memuat : perjanjian pembelian dan pemasangan papan reklame luar ruang / LED Display merupakan perjanjian pekerjaan, dimana pihak pertama dan pihak kedua sama-sama telah sepakat. Para pihak yang melakukan perjanjian ini telah cakap hukum dan tidak berada dalam pengampuan. Bahwa yang menjadi pokok perjanjian dalam perjanjian ini adalah mengenai penempatan, pembuatan dan pemasangan papan reklame luar ruang / LED Display. Dan perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan, kesopanan dan ketertiban umum (Pasal 1337 BW).

D. Jenis-jenis Perjanjian

  Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : 1. Perjanjian Obligatoir 2.

  Perjanjian non Obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu, sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.

  Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis yaitu : 1.

  Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.

  Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian penanggungan (borgtocht). Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual

  25 beli.

2. Perjanjian atas beban dan perjanjian Cuma-Cuma.

  Perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yag satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Misalnya perjanjian pinjam meminjam dengan bunga. Sedangkan perjanjian cuma- cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan sesuatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya pinjam pakai, hibah dan

  26 penitipan barang tanpa biaya.

                                                               25 26 Herlien Budiono, Op.cit, Hlm. 54-55.

  Ibid. Hlm. 59.

  3. Perjanjian konsesual, perjanjian riil dan perjanjian formal.

  Perjanjian konsesual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian riil adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian pinjam pakai. Dan yang dimaksud dengan perjanjian formal adalah

  27 perjanjian yang harus memakai akta nota riil. Misalnya perjanjian jual beli tanah.

  4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran.

  Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus didalam undang-undang. Misalnya perjanjian leaseing, franchising dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pekerjaan, perjanjian kost yang merupakan

  28 perjanjian sewa menyewa dan perbuatan untuk melakukan suatu pekerjaan.

  Perjanjian yang penulis bahas jenis perjanjian kerja, yang merupakan termasuk ke golongan perjanjian bernama, dimana para pihak membuat perjanjian ini untuk hubungan kerja, dimana pihak pertama memberikan kerja kepada pihak kedua untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan.

  Yang dimaksud dengan perjanjian kerja menurut undang-undang no.13 tahun 2003 pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau memberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.

  Perjanjian kerja yang termasuk dalam perjanjian bernama tersebut merupakan kesepakatan secara tertulis maupun lisan antara pemberi kerja dengan pekerja, yang memuat

                                                               27 28

http://ranggiwirasakti.blogspot.com/2012/11/macam-macam-perjanjian-dalam-hukum.html?m=1 Herlien budiono, Op.Cit., Hlm.35-36 secara singkat maupun lengkap segala yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian tertulis merupakan perjanjian yang dituangkan secara jelas diatas kertas, sedangkan perjanjian lisan merupakan perjanjian secara singkat dengan dasar kepercayaan masing-masing para pihak, biasanya perjanjian ini hanya digunakan untuk perjanjian yang mudah pelaksanaannya atau tidak banyak menuntut persyaratan. Perbedaan yang mendasar antara kedua bentuk perjanjian ini adalah kekuatan hukumnya, perjanjian tertulis tentu lebih kuat, karena perjanjian tertulis itu menjadi akta otentik atau bukti tertulis dimata hukum.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pola Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit Inti-Plasma Antara PT. Boswa Megalopolis Dengan Masyarakat (Suatu Penelitian Di Kabupaten Aceh Jaya)

14 150 149

Perjanjian Penempatan Dan Pemasangan Light Eminitting Diode (LED) DISPLAY : Studi Kasus Perjanjian Antara PT. Djarum Dengan CV. Pelangi Di Kotamadya Banda Aceh

0 58 85

Perjanjian Pemasangan Papan Reklame Antara PT. Sumo Internusa Indonesia Advertising dengan PT.Samsung Elektronik Indonesia di Medan

4 54 146

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Grup Dengan PT. ISS Indonesia

5 58 122

Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Studi : Perjanjian Waralaba Antara PT. Indomarco Prismatama Dengan CV. E. Makmur

1 42 130

Perjanjian Layanan Kesehatan Antara PT. PLN (PERSERO) Proyek Induk Pembangkit Dan Jaringan Sumatera Utara, Riau Dan Aceh Dengan Rumah Sakit Gleni

0 33 79

BAB II Tinjauan Umum Tentang Perjanjian A. Pengertian dan Hakekat Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pabrik Kelapa Sawit Antara PT. Bima Dwi Pertiwi Nusantara Dengan PT. Mutiara Sawit Lestari

0 0 34

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Konsekuensi Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame(Studi Pada Pt. Bensatra)

0 0 21

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB II PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan - Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya.

0 0 33